Anda di halaman 1dari 140

BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA


PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
TESIS

Oleh
TORKIS F. SIREGAR
077005030/HK

BENTUK PEMBINAAN RESIDIVIS UNTUK MENCEGAH


PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA DI LEMBAGA
PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

TESIS

SEKOLAH PASCASARJANA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

MEDAN
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

2009
Oleh
TORKIS F. SIREGAR
077005030/HK

Ju d u l Tes is

: BEN TU K PEMBI N AA N R ES I DI VI S U N TU K
MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
SIBORONGBORONG
Nama Mahasiswa : Torkis F. Siregar
Nomor Pokok
: 077005030
Program Studi
: Ilmu Hukum

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof.
Dr. Bismar Nasution, SH,(Dr.
MH)
(Prof. Dr. Alvi Syahrin,
SH, MS)
Sunarmi, SH, M.Hum)
Ketua
Anggota
Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

Tanggal lulus : 23 Juli 2009

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Telah diuji pada


Tanggal 23 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS


2. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum
3. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM
4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

ABSTRAK
Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahatpenjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini
biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi
hukuman. Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem
yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan
sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Untuk itu diperlukan
proses pembinaan yang tepat untuk dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak
pidana.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya hanya menggambarkan
analisis terhadap kredit dengan jaminan hak atas tanah. Alat pengumpul data dalam
penelitian ini adalah dengan melaksanakan wawancara (field research) dan
penelusuran kepustakaan (library research). Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan analisis kualitatif.
Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di
Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan areal
pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan
masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi
orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Penyebab lain adalah
dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan sendiri di dalam masyarakat
penjara diakibatkan oleh kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni
penjara. Bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 cara, yaitu bentuk
pembinaan individual dan pembinaan kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi
dengan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Faktor-faktor yang
menghambat pelaksanaan pembinaan residivis adalah Kalangan internal (birokrasi),
Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat
oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional, kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim Upayaupaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong dilakukan
dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat proses pengeluaran narapidana,
Dalam penelitian ini dikemukakan saran agar diberlakukan sistem database
online yang berlaku di seluruh Indonesia mengenai data pelaku kejahatan. Selain itu
perlu ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga
petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang
berkaitan dengan kegiatan keterampilan. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan
hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah.
Kata Kunci : Bentuk Pembinaan, Residivis, Penanggulangan tindak pidana

ABSTRACT

One of factors destroying the correctional system is the presence of


repetitive or recurrent criminal, often called redivisit. These criminals usuallly
commit the same crimes, although the punishment has been imposed for their
crimes. The management of residivist crimes is caned out in a set of systems
called criminal justice system as a facility in community to overcome the crimes.
There fore, there should be an appropriate correstional process to prevent the
recurrent or repetitive criminal matters.
This was an analytical and descriptive research, it means it simple describes
the analysis on appropriate correstional process to prevent the recurrent or repetitive
criminal matters. The instrument of collecting the data in this research was by
interview (field research) and library research. The data gained was then analyzed
qualitatively.
The causes of residivist criminal matter in criminal law system of
Indonesia included stigmatization of people and enviromental condition of
correcctional system area.. Actually the stigmatization appeared from the fear of
community for former inmutes, that they would effect others to commit something
breaking the law. Another reason was the impact of prisonization or selfaberration in community of prison caused by destructive force in mate's life. The
type of correction practiced for recidivist in correccional system of class IIB
Siborongborong was accomplished in two methods: individual and group
correction. The individual correction was then carried out throught personal and
independence correction. The factors inhibiting the implementation of recidivist
correction included internal factor (birocration), over capacity, the weak control
and supervision inherently by internal officials and functional control, the
minimum quality and human power of proffesionals and budgeting. The measures
taken to overcome toses obstacles in implementation of residivist correction in
Correcctional System of Clas IIB Siborongborong included shorten the
birocration process, to accelerate the releasing process of the inmates.
It is suhhested, that online database system should be applied throught
Indonesia regarding the criminal records. In addition, the human power of
correctional system frofessionals should be improvedthus they Hill have sufficient
professionalism in assuming their task, especially their skills and expertise. The
prosperity of correctional be also considered and improved by the government

Key words : Type of correction, Residivist, Criminal matter management

KATA PENGANTAR
Pertama-tama Peneliti bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan, keselamatan dan ilmu pengetahuan yang merupakan amanah,
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penelitian
RESIDIVIS
PIDANA

tesis

UNTUK
DI

yang

diberi

MENCEGAH

LEMBAGA

judul:

"BENTUK

PEMBINAAN

PENANGGULANGAN

PEMASYARAKATAN

KLAS

TINDAK
II

SIBORONGBORONG adalah merupakan salah satu syarat yang harus


dipenuhi untuk menyelesaikan program studi Ilmu Hukum pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Peneliti menyadari tesis ini tidak akan selesai tanpa bantuan, perhatian dan
kasih sayang dari berbagai pihak, baik moril maupun materil yang telah diberikan
kepada Peneliti. Pada waktu pembuatan tesis ini, peneliti banyak mendapat
bantuan baik materil dan moril, kemudian motivasi, pengarahan serta doa restu
dari semua pihak yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu, tanpa
mengurangi rasa hormat peneliti terhadap yang lainnya. Di saat yang berbahagia
Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua
orang tua peneliti Alm. P. Siregar dan ibunda P. Bore Purba serta istri tercinta
Angelina Hospita Sinaga dan buah hati Peneliti Ricky Prima Steven Siregar,
Richard Harry Christ Siregar. dan putri bungsu Ririn Patricia Br. Siregar yang
selalu menjadi motivasi peneliti untuk menjadi orang.

Terima kasih secara khusus Peneliti haturkan kepada:


1.Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara.
2.Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
3.Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen
Pembimbing Penulis.
4.Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku Dosen Pembimbing yang selalu
memberikan motivasi kepada peneliti.
5.Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku Dosen Pembimbing yang juga
memberikan masukan pada tesis peneliti.
6. Bapak Thu rm an Hutap ea, Bc .I P, SH, mantan K a Lapas K las II B
Siborongborong.
7.Bapak Sardiaman Purba, Bc.IP, SH, Ka Lapas Klas II B Siborong-borong yang
banyak memberikan dispensasi waktu selama peneliti menyelesaikan tesis.
8.Bapak S. Lumbantoruan, selaku Kasi Pembinaan dan Pendidikan Lapas Klas II
B Siborongborong yang telah memberikan data dan menjadi informan penulis
selama penelitian.
9.Bapak Sartowali, Bc.IP, SH, Ka. Bapas Sibolga.
10. Kepada

rekan-rekan

Siborongborong.

sejawat

di

jajaran

Lembaga

Pemasyarakatan

11.Kepada rekan-rekan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang


selalu menjadi teman penulis selama masa perkuliahan.
12.Kepada abanganda Hotman Efendi Siregar, SE, Ak, Jeffri P. Siregar, SE, dan
adik Penulis, Jonathan M. Siregar, SH, Ida Pola Artha Br. Siregar, Am.G,
David M. Siregar, ST, dan adik bungsu Penulis Joshua Franklin, SE, yang
selalu menjadi tiang penyangga Penulis dalam menjalani kehidupan.
13.Kepada tulang Ir.Saut Purba, M.Sc, terima kasih peneliti ucapkan atas
bantuannya dalam memberikan bahan-bahan untuk kepentingan tesis peneliti.
14.Mertua Penulis, Alm. St. J. Sinaga, dan Veronica br. Tambunan dan abang ipar,
kakak ipar, dan adik ipar penulis.
15.Kepada seluruh jajaran staf biro Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, yang selalu memberi infromasi kepada Peneliti
Akhirnya sebagai manusia biasa yang tidak terlepas dari keterbatasan,
Peneliti menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, dan sebagai insan
akademik Peneliti dengan senang hati membuka diri untuk menerima sumbangan
fikiran, saran yang konstruktif guna pengembangan keilmuan bagi kepentingan
masyarakat.

Peneliti juga menyadari hanya Allah jualah yang memiliki ilmu yang tiada
terhingga. Harapan Peneliti semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi,
pembuat kebijakan dan juga bagi pembaca.
Medan, J u n i 2 0 0 9

Torkis F. Siregar

RIWAYAT HIDUP

Nama

: Torkis Freddy Siregar

Tempat/Tanggal Lahir

: Medan, 10 Juni 1973

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Agama

: Kristen Protestan

Pekerjaan

: Pegawai Negeri Sipil

Alamat

: Jalan Kemiri 2 Gang Kelapa 3 No. 12 Medan

Pendidikan

: SD Methodist I Medan Tamat Tahun 1987


SMP Methodist I Medan Tamat Tahun 1990
SMA Negeri 5 Medan Tamat Tahun 1993
Strata Satu (S1) Universitas Panca Budi Tamat
Tahun 1999
Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009

DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK............................................................................................................... i
ABSTRACT.............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP.................................................................................................. vii
DAFTAR ISI............................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xi
DAFTAR SKEMA.................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1

A. Latar Belakang .................................................. 1


B. Perumusan Masalah.............................................................................. 10
A. C. Tujuan penelitian ........................................................................ 11
D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 11
E. Keaslian Penelitian................................................................................ 12
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi........................................................... 12
G. Metode Penelitian ................................................................................. 23
1. Jenis dan Sifat Penelitian.................................................................. 23
2. Sumber Data..................................................................................... 23
3. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 25
4. Analisa Data..................................................................................... 25

BAB II PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA


RESIDIVIS DAN PENGATURANNYA DALAM
SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA.................................. 27
A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Siborongborong.............................................................................. 27
B. Pengertian Recidive (Residivis)............................................................. 31
C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak
Pidana / Recidivis........................................................................... 32
D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di
Indonesia........................................................................................ 41
BAB III BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG
DIBERLAKUKAN DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN
KLAS II B SIBORONGBORONG.................................................... 51
A. Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana.............................................. 51
B. Mekanisme Pembinaan Terhadap Narapidana Residivis....................... 70
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN
UPAYA UNTUK MENGHADAPI HAMBATAN
DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN RESIDIVIS
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
SIBORONGBORONG........................................................................ 91
A.Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan
Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Siborongborong.............................................................................. 91
B.Peranan Hakim Pengawas Dan Pengamat Dalam
Masalah Pembinaan Dan Pengamatan Narapidana........................ 100
C.Upaya Untuk Menghadapi Hambatan dalam Pembinaan
Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Siborongborong.............................................................................. 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN.................................................................. 115


A. Kesimpulan............................................................................................ 115
B. Saran ..................................................................................................... 116
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 118

DAFTAR TABEL
No

Judul

Halaman

1.

Penghuni LP Siborongborong .......................................................28

2.

Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008 .................................29

3.

Daftar Nama Narapidana Residivis Lapas Klas II B


Siborongborong .............................................................................39

DAFTAR SKEMA
No
1.

Judul

Halaman

Struktur Organisasi LAPAS Klas II B Siborongborong .................30

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia.
Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa
kejahatan. Si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari
alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada
manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh
seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun
misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Sehingga
keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana
menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin,
maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.41
Masyarakat sudah terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satusatunya faktor dalam gejala kejahatan. Maka tidaklah mengherankan bila upaya
penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap
pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai 'obat manjur'

Syafruddin Hussein, Kejahatan dalam Masyarakat dan Upaya Penanggulangannya,


makalah, Fakultas Hukum Jurusan Hukum Pidana Universitas Sumatera Utara, (Medan, 2003), hlm. 1.
41

untuk 'menyembuhkan' baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang
diidap pelaku kejahatan.
Herbert L. Packer dalam bukunya 'The Umits of The Criminal Sanction'
menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau
terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia
itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat,
cermat, dan manusiawi.
Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara
sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan
penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana.
Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada
bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan
adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani
hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan
munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut
dengan residivis. Menurut John Delaney,42 pengintegrasian kembali narapidana ke
dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu
proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan

42 Adrianus Meliala, et.all, Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana
Untuk Pencegahan Resedivisme, Artikel ini Disajikan Dalam Kerangka Kerjasama Antara Tim Penulis
(Dept. Kriminologi FISIP UI) dengan Australian Agency for International Development, Jakarta, 2009,
hlm.2

dan cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya,


kelembagaannya dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal.
Suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP
sebagai berikut: Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.
Dapat dibandingkan dengan perumusan van Bemmelen sebagai berikut: Putusan
pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa
telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan
dan terdakwa dapat dipidana.43
Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahatpenjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini
biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi
hukuman. Sebagai contoh seseorang telah melakukan pembunuhan terhadap orang
lain dikenai pelanggaran Pasal 338 KUHP dan dikenai hukuman 10 tahun. Setelah 10
tahun dia menjalani hukuman, dia kembali melakukan pembunuhan.44
Terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana, seperti contoh di atas,
dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) dan dapat dijadikan dasar
pemberat hukumannya. Berdasarkan ketentuan Pasal 486 KUHP ia dapat diancam
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002), hlm. 104.
43

Rikson, Hukum Pidana, Ne Bis in Idem, http://www. rizkykios. com/Sistem%


20penjatuhan%20pidana%20, diakses tanggal 02 November 2008.
44

hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan
bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun
setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang
dijatuhkan.
Delik pengulangan (recidive) tidak dijumpai dalam aturan umum, tetapi di
Pasal 486-488, mengatur tentang penerapan unsur recidive dalam dalam Aturan
Khusus (Buku II atau Buku III). Bab XXXI KUHP sebagaimana yang diatur dalam
pemidanaan kepada seorang terpidana. Pada prinsipnya batas tenggang waktu
menentukan apakah seseorang dapat dikualifikasi sebagai residivis atau tidak
digantungkan pada jangka waktu 5 tahun antara hukuman yang sedang dijalani dalam
suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini memandang jika dalam
kurun waktu di bawah lima tahun seseorang yang melakukan kejahatan yang sama
kembali melakukannya, maka ia merupakan orang yang harus diwaspadai.
Pengulangan tindak pidana bukan hal yang baru dalam dunia hukum, karena
dimana ada kejahatan di situ pula ada pengulangan kejahatan dan pengulangan
kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat sebagaimana dikemukakan oleh
Bartolus seorang ahli hukum, bahwa Humanum enimest peccare, angilicum, se
emendare, diabolicum perseverare atau kejahatan dan pengulangan kejahatan
dianggap sebagai penerusan dari niat jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik
pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya dengan praktik kejahatan.45

45

Abidin Zainal Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 432.

Pandapat ini dikemukakan untuk menjelaskan betapa pentingnya kedudukan


pengulangan tindak pidana dalam ilmu pengetahuan hukum pidana. Hal ini terbukti
dengan dimasukkannya pengulangan tindak pidana itu ke dalam bagian yang esensi
dalam ajaran hukum pidana di berbagai negara.
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan telah
dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap (in
kracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi.46 Sama seperti dalam
concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana. Namun dalam
recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Seseorang melakukan pengulangan tindak pidana disebabkan oleh beberapa
faktor seperti kurang bekerjanya salah satu subsistem secara efektif dari salah satu
sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia, faktor ekonomi, sosial
dan budaya. Dalam KUHP Indonesia, pengulangan tindak pidana hanya dikenal
dalam bentuk residivisme,47 tanpa batasan jumlah pengulangan.
Penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana pada awalnya berfungsi untuk
memberikan efek jera kepada si pelaku, sehingga si pelaku akan berfikir lagi jika
ingin melakukan perbuatan yang melawan hukum. Namun adakalanya si pelaku
bukannya merasa jera, malah melakukan kejahatan yang sama, padahal dia sudah

Hand Out Hukum Pidana, Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) http://syariah. uinsuka.
ac. id/file_ilmiah/7. %20Recidive. pdf, diakses tanggal 3 November 2008.
46

Diatur di dalam Buku II Bab XXXI Pasal 486 sampai dengan Pasal 488 Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
47

pernah dihukum karena kejahatannya. Kondisi ini disebut dengan pengulangan tindak
pidana (residive).
Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang
disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana
dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 48 Adapun komponen dalam sistem
tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Keempat komponen tersebut harus bekerja dan berproses secara terpadu dalam
peradilan pidana dan diharapkan menjadi tumpuan dalam penegakan hukum dalam
negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum. Namun keberadaannya saat ini
jauh dari harapan sebab apa yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana belum dapat
dicapai. Hal ini diungkapkan oleh Rusli Muhammad yang menyatakan bahwa apa
yang menjadi tujuan utama Sistem Peradilan Pidana sulit dicapai. Melindungi,
mengamankan dan menentramkan masyarakat belum dirasakan sebagian besar
masyarakat. Demikian juga pelaku kriminal yang telah menjalani pidana, diharapkan
kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatannya belum berhasil.49
Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem peradilan pidana terakhir
yang menjalankan sistem pemasyarakatan bagi pelaku tindak pidana. Sistem
pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, maka
prinsip substansial di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Marjono Reksodiputro, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84.
48

Rusli Muhammad, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, dalam Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, No. 1 Volume 6, (Yogyakarta, 1999), hlm. 45
49

Pemasyarakatan mengandung nilai bahwa pada dasarnya sistem pemasyarakatan


diarahkan pada tatanan arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
pemasyarakatan secara terpadu antara pembina, yang dibina dan masyarakat. Hal ini
secara tersirat dapat dilihat pada teks Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 yang
menyebutkan:
Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari
kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga
dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik
dan bertanggung jawab.
Peraturan substansial yang ada di dalam Undang-undang Pemasyarakatan ini
dijadikan landasan berpijak bagi waga binaan pemasyarakatan dan pembina secara
terintegrasi pada satu sistem pemasyarakatan di Indonesia, maka Undang-undang
Pemasyarakatan adalah sebagai kerangka berpijak perilaku yang pantas dan standar
(patokan) untuk bertindak.50
Lembaga pemasyarakatan sebagai ujung tombak pengayoman membuka jalan
bagi perlakukan terhadap narapidana dengan cara sistem pemasyarakatan sebagai
tujuan pidana penjara dan juga menjadi cara untuk membimbing dan membina.51
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), hlm. 2, bahwa patokan-patokan timbul dari pandangan manusia mengenai apa
yang dianggap baik, pandangan untuk bertindak secara pantas ini lazimnya disebut dengan nilai sebagai
proses abstarkasi dari perilaku yang berulang-ulang secara nyata. Patokan-patokan untuk berprilaku
secara pantas mengatur pula kehidupan antar pribadi manusia, norma atau kaidah kesopanan bertujuan
agar manusia mengalami kesenangan, dimana kedamaian berarti antara ketertiban dan ketentraman, atau
keserasian antara keterikatan dengan kebebasan dan itulah tujuan hukum .
50

RA. Koesnoen yang berjasa dalam upaya memperbaiki narapidana dengan filsafat bangsa
yaitu Pancasila, maka orang yang tidak bisa dilupakan adalah Saharjo, yang saat itu menjabat Menteri
kehakiman menerima gelar Doctor Honoris Causa dan dalam orasi ilmiahnya memberi judul Pohon
51

Dalam perlakuan terhadap narapidana, adalah melakukan pembinaan agar narapidana


menjadi manusia yang berguna di masa mendatang. Program-program pembinaan
yang teratur dan disusun secara matang dan yang dilaksanakan dengan penuh
kesadaran serta kelayakan akan menjamin integritas sistem pemasyarakatan.
Apabila sistem pemasyarakatan difahami dari arti katanya dan diperhatikan
pada saat dicetuskannya gagasan tersebut pada tahun 1964, serta dihubungkan dengan
perkembangan pembaharuan pidana penjara secara universal sesudah tahun
enampuluhan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pemasyarakatan merupakan
perubahan yang menyangkut upaya baru pelaksanaan pidana penjara yang
dilaksanakan dengan semangat azas perikemanusiaan dan perlakuan baru terhadap
narapidana menurut pokok-pokok ketentuan standard minimum rules.52 Adanya model
pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari
sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi
Narapidana, terutama narapidana residivis dalam menyongsong kehidupan setelah
selesai menjalani masa hukuman (bebas).
Teori rehabilitasi dan reintegrasi sosial mengembangkan beberapa program
kebijakan pembinaan narapidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU)

Beringin Pengayoman; yang menurut beliau Hukum Pengayoman termasuk juga mengayomi
narapidana.
Mardjaman, Beberapa Catatan
Rancangan Undang-undang tentang Sistem
Kemasyarakatan, makalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: 2005), hlm. 1.
52

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Program kebijakan itu meliputi


asimilasi atau reintergrasi sosial.
Dalam asimilasi dikemas berbagai macam program pembinaan yang salah
satunya adalah pemberian latihan kerja dan produksi kepada narapidana. Asimilasi
sebagai tujuan pemasyarakatan menampakkan ciri utama adalah aktifnya kedua belah
pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan masyarakat.53
Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara, serta mencegah
penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana.
Dalam integrasi sosial dikembangkan dua macam bentuk program pembinaan,
yaitu pembebasan bersyarat dan cuti menjelang bebas.
a. Pembebasan bersyarat adalah pemberian pembebasan dengan beberapa syarat
kepada narapidana yang telah menjalani pidana selama dua pertiga dari masa
pidananya, di mana dua pertiga ini sekurang-kurangnya adalah selama sembilan
bulan.

Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PK. 04. 10 Tahun
1989 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pasal 1: Asimilasi adalah
proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan
masyarakat. Pasal 5 menyatakan maksud Asimilasi adalah memulihkan hubungan narapidana dengan
masyarakat dan memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam
penyelenggaraan pemasyarakatan. Pasal 6 menyebutkan tujuan Asimilasi adalah membangkitkan
motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan.
53

Asimilasi terbagi dua yaitu Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan, khususnya menerima
kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi keluar, mempunyai
persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk tahap III dari proses
persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah: bekerja pada pihak ketiga, baik
instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri.

b. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah
menjalani dua pertiga masa pidana, di mana masa dua pertiga itu sekurangkurangnya sembilan bulan.
Seluruh program pembinaan bagi narapidana bertujuan agar bekas narapidana
tidak mengulangi kembali perbuatan jahatnya dan tidak lagi menjadi warga binaan
pemasyarakatan. Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi Lembaga
Pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan dalam upaya mengendalikan terjadinya
residivis, karena lembaga pemasyarakatan selalu mendapat hambatan dan tantangan
dalam mencapai tujuan pembinaan narapidana.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka peneliti ingin
mengangkatnya sebagai topik tesis yang berjudul Bentuk Pembinaan Residivis
Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Siborongborong.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut
1. Bagaimanakah penyebab terjadinya tindak pidana residivis dan pengaturannya
dalam sistem hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimanakah bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?

3. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan Upaya-upaya apakah yang dilakukan
untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?

C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan seperti disebutkan di atas, adapun tujuan
penulisan ini adalah:
1. Untuk

mengetahui

penyebab

terjadinya

tindak

pidana

residivis

dan

pengaturannya dalam sistem hukum pidana di Indonesia


2. untuk mengetahui bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.
3. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang menghambat dan Upaya-upaya yang
dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan
residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis:
1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan hukum pidana khususnya mengenai bagaimana
cara melakukan pembinaan yang efektif bagi narapidana sebagai realisasi
konsepsi sistem pemasyarakatan untuk mencegah meningkatnya residivis.

2. Secara praktis penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi aparat penegak
hukum dalam sistem peradilan dan juga pihak Lembaga Pemasyarakatan dan
pemerintah serta pihak terkait lainnya guna penyempurnaan dalam membina
narapidana di masa yang akan datang.

E.

Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan Universitas
Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang masalah Pola Pembinaan
Residivis Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II B Siborongborong belum pernah dilakukan dalam masalah yang sama,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang benar-benar sama
dengan masalah yang akan diteliti jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Dengan demikian
keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.

F.

Kerangka Teoritis Dan Konsepsi


1. Kerangka Teoritis
Untuk mendukung pentingnya suatu penelitian diperlukan adanya kerangka
teoritis sebagaimana yang dikemukakan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk

memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah disertai
dengan pemikiran teoritis.54
Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia, dihukumnya seseorang
adalah berdasarkan perbuatan yang salah yang dilakukannya, dan melanggar UndangUndang sehingga yang menjadi fokus adalah pada perbuatan salah atau tindakan
pidana yang telah dilakukan pelaku.55 Artinya bahwa perbuatan berperan besar dan
merupakan syarat mutlak yang harus ada untuk adanya hukumnya (punishment)
Dijatuhkannya pidana pada seseorang diperlukan dua syarat yaitu perbuatan itu
bersifat melawan hukum dan dapat dicela.56
Berbicara masalah pembinaan narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan
tentang pidana, pemidanaan dan pembenaran pidana. Mengenai pengertian pidana
menurut beberapa pendapat ahli hukum, seperti:
Muladi dan Barda Nawawi Arief yang mengutip pendapat Alf Ross bahwa
pidana merupakan reaksi sosial yang:
a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum
b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan
dengan tertib hukum yang dilanggar.

54

Ronny H. Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia, 1982) hlm. 37

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1992) , hlm. 6.
55

D. Schaffmeister, et al, Hukum Pidana, Editor Penerjemah J. E. Sahetapi, (Yogyakarta:


Liberty, 1995), hlm. 27.
56

c.

Mengandung penderitaan atau paling tidak konsekuensi lain yang tidak


menyenangkan.

d.

Menyatakan pencelaan terhadap si pelanggar.57


Selanjutnya Muladi dan Barda Nawawi berkesimpulan bahwa:

a.

Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau


nestapa atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan.

b.

Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang).

c.

Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.58
Mengenai teori pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga

golongan besar yaitu:


a.

Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldigns theorien)

b.

Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)

c.

Teori menggabungkan (verenigings teorien).59


Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai teori-teori

pemidanaan maka dibawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tesebut 1)
Teori absolut atau teori pembalasan (Retributive /Vergeldings Teorrien)

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 1992), hlm. 4.
57

58

Ibid.

59

E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Jakarta: Universitas Jakarta, 1958), hlm. 157.

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah


melakukan suatu kejahatan atau tindakan pidana (quia peccatum est) dan pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan. Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori
pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa
hukuman itu adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan.
Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu
bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan.
Jadi fungsi pidana di sini adalah pembalasan bagi orang yang melakukan
kejahatan dan untuk memuaskan tuntutan keadilan,60 sehingga keberadaan
pemidanaan itu sendiri tergantung pada ada tidaknya kejahatan
2) Teori relatif atau teori tujuan (Utilitarian/ Doel Theorieen)
Menurut teori ini pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut
dari keadilan. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai nilai tetapi hanya sebagai
sarana. untuk melindungi kepentingan masyarakat dan mengurangi frekuensi
kejahatan.
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
edisi Kedua Cetakan ke 2: 1998), hlm. 11. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolute ini terlihat dengan
jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya Philosophy of Law bahwa pidana tidak
pernah dilaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik
bagi si pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hlm. harus dikenakan hanya karena
orang yang bersangkutan telah melakukan kejahatan. Bahwa walaupun seluruh anggota masyarakat
sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri (membubarkan masyarakatnya) pembunuh terakhir yang
masih berada di dalam penjara harus dipidana mati sebelum resolusi/keputusan pembubaran
masyarakat itu dilaksanakan. Hlm. ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima
ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap pada anggota masyarakat
karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian
dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum.
60

Karena tujuannya yang bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori

tujuan (utilitarian theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah
membuat kejahatan (quia peccatum est) tetapi supaya orang itu jangan melakukan
kejahatan lagi (nepeccetur).61 jadi tujuan pidana menurut relatif adalah untuk
mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu dengan kata lain
pidana yang dijatuhkan kepada sipelaku kejahatan bukanlah untuk membalas
kejahatanya, melainkan untuk memelihara ketertiban umum.
Dalam ilmu pengetahuan pidana, teori relatif ini dapat dibagi 2 (dua), yakni:
a)

Prevensi umum (generale preventie); 62


Pada intinya, prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana adalah untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat dari gangguan penjahat. Dengan
memidana pelaku kejahatan, diharapkan anggota masyarakat lainnya tidak akan
melakukan tindak pidana.

b)

Prevensi khusus (speciale preventie);


Pada intinya prevensi ini menekankan bahwa tujuan pidana itu dimaksudkan agar
terpidana jangan melakukan atau mengulangi perbuatannya lagi dalam hal ini
pidana itu berfungsi untuk mendidik dan memperbaiki terpidana agar menjadi
anggota masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan
martabatnya.63
3) Teori Gabungan
Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas kekesalan,
penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dengan mewujudkan
ketertiban.64 Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan
61

Ibid , hlm. 16

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 76.
62

63

Ibid

64

Ibid.

perlindungan terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar


hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana
mengandung hal-hal lain yaitu bahwa pidana sebagai sesuatu yang akan
membawa kerukunan, dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk
menjadikan orang dapat diterima kembali di masyarakat.65
Menurut H. L. Packer tujuan pemidanaan adalah pemidanaan yang untuk
mencegah, menghentikan dan mengendalikan kejahatan yang menurut rumusan
adalah: 66
a. Untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki,
atau perbuatan yang salah (the prevention of crime or undesired conduct or
offending conduct).
b. Untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar
(the deserved infliction of suffering on evil doers / retribution for perceived
wrong doing).
Jadi menurut rumusan di atas, pemidanaan dijatuhkan kepada seseorang
sebagai penjeraan kepadanya karena ia telah melakukan suatu perbuatan salah, juga
sebagai penderitaan untuk mencegah dilakukannya kembali kejahatan untuk kedua-

Oemar Seno Adji, Hukum Pidana (Jakarta: Erlangga, 1980) hlm. 14. Van Bemmelen
menyatakan pidana bertujuan membalas kejahatan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud
mengamankan dan memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan
untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat
65

66

Ibid, hlm. 6.

duanya.67 Kedua pemikiran Packer ini didasari oleh 3 teori dari pemidanaan yang telah
disebut di atas.
Sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsep
kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala
usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan
yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan
menggunakan sanksi pidana, dipadukan dengan usaha yang bersifat non penal
Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi kebijakan sosial atau pembangunan
nasional. Tujuan utama usaha-usaha non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi
sosial atau pembangunan nasional.
Pertimbangan itu mengarah pada pilihan yang tersedia yaitu pemakaian sarana
penal dan juga sarana non penal dengan mengingat bahwa hukum pidana itu adalah
suatu sistem yang terbuka (open system) yang dalam bekerja memberikan peluang
bagi campur tangan lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia
pada umumnya.68 Seperti bidang ekonomi, politik, pendidikan serta subsistem pada
sistem peradilan itu sendiri.
Hukum adalah suatu gejala sosial-budaya yang berfungsi untuk menerapkan
kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam
Roger Hood, Research on the Effectivenes of Punishment and Treatments. Collection Studies
in Crimnological Research, Vol I, 1997 p.74 yang dikutip dari Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit.
hlm. 102.
67

La Patra menggambarkan inter face (interaksi) inter koneksi dan inter dependensi) system
peradilan pidana dengan lingkungannya ini dalam peringkat-peringkat level sebagai berikut: peringkat
1. Society , Peringkat 2, Economics, Technology, Education, Politiks, Peringkat 3, Subsystems Of
Criminal justice system.
68

masyarakat.69 Untuk melakukan penerapan tersebut diperlukan adanya perangkat


undang-undang yang dijadikan sebagai landasan dalam penerapan kaidah-kaidah
tersebut, misalnya Undang-undang pemasyarakatan yang memberikan dasar dan
landasan terhadap pembinaan warga binaan pemasyarakat yang dilakukan oleh
petugas pemasyarakatan.
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menyatakan
bahwa sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk warga
binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Sistem
pemasyarakatan berfungsi menyiapkan warga binaan pemasyarakatan agar dapat
berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai
anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.70
Pentingnya pembinaan narapidana di lembaga pemasyarakatan terutama
sebagai ujung tombak pelaksanaan asas pengayoman melalui pendidikan, rehabilitasi
dan reintegrasi bertujuan untuk mengembalikan warga binaan pemasyarakatan sebagai
warga yang baik. Juga untuk melindungi masyarakat terhadap kemungkinan
diulanginya tindak pidana oleh warga binaan pemasyararakatan dan yang tidak

69

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),

hlm. 9.
70

Lihat, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka dalam kerangka
teori ini dipaparkan tentang sistem peradilan pidana, tujuan pemidanaan dan teori
pemidanaan serta sistem pemasyarakatan.
Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan
sistem pemasyarakatan.
Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi lagi perbuatan oleh
narapidana, melainkan juga oleh orang yang tersesat diayomi dengan
memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam
masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah
tindakan balas dendam dari negara...tobat tidak dapat dicapai dengan
penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi
pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan .. negara telah
mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan
mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap
orang terpidana itu dan masyarakat.71
Pengetahuan tentang apakah seorang bersalah telah melakukan tindak pidana
sehingga harus menjalani suatu jenis pidana, merupakan cara untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub
sistem di dalam criminal justice system guna untuk menanggulangi meningkatnya
kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Adapun
tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kejahatan yang tejadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan pihak yang bersalah dipidana.

Sahardjo, Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3
Juli 1963,
71

c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi


lagi kejahatannya.72

2. Konsepsi
Untuk dapat mengambarkan rasionalitas suatu kajian ilmiah, maka cakupan
kerangka pemikiran harus ditentukan secara tegas dan jelas. Beberapa istilah yang
berhubungan dengan judul penelitian, yaitu:
a. Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan kembali
perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana
dan menjalani penghukumannya.73
b. Yang dimaksud narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.74
c. Yang dimaksud dengan lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.75
d. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan

warga

binaan

pemasyarakatan

berdasarkan

Pancasila

yang

dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang dibina dan masyarakat, untuk

Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Krimonologi) Universitas
Indonesia, 1997), hlm. 85.
72

Gerson W Bawengan, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan
Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramitha,1979), hlm. 70.
73

74

Lihat Pasal 1 angka 7 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

75

Ibid, Pasal 1 angka 3.

meningkatkan kualitas warga binaan pemasyarakatan agar menyadari kesalahan,


memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima
kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan
dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.76
e.

Yang dimaksud dengan pemidanaan adalah reaksi atas delik dan ini berwujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.77

f.

Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan


Pemasyarakatan berdasarkan sistem kelembagaan dan cara pembinaan yang
merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.78

g.

Penanggulangan adalah upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal yang


lebih

menitiberatkan

pada

sifat

represive

(penindakan/

pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal


lebih menitik beratkan sifat preventif (pencegahan/penangkalan/ pengendalian)
sebelum kejahatan terjadi.79

G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian

76

Ibid, Pasal 1 angka 2.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: PT Eresco Cet ke


3, 1981), hlm. 1.
77

78

Lihat Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang, tanggal 16-18 September 1991, hlm.
79

2.

Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang
bersifat deksriptif analisis dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi
terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi
kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa
secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.

2. Sumber Data
Sumber data dalam pengumpulan data ini dipergunakan cara penelitian yuridis
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi:80
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Batang tubuh UUD1945 TAP MPR
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, KUH Pidana, PP
No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan
Cuti Bersyarat.
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafiko Persada, Cet Kelima, 2001), hlm. 14.
80

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai


hukum primer, seperti rancangan Undang-undang Pemasyarakatan, Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal ilmiah, majalah,
surat kabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun
menunjang data penelitian.81
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa:
a. Penelitian kepustakaan, yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan
topik bahasan dalam penelitian berupa peraturan-peraturan hukum, buku-buku
teks, artikel, dan jurnal serta dokumen lain yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti.
b. Penelitian lapangan yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber dari
narapidana, mantan narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan Kepala
Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Siborongborong dan masyarakat, pendapatpendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam

Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 195, dan Soerjono Soekanto, et.al., Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
81

bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan
teoritis.

4. Analisa Data
Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan
dianalisa secara kualitatif, kemudian diolah dengan solusi dari permasalahan dalam
penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan peraturan perundangundangan dengan melakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum
yang terkait dengan tata cara pembinaan narapidana dan mengumpulkan teori-teori
yang ada terkait dengan judul penelitian. Dengan demikian kegiatan analisis ini
diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan
penelitian yang benar dan akurat.
Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berfikir yang
bersifat induktif. Dengan metode induktif diharapkan akan diperoleh jawaban
permasalahan. Cara berpikir deduktif akan digunakan untuk menggambarkan bentukbentuk pembinaan terhadap narapidana residivis.

BAB II
PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN
PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong
Lembaga

Pemasyarakatan

Siborongborong

Klas

IIB

Siborongborong

merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan untuk dididik dan
dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lembaga
pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong berdiri sejak Tahun 1992.
Kondisi bangunan cukup baik, bersih, nyaman dan sejuk karena terisolir/ jauh
dari kota atau keramaian. Namun melihat kondisi sekarang, di LP tersebut perlu
dibuat pembatasan area agar pengawasan para napi dan tahanan bisa lebih diperketat
agar terhindar dari peredaran narkoba yang sengaja didatangkan dari luar dengan
alasan menjenguk atau bertamu kepada para Napi.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong merupakan salah satu
lapas terbaik di wilayah Sumatera Utara dengan pelaksanaan program Bulan Tertib
Pemasyarakatan (Buterpas) yang selama ini dijalankan. Hal ini terbukti dengan
diterimanya Penghargaan Juara III Nasional Lapas Terbaik di Indonesia oleh Menteri
Hukum dan Ham. penghargaan ini diberikan kepada UPT Pemasyarakatan yang telah
sungguh-sungguh melaksanakan program Buterpas yang dicanangkan oleh Menteri
Hukum dan HAM pada tanggal 14 Februari 2008 di Rumah Tahanan Negara (Rutan)
Salemba Jakarta. Program ini tidak hanya berlaku satu bulan saja, tetapi berkelanjutan

dan selalu direvisi secara terus menerus. Pemberian penghargaan seperti ini akan terus
dilakukan pada momen-momen penting.
Dikatakan, sekarang ini keluar masuk pengunjung ke LP Siborongborong
dilakukan secara ketat, bahkan tamu yang datang tidak diperbolehkan memberikan
uang secara langsung. Jika ada pemberian uang kepada napi atau tahanan harus
dilakukan dengan penukaran kupon yang sudah disediakan. Hal ini menjaga jika napi
atau tahanan dapat melarikan diri, tidak dapat membelanjakan kupon tersebut.
Penghuni LP Siborongborong pada Tahun 2008 berjumlah 203 orang, terdiri dari 165
napi dan 38 tahanan. 34% di antaranya terlibat kasus Narkoba yang didominasi
narapidana pindahan dari Rutan Kelas I Medan, Lapas Klas I Medan, Lapas Klas IIA
Binjai, Lapas Klas IIB Tebing Tinggi, Lapas Klas IIA Siantar, Lapas Klas IIA Rantau
Prapat dan Lapas Klas IIA Sibolga.
Tabel 1 Penghuni LP Siborongborong
No Kapasitas
1

150

Narapidana
165

Tahanan

Jumlah

38

203

Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong 82


Selanjutnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh tahanan maupun narapidana
dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

82 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

Tabel 2 Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008


No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Jenis Kejahatan

Jumlah

Narkotika
73
Pencurian
35
Pembunuhan
9
Penganiayaan
19
Pemerasan
22
Penggelapan
7
Penipuan
2
Terhadap Kamtib
1
Perampokan
23
Dan lain-lain
14
Jumlah
203
Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong83
Lapas Klas IIB Siborong-borong dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga
Pemasyarakatan (Kalapas) yang saat ini dijabat Sardiaman Purba, Bc.IP, SH. Adapun
Stuktur organisasi Lapas Klas IIB Siborong-borong dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:

83 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

KALAPAS

KP LP
SEKSI
PETUGAS

SUB BAGIAN
TATA USAHA

KEPEGAWAIAN

KAMTIB

NARAPIDANA /

PENGAMANAN

URUSAN

SEKSI ADMIN

BIMBINGAN

URUSAN
UMUM

SUB SEKSI
KEGIATAN

SUB SEKSI
REGISTRA
SI

SUB SEKSI
PERAWAT

SUB SEKSI
KEAMANAN

SUB SEKSI
PELAPORAN DAN
TATA TERTIB

DAN

Skema 1 Struktur Organisasi LAPAS KLS II B Siborongborong

30

Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009

B. Pengertian Recidive (Residivis)


Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari Bahasa Perancis yaitu
Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat
diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya
biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya. 84 Atau
apabila Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik
yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh
hakim.85
Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau
residivisme, yaitu:
1.

Pelakunya adalah orang yang sama

2.

Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi
pidana oleh suatu keputusan hakim.

3.

Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebahagian hukuman penjara


yang dijatuhkan terhadapnya atau dibebaskan sama sekali dari hukuman tersebut.

4.

Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hukum
tetap.

5.

Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.

84 Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court?


Australian Institute of Criminology, 1999, hlm. 8
85 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur
Mahasiwa, hlm.233.

Budiono menyatakan bahwa residivisme adalah kecenderungan individu atau


sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah
dihukum karena melakukan perbuatan itu.86
Selanjutnya Recidivism juga diartikan sebagai orang yang telah menjalankan
kejahatan kembali. Sedangkan recidivis adalah orang yang pernah melakukan suatu
kejahatan yang sama.87

C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak Pidana / Recidivis 1.


Stigmatisasi Masyarakat
Dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma
atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang,
dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat
yaitu positip dan negative. Akibat positip dari adanya hal tersebut selalu terjadi
perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah
kreatipitas

manusia

untuk

mengatasinya,

sedangkan

dampak

negatif

dari

penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan


ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat,
yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa
terganggu atau terancam ketenangannya.

86 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416.
87 Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Lintas Media,
Jakarta, hlm. 215.

Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan


lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi
terhadap individu yang melakukan prilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi
sebagai mana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya merupakan proses
pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam
proses peradilan bahwa ia adalah seseorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih dalam
lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar
kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang jahat
dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang
bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya. 88
Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat
terhadap mantan narapidana, dimana dikwatirkan akan mempengaruhi orang lain
untuk melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh
Kepala Desa Pasar Siborongborong-Tapanuli Utara : secara pribadi masih ada rasa
khawatir terhadap mantan narapidana, namun walaupun demikian kita sebagai kepala
desa ada melakukan pendekatan secara bathin dan kekeluargaan, walaupun di dalam
hati ada rasa khawatir, kwatirnya bukan apa-apa, takut nantinya mempengaruhi yang
lainnya. 89

88 Didin Sudirman Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan, Pusat Pengkajian


dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok,
2006 hal 52.
89 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Pasar Siborongborong Tapanuli Utara.

Dengan adanya kekhwatiran tersebut kemudian secara tidak langsung


berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat
yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan
mantan narapidana, sedangkan permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan
mereka dan rata-rata setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas
murni atau pun yang masih dalam bimbingan Balai pemasyarakatan (BAPAS) tidak
mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di
dalam LAPAS tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari
pekerjaan di luar LAPAS.
Sedangkan dari hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas
pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian (keterampilan kerja)namun
itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai
menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) sendiri
belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya
sendiri dan hal ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan
narapidana ditengah-tengah masyarakat masih dianggap jahat.
Di sisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan
keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran ke bursa kerja ataupun
pemberian modal sehingga narapidana ataupun mantan narapidana tidak dapat
mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi
narapidana atau mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha

sendiri yang kemudian dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul
persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan
pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang
dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi
menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana
terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :
a.Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan
(primary deviation) seperti melempari rumah tetangganya dengan batu.
b.Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut menjadi
marah
c.Anak muda tersebut melakukan reaksi sosial(primary deviation) dengan
melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman.
d.Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak
tersebut.
e.Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih
serius, ia melakukan pencurian toko(masih primary deviation).
f.Terjadi suatu reaksi formal, anak muda tersebut diadili sebagai Juvenile
Delinquency di pengadilan.

g.Anak muda itu kemudian di beri label delinquency (nakal /jahat) oleh
pengadilan dan bad (buruk/jelek) oleh tetangganya, teman- temannya dan
oleh orang lain.
h.Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency dan
bergabung dengan anak-anak muda tidak baik
i.. Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius (Secondary
deviation), seperti merampok toko bersama anggota geng lainnya
j.Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan
kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan menempuh jalan hidup
yang sepenuhnya menyimpang. 90
Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer
dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap
dan ditahan, terjadilah pemberian cap/ label terhadap anak muda tersebut (terjadilah
stigmatisasi terhadap yang bersangkutan), yang kemudian anak muda tersebut
dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya
dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan
berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label/ cap yang sama.
Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya
stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat

90 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hal 101

timbulnya perilaku-perilaku kriminal yang sekunder yang seringkali sulit diatasi


seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.

2. Dampak dari Prisonisasi


Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi
bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses
terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku
dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh
Sahardjo pada tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa
Negara tidak berhak memnbuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan
dipenjara, asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa
tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatife,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Poin 53, Implementation The Standard
Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang
berbunyi ; Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung
berbelok kearah yang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang
merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni. 91
Sehingga dari sini dapat di jelaskan bahwa ajaran-ajaran sosiologis mengenai
masyarakat lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) telah menunjukkan bahwa Lembaga
Pemasyarakatan dengan peraturan-peraturan keamanan maksimum terdapat suatu
91 Didin Sudirman Masalah-masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan Pusat Pengkajian
dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok,
2006

pertumbuhan kehidupan yang menghambat kemungkinan integrasinya narapidana kali


dapat membuat tumbuhnya sifat-sifat kelainan pada narapidana, dengan lebih
memperlihatkan ciri-ciri persamaannya dengan pola-pola penjahat serta ciri-ciri
perbuatan jahatnya.
Terjadinya penyimpangan sendiri didalam masyarakat penjara diakibatkan
oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara,
sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada didalam
penjara tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara.
Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil
atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mencari
pekerjaan, tidak adanya tempat untuk berteduh atau kesejahteraan di dalam Lapas
yang lebih terjamin daripada apabila mereka berada di luar lapas.
Data-data yang terkumpul narapidana Siborongborong yang pernah melakukan
pengulangan tindak pidana dalam lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini:

Tabel 3 Daftar Nama Narapidana Residivis LAPAS Klas II B Siborongborong


No

Nama

No

Re
36/00
g

09/01

Perkara

Ferdinan Siahaan

Pembunuhan

Usman Bangun

Narkotika

10/01

Ratin Tarigan

Narkotika

12/01

Binsar Ginting

Pembunuhan

14/02

Iswandi

18/02

Maniti Simanullang

21/02

Narkotika

Hukuman

10 tahun
07 tahun
07 tahun
06 tahun
05 tahun

Tgl Bebas

15-04-2005 (PB)
17-08-2005 1708-2005 05-012005 12-082005 17-08-

Reg
Sekarang

Hukuman

12/07

06 tahun

79/07

05 tahun

22/06

06 tahun

24/05

06 tahun

25/06

06 tahun

29/06

07 tahun

Penganiayaan

05 tahun

2005 19-07-

Tomi Pasaribu

Pembunuhan

05 tahun

2005 25-12-

21/06

03 tahun

31/02

Samud Tumanggor

Penganiayaan

05 tahun

2005 17-08-

40/08

04 tahun

35/02

Darwin Simbolon

Pemerkosaan

06 tahun

2005 13-04-

52/06

04 tahun

10

43/02

Sahar

Narkotika

08 tahun

2005

61/06

05 tahun

11

23/01

Saragih

Pembunuhan

12 tahun

24/07

10 tahun

12

26/01

Rikson Tambunan

Pembunuhan

11 tahun

26/07

07 tahun

13

27/01

Jainal Sianipar

Pembunuhan

11 tahun

18-09-2006 (PB) 76/06

06 tahun

27-12-2006 (PB)

39

Lanjutan Tabel 3
No No

Nama

Perkara

Hukuman

Tgl Bebas

Reg
14

28/01

15

12/02

16

17/02

17

27/02

18

28/02

Surung Sianipar

12 tahun
Pembunuhan

Radianson Purba Janes


Situmeang Azmi Rizal
Sadrak Marbun James
L. Gaol Pansius

Reg
Sekarang

09 tahun 09

Hukuman

02-03-2006 (PB)

21/08

06 tahun

17-08-2006

27/08

05 tahun

30-08-2006

19/08

05 tahun

29/07

05 tahun

48/08

05 tahun

44/08

06 tahun

Pembunuhan

tahun

Narkotika

06 tahun 09

Pembunuhan

tahun

16-05-2006 23-

Perampokan

07 tahun

05-2006 (PB)

Pembunuhan

08 tahun 06 12-02-2006 (PB)

Narkotika

tahun 08 tahun29-03-2006 17-

26/06

08 tahun

08-2006 08-0205 tahun 01 thn

67/07

05 tahun

2006 13-05-

17/07

05 tahun

2006

03/09

06 tahun

19

32/02

Sianturi Nasarudin

20

42/02

Tanjung Andi Mulia

21

46/02

Asnawi

Narkotika

22

48/02

Jhon Willi Saragih

Narkotika

23

03/03

Damero nainggolan

Narkotika

24

13/06

Pencurian

17-08-2007

28/08

2 tahun 2

25

19/06

Pencurian

04-06-2008

11/ 0 9

tahun

06 bln 01 thn
02 bln

Sumber: Data Primer Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong

40

41

D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia


KUHP tidak ada mengatur tentang pengertian dari pengulangan (recidive)
secara umum. Namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang
mengatur tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan (recidive). Ada dua
kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan (recidive), yaitu:
1.Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu
dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya.
Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu
yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP.
2.Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388,
KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang
dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat (3) KUHP, Pasal 489
ayat (2), Pasal 495 ayat (2) dan Pasal 512 ayat (3).92
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau
menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUH Pidana) Nasional 2000. Di samping itu juga adanya perkembangan
pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan para sarjana berpikir untuk
merumuskan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritikkritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana,
pelaksanaan pidana dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari
penerapan pidana.
Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi
beberapa golongan, yaitu:

92 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002. hlm.. 81.

42

1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam


penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang
dilakukan, yaitu:
a.Pelanggar hukum bukan residivis (mono deliquent/pelanggar satu
kali/first offenders) yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana
dan hanya sekali saja.
b.Residivis yang dibagi lagi menjadi:
1) Penjahat yang akut yaitu meliputi pelanggar hukum yang bukan
residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum
namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh,
atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga
tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata
lain dalam jarak waktu tersebut (misalnya 5 tahun menurut Pasal
486, 487 dan 488 KUHP Indonesia atau 2 tahun menurut pasal 45
KUHP Indonesia)
2) Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah
mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu
singkat di antara masing-masing putusan pidana

43

3)Penjahat berat,

93

yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi

pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi


mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan
kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap bagi mereka.
4)Penjahat sejak umur muda. Tipe ini memulai karirnya dalam
kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan
kenakalan anak.
Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan
rancangan KUH Pidana Nasional yang telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan
telah disosialisasikan sejak bulan Desember Tahun 2000. Konsep KUH Pidana
Nasional tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep Tahun
1971/1972, konsep KUH Pidana 1982/1983, konsep KUH Pidana 1993 dan yang
terakhir konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000.94
Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana
dibedakan atas 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara
lain: a. Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang
melakukan suatu rangkaian kejahatan tanpa diselingi suatu penjatuhan pidana/
condemnation.

93 Friedrich Stumpl dikutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny.
L. Moeljatno, hlm. 161.
94 Mulyana W. Kusumah, Loc. Cit.

44

b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan
yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana
tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu
misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau
sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
2. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:
a.Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan
merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya
b.Habituele recidive, yaitu pengulangan tidak pidana yang dilakukan karena si
pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat
sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya
3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga
dibedakan atas:
a.Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana
yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak
pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dapat dikenakan pemberatan
hukuman.95
b.Recidive khusus yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana
yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak

95 Utrecht E, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Surabaya Tinta Mas, hlm.
200.

45

pidana yang sama (sejenis) maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan


hukuman.96
Sejak Tahun 1972 hal mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pemikiran
para perancang undang-undang. Hal ini terbukti dengan telah diaturnya tujuan
pemidanaan dalam Pasal 2 konsep Tahun 1971/1972, selengkapnya Pasal 2 konsep
Undangundang Hukum Pidana Tahun 1971-1972 menentukan:
(1). Maksud tujuan pemidanaan:
a)Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman
negara, masyarakat dan penduduk;
b)Untuk membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna;
c)Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana
(2).

Pemidanaan

tidak

dimaksudkan

untuk

menderitakan

dan

tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.


Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan pada konsep
KUH Pidana Tahun 1982/1983, Buku I menyatakan bahwa tujuan pemberian pidana
adalah:
1. Pemidanaan bertujuan untuk:
a) Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum

96 Ibid.

46

dari pengayom masyarakat;


b)Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan
orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
c)Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d)Membebaskan rasa bersalah para terpidana.
1. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan
merendahkan martabat manusia.
Dalam konsep rancangan KUH Pidana Nasional Tahun 1991/1992 tujuan
pidana ditentukan sebagai berikut:
(1). Pemidanaan bertujuan untuk:
a)Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum dari pengayom masyarakat;
b)Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup
bernasyarakat;
c)Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
d)Membebaskan rasa bersalah para terpidana.

47

(2).

Pemidanaan

tidak

dimaksudkan untuk

menderitakan

dan

tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.


Dalam konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000 mengenai tujuan
pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, yaitu:
(1).

Pemidanaan bertujuan untuk:


a)Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma
hukum demi pengayom masyarakat;
b)Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadikannya orang yang baik dan berguna;
c)Menyelesaikan

konflik

yang

disebabkan

oleh

tindak

pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam


masyarakat;
d)Membebaskan rasa bersalah para terpidana.
(2).

Pemidanaan

tidak

dimaksudkan

untuk

menderitakan

dan

tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.


Pengulangan (recidive) juga diatur secara umum dalam Buku I (sebagai alasan
pemberatan pidana yang umum). Jadi berbeda dengan KUHP saat ini, yang
mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu
(diatur dalam Buku II dan III). Dikatakan ada pengulangan menurut Konsep (Pasal
23), apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun
sejak :

48

1.

Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;

2.

Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau

3.

Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.


Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 132 KUHP, yaitu maksimumnya
diperberat sepertiga. Salah satu unsur yang menentukan terjadinya kejahatan residive
adalah berdasarkan waktu terjadinya tindak pidana. Batasan yang dipergunakan, asal
surat dakwaan menguraikan suatu tempus delikti yang didasarkan pada perkiraan yang
bersifat fleksibel, yang mengacu pada patokan:
1)sedapat mungkin uraian tempus delikti memuat penegasan waktu yang pasti
yang berisi penjelasan jam, tanggal (hari), bulan dan tahun secara positip dan
mutlak,
2)bila uraian yang seperti itu tidak dapat dipenuhi, terbuka kebolehan untuk
menuturkan uraian tempus delikti yang bersifat perkiraan yang bercorak
dugaan di sekitar bulan dan tahun tertentu tanpa dilengkapi penjelasan jam dan
hari tertentu.
Dimungkinkan membuat uraian tempus delikti yang bersifat luas dalam
bentuk alternatip dengan mempergunakan perkataan atau kira-kira maupun atau di
sekitar tanggal, bulan dan tahun sekian. Asal tetap terpenuhi persyaratan, uraiannya
tetap cermat, jelas dan lengkap.

49

Dasar pemberat pidana di atas adalah terletak pada keadaan jabatan dari
kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri). Adapun rasio pemberatan pidana
pada kejahatan recidive ini terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu:
a. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana.
b.Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena
tindak pidana yang pertama.
c.Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. 97
Apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima)
tahun sejak :
a. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b.Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.98
Namun ketentuan tentang pemberatan pidana ini tidak berlaku untuk anakanak.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat Pasal 45, 46 dan Pasal 47 yang
mengatur penerapan hukum pidana terhadap anak-anak.
Pasal-pasal tersebut antara lain mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan
perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan: (1) memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtua atau walinya, tanpa pidana; (2)

97 Ibid , hlm. 82.


98 Ibid , hlm. 86.

50

memerintahkan yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana; atau (3)
menjatuhkan pidana.
Kedua, jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
Pemerintah, atau badan hukum tertentu untuk dididik, hal tersebut dilakukan paling
lama sampai umur 18 tahun. Ketiga, jika dijatuhi hukuman pidana, maksimum pidana
pokok dikurangi sepertiga; sementara terhadap yang bersalah tidak diberlakukan
hukuman mati atau hukuman seumur hidup.
Para penyusun naskah baru KUHP Nasional sudah berfikir lebih maju dengan
mencantumkan pada bagian khusus jenis-jenis pidana dan tindakan bagi anak dengan
tidak kurang dari 17 aturan, mulai dari pasal 94-a sampai dengan 94-q, dengan aturan
terpenting antara lain sebagai berikut:
Pertama, seorang anak yang melakukan tindak pidana dan belum
berumur 12 tahun, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua,
pemberatan pidana bagi pengulangan tindak pidana tidak berlaku bagi
anak-anak. Ketiga, pidana penjara yang dijatuhkan kepada seorang
anak hanya dapat dilaksanakan dalam penjara yang khusus
diperuntukkan bagi anak. 99
Pasal-pasal yang dirumuskan dalam naskah RUU KUHP Nasional yang baru
tersebut disusun dengan mempertimbangkan, selain aspek-aspek psikologi anak
(seperti emosional, intelektual dan mental), juga aspek-aspek lingkungan sosial yang
mempengaruhi terjadinya tindak pidana oleh anak-anak, serta penyesuaian dengan
perkembangan hukum modern yang menyangkut perlindungan hak-hak anak.

99 Mulyana W. Kusumah, Penegakan Hukum dan Hak-hak Anak, Loc. Cit.

51

BAB III
BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG DIBERLAKUKAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG

A. Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana


Untuk mewujudkan pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan
dibutuhkan berbagai upaya, antara lain program pelatihan bagi petugas dan
narapidana, program asimilasi yang teratur dan. mengandung manfaat tidak saja bagi
narapidana tetapi jugs bagi masyarakat.
1. Program Pelatihan Bagi Petugas dan Narapidana
Untuk mengisi waktu narapidana agar bermanfaat, ditentukan jadwal-jadwal
kegiatan yang dilakukan dari pagi hingga sore harinya setiap hari. Salah satu kegiatan
yang dinilai penting dan manfaatnya besar sekali adalah program pelatihan, baik
kepada petugas pemasyarakatan maupun narapidana.
Sebagai petugas mengikuti program pelatihan merupakan keharusan karena
mereka langsung berhadapan dengan narapidana. Dengan kata lain terampilnya
narapidana dalam bidang pekerjaan tertentu sangat tergantung kepada keterampilan
petugas, oleh karena itu menurut pengakuan petugas, mereka membutuhkan pelatihan
seperti pertukangan, memainkan alat musik, dan senam untuk kesehatan.
Perlunya pelatihan untuk petugas, semata-mata demi memenuhi kebutuhan
narapidana. Selama ini bentuk pelatihan yang diberikan kepada petugas hanya bersifat
insidentil dan tergantung dana proyek. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi

52

Pembinaan, bahwa bentuk pelatihan yang diberikan tidak bersifat rutin, artinya kalau
dana dari proyek ada dan itupun tidak setiap tahun mendapat kesempatan, karena
dibagi secara bergilir untuk seluruh Lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia.
Selanjutnya beliau tnengatakan bahwa pelatihan yang diberikan seperti pelatihan
teknis pembinaan, keamanan, kesempatan, HAM, bahkan HIV.100
Di samping itu sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang mengatakan
pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau
hanya untuk kepentingan jawatan atau kepentingan negara saja, akan tetapi pelatihan
diharapkan bermanfaat sebagai bekal hidup di masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukakan narapidana bahwa program pelatihan
bermanfaat bagi narapidana jika diikuti dengan sungguh-sungguh dalam waktu 3
bulan, dan. sebaliknya menurut narapidana kurang bermanfaat jika tidak tidak
mempunyai

modal

untuk

membuka

usaha

setelah

keluar

dari

lembaga

pemasyarakatan.101 Hal ini menunjukkan bahwa narapidana menginginkan pelatihan


yang benar-benar berguna dan bermanfaat bagi dirinya sebagai bekal bekerja di
masyarakat, namun sering terkendala dengan modal untuk membuka usaha seperti
pertukangan atau yang lainnya.
Program pelatihan keterampilan ini ternyata mendapat respon dari narapidana,
karena narapidana berharap pelatihan torsebut dapat dijadikan bekal bekerja di
masyarakat. Di samping pelatihan keterampilan yang diberikan oleh petugas/pembina
100 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
101 Ibid

53

di dalam lembaga pemasyarakatan, ada juga pelatihan keterampilan yang diberikan


oleh Dinas Sosial maupun organisasi-organisasi sosial yang datang ke lembaga
pemasyarakatan. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi Pembinaan, bahwa pelatihan
yang diberikan kepada narapidana oleh Dinas Sosial berupa kursus pertukangan
dengan jangka waktu 3 (tiga) bulan yang berlangsung di dalam lembaga
pemasyarakatan. Selanjutnya beliau mengemukakan kalau dari organisasi sosial, dan
lain sebagainya, pelatihan yang diberikan berupa kerajinan tangan yang berlangsung 2
(dua) atau 4 (empat) hari dan paling lama 1 (satu) minggu.102
Semua peralatan menjahit, seperti mesin jahit dan alat-alat untuk pelatihan
diberikan oleh Dinas Sosial, dan gurunya juga dibawa oleh Dinas Sosial ke lembaga
pemasyarakatan. Namun hal ini tidak bersifat rutin tetapi isidentil, dalam arti jika dana
proyek dari Dinas Sosial ada, dan itupun secara bergilir untuk seluruh lembaga
pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara.
Biasanya peralatan dan alat-alat kerajinan tangan diberikan oleh Dinas Sosial
ke lembaga pemasyarakatan. Kursus atau pelatihan ini diberikan kepada narapidana
sesuai dengan jumlah narapidana yang diminta oleh Dinas Sosial maupun organisasiorganisasi sosial, misalnya 20 (dua puluh) orang narapidana atau 40 (empat puluh)
orang narapidana.
Menurut Kepala Seksi pembinaan, kalau 40 (empat puluh) orang narapidana
yang dibutuhkan, maka yang diutamakan adalah narapidana yang akan habis masa

102 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

54

pidananya, sehingga kursus atau pelatihan yang diberikannya akan berguna bagi
narapidana untuk kembali ke masyarakat. Dan biasanya peralatan yang digunakan,
diberikan kepada narapidana yang bersangkutan. 103 Dengan demikian akan
bermanfaat bagi narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat. Di samping
itu, pendidikan keterampilan bertujuan antuk membentuk manusia narapidana agar
menjadi manusia mandiri, yakni manusia yang akan mendapatkan lapangan kerja
yang sesuai dengan keterampilan yang mereka peroleh selama di lembaga
pemasyarakatan.104
Pekerjaan itu dapat memotivasi narapidana untuk memper-slapkan dirinya
kelak bekerja, di masyarakat dan pendidikan keterampilan itu harus sesuai dengan
pekerjaan di luar. Sebagaimana dikatakan oleh Daniel Glase :
a. That prison have difficulty Procuring enough work for all of their in mates.
b. That incentives are frequently not opi, imis fi)r motivating immates to pursue the
prison work than curt ui be most useful to them in their past release life;
c. That record of prison work performance are poor; and
d. That relatively small proportion and released prisioners find employment which
utilities their prison training.105

103 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
104 Thaher Abdullah, Pelaksatiaan Pembinaan Keterampilan Narapidana Sebagai
Bekal Reintegrasi Dalam Masyarakat, Makalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I, Cirebon
1984, hal. 1.
105 Daniel Glaser, Prison Work and Subseguet Employment, The Sociology of Punishment and
Corestion, Norman Johnston (edition) John Wiley and Sons, Inc. New York, 1970, hal. 513.

55

Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut :


a. Bahwa penjara kesulitan memperoleh pekerjaan yang cukup untuk semua
penghuni penjara;
b. Pekerjaan insentif sering tidak optimum dilakukan untuk memotivasi penghuni
penjara atau narapidana dalam melaksanakan tugas-tugasnya dipenjara yang
dapat berguna bagi mereka setelah bebas nanti;
c. Penilaian terhadap pekerjaan para narapidana sangat rendah;
d. Relatif kecilnya kesempatan bagi narapidana yang telah bebas untuk mendapatkan
pekerjaan yang sesuai dengan pelatihan yang diberikan di penjara. Memahami
pendapat Daniel Glaser di atas, jelas bahwa bukan program pelatihan saja yang
diperlukan tetapi pekerjaan yang dapat mendukung narapidana agar memiliki
motivasi. Pendapat demikian sejalan dengan prinsip pemasyarakatan yang tidak
selalu melihat kesalahan pelaku, sebagaimana sistem kepenjaraan. Dalam sistem
pemasyarakatan mengandung sifat pembinaan dengan melatih narapidana agar
kelak keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat menerapkan kepandaiannya
sebagai bekal hidup dan tidak lagi melakukan tindak pidana.106
Sehubungan dengan itu adanya kerja sama dengan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) diharapkan dapat membantu untuk menerima dan menyalurkan
tenaga kerja mantan narapidana. Saat ini LSM yang datang berkunjung ke Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, menurut Kepala Seksi Pembinaan adalah

106 C.I. Harsono, Op. cit., 1991, hal. 22.

56

LSM Galatea, yang berkunjung 4 (empat) kali dalam sebulan, yakni setip hari Senin
dan Jumat minggu kedua dan minggu keempat. Kunjungan LSM ini memberikan
ceramah agama, bimbingan tentang narkoba, dan HIV AIDS. LSM ini jugs
menampung mantan narapidana khusus kasus narkoba dan mempekerjakannya di
LSM tersebut.107
Dengan demikian LSM ini bersedia membantu mantan narapidana khususnya
yang terlibat dalam kasus narkoba, karena mantan narapidana tersebut masih dapat
dibina melalui pendekatan secara individu maupun keagamaan.
Untuk itu, program pelatihan tidak sekedar memberikan kesibukan kepada
petugas dan narapidana, tetapi lebih berorientasi pada individualisasi yang
menempatkan narapidana sebagai manusia yang tersesat dan mendapatkan pembinaan
sesuai dengan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Dalam hal ini program pelatihan
setidak-tidaknya dapat mengembalikan rasa percaya diri sehingga narapidana dapat
berintegrasi dengan masyarakat.

2. Asimilasi
Meskipun narapidana kehilangan kemerdekaan selama menjalani hukuman,
narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat. Prinsip ini menghendaki narapidana tidak terisolasi di dalam tembok

107 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

57

penjara serta narapidana harus melakukan kontak dengan masyarakat luar. Asimilasi
ini dijamin oleh UU No. 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j.
Asimilasi108 sebagai tujuan pemasyarakatan, cirri utamanya adalah aktifnya
kedua belah pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan
masyarakat. Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca
kemerdekaan, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana.
Untuk menghilangkan citra buruk lembaga pemasyarakatan dan mencegah penolakan
masyarakat terhadap bekas narapidana, maka perlu diadakan asimilasi kedalam
lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan dari keluarga dan arakat ke dalam
lembaga pemasyarakatan serta kunjungan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan
108 Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor : M, 01-PK04 10/th 1989
Tentang Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang Lepas. Pasal 1 : Asimilasi adalah proses
pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan
masyarakat.
Pasal 5, maksud Asimilasi adalah :
a. Memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat;
b.Memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara
aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan Pasal 6, tujuan
Asimilasi adalah:
a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan
pembinaan.
b. Memberi kesempatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan
ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas
menjalani pidana
c. mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan
pemasyarakatan.
Asimilasi terbagi dua yaitu : Asimilasi kedalam lembaga pemasyarakatan, khususnya
menerima kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi
keluar, mempunyai persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk
tahap III dari. proses persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah : bekeda
pada pihak ketiga, balk instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri, misalnya menjadi
tukang cukur, bengkel, tukang memperbaiki radio, mengikuti pendidikan dan latihan
keterampilan di luar lembaga pemasyarakatan, kerja bersama masyarakat, berolafiraga bersama
masyarakat.

58

dengan memberikan ceramah keagamaan, penyuluhan hukum, maupun berbagai


bentuk keterampilan. Dengan adanya asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan
maka narapidana tidak merasa dirinya terasing dari lingkungan masyarakat.
Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan keluarga yang
berlangsung 2 (dua) kali dalam seminggu pada jam jam tertentu selama lebih kurang
dari 15 menit. Pentingnya arti pertemuan keluarga dengan narapidana tidak bisa
dibantah oleh siapapun karena, pengaruhnya besar sekali dalam memotivasi
narapidana.
Kunjungan keluarga dapat memulihkan rasa percaya diri narapidana sebagai
manusia yang mandiri. Dengan adanya kunjungan tersebut, narapidana tidak merasa
dilupakan oleh keluarganya, dan secara psikologis hal tersebut akan membawa
dampak positif pada diri narapidana. Kurangnya perhatian keluarga dapat
mengakibatkan narapidana frustasi, dan hal itu akan mempersulit pembinaan
narapidana.
Kunjungan keluarga kepada narapidana di lembaga pemasyarakatan
merupakan kegiatan rutin yang berlangsung dua kali dalam satu minggu.
Sebagaimana yang dikemukakan Kepala Seksi Pembinaan, bahwa kunjungan
keluarga berlangsung pada hari Senin dan Kamis, yakni pagi hari dari jam 9.00 Wib
sampai dengan jam 12.00 Wib, dan sore hari dari jam 14.00 sampai dengan jam
16.00 Wib, dan waktu yang diberikan lima belas menit, tetapi bagi keluarga
narapidana yang datang dari luar kota waktu yang diberikan satu jam. Kunjungan ini

59

dimanfaatkan oleh kedua belch pihak untuk saling tukar informasi atau menumpahkan
segala keluh kesah serta dapat melepaskan rasa rindu di antara mereka dan juga
narapidana merasa diperhatikan oleh keluarganya. Pada waktu kegiatan ini, petugas
biasanya memberi kebebasan seluas-luasnya kepada narapidana selama waktu yang
ditentukan. 109
Asimilasi

khususnya

keluar

lembaga

pemasyarakatan

sebagai media

narapidana dengan masyarakat merupakan sisi penting dari pemasyarakatan. Oleh


karenanya asimilasi sangat diperlukan agar narapidana dapat menyesuaikan dari
dengan masyarakat.
Sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa asimilasi keluar
lembaga pemasyarakatan masih terbatas pada pembebasan bersarat dan cuti
menjelang bebas. Sedangkan asimilasi dalam bentuk bekerja di luar lembaga seperti
bekerja pada pihak swasta, belum diberikan karena petugas merasa khawatir melepas
narapidana bekerja ke luar lembaga pemasyarakatan. Kekhawatiran ini wajar
mengingat tanggung jawab petugas terhadap narapidana cukup besar, terlebih lagi
jika terjadi sesuatu terhadap narapidana maka petugas dapat disalahkan.
Berasimilasinya narapidana dengan masyarakat menjadi tolak ukur bagi proses
penerimaan selanjutnya setelah bebas. Asimilasi dengan bentuk cuti, seperti dijamin
undang-undang mempunyai tujuan tertentu, apakah itu untuk mengunjungi keluarga
karena hal-hal tertentu atau untuk memenuh kebutuhan biologis semata.

109 Wawancara dengan Kepala Seksi Peminaan di .Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB
Siborongborong, Maret 2009.

60

Sehubungan dengan hal itu, menurut Kepala Seksi Pembinaan proses asimilasi keluar
Lembaga Pemasyarakatan ini tidak berjalan, hal ini disebabkan petugas merasa
khawatir dengan adanya proses asimilasi ke luar lembaga dapat menyebabkan
narapidana berprilaku tidak baik karena dapat bertemu dengan teman-temannya, dan
juga khawatir narapidana akan hamil sehingga dapat menggangu keamanan dan
ketertiban lembaga.110
Sehubungan dengan program asimilasi ini menurut narapidana perlu adanya
asimilasi ke dalam maupun keluar lembaga pemasyarakatan, karena narapidana dapat
berbaur dengan masyarakat sehingga narapidana merasa tidak canggung lagi apabila
nantinya keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya menurut narapidana
asimilasi ini sangat berguna bagi narapidana karena dengan adanya kunjungan dari
organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti LSM, maupun dari lembaga sosial
lainnya, dapat memberi kegernibiraan bagi narapidana dengan adanya hiburan,
ceramah, dan menga'jarkan berbagai bentuk keterampilan lainnya.111
Dengan demikian narapidana merasa terhibur dan termotivasi untuk berbuat
baik serta berkarya dan timbul rasa percaya diri dalam diri narapidana. Namun
asimilasi ke luar lembaga pemasyarakatan masih terbatas dan terkendala. Terbatas
hanya dalam bentuk cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan
pembebasan bersyarat sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang berlaku.
110 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
111 Wawancara dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

61

Sedangkan bekerja di luar lembaga pemasyarakatan masih terkendala dengan. adanya


kekhawatiran dari pihak lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana maupun
kurangnya kepercayaan masyarakat untuk memerdekakan narapidana. Dalam hal ini
menurut mantan narapidana yang kembali menjadi narapidana, walaupun mereka telah
bebas keluar dari lembaga pemasyarakatan, namun tetap saja masyarakat tidak mau
mempekerjakan mereka (tidak mau menerima mereka bekerja di tempatnya).112
Assimilasi sebagai salah satu cara memperkenalkan narapidana ke
masyarakat, oleh karena itu kepada narapidana yang telah menjalani dua pertiga
masa pidananya diberikan Cuti Menjelang Bebas (CMB). Untuk itu menurut Kepala
Seksi Pembinaan pemberian cuti bagi narapidana harus ada ijin dari Tim Pengamat
Pemasyarakatan (TPP), dan adanya jaminan dari pihak keluarga narapidana serta
lurah setempat dan juga ijin dari BAPAS.113
Dengan

adanya

surat

jaminan

tersebut,

maka

Kepala

Lembaga

Pemasyarakatan baru dapat memberikan surat cuti menjelang bebas (CMB), dan
apabila masa cutinya berakhir maka narapidana dapat melaporkannya ke lembaga
pemasyarakatan terdekat. Asimilasi lebih tertuju kepada narapidana, karena
merekalah yang memanfaatkannya. Asimilasi itu sendiri menjadi jembatan bagi
narapidana bertukar pikiran dengan keluarga. Namun saat pertemuan narapidana

112 Wawancara dengan narapidana Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong,


Maret 2009
113 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

62

dengan keluarga, disitu dapat diketahui apakah ada keharmonisan atau terjadi
keretakan rumah tangga (renggangnya hubungan keluarga dengan narapidana).
Asimilasi sebagai media komunikasi narapidana dengan keluarga, atau
masyarakat dapat menimbulkan masalah barn, seperti adanya ajakan kawan-kawan
kembali kekebiasaan semula, serta tidak adanya pekerjaan. Asimilasi baik ke dalam
maupun ke luar Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana selalu dilihat untung
ruginya. Adanya sikap dan cara berfikir demikian, karena mereka berada di bawah
tekanan berupa tidak adanya kebebasan. Sehubungan dengan ini, asimilasi ke dalam
pemasyarakatan berupa kunjungan-kunjungan keluarga maupun anggota masyarakat
lainnya, sangat dirasakan manfaatnya oleh narapidana.
Selain kunjungan keluarga, asimilasi ke dalam Lembaga. Pemasyarakatan juga
sering dilakukan oleh lembaga pendidikan dan kelompok keagamaan yang ada di
masyarakat. Kunjungan itu dapat berupa aksi bakti sosial, serta penyuluhan hukum.
Maksud dari kunjungan kelompok masyarakat tersebut pada dasarnya adalah untuk
mendekatkan diri kepada narapidana. Kunjungan itu sendiri dipandang sebagai
kesempatan

mendapatkan

bimbingan

rohani

dan

melepaskan

keterasingan.

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kunjungan dari organisasiorganisasi sosial dan LSM juga merupakan bentuk asimilasi ke dalam lembaga
pemasyarakatan, di samping memberikan ceramah juga pelatihan keterampilan.
Perlunya asimilasi bagi narapidana sebelum kembali ke masyarakat, hal itu
bermanfaat untuk mencegah kecenderungan pemberian cap penjahat dari masyarakat

63

dan ditolaknya narapidana di masyarakat. Adanya pemberi cap dari masyarakat


tersebut merupakan beban tersendiri bagi narapidana. Dikatakan demikian karena
menurut

prinsip

pemasyarakatan,

terpidana

dihukum

dalam

penjara

tidak

dimaksudkan membuat mereka lebih jahat, namun sebaliknya mendidik agar mereka
menjadi manusia-manusia yang baik. Namun begitu mereka meninggalkan lembaga,
masyarakat menolak kehadiran dan cap sebagai penjahat tetap disandang oleh bekas
narapidana tersebut.
Adanya penolakan sosial, pengasingan dan pengucilan begitu memojokkan
mereka sehingga mengakibatkan timbulnya kembali penjahat kambuhan, hal ini
seperti dikatakan Ronny Nitibaskara :
Orang-orang ini selalu dibayang-bayangi dan dicurigai secara berlebihan oleh
Penegak Hukum maupun masyarakat terpaksa memilih "comeback" bergelut
dalam dunia kriminalitas yang sesungguhnya belum tentu mereka senangi.
Kontrol sosial yang tidak pada tempatnya itu sangat mempengaruhi
keberhasilan mereka mengisolirnya dari masyarakat umum. Terjadinya proses
stigmatisasi yang menempatkan individu sebagai tidak dapat diterima atau
sebagai orang yang berkelakuan salah.114
Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan proses pemasyarakatan
narapidana tidak sebatas dinding tembok penjara saja. Sebagaimana dikatakan Loebby
Loqman, bahwa proses pembinaan narapidana :
Tidak berhenti pada saat narapidana tersebut keluar dari Lembaga
pemasyarakatan setelah menjalani pidananya, akan tetapi masih berlanjut di
dalam masyarakat di mana bekas narapidana tersebut akan menerimanya, suatu
Stigma yang sampai sekarang sulit untuk dihilangkan adalah suatu

114 Ronny Nitibaskara, Beberapa Faktor Penghambat Reintegrasi Sosial Bekas Narapidana
di Indonesia, Makalah (Jakarta : Fakultas Hukum U1, 1988), hal. 3

64

pendapat bahwa seseorang yang pernah dipidana, merupakan orang yang


harus dijauhkan, masih terdapat di dalam masyarakat kita, dengan bukti
dimintainya Surat Kelakuan Baik bagi mereka yang melamar, pekerjaan,
kalau jalan ini sudah ditutup keberhasilan pembinaan dalam Lembaga
Pemasyarakatan yang pernah melakukan kejahatan akan menonjol. 115
Dengan demikian, sepatutnya masyarakat tidak menjadi hakim terakhir, karena
lembaga pemasyarakatan fungsinya bukan hanya sebagai tempat menjalani pidana
tetapi juga tempat pembinaan. Di samping itu, ada kelemahan pada UndangUndang
Hukum Pidana yang tidak menegaskan bahwa bila pelaku kejahatan telah menjalani
seluruh masa pidananya, maka tidak boleh ada lagi stigma atau penolakan serta
prasangka buruk. Stigma penjahat dalam kenyataannya tidak ditujukan kepada
orangnya saja, tapi juga kepada produk barang-barang basil kerja bekas narapidanapun
cenderung menjadi sasaran.
Kecenderungan seperti ini, menunjukkan semakin sempitnya kesempatan
bekas narapidana memperbaiki dirinya. Padahal pendidikan keterampilan yang
dijalani narapidana di Lembaga Pemasyarakatan, belum tentu sesuai dengan jenis
pekerjaan yang mereka jalani ketika keluar nanti. Di samping itu pula pekerjaan
semacam itu hanya dibutuhkan untuk lembaga, serta salah satu cara mencegah
rutinitas penjara.
Penilaian keberhasilan rehabilitasi tidak lagi ada pada narapidana serta
lembaga pemasyarakatan, tapi juga masyarakat. Di sini stigma atas pidana penjara
merupakan masalah utama, oleh karena itu, selesai menjalani pidana penjara, orang-

115 Loebby Loqman, 0p. cif., hal. 7.

65

orang yang dijatuhi pidana penjara berupaya untuk menyembunyikan identitas sosial
mereka, sebagaimana dikatakan D. Schafmeister, di mana setiap narapidana
merasakan kebutuhan untuk, menyembunyikan identitas mereka atau untuk tetap
anonim/tidak dikenal. Kebanyakan dari mereka takut, untuk dikenal di dalam
lingkungan sosial atau lingkungan masyarakat, sebagai pelanggan penjara yang oleh
setiap orang akan selalu ditunjuk-tunjuk. 116 Dari pendapat ini, dapat dikatakan bahwa
kecenderungan penolakan terhadap bekas narapidana hingga sekarang sangat sulit
dihilangkan. Berbeda halnya dengan perlakuan terhadap pelaku carok di masyarakat
Madura.
Carok itu sendiri diartikan sebagai suatu tindakan atau upaya pembunuhan
(karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam
pada umumnya celurit yang dilakukan oleh orang laki-laki (tidak pernah
perempuan) terhadap laki-laki lain yang dianggap telah melakukan
pelecehan terhadap harga diri (balk secara individu sebagai suami maupun .
secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga) terutama berkaitan
dengan masalah kehormatan istri hingga membuat malo.117
Ada kecenderungan yang tinggi bahwa bekas narapidana itu ditolak kembali ke
masyarakat. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana apapun itu di mata masyarakat, maka
pelakunya setelah selesai menjalani pidana cenderung tidak diterima. Di sini ada
perbedaan yang mencolok, walaupun nyata-nyata bahwa pelaku telah melakukan suatu
pembelaan harga diri dan dinyatakan bersalah dari segi hukum pidana sebagai
tindakan membela kehormatan.
116 D. Schafrneister, Pidana badan singkat sebagai pidana diwaktu Luang,
Penerjemah: Tristan Pascal Moelyono, Editor, Agustinus Pohan, Robertus BP, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1991), hal 67-68
117 A. Latief Wiyata, Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta
LKIS, 2002), halaman 184.

66

Ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pembinaan umum narapidana.


Pembinaan umum terhadap narapidana dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: a.
Tahap pertama (dimulai sejak diterima dan didaftar hingga sekurang-kurangnya 1/2
(setengah) dari sisa pidana yang harus dijalani.
1)Pada tahap ini narapidana berada dalam pembinaan dengan tingkat keamanan
maksimum dan pembinaannya dilaksanakan dalam LAPAS
2)Pembinaan yang dilaksanakan:
a) Pendidikan disiplin dapat berwujud mematuhi semua jadwal kegiatan
yang ditentukan oleh LAPAS secara umum maupun dalam
pelaksanaan program pembinaan, di samping itu diberikan pula
penyuluhan hukum
b) Pendidikan umum-pedidikan formal yang antara lain dapat berwujud:
(1)Pemberantasan 3 (tiga) buta, yaitu buta aksara, buta baca dan
serta buta angka.
(2)Pendidikan utama (SD, SMP, SLTA).
(3)Kursus-kursus atau kuliah tertulis.
c) Pendidikan agama- kerohanian-mental spiritual yang antara lain dapat
berwujud :
(1)Pelajaran atau ceramah agama.
(2)Sholat berjamaah, kebaktian.
(3)Budi pekerti dan kepribadian.

67

(4) Penataran.
d) Latihan keterampilan kerja yang antara lain dapat berwujud:
(1) Kursus montir
(2) Kursus pertukangan kayu
(3) Kursus las karbit dan las listrik
(4) Kursus lain-lainnya
e) Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
f) Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat berwujud:
(1) Kujungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua)
kali dalam 1 (satu) minggu selama 30 menit
(2) Kunjungan

badan-badan

sosial,

perkumpulan

olah

raga,

perkumpulan kesenian.
(3) Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu
g) Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
h) Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat bewujud:
(1) Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua)
kali seminggu selama 30 (tiga puluh) menit
(2) Kunjungan

badan-badan

sosial,

perkumpulan

perkumpulan kesenian.
(3) Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu
i)

Rekreasi yang antara lain dapat berwujud:

olah

raga,

68

(1) Olah raga


(2) Kesenian
(3) Membaca buku dan lain-lain
b. Tahap kedua
Pada tahap ini narapidana berada dalam pembinaan dengan tingkat
keamanan medium yang pembinaannya dapat dilaksanakan baik di dalam maupun
di luar LAPAS.
1. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam LAPAS berwujud sama dengan yang
dilaksanakan di dalam LAPAS pada tahap pertama dan dapat bersifat
pengulangan, penyegaran atau peningkatan dengan ketentuan:
a.Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, hadai taulan 3 (tiga) kali dalam
satu minggu, waktunya 30 (tiga puluh) menit
b.Kunjungan badan-badan sosial, perkmplan olah raga, perkumpulan kesenian
sewaktu-waktu.
c.Mengirim surat ditingkatkan menjadi 2 (dua) kali dalam 1 (satu) bulan.
2. Pembinaan yang dilaksanakan di luar LAPAS dapat berwujud:
a.Belajar di tempat-tempat latihan kerja milik LAPAS (pertanian, perladangan
peternakan, perikanan dan lain sebagainya).
b.Bekerja (produktif) di tempat-tempat pekerjaan milik LAPAS (pertanian,
perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya).

69

c.Program-program pembinaan tersebut dilaksanakan dengan pengawalan dan


kembali ke LAPAS setelah selesai.
d.Cuti 2 x 24 jam tidak dihitung waktu pulang pergi, berpakaian preman,
tanpa pengawalan, dilaksanakan setelah tenggang waktu 2 (dua) bulan.
e.Cuti berikutnya dilaksanakan masing-masing selang tenggang waktu 3 (tiga)
bulan.
c. Tahap ketiga
Tahap petiga dimulai sejak berakhirnya tahap kedua hingga 2/3 (dua pertiga)
dari sisa pidana yang harus dijalani. Pada tahap ini narapidana berada dalam
pembinaan dengan tingkat pra minimum yang pembinaannya dapat dilaksanakan di
dalam maupun di luar LAPAS:
1. Pembinaan yang dilaksanakan di dalam LAPAS berwujud sama dengan yang di
dalam LAPAS pada tahap pertama dan dapat bersifat pengulangan,
penyegaran atau peningkatan dengan ketentuan:
a.Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, hadai taulan 3 (tiga) kali dalam
satu minggu, hanya waktunya ditingkatkan 45 (empat puluh lima) menit
b.Kunjungan badan-badan sosial, perkmplan olah raga, perkumpulan kesenian
sewaktu-waktu sebagaimana pada tahap pertama.
c.Mengirim surat ditingkatkan menjadi 3 (tiga) kali dalam 1 (satu) bulan.
2. Pembinaan yang dilaksanakan di luar LAPAS dapat berwujud:

70

a.Belajar di tempat-tempat latihan kerja milik LAPAS (pertanian,


perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya).
b.Bekerja (produktif) di tempat-tempat pekerjaan milik LAPAS (pertanian,
perladangan peternakan, perikanan dan lain sebagainya) dengan
pengawalan.
c.Berolah raga antar narapidana atau dengan perkumpulan olah raga dari
luar, baik di lapangan milik LAPAS maupun bukan milik LAPAS
dengan pengawalan.
d.Sekolah, kursus-kursus tanpa pengawalan, berpakaian bebas.
e.Beribadah (sholat Jumat, kebaktian, pemujaan) dengan pengawalan,
berpakaian bebas.
f.Cuti 3 x 24 jam dihitung waktu pulang pergi, berpakaian preman, tanpa

pengawalan, dilaksanakan setelah tahap kedua berakhir


g.Cuti berikutnya dilaksanakan masing-masing selang tenggang waktu 2
(dua) bulan tanpa pengawalan.

B. Mekanisme Pembinaan Terhadap Narapidana Residivis


Pembinaan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dimulai sejak
yang bersangkutan ditahan rumah tahanan negara (rutan) sebagai tersangka atau

terdakwa untuk kepentingan penyelidikan penuntutan dan pemeriksaan di sidang

71

pengadilan. Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses
pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani
maupun jasmani.
Secara umum tidak ada perbedaan mekanisme pembinaan narapidana biasa
dengan naarapidana residivis. Pembinaan terhadap narapidana residivis lebih
difokuskan kepada kegiatan yang bersifat mandiri, sehingga diharapakan kepada
residivis yang sudah pernah melakukan tindak pidana tidak lagi berbuat kejahatan dan
setelah keluar dari masa hukuman dapat diterima baik oleh masyarakat luar. 118
Narapidana yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap,

yang

kemudian

disebut

narapidana,

penempatannya

di

lembaga

pemasyarakatan (lapas). Lembaga Pemasyarakatan Siborong-borong memberikan


pembinaan, yaitu kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku profesional, kesehatan jasmani dan
rohani WBP yang dilaksanakan dalam beberapa tahap yaitu:
Kegiatan masa pengamatan, penelitian, dan pengenalan lingkungan untuk
menentukan

perancanaan

pelaksanaan

program

pembinaan

kepribadian

dan

kemandirian. Waktunya dimulai pada saat narapidana berstatus sebagai narapidana


sampai dengan 1/3 dari masa pidananya. Pembinaan pada tahap ini masih dilakukan
dalam lapas dan pengawasannya maksimum (maximum security).

118 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

72

Kegiatan lanjutan dari program pembinaan kepribadian dan kemandirian


sampai dengan penentuan perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi yang
pelaksanaannya terdiri atas dua bagian.
Kegiatan berupa perencanaan dan pelaksanaan program integrasi yang
dimulai sejak berakhirnya masa pidana dari napi yang bersangkutan. Menyadari
bahwa pembinaan WBP berdasarkan sistem pemasyarakatan merupakan kegiatan
interaktif antara komponen narapidana, petugas dan masyarakat, maka peran serta
masyarakat merupakan salah satu hal yang mutlak diperlukan. Tanpa peran serta
masyarakat dalam pembinaan, tujuan sistem pemasyarakatan melalui upaya
reintegrasi WBP tidak akan tercapai bagaimanapun baiknya kualitas programprogram pembinaan yang diterapkan.
a. Untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan kepada Tuhan yang Mahaesa, sikap dan
perilaku, dijalin kemitraan dan kerjasama dengan Dapartemen Agama dan
organisasi-organisasi keagamaan lainnya.
b. Untuk meningkatkan kualitas intelektual, kecintaan dan kesetiaan kepada bangsa
negara dijalin kemitraan dengan Departemen Pendidikan Nasional.
c. Untuk meningkatkan kualitas profesionalisme/ketrampilan, dijalin kemitraan
dengan Departeman Tenaga Kerja dan instansi pemerintah dan swasta terkait
lainnya.

73

d. Untuk meningkatkan kualitas kesehatan jasmani dan rohani, dijalin kemitraan


dengan Departemen Kesehatan.119
Dalam membina narapidana, dapat digunakan banyak metode pembinaan.
Metode pembinaan merupakan cara dalam penyampaian materi pembinaan, agar dapat
secara efektif dan efisien diterima oleh narapidana dan dapat menghasilkan perubahan
dalam diri narapidana, baik perubahan dalam berpikir, bertindak atau dalam
bertingkahlaku. Penyampaian materi pembinaan bukan hanya dilakukan asal dapat
menyampaikan, atau dengan kata lain berdasar kemauan penyampai materi (pembawa
materi), tetapi harus juga diperhatikan sampai seberapa jauh kesiapan para narapidana
dalam menerima materi pembinaan.
Narapidana adalah suatu masyarakat yang sangat heterogen, yang terdiri dari
berbagai macam manusia, dengan segala karakteristik, latar belakang ekonomi, sosial,
pendidikan dan lain sebagainya yang seringkali tidak sama. Dengan demikian, maka
penyampaian materi harus melihat banyak sudut pandang. Maksud pembinaan yang
sama, dapat disampaikan secara berbeda kepada beberapa narapidana. Sebab itu dalam
membina narapidana, diperlukan banyak sekali metode penyampaian materi
pembinaan, baik metode itu digunakan secara sendiri-sendiri atau digabungkan.
Pembina narapidana harus mengenal banyak metode pembinaan, sebelum
melakukan pembinaan. Pembina narapidana tidak dapat menyamaratakan pembinaan
narapidana secara sama untuk seluruh narapidana yang memiliki latar belakang
119 Lapas Narkotika Jakarta, Pembinaan Bagi Tahanan & Napi, http://hukumham. info/index.
php?option=com_content&task=view&id=75&Itemid=50, diakses tanggal 10 Januari 2009.

74

kehidupan yang heterogen.


Penelitian awal untuk memulai pembinaan bagi narapidana, harus dilakukan
pada saat narapidana masuk atau memasuki kehidupan Lembaga Pemayarakatan atau
Rutan. Penelitian harus akurat, dengan metode yang benar, sehingga setiap narapidana
dapat menerima metode pembinaan yang dilakukan oleh para pembina.
Situasi pembinaan harus

dipertimbangkan sebelum suatu pembinaan

berlangsung, baik situasi lingkungan tempat pembinaan berlangsung, atau situasi


kejiwaan dari narapidana yang dibina. Adalah sesuatu yang membuang waktu dan
biaya saja, jika pembinaan narapidana tidak memperhatikan situasi yang menyertai
pembinaan.
Situasi pembinaan seringkali tidak diperhatikan oleh para pembina, bukan saja
dalam pembinaan narapidana, tetapi juga dalam pendidikan formal di luar Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan. Sehingga sering didengar bahwa anak didik hanya mampu
menyerap 60% dari materi pendidikan yang diberikan oleh para pendidik.
Situasi dalam membina narapidana harus diciptakan, agar narapidana dapat
larut dan mencintai materi pembinaan dengan sempurna. Situasi kejiwaan narapidana,
kekacauan pikiran terhadap segala sesuatu, misalnya terhadap keluarga di rumah,
terhadap hubungan dengan sesama narapidana, dihilangkan dan dapat dengan serius
menerima materi pembinaan dan dapat mengikuti pembinaan dengan tuntas. Beberapa
hal dari metode pembinaan, dapat diikuti dalam uraian berikut.

75

1. Metode Pembinaan Berdasarkan Situasi


Dalam kehidupan sehari-hari, apakah narapidana atau orang biasa, akan
mempunyai kecenderungan untuk terpengaruh oleh situasi. Apakah situasi itu
adalah situasi alam, sosial, kejiwaan, atau yang lain. Ada orang yang menjadi malas
untuk pergi bekerja atau sekolah, karena situasi alam tidak menyenangkan, misalnya
mendung, gerimis, hujan, gempa bum!, banjir dan lain sebagainya. Namun ada
banyak orang yang sama sekali tidak terpengaruh oleh situasi tadi. Orang-orang
yang tidak terpengaruh tadi tetap bekerja, belajar, kuliah, tanpa memperhatikan
situasi alam.
Dengan menguasai situasi dalam pembinaan, dapat kita berikan dun
pendekatan dalam pembinaan, menurut kebutuhan pembinaan bagi narapidana, yaitu:
a.

Pendekatan dari atas (top down approach)


Dalam pembinaan ini, materi pembinaan berasal dari pembina, atau paket
pembinaan bagi narapidana telah disediakan dari atas. Narapidana tidak ikut
menentukan jenis pembinaan yang akan dijalaninya, tetapi langsung saja
menerima pembinaan dari para pembina.

b.

Pendekatan dari bawah (Bottom up approach)


Pendekatan pembinaan narapidana dari bawah merupakan suatu cara
pembinaan narapidana dengan memperhatikan kebutuhan pembinaan atau
kebutuhan belajar narapidana. Tidak setiap narapidana mempunyai kebutuhan
belajar yang sama, minat belajar yang sama. Semua sangat tergantung dari

76

pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan setempat. Seringkali seorang narapidana tidak tahu apa
kebutuhan pembinaan bagi dirinya atau kebutuhan belajarnya. Hal ini
disebabkan narapidana tersebut tidak tahu dan tidak mengenal diri sendiri.
Kesuksesan dalam membina narapidana terletak kepada kunci para pembina
untuk mengenalkan narapidana dengan diri sendiri. Tanpa mengenal diri sendiri,
tidak mungkin seorang narapidana tahu kebutuhan belajarnya, kebutuhan
pembinaannya dan tidak tahu arah dari perubahan diri sendiri akan tertuju.
Dengan mengenal diri sendiri, seorang narapidana akan mampu menentukan
tujuan hidupnya, akan mampu menentukan arah perubahan hidupnya. Penentuan
arah perubahan diri, akan menentukan kebutuhan belajar, kebutuhan pembinaan.
Kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajar, akan mampu menentukan skala
prioritas terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan belajar, kebutuhan
pembinaan yang sangat mendesak untuk dilakukan dan mana kebutuhan belajar
atau pembinaan yang belum mendesak untuk dilakukan.
Dalam pendekatan dari bawah, seorang narapidana akan menentukan
kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajarnya sendiri. Kebutuhan pembinaan,
kebutuhan belajar akan pula ditentukan dari mana mulainya, apakah dari awal
atau mulai dari tingkat yang sedikit tinggi. Pembinaan narapidana dengan pendekatan dari bawah, membawa konsekuensi yang tinggi bagi para pembina,
karena pihak pembina harus mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi

77

tercapainya tujuan pembinaan. Macam pembinaan akan menjadi sangat beragam


sekali, tetapi kalau fasilitas untuk itu tidak ada, kebutuhan belajar, kebutuhan
pembinaan dapat dibatasi sesuai fasilitas yang ada.
Perbedaan yang paling menyolok antara, pendekatan dari atas dengan
pendekatan dari bawah adalah tujuan yang hendak dicapai. Dalam pendekatan
dari atas, tujuan yang hendak dicapai telah ditentukan oleh pembina, sedang
pendekatan dari bawah, tujuan yang hendak dicapai ditentukan oleh
narapidana. sendiri. Pendekatan dari atas, membuat para pembina menentukan
arah pembinaan narapidana, tujuan pembinaan, sesuai dengan keinginan
pembina. Sedang pendekatan dari bawah, narapidana telah menentukan akan
menjadi apa, sesuai dengan tujuan yang dibuatnya.

2. Pembinaan Perorangan (Individual Treatment)


Pembinaan perorangan diberikan kepada narapidana secara perorangan oleh
petugas pembina. Pembinaan perorangan tidak harus terpisah sendiri-sendiri, tetapi
dapat dibina dalam kelompok bersama dan penanganannya secara sendiri-sendiri.
Seperd halnya dalam pendidikan di sekolah taman kanak-kanak, seorang guru taman
kanak-kanak akan menggunakan pembinaan terhadap anak didik, secara kelompok,
tetapi juga secara, perorangan. Hal ini disebabkan tingkat kematangan setiap anak
didik tidak sama. Demikian pula dalam pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan/
Rutan, tingkat kematangan intelektual, emosi, logika, dari tiap-tiap narapidana

78

tidaklah sama. Ketidaksamaan ini menuntut diterapkannya pembinaan secara


perorangan.
Dalam pembinaan narapidana, pembinaan perorangan sering tidak atau kurang
diperhatikan oleh para pembina. Para pembina lebih suka mengadakan pembinaan
secara kelompok, karena pembinaan secara kelompok dianggap dan dirasa lebih cepat
penyajiannya dan lebih mudah penyampaiannya. Padahal dari segi keefektifan dan
keefisienan pembinaan, pembinaan secara perorangan akan jauh lebih mengena.
Narapidana secara, umum adalah orang yang kurang mendapat perhatian, baik
dari masyarakat maupun dari keluarganya. Sebab itu ia memerlukan perhatian yang
cukup dari petugas Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, untuk dapat memulihkan rasa
percaya diri. Perhatian dalam pembinaan, akan membawa banyak perubahan dalam
diri narapidana, sehingga akan sangat berpengaruh dalam merealisasi perubahan diri
sendiri.
Pembinaan secara perorangan akan banyak bermanfaat jika narapidana juga
mempunyai kemauan untuk merubah dirinya sendiri. Tanpa kemauan untuk merubah
diri sendiri, akan sulit dicapai hasil pembinaan yang maksimal. Sekalipun kemauan
untuk merubah diri sendiri dapat timbul bare setelah dilakukan pembinaan secara
perorangan, tetapi hal itu akan membantu narapidana untuk mampu melakukan
perubahan bagi diri sendiri.
Pemecahan masalah sedapat mungkin tetap dibebankan kepada narapidana,
beberapa alternatif pemecahan masalah kita diskusikan bersama untuk
79

diambil alternatif yang terbaik. Peran pembina hanya sebagai fasilitator, motivator,
agar setiap narapidana mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Kebiasaan
memecahkan masalah akan menjadikan narapidana mempunyai rasa percaya diri
yang lebih besar, dan akan terbiasa untuk memecahkan masalahnya sendiri di
kemudian hari, setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan.
Pembinaan perorangan terdiri dari:
a. Dari Dalam Diri Sendiri
Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri
sendiri. Munculnya kemauan untuk membina diri sendiri, setelah seseorang
mengenal diri sendiri. Bila seseorang belum radar akan diri sendiri, belum
mengenal did sendiri, tidak akan pernah muncul kemauan membina diri
sendiri. Seperti juga sering diulang dalam buku ini, mengenal diri sendiri
merupakan bagian yang pokok, yang penting dalam pembinaan narapidana,
sehingga narapidana dapat mengenal diri sendiri, dan dapat membina diri
sendiri.
Jika narapidana telah memiliki kemauan untuk membina diri sendiri,
sebenarnya dia telah mampu untuk menentukan tujuan hidupnya. Narapidana
dapat melihat kehidupan dimasa lalu, barangkali suatu kehidupan yang tanpa
tujuan, dan melihat kernasa depan, suatu kehidupan dengan tujuan yang pasti.
Kehidupan yang akan dipilihnya. Narapidana berhak untuk memilih hidup
sebagai manusia biasa, memilih hidup bukan sebagai

80

narapidana. Semua manusia pasti tidak berharap untuk hidup sebagai


narapidana. Agar mampu untuk hidup sebagai manusia biasa, narapidana harus
mampu mengubah dirinya, harus mengenal. dirinya.
b. Dari luar diri sendiri
Pembinaan secara individual terhadap narapidana dapat dilakukan oleh
para Pembina, baik para Pembina dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan,
atau para Pembina dari luar, yaitu Pembina keagamaan, kelompok
masyarakat, atau Lembaga Swadaya masyarakat. Pembinaan dari luar diri
sendiri, dapat merupakan pembinaan yang berasal atau yang sesuai dengan
kebutuhan pembinaan narapidana, atau pembinaan dari luar yang dianggap
oleh Pembina perlu dilakukan. Pembinaan dari luar dapat berupa,
pembinaan secara umum, artinya materinya adalah materi umum, seperti
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Kesadaran hukum, Etika, Agama
dan lain sebagainya. Sedang pembinaan secara khusus dapat berupa
konsultasi pribadi, psikologi, pembinaan hukum, etika, pendidikan keahlian
dan lain sebagainya.
Pembinaan dari luar diri sendiri, biasanya didasari atas analisa dari data
pribadi seorang narapidana, yang mengharuskan seorang narapidana mendapat
pembinaan yang telah ditentukan oleh Pembina. Jadi kebutuhan pembinaan
ditentukan oleh Pembina. Dapat terjadi bahwa narapidana tidak merasa
membutuhkan jenis pembinaan itu, tetapi karena berdasar evaluasi ia harus

81

mendapatkan pembinaan, maka ia harus menerimanya. Di sini dituntut


keahlian Pembina untuk menyampaikan materi pembinaan secara baik dan
menarik bagi narapidana, sehingga akan menghasilkan pembinaan sesuai
yang diharapkan.
3. Pembinaan Secara Kelompok (Classical Treatment)
Di samping pembinaan secara perorangan, narapidana dapat juga dibina
secara kelompok, baik menurut kebutuhan pembinaan yang ditentukan oleh pihak
pembina, atau pembinaan sesuai dengan kebutuhan pembinaan yang dirasakan
oleh narapidana. Pembinaan secara kelompok dapat dilakukan dengan metode
ceramah, tanya-jawab, simulasi, permainan peran, atau pembentukan tim (team
building). Pemilihan metode tergantung kepada materi yang akan disajikan,
tujuan yang hendak dicapai dari proses pembinaan. Metode yang digunakan tidak
harus berdiri sendiri, tetapi dapat digabungkan sesuai dengan kondisi pembinaan
dan tujuannya.
Dalam pembinaan secara kelompok, peran kelompok harus tetap dilibatkan,
baik secara individual maupun secara kelompok. Jadi bukan hanya pembina Baja yang
aktif, yang dibina juga harus aktif. Narapidana yang pasif harus ditumbuhkan,
sehingga ikut aktif dan berpartisipasi dalam pembinaan. Materi pembinaan tidak harus
datang dari pembina, tetapi dapat juga datang dari narapidana, atau materi pembinaan
yang menjadi kesepakatan bersama.

82

Dalam pembentukan tim (team building), semua anggota tim ikut aktip,
ambil bagian dalam terbentuknya suatu tim yang tangguh. Pembentukan tim
dimaksudkan sebagai cara mencari persepsi yang sama bagi anggota tim, mengenai
tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah tim. Tim dapat berupa, tim olahraga, tim
kerja, tim penyuluhan, tim kcamanan dan lain sebagainya, sesuai dengan tujuan dari
dibentuknya tim tersebut. Tim building sangat bermanfaat bagi terciptanya
kekompakan tim dan peningkatan sumber daya manusia, bagi tercapainya hasil yang
maksimal. Hanya dengan tim yang kompak dan memiliki tujuan yang sama, kerja
tim dapat efisien dan efektif.
Dalam pembinaan narapidana, untuk mencapai hasil yang maksimal,
narapidana dapat menyusun pembinaan bagi diri sendiri, baik secara sendirisendiri,
maupun secara kelompok. Dalam pembinaan secara kelompok, kita harus mampu
mengajak narapidana untuk memahani nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat
atau di kelompok, untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok.
Karena setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, narapidana akan
berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga), sehingga nilai positif yang
tumbuh dalam keluarga, kelompok, masyarakat akan sangat berguna sekali bagi
pemahaman hidup bermasyarakat, hidup dalam saling ketergantungan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa program
pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan

83

kepribadian dan kemandirian. Pada dasarnya arah pelayanan, pembinaan dan


bimbingan yang perlu dilakukan adalah untuk memperbaiki tingkah laku narapidana
residivis. Ruang lingkup dari pembinaan terbagi dalam 2 bidang yaitu :
1. Pembinaan Kepribadian yang meliputi :
a.Pembinaan kesadaran beragama, usaha ini diperlukan agar dapat diteguhkan
imannya terutama memberi pengertian agar warga binaan dapat menyadari
akibat-akibat dari perbuatannya baik perbuatan yang benar maupun yang
salah. Dalam ruang lingkup pembinaan kepribadian dalam prakteknya
diwujudkan dalam bentuk kegiatan / program sebagai berikut: 120 Mengikuti
ceramah agama pada pagi hari dan sholat berjamaah pada siang siang di
Musolla setiap harinya. Sholat Tarawih berjamaah pada bulan Ramadhan juga
Sholat Idul Fitri dan Sholat Idul Adha. Kebaktian setiap hari di Gereja bagi
narapidana yang beragama Kristen juga sembahyang di Vihara bagi
narapidana yang beragama Budha.
b.Kesadaran berbangsa dan bernergara, usaha ini dilaksanakan melalui penataran,
termasuk menyadarkan mereka agar dapat menjadi warga negara yang baik
dan berbakti pada bangsa dan negaranya. Perlu disadarkan bahwa berbakti
pada bangsa dan Negara adalah sebagian dari keimanan dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam prakteknya kegiatan

120 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

84

tersebut diwujudkan dalam bentuk mengikuti upacara Bendera setiap hari


Senin pagi.
c.Pembinaan kemampuan intelektual (kecerdasan), usaha ini diperlukan agar
pengetahuan serta kemampuan berfikir para warga binaan pemasyarakatan
semakin meningkat sehingga dapat menunjang kegiatan-kegiatan positif yang
diperlukan selama menjalani masa pembinaan. Pembinaan intelektual dapat
dilakukan melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Pendidikan formal diselenggarakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang
telah ada yang ditetapkan pemerintah agar dapat diterapkan kepada warga
binaan pemasyarakatan.
Pendidikan formal yang paling mudah dan murah seperti kegiatan-kegiatan
ceramah umum dan membuka kesempatan yang seluas-luasnya untuk
memperoleh informasi dari luar misalnya, menonton TV, mendengar radio
yang disediakan ditempat yang khusus. Juga membaca koran, majalah, bukubuku, novel yang ada dan tersedia diperpustakaan lapas. Untuk mengejar
ketinggalan dibidang pendidikan baik formal maupun non formal diupayakan
cara belajar melalui kejar paket A.
d.Pembinaan kesadaran hukum, dilaksanakan dengan memberi penyuluhan
hukum yang bertujuan untuk mencapai kadar kesadaran hukum yang tinggi
sehingga

sebagai

anggota

masyarakat

mereka

menyadari

kewajibannya dalam rangka turut menegakkan hukum dan keadilan,

hak

dan

85

perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban, kepasrian


hukum dan terbentuknya perilaku warga negara Indonesia yang taat kepada
hukum. Penyuluhan hukum bertujuan lebih lanjut untuk membentuk
keluarga sadar hukum yang dibina selama berada dalam lingkungan
pembinaan maupun diselenggarakan secara langsung yaitu penyuluh
berinteraksi langsung dengan warga binaan permasyarakatan.
e. Pembinaan pengintegrasian diri dengan masyarakat, pembinaan dibidang ini
dapat juga dikatakan pembinaan kehidupan sosial kemasyarakatan yang
bertujuan pokok agar warga binaan pemasyarakatan yang telah selesai
menjalani hukumannya dapat diterima kembali oleh masyarakat sekitar
dimana dia tinggal.
2. Pembinaan Kemandirian yang diberikan melalui program-program :
a.Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha mandiri pembinaan ini dapat
diwujudkan dalam bentuk kerajinan tangan, industri dan rumah tangga.
Seperti membuat hiasan dinding, membuat boneka, merangkai bunga,
membuat keset kaki dari kain perca, menerima jahitan, sulaman atau kaitan,
membuat kue, usaha salon dan memasak.
b.Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri kecil, misalnya pengolahan
bahan mentah menajdi bahan jadi seperti, membuat kue baik kue basah
maupun kue kering, makanan ringan ataupun menerima catering kalau ada
pesanan untuk berbagai acara.

86

c.Ketrampilan yang dikembangkan sesuai dengan bakat masing-masing dalam


hal ini bagi warga binaan yang memiliki bakat tertentu diusahakan
pengembangan bakat tersebut seperti kemampuan dibidang seni misalnya,
bernyanyi, menari, bermain gitar atau membaca puisi dan semua bakat
tersebut akan ditampilkan apabila ada acara ataupun kalau ada yang
mengundang.
d.Ketrampilan untuk mendukung usaha-usaha industri atau kegiatan pertanian
(perkebunan) seperti, menanam ubi, jagung, sayur-sayuran maupun bunga dan
beternak ayam serta beternak itik.
Secara garis besar program pembinaan baik pembinaan kepribadian maupun
kemandirian yang diberikan di Lembaga Permasyarakatan Kelas IIB Siborongborong
disesuaikan

dengan

hobby

dan

bakat

masing-masing

dari

warga

binaan

permasyarakatan. Pembinaan kepribadian dan kemandirian dilakukan secara


berkelompok maupun secara perorangan. Kegiatan pembinaan tersebut berupa: 121
1. Bidang Kerohanian
Pada dasarnya pembinaan kerohanian disesuaikan dengan agama masingmasing narapidana. Kegiatan kerohanian dilakukan setiap harinya dan bekerja
sama dengan lembaga-lembaga keagamaan.

121 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

87

2. Bidang Jasmani
Melakukan kegiatan-kegiatan olah raga seperti senam kesegaran jasmani
setiap hari, senam aerobic setiap hari jumat pagi, kemudian bermain bola
volley, tennis meja, bola kasti dan bulu tangkis.
3. Bidang Rekreasi dan Hiburan
Kepala Lembaga Pemasyarakatn Kelas Kelas IIB Siborongborong dan para
pegawai membuat acara hiburan sebagai upaya penyegaran, dimana antara
narapidana dan para Petugas terlihat seperti saudara dan saling menghibur.
Selain itu bagi yang beragama Islam dibentuk grup nasyid marhaban dan bagi
yang beragama Kristen dibentuk vocal group serta koor.
4. Bidang Pendidikan Umum
Disediakan Program Kejar Paket A dalam hal ini yang menjadi target utama
adalah narapidana yang masih buta huruf agar bisa membaca dan menulis.
Minimal narapidana tersebut sudah bisa menulis dan membaca ketika selesai
menjalani pidananya.
Untuk mendukung program pembinaan tersebut maka disediakan fasilitasfasilitas pendukung seperti : 122
1. Bidang Kerohanian
Adanya tenagatenaga yang bersifat sosial keagamaan atau dengan kata lain
lembaga pemasyarakatan mengadakan kerjasama dengan pihak luar dalam hal

122 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

88

melakukan pembinaan spritual narapidana tersebut. Selain itu fasilitas


pendukung seperti musholla, gereja kecil sebagai tempat kebaktian dan vihara
kecil juga disediakan, serta diatur jadwaljadwal kegiatan spritual yang
diadakan setiap harinya.
2. Bidang Jasmani
Disediakan lapangan olah raga, peralatan-peralatan olah raga, tape dan kaset
untuk senam kesegaran jasmani setiap pagi juga mengundang instruktur
senam aerobic dari luar untuk memimpinsenam setiap hari jumat pagi.
3. Bidang Rekreasi
Disediakan ruangan khusus (joglo) untuk menonton TV dan tempat
narapidana bersantai ria juga ruangan khusus untuk alat-alat musik seperti
gitar, keyboard dan alat-alat musik lainnya
4. Bidang Ketrampilan dan Pendidikan Umum
Ruangan khusus untuk melaksanakan Program Kejar Paket A, juga disediakan
wartel untuk mendukung program pembinaan dan pendidikan.
5. Bidang Kesehatan
Tersedianya poliklinik dengan tenaga medis 1 (satu) orang perawat kesehatan
dilengkapi dengan peralatan medis beserta obat-obatan.
Wujud pembinaan tersebut diatas merupakan wujud pembinaan yang
dilakukan di dalam Lapas yang disebut juga dengan intramural. Sedangkan
pembinaan yang dilaksanakan diluar Lapas disebut extramural yang dikenal dengan

89

nama asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana yang telah memenuhi persyaratan
tertentu dengan membaurkannya ke dalam kehidupan masyarakat. Bagi narapidana
interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan. Oleh karena tahap pembinaan
di luar lembaga permasyarakatan adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan
didalam lembaga permasyarakatan. 123
Dalam usaha mencapai tujuan permasyarakatn yang sasaran utamanya adalah
pemulihan kesatuan hubungan yang retak dengan masyarakatnya, narapidana harus
dikenalkan dengan masyarakat sehingga tidak boleh diasingkan. Pembinaan
narapidana ketika menjelang bebas dimaksudkan untuk mengurangi efek negatof
sebagai akibat pengasingan selama berada dilembaga pemasyarakatn serta membantu
narapidana dalam menyesuaikan dirinya kedalam kehidupan masyarakat.
Dari gambaran tentang program pembinaan narapidana tersebut menunjukkan
bahwa pembinaan narapidana itu tidak hanya sekedar pembinaan mental spritual
belaka yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak narapidana, akan tetapi
juga dilakukan pembinaan yang sifatnya memberikan ketrampilan (keahlian). Dengan
pembinaan yang demikian itu maka sasaran yang hendak dicapai adalah agar setelah
narapidana selesai menjalani pidanya, dan kembali ke masyarakat keahlian tersebut
dapat dijadikan bekal usaha apalagi bagi narapidana yang berlatar belakang tidak
mempunyai keahlian sebagai modal kerja.

123 Hasil wawancara Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

90

Program pembinaan sebagaimana disebutkan di atas, jika dapat terealisir


dengan baik akan sangat bermanfaat sebagai bekal narapidana untuk kembali ke
masyarakat dengan harapan tidak mengulangi lagi perbuatan melanggar hukum. Tetapi
dalam prakteknya untuk melaksanakan program pembinaan seperti disebutkan diatas
bukanlah hal yang mudah.
Diperlukan dukungan dari berbagai pihak, juga kualitas dan kuantitas petugas
Lapas, partisipasi masyarakat baik dengan mengadaklan kerja sama dalam pembinaan
maupun dengan sikap yang menunjukkan bersedia menerima keluarga narapidana
yang telah selesai menjalani pidananya terutama anggota keluarga narapidana,
petugas permasyarakatan dan masyarakat. Dukungan fasiliyas dan dana juga
merupakan faktor yang sangat menentukan terealisasi atau tidaknya program
pembinaan yang telah diprogramkan.

91

BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN UPAYA UNTUK
MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN
RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
SIBORONGBORONG
A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Residivis Di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong
Lembaga pemasyarakatan adalah intansi terakhir dari rangkaian sub-sub
sistem dari sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat
pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan yang
dilakukan harus didasarkan pada bakat, minat serta kebutuhan narapidana, di mana
kebutuhan pembinaan bagi narapidana Residivis dan narapidana non-residivis
tentunya berbeda karena narapidana residivis dapat dikatakan telah gagal dalam
menerapkan hasil pembinaan pada waktu pertama menjalani pidana di lembaga
pemasyarakatan.124
Namun

demikian

dalam

pelaksanaan

pembinaan

tersebut

lembaga

pemasyarakatan menghadapi beberapa faktor yang bisa menghambat berhasilnya


pembinaan antara lain belum adanya klasifikasi bagi narapidana residivis, non
resedivis, penempatannya, program program pembinaan seperti : pemberian remisi,
pembebasan bersarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, asimilasi,
124 Didik Budi Waluyo, Faktor-Faktor Penghambat Pelaksanaan Pembinaan Narapidana

Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Banceuy Bandung, http://www. digilib. ui.ac.id
/opac/themes/libri2/metadatapdf.jsp?id=100235

92

yang diperuntukkan masing-masing klasifikasi, dana pembinaan yang terbatas,


perbandingan jumlah petugas dengan narapidana yang kurang seimbang, sikap
narapidana dalam mengikuti pembinaan, dan kurangnya partisipasi pemerintah dan
masyarakat.
Untuk memberantas kejahatan maka pelaku tindak pidana dimasukan ke
dalam penjara. Harapannya, pelaku akan memperbaiki diri dan tidak mengulangi
tindak kejahatan melalui sistem pembinaan. Tapi di sisi lain, faktanya tingkat
kejahatan tidak kunjung menurun. Kejahatan justru semakin merajalela dan makin
canggih modusnya. Kalau sudah begini, sistem pembinaan harus dipertanyakan.
Terlepas dari itu, nyatanya kini terjadi peningkatan kapasitas penghuni alias over
capacity pada Lembaga pemasyarakatan (Lapas) di hampir semua lembaga
pemasyarakatan di Indonesia. Hal ini menjadi hak-hak narapidana terabaikan adalah:
a. Kalangan internal (birokrasi) Lapas yang menjadikan ketenangan dan keamanan
sebagai

ukuran

atau

parameter

keberhasilan

dan

kinerja

Lembaga

Pemasyarakatan
b. Kelebihan penghuni (over capacity) yang disebabkan adanya kebiasaan
memperlama napi dalam penjara dengan menghambat proses pemberian
pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas dan lain-lain
c. Lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan
pengawasan fungsional oleh Inspektorat Jenderal Dephukham

93

d.

Kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas).

e.

Anggaran yang minim 125


Korban jiwa di pihak napi sebanyak 440 orang. Jumlah tersebut terdiri dari 312
narapidana dan 128 tahanan. Penyebabnya pun beragam, dari kasus narkoba dalam
Lapas sampai tawuran antar narapidana karena Lapas yang over capacity. 126
Pihak Depkumham sepertinya tak menutup telinga terhadap catatan kedua
LSM ini. Terkait over capacity, Menteri Hukum dan HAM Andi Matalata, beberapa
waktu lalu, menyatakan akhir 2007 merupakan awal pengoperasian 20 lapas dan rutan
yang baru. Dengan total tambahan kapasitas sejumlah 9. 400 orang.
Sistem pemidanaan yang ada sekarang ini seharusnya diubah. Contohnya,
dengan mengefektifkan pidana kerja sosial dan pengguna narkoba yang ditaruh
ditempat rehabilitasi. Ia menyadari bahwa perubahan secara komprehensif ini memang
harus melibatkan pembentuk undang-undang. Seperti pidana kerja sosial dalam RUU
KUHAP. Disamping itu Pemerintah, khususnya Depkumham, harus membuat
peraturan pelaksana sebagai turunan dari UU No 12 Tahun 1995.
Sistem Pemasyarakatan bersifat multilateral-oriented treatment dengan
pendekatan yang berpusat pada potensipotensi yang ada, baik pada individu yang
bersangkutan (WBP) maupun yang ada di tengah-tengah masyarakat sebagai suatu
keseluruhan.127 Dalam arti pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan yang terdiri

125 Sekelumit Catatan untuk Lembaga Permasyarakatan di Tahun 2007, hukumonline.


Diakses tanggal 10 Juli 2009.
126 Ibid
127 Adi Sujatno, Pemasyarakatan, 2004, hlm.7

94

dari narapidana, anak didik pemasyarakatan, dan klien pemasyarakatan dalam


kerangka kemasyarakatan adalah pembinaan manusia yang melibatkan semua aspek,
sehingga yang dipentingkan dalam upaya pemulihan kesatuan hubungan ini adalah
prosesnya yaitu proses interaktif yang didukung dengan program pembinaan yang
sesuai untuk itu. Tegasnya Sistem Pemasyarakatan menjembatani proses kehidupan
negatif antara narapidana dengan unsur-unsur masyarakat melalui pembinaan,
perubahan menuju kehidupan yang positif.
Secara singkat Sistem Pemasyarakatan adalah konsekuensi adanya pidana
penjara yang merupakan bagian dari pidana pokok dalam sistem pidana hilang
kemerdekaan.128

Dalam

perkembangan

selanjutnya

pelaksanaan

Sistem

Pemasyarakatan sejak lebih dari 35 tahun semakin mantap dengan diundangkannya


Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Secara tegas dalam
Pasal 1 ayat (2) UU No.12 Tahun 1995 disebutkan bahwa Sistem Pemasyarakatan
adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu
antara Pembina, yang dibina dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga
Binaan Pemasyarakatan. Agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat, dapat
berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
baik dan bertanggung jawab.

128 Ibid

95

Dalam melaksanakan pembinaan Lapas terdapat faktor-faktor yang mendapat


perhatian karena dapat berfungsi sebagai faktor pendukung dan lebih lagi yang perlu
diperhatikan yakni apabila terdapat sebagai faktor yang menjadi kendala. Munculnya
kendala-kendala tersebut tentunya perlu untuk segera dicari pemecahannya agar dalam
proses pembinaan terhadap anak didik pemasyarakatan dapat dilaksanakan dengan
baik dan lancar.
Secara umum, beberapa hambatan yang berhubungan dengan pembinaan
narapidana residivis dapat dibagi menjadi:
1. D ana
Dana merupakan faktor utama yang menunjang untuk pelaksanaan pembinaan
anak didik pemasyarakatan dalam pelaksanaannya maka dibutuhkan peralatan dan
bahan-bahan. Sebab program pembinaan tidak hanya 1 (satu) macam saja melainkan
banyak macamnya sesuai dengan bidang minat maupun pekerjaan atau keterampilan
yang mungkin diperlukan untuk kebutuhan dan kepentingan bagi napi setelah mereka
keluar dari Lapas.
Kurang atau tidak adanya dana menjadi salah satu faktor penyebab yang menjadi
faktor penghambat bagi pelaksanaan pembinaan, karena dapat mengakibatkan tidak
berjalan dan tidak terealisasinya semua program pembinaan bagi anak didik
pemasyarakatan karena sangat minimnya dana yang tersedia

96

2. Sikap/prilaku petugas
Dalam pembinaan, petugas mempunyai peran yang sangat penting. Hal yang
menjadi dasar yang dapat mempengaruhi pola perilaku dan bertindak para petugas
tentunya berupa tingkat pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan sistem
pemasyarakatan itu sendiri. Sehingga petugas dituntut untuk dapat mengerti tentang
persoalan-persoalan yang timbul demi lancarnya proses pembinaan tersebut.129
Proses pemasyarakatan pidana dapat memberikan output positif, bila
didukung

oleh

sikap/perilaku

petugas

yang

mempunyai

visi

tentang

pemasyarakatan, khususnya tugas-tugas yang diamanatkan oleh Undang-undang


Nomor 12 Tahun 1995. adapun tugas yang dijalankan adalah di bidang pembinaan,
pengamanan dan pembimbingan.
Hasil wawancara dengan petugas Lapas Klas IIB Siborong-borong
menyatakan bahwa ada beberapa kendala pembinaan sehubungan dengan kinerja
petugas. Dengan alasan gaji yang tidak mencukupi petugas menetapkan pungutan
tertentu kepada keluarga yang mengunjungi narapidana. Bila hal ini terjadi maka
segala macam barang-barang terlarang, seperti alat komunikasi, obat-obat terlarang
dapat masuk ke dalam lembaga pemasyarakatan. Kaburnya narapidana dari lembaga
pemasyarakatan menjadi bukti petugas tidak lagi mementingkan tanggung jawabnya.

129 Nur Rochaeti, Pembinaan narapidana di LP Kedung Pane Semarang, Majalah Hukum
Undip, Semarang, 2004, hlm.90.

97

3. Sarana/prasarana di Lembaga Pemasyarakatan


Keberhasilan pemasyarakatan narapidana tidak terlepas dari sarana/prasarana
yang tersedia. Dalam hal ini sarana yang dimaksud pun harus mengacu kepada The
Standar Minimum Rules, apakah itu kamar tidur atau kamar berventilasi, air serta
lampu penerang kamar. Makanan yang bersih dan sehat, sarana kesehatan seperti
rumah seperti rumah sakit dan fasilitas olahraga. Semua itu bertujuan untuk
mendukung jalannya pembinaan. Oleh karena itu ketersediaan sarana merupakan salah
satu ukuran berhasilnya sistem pemasayarakatan.
Kurangnya peralatan atau fasilitas baik dalam jumlah dan mutu juga
banyaknya peralatan yang rusak menjadi salah satu faktor penghambat untuk
kelancaran proses pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana, karena dari semuanya
itu tidak tertutup kemungkinan faktor tersebut menjadi penyebab tidak aman dan
tertibnya keadaan di dalam penjara.
Terbatasnya sarana/prasarana di lembaga pemasyarakatan dapat menjadi
penghambat dalam implementasi ide individualisasi sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Hal seperti ini dikemukakan
oleh petugas lembaga kemasyarakatan, bahwa sarana/prasarana yang ada di
lembaga pemasyarakatan dapat menjadi penghambat dalam melakukan
pembinaan. 130
Di samping itu narapidana juga merasakan manfaat sarana yang diperlukan,
namun apabila sarana tidak tersedia sangat mungkin menjadi hambatan. Adapun
sarana/prasarana yang dibutuhkan oleh narapidana di lembaga pemasyarakatan,

130 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga


Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009

98

seperti rumah sakit, dokter, peralatan keterampilan, sarana olah raga, serta makanan
yang layak.

4. Narapidana
Keberhasilan dari terlaksananya program pembinaan terhadap napi tidak hanya
tergantung dari faktor petugasnya, melainkan juga dapat berasal dari faktor napi itu
sendiri juga memegang peran yang sangat penting. Adapun hambatanhambatan yang
berasal dari narapidana antara lain :
a. Tidak adanya minat
b. Tidak adanya bakat
c. Watak diri131
5. Sumber daya manusia
Setiap pembinaan di lembaga pemasyarakatan, bertujuan untuk mempersiapkan
narapidana kembali ke masyarakat dengan bekal pendidikan dan latihan yang
diterimanya di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu peran narapidana,
petugas dan masyarakat, sangat dibutuhkan agar pembinaan berhasil. Dalam hal ini
baik narapidana maupun petugas saling berinteraksi agar program pembinaan dapat
berjalan. Untuk narapidana dan petugas sebagai sumber daya manusia yang terlibat
dalam hal ini harus menyadari peranannya dalam berlangsungnya proses pembinaan.
131 Rommy Pratama, Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Residivisme,
http://rommypratama.blogspot.com/2009/03/sistem-pembinaan-para-narapidana-untuk.html,
diakses
tanggal 02 April 2009.

99

Kondisi yang terjadi di lembaga pemasyarakatan, pola pembinaan bagi


narapidana biasa tidak dibedakan dengan pola pembinaan residivis atau narapidana
lainnya. Di samping jumlah petugas yang tidak sebanding dengan jumlah narapidana,
kualitas petugas juga tidak memadai untuk melakukan pembinaan.
Secara umum, pembinaan di lembaga pemasyarakatan tidak dapat berlangsung
maksimal, karena petugas

yang

merangkap sebagai pembina

di lembaga

pemasyarakatan tidak mengerti fungsinya sebagai pembina. Minimnya pengetahuan


petugas dalam membina narapidana, ditambah lagi kurangnya kursus-kursus
keterampilan yang diberikan kepada petugas dalam menunjang program pembinaan,
menyebabkan program pembinaan berlangsung seadanya berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman petugas.
Kualitas dan bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan
oleh anggaran maupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Tetapi diperlukan programprogram pembinaan yang kreatif dan murah serta mudah untuk dilakukan, sehingga
dapat berdampak sebagai pembelajaran yang optimal bagi napi sebagai bekal
keterampilannya untuk kelak setelah keluar dari Lapas.
6. Kesejahteraan petugas
Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan di
Indonesia memang dibilang masih memprihatinkan, hal ini disebabkan karena
keterbatasan dana dan kemampuan untuk memberikan tunjangan bagi petugas
pemasyarakatan. Maka imbalan yang diperolehnya menjadi belum seimbang

100

dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan
malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor
kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya
pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas.
7. Masyarakat dan pihak korban
Pada dasarnya masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pembinaan terhadap napi, karena masyarakat secara tidak langsung
menjadi penentu berhasil tidaknya proses pembinaan di Lapas. Dalam hal pembinaan
berupa program integrasi, masih terdapat kendala-kendala seperti kebanyakan
lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali
lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar.

B. Peranan Hakim Pengawas Dan Pengamat Dalam Masalah Pembinaan Dan


Pengamatan Narapidana
Persatuan Narapidana Indonesia (NAPI) menengarai kelebihan kapasitas lapas
tidak hanya disebabkan oleh buruknya sistem pemenjaraan, tetapi juga dipengaruhi
pandangan untuk memelihara napi selama mungkin dipenjara. Caranya, dengan
mengabaikan hak-hak narapidana, seperti hak asimilasi dan pembebasan bersyarat
(PB). Hak itu sering diabaikan tanpa alasan yang jelas.
Sebagai contoh kasus: Susongko, yang tersandung kasus korupsi di KPU,
mencontohkan pengalamannya saat ditahan. Ia menuturkan selama menjalani
hukuman ia tidak pernah mendapatkan asimilasi. Padahal SK Asimilasinya sudah

101

turun dari Kanwil. Tidak hanya itu, proses pemberian pembebasan bersyarat pun
terlambat. Menanggapi hal itu, Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Dephukham,
Harkristuti Harkrisnowo menyatakan pelanggaran hak narapidana disebabkan karena
buruknya sistem koordinasi antara aparat penegak hukum.132 Contohnya saat masa
tahanan narapidana habis, pihak lapas sudah memberitahukan kepada Kejaksaan pada
H-10 atau H-3. Tetapi Jaksa tidak melakukan eksekusi. Masalahnya Lapas tidak
mungkin membebaskan orang tanpa eksekusi dari Jaksa.
Begitu juga dengan konsep Hakim Wasmat (pengawas dan pengamat) yang
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Harkristuti seharusnya hakim tersebut
melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan dari hukuman seorang narapidana. Itu
sebagai bentuk akuntabilitas hakim. Hakim yang memasukan orang ke penjara. Jadi
dia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukumannya.
Sebagai penengak hukum yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak
pidana, tidak berhenti tugasnya. Tugas Hakim sebagai pengawas dan pengamat,
sebagaimana diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 Undang-undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP yang menghendaki adanya tanggung jawab moral
Hakim yang mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam
penjara.
Dalam

hal

ini,

Hakim

Pengawas

dan

Pengamat

menitik

beratkan

pengawasannya, antara lain apakah narapidana memperoleh remisi, assimilasi, cuti,

132 Ibid

102

lepas bersyarat, integrasi, perawatan kesehatan, jika Hakim pengamat berpendapat


pembinaan dan perlakuan yang diberikan kepada narapidana kurang baik, ia dapat
menyarankan kepada kepala Lembaga Pemasyarakatan usul-usul perbaikan. Di
samping itu, tugas lain yang tidak kalah pentingnya adalah menghindari terjadinya
pelanggaran atas hak-hak terpidana. Oleh karena itu, Surat Edaran MA No. 7 Tahun
1985 menggariskan perlunya diadakan Chekking on the Spot paling sedikit tiga bulan
sekali.
Bagi

masyarakat,

Lembaga

Pemasyarakatan

bukan

sekedar

tempat

pembinaan, tetapi wujud dari kekejaman manusia. Sisi buram dari Lembaga
Pemasyarakatan mengharuskan dia berjalan bagaikan kapal tua yang sarat
penumpang, yang sewaktu-waktu dapat tenggelam. Untuk menyelamatkannya, mau
tidak mau Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur penjara, seperti mengganti
bangunan lama, menyediakan fasilitas kesehatan, kamar tidur, serta penyediaan
tenaga medis, meningkatkan kualitas petugas, dan yang utama lagi adalah
peningkatan peran Hakim Pengawas dan Pengamat .
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) juga meyoroti kinerja
Lapas. KRHN menilai pemenuhan hak-hak narapidana masih jauh dari harapan.
Padahal, hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan telah diatur dalam UU No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) dan lain-lain . Bahkan, di Tahun 1955, PBB telah mengeluarkan

103

Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners atau Peraturan-Peraturan Standar


Minimum bagi perlakuan terhadap narapidana.
Pengumpulan data-data yang lengkap mengenai diri terdakwa tidak saja akan
bermanfaat bagi keperluan pemidanaan, akan tetapi juga bagi keperluan pembinaan
dan pengamatan narapidana itu selama dalam lembaga pemasyarakatan dan setelah
keluar dari lembaga pemasyarakatan. Dengah hal-ihwal yang lengkap itu Hakim
Pengawas dan Pengamat beserta pejabat lembaga pemasyarakatan akan dapat
mengarahkan pembinaan dengan lebih tepat lagi. Berdasarkan Undang-undang
Hukum Acara. Pidana No. 8 Tahun 1981 yang diundangkan pada tanggal 31
Desember 1981 itu hakim. mendapat "tambahan". tugas untuk melakukan pengawasan dan pengamatan. Pasal 277 mengatur:
1. Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas khusus untuk
membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap
putusan . pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.
2. Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut hakim pengawas
dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk paling lama dua tahun. .
Pengamatan yang ditugaskan kepada hakim itu tidak hanya terhadap narapidana
yang berada dalam lembaga pemasyarakatan, akan tetapi diperluas sehingga meliputi
narapidana setelah selesai menjalani pidananya. Pasal 280 KUHAP mengatur :
1. Hakim pengawas dan pengamat mengadakan pengawasan guns memperoleh
kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

104

2. Hakim pengawas clan pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian


demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan yang diperoleh dari perilaku
narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbalbalik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.
3. Pengamatan sebagaimana dimaksud dalam ayat , (2) tetap dilaksanakan setelah
terpidana selesai menjalani pidananya.
4. Pengawasan dan pengamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 berlaku
pula bagi pemidanaan bersyarat.
Suatu hal baru lainnya yang terkandung dalam Pasal 280 ayat 2 ialah
kewajiban yang dibebankan kepada hakim untuk mengadakan penelitian dan
selanjutnya memberikan saran-saran kepada, ketua pengadilan negeri mengenai
pemidanaan. Di sini hakim, pengawas dan pengamat mempunyai peranan penting
karena selain turut berkecimpung dalam cara-cara, pembinaan dan pengamatan
narapidana, juga ia dapat membantu memperbaiki "sentencing policy" hakim pidana.
Agar tugasnya dapat dilaksanakan dengan baik seharusnya setiap, hakim
pengawas dan pengamat mempunyai program pembinaan dan pengamatan yang baik
dan kontinu, yang dapat disusun bersama-sama dengan pejabat lembaga, pemasyarakatan. Pasal 282 mengatur: "Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan,
hakim pengawas dan pengamat dapat memblearakan dengan kepala lembaga
pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidana tertentu. "

105

Pasal-Pasal dalam KUHAP beserta penjelasannya, tidak mengatur lebih


terperinci bagaimanakah pembinaan dan pengamatan narapidana itu harus
dilaksanakan. Di dalam Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana sepintas lalu dijelaskan bahwa: Hakim yang bertugas khusus tersebut
melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap narapidana selama menjalani
pidana penjara/kurungan dalam lembaga pemasyarakatan yang bersangkutan sebagai
pelaksana dari putusan hakim pengadilan negeri tersebut, tentang kelakuan masing-masing

maupun

tentang

perlakuan

para

petugas

pengsuh

dari

lembaga

pemasyarakatan tersebut terhadap diri para narapidana yang dimaksud. Hakim


pengawas dan pengamat tersebut ditunjuk untuk waktu dua tahun.
Dengan ikut campurnya Hakim dalam pengawasan yang dimaksud, maka
selain Hakim akan dapat mengetahui sampai di mana putusan pengadilan itu tampak
hasil baik buruknya pada diri narapidana masing-masing yang bersangkutan, juga
penting bagi penelitian demi ketepatan yang bermanfaat bagi pemidanaan pada
umumnya. "
Setiap tahun ribuan narapidana dilepas dari Lembaga, Pemasyarakatan karena
telah selesai menjalani masa pidananya, atau dilepas bersyarat sebelum masa
pidananya berakhir. Untuk dapat mengetahui berhasil atau tidaknya pembinaan selama
di dalam, Lembaga Pemasyarakatan, dapat dilihat persentase residivis (rate of
recidivism). Jika persentase residivis kecil maka dapatlah dikatakan bahwa program
pembinaan yang telah dilakukan cukup berhasil. Namun sebaliknya apabila

106

persentase residivis besar maka program pembinaan dianggap kurang berhasil.


Masalah yang diatur dalam Pasal 280 ayat (3) menentukan bahwa
pengamatan terhadap narapidana setelah selesai menjalani pidananya merupakan
ketentuan baru yang tidak diatur dalam KUHP maupun HIR dahulu. Ketentuan
mengenai pengawasan narapidana di luar lembaga pemasyarakatan sebelum masa
pidana berakhir yaitu dalam hal diberikan pelepasan bersyarat sebagaimana diatur
dalam Pasal15 s/d 17 KUHP. Pasal 15 menentukan:
a. Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya, yang sekurang-kurangnya harus sembilan bulan, maka
kepadanya dapat diberikan pelepasan bersyarat. Jika terpidana harus menjalani
beberapa pidana berturut-turut, pidana itu dianggap sebagai satu pidana.
b.

Dalam memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa, percobaan,


serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan. Masa
percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani,
ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam tahanan yang baru, maka waktu itu
tidak termasuk masa percobaan. Di dalam Pasal 15 KUHP itu, diatur dengan jelas
masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama, masa percobaan,
sedangkan di dalam Pasal 280 (3) hal-hal tersebut tidak diatur. Sehubungan dengan
prosentase residivis yang cukup tinggi di beberapa wilayah hukum, kiranya hal itu
perlu mendapat perhatian yang lebih khusus lagi dari hakim yang menjatuhkan
pidana maupun hakim pengawas dan pengamat. Selain

107

daripada itu penggunaan pelepasan bersyarat seperti yang diatur dalam Pasal
15/KUHP sebaiknya dilaksanakan dengan lebih hati-hati lagi.
Sehubungan dengan gagasan pemasyarakatan bagi narapidana di Indonesia
maka dalam rangka pembinaan, oleh Direktorat Pemasyarakatan pada tanggal 8
Pebruari 1965 telah dikeluarkan Surat edaran No.: 10.13/3/1, dimana diinstruksikan
agar dalam membina para tunawarga perlu diperhatikan pendapat dan penjelasan dari
pihak Instansi yang bersangkutan seperti Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri,
POLRI, Kepala Desa, dan lain-lain. Pertanyaan yang tercantum dalam formulir
keterangan yang dikirimkan kepada pejabat tertentu ialah :
1. Bagaimana kesan Saudara pada waktu narapidana tersebut diperiksa perkaranya
dimuka sidang pengadilan? (Penjelasan atas perbuatannya apakah is seorang
yang lekas marsh, naik darah, suka mendusta, dan sebagainya)
2. Peranan apa yang diambil olehnya dalam perbuatan itu? Apakah ia sudah
berulang-ulang melakukan atau tersangkut sesuatu perbuatan yang dapat
dihukum?
3. Motif apakah yang mendorong sehingga ia melakukan kejahatan itu? (Karena
lalai, sengaja, terpaksa, direncanakan sebelumnya, dsb.)
4. Bagaimanakah menurut pendapat Saudara jika : narapidana tersebut. sudah
menjalani 2/3 dari mass pidananya dan telah memenuhi syarat-syarat lainnya
nanti diusulkan untuk mendapatkan pelepasan bersyarat (V. I.) sehingga yang
dimaksud bunyi pass 15 (1) KUHP karena selama berada. dalam Lembaga

108

Pemasyarakatan ia berkelakuan baik dan menyesali serta menginsyafi


perbuatannya.
Sebetulnya

keterangan-keterangan

yang

diperlukan

oleh

Lembaga

Pemasyarakatan akan dapat dijawab dengan mudah apabila bagi setiap putusan
pidana (terutama yang pidananya lebih dari satu tahun) telah diberikan data-data atau
pertimbangan yang lengkap, yang dengan cepat dapat dilihat dari berkas perkaranya.
Untuk pelepasan bersyarat, tentunya diperlukan data-data atau informasi lebih
lengkap lagi, karena selain ada perubahan dari tingkah laku dari terpidana selama
dalam pembinaan harus dilihat juga faktor-faktor extern lainnya yang positip dan
negatip.
Suatu hal lainnya yang harus diperhatikan ialah bahwa keterangan yang
diberikan oleh pejabat-pejabat tersebut tidak akan efektif lagi apabila diminta setelah
kasus itu lama diselesaikan.
Hal ini mungkin terjadi apabila terpidana atau penuntut umum mengajukan
banding dan kasasi, yang prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun. Mengingat
waktu yang lama itu dan banyaknya perkara yang serupa yang dihadapi setiap hari,
tentu-nya mereka sudah tidak dapat mengingat dengan pasti lagi hal-hal yang
berkenaan dengan terpidana tersebut, terlebih lagi apabila hakim atau pejabat yang
bersangkutan telah pindah kelain tempat.
Mengenai pelepasan bersyarat ini kantor Besar Jawatan Kepenjaraan
Departemen Kehakiman pada tanggal 25 Pebruari 1964 telah mengeluarkan Surat

109

Edaran No. JH. 7. 4/319 yang ditujukan kepada Kepala Inspektorat Kepenjaraan
Daerah I s/d IX, Direktur, Direktorat Kepenjaraan Daerah, dan Pemimpin
Kepenjaman aerate di Indonesia yang berisi : "Berhubung usul-usul kelepasan
bersyarat yang diterima banyak sekali yang kurang memenuhi Surat Edaran No. J. H.
7. 4/2/101 tanggal 7 Agustus 1957, hingga mempersukar pertimbangan dan memperlambat putusan maka dengan ini sambil sekedar menyegarkan kembali soal
kelepasan bersyarat, diminta dengan hormat tetapi sangat, hendaknya usul kelepasan
bersyarat ini dilengkapi dengan Salinan-salinan surat-surat vonis semuanya.
a. Keterangan asli dari hakim, tentang sikapnya diwaktu sidang dan motif apa yang
mendorong pelanggaran itu.
b. Kemampuannya keluarga narapidana yang bersangkutan dan/ atau kemampuan
yang sanggup menerimanya, berupa apa (asli keterangan ini hams dari pamong
praja setempat).
c. Keterangan asli kesanggupan dari yang akan menerimanya.
d. Keterangan ash dari pamong praja dan polisi untuk menerimanya didaerah serta
sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya.
e. Keterangan ash dari pamong praja tentang riwayat hidupnya.
f. Keterangan asli dari Direktur/Kepala Kepenjaraan tentang riwayat hidupnya
dengan mengirimkan/mengisi risalah pemasyar4katan seperti contoh terlampir.
g. Daftar huruf "F".
h. Daftar perobahan.

110

i. Keterangan kesehatan.
j. Keterangan asli tidak keberatan dari Jawatan Imigrasi setempat, jika mengenai
narapidana yang bukan warga negara Indonesia.
Berhubung waktu sekarang banyak pelanggaran hukum yang bukan warga
negara Indonesia dan untuk mempermudah mendapatkan syarat No. 12 dari usul
kelepasan bersyarat tersebut, maka sesuai dengan surat edaran No. J. H. 7/226 tanggal
8 Pebruari 1964 diharap jika Saudara menerima narapidana yang bukan warga negara
Indonesia, segera melaporkan kepada diri ke :
1. Nama
2. Tempat tinggal terakhir
3. Pelanggarannya
4. Lama pidananya dan
5. Putusan Pengadilan Negeri apa dan dimana".

C. Upaya Untuk Menghadapi Hambatan dalam Pembinaan Residivis Di


Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborong-borong
Jika melihat perkembangan penologi saat ini sudah ada pemikiran bahwa
melakukan penghukuman tidak harus di dalam lembaga permasyarakatan. Akan tetapi
penghukumannya di dalam masyarakat itu sendiri sehingga muncul pidana alternatif
dengan cara bekerja sosial atau membayar denda dengan sejumlah uang

111

tertentu kepada Negara.133


Dari berbagai kendala dalam pembinaan narapidana, maka upaya- upaya yang
dapat dilakukan terhadap narapidana adalah sebagai berikut:
Secara umum, beberapa hambatan yang berhubungan dengan pembinaan
narapidana residivis dapat dibagi menjadi:
1.

Dana
Dalam mengatasi kendala dana yang kurang, maka harus diupayakan kenaikan
anggaran dan mencari pihak lain sebagai pemodal. Biasanya pemodal melatih
narapidana ketrampilan dan hasilnya dapat dijual. Keuntungannya biasanya akan
dibagi.

2.

Sikap/prilaku petugas
Petugas hendaknya berlaku adil kepada seluruh

narapidana, tanpa

membedakan status sosial, ekonomi dan yang lainnya, sehingga narapidana dapat
menerima bentuk pembinaan yang dilakukan oleh petugas.
Petugas pemasyarakatan harus terus menerus bertingkah laku baik dan
melaksanakan kewajiban mereka sedemikian rupa untuk memberi teladan kepada
narapidana dan membangkitkan penghormatan mereka.

133 Ghali Zakaria, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Belum Tersentuh Semangat Reformasi
Dan Kebangkitan Nasional, http://klipinglakota.blogspot.com/2008/06/sistempemasyarakatanindonesia-belum.html, diakses tanggal 20 Juni 2009.

112

3.

Sarana/prasarana di Lembaga Pemasyarakatan


Hendaknya sarana dan prasarana yang mendukung program pembinaan bagi
residivis dan narapidana di Lapas segera dilengkapi. Pemenuhan sarana dan prasarana

4.

Narapidana
Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke
lembaga pemasyarakatan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan,
juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam
lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga
tentang hak dan kewajiban narapidana.
Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib
diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional
pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah
narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan
perilaku patuh hukum (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki
kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas
yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi
penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas
beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana.

5.

Sumber daya manusia


Kualitas dan bentuk-bentuk program pembinaan tidak semata-mata ditentukan
oleh anggaran maupun sarana dan fasilitas yang tersedia. Tetapi diperlukan program-

113

program pembinaan yang kreatif dan murah serta mudah untuk dilakukan, sehingga
dapat berdampak sebagai pembelajaran yang optimal bagi napi sebagai bekal
keterampilannya untuk kelak setelah keluar dari Lapas.
Selain itu hendaknya mengikuti pelatihan yang diadakan khusus bagi petugas
agar dapat memberikan materi yang baik pada narapidana.

6.

Kesejahteraan petugas
Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan di
Indonesia memang dibilang masih memprihatinkan, hal ini disebabkan karena
keterbatasan dana dan kemampuan untuk memberikan tunjangan bagi petugas
pemasyarakatan. Maka imbalan yang diperolehnya menjadi belum seimbang
dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan
malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor
kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya
pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas.

7.

Masyarakat dan pihak korban


Pada dasarnya masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pembinaan terhadap napi, karena masyarakat secara tidak langsung
menjadi penentu berhasil tidaknya proses pembinaan di Lapas. Dalam hal pembinaan
berupa program integrasi, masih terdapat kendala-kendala seperti kebanyakan

114

lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali
lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar.
Dalam instrumen internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan
lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas
bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan
bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundangundangan yang berlaku. Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas
akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana.
Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga.
Pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat
lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur
dalam instrumen nasional.

115

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Dari uraian bab-bab di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di
Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan
areal pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa
pketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan
mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.
Penyebab lain adalah dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan
sendiri di dalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang
merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara.
2. Bentuk pembinaan terhadap

residivis

yang diberlakukan

di Lembaga

Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu


bentuk pembinaan perorangan (pembinaan individual) dan pembinaan
kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi dengan dua cara, yaitu
pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.
3.

Faktor-faktor yang menghambat pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga


Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong adalah Kalangan internal (birokrasi),

116

Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan


melekat oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional oleh Inspektorat
Jenderal Dephukham, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia petugas
pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim
Upaya-upaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB
Siborongborong dilakukan dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat
proses pengeluaran narapidana,

B. Saran
1. Untuk memudahkan aparat penegak hukum (criminal justice system) seperti
Polisi, Kejaksaan, Pengadilan dan Petugas Pemasyarakatan dalam menentukan
status residivis seseorang, maka hendaknya diberlakukan sistem database online
yang berlaku di seluruh Indonesia. Dengan adanya database online tentang datadata narapidana, maka dapat dilihat apakah seseorang pernah melakukan
kejahatan yang sama di tempat lain.
2. Agar program pembinaan terhadap narapidana berjalan dengan baik, perlu
ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga
petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang
berkaitan dengan kegiatan keterampilan

117

3. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan hendaknya lebih diperhatikan dan


ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah, mengingat pengabdian yang
mereka berikan untuk kepentingan bangsa dan negara bukan untuk kepentingan
mereka sendiri
4. Agar pelatihan ketrampilan yang dilakukan di Lapas dapat berhasil guna,
hendaknya dilakukan kerjasama dengan instansi lain untuk memasarkan hasil
produk napi di Lapas, apabila ada produk yang dihasilkan.

118

DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU:
Abidin, Zainal Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Cet I, Sinar Grafika: 1995
Ahcmad Soemadipradja, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bandung Bina Cipta,
1979
Arif, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali, 1990
Atmasasmita, Romli, Dari Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana, Bandung:
Alumni 1997
Bawengan, Gerson, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori
dan Praktik, Jakarta, Pradnya Paramita: 1979.
Bemmelen, Mr. J. M. Van, Hukum Pidana 2, Hukum Penitentier, diterjemahkan oleh
Hasnan, Bandung, Binacipta, Cet ke 2: 1991.
Cole F. George: The American System of Criminal Justice, 4th Edition, Monterey,
California, Brooks / Cole Publishing Company: 1986.
Dirdjosisworo, Soedjono, Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan),
Bandung: Armico, 1984
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia, Pemasyarakatan Dalam Prospeksi Membangun Manusia Mandiri
(Renstra Ditjen Pemasyarakatan Tahun 2001-2005)
Ensiklopedia Of Criminal susunan Fernon C. Barnham
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, Cet I: 1995
Gunarso Singgih, Perubahan Sosial dalam Masyarakat: Makalah yang disampaikan
dalam Seminar Keluarga dan Budaya Remaja di Perkotaan, Pusat Antara
Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta: 1989
Harsono, H. S. C. I. Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995

119

Jonkers, Mr. J. E. Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Judul asli: Handboek van
het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Jakarta, P. T. Bina Aksara Cet Pertama:
1987
Kapita Selekta, Hukum Pidana Dan Krimonologi, Bandung:MandarMaju, 1995
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah, bagian kedua ; Balai Lektur
Mahasiswa
Ketetapan MPR RI. No. II / MPR / 1993 Tentang Garis-Garis Haluan Besar Negara.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Koesnoen, S. H. Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia, Bandung, Sumur
Bandung: 1964
Kosnoen, R. A, Politik Penjara Nasional, Bandung: Sumur, !961.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, cet Pertama: 19984
Lopa, Baharudin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan hukum di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Makarao, Taufik Mohammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung:Alumni, 1992
Musychan, Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992
Panjaitan, Petrus, Irwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.,
1995
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta: Liberty, 1986
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1998

120

PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan
PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
PP No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan
Rancangan Undang-Undang KUHP yang dikeluarkan oleh Direktorat PerundangUndangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen
Kehakiman dan Perundangan-undangan, 1999-2000.
PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan
__________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan,
Buku ke Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1994.
Nawawi, Barda, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung Alumni, Edisi Kedua,
cetakan ke-2: 1998
Kapita Selekta, Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Cet. II 2002
Barda Nawawi Srief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, Cet ke-1:
1992.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet kelima, Jakarta, PT. Rineka Cipta: 1993.
Praja, R. Achmad Soema DI, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung Penerbit Alumni:
1982.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung PT. Eresco
Jakarta, cet ke-3: 1981
Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,
Bandung: Bina Cipta, 1992.
Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Medan:Monora, 1977
121

Soekanto, Soerjono dan Puji, Santoso, Kamus Kriminologi, Jakarta:Ghalia, 1985


Soemadipraja, R. Ahmad S, dan Romli Atmasasmita, Sistem Pemasyarakatan
Indonesia, Bandung: Bina Cipta 1979
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung:Alfabeta, 2005
Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Jakarta:
Djambatan, 2001
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana ;
Kumpulan Karangan Buku Ketiga; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi
Pertama, Cetakan ketiga: 1999.
Reksodiputro, Mardjono, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan ;
Kumpulan Karangan Buku Kesatu; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi
Pertama, Ceakan kedua: 1997.
Reksodiputro, Mardjono, Pembaharuan Hukum Pidana ; Kumpulan Karangan Buku
Keempat; Jakarta, Pusat pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
(Lembaga kriminlogi Universitas Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua:
1997.
Reksodiputro, Mardjono, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana; Kumpulan Karangan Buku Kelima; Jakarta, Pusat pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga kriminlogi Universitas
Indonesia), Edisi Pertama, Ceakan kedua: 1997.
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan
PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
PP No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan
PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan

Anda mungkin juga menyukai