Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
TESIS
Oleh
TORKIS F. SIREGAR
077005030/HK
TESIS
SEKOLAH PASCASARJANA
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
MEDAN
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana
2009
Oleh
TORKIS F. SIREGAR
077005030/HK
Ju d u l Tes is
: BEN TU K PEMBI N AA N R ES I DI VI S U N TU K
MENCEGAH PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
SIBORONGBORONG
Nama Mahasiswa : Torkis F. Siregar
Nomor Pokok
: 077005030
Program Studi
: Ilmu Hukum
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof.
Dr. Bismar Nasution, SH,(Dr.
MH)
(Prof. Dr. Alvi Syahrin,
SH, MS)
Sunarmi, SH, M.Hum)
Ketua
Anggota
Anggota
Direktur
Anggota
ABSTRAK
Salah satu hal yang merusak sistem masyarakat adalah adanya penjahatpenjahat kambuhan atau yang biasa disebut dengan residivis. Para penjahat ini
biasanya mengulang kejahatan yang sama, meskipun dia sudah pernah dijatuhi
hukuman. Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem
yang disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan
sarana dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Untuk itu diperlukan
proses pembinaan yang tepat untuk dapat mencegah terjadinya pengulangan tindak
pidana.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, artinya hanya menggambarkan
analisis terhadap kredit dengan jaminan hak atas tanah. Alat pengumpul data dalam
penelitian ini adalah dengan melaksanakan wawancara (field research) dan
penelusuran kepustakaan (library research). Analisis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah dengan analisis kualitatif.
Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di
Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan areal
pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan
masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan mempengaruhi
orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum. Penyebab lain adalah
dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan sendiri di dalam masyarakat
penjara diakibatkan oleh kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni
penjara. Bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong dilakukan dengan 2 cara, yaitu bentuk
pembinaan individual dan pembinaan kelompok. Pembinaan individual dilakukan lagi
dengan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Faktor-faktor yang
menghambat pelaksanaan pembinaan residivis adalah Kalangan internal (birokrasi),
Kelebihan penghuni (over capacity), lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat
oleh pejabat internal lapas dan pengawasan fungsional, kualitas dan kuantitas sumber
daya manusia petugas pemasyarakatan (gaspas) dan anggaran yang minim Upayaupaya yang dilakukan untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan
pembinaan residivis di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong dilakukan
dengan cara mempermudah birokrasi, mempercepat proses pengeluaran narapidana,
Dalam penelitian ini dikemukakan saran agar diberlakukan sistem database
online yang berlaku di seluruh Indonesia mengenai data pelaku kejahatan. Selain itu
perlu ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga
petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang
berkaitan dengan kegiatan keterampilan. Kesejahteraan petugas pemasyarakatan
hendaknya lebih diperhatikan dan ditingkatkan kesejahteraannya oleh Pemerintah.
Kata Kunci : Bentuk Pembinaan, Residivis, Penanggulangan tindak pidana
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
Pertama-tama Peneliti bersyukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kesehatan, keselamatan dan ilmu pengetahuan yang merupakan amanah,
sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik.
Penelitian
RESIDIVIS
PIDANA
tesis
UNTUK
DI
yang
diberi
MENCEGAH
LEMBAGA
judul:
"BENTUK
PEMBINAAN
PENANGGULANGAN
PEMASYARAKATAN
KLAS
TINDAK
II
rekan-rekan
Siborongborong.
sejawat
di
jajaran
Lembaga
Pemasyarakatan
Peneliti juga menyadari hanya Allah jualah yang memiliki ilmu yang tiada
terhingga. Harapan Peneliti semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para akademisi,
pembuat kebijakan dan juga bagi pembaca.
Medan, J u n i 2 0 0 9
Torkis F. Siregar
RIWAYAT HIDUP
Nama
Tempat/Tanggal Lahir
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Kristen Protestan
Pekerjaan
Alamat
Pendidikan
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK............................................................................................................... i
ABSTRACT.............................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
RIWAYAT HIDUP.................................................................................................. vii
DAFTAR ISI............................................................................................................ viii
DAFTAR TABEL.................................................................................................... xi
DAFTAR SKEMA.................................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
DAFTAR TABEL
No
Judul
Halaman
1.
2.
3.
DAFTAR SKEMA
No
1.
Judul
Halaman
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia di dunia.
Segala aktivitas manusia baik politik, sosial dan ekonomi, dapat menjadi kausa
kejahatan. Si pelaku disebut sebagai penjahat. Pengertian tersebut bersumber dari
alam nilai, maka ia memiliki pengertian yang sangat relatif, yaitu tergantung pada
manusia yang memberikan penilaian itu. Jadi apa yang disebut kejahatan oleh
seseorang belum tentu diakui oleh pihak lain sebagai suatu kejahatan pula. Kalaupun
misalnya semua golongan dapat menerima sesuatu itu merupakan kejahatan tapi berat
ringannya perbuatan itu masih menimbulkan perbedaan pendapat. Sehingga
keberadaan kejahatan tidak perlu disesali, tapi harus selalu dicari upaya bagaimana
menanganinya. Berusaha menekan kualitas dan kuantitasnya serendah mungkin,
maksimal sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.41
Masyarakat sudah terbiasa, atau dibiasakan, memandang pelaku sebagai satusatunya faktor dalam gejala kejahatan. Maka tidaklah mengherankan bila upaya
penanganan kejahatan masih terfokus hanya pada tindakan penghukuman terhadap
pelaku. Memberikan hukuman kepada pelaku masih dianggap sebagai 'obat manjur'
untuk 'menyembuhkan' baik luka atau derita korban maupun kelainan perilaku yang
diidap pelaku kejahatan.
Herbert L. Packer dalam bukunya 'The Umits of The Criminal Sanction'
menyebutkan bahwa sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau
terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia
itu sendiri. Sanksi pidana merupakan penjamin apabila dipergunakan secara hemat,
cermat, dan manusiawi.
Sementara sebaliknya, bisa merupakan ancaman jika digunakan secara
sembarangan dan secara paksa. Faktanya, banyak ditemukan kekerasan dan
penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan viktimisasi terhadap para terpidana.
Konsep Lembaga Pemasyarakatan pada level empirisnya, sesungguhnya, tak ada
bedanya dengan penjara. Bahkan ada tudingan bahwa Lembaga Pemasyarakatan
adalah sekolah kejahatan. Sebab orang justru menjadi lebih jahat setelah menjalani
hukuman penjara di Lembaga Pemasyarakatan. Ini menjadi salah satu faktor dominan
munculnya seseorang bekas narapidana melakukan kejahatan lagi, yang biasa disebut
dengan residivis. Menurut John Delaney,42 pengintegrasian kembali narapidana ke
dalam masyarakat harus dilakukan lewat tahapan self realisation process. Yaitu satu
proses yang memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan
42 Adrianus Meliala, et.all, Restorative Justice System: Sistem Pembinaan Para Narapidana
Untuk Pencegahan Resedivisme, Artikel ini Disajikan Dalam Kerangka Kerjasama Antara Tim Penulis
(Dept. Kriminologi FISIP UI) dengan Australian Agency for International Development, Jakarta, 2009,
hlm.2
hukuman sepertiga lebih berat dari ancaman hukuman yang normal. Dengan catatan
bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun
setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang
dijatuhkan.
Delik pengulangan (recidive) tidak dijumpai dalam aturan umum, tetapi di
Pasal 486-488, mengatur tentang penerapan unsur recidive dalam dalam Aturan
Khusus (Buku II atau Buku III). Bab XXXI KUHP sebagaimana yang diatur dalam
pemidanaan kepada seorang terpidana. Pada prinsipnya batas tenggang waktu
menentukan apakah seseorang dapat dikualifikasi sebagai residivis atau tidak
digantungkan pada jangka waktu 5 tahun antara hukuman yang sedang dijalani dalam
suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini memandang jika dalam
kurun waktu di bawah lima tahun seseorang yang melakukan kejahatan yang sama
kembali melakukannya, maka ia merupakan orang yang harus diwaspadai.
Pengulangan tindak pidana bukan hal yang baru dalam dunia hukum, karena
dimana ada kejahatan di situ pula ada pengulangan kejahatan dan pengulangan
kejahatan dianggap sebagai penerusan dari niat jahat sebagaimana dikemukakan oleh
Bartolus seorang ahli hukum, bahwa Humanum enimest peccare, angilicum, se
emendare, diabolicum perseverare atau kejahatan dan pengulangan kejahatan
dianggap sebagai penerusan dari niat jahat, maka dapat dipastikan bahwa praktik
pengulangan kejahatan itu sendiri sama tuanya dengan praktik kejahatan.45
45
Abidin Zainal Farid, Hukum Pidana I, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 432.
Hand Out Hukum Pidana, Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) http://syariah. uinsuka.
ac. id/file_ilmiah/7. %20Recidive. pdf, diakses tanggal 3 November 2008.
46
Diatur di dalam Buku II Bab XXXI Pasal 486 sampai dengan Pasal 488 Kitab Undang Undang Hukum Pidana.
47
pernah dihukum karena kejahatannya. Kondisi ini disebut dengan pengulangan tindak
pidana (residive).
Penanggulangan kejahatan residivis dilakukan dalam serangkaian sistem yang
disebut sistem peradilan pidana (criminal justice system) yang merupakan sarana
dalam masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. 48 Adapun komponen dalam sistem
tersebut yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.
Keempat komponen tersebut harus bekerja dan berproses secara terpadu dalam
peradilan pidana dan diharapkan menjadi tumpuan dalam penegakan hukum dalam
negara Republik Indonesia yang berdasarkan hukum. Namun keberadaannya saat ini
jauh dari harapan sebab apa yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana belum dapat
dicapai. Hal ini diungkapkan oleh Rusli Muhammad yang menyatakan bahwa apa
yang menjadi tujuan utama Sistem Peradilan Pidana sulit dicapai. Melindungi,
mengamankan dan menentramkan masyarakat belum dirasakan sebagian besar
masyarakat. Demikian juga pelaku kriminal yang telah menjalani pidana, diharapkan
kembali ke jalan yang benar dan tidak mengulangi perbuatannya belum berhasil.49
Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem peradilan pidana terakhir
yang menjalankan sistem pemasyarakatan bagi pelaku tindak pidana. Sistem
pemasyarakatan merupakan satu rangkaian kesatuan penegakan hukum pidana, maka
prinsip substansial di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Marjono Reksodiputro, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, (Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997), hlm. 84.
48
Rusli Muhammad, Reformasi Sistem Pemasyarakatan, dalam Jurnal Hukum Ius Quia
Iustum, No. 1 Volume 6, (Yogyakarta, 1999), hlm. 45
49
RA. Koesnoen yang berjasa dalam upaya memperbaiki narapidana dengan filsafat bangsa
yaitu Pancasila, maka orang yang tidak bisa dilupakan adalah Saharjo, yang saat itu menjabat Menteri
kehakiman menerima gelar Doctor Honoris Causa dan dalam orasi ilmiahnya memberi judul Pohon
51
Beringin Pengayoman; yang menurut beliau Hukum Pengayoman termasuk juga mengayomi
narapidana.
Mardjaman, Beberapa Catatan
Rancangan Undang-undang tentang Sistem
Kemasyarakatan, makalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: 2005), hlm. 1.
52
Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor: M. 01-PK. 04. 10 Tahun
1989 Tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas. Pasal 1: Asimilasi adalah
proses pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan
masyarakat. Pasal 5 menyatakan maksud Asimilasi adalah memulihkan hubungan narapidana dengan
masyarakat dan memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara aktif dalam
penyelenggaraan pemasyarakatan. Pasal 6 menyebutkan tujuan Asimilasi adalah membangkitkan
motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan pembinaan.
53
Asimilasi terbagi dua yaitu Asimilasi ke dalam lembaga pemasyarakatan, khususnya menerima
kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi keluar, mempunyai
persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk tahap III dari proses
persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah: bekerja pada pihak ketiga, baik
instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri.
b. Cuti menjelang bebas adalah pemberian cuti kepada narapidana yang telah
menjalani dua pertiga masa pidana, di mana masa dua pertiga itu sekurangkurangnya sembilan bulan.
Seluruh program pembinaan bagi narapidana bertujuan agar bekas narapidana
tidak mengulangi kembali perbuatan jahatnya dan tidak lagi menjadi warga binaan
pemasyarakatan. Kondisi inilah yang menjadi tantangan besar bagi Lembaga
Pemasyarakatan untuk melakukan pembinaan dalam upaya mengendalikan terjadinya
residivis, karena lembaga pemasyarakatan selalu mendapat hambatan dan tantangan
dalam mencapai tujuan pembinaan narapidana.
Berdasarkan alasan-alasan yang telah dikemukakan, maka peneliti ingin
mengangkatnya sebagai topik tesis yang berjudul Bentuk Pembinaan Residivis
Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B
Siborongborong.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut
1. Bagaimanakah penyebab terjadinya tindak pidana residivis dan pengaturannya
dalam sistem hukum pidana di Indonesia?
2. Bagaimanakah bentuk pembinaan terhadap residivis yang diberlakukan di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?
3. Faktor-faktor apa saja yang menghambat dan Upaya-upaya apakah yang dilakukan
untuk menghadapi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan pembinaan residivis
di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong ?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan permasalahan seperti disebutkan di atas, adapun tujuan
penulisan ini adalah:
1. Untuk
mengetahui
penyebab
terjadinya
tindak
pidana
residivis
dan
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis:
1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran bagi perkembangan hukum pidana khususnya mengenai bagaimana
cara melakukan pembinaan yang efektif bagi narapidana sebagai realisasi
konsepsi sistem pemasyarakatan untuk mencegah meningkatnya residivis.
2. Secara praktis penelitian ini dapat berguna sebagai masukan bagi aparat penegak
hukum dalam sistem peradilan dan juga pihak Lembaga Pemasyarakatan dan
pemerintah serta pihak terkait lainnya guna penyempurnaan dalam membina
narapidana di masa yang akan datang.
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelurusan yang dilakukan di perpustakaan Universitas
Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang masalah Pola Pembinaan
Residivis Untuk Mencegah Pengulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan
Klas II B Siborongborong belum pernah dilakukan dalam masalah yang sama,
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada penelitian yang benar-benar sama
dengan masalah yang akan diteliti jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional objektif dan terbuka. Dengan demikian
keaslian penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara akademis.
F.
memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah disertai
dengan pemikiran teoritis.54
Dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) Indonesia, dihukumnya seseorang
adalah berdasarkan perbuatan yang salah yang dilakukannya, dan melanggar UndangUndang sehingga yang menjadi fokus adalah pada perbuatan salah atau tindakan
pidana yang telah dilakukan pelaku.55 Artinya bahwa perbuatan berperan besar dan
merupakan syarat mutlak yang harus ada untuk adanya hukumnya (punishment)
Dijatuhkannya pidana pada seseorang diperlukan dua syarat yaitu perbuatan itu
bersifat melawan hukum dan dapat dicela.56
Berbicara masalah pembinaan narapidana tidak terlepas dengan pembicaraan
tentang pidana, pemidanaan dan pembenaran pidana. Mengenai pengertian pidana
menurut beberapa pendapat ahli hukum, seperti:
Muladi dan Barda Nawawi Arief yang mengutip pendapat Alf Ross bahwa
pidana merupakan reaksi sosial yang:
a. Terjadi berhubungan dengan adanya pelanggaran terhadap suatu aturan hukum
b. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh orang-orang yang berkuasa sehubungan
dengan tertib hukum yang dilanggar.
54
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni,
1992) , hlm. 6.
55
c.
d.
a.
b.
Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai
kekuasaan (oleh yang berwenang).
c.
Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana
menurut undang-undang.58
Mengenai teori pemidanaan pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga
b.
c.
pemidanaan maka dibawah ini akan dibahas satu persatu mengenai teori tesebut 1)
Teori absolut atau teori pembalasan (Retributive /Vergeldings Teorrien)
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 1992), hlm. 4.
57
58
Ibid.
59
Karena tujuannya yang bermanfaat ini maka teori relatif disebut juga teori
tujuan (utilitarian theory) dimana pidana dijatuhkan bukan karena orang itu telah
membuat kejahatan (quia peccatum est) tetapi supaya orang itu jangan melakukan
kejahatan lagi (nepeccetur).61 jadi tujuan pidana menurut relatif adalah untuk
mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu dengan kata lain
pidana yang dijatuhkan kepada sipelaku kejahatan bukanlah untuk membalas
kejahatanya, melainkan untuk memelihara ketertiban umum.
Dalam ilmu pengetahuan pidana, teori relatif ini dapat dibagi 2 (dua), yakni:
a)
b)
Ibid , hlm. 16
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 76.
62
63
Ibid
64
Ibid.
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana (Jakarta: Erlangga, 1980) hlm. 14. Van Bemmelen
menyatakan pidana bertujuan membalas kejahatan dan mengamankan masyarakat, tindakan bermaksud
mengamankan dan memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan
untuk mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat
65
66
Ibid, hlm. 6.
duanya.67 Kedua pemikiran Packer ini didasari oleh 3 teori dari pemidanaan yang telah
disebut di atas.
Sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa konsep
kebijakan penanggulangan kejahatan yang integral mengandung konsekuensi segala
usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan harus merupakan satu kesatuan
yang terpadu. Ini berarti kebijakan untuk menanggulangi kejahatan dengan
menggunakan sanksi pidana, dipadukan dengan usaha yang bersifat non penal
Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi kebijakan sosial atau pembangunan
nasional. Tujuan utama usaha-usaha non penal adalah memperbaiki kondisi-kondisi
sosial atau pembangunan nasional.
Pertimbangan itu mengarah pada pilihan yang tersedia yaitu pemakaian sarana
penal dan juga sarana non penal dengan mengingat bahwa hukum pidana itu adalah
suatu sistem yang terbuka (open system) yang dalam bekerja memberikan peluang
bagi campur tangan lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia
pada umumnya.68 Seperti bidang ekonomi, politik, pendidikan serta subsistem pada
sistem peradilan itu sendiri.
Hukum adalah suatu gejala sosial-budaya yang berfungsi untuk menerapkan
kaidah-kaidah dan pola-pola perikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam
Roger Hood, Research on the Effectivenes of Punishment and Treatments. Collection Studies
in Crimnological Research, Vol I, 1997 p.74 yang dikutip dari Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.Cit.
hlm. 102.
67
La Patra menggambarkan inter face (interaksi) inter koneksi dan inter dependensi) system
peradilan pidana dengan lingkungannya ini dalam peringkat-peringkat level sebagai berikut: peringkat
1. Society , Peringkat 2, Economics, Technology, Education, Politiks, Peringkat 3, Subsystems Of
Criminal justice system.
68
69
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997),
hlm. 9.
70
Lihat, Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
terpisahkan dari nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka dalam kerangka
teori ini dipaparkan tentang sistem peradilan pidana, tujuan pemidanaan dan teori
pemidanaan serta sistem pemasyarakatan.
Menurut Sahardjo untuk memperlakukan narapidana diperlukan landasan
sistem pemasyarakatan.
Bahwa tidak saja masyarakat diayomi terhadap diulangi lagi perbuatan oleh
narapidana, melainkan juga oleh orang yang tersesat diayomi dengan
memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna di dalam
masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa menjatuhkan pidana bukanlah
tindakan balas dendam dari negara...tobat tidak dapat dicapai dengan
penyiksaan, melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi
pidana siksaan, melainkan pidana kehilangan kemerdekaan .. negara telah
mengambil kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan
mengembalikan orang itu ke masyarakat lagi, mempunyai kewajiban terhadap
orang terpidana itu dan masyarakat.71
Pengetahuan tentang apakah seorang bersalah telah melakukan tindak pidana
sehingga harus menjalani suatu jenis pidana, merupakan cara untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Oleh karena itu diperlukan keterpaduan antara sub sistem-sub
sistem di dalam criminal justice system guna untuk menanggulangi meningkatnya
kualitas maupun kuantitas kejahatan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Adapun
tujuan dari sistem peradilan pidana adalah:
a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan.
b. Menyelesaikan kejahatan yang tejadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan
telah ditegakkan dan pihak yang bersalah dipidana.
Sahardjo, Pohon Beringin Pengayom Hukum Pancasila, Pidato Pengukuhan pada tanggal 3
Juli 1963,
71
2. Konsepsi
Untuk dapat mengambarkan rasionalitas suatu kajian ilmiah, maka cakupan
kerangka pemikiran harus ditentukan secara tegas dan jelas. Beberapa istilah yang
berhubungan dengan judul penelitian, yaitu:
a. Residivis adalah suatu pengulangan tindak pidana atau melakukan kembali
perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana
dan menjalani penghukumannya.73
b. Yang dimaksud narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan.74
c. Yang dimaksud dengan lembaga pemasyarakatan adalah tempat untuk
melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.75
d. Sistem pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara
pembinaan
warga
binaan
pemasyarakatan
berdasarkan
Pancasila
yang
dilaksanakan secara terpadu antara pembina yang dibina dan masyarakat, untuk
Lihat, Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
(Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Krimonologi) Universitas
Indonesia, 1997), hlm. 85.
72
Gerson W Bawengan, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori Dan
Praktik, (Jakarta: Pradnya Paramitha,1979), hlm. 70.
73
74
75
Yang dimaksud dengan pemidanaan adalah reaksi atas delik dan ini berwujud
suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.77
f.
g.
menitiberatkan
pada
sifat
represive
(penindakan/
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
76
78
Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Makalah disampaikan pada seminar Kriminologi VI, Semarang, tanggal 16-18 September 1991, hlm.
79
2.
Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang
bersifat deksriptif analisis dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu
penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi
terhadap permasalahan yang telah dikemukakan dengan tujuan untuk membatasi
kerangka studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa
secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori.
2. Sumber Data
Sumber data dalam pengumpulan data ini dipergunakan cara penelitian yuridis
normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan melalui
pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang meliputi:80
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari:
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Batang tubuh UUD1945 TAP MPR
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana,
Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, KUH Pidana, PP
No 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Nomor M.01.PK.04.10 Tahun 2007 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas dan
Cuti Bersyarat.
Soerdjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafiko Persada, Cet Kelima, 2001), hlm. 14.
80
Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 195, dan Soerjono Soekanto, et.al., Penelitian Hukum Normatif
(Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 13.
81
bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan
teoritis.
4. Analisa Data
Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan
dianalisa secara kualitatif, kemudian diolah dengan solusi dari permasalahan dalam
penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan peraturan perundangundangan dengan melakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum
yang terkait dengan tata cara pembinaan narapidana dan mengumpulkan teori-teori
yang ada terkait dengan judul penelitian. Dengan demikian kegiatan analisis ini
diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan
penelitian yang benar dan akurat.
Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berfikir yang
bersifat induktif. Dengan metode induktif diharapkan akan diperoleh jawaban
permasalahan. Cara berpikir deduktif akan digunakan untuk menggambarkan bentukbentuk pembinaan terhadap narapidana residivis.
BAB II
PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN
PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong
Lembaga
Pemasyarakatan
Siborongborong
Klas
IIB
Siborongborong
merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan untuk dididik dan
dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lembaga
pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong berdiri sejak Tahun 1992.
Kondisi bangunan cukup baik, bersih, nyaman dan sejuk karena terisolir/ jauh
dari kota atau keramaian. Namun melihat kondisi sekarang, di LP tersebut perlu
dibuat pembatasan area agar pengawasan para napi dan tahanan bisa lebih diperketat
agar terhindar dari peredaran narkoba yang sengaja didatangkan dari luar dengan
alasan menjenguk atau bertamu kepada para Napi.
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong merupakan salah satu
lapas terbaik di wilayah Sumatera Utara dengan pelaksanaan program Bulan Tertib
Pemasyarakatan (Buterpas) yang selama ini dijalankan. Hal ini terbukti dengan
diterimanya Penghargaan Juara III Nasional Lapas Terbaik di Indonesia oleh Menteri
Hukum dan Ham. penghargaan ini diberikan kepada UPT Pemasyarakatan yang telah
sungguh-sungguh melaksanakan program Buterpas yang dicanangkan oleh Menteri
Hukum dan HAM pada tanggal 14 Februari 2008 di Rumah Tahanan Negara (Rutan)
Salemba Jakarta. Program ini tidak hanya berlaku satu bulan saja, tetapi berkelanjutan
dan selalu direvisi secara terus menerus. Pemberian penghargaan seperti ini akan terus
dilakukan pada momen-momen penting.
Dikatakan, sekarang ini keluar masuk pengunjung ke LP Siborongborong
dilakukan secara ketat, bahkan tamu yang datang tidak diperbolehkan memberikan
uang secara langsung. Jika ada pemberian uang kepada napi atau tahanan harus
dilakukan dengan penukaran kupon yang sudah disediakan. Hal ini menjaga jika napi
atau tahanan dapat melarikan diri, tidak dapat membelanjakan kupon tersebut.
Penghuni LP Siborongborong pada Tahun 2008 berjumlah 203 orang, terdiri dari 165
napi dan 38 tahanan. 34% di antaranya terlibat kasus Narkoba yang didominasi
narapidana pindahan dari Rutan Kelas I Medan, Lapas Klas I Medan, Lapas Klas IIA
Binjai, Lapas Klas IIB Tebing Tinggi, Lapas Klas IIA Siantar, Lapas Klas IIA Rantau
Prapat dan Lapas Klas IIA Sibolga.
Tabel 1 Penghuni LP Siborongborong
No Kapasitas
1
150
Narapidana
165
Tahanan
Jumlah
38
203
82 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
Jenis Kejahatan
Jumlah
Narkotika
73
Pencurian
35
Pembunuhan
9
Penganiayaan
19
Pemerasan
22
Penggelapan
7
Penipuan
2
Terhadap Kamtib
1
Perampokan
23
Dan lain-lain
14
Jumlah
203
Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong83
Lapas Klas IIB Siborong-borong dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga
Pemasyarakatan (Kalapas) yang saat ini dijabat Sardiaman Purba, Bc.IP, SH. Adapun
Stuktur organisasi Lapas Klas IIB Siborong-borong dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
83 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
KALAPAS
KP LP
SEKSI
PETUGAS
SUB BAGIAN
TATA USAHA
KEPEGAWAIAN
KAMTIB
NARAPIDANA /
PENGAMANAN
URUSAN
SEKSI ADMIN
BIMBINGAN
URUSAN
UMUM
SUB SEKSI
KEGIATAN
SUB SEKSI
REGISTRA
SI
SUB SEKSI
PERAWAT
SUB SEKSI
KEAMANAN
SUB SEKSI
PELAPORAN DAN
TATA TERTIB
DAN
30
Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
2.
Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi
pidana oleh suatu keputusan hakim.
3.
4.
Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hukum
tetap.
5.
manusia
untuk
mengatasinya,
sedangkan
dampak
negatif
dari
86 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416.
87 Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris Indonesia, Lintas Media,
Jakarta, hlm. 215.
sendiri yang kemudian dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul
persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan
pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang
dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi
menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana
terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut :
a.Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan
(primary deviation) seperti melempari rumah tetangganya dengan batu.
b.Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut menjadi
marah
c.Anak muda tersebut melakukan reaksi sosial(primary deviation) dengan
melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman.
d.Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak
tersebut.
e.Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih
serius, ia melakukan pencurian toko(masih primary deviation).
f.Terjadi suatu reaksi formal, anak muda tersebut diadili sebagai Juvenile
Delinquency di pengadilan.
g.Anak muda itu kemudian di beri label delinquency (nakal /jahat) oleh
pengadilan dan bad (buruk/jelek) oleh tetangganya, teman- temannya dan
oleh orang lain.
h.Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency dan
bergabung dengan anak-anak muda tidak baik
i.. Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius (Secondary
deviation), seperti merampok toko bersama anggota geng lainnya
j.Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan
kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan menempuh jalan hidup
yang sepenuhnya menyimpang. 90
Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer
dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap
dan ditahan, terjadilah pemberian cap/ label terhadap anak muda tersebut (terjadilah
stigmatisasi terhadap yang bersangkutan), yang kemudian anak muda tersebut
dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya
dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan
berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label/ cap yang sama.
Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya
stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat
90 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, hal 101
Nama
No
Re
36/00
g
09/01
Perkara
Ferdinan Siahaan
Pembunuhan
Usman Bangun
Narkotika
10/01
Ratin Tarigan
Narkotika
12/01
Binsar Ginting
Pembunuhan
14/02
Iswandi
18/02
Maniti Simanullang
21/02
Narkotika
Hukuman
10 tahun
07 tahun
07 tahun
06 tahun
05 tahun
Tgl Bebas
15-04-2005 (PB)
17-08-2005 1708-2005 05-012005 12-082005 17-08-
Reg
Sekarang
Hukuman
12/07
06 tahun
79/07
05 tahun
22/06
06 tahun
24/05
06 tahun
25/06
06 tahun
29/06
07 tahun
Penganiayaan
05 tahun
2005 19-07-
Tomi Pasaribu
Pembunuhan
05 tahun
2005 25-12-
21/06
03 tahun
31/02
Samud Tumanggor
Penganiayaan
05 tahun
2005 17-08-
40/08
04 tahun
35/02
Darwin Simbolon
Pemerkosaan
06 tahun
2005 13-04-
52/06
04 tahun
10
43/02
Sahar
Narkotika
08 tahun
2005
61/06
05 tahun
11
23/01
Saragih
Pembunuhan
12 tahun
24/07
10 tahun
12
26/01
Rikson Tambunan
Pembunuhan
11 tahun
26/07
07 tahun
13
27/01
Jainal Sianipar
Pembunuhan
11 tahun
06 tahun
27-12-2006 (PB)
39
Lanjutan Tabel 3
No No
Nama
Perkara
Hukuman
Tgl Bebas
Reg
14
28/01
15
12/02
16
17/02
17
27/02
18
28/02
Surung Sianipar
12 tahun
Pembunuhan
Reg
Sekarang
09 tahun 09
Hukuman
02-03-2006 (PB)
21/08
06 tahun
17-08-2006
27/08
05 tahun
30-08-2006
19/08
05 tahun
29/07
05 tahun
48/08
05 tahun
44/08
06 tahun
Pembunuhan
tahun
Narkotika
06 tahun 09
Pembunuhan
tahun
16-05-2006 23-
Perampokan
07 tahun
05-2006 (PB)
Pembunuhan
Narkotika
26/06
08 tahun
67/07
05 tahun
2006 13-05-
17/07
05 tahun
2006
03/09
06 tahun
19
32/02
Sianturi Nasarudin
20
42/02
21
46/02
Asnawi
Narkotika
22
48/02
Narkotika
23
03/03
Damero nainggolan
Narkotika
24
13/06
Pencurian
17-08-2007
28/08
2 tahun 2
25
19/06
Pencurian
04-06-2008
11/ 0 9
tahun
06 bln 01 thn
02 bln
Sumber: Data Primer Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong
40
41
92 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002. hlm.. 81.
42
43
3)Penjahat berat,
93
93 Friedrich Stumpl dikutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny.
L. Moeljatno, hlm. 161.
94 Mulyana W. Kusumah, Loc. Cit.
44
b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan
yang sejenis (homologus recidivism) artinya ia menjalani suatu pidana
tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu
misalnya 5 (lima) tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau
sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
2. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:
a.Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang dilakukan
merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya
b.Habituele recidive, yaitu pengulangan tidak pidana yang dilakukan karena si
pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat jahat
sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya
3. Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga
dibedakan atas:
a.Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana
yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak
pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dapat dikenakan pemberatan
hukuman.95
b.Recidive khusus yaitu apabila seseorang melakukan kejahatan/tindak pidana
yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatan/tindak
95 Utrecht E, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Surabaya Tinta Mas, hlm.
200.
45
Pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
tidak
96 Ibid.
46
47
(2).
Pemidanaan
tidak
dimaksudkan untuk
menderitakan
dan
tidak
konflik
yang
disebabkan
oleh
tindak
pidana,
Pemidanaan
tidak
dimaksudkan
untuk
menderitakan
dan
tidak
48
1.
2.
3.
49
Dasar pemberat pidana di atas adalah terletak pada keadaan jabatan dari
kualitas si pembuat (pejabat atau pegawai negeri). Adapun rasio pemberatan pidana
pada kejahatan recidive ini terletak pada 3 (tiga) faktor, yaitu:
a. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana.
b.Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena
tindak pidana yang pertama.
c.Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. 97
Apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima)
tahun sejak :
a. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b.Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c.Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.98
Namun ketentuan tentang pemberatan pidana ini tidak berlaku untuk anakanak.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat Pasal 45, 46 dan Pasal 47 yang
mengatur penerapan hukum pidana terhadap anak-anak.
Pasal-pasal tersebut antara lain mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan
perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan: (1) memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtua atau walinya, tanpa pidana; (2)
50
memerintahkan yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana; atau (3)
menjatuhkan pidana.
Kedua, jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
Pemerintah, atau badan hukum tertentu untuk dididik, hal tersebut dilakukan paling
lama sampai umur 18 tahun. Ketiga, jika dijatuhi hukuman pidana, maksimum pidana
pokok dikurangi sepertiga; sementara terhadap yang bersalah tidak diberlakukan
hukuman mati atau hukuman seumur hidup.
Para penyusun naskah baru KUHP Nasional sudah berfikir lebih maju dengan
mencantumkan pada bagian khusus jenis-jenis pidana dan tindakan bagi anak dengan
tidak kurang dari 17 aturan, mulai dari pasal 94-a sampai dengan 94-q, dengan aturan
terpenting antara lain sebagai berikut:
Pertama, seorang anak yang melakukan tindak pidana dan belum
berumur 12 tahun, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua,
pemberatan pidana bagi pengulangan tindak pidana tidak berlaku bagi
anak-anak. Ketiga, pidana penjara yang dijatuhkan kepada seorang
anak hanya dapat dilaksanakan dalam penjara yang khusus
diperuntukkan bagi anak. 99
Pasal-pasal yang dirumuskan dalam naskah RUU KUHP Nasional yang baru
tersebut disusun dengan mempertimbangkan, selain aspek-aspek psikologi anak
(seperti emosional, intelektual dan mental), juga aspek-aspek lingkungan sosial yang
mempengaruhi terjadinya tindak pidana oleh anak-anak, serta penyesuaian dengan
perkembangan hukum modern yang menyangkut perlindungan hak-hak anak.
51
BAB III
BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG DIBERLAKUKAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG
52
Pembinaan, bahwa bentuk pelatihan yang diberikan tidak bersifat rutin, artinya kalau
dana dari proyek ada dan itupun tidak setiap tahun mendapat kesempatan, karena
dibagi secara bergilir untuk seluruh Lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia.
Selanjutnya beliau tnengatakan bahwa pelatihan yang diberikan seperti pelatihan
teknis pembinaan, keamanan, kesempatan, HAM, bahkan HIV.100
Di samping itu sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang mengatakan
pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau
hanya untuk kepentingan jawatan atau kepentingan negara saja, akan tetapi pelatihan
diharapkan bermanfaat sebagai bekal hidup di masyarakat.
Sebagaimana yang dikemukakan narapidana bahwa program pelatihan
bermanfaat bagi narapidana jika diikuti dengan sungguh-sungguh dalam waktu 3
bulan, dan. sebaliknya menurut narapidana kurang bermanfaat jika tidak tidak
mempunyai
modal
untuk
membuka
usaha
setelah
keluar
dari
lembaga
53
54
pidananya, sehingga kursus atau pelatihan yang diberikannya akan berguna bagi
narapidana untuk kembali ke masyarakat. Dan biasanya peralatan yang digunakan,
diberikan kepada narapidana yang bersangkutan. 103 Dengan demikian akan
bermanfaat bagi narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat. Di samping
itu, pendidikan keterampilan bertujuan antuk membentuk manusia narapidana agar
menjadi manusia mandiri, yakni manusia yang akan mendapatkan lapangan kerja
yang sesuai dengan keterampilan yang mereka peroleh selama di lembaga
pemasyarakatan.104
Pekerjaan itu dapat memotivasi narapidana untuk memper-slapkan dirinya
kelak bekerja, di masyarakat dan pendidikan keterampilan itu harus sesuai dengan
pekerjaan di luar. Sebagaimana dikatakan oleh Daniel Glase :
a. That prison have difficulty Procuring enough work for all of their in mates.
b. That incentives are frequently not opi, imis fi)r motivating immates to pursue the
prison work than curt ui be most useful to them in their past release life;
c. That record of prison work performance are poor; and
d. That relatively small proportion and released prisioners find employment which
utilities their prison training.105
55
56
LSM Galatea, yang berkunjung 4 (empat) kali dalam sebulan, yakni setip hari Senin
dan Jumat minggu kedua dan minggu keempat. Kunjungan LSM ini memberikan
ceramah agama, bimbingan tentang narkoba, dan HIV AIDS. LSM ini jugs
menampung mantan narapidana khusus kasus narkoba dan mempekerjakannya di
LSM tersebut.107
Dengan demikian LSM ini bersedia membantu mantan narapidana khususnya
yang terlibat dalam kasus narkoba, karena mantan narapidana tersebut masih dapat
dibina melalui pendekatan secara individu maupun keagamaan.
Untuk itu, program pelatihan tidak sekedar memberikan kesibukan kepada
petugas dan narapidana, tetapi lebih berorientasi pada individualisasi yang
menempatkan narapidana sebagai manusia yang tersesat dan mendapatkan pembinaan
sesuai dengan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Dalam hal ini program pelatihan
setidak-tidaknya dapat mengembalikan rasa percaya diri sehingga narapidana dapat
berintegrasi dengan masyarakat.
2. Asimilasi
Meskipun narapidana kehilangan kemerdekaan selama menjalani hukuman,
narapidana harus dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari
masyarakat. Prinsip ini menghendaki narapidana tidak terisolasi di dalam tembok
57
penjara serta narapidana harus melakukan kontak dengan masyarakat luar. Asimilasi
ini dijamin oleh UU No. 12/1995 dalam Pasal 14 ayat (1) huruf j.
Asimilasi108 sebagai tujuan pemasyarakatan, cirri utamanya adalah aktifnya
kedua belah pihak, yaitu pihak narapidana dan kelompok keluarga narapidana dan
masyarakat. Asimilasi juga bertujuan untuk menghilangkan citra buruk penjara pasca
kemerdekaan, serta mencegah penolakan masyarakat terhadap bekas narapidana.
Untuk menghilangkan citra buruk lembaga pemasyarakatan dan mencegah penolakan
masyarakat terhadap bekas narapidana, maka perlu diadakan asimilasi kedalam
lembaga pemasyarakatan berupa kunjungan dari keluarga dan arakat ke dalam
lembaga pemasyarakatan serta kunjungan dari organisasi-organisasi kemasyarakatan
108 Asimilasi diatur di dalam Peraturan Menteri Kehakiman RI Nomor : M, 01-PK04 10/th 1989
Tentang Asimilasi, pembebasan bersyarat dan cuti menjelang Lepas. Pasal 1 : Asimilasi adalah proses
pembinaan narapidana yang dilaksanakan dengan membaurkan narapidana di dalam kehidupan
masyarakat.
Pasal 5, maksud Asimilasi adalah :
a. Memulihkan hubungan narapidana dengan masyarakat;
b.Memperoleh dan meningkatkan peran serta masyarakat secara
aktif dalam penyelenggaraan pemasyarakatan Pasal 6, tujuan
Asimilasi adalah:
a. Membangkitkan motivasi atau dorongan pada diri narapidana kearah pencapaian tujuan
pembinaan.
b. Memberi kesempatan bagi Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan untuk pendidikan dan
ketrampilan guna mempersiapkan diri hidup mandiri ditengah masyarakat setelah bebas
menjalani pidana
c. mendorong masyarakat untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan
pemasyarakatan.
Asimilasi terbagi dua yaitu : Asimilasi kedalam lembaga pemasyarakatan, khususnya
menerima kunjungan keluarga dan kelompok-kelompok masyarakat. Sedangkan Asimilasi
keluar, mempunyai persyaratan minimal sudah menjalani 2/3 masa pidana (atau telah masuk
tahap III dari. proses persyaratan narapidana). Adapun bentuk Asimilasi keluar adalah : bekeda
pada pihak ketiga, balk instansi pemerintah atau swasta, bekerja mandiri, misalnya menjadi
tukang cukur, bengkel, tukang memperbaiki radio, mengikuti pendidikan dan latihan
keterampilan di luar lembaga pemasyarakatan, kerja bersama masyarakat, berolafiraga bersama
masyarakat.
58
59
dimanfaatkan oleh kedua belch pihak untuk saling tukar informasi atau menumpahkan
segala keluh kesah serta dapat melepaskan rasa rindu di antara mereka dan juga
narapidana merasa diperhatikan oleh keluarganya. Pada waktu kegiatan ini, petugas
biasanya memberi kebebasan seluas-luasnya kepada narapidana selama waktu yang
ditentukan. 109
Asimilasi
khususnya
keluar
lembaga
pemasyarakatan
sebagai media
109 Wawancara dengan Kepala Seksi Peminaan di .Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB
Siborongborong, Maret 2009.
60
Sehubungan dengan hal itu, menurut Kepala Seksi Pembinaan proses asimilasi keluar
Lembaga Pemasyarakatan ini tidak berjalan, hal ini disebabkan petugas merasa
khawatir dengan adanya proses asimilasi ke luar lembaga dapat menyebabkan
narapidana berprilaku tidak baik karena dapat bertemu dengan teman-temannya, dan
juga khawatir narapidana akan hamil sehingga dapat menggangu keamanan dan
ketertiban lembaga.110
Sehubungan dengan program asimilasi ini menurut narapidana perlu adanya
asimilasi ke dalam maupun keluar lembaga pemasyarakatan, karena narapidana dapat
berbaur dengan masyarakat sehingga narapidana merasa tidak canggung lagi apabila
nantinya keluar dari lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya menurut narapidana
asimilasi ini sangat berguna bagi narapidana karena dengan adanya kunjungan dari
organisasi-organisasi kemasyarakatan seperti LSM, maupun dari lembaga sosial
lainnya, dapat memberi kegernibiraan bagi narapidana dengan adanya hiburan,
ceramah, dan menga'jarkan berbagai bentuk keterampilan lainnya.111
Dengan demikian narapidana merasa terhibur dan termotivasi untuk berbuat
baik serta berkarya dan timbul rasa percaya diri dalam diri narapidana. Namun
asimilasi ke luar lembaga pemasyarakatan masih terbatas dan terkendala. Terbatas
hanya dalam bentuk cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan
pembebasan bersyarat sesuai dengan syarat-syarat dan prosedur yang berlaku.
110 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
111 Wawancara dengan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Lembaga
Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
61
adanya
surat
jaminan
tersebut,
maka
Kepala
Lembaga
Pemasyarakatan baru dapat memberikan surat cuti menjelang bebas (CMB), dan
apabila masa cutinya berakhir maka narapidana dapat melaporkannya ke lembaga
pemasyarakatan terdekat. Asimilasi lebih tertuju kepada narapidana, karena
merekalah yang memanfaatkannya. Asimilasi itu sendiri menjadi jembatan bagi
narapidana bertukar pikiran dengan keluarga. Namun saat pertemuan narapidana
62
dengan keluarga, disitu dapat diketahui apakah ada keharmonisan atau terjadi
keretakan rumah tangga (renggangnya hubungan keluarga dengan narapidana).
Asimilasi sebagai media komunikasi narapidana dengan keluarga, atau
masyarakat dapat menimbulkan masalah barn, seperti adanya ajakan kawan-kawan
kembali kekebiasaan semula, serta tidak adanya pekerjaan. Asimilasi baik ke dalam
maupun ke luar Lembaga Pemasyarakatan bagi narapidana selalu dilihat untung
ruginya. Adanya sikap dan cara berfikir demikian, karena mereka berada di bawah
tekanan berupa tidak adanya kebebasan. Sehubungan dengan ini, asimilasi ke dalam
pemasyarakatan berupa kunjungan-kunjungan keluarga maupun anggota masyarakat
lainnya, sangat dirasakan manfaatnya oleh narapidana.
Selain kunjungan keluarga, asimilasi ke dalam Lembaga. Pemasyarakatan juga
sering dilakukan oleh lembaga pendidikan dan kelompok keagamaan yang ada di
masyarakat. Kunjungan itu dapat berupa aksi bakti sosial, serta penyuluhan hukum.
Maksud dari kunjungan kelompok masyarakat tersebut pada dasarnya adalah untuk
mendekatkan diri kepada narapidana. Kunjungan itu sendiri dipandang sebagai
kesempatan
mendapatkan
bimbingan
rohani
dan
melepaskan
keterasingan.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa kunjungan dari organisasiorganisasi sosial dan LSM juga merupakan bentuk asimilasi ke dalam lembaga
pemasyarakatan, di samping memberikan ceramah juga pelatihan keterampilan.
Perlunya asimilasi bagi narapidana sebelum kembali ke masyarakat, hal itu
bermanfaat untuk mencegah kecenderungan pemberian cap penjahat dari masyarakat
63
prinsip
pemasyarakatan,
terpidana
dihukum
dalam
penjara
tidak
dimaksudkan membuat mereka lebih jahat, namun sebaliknya mendidik agar mereka
menjadi manusia-manusia yang baik. Namun begitu mereka meninggalkan lembaga,
masyarakat menolak kehadiran dan cap sebagai penjahat tetap disandang oleh bekas
narapidana tersebut.
Adanya penolakan sosial, pengasingan dan pengucilan begitu memojokkan
mereka sehingga mengakibatkan timbulnya kembali penjahat kambuhan, hal ini
seperti dikatakan Ronny Nitibaskara :
Orang-orang ini selalu dibayang-bayangi dan dicurigai secara berlebihan oleh
Penegak Hukum maupun masyarakat terpaksa memilih "comeback" bergelut
dalam dunia kriminalitas yang sesungguhnya belum tentu mereka senangi.
Kontrol sosial yang tidak pada tempatnya itu sangat mempengaruhi
keberhasilan mereka mengisolirnya dari masyarakat umum. Terjadinya proses
stigmatisasi yang menempatkan individu sebagai tidak dapat diterima atau
sebagai orang yang berkelakuan salah.114
Sehubungan dengan itu, maka dapat dikatakan proses pemasyarakatan
narapidana tidak sebatas dinding tembok penjara saja. Sebagaimana dikatakan Loebby
Loqman, bahwa proses pembinaan narapidana :
Tidak berhenti pada saat narapidana tersebut keluar dari Lembaga
pemasyarakatan setelah menjalani pidananya, akan tetapi masih berlanjut di
dalam masyarakat di mana bekas narapidana tersebut akan menerimanya, suatu
Stigma yang sampai sekarang sulit untuk dihilangkan adalah suatu
114 Ronny Nitibaskara, Beberapa Faktor Penghambat Reintegrasi Sosial Bekas Narapidana
di Indonesia, Makalah (Jakarta : Fakultas Hukum U1, 1988), hal. 3
64
65
orang yang dijatuhi pidana penjara berupaya untuk menyembunyikan identitas sosial
mereka, sebagaimana dikatakan D. Schafmeister, di mana setiap narapidana
merasakan kebutuhan untuk, menyembunyikan identitas mereka atau untuk tetap
anonim/tidak dikenal. Kebanyakan dari mereka takut, untuk dikenal di dalam
lingkungan sosial atau lingkungan masyarakat, sebagai pelanggan penjara yang oleh
setiap orang akan selalu ditunjuk-tunjuk. 116 Dari pendapat ini, dapat dikatakan bahwa
kecenderungan penolakan terhadap bekas narapidana hingga sekarang sangat sulit
dihilangkan. Berbeda halnya dengan perlakuan terhadap pelaku carok di masyarakat
Madura.
Carok itu sendiri diartikan sebagai suatu tindakan atau upaya pembunuhan
(karena ada kalanya berupa penganiayaan berat) menggunakan senjata tajam
pada umumnya celurit yang dilakukan oleh orang laki-laki (tidak pernah
perempuan) terhadap laki-laki lain yang dianggap telah melakukan
pelecehan terhadap harga diri (balk secara individu sebagai suami maupun .
secara kolektif yang mencakup kerabat atau keluarga) terutama berkaitan
dengan masalah kehormatan istri hingga membuat malo.117
Ada kecenderungan yang tinggi bahwa bekas narapidana itu ditolak kembali ke
masyarakat. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana apapun itu di mata masyarakat, maka
pelakunya setelah selesai menjalani pidana cenderung tidak diterima. Di sini ada
perbedaan yang mencolok, walaupun nyata-nyata bahwa pelaku telah melakukan suatu
pembelaan harga diri dan dinyatakan bersalah dari segi hukum pidana sebagai
tindakan membela kehormatan.
116 D. Schafrneister, Pidana badan singkat sebagai pidana diwaktu Luang,
Penerjemah: Tristan Pascal Moelyono, Editor, Agustinus Pohan, Robertus BP, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1991), hal 67-68
117 A. Latief Wiyata, Carok, Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta
LKIS, 2002), halaman 184.
66
67
(4) Penataran.
d) Latihan keterampilan kerja yang antara lain dapat berwujud:
(1) Kursus montir
(2) Kursus pertukangan kayu
(3) Kursus las karbit dan las listrik
(4) Kursus lain-lainnya
e) Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
f) Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat berwujud:
(1) Kujungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua)
kali dalam 1 (satu) minggu selama 30 menit
(2) Kunjungan
badan-badan
sosial,
perkumpulan
olah
raga,
perkumpulan kesenian.
(3) Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu
g) Pemberian pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya
h) Adaptasi dan pembauran sosial yang antara lain dapat bewujud:
(1) Kunjungan keluarga, saudara-saudaranya, handai taulan 2 (dua)
kali seminggu selama 30 (tiga puluh) menit
(2) Kunjungan
badan-badan
sosial,
perkumpulan
perkumpulan kesenian.
(3) Mengirim dan menerima surat sewaktu-waktu
i)
olah
raga,
68
69
70
71
pengadilan. Pembinaan para tahanan dalam wujud perawatan tahanan, yaitu proses
pelayanan tahanan yang termasuk di dalamnya program-program perawatan rohani
maupun jasmani.
Secara umum tidak ada perbedaan mekanisme pembinaan narapidana biasa
dengan naarapidana residivis. Pembinaan terhadap narapidana residivis lebih
difokuskan kepada kegiatan yang bersifat mandiri, sehingga diharapakan kepada
residivis yang sudah pernah melakukan tindak pidana tidak lagi berbuat kejahatan dan
setelah keluar dari masa hukuman dapat diterima baik oleh masyarakat luar. 118
Narapidana yang telah divonis hakim dan telah mempunyai kekuatan hukum
tetap,
yang
kemudian
disebut
narapidana,
penempatannya
di
lembaga
perancanaan
pelaksanaan
program
pembinaan
kepribadian
dan
72
73
74
75
b.
76
pribadi narapidana sendiri, dan fasilitas pembinaan yang dimiliki oleh Lembaga
Pemasyarakatan/Rutan setempat. Seringkali seorang narapidana tidak tahu apa
kebutuhan pembinaan bagi dirinya atau kebutuhan belajarnya. Hal ini
disebabkan narapidana tersebut tidak tahu dan tidak mengenal diri sendiri.
Kesuksesan dalam membina narapidana terletak kepada kunci para pembina
untuk mengenalkan narapidana dengan diri sendiri. Tanpa mengenal diri sendiri,
tidak mungkin seorang narapidana tahu kebutuhan belajarnya, kebutuhan
pembinaannya dan tidak tahu arah dari perubahan diri sendiri akan tertuju.
Dengan mengenal diri sendiri, seorang narapidana akan mampu menentukan
tujuan hidupnya, akan mampu menentukan arah perubahan hidupnya. Penentuan
arah perubahan diri, akan menentukan kebutuhan belajar, kebutuhan pembinaan.
Kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajar, akan mampu menentukan skala
prioritas terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kebutuhan belajar, kebutuhan
pembinaan yang sangat mendesak untuk dilakukan dan mana kebutuhan belajar
atau pembinaan yang belum mendesak untuk dilakukan.
Dalam pendekatan dari bawah, seorang narapidana akan menentukan
kebutuhan pembinaan, kebutuhan belajarnya sendiri. Kebutuhan pembinaan,
kebutuhan belajar akan pula ditentukan dari mana mulainya, apakah dari awal
atau mulai dari tingkat yang sedikit tinggi. Pembinaan narapidana dengan pendekatan dari bawah, membawa konsekuensi yang tinggi bagi para pembina,
karena pihak pembina harus mampu menyediakan sarana dan prasarana bagi
77
78
diambil alternatif yang terbaik. Peran pembina hanya sebagai fasilitator, motivator,
agar setiap narapidana mampu memecahkan masalah yang dihadapinya. Kebiasaan
memecahkan masalah akan menjadikan narapidana mempunyai rasa percaya diri
yang lebih besar, dan akan terbiasa untuk memecahkan masalahnya sendiri di
kemudian hari, setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan.
Pembinaan perorangan terdiri dari:
a. Dari Dalam Diri Sendiri
Kemauan untuk membina diri sendiri dapat muncul dari dalam diri
sendiri. Munculnya kemauan untuk membina diri sendiri, setelah seseorang
mengenal diri sendiri. Bila seseorang belum radar akan diri sendiri, belum
mengenal did sendiri, tidak akan pernah muncul kemauan membina diri
sendiri. Seperti juga sering diulang dalam buku ini, mengenal diri sendiri
merupakan bagian yang pokok, yang penting dalam pembinaan narapidana,
sehingga narapidana dapat mengenal diri sendiri, dan dapat membina diri
sendiri.
Jika narapidana telah memiliki kemauan untuk membina diri sendiri,
sebenarnya dia telah mampu untuk menentukan tujuan hidupnya. Narapidana
dapat melihat kehidupan dimasa lalu, barangkali suatu kehidupan yang tanpa
tujuan, dan melihat kernasa depan, suatu kehidupan dengan tujuan yang pasti.
Kehidupan yang akan dipilihnya. Narapidana berhak untuk memilih hidup
sebagai manusia biasa, memilih hidup bukan sebagai
80
81
82
Dalam pembentukan tim (team building), semua anggota tim ikut aktip,
ambil bagian dalam terbentuknya suatu tim yang tangguh. Pembentukan tim
dimaksudkan sebagai cara mencari persepsi yang sama bagi anggota tim, mengenai
tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah tim. Tim dapat berupa, tim olahraga, tim
kerja, tim penyuluhan, tim kcamanan dan lain sebagainya, sesuai dengan tujuan dari
dibentuknya tim tersebut. Tim building sangat bermanfaat bagi terciptanya
kekompakan tim dan peningkatan sumber daya manusia, bagi tercapainya hasil yang
maksimal. Hanya dengan tim yang kompak dan memiliki tujuan yang sama, kerja
tim dapat efisien dan efektif.
Dalam pembinaan narapidana, untuk mencapai hasil yang maksimal,
narapidana dapat menyusun pembinaan bagi diri sendiri, baik secara sendirisendiri,
maupun secara kelompok. Dalam pembinaan secara kelompok, kita harus mampu
mengajak narapidana untuk memahani nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat
atau di kelompok, untuk dijadikan bahan pembinaan secara kelompok.
Karena setelah keluar dari Lembaga Pemasyarakatan/Rutan, narapidana akan
berbaur lagi dengan masyarakat atau kelompok (keluarga), sehingga nilai positif yang
tumbuh dalam keluarga, kelompok, masyarakat akan sangat berguna sekali bagi
pemahaman hidup bermasyarakat, hidup dalam saling ketergantungan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 31 Tahun 1999 Tentang
Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa program
pembinaan dan pembimbingan meliputi kegiatan pembinaan dan pembimbingan
83
84
sebagai
anggota
masyarakat
mereka
menyadari
hak
dan
85
86
dengan
hobby
dan
bakat
masing-masing
dari
warga
binaan
87
2. Bidang Jasmani
Melakukan kegiatan-kegiatan olah raga seperti senam kesegaran jasmani
setiap hari, senam aerobic setiap hari jumat pagi, kemudian bermain bola
volley, tennis meja, bola kasti dan bulu tangkis.
3. Bidang Rekreasi dan Hiburan
Kepala Lembaga Pemasyarakatn Kelas Kelas IIB Siborongborong dan para
pegawai membuat acara hiburan sebagai upaya penyegaran, dimana antara
narapidana dan para Petugas terlihat seperti saudara dan saling menghibur.
Selain itu bagi yang beragama Islam dibentuk grup nasyid marhaban dan bagi
yang beragama Kristen dibentuk vocal group serta koor.
4. Bidang Pendidikan Umum
Disediakan Program Kejar Paket A dalam hal ini yang menjadi target utama
adalah narapidana yang masih buta huruf agar bisa membaca dan menulis.
Minimal narapidana tersebut sudah bisa menulis dan membaca ketika selesai
menjalani pidananya.
Untuk mendukung program pembinaan tersebut maka disediakan fasilitasfasilitas pendukung seperti : 122
1. Bidang Kerohanian
Adanya tenagatenaga yang bersifat sosial keagamaan atau dengan kata lain
lembaga pemasyarakatan mengadakan kerjasama dengan pihak luar dalam hal
88
89
nama asimilasi yaitu proses pembinaan narapidana yang telah memenuhi persyaratan
tertentu dengan membaurkannya ke dalam kehidupan masyarakat. Bagi narapidana
interaksi sosial dengan masyarakat mutlak diperlukan. Oleh karena tahap pembinaan
di luar lembaga permasyarakatan adalah sebagai kelanjutan pembinaan yang dilakukan
didalam lembaga permasyarakatan. 123
Dalam usaha mencapai tujuan permasyarakatn yang sasaran utamanya adalah
pemulihan kesatuan hubungan yang retak dengan masyarakatnya, narapidana harus
dikenalkan dengan masyarakat sehingga tidak boleh diasingkan. Pembinaan
narapidana ketika menjelang bebas dimaksudkan untuk mengurangi efek negatof
sebagai akibat pengasingan selama berada dilembaga pemasyarakatn serta membantu
narapidana dalam menyesuaikan dirinya kedalam kehidupan masyarakat.
Dari gambaran tentang program pembinaan narapidana tersebut menunjukkan
bahwa pembinaan narapidana itu tidak hanya sekedar pembinaan mental spritual
belaka yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak narapidana, akan tetapi
juga dilakukan pembinaan yang sifatnya memberikan ketrampilan (keahlian). Dengan
pembinaan yang demikian itu maka sasaran yang hendak dicapai adalah agar setelah
narapidana selesai menjalani pidanya, dan kembali ke masyarakat keahlian tersebut
dapat dijadikan bekal usaha apalagi bagi narapidana yang berlatar belakang tidak
mempunyai keahlian sebagai modal kerja.
90
91
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT DAN UPAYA UNTUK
MENGHADAPI HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PEMBINAAN
RESIDIVIS DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B
SIBORONGBORONG
A. Faktor-Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pembinaan Residivis Di
Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong
Lembaga pemasyarakatan adalah intansi terakhir dari rangkaian sub-sub
sistem dari sistem peradilan pidana yang berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun
1995 tentang Pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan berfungsi sebagai tempat
pelaksanaan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Pembinaan yang
dilakukan harus didasarkan pada bakat, minat serta kebutuhan narapidana, di mana
kebutuhan pembinaan bagi narapidana Residivis dan narapidana non-residivis
tentunya berbeda karena narapidana residivis dapat dikatakan telah gagal dalam
menerapkan hasil pembinaan pada waktu pertama menjalani pidana di lembaga
pemasyarakatan.124
Namun
demikian
dalam
pelaksanaan
pembinaan
tersebut
lembaga
Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan Kelas Iia Banceuy Bandung, http://www. digilib. ui.ac.id
/opac/themes/libri2/metadatapdf.jsp?id=100235
92
ukuran
atau
parameter
keberhasilan
dan
kinerja
Lembaga
Pemasyarakatan
b. Kelebihan penghuni (over capacity) yang disebabkan adanya kebiasaan
memperlama napi dalam penjara dengan menghambat proses pemberian
pembebasan bersyarat, asimilasi, cuti menjelang bebas dan lain-lain
c. Lemahnya pengawasan baik pengawasan melekat oleh pejabat internal lapas dan
pengawasan fungsional oleh Inspektorat Jenderal Dephukham
93
d.
e.
94
Dalam
perkembangan
selanjutnya
pelaksanaan
Sistem
128 Ibid
95
96
2. Sikap/prilaku petugas
Dalam pembinaan, petugas mempunyai peran yang sangat penting. Hal yang
menjadi dasar yang dapat mempengaruhi pola perilaku dan bertindak para petugas
tentunya berupa tingkat pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan sistem
pemasyarakatan itu sendiri. Sehingga petugas dituntut untuk dapat mengerti tentang
persoalan-persoalan yang timbul demi lancarnya proses pembinaan tersebut.129
Proses pemasyarakatan pidana dapat memberikan output positif, bila
didukung
oleh
sikap/perilaku
petugas
yang
mempunyai
visi
tentang
129 Nur Rochaeti, Pembinaan narapidana di LP Kedung Pane Semarang, Majalah Hukum
Undip, Semarang, 2004, hlm.90.
97
98
seperti rumah sakit, dokter, peralatan keterampilan, sarana olah raga, serta makanan
yang layak.
4. Narapidana
Keberhasilan dari terlaksananya program pembinaan terhadap napi tidak hanya
tergantung dari faktor petugasnya, melainkan juga dapat berasal dari faktor napi itu
sendiri juga memegang peran yang sangat penting. Adapun hambatanhambatan yang
berasal dari narapidana antara lain :
a. Tidak adanya minat
b. Tidak adanya bakat
c. Watak diri131
5. Sumber daya manusia
Setiap pembinaan di lembaga pemasyarakatan, bertujuan untuk mempersiapkan
narapidana kembali ke masyarakat dengan bekal pendidikan dan latihan yang
diterimanya di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu peran narapidana,
petugas dan masyarakat, sangat dibutuhkan agar pembinaan berhasil. Dalam hal ini
baik narapidana maupun petugas saling berinteraksi agar program pembinaan dapat
berjalan. Untuk narapidana dan petugas sebagai sumber daya manusia yang terlibat
dalam hal ini harus menyadari peranannya dalam berlangsungnya proses pembinaan.
131 Rommy Pratama, Sistem Pembinaan Para Narapidana Untuk Pencegahan Residivisme,
http://rommypratama.blogspot.com/2009/03/sistem-pembinaan-para-narapidana-untuk.html,
diakses
tanggal 02 April 2009.
99
yang
di lembaga
100
dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan
malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor
kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya
pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas.
7. Masyarakat dan pihak korban
Pada dasarnya masyarakat juga merupakan faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan pembinaan terhadap napi, karena masyarakat secara tidak langsung
menjadi penentu berhasil tidaknya proses pembinaan di Lapas. Dalam hal pembinaan
berupa program integrasi, masih terdapat kendala-kendala seperti kebanyakan
lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali
lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar.
101
turun dari Kanwil. Tidak hanya itu, proses pemberian pembebasan bersyarat pun
terlambat. Menanggapi hal itu, Dirjen Hak Asasi Manusia (HAM) Dephukham,
Harkristuti Harkrisnowo menyatakan pelanggaran hak narapidana disebabkan karena
buruknya sistem koordinasi antara aparat penegak hukum.132 Contohnya saat masa
tahanan narapidana habis, pihak lapas sudah memberitahukan kepada Kejaksaan pada
H-10 atau H-3. Tetapi Jaksa tidak melakukan eksekusi. Masalahnya Lapas tidak
mungkin membebaskan orang tanpa eksekusi dari Jaksa.
Begitu juga dengan konsep Hakim Wasmat (pengawas dan pengamat) yang
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Harkristuti seharusnya hakim tersebut
melakukan pengecekan terhadap pelaksanaan dari hukuman seorang narapidana. Itu
sebagai bentuk akuntabilitas hakim. Hakim yang memasukan orang ke penjara. Jadi
dia bertanggung jawab terhadap pelaksanaan hukumannya.
Sebagai penengak hukum yang menjatuhkan hukuman kepada pelaku tindak
pidana, tidak berhenti tugasnya. Tugas Hakim sebagai pengawas dan pengamat,
sebagaimana diatur dalam Pasal 277 sampai dengan Pasal 283 Undang-undang No. 8
Tahun 1981 tentang KUHAP yang menghendaki adanya tanggung jawab moral
Hakim yang mewajibkannya mengikuti dan melindungi hak-hak terpidana di dalam
penjara.
Dalam
hal
ini,
Hakim
Pengawas
dan
Pengamat
menitik
beratkan
132 Ibid
102
masyarakat,
Lembaga
Pemasyarakatan
bukan
sekedar
tempat
pembinaan, tetapi wujud dari kekejaman manusia. Sisi buram dari Lembaga
Pemasyarakatan mengharuskan dia berjalan bagaikan kapal tua yang sarat
penumpang, yang sewaktu-waktu dapat tenggelam. Untuk menyelamatkannya, mau
tidak mau Pemerintah harus memperbaiki infrastruktur penjara, seperti mengganti
bangunan lama, menyediakan fasilitas kesehatan, kamar tidur, serta penyediaan
tenaga medis, meningkatkan kualitas petugas, dan yang utama lagi adalah
peningkatan peran Hakim Pengawas dan Pengamat .
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) juga meyoroti kinerja
Lapas. KRHN menilai pemenuhan hak-hak narapidana masih jauh dari harapan.
Padahal, hak-hak dasar warga binaan pemasyarakatan telah diatur dalam UU No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, International Covenant on Civil and Political
Rights (ICCPR) dan lain-lain . Bahkan, di Tahun 1955, PBB telah mengeluarkan
103
104
105
maupun
tentang
perlakuan
para
petugas
pengsuh
dari
lembaga
106
107
daripada itu penggunaan pelepasan bersyarat seperti yang diatur dalam Pasal
15/KUHP sebaiknya dilaksanakan dengan lebih hati-hati lagi.
Sehubungan dengan gagasan pemasyarakatan bagi narapidana di Indonesia
maka dalam rangka pembinaan, oleh Direktorat Pemasyarakatan pada tanggal 8
Pebruari 1965 telah dikeluarkan Surat edaran No.: 10.13/3/1, dimana diinstruksikan
agar dalam membina para tunawarga perlu diperhatikan pendapat dan penjelasan dari
pihak Instansi yang bersangkutan seperti Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri,
POLRI, Kepala Desa, dan lain-lain. Pertanyaan yang tercantum dalam formulir
keterangan yang dikirimkan kepada pejabat tertentu ialah :
1. Bagaimana kesan Saudara pada waktu narapidana tersebut diperiksa perkaranya
dimuka sidang pengadilan? (Penjelasan atas perbuatannya apakah is seorang
yang lekas marsh, naik darah, suka mendusta, dan sebagainya)
2. Peranan apa yang diambil olehnya dalam perbuatan itu? Apakah ia sudah
berulang-ulang melakukan atau tersangkut sesuatu perbuatan yang dapat
dihukum?
3. Motif apakah yang mendorong sehingga ia melakukan kejahatan itu? (Karena
lalai, sengaja, terpaksa, direncanakan sebelumnya, dsb.)
4. Bagaimanakah menurut pendapat Saudara jika : narapidana tersebut. sudah
menjalani 2/3 dari mass pidananya dan telah memenuhi syarat-syarat lainnya
nanti diusulkan untuk mendapatkan pelepasan bersyarat (V. I.) sehingga yang
dimaksud bunyi pass 15 (1) KUHP karena selama berada. dalam Lembaga
108
keterangan-keterangan
yang
diperlukan
oleh
Lembaga
Pemasyarakatan akan dapat dijawab dengan mudah apabila bagi setiap putusan
pidana (terutama yang pidananya lebih dari satu tahun) telah diberikan data-data atau
pertimbangan yang lengkap, yang dengan cepat dapat dilihat dari berkas perkaranya.
Untuk pelepasan bersyarat, tentunya diperlukan data-data atau informasi lebih
lengkap lagi, karena selain ada perubahan dari tingkah laku dari terpidana selama
dalam pembinaan harus dilihat juga faktor-faktor extern lainnya yang positip dan
negatip.
Suatu hal lainnya yang harus diperhatikan ialah bahwa keterangan yang
diberikan oleh pejabat-pejabat tersebut tidak akan efektif lagi apabila diminta setelah
kasus itu lama diselesaikan.
Hal ini mungkin terjadi apabila terpidana atau penuntut umum mengajukan
banding dan kasasi, yang prosesnya bisa memakan waktu bertahun-tahun. Mengingat
waktu yang lama itu dan banyaknya perkara yang serupa yang dihadapi setiap hari,
tentu-nya mereka sudah tidak dapat mengingat dengan pasti lagi hal-hal yang
berkenaan dengan terpidana tersebut, terlebih lagi apabila hakim atau pejabat yang
bersangkutan telah pindah kelain tempat.
Mengenai pelepasan bersyarat ini kantor Besar Jawatan Kepenjaraan
Departemen Kehakiman pada tanggal 25 Pebruari 1964 telah mengeluarkan Surat
109
Edaran No. JH. 7. 4/319 yang ditujukan kepada Kepala Inspektorat Kepenjaraan
Daerah I s/d IX, Direktur, Direktorat Kepenjaraan Daerah, dan Pemimpin
Kepenjaman aerate di Indonesia yang berisi : "Berhubung usul-usul kelepasan
bersyarat yang diterima banyak sekali yang kurang memenuhi Surat Edaran No. J. H.
7. 4/2/101 tanggal 7 Agustus 1957, hingga mempersukar pertimbangan dan memperlambat putusan maka dengan ini sambil sekedar menyegarkan kembali soal
kelepasan bersyarat, diminta dengan hormat tetapi sangat, hendaknya usul kelepasan
bersyarat ini dilengkapi dengan Salinan-salinan surat-surat vonis semuanya.
a. Keterangan asli dari hakim, tentang sikapnya diwaktu sidang dan motif apa yang
mendorong pelanggaran itu.
b. Kemampuannya keluarga narapidana yang bersangkutan dan/ atau kemampuan
yang sanggup menerimanya, berupa apa (asli keterangan ini hams dari pamong
praja setempat).
c. Keterangan asli kesanggupan dari yang akan menerimanya.
d. Keterangan ash dari pamong praja dan polisi untuk menerimanya didaerah serta
sikap dan pandangan masyarakat terhadapnya.
e. Keterangan ash dari pamong praja tentang riwayat hidupnya.
f. Keterangan asli dari Direktur/Kepala Kepenjaraan tentang riwayat hidupnya
dengan mengirimkan/mengisi risalah pemasyar4katan seperti contoh terlampir.
g. Daftar huruf "F".
h. Daftar perobahan.
110
i. Keterangan kesehatan.
j. Keterangan asli tidak keberatan dari Jawatan Imigrasi setempat, jika mengenai
narapidana yang bukan warga negara Indonesia.
Berhubung waktu sekarang banyak pelanggaran hukum yang bukan warga
negara Indonesia dan untuk mempermudah mendapatkan syarat No. 12 dari usul
kelepasan bersyarat tersebut, maka sesuai dengan surat edaran No. J. H. 7/226 tanggal
8 Pebruari 1964 diharap jika Saudara menerima narapidana yang bukan warga negara
Indonesia, segera melaporkan kepada diri ke :
1. Nama
2. Tempat tinggal terakhir
3. Pelanggarannya
4. Lama pidananya dan
5. Putusan Pengadilan Negeri apa dan dimana".
111
Dana
Dalam mengatasi kendala dana yang kurang, maka harus diupayakan kenaikan
anggaran dan mencari pihak lain sebagai pemodal. Biasanya pemodal melatih
narapidana ketrampilan dan hasilnya dapat dijual. Keuntungannya biasanya akan
dibagi.
2.
Sikap/prilaku petugas
Petugas hendaknya berlaku adil kepada seluruh
narapidana, tanpa
membedakan status sosial, ekonomi dan yang lainnya, sehingga narapidana dapat
menerima bentuk pembinaan yang dilakukan oleh petugas.
Petugas pemasyarakatan harus terus menerus bertingkah laku baik dan
melaksanakan kewajiban mereka sedemikian rupa untuk memberi teladan kepada
narapidana dan membangkitkan penghormatan mereka.
133 Ghali Zakaria, Sistem Pemasyarakatan Indonesia Belum Tersentuh Semangat Reformasi
Dan Kebangkitan Nasional, http://klipinglakota.blogspot.com/2008/06/sistempemasyarakatanindonesia-belum.html, diakses tanggal 20 Juni 2009.
112
3.
4.
Narapidana
Dalam kegiatan pengenalan lingkungan bagi narapidana yang baru masuk ke
lembaga pemasyarakatan, yang pada saat itu diberikan pengenalan fisik lingkungan,
juga seyogyanya diberikan pengenalan atas peraturan-peraturan yang eksis dalam
lembaga, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh narapidana, juga
tentang hak dan kewajiban narapidana.
Bila dalam instrumen internasional, informasi-informasi tersebut wajib
diberikan oleh pejabat lembaga pemenjaraan, tetapi dalam instrumen nasional
pemberian pengenalan lingkungan ini diberikan oleh kepala blok. Kepala blok adalah
narapidana, yang biasanya dipilih atas kualifikasi pendeknya sisa masa hukuman dan
perilaku patuh hukum (sesungguhnya hanya patuh kepada petugas) serta memiliki
kewibawaan atas narapidana lain, pihak yang diberikan tanggung jawab oleh petugas
yang berwenang dalam lembaga sebagai penyambung lidah petugas, dan menjadi
penanggung jawab atas ketertiban dan keamanan di wilayah bloknya yang terdiri atas
beberapa kamar dan dihuni oleh sejumlah narapidana.
5.
113
program pembinaan yang kreatif dan murah serta mudah untuk dilakukan, sehingga
dapat berdampak sebagai pembelajaran yang optimal bagi napi sebagai bekal
keterampilannya untuk kelak setelah keluar dari Lapas.
Selain itu hendaknya mengikuti pelatihan yang diadakan khusus bagi petugas
agar dapat memberikan materi yang baik pada narapidana.
6.
Kesejahteraan petugas
Disadari sepenuhnya bahwa faktor kesejahteraan petugas pemasyarakatan di
Indonesia memang dibilang masih memprihatinkan, hal ini disebabkan karena
keterbatasan dana dan kemampuan untuk memberikan tunjangan bagi petugas
pemasyarakatan. Maka imbalan yang diperolehnya menjadi belum seimbang
dibandingkan dengan tenaga yang mereka sumbangkan untuk bekerja siang dan
malam tanpa mengenal lelah di dalam Lapas. Namun pada dasarnya faktor
kesejahteraan petugas ini jangan sampai menjadi faktor yang menyebabkan lemahnya
pembinaan dan keamanan serta ketertiban di dalam Lapas.
7.
114
lingkungan masyarakat dan pihak korban tidak mengizinkan kepadanya untuk kembali
lagi ke masyarakat meskipun hanya sebentar.
Dalam instrumen internasional, secara jelas diatur tentang keberadaan
lembaga pengawas yang independen (ombudsman atau oversight committee) atas
bekerjanya lembaga-lembaga dan administrasi pemenjaraan, untuk memastikan
bahwa lembaga-lembaga ini telah bekerja sebagaimana aturan dan perundangundangan yang berlaku. Lembaga yang independen ini juga memiliki otoritas atas
akses yang luas ke dalam lembaga pemenjaraan dan terhadap narapidana.
Narapidana pun memiliki hak untuk menyampaikan keluhan kepada lembaga.
Pengawas yang independen ini secara bebas dan tanpa didengarkan oleh pejabat
lembaga pemenjaraan. Tentang lembaga pengawas yang independen ini tidak diatur
dalam instrumen nasional.
115
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari uraian bab-bab di muka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penyebab terjadinya tindak pidana residivis dalam sistem hukum pidana di
Indonesia adalah karena adanya stigmatisasi masyarakat dan kondisi lingkungan
areal pemasyarakatan. Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa
pketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikhawatirkan akan
mempengaruhi orang lain untuk melakukan perbuatan melanggar hukum.
Penyebab lain adalah dampak dari prisonisasi atau terjadinya penyimpangan
sendiri di dalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang
merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara.
2. Bentuk pembinaan terhadap
residivis
yang diberlakukan
di Lembaga
116
B. Saran
1. Untuk memudahkan aparat penegak hukum (criminal justice system) seperti
Polisi, Kejaksaan, Pengadilan dan Petugas Pemasyarakatan dalam menentukan
status residivis seseorang, maka hendaknya diberlakukan sistem database online
yang berlaku di seluruh Indonesia. Dengan adanya database online tentang datadata narapidana, maka dapat dilihat apakah seseorang pernah melakukan
kejahatan yang sama di tempat lain.
2. Agar program pembinaan terhadap narapidana berjalan dengan baik, perlu
ditingkatkan sumber daya manusia (SDM) petugas pemasyarakatan, sehingga
petugas memiliki bekal yang cukup dalam melakukan tugasnya, terutama yang
berkaitan dengan kegiatan keterampilan
117
118
DAFTAR PUSTAKA
BUKU-BUKU:
Abidin, Zainal Farid, Hukum Pidana I, Jakarta, Cet I, Sinar Grafika: 1995
Ahcmad Soemadipradja, Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia, Bandung Bina Cipta,
1979
Arif, Barda Nawawi, Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali, 1990
Atmasasmita, Romli, Dari Pemenjaraan Ke Pembinaan Narapidana, Bandung:
Alumni 1997
Bawengan, Gerson, Beberapa Pemikiran Mengenai Hukum Pidana Di Dalam Teori
dan Praktik, Jakarta, Pradnya Paramita: 1979.
Bemmelen, Mr. J. M. Van, Hukum Pidana 2, Hukum Penitentier, diterjemahkan oleh
Hasnan, Bandung, Binacipta, Cet ke 2: 1991.
Cole F. George: The American System of Criminal Justice, 4th Edition, Monterey,
California, Brooks / Cole Publishing Company: 1986.
Dirdjosisworo, Soedjono, Sejarah dan Asas-asas Penologi (Pemasyarakatan),
Bandung: Armico, 1984
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi
Manusia, Pemasyarakatan Dalam Prospeksi Membangun Manusia Mandiri
(Renstra Ditjen Pemasyarakatan Tahun 2001-2005)
Ensiklopedia Of Criminal susunan Fernon C. Barnham
Farid, Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, Cet I: 1995
Gunarso Singgih, Perubahan Sosial dalam Masyarakat: Makalah yang disampaikan
dalam Seminar Keluarga dan Budaya Remaja di Perkotaan, Pusat Antara
Universitas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta: 1989
Harsono, H. S. C. I. Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Djambatan, 1995
119
Jonkers, Mr. J. E. Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Judul asli: Handboek van
het Nederlandsch-Indische Strafrecht, Jakarta, P. T. Bina Aksara Cet Pertama:
1987
Kapita Selekta, Hukum Pidana Dan Krimonologi, Bandung:MandarMaju, 1995
Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah, bagian kedua ; Balai Lektur
Mahasiswa
Ketetapan MPR RI. No. II / MPR / 1993 Tentang Garis-Garis Haluan Besar Negara.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia
Koesnoen, S. H. Susunan Pidana Dalam Negara Sosialis Indonesia, Bandung, Sumur
Bandung: 1964
Kosnoen, R. A, Politik Penjara Nasional, Bandung: Sumur, !961.
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, cet Pertama: 19984
Lopa, Baharudin, Permasalahan Pembinaan Dan Penegakan hukum di Indonesia,
Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Makarao, Taufik Mohammad, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Yogyakarta:
Kreasi Wacana, 2005
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung:Alumni, 1992
Musychan, Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992
Panjaitan, Petrus, Irwan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.,
1995
Poernomo, Bambang, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan,
Yogyakarta: Liberty, 1986
Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1998
120
PERUNDANG-UNDANGAN:
Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Sistem Pemasyarakatan
PP No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan
Pemasyarakatan.
PP No. 32 Tahun 1999 tentang syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan
Rancangan Undang-Undang KUHP yang dikeluarkan oleh Direktorat PerundangUndangan, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undangan Departemen
Kehakiman dan Perundangan-undangan, 1999-2000.
PP No 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan
__________, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan,
Buku ke Kedua, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta:
Universitas Indonesia, 1994.
Nawawi, Barda, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung Alumni, Edisi Kedua,
cetakan ke-2: 1998
Kapita Selekta, Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Cet. II 2002
Barda Nawawi Srief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni, Cet ke-1:
1992.
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet kelima, Jakarta, PT. Rineka Cipta: 1993.
Praja, R. Achmad Soema DI, Asas-asas Hukum Pidana, Bandung Penerbit Alumni:
1982.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung PT. Eresco
Jakarta, cet ke-3: 1981
Samosir, Djisman, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di Indonesia,
Bandung: Bina Cipta, 1992.
Sanusi Has, Dasar-Dasar Penologi, Medan:Monora, 1977
121