Anda di halaman 1dari 165

SKRIPSI

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN PERSONALITY

CHARACTERISTICS THEORY DAN MORAL DEVELOPMENT THEORY

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh:

Nama : Luanita Tjokrodiponto

NPM : 151000213

Program Kekhususan : Pidana

Di bawah Bimbingan:

H. Yesmil Anwar, S.H., M.Si.

NIP: 1954 0911 1958 03 1002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

2021
LEMBAR PENGESAHAN
TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA YANG
DILAKUKAN OLEH ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN PERSONALITY
CHARACTERISICS THEORY DAN MORAL DEVELOPMENT THEORY
SKRIPSI

Disusun oleh

Nama : Luanita Tjokrodiponto

Telah disetujui untuk Dipertahankan dalam Ujian Sidang Kesaranaan

Pada tanggal Juni 2021

Pembimbing

H. Yesmil Anwar , SH ., MSI

NIP: 1954 0911 1958 03 1002

Penguji Materi Penguji Komprehensif

Leni Widi Mulyani, S.H ., MH DR.HJ.N. Ike Kusmiati, SH ., M.um

NIPY: 151.105.62 NIPY: 151.101.50

i
Skripsi ini telah diterma

Sebagai salah satu persyaratan untuk memeperoleh gelar Sarjana Hukum

tanggal …. Juni 2021

DEKAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PASUNDAN BANDUNG

Dr. Anthon F. Susanto, S.H., M.Hum.

NIPY. 151.102.07

ii
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Luanita Tjokrodiponto


NPM : 151000213
Program Kekhususan : Hukum Pidana
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah:
a. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen
Pembimbing:
b. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau dicantumkan dalam
daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya, apabila dikemudian hari


terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang
berlaku di Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

Bandung, Juni 2021


Pembuat pernyataan

Luanita Tjokrodiponto

iii
ABSTRAK

Anak adalah aset bangsa dan sebagai penerus cita-cita bangsa sehingga
memerlukan pembinaan maupun perlindungan dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik dan mental anak. Peran orang tua pun diharuskan mampu untuk
memberikan kasih sayang, pendidikan dan perhatian terhadap anak-anaknya, karena
anak-anak masih memiliki jiwa dan emosi yang tidak stabil, mudah meniru, juga
terpengaruh terhadap lingkungannya, baik yang bersifat po sitif ataupun negatif. Tidak
dapat dipungkiri bahwa saat ini sebagian besar orang tua memprioritaskan hidupnya
untuk mencari nafkah yang terkadang melalaikan fungsinya sebagai orang tua dari
anak-anaknya. Dengan demikian, kasih sayang dan perhatian terhadap anak menjadi
terabaikan. Kehidupan dan perkembangan anak menjadi kurang terkontrol yang
berakibat timbulnya kenakalan remaja.
Penelitian ini menggunakan spesifikasi penelitian dengan metode pendekatan
normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di
dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.
Teknik pengumpulan data dengan wawancara dan studi kepustakaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab seorang anak
dapat melakukan tindak pidana pengeroyokan dan pembunuhan, dilihat dari sudut
pandang kriminologi, juga pada personality characteristics theory dan moral
development theory, untuk mengetahui upaya-upaya yang telah dilakukan apparat,
pemerintah dan juga masyarakat menanggulangi tindak pdana yang dilakukan anak.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan bahwa
faktor anak melakukan tindak pidana pembunuhan terdiri dari faktor internal
meliputi faktor personal, faktor psikologis dan faktor sakit hati sedangkan faktor
eksternal meliputi faktor keluarga, faktor lingkungan, faktor belajar yang
menyimpang dan faktor kurang perhatian dari orang tua. Mengenai upaya-upaya untuk
mengatasi tindak pidana yang dilakukan oleh anak terdiri dari upaya preventif meliputi
menyelenggarakan program khusus anak, meningkatkan kualitas sumber daya manusia
aparat penegak hukum dan memberikan sosialisasi mengenai kesadaran hukum
masyarakat sedangkan upaya represif meliputi rehabilitasi psikososial terhadap pelaku
tindak pidana dan melaksanakan peraturan perundangundangan mengenai sistemm
peradilan pidana anak. Selain Upaya tersebut, upaya lain yang dapat dilakukan adalah
dengan pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian.

Kata kunci : Tindak Pidana yang dilakukan anak, Kriminologi, faktor-faktor

iv
ABSTRACT
This study aims to determine the factors that cause a child to commit a crime
of beating and murder, seen from a criminology point of view, as well as personality
characteristics theory and moral development theory, to find out the efforts that have
been made by the apparatus, government, and society in overcoming crimes committed
by children.
This type of research is descriptive empirical legal research. The approach is
done by studying theories and concepts related to the problem. The normative
approach or library approach is a method or method used in legal research that is
carried out by examining existing library materials. Data collection techniques with
interviews and literature study.
Based on the results of research and discussion, it is concluded that
the factor of the child committing the crime of murder consists of internal
factors include personal factors, psychological factors, and hurt factors while external
factors include family factors, environmental factors, learning factors that
deviant factors and lack of attention from parents. Regarding efforts to
overcome criminal acts committed by children, it consists of preventive efforts
including organizing special programs for children, improving the quality of human
resources for law enforcement officers, and providing socialization regarding public
legal awareness, while repressive efforts include psychosocial rehabilitation of
perpetrators of criminal acts and implementing regulations. legislation regarding the
juvenile criminal justice system. In addition to these efforts, other efforts that can be
made are personality development and independence development.

Keywords: Crime committed by children, Criminology, factors

v
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr.Wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Tak terlupakan juga
shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, para sahabat, keluarga dan para
pengikutnya sampai akhir jaman yang telah memberi limpahan rahmat, karunia serta
ilmunya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi
dengan judul “TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP TINDAK PIDANA
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIHUBUNGKAN DENGAN
PERSONALITY CHARACTERISICS THEORY DAN MORAL DEVELOPMENT
THEORY”
Skripsi ini disusun, untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana
Hukum, Program Kekhususan Hukum Pidana, di Fakultas Hukum Universitas
Pasundan Bandung.
Penulis sangat menyadari bahwa tidak akan mampu menyelesaikan Skripsi ini
tanpa bantuan dari semua pihak yang menaruh perhatian dan bersedia membantu untuk
menyelesaikan penulisan Skripsi ini, untuk itu pada kesempatan ini penulis
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar- besarnya kepada
kedua orang tua tercinta, papih Hendrawan T dan mamih H. Euis Suminar yang telah
memberikan doa serta dorongan baik secara moril maupun materil, serta kepada Suami
Riangga Chrisnda Hidayat, S.T dan anakku tersayang Anggita Maharani Chrisnda dan
kakak Ernawaty Juwita S.T, Satriadi Tjokrodiponto S.T, dan adik tercinta Zalfaa Ulhaq
Maulany.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada yang terhormat Bapak H. Yesmil Anwar, S.H., M.Si selaku Pembimbing
Skripsi, yang dengan tulus ikhlas serta penuh perhatian memberikan bimbingan kepada
penulis sehingga tersusunnya dan selesainya Skripsi ini.

vi
Selanjutnya dalam penulisan Skripsi ini tentu saja tidak terlepas atas bantuan
banyak pihak yang pada kesempatan ini penulis ingin sampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Anthon Freddy Susanto, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Pasundan Bandung.

2. Ibu Dr. Hj. Rd. Dewi Asri Yustia, S.H., M.H., selaku Wakil Dekan I

Fakutas Hukum Universitas Pasundan Bandung.

3. Bapak Firdaus Arifin S.H., M.H., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Pasundan Bandung.

4. Bapak Dr. H. Dudi Warsudin S.H., M.H., selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Pasundan Bandung.

5. Ibu Gialdah Tapiansari Batubara ,SH.,MH., selaku Kepala Bagian Program

Kekhususan Pidana.

6. Bapak H. Yesmil Anwar, S.H., M.Si selaku Dosen Pembimbing.

7. Ibu Melani, Sh., MH. Selaku Dosen Wali

8. Seluruh Dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung

yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih telah memberikan

ilmu yang berguna kepada penulis selama mengikuti pendidikan di

Fakultas Hukum Universitas Pasundan Bandung.

9. Seluruh Staff Akademik dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas

Pasundan Bandung.

10. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman kuliah terdekat Gesti,

Dessy, Bella, RTNita, Mamat terima kasih atas canda tawa yang selalu

vii
membuat semuanya baik dan dukungan kalian selama ini, tetap semangat

dan sukses.

11. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman kuliah yang tidak dapat

di sebut satu persatu angkatan 15, dan 16.

12. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman kuliah seperskripsian

dan seperturnitinan Sukma, Indah dan Yusup terima kasih atas dukungan,

semangat, saran, dan pengertian agar skripsi ini cepat selesai.

13. Terima kasih penulis ucapkan kepada teman Management Shappire yang

telah memberikan semangat dan dukungan.

Semoga Allah SWT membalas amal kebaikan semua pihak yang telah
memberikan bantuan dan dorongan kepada Peneliti selama penyusunan Skripsi ini.
Amin. Peneliti juga menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila
di dalam penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangan dan kesalahan baik yang di
sengaja maupun yang tidak disengaja. Semoga penulisan Skripsi ini dapat memberikan
manfaat selain bagi Peneliti tetapi juga untuk semua pihak, atas segala perhatiannya
Peneliti ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Bandung, 2 Juni 2021

Luanita Tjokrodiponto

viii
DAFTAR ISI
Hal

ABSTRAK ............................................................................................................................................ iv

ABSTRACT ............................................................................................................................................ v

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................... vi

BAB I ...................................................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Penelitian........................................................................................ 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................................... 12

C. Tujuan Penelitian ................................................................................................... 13

D. Kegunaan Penelitian............................................................................................... 14

E. Kerangka Pemikiran .............................................................................................. 14

F. Metode Penelitian ................................................................................................... 30

1. Spesifikasi Penelitian ..................................................................................... 30

2. Metode Pendekatan ....................................................................................... 32

3. Tahap Penelitian ............................................................................................ 33

4. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................... 35

5. Alat pengumpulan Data ................................................................................ 36

6. Analisis Data .................................................................................................. 37

7. Lokasi Penelitian............................................................................................ 38

8. Jadwal Penelitian ........................................................................................... 39

G. Sistematika Penulisan ............................................................................................. 40

ix
BAB II .................................................................................................................................................. 42

A. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana ............................................................. 42

B. Tindak Pidana Pembunhan ................................................................................... 52

C. Tindak Pidana Pengeroyokan ............................................................................... 57

D. Penjelasan tentang Tindak Pidana Anak sesuai dengan Undang-undang Nomor

1 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ................................................ 60

E. Teori Anak .............................................................................................................. 67

F. Tinjauan Mengenai Kriminologi ........................................................................... 76

G. Teori yang terkait dengan Judul ........................................................................... 84

BAB III ................................................................................................................................................. 97

A. Kasus Posisi ............................................................................................................. 97

B. Hasil Wawancara .................................................................................................. 105

BAB IV ............................................................................................................................................... 114

A. Faktor Yang Menyebabkan Anak Melakukan Tindak Pidana Pengeroyokan

dan Pembunuhan Ditinjau dari Perspektif Kriminologi ................................. 114

B. Personality characteristics theory dan Moral development theory dalam Tindak

Pidana Pengeroyokan dan Pembunuhan Yang di Lakukan Anak ................. 127

C. Solusi Yang Dapat Dilakukan Pemerintah Sebagai Upaya Pencegahan Tindak

Pidana Pengeroyokan dan Pembunuhan yang Dilakukan Anak .................... 133

BAB V................................................................................................................................................. 140

A. Kesimpulan .......................................................................................................... 140

B. Saran .................................................................................................................... 142

x
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................ 146

LAMPIRAN ....................................................................................................................................... 150

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum tercantum

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “ Negara

Indonesia adalah Negara Hukum (Rechstat).” Maka setiap tindakan yang

bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar

hukum yang paling tinggi disamping produk hukum yang lainnya, harus

ditegakkan guna mencapai cita-cita dan tujuan Negara Indonesia, yang

tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 alinea ke-4:

“membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang


melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Masyarakat wajib mentaati hukum dan pemerintahan, sebagaimana

tercantum pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi "Segala warga

negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, pemerintahan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

Anak merupakan amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa

yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia yang

1
2

seutuhnya. Negara sebagai pemegang otoritas untuk menjaga dan melindungi

setiap warganya tidak terkecuali anak, wajib memberikan perhatian dan

perlindungan bagi anak. Salah satu upaya yang dapat dilakukan negara adalah

dengan adanya peraturan perundang-undangan yang dapat menjaga hak-hak

anak sebagai warga negara dan hak-hak perdata anak lainnya serta melindungi

anak dari berbagai tindak kekerasan dan diskriminasi termasuk anak yang

bermasalah dengan hukum.1 Terdapat dua alasan penting mengapa anak harus

dilindungi adalah: pertama, anak adalah generasi penerus dan masa depan

bangsa. Kedua, anak adalah kelompok masyarakat yang secara kodrati lemah

sehingga harus dilindungi.

Anak adalah aset bangsa dan sebagai penerus cita-cita bangsa sehingga

memerlukan pembinaan maupun perlindungan dalam menjamin pertumbuhan

dan perkembangan fisik dan mental anak. Oleh karena itu, harus

ditumbuhkembangkan melalui berbagai bidang mulai dari lingkungan keluarga,

masyarakat dan sekolah sehingga diperlukan perangkat hukum yang memadai

untuk melindungi mereka. Peran orang tua pun diharuskan mampu untuk

memberikan kasih sayang, pendidikan dan perhatian terhadap anak-anaknya,

karena anak-anak masih memiliki jiwa dan emosi yang tidak stabil, mudah

meniru, juga terpengaruh terhadap lingkungannya, baik yang bersifat positif

ataupun negatif. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sebagian besar orang tua

1
Muchsin. Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Positif (Tinjauan Hukum
Administrasi Negara, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana. Jakarta 2011. Hal. 23.
3

memprioritaskan hidupnya untuk mencari nafkah yang terkadang melalaikan

fungsinya sebagai orang tua dari anak-anaknya. Dengan demikian, kasih sayang

dan perhatian terhadap anak menjadi terabaikan. Kehidupan dan perkembangan

anak menjadi kurang terkontrol yang berakibat timbulnya kenakalan remaja.

Istilah kenakalan anak diambil dari istilah asing juvenile delinquency. Juvenile

delinquency atau kenakalan anak adalah suatu tindakan atau perbuatan

pelanggaran norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-

anak usia muda.2

Bentuk perlidungan secara hukum oleh Negara kepada anak,

sebenarnya telah dinyatakan dengan dibentuknya undang-undang khusus untuk

anak diantaranya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan

Dari Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

sebagai perubahan dari Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Tentang

Pengadilan Anak. Kedua undang-undang ini memberikan perlakuan khusus

terhadap anak baik sebagai korban maupun sebagai pelaku tindak pidana.

Melakukan perbuatan yang negatif yang didukung dengan

meningkatnya membentuk pertumbuhan jiwa anak-anak maupun kurangnya

perhatian orangtua, mengakibatkan anak-anak melakukan segala perbuatan

yang ingin dilakukannya. Keadaan ini dapat mempengaruhi anak untuk berbuat

2
Setya Wahyudi. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Anak di Indonesia. Yogyakarta 2011, Hal. 30.
4

atau melakukan seperti apa yang mereka lihat sehingga tidak menutup

kemungkinan anak melakukannya seperti menonton film-film kekerasan,

porno, bahkan narkoba.

Di samping itu, terdapat pula anak yang karena satu dan lain hal tidak

mempunyai kesempatan memperoleh perhatian, baik secara fisik, mental

maupun sosial. Keadaan diri yang tidak memadai tersebut, maka baik sengaja

maupun tidak disengaja sering juga anak melakukan tindakan atau berperilaku

yang dapat merugikan dirinya atau masyarakat. Penyimpangan tingkah laku

atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak disebabkan oleh

berbagai faktor, antara lain dampak negatif dari perkembangan pembangunan

yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian

orang tua sehingga membawa perubahan sosial yang mendasar dalam

kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku

anak. Selain itu, anak yang kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan,

bimbingan dan pembinaan dalam pengembangan sikap, perilaku, penyesuaian

diri serta pengawasan dari orang tua, wali, atau orang tua asuh akan mudah

terseret dalam arus pergaulan masyarakat dan lingkungan yang kurang sehat

yang merugikan perkembangan pribadinya.

Dengan adanya keadaan tersebut di atas, dapat mempengaruhi anak

untuk berbuat atau melakukan seperti apa yang mereka lihat sehingga tidak

menutup kemungkinan anak melakukan tindak pidana. Anak sebagai pelaku


5

tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak disebut sebagai Anak Nakal, yaitu: (a) anak yang melakukan tindak

pidana; atau (b) anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi

anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut hukum

lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sejak

berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak yang menggantikan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak, Pasal 1 butir 3 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang dimaksud anak yang berkonflik

dengan hukum adalah :

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya


disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas)
tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
diduga melakukan tindak pidana.”

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kasus

kriminalitas yang dilakukan anak semakin meningkat setiap tahunnya dikutip

dari keterangan KPAI dalam berita di AKURAT.CO “bahwa dari tahun 2011

hingga penghujung tahun 2018, KPAI membukukan setidaknya ada 11.116

orang anak yang terlibat kasus kriminal”3.

Samsul mengatakan, dari 1.851 pengaduan tersebut, lebih dari 50 persen

adalah kasus pencurian. Dari jumlah kasus pengaduan itu, hampir 89,8 persen

3
KPAI 2019. KPAI : Anak JAdi Pelaku Kriminalitas Trendnya Meningkat, dalam
https://akurat.co/news/id-555028-read-kpai-anak-jadi-pelaku-kriminalitas-trendnya-meningkat,
diunduh 03 Juli 2020pukl 14.07
6

kasus anak yang berhadapan dengan hukum berakhir pada pemidanaan atau

diputus pidana. "Tertinggi kasus pencurian, baru diikuti dengan kasus

kekerasan, pemerkosaan, narkoba, serta penganiayaan," ujar Samsul.4

Samsul menuturkan, dari data Kemenkumham, 6.505 anak tersebar di

16 lapas di Indonesia diajukan ke pengadilan, dan 4.622 anak di antaranya saat

ini mendekam di dalam penjara. Jumlah anak yang tersangkut masalah hukum

dan berakhir di balik jeruji besi berdasarkan data Kemenkumham hanya

sebagian saja, angka sebenarnya mungkin jauh lebih besar. "Karena angka ini

hanya bersumber dari laporan 29 Bapas, sementara di Indonesia ada 62 Bapas,"

kata Samsul. Samsul menambahkan, dari laporan tersebut, hanya kurang dari

10 persen anak dikenakan hukuman tindakan yakni dikembalikan kepada

negara (kementerian Sosial) atau orang tua. Ketua Komnas PA, Arist Merdeka

Sirait mengatakan, saat ini sistem hukum di Indonesia dan penerapannya belum

mampu memberikan jaminan terhadap perubahan perilaku anak yang terlanjur

menjadi narapidana. "Anak yang di penjara justru seringkali menyerap dan

belajar berbagai pengalaman kriminalitas yang lebih canggih lagi selama di

dalam penjara," ujar Arist.

Di samping perlidungan dari pemerintah, hal yang tidak kalah

pentingnya adalah peran orang tua dan masyarakat dalam membentuk mental

4
Eko Priliawito dan Luqman Rimadi, 2011, Anak Indonesia Mendekam di Penjara, dalam
http://metro.news.viva.co.id/news/read/273781-4-622-anak-indonesia-mendekam-di-penjara, diunduh
Rabu, 03 Juli 2020. pukul. 15:05.
7

dan moral anak. Bimbingan dari orang tua dan dukungan dari lingkungan

masyarakat untuk mengenalkan perbuatan baik dan perbuatan

buruk/menyimpang serta akibat setiap perbuatan tersebut kepada anak

diharapkan dapat membentuk mental dan moral anak menjadi lebih baik

sehingga anak mampu menjaga dirinya dari pengaruh-pengaruh negatif

lingkungan yang mungkin membentuk perilaku yang buruk pada diri anak.

Anak yang melakukan kejahatan tentu saja belum matang secara mental

dan psikologis, sehingga perlu penanganan khusus dan berbeda

dibandingkan pelaku kejahatan dewasa. Beberapa tindak pidana dengan anak

sebagai pelakunya adalah tindak pidana pengeroyokan. Sebagaimana yang

terjadi di Kota Bandung, dalam hal ini seorang anak melakukan pengeroyokan

hingga menyebabkan kematian, atas perbuatannya itu anak dikenakan pasal 170

ayat 2 KUHP yaitu tindak pidana bersama-sama melakukan kekerasan

(pengeroyokan) yang menyebabkan mati. Selanjutnya ialah tindak pidana

pembuhan yang di lakukan anak berusia 15 tahun Pelaku pembunuhan bocah 6

tahun di Sawah Besar, NF (15) masih dalam proses pemeriksaan kejiwaan.

Sebelumnya dikabarkan, NF melakukan tindakan sadisnya itu karena sudah

lama menahan hasrat ingin membunuh. NF melakukan pembunuhan itu karena

terinspirasi dari film Chucky dan Slender Man. Kedua film tersebut

menampilkan adegan horor dan menyakiti orang, terutama anak-anak.

Ilmu-ilmu yang terdapat dalam kriminologi juga, dapat

menganalisis bagaimana perkembangan bentuk modus kejahatan anak saat ini,


8

dipandang dari sudut ilmu kriminologi dengan personality characteristics

theory dan moral development theory, serta faktor-faktor apa saja yang

menjadi penyebab berekembangnya modus kejahatan anak tersebut, dan

bagaimana upaya atau usaha yang seharusnya dapat digunakan untuk

menanggulangi laju kejahatan anak yang semakin meningkat saat ini baik dari

pihak pemerintah, masyarakat, sampai ke lingkungan keluarga dan orang tua

yang bersifat represif maupun preventif. Karena dalam kasus di atas melibatkan

anak, utamanya anak dengan statusnya yang berhadapan dengan persoalan

hukum, identitasnya haruslah dirahasiakan. Secara hukum hal itu diatur dalam

Undang-Undang No. 35 tahun 2014 yang merupakan perubahan atas Undang-

Undang No. 23 tahun 2002, tentang Perlindungan Anak, pasal 64 huruf (i) yang

menyebutkan, perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum

dilakukan melalui penghindaran dari publikasi atas identitasnya.

Membuka identitas pelaku mengakibatkan mereka mudah dikenali saat

di ruang publik, sehingga nantinya tidak ada perasaan aman bagi pelaku untuk

beraktivitas. Ruang geraknya dibatasi ketakutan akan agresi penolakan sosial

yang datang dari sekitarnya. Ketakutan itu berupa kekhawatiran adanya cacian

secara langsung saat mereka dikenali masyarakat, atau bisa saja ketakutan

terhadap kemungkinan adanya serangan fisik yang ia dapatkan.

Penyebabnya tak lain karena adanya konsensus yang terbentuk di

masyarakat bahwa mereka adalah orang brutal yang harus dijauhi. Terdapat

penolakan dari lingkungan sosial dan terjadinya pembentukan citra atas dirinya.
9

Itu tak luput atas peran pengguna internet juga media yang bekerja tanpa

mempertimbangkan perlindungan terhadap mereka. Belum lagi dampak dari

ramainya serangan terhadap pelaku dengan beragam kalimat menohok dapat

menimbulkan trauma bagi mereka. Pelaku bahkan sempat mengakui bahwa

mereka sempat mendapatkan ancaman akan dibunuh dari banyak orang tak

dikenal. Akibatnya serangan-serangan di ruang maya tersebut menjadi hukum

sosial yang harus ditanggungnya. Pribudiantara Nur Sitepu, yang merupakan

Sekretaris Mentri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam

postingan media Jaring bahkan menyampaikan bahwa tiga pelaku dalam kasus

di atas mengalami depresi berat, bahkan satu diantara perlu penanganan

khsusus.

Hukum sosial itu belum termasuk hukuman pidana yang harus mereka

hadapi. Bahkan efeknya bukan hanya selama kasus tersebut bergulir, melainkan

berdampak jangka panjang, utamanya terhadap masa depan anak. Wajah

mereka telah dikenali sebagai ‘penjahat’ bahkan meski mereka telah selesai

mengalami masa pidana, citra tersebut akan melekat seterusnya. Sehingga efek

ini layaknya perumpamaan “Nila setitik merusak susu

sebelanga”, perbuatnnyanya tersebut tak termaafkan dan sangat

mempengaruhi kehidupannya, sekali ia membuat kesalahan maka yang diingat

tentangnya ialah kejahatannya tersebut.

Keterlibatannya dengan urusan hukum memberikan banyak dampak

bagi anak, pengaruhnya terhadap psikis anak juga hak-haknya sebagai anak
10

sedikit banyak akan hilang. Beratnya hukuman sosial bagi anak telah

mengakibatkan mereka depresi, sehingga menimpalinya dengan tuntutan

hukuman pidana menjadi tidak efektif untuk tujuan melakukan perubahan

sikap, yang ada hanyalah pembalasan dendam.

Potensi diskriminasi hak-hak anak akibat adanya hukuman pidana bagi

anak, salah satunya ialah hak atas pendidikan yang layak. Ketika mereka

menjalani masa pidana, aksesibiltasnya terhadap pendidikan jelas telah

direnggut. Kondisi lembaga permasyarakatan yang selama ini juga tidak

menekankan pada proses membimbing melainkan bertujuan membatasi,

sehingga anak akan sulit mendapatkan pendidikan.

Pembatasan tersebut berlanjut sampai mereka telah selesai menjalani

masa pidana. Masalahnya karena kurangnya penerimaan dari masyarakat, dan

stigma tentang perilakunya di masa lalu bertanggung jawab terhadap hal

tersebut. CaTatan masa lalunya menjadi alasan yang bagi masyarakat

mendorong institusi pendidikan untuk menolak mereka, karena dianggap akan

memberi citra buruk bagi sekolah atau universitas nantinya.

Belum lagi dengan jumlah lembaga permasayarakat khusus anak yang

masih terbatas, sehingga banyak tahanan anak yang terpaksa disatukan dengan

tahanan dewasa. Padahal antara keduanya memiliki perkembangan mental

psikis yang berbeda, sehingga harusnya berbeda pula pola penangannnya.

Lingkungannya tersebut jelas akan sangat berdampak besar terhadap


11

pertumbuhan psikis sang anak. Mereka bahkan rentan menjadi korban

penyiksaan juga pelecehan yang dilakukan sesama penghuni tahanan.

Dalam kriminologi Bonger mendefinisikan dan membagi kriminologi

menjadi dua yaitu kriminologi murni dan kriminologi terapan.5 Dalam kasus ini

akan digunakan kriminologi murni. Kriminologi murni mencangkup

Anthropologi Kriminil, Sosiologi Kriminil, Psikologi Kriminal, Psikopati

Neuropathologi Kriminil, dan penalogi. Dalam pnelitian ini akan dibahas

mengenai Psikologi Kriminal ialah ilmu pengetahuan tentang penjahat yang

dilihat dari sudut jiwanya.

Psikologi menemukan das unbewuszte/ ketidaksadaran, sehingga sejak

itu psikologi mengurai-kan masalah kemauan serta motif dalam hubungannya

dengan perananannya mempengaruhi pikiran serta per-buatan manusia (jahat

atau baik) Sejalan dengan itu berkembang pula aliran yang diberi nama

Behaviourism di USA yang dipelopori oleh John B. Watson yang menyatakan

bahwa bukanlah consiousness/ kesadaran melainkan behaviour/perilakulah

yang merupa kan masalah pokok dalam psikologi.

Para ahli psikologi kemudian menalar bahwa, walaupun beberapa orang

tergabung dalam suatu kejahatan tidak lah sama psychological subgroupsnya.

Artinya walau-pun sekelompok orang melakukan perbuatan yang sama dan

5
W.A Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, diperbaharui oleh Dr. T.H Kempe diterjemah
kan oleh R.A. Koesnoe, diperbaharui oleh B.M. Reksodiputro SH, dibawah penilikan Paul Moedigdo,
cetakan keempat, Pustaka Sarjana, Jakarta 1977, halaman 215
12

seragam dalam melakukan kejahatan, namun kondisi kejiwaan dan perilakunya

masing-masing orang tidaklah sama karakteristiknya.

Maka perlunya suatu pemecahan masalah dalam menanggulangi dan

menindaklanjuti hal ini sangatlah diharapkan, dimana anak sebagai generasi

penerus ,dan merupakan sumber daya manusia yang perlu mendapatkan

perhatian khusus, yang menentukan nasib bangsa kedepannya, dimana

perkembangan globalisasi ekonomi, teknologi, dan modernisasipun semakin

maju dan meningkat. Maka disini penulis akan mencoba untuk menemukan

faktor-faktor apa saja yang menyebabkan atau menimbulkan peningkatan

tindak kejahatan yang dilakukan anak sebagai pelaku, dan juga perkembangan

bentuk kejahatan yag dilakukan anak. Dimana saat ini untuk daerah Bandung

saja, bentuk kejahatan serta modus kejahatan yang dilakukan oleh anak sebagai

pelaku, sudah mengalami banyak perubahan dan semakin bervariasi atau

beraneka ragam.

Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis tertarik untuk mengkaji

secara mendalam mengenai TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP

TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIHUBUNGKAN

DENGAN PERSONALITY CHARACTERISTICS THEORY DAN MORAL

DEVELOPMENT THEORY.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat

ditarik beberapa permasalahan adalah sebagai berikut :


13

1. Bagaimana faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana

pengeroyokan dan pembunuhan ditinjau dari perspektif kriminologi?

2. Bagaimana personality characteristics theory dan moral development

theory dalam tindak pidana pengeroyokan dan pembunuhan yang

dilakukan anak?

3. Bagaimana solusi yang dapat dilakukan pemerintah sebagai upaya

pencegahan tindak pidana pngeroyokan dan pembunuhan yang dilakukan

anak?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Identifikasi masalah di atas, maka usulan penelitian

hukum ini bertujuan :

1. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa apa faktor yang

menyebabkan anak melakukan tindak pidana pengeroyokan dan

pembunhan ditinjau dari perspektif kriminologi;

2. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa apa personality

characteristics theory dan moral development theory dalam tindak pidana

pengeroyokan dan pembunhan yang dilakukan anak;

3. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisa bagaimana solusi yang

dapat dilakukan pemerintah sebagai upaya pencegahan tindak

pengeroyokan dan pembunhan yang dilakukan anak;


14

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dihapkan dapat berguna dan memberi manfaat bagi yang

hendak mengembangkan lebih lanjut dalam suatu penelitian, atau yang

membutuhkan, baik secara teoritis maupun praktis. Berdasarkan identifikasi

masalah diatas dan tujuan penelitian diatas, maka manfaat penelitian ini

meliputi :

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan menjadi karya

tulis ilmiah yang dapat ditelaah dan dipelajari lebih lanjut dalam rangka

pengembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan kajian

Kriminologis anak sebagai pelaku tindak pidana

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pemahaman

yang terkait dengan penegakan hukum dalam menangani masalah tindak

pidana yang kebanyakan dilakukan oleh anak.

E. Kerangka Pemikiran

Tujuan negara Republik Indosesia tertuang dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 alinea ke-4:

“membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang


melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
15

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut


melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945. Maksud dari Pasal 1 ayat (3) yaitu agar warga

negara harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada di dalam

Negara Indonesia. Dari ketentuan tersebut merupakan penegasan untuk

terwujudnya kehidupan bernegara berdasarkan hukum. Kepentingan individu

masyarakat dan negara terus berkembang dinamis sesuai dengan tuntutan

modernisasi dan globalisasi, perubahan masyarakat yang dinamis ini perlu

diatur dalam hukum. Proses pembuatan hukum harus berdasarkan pada nilai-

nilai atau jiwa bangsa, sehingga tidak bisa langsung diterima konsep hukum

yang berasal dari luar.

Menurut Mochtar Kusumaatdja dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum

menjelaskan: 6

“Hukum sebagai aturan-aturan hidup yang mengatur


hubungan antara manusia yang bersama dalam satu
kumpulan manusia dan masyarakat, kerenanya aturan-
aturan itu mengikat mereka karena mereka sepakat untuk
tunduk atau terikat oleh aturan-aturan.”
Hukum memiliki ketertarikan yang sangat luas dengan berbagai bidang

ilmu, bahkan penguasaan ilmu hukum secara tunggal tidak akan dapat

6
Mochtar Kusumaatdja dan Arief Sidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, alumni, Bandung,
2000, hlm. 14.
16

memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga diperlukan

pengetahuan lain agar pemahaman terhadap permasalahan menjadi lebih jelas,

tajam dan tidak simpang siur. Dengan berbekal pengetahuan hukum dan

pengetahuan sosial lain, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, religi,

ekonomi, politik dan budaya, maka diagnosis mengenai permasalahan-

permasalahan yang dihadapi masyarakat dapat lebih cermat dan pemecahannya

pun lebih dapat diterima oleh masyarakat.

Karakter hukum yang bersifat memaksa, adanya larangan atau perintah,

dan terdapat sanksi, menjadikan Hukum sebagai rambu-rambu perilaku anggota

masyarakat, maka hukum seharusnya berlaku dalam jangka panjang dan juga

tidak imun terhadap perubahan masyarakat menurut waktu dan tempat.

Salah satu bagian ilmu hukum adalah hukum pidana. Hukum pidana

adalah hukum yang mengatur semua pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-

kejahatan terhadap norma hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Hukum Pidana di Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah

pembunuhan, pencurian, penipuan, perampokan, penganiayaan, pemerkosaan,

korupsi. Simons berpendapat bahwa hukum pidana termasuk hukum publik,


17

karena hukum pidana itu mengatur hubungan antara para individu dengan

masyarakat negaranya sebagai masyarakat Negara.7

Menurut Prof. Mulyanto, S.H. Strafbaar feit adalah Perbuatan Pidana.

Strafbaar feit yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman

oleh undang-undang, yang dapat dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan. Strafbaar feit juga merupakan kelakuan orang yang

dirumuskan dalam wetbook, yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Suatu peristiwa

hukum dapat dikatakan sebagai tindakpidana apabila, Suatu peristiwa hukum

tersebut telah memenuhi unsur unsur subyektif dan obyektif.8

Di dalam KUHP itu pada umumnya terdapat dua macam unsur, yakni

unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-

unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu

tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

7
D.Simons & P.A.F.Laminating. Kitab Pelajaran HukumPidana, Penerbit Pionir Jaya,
Bandung 1992,
8
Peristiwa Hukum Pidana dari http://rudihendrawan93.blogspot.co.id/2013/07/makalah-
peristiwa-hukum-pidana.html,
18

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan,

dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 338

KUHP;

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, anak dalam Pasal 45

KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun.

Menurut Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila

hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Menurut Undang-undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, anak adalah seseorang yang telah berumur 12 tahun tapi belum

berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.


19

Sebagai teori utama (Grand Theory) digunakan Teori Negara Hukum,

Teori pendukung (Middle-Range Theory) digunakan meliputi Teori Anak,

Teori Kriminologi, Teori terapan (Applied Theory) digunakan Personaity

Characteristics Theory dan Moral Development Theory.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 3 teori yang akan menjadi

dasar untuk memecahkan permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya.

Teori yang pertama yang digunakan adalah teori kriminologi, Personaity

Characteristics Theory dan Moral Development Theory.

1) Teori Negara Hukum

Teori Utama (Grand Theory) yang digunakan adalah Negara

Hukum. Negara hukum adalah negara yang berdasarkan hukum, hukum

memegang peranan di dalam negara tersebut, yang berintikan unsur-

unsur dan asas-asas dasar, yakni asas pengakuan dan perlindungan

martabat serta kebebasan manusia, kebebasan individu, kelompok,

masyarakat etnis, masyarakat nasional, asas kepastian hukum, asas

persamaan (similia similibus), asas demokrasi dan asas pemerintah dan

pejabatnya mengemban fungsi melayani rakyat.

Ada beberapa istilah asing yang di pergunakan sebagai

pengertian negara hukum, yakni rechtsstaat, rule of law, dan etat de

droit. Sepintas istilah ini mengandung makna sama, tetapi sebenarnya

jika dikaji lebih jauh terdapat perbedaan perbedaan yang signifikan.

Bahkan dalam perkembangan pemikiran konsep negara hukum, kedua


20

istilah tersebut juga berkembang, baik secara teoritis-konseptual

maupun dalam rangka praktis-operasional.9

2) Teori pendukung (Middle-Range Theory)

a. Teori Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk

anak yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2014. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak

adalah siapa saja yang belum berusia 18 tahun dan termasuk anak

yang masih di dalam kandungan, yang berarti segala kepentingan

akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak

anak tersebut berada di dalam kandungan hingga berusia 18 tahun.

1. Hak – hak Anak

Hak – hak anak merupakan hak yang bersifat asasi,

sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, Hak Asasi Manusia

(HAM).10 Pada hakikatnya anak–anak tak dapat melindungi diri

sendiri terhadap ancaman mental, fisik, sosial, dalam berbagai

kehidupan. Secara kodrat anak-anak memiliki substansi yang

9
Majda El. Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia (Jakarta : Kencana,
2005), hlm. 21.
10
Lihat Absori, Prlindungan Hukm Hak-hak Anak dan Imlementasinya di Indonesia Pada
Era Otonomi Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1
21

lemah dan di dalam system hukum dipandang sebagai subjek

hukum yag dikaitkan dari bentuk pertanggung jawaban sebagai

mana layaknya seorang subjek hukum normal.11 Oleh karena

itulah ank-anak memerlukan perlindungan. Perlindungan anak

adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi yang

memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara

positif.

Menurut pasal 52 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999, hak anak

adalah hak asasi manusia da untuk kepentingannya hak anak itu

diakui dan dilinungi oleh hukum bahkan sejak dalam

kandungan.

Menurut Ronald Dworkin, hak selalu mengalahkan semua

pertimbangan kuat yang umumnya menang dalam persaingan

dengan soal lain seperti kemakmuran Negara atau kemudahan

administrasif.

1) Hak-hak Anak

11
Dawin Prints, Hukum Anak Indoneia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal 2.
22

Hak-hak anak diaur dapam beberapa peraturan

diantaranya yaitu : Dalam Deklarasi Hak Anak khususnya

pada asas 2, dikatakan bahwa anak-anak mempunyai hak

untuk memperoleh perlindungan khusus dan harus

memperoleh kesempatan dan fasilitas yang dijamin oleh

hukum dan sarana lain.

Hak-hak anak ini diakui dalam konvensi hak-hak (KHA)

yang dikeluarkan oleh Majeis Umum Perserikatan Bangsa-

bangsa pada tahun 1989. Menurut konvensi tersebut, semua

anak, tanpa membela ras, suku bangsa, agama, jenis

kelamin, asal usul ketuunan, maupun bahasa memiliki empat

hak dasar yaitu :

a. Hak Atas Kelangsungan Hidup

Termasuk di dalamnya adalah: hak atas tingkat

kehidupan yang layak, dan pelayanan kesehatan.

Artinya anak-anak berhak mendapatkan gizi yang baik,

tempat tinggal yang layak, dan perawatan kesehatan

yang baik bila ia jatuh sakit.

b. Hak Untuk Berkembang


23

Termasuk di dalamnya adalah hak untuk

mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang,

berkreasi seni dan budaya, juga hak asasi untuk anak-

anak cacat, dimana mereka berhak mendapatkan

perlakuan dan pendidikan khusus.

c. Hak Partisipasi

Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan

menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta

ikut serta dalam pengambilan keputusan yang

menyangkut dirinya.

d. Hak Perlindungan

Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari

segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam dan

sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana

maupun dalam hal lainnya.

2) Jenis-jenis Hak Anak

Jenis Hak Anak menurut Absori dikelompokkan menjadi

4 hak yaitu12:

12
Lihat Absori, Op.cit, Hal 80-83.
24

a. Hak terhadap kelangsungan hidup

1. Hak untuk mendapatkan nama dan

kewarganegaraan;

2. Hak untuk memperolah perlindungan dan

memulihkan kembali aspek dasar jati diri;

3. Hak untuk hidup bersama;

4. Hak untuk memperoleh perlindungan dari segala

bentuk salah perlakuan yang dilakukan orang tua

atau orang lain yang bertanggung jawab atas

pengasuhannya;

5. Hak untuk memperoleh perlindungan khusus bagi

anak– anak yang kehilangan lingkungan

keluarganya dan menjamin pengusahaan keluarga

atau penempatan institusional yang sesuai dengan

mempertimbangkan latar budaya anak;

6. Hak-hak anak penyandang cacat untuk

memperoleh pengasuhaan, pendidikan dan latihan

khusus yang dirancang untuk membantu mereka

demi mencapai tingkat kepercayaan diri yang

tinggi;

7. Hak anak menikmati standar kehidupan yang

memadai dan hak atas pendidikan;


25

b. Hak Terhadap Perlindungan

1. Perlindungan dari gangguan pribadi;

2. Perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan

yang mengancam kesehatan, pendidikan dan

perkembangan anak;

3. Perlindungan dari peyalah gunaan obat bius dan

narkoba, perlindungan dari upaya penganiayaan

seksual, prostitusi, dan pornografi;

4. Perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan

penculikan anak;

5. Perlindungan dari proses hukum bagi anak yang

didakwa atau diputus telah melakukan

pelanggaran hukum.

b. Teori Kriminologi

Kriminologis merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari

tentang sebab-sebab kejahatan dan cara penanggulangannya. Kata

kriminologis berasal dari ahli antropologis Perancis P. Topinard.

Istilah ini berasal dari kata “ crime ” yang artinya kejahatan dan “

logo ” yang artinya pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti

ilmu tentang kejahatan atau penjahat.13 Untuk mengetahui faktor

13
Topo Santoso dan Eva Acjani Zulfa, , Kriminologi, Jakarta, 2005
26

yang menyebabkan kejahatan pembunuan yang dilakukan oleh

pelaku anak terhadap anak, peneliti menggunakan teori yang

dikemukakan oleh Abdul Syani yang terdiri dari faktor internal dan

eksternal dan eksternal yaitu 14:

1. Faktor internal dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a) Sifat khusus dari individu, seperti : sakit jiwa, daya

emosional, rendahnya mental dan anomi.

b) Sifat umum dari individu, seperti : umur, gender, kedudukan

di dalam masyarakat, pendidikan dan hiburan.

2. Faktor eksternal. Antara lain :

a) Faktor ekonomi, dipengaruhi oleh kebutuhan hidup yang

tinggi namun keadaan ekonominya rendah.

b) Faktor agama, dipengaruhi oleh rendanya pengetahuan

agama.

c) Faktor bacaan, dipengaruhi oleh faktor bacaan buku yang

dibaca.

d) Faktor film, dipengarhi oleh film/tontonan yang disaksikan,

e) Faktor lingkungan/pergaulan, dipengaruhi oleh lingkungan

tempat tinggal, lingkungan sekola atau tempat kerja dan

lingkungan pergaulan lainnya.

14
Abdul Syani, Sosialogis Kriminalitas. Bandung. Remaja Karya. 1987. hlm. 37.
27

f) Faktor keluarga, dipengaruhi oleh kurangnnya kasih sayang

dan perhatian dari orang tua.

3) Teori terapan (Applied Theory)

a. Personality Characteristics Theory

Kata personality dalam bahasa inggris berasal dari bahasa

yunani- kuno prosopon atau persona, yang artinya ‘topeng’ yang

biasa dipakai artis dalam teater. Para artis itu bertingkah laku sesuai

dengan ekspresi topeng yang dipakainya, seolah-olah topeng itu

mewakili ciri kepribadian tertentu (Alwisol, 2005).

Murray menyatakan kepribadian adalah suatu lembaga yang

mengatur organ tubuh, yang sejak lahir sampai mati tidak pernah

berhenti terlibat dalam pengubahan kegiatan fungsional. Guliford

menyatakan kepribadian adalah pola trait-trait yang unik dari

seseorang. Phares menyatakan kepribadian adalah pola khas dari

pikiran,perasaan,dan tingkah laku yang membedakan orang satu

dengan yang lainnya dan tidak berubah lintas waktu dan situasi.

(Murray dalam Asra,2008).

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian

adalah sifat-sifat unik yang ada dalam diri setiap individu yang

membedakan individu satu dan lainnya. Kemudian juga menjadi

salah satu faktor yang mempengaruhi individu untuk berinteraksi

dengan lingkungannya.
28

Dewasa ini penyakit mental disebut antisocial personality atau

psychopathy sebagai suatu kepribadian yang ditandai oleh suatu

ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang ramah, bersifat

cuek, dan tidak pernah merasa bersalah. para psychopath terlihat

mempunyai kesehatan mental yang sangat bagus, tetapi apa yang

kita saksikan itu sebenarnya hanyalah suatu “mask of sanity” atau

topeng kewarasan.

b. Moral Development Theory

Lawrence Kohlberg mengembangkan teori perkembangan

moral yang pada dasarnya berada di ranah afektif, namun juga

berkembang secara kognitif sebagaimana sebuah proses yang

berkembang melalui tahapan-tahapan tertentu. 15

Kohlberg mencoba mengembangkan dan meningkatkan

kesadaran penalaran moral dengan cara menekankan pada interaksi.

Menurut Kohlberg aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa

dari lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat dikembangkan

atau dipelajari. Perkembangan moral ini merupakan proses

internalisasi nilai atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan

dan kemampuan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap

15
Supeni, Maria Goretti, Moralitas dan Perkembangannya, Vol. 33, No. 1, (15 Desember,
2010), Hlm. 15
29

aturan yang berlaku dalam kehidupannya. Jadi, perkembangan

moral ini mencakup aspek kognitif tentang pengetahuan baik atau

buruk, benar atau salah, dan aspek afektifnya yaitu sikap perilaku

moral mengenai bagaimana cara pengetahuan moral tersebut

dipraktikkan dalam kehidupan.16

Teori perkembangan moral tumbuh preconventional stage atau

tahap prakonvensional. Disini aturan moral dan nilai-nilai moral

anak terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari

hukuman. Menurut teori ini, anak-anak di bawah umur 9 tahun

hingga 11 tahun biasanya berpikir pada tingkatan prakonvensional

ini. kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang sejak lahir dan

konsekuensinya jika tidak mendapat hal itu. Remaja biasanya

berfikir pada conventional law (tingkatan konvensional). Pada

tingkatan ini seorang individu meyakini dan mnegadopsi nilai-nilai

dan aturan masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha

menegakkan aturan itu. Mereka misalnya berpikir “mencuri itu tidak

sah, sehingga saya tidak seharusnya mencuri dalam kondisi

apapun”. Akhirnya, pada postconventional level (tingkatan

poskonvensional) individu-individu secara kritis menguji

kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial sesuai dengan

16
Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 11
30

perasaan mereka tentang hak asasi universal, prinsip-prinsip moral

dan kewajiban-kewajiban. Mereka berpikir “orang semestinya

mengikuti aturan hukum, namun prinsip-prinsip etika universal,

seperti penghargaan pada hak-hak asasi manusia dan untuk martabat

hidup manusia, menggantikan hukum tertulis bila keduanya

beradu”.

F. Metode Penelitian

Menurut Peter Mahmud, “Penelitian hukum adalah suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”.17 Metode penelitian hukum

adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan

penggunaan metode. Secara harfiah mula-mula metode diartikan sebagaisuatu

jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung

menurut suatu rencana tertentu.18 Metode penelitian yang digunakan penulis

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2011, Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
hlm. 35.
18
Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, 2006, Bayu Publlishing.
Malang. hlm.26.
31

Dalam penulisan ini peneliti menggunakan Metode deskriptif

Kualitatif Metode Deskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah :19

"pemecahan masalah yang diselidiki dengan


menggambarkan dan menuliskan fakta-fakta dan
memperoleh gambaran menyeluruh mengenai
peraturan perundang-undangan dan dikaitkan dengan
teori-teori hukum dalam praktik pelaksanaannya yang
menyangkut permasalahan yang diteliti."
Berdasarkan penjelasan tentang definisi metode deskriptif

Kualitatif, dalam penelitian ini peneliti akan berusaha untuk

menggambarkan dan menguraikan secara sistematis bagaimana tindak

pidana yang dilakukan anak dihubungkan dengan teori.

Deskripsi dimaksudkan adalah terhadap data primer dan juga

data sekunder yang berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan

oleh anak. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap hasil penelitian

dengan menggunakan peraturan perundang-undangan dan teori yang

relevan.

19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, 2010, hlm.
22.
32

2. Metode Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan pendekatan yuridis normative. Pendekatan yuridis

normatif Ronny Hanitijo berpendapat bahwa :20

"Metode pendekatan yuridis normatif yaitu


pendekatan atau penelitian hukum dengan
menggunakan metode pendekatan/teori/ konsep dan
metode analisis yang termasuk dalam disiplin Ilmu
Hukum yang dogmatis.”
Pendekatan yang dilakukan dengan cara mempelajari teori-teori

dan konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah. Pendekatan

normatif atau pendekatan kepustakaan adalah metode atau cara yang

dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka yang ada. Norma hukum yang berlaku itu berupa

norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan,

kodifikasi, undang-undang, Peraturan Pemerintah dan norma hukum

tertulis buatan pihak–pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen

hukum, laporan hukum, catatan hukum dan rancangan undang-undang).

20
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hlm. 106
33

3. Tahap Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini merupakan penelitian

normatif sehingga dalam penelitian ini data utama yang digunakan adalah data

sekunder (data yang sudah jadi), sehingga penelitian kepustakan ini atau studi

kepustakaan merupakan tahap penelitian utama, sedangkan penelitian lapangan

hanya bersifat penunjang terhadap data kepustakaan.

Gambar 1.1 Tahap-tahap Penelitian


Menentukan Tema Merumuskan Masalah

Mengumpulkan Data Menentukan Sumber Data

Analisis Data Menarik Kesimpulan

Dalam melakukan penelitian hukum, dilakukan langkah-langkah (1)

menidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevanuntuk

menetpkan isu hukum yang hendak dipecahkan; (2) pengumpulan bahan-bahan

hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non-

hukum; (3) melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-

bahan yang telah dikumpulkan; (4) menarik kesimpulan dalam bentuk

argumentasi yang menjawab isu hukum; dan (5) memberikan preskripsi

berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan.21

21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, 2007, hlm. 171.
34

Berkenan dengan digunakannya pendekata Yuridis Normatif dalam

pelitian ini tahap penelitian dilakukan yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan menurut Soerjono Soekanto dan Sri


22
Mamudji yaitu: Penelitian terhadap data sekunder, yang dengan

teratur sistematis menyelenggarakan pengumpulan dan pengolahan

bahan pustaka untuk disajikan dalam bentuk layanan yang bersifat

edukatif, informative dan kreatif pada masyarakat. Adapun data

sekunder yang peneliti kumpulkan secara sistematis, yaitu:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan-bahan yang dapat dari

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu :

a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945

b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

c) Undang-undang Hak Asasi Manusia

d) Undang-undang Perlindungan Anak

e) Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak

22
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta, 2001, hlm.42
35

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisa dan memahami bahan hukum primer, seperti buku-

buku yang ada hubungannya dengan penulisan hukum ini.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan-bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, seperti kamus hukum, majalah, jurnal, artikel,

makalah, ensiklopedia,dari internet dan sebagainya.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dalam penelitian ini merupakan tahap

penelitian yang bersifat penunjang terhadap data kepustakaan tersebut

di atas, studi lapangan ini menggunakan data primer. Data primer

berupa hasil wawancara dan putusan hakim yang diperoleh melalui

wawancara dan pengamatan di lapangan yang dilakukan di luar

ruangan.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik

pengumpulan data berdasarkan metode penelitian lapangan (field

research) dan penelitian kepustakaan (library research). Penelitian


36

lapangan (field research), yaitu penelitian yang dilakukan di lapangan

dengan melakukan pengambilan data langsung atau tertulis melalui

wawancara dengan responden. Sedangkan penelitian kepustakaan

(library research), yaitu penelitian yang dilakukan untuk memperoleh

data sekunder yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan

yang berhubungan dengan penelitian penulis serta data tertulis seperti

buku-buku yang berkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung

dengan obyek yang diteliti seperti pada perpustakaan Fakultas Hukum

Universitas Pasundan.

5. Alat pengumpulan Data

a. Data Kepustakaan

Data kepustakaan yaitu dengan mempelajari materi-materi

bacaan yang berupa literatur, catatan perundang-undangan yang

berlaku dan bahan lain dalam penelitian ini. Adapun dalam

penelitian ini penulis menggunakan alat pengumpul data berupa

laptop, alat tulis, dan alat penyimpan data berupa flashdisk.

b. Data Lapangan

Melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang berkaitan

dengan permasalahan yang akan diteliti dengan menggunakan

pedoman wawancara terstruktur (directive interview) atau

pedoman wawancara bebas (non directive interview) serta


37

menggunakan alat perekam suara (voice recorder) untuk

merekam wawancara terkait dengan permasalahan yang akan

diteliti.

6. Analisis Data

Analisa adalah Kegiatan dalam penelitian yang berupa

melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan bahan Hukum

dengan memberikan pemaknaan beserta penafsiran dengan dibantu

dengan teoriteori yang telah diuraikan sebelumnya.23 Dalam hal ini

penulis menggunakan Data yang diperoleh dari penelitian akan

dianalisis dengan menggunakan metode Deskriptif, yaitu hanya akan

menggambarkan saja dari hasil penelitian yang berhubungan dengan

pokok permasalahan. Analisis dapat dirumuskan sebagai suatu proses

penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala

tertentu.24

Sedangkan data yang sudah dianalisis akan disajikan dengan

metode Yuridis Kualitatif, yaitu “seluruh data yang diperoleh

diinventarisasi, dikaji dan diteliti secara menyeluruh, sistematis, dan

terintegrasi untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas atau

dengan memberikan komentar komentar dan tidak menggunakan

23
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad. Op.Cit. hlm 183.
24
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008,
hlm. 87
38

angka-angka. Maka dari analisis data tersebut penulis harapkan dapat

menjawab permasalahan yang ada dalam penelitian ini.25

7. Lokasi Penelitian

Dalam pelaksanannya, Adapun yang menjadi lokasi penelitian

yang penulis pilih yakni :

a. Perpustakaan Fakultas Hukum UNPAS, Jl. Lengkong Besar No. 17,

Bandung.

b. Kementerian Hukum dan Ham. Divisi Pemasyarakatan

c. Polrestabes, Jl. Merdeka No.18-21, Babakan Ciamis, Kec. Sumur

Bandung, Kota Bandung, Jawa Barat 40117

d. Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Jl. Pacuan Kuda No.3,

Sukamiskin, Kec. Arcamanik, Kota Bandung, Jawa Barat 40293

25
Ibid, hlm. 116
39

8. Jadwal Penelitian

Jadwal Penelitian Hukum

Jadwal Penelitian : Tinjauan Kriminlogis Terhadap Tindak Pidana Yang

Dilakukan Oleh Anak Dihubungkan Dengan Personality characteristics theory

Dan Moral Development Theory

Nama : Luanita Tjokrodiponto

NPM : 151000213

No. SK Bimbingan : 34/UNPAS.FH.D/Q/II/2020

Dosen Pembimbing : H. Yesmil Anwar, S.H.,M.Si.

Tabel 1.1 Jadwal Penelitian

WAKTU
No. KEGIATAN FEBR APRI MEI JUNI JULI AGU SEP-DES
UARI L STUS
1. Bimbingan judul
Usulan Penelitian
2. Pengerjaan Usulan
penelitian
3. Sidang Usulan
Penelitian
4. Pencarian Data
Penelitian
5. Penentuan Informan
6. Menghubungi
Informan
7. Pengumpulan Data
Wawancara
8. Analisis Data
40

G. Sistematika Penulisan

Untuk dapat menggambarkan hasil pembahasan dan analisis secara

sistematis, maka penulisan disusun ke dalam V bab dengan tata urut sebagai

berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab pendahuluan ini penulis memaparkan mengenai Latar

Belakang Penelitian, Identifikasi Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan juga

Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN KRIMINOLOGI TINDAK PIDANA YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK

Pada bab II ini penulis memaparkan tentang poin yang ada dalam judul

masing-masing. Menjelaskan pengertian tindak pidana dan kriminologi

dengan menjelaskan dasar hokum yang tercantum dalam tindak pidana

yang dilakukan oleh anak tersebut. Dengan menggabungkan teori

psikologi personality characteristics theory dan moral development

theory

BAB III PELAKSANAAN PENYELESAIAN PENELITIAN

TIJAUAN KRIMINOLOGI TINDAK PIDANA ANAK

DIKAITKAN DENGAN PERSONALITY CHARACTERISTICS

THEORY DAN MORAL DEVELOPMENT THEORY


41

Bab III ini penulis akan menuliskan atau memaparkan hasil penelitian

dari wawancara dengan narasumber yang ikut menangani kasus tersebut

dan juga hasil penelitian dari studi pustaka.

BAB IV ANALISIS PENELITIAN TIJAUAN KRIMINOLOGI

TINDAK PIDANA ANAK DIKAITKAN DENGAN

PERSONALITY CHARACTERISTICS THEORY DAN MORAL

DEVELOPMENT THEORY

Selanjutnya pada bab IV peneliti memaparkan undang-undang hukum

dari tindak pidana anak dengan serta mengkaitkan dengan teori yang

ada untuk mencari alternative solusi dari permasalahan yang ada.

BAB V PENUTUP

Terakhir dalam bab penutup ini yang berisikan kesimpulan dari seluruh

pembahasan penelitian hukum ini kemudian memuat juga saran yang

dianggap perlu untuk perbaikan di masa yang akan datang kelak. Serta

saran yang dapat diberikan

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB II

KAJIAN, TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana

Tujuan negara Republik Indosesia tertuang dalam pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 alinea ke-4:

“membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang


melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pasal 1 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945. Maksud dari Pasal 1 ayat (3) yaitu agar warga

negara harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang ada di dalam

Negara Indonesia. Dari ketentuan tersebut merupakan penegasan untuk

terwujudnya kehidupan bernegara berdasarkan hukum. Kepentingan individu

masyarakat dan negara terus berkembang dinamis sesuai dengan tuntutan

modernisasi dan globalisasi, perubahan masyarakat yang dinamis ini perlu

diatur dalam hukum. Proses pembuatan hukum harus berdasarkan pada nilai-

nilai atau jiwa bangsa, sehingga tidak bisa langsung diterima konsep hukum

yang berasal dari luar.

42
43

Menurut Mochtar Kusumaatdja dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum

menjelaskan: 26

“Hukum sebagai aturan-aturan hidup yang mengatur


hubungan antara manusia yang bersama dalam satu
kumpulan manusia dan masyarakat, kerenanya aturan-
aturan itu mengikat mereka karena mereka sepakat untuk
tunduk atau terikat oleh aturan-aturan.”
Hukum memiliki ketertarikan yang sangat luas dengan berbagai bidang

ilmu, bahkan penguasaan ilmu hukum secara tunggal tidak akan dapat

memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, sehingga diperlukan

pengetahuan lain agar pemahaman terhadap permasalahan menjadi lebih jelas,

tajam dan tidak simpang siur. Dengan berbekal pengetahuan hukum dan

pengetahuan sosial lain, seperti sosiologi, psikologi, antropologi, religi,

ekonomi, politik dan budaya, maka diagnosis mengenai permasalahan-

permasalahan yang dihadapi masyarakat dapat lebih cermat dan pemecahannya

pun lebih dapat diterima oleh masyarakat.

Karakter hukum yang bersifat memaksa, adanya larangan atau perintah,

dan terdapat sanksi, menjadikan Hukum sebagai rambu-rambu perilaku anggota

masyarakat, maka hukum seharusnya berlaku dalam jangka panjang dan juga

tidak imun terhadap perubahan masyarakat menurut waktu dan tempat.

26
Mochtar Kusumaatdja dan Arief Sidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, alumni,
Bandung, 2000, hlm. 14.
44

Salah satu bagian ilmu hukum adalah hukum pidana. Hukum pidana

adalah hukum yang mengatur semua pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-

kejahatan terhadap norma hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Hukum Pidana di Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP), perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah

pembunuhan, pencurian, penipuan, perampokan, penganiayaan, pemerkosaan,

korupsi. Simons berpendapat bahwa hukum pidana termasuk hukum publik,

karena hukum pidana itu mengatur hubungan antara para individu dengan

masyarakat negaranya sebagai masyarakat Negara.27

Menurut Prof. Mulyanto, S.H. Strafbaar feit adalah Perbuatan Pidana.

Strafbaar feit yaitu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman

oleh undang-undang, yang dapat dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggungjawabkan. Strafbaar feit juga merupakan kelakuan orang yang

dirumuskan dalam wetbook, yang bersifat melawan hukum, yang patut

dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan. Suatu peristiwa

hukum dapat dikatakan sebagai tindakpidana apabila, Suatu peristiwa hukum

tersebut telah memenuhi unsur unsur subyektif dan obyektif.28

27
D.Simons & P.A.F.Laminating. Kitab Pelajaran HukumPidana, Penerbit Pionir Jaya,
Bandung 1992,
28
Peristiwa Hukum Pidana dari http://rudihendrawan93.blogspot.co.id/2013/07/makalah-
peristiwa-hukum-pidana.html,
45

Di dalam KUHP itu pada umumnya terdapat dua macam unsur, yakni

unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Yang dimaksud dengan unsur-

unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau

yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari sesuatu

tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di

dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan,

dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang

misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 338

KUHP;

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, anak dalam Pasal 45

KUHPidana adalah anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam belas) tahun.

Menurut Undang-undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia, Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas)
46

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila

hal tersebut adalah demi kepentingannya.

Menurut Undang-undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut Undang-undang No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak, anak adalah seseorang yang telah berumur 12 tahun tapi belum

berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Sebagai teori utama (Grand Theory) digunakan Teori Negara Hukum,

Teori pendukung (Middle-Range Theory) digunakan meliputi Teori Anak,

Teori Kriminologi, Teori terapan (Applied Theory) digunakan Personaity

Characteristics Theory dan Moral Development Theory.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan 3 teori yang akan menjadi

dasar untuk memecahkan permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya.

Teori yang pertama yang digunakan adalah teori kriminologi, Personaity

Characteristics Theory dan Moral Development Theory.

1. Pengertian Tindak Pidana

Pengertian Hukum Pidana atau Nullum Delictum, nulla poena

sine praevia lege poenali sebagaimaa yang diatur didalam Kitab Undang

– undang Hukum Pidana Pasal 1 ayat (1): “Sesuatu peristiwa tidak dapat
47

dikenai hukuman, selain atas kekuatan peraturan undang–undang

pidana yang mendahuluinya. ”29

Sudarsono mengemukakan bahwa hukum pidana adalah pada

prinsipnya hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang

kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum, dan perbuatan

tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan.30

Menurut Moeljatno, mengatakan bahwa hukum pidana adalah

bagian daripada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang

mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

1. Menentukan perbuatan-perbuatan tersebut mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang

berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan

tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi

pidana sebagaimana telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

tersebut.31

29
L. J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,2011, hlm. 324
30
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, Prestasi Pustaka Publishier,Jakarta, 2006,
hlm. 216
31
Ibid
48

Definisi lain hukum pidana Menurut Simons (Utrecht) dalam

bukunya Leerboek Nederlands Strafrecht 1937, memberikan definisi

hukum pidana sebagai berikut : Hukum pidana adalah kesemuanya

perintah-perintah dan larangan–larangan yang diadakan oleh negara dan

yang diancam dengan suatu nestapa (pidana) barang siapa tidak

menaatinya, kesemua aturan–aturan yang menentukan syarat–syarat

bagi akibat hukum itu dan kesemuanya aturan–aturan untuk

mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana tersebut.32

Tindak pidana adalah suatu kejahatan yang semuanya itu telah

diatur dalam undang-undang dan begitu pula KUHP, mengenai tindak

pidana yang kami bahas dalam makalah ini adalah tindak pidana

terhadap tubuh yang bisa disebut juga sebagai penganiayaan.Beberapa

model dan macam penganiayaan telah dilakukan dikalangan

masyarakat sehingga dapatmenimbulkan kematian.

Dalam KUHP itu sendiri telah menjelaskan dan mengatur

tentang macam-macam dari penganiayaan beserta akibat hukum apabila

melakukan pelanggaran tersebut, Pasal yang menjelaskan tentang

masalah penganiayaan ini sebagian besar adalah Pasal 351 sampai

dengan Pasal 355, dan masih banyak pula Pasal-pasal lain yang

32
Moeljatno, Asas – asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 8.
49

berhubungan dengan Pasal tersebut yang menjelaskan tetang

penganiayaan.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Suatu tindak pidan yang terdapat di dalam KUHPidana, pada

umumnya dapat dijabarkan kedalam nsur-unsur yang pada dasarnya

dibagi kedalam dua macam unsur, yakni unsur objektif dan unsur

subjektif. Yang dimaksud dengan unsur subjektif adalah unsur-unsur

yang melekat didalam diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri

sipelaku, dab termasuk didalamnya segala yang terkandung didalam

hatinya, dan yang dimaksud unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur

yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yang di dalam

keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus

dilakuan.33

a. Unsur Subjektif

Unsur - unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu

adalah:34

1) Kesengajaan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa).

33
P. A. F, Lamintang, Dasar – Dasar Hukum Pidana Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997, hlm.193.
34
7 Ibid, hlm.193
50

2) Maksud atau voormenen pada suatu percobaan atau poging

seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat (1)

KUHPidana.

a) Macam – macam maksud atau oogmerk yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan – kejahatan pencurian,

penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain – lain;

b) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad,

seperti yang misalnya terdapat di dalam kejahatan

pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.

c) Perasaan takut atau vress seperti yang diantara lain

terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal

308 KUHP.

b. Unsur Objektif

Sedangkan unsur – unsur objektif dari sesuatu tindak

pidana itu terdiri dari :

1) Sifat melanggar hukum atau wederechtelijkheif.

2) Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai

pegawai negeri sipil” di dalam kejahatan jabatan

menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan pengurus atau

komisaris dari suatu perseroan terbatas” di dalam

kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.


51

3) Causalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan

sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai

akibat.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, selain unsur – unsur

subjektif dan unsur – unsur objektif di atas yang pada umumnya

melekat pada suatu tindak pidana, terdapat unsur – unsur khusus

yang hanya ada pada berbagai tindak pidana tertentu. Titel

XXVII dari buku KUHPidana tentang “kejahatan jabatan”

memuat beberapa pasal yang menyebutkan sebagai unsur

khusus bahwa si pelaku harus ambtenar atau pegawai negeri.35

Moeljatno juga mensyaratkan 3 (tiga) unsur yang harus

dipenuhi perbuatan pidana yaitu:

a. Adanya perbuatan (manusia);

b. Memenuhi rumusan undang-undang;

c. Bersifat melawan hukum.

R. Soesilo memberikan pendapat mengenai unsur-unsur

tindak pidana adalah:

a. Adanya perbuatan manusia;

b. Perbuatan tersebut di atur dalam ketentuan hukum;

35
Wirjono Prodjodikoro, Asas – Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2003, hlm.4.
52

c. Orang yang berbuat harus dapat dipertanggung jawabkan.

Dalam konteks yang lebih luas, unsur – unsur tindak

pidana umumnya terdiri atas:

a. Perbuatan manusia (positif atau negatif, berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (Straafbaar gesteld);

c. Melawan hukum (Onrechtmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (Met schuld in verband stand)

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab

(toerekeningsvaatbaar persoon)

B. Tindak Pidana Pembunhan

1. Pengertian tentang Tindak Pidana Pembunuhan

Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain oleh Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang saat ini berlaku adalah disebut

sebagai suatu pembunuhan. Untuk menghilangkan nyawa orang lain,

seseorang harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang

berakibat dengan meninggalnya orang lain. Tindak pidana pembunuhan

merupakan suatu delik materiil yang artinya delik yang dirumuskan

secara materiil, yakni delik yang baru dianggap sebagai telah selesai

dilakukan oleh pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau


53

yang tidak dikehendaki oleh undang-undang.36 . Berdasarkan uraian

diatas, orang belum dapat berbicara tentang terjadinya suatu tindak

pidana pembunuhan, jika akibat berupa meninggalnya orang lain belum

timbul.

2. Pembagian Jenis Tindak Pidana Pembunuhan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia mengatur

ketentuanketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan yang ditunjukan

terhadap nyawa orang lain dalam Buku ke-II Bab ke-XIX KUHP yang terdiri

dari tiga belas pasal, yakni dari Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Dari

pengaturan mengenai ketentuan-ketentuan pidana tentang kejahatan-kejahatan

yang ditujukan terhadap nyawa orang sebagaimana telah dimaksud, terdapat

pembedaan antara berbagai kejahatan yang dapat dilakukan orang terhadap

nyawa orang, dengan mengklasifikasikan ke dalam lima jenis kejahatan yang

ditujukan terhadap nyawa orang, adalah sebagai berikut :

a) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dalam

pengertian yang umum, tentang kejahatan mana yang masuk dalam

kualifikasi kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dengan tidak

direncanakan sebelumnya (doodslag), dengan kejahatan menghilangkan

nyawa orang lain dengan direncanakan terlebih dahulu (moord).

36
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2012, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Nyawa, Tubuh, Dan Kesehatan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 1
54

b) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang anak yang

baru dilahirkan oleh ibunya sendiri.

c) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain atas

permintaan yang bersifat tegas dan sungguh-sungguh dari orang itu sendiri.

d) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri

atau membantu orang lain melakukan bunuh diri.

e) Kejahatan berupa kesengajaan menggugurkan kandungan seorang wanita

atau menyebabkan anak yang berada dalam kandungan meninggal dunia

(afdrijving).

Delik-delik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,

dapat dibagi ke dalam :

1) Cenvoudige delicten,

2) Gequialificeerde delicten, dan

3) Gepriviligieerde delicten. 37

Cenvoudige delicten atau delik-delik yang sederhana adalah delik-delik

yang diartikan sebagai delik-delik dalam bentuk yang pokok, yakni delik-delik

yang telah dirumuskan secara lengkap dengan semua unsur-unsurnya, baik

dengan menyebutkan nama atau kualifikasi dari delik-delik yang bersangkutan

maupun tidak, hingga apabila di dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur

37
Ibid., hal. 20.
55

selanjutnya hanya disebutkan nama atau kualifikasi dari suatu delik, maka delik

tersebut juga harus memenuhi semua unsur yang disebutkan di dalam rumusan

delik dalam bentuk yang pokok mengenai delik yang sama.

Dihubungkan dengan tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam

buku ke-II Bab ke-XIX KUHP, tindak pidana pembunuhan yang diatur dalam

Pasal 338 KUHP merupakan tindak pidana pembunuhan dalam bentuk pokok.

Rumusan mengenai tindak pidana tersebut, telah menyebutkan secara lengkap

semua unsur dari tindak pidana yang bersangkutan, yang apabila semua unsur

itu dapat dipenuhi, maka tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai

doodslag atau tindak pidana pembunuhan.

Gequialificeerde delictenatau delik-delik dengan kualifikasi adalah

delikdelik dengan pemberatan, yakni delik-delik dengan bentuk yang pokok,

yang karena di dalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan maka

pidana yang diancamkan terhadap delik-delik tersebut menjadi lebih berat.

Dihubungkan dengan tindak pidana pembunuhan, tindak pidana yang

diatur dalam Pasal 339 KUHP dan Pasal 340 KUHP merupakan

Gequialificeerde delicten atau tindak pidana dengan pemberatan. Tindak

pidana pembunuhan yang diatur di dalam Pasal 339 dan Pasal 340 KUHP

merupakan tindak-tindak pidana dalam bentuk yang pokok juga, akan tetapi

yang karena di dalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan, maka


56

tindak pidana tersebut dikaulifikasikan sebagai Gequialificeerde delictenatau

tindak pidana dengan pemberatan.

Keadaan-keadaan yang memberatkan mengenai tindak pidana

pembunuhan yang diatur dalam Pasal 339 KUHP adalah bahwa pembunuhan

tersebut telah dilakukan orang dengan didahului, disertai, atau diikuti oleh suatu

tindak pidana yang lain dengan maksud untuk menyiapkan atau memudahkan

tindak pidana tersebut, atau untuk melepaskan dirinya sendiri atau pelaku

lainnya dari tuntutan hukum dalam hal mereka kepergok pada waktu

melakukan kejahatan ataupun untuk menjamin tetap dikuasainya benda yang

mereka peroleh secara melawan hukum.

Gepriviligieerde delicten atau delik-delik dengan keadaan-keadaan

yang meringankan adalah delik-delik dalam bentuk pokok, yang karena di

dalamnya terdapat keadaan-keadaan yang meringankan maka pidana yang

diancamkan terhadap delik-delik tersebut diperingan.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Dengan Keadaan-

Keadaan Yang Memberatkan

Pasal 338 KUHP mengatur mengenai tindak pidana

pembunuhan (doodslag), adapun unsur-unsur yang terdapat di dalam

rumusan ketentuan pasal tindak pidana pembunuhan adalah sebagai

berikut :
57

a. Unsur subyektif : dengan sengaja

b. Unsur objektif :menghilangkan nyawa orang lain

Unsur subyektif berupadengan sengaja terletak di depan unsur

menghilangkan nyawa orang lain, hal ini berarti bahwa semua unsur

yang terletak dibelakang kata dengan sengajaitu juga diliputi opzet. Hal

lain yang harus dibuktikan dalam unsur opzet adalah

a. Telah willens atau menghendaki melakukan tindakan yang

bersangkutan dan telah watens atau mengetahui bahwa tindakannya

ini bertujuan untuk menghilangkan nyawa orang lain,

b. Telah menghendaki bahwa yang akan dihilangkan itu adalah nyawa,

dan

c. Telah mengetahui bahwa yang hendak ia hilangkan itu ialah nyawa

orang lain.

C. Tindak Pidana Pengeroyokan

Pengertian pengeroyokan adalah peroses, cara perbuatan mengeroyok,

mengeroyok menyerang beramai-ramai (orang banyak) orang kampung

serentak dan memukuli pencopet yang tertangkap basah.38

Disebutkan dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) bahwa: Barang siapa dengan terang-terang dan dengan tenaga bersama

38
Terjemahan gang up on, swarm overhelm, sumber : ebsoft.
58

menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana

penjara paling lama lima tahun enam bulan. Perbuatan “Mengeroyok” yaitu

bersama sama melakukan aksi kejahatan untuk menyakiti seseorang.

Dalam Pasal 170 KUHP diatur sebagai berikut:

Ayat (1) : Barang Siapa yang dimuka umum bersama-sama


melakukan kekerasan terhadap orang atau barang,
dihukum penjara selamalamanya lima tahun enam
bulan.
Ayat (2) : Tersangka dihukum :
1. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia
dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan
yang dilakukannya itu menyebabkan sesuatu luka.
2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika
kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh.
3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika
kekerasan itu menyebabkan matinya orang.
Ayat (3) : Pasal 89 tidak berlaku.39
Berdasarkan unsur-unsur tindak pidana pengeroyokan yang terkandung

dalam rumusan Pasal 170 KUHP di atas. Menurut Buku KUHP pidana

Karangan R. SOESILO cetakan keenam mengemukakan yang dilarang dalam

pasal ini adalah :

1. Melakukan kekerasan. Apa yang dimaksud dengan kekerasan ? mengenai

kekerasan terdapat dalam pasal 89 KUHPidana yaitu Yang disamakan

melakukan kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya

lagi (lemah). Akan tetapi dapat pula kurang daripada itu, sudah cukup

misalnya bila orang-orang melemparkan batu atau rumah, atau membuang

39
Pasal 170 KUHPidana
59

barang-barang dagangan sehingga berserakan, meskipun tidak ada maksud

yang tentu untuk menyakiti orang atau merusak barang. Melakukan

kekerasan dalam pasal ini bukan merupakan suatu daya upaya untuk

mencapai sesuatu seperti halnya dalam pasal 146, 211, 212 KUHPidana dan

lain-lainnya, akan tetapi merupakan suatu tujuan. Disamping itu tidak pula

masuk kenakalan dalam pasal 489 KUHpidana, penganiayan dalam pasal

351 KUHPidana dan merusak barang dalam pasal 406 KUHPidana dan

sebagainya.

2. Kekerasan itu harus dilakukan bersama-sama artinya oleh sedikit-dikitnya

dua orang atau lebih. Orang-orang yang hanya mengikuti dan tidak

benarbenar turut melakukan kekerasan, tidak dapat turut dikenakan dalam

pasal ini.

3. Kekerasan itu harus ditujukan kepada orang atau barang. Hewan atau

binatang masuk pula dalam pengertian barang. Pasal ini tidak membatasi,

bahwa orang (badan) atau barang itu harus kepunyaan orang lain, sehingga

milik sendiri masuk pula dalam pasal ini, meskipun tidak akan terjadi orang

melakukan kekerasan terhadap diri atau barangnya sendiri sebagai tujuan,

kalau sebagaai alat atau daya upaya untuk mencapai sesuatu hal, mungkin

bisa juga terjadi.


60

4. Kekerasan itu harus dilakukan dimuka umum karena kejahatan ini memang

dimasukkan kedalam golongan kejahatan ketertiban umum. Dimuka umum

artinya ditempat publik dapat melihatnya.40

Tindak pidana pengeroyokan dalam bentuk pokok seperti yang diatur

dalam Pasal 170 KUH Pidana terdiri atas unsur-unsur sebagai berikut :

1. Unsur Subjektif :

a. Barang Siapa

b. Yang dimuka Umum.

c. Bersama-sama.

d. Melakukan Kekerasan terhadap orang atau barang.

2. Unsur Objektif :

a. Dengan sengaja.

D. Penjelasan tentang Tindak Pidana Anak sesuai dengan Undang-undang

Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dalam hukum internasional anak yang berhadapan dengan hukum atau

children in conflict with the law, adalah seorang yang berusia dibawah 18 tahun

yang berhadapan dengan sistem peradilan pidana dikarenkan yang berangkutan

disangka atau dituduh melakukan tindak pidana, persinggungan anak dengan

sistem peradilan pidana menjadi titik permulaan anak yang berhadapan dengan

hukum. Mardjono Reksodiputro mengartikan sistem peradilan pidana sebagai

40
R. Soesilo, 1976, “Kitab undang-undang Hukum Pidana” poltiea, Bogor Hal 126.
61

sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan terpidana, dengan tujuan

antaranya mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan

kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah

ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan mengusahakann agar mereka yang

pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi kejahatannya.41 Istilah sistem

peradilan pidana menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada

seseorang yang melakukan tindak pidana atau melanggar kesesuaian hukum

pidana. Dengan demikian istilah sistem peradilan anak dipergunakan untuk

menggambarkan sistem peradilan pidana yang dikonstuksikan pada anak.42

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia harus berhadapan dengan

hukum, yaitu:43 1. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila

dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak

menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah. 2. Juvenile Delinquency

adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa

dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Terkait upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara

luas, tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan

41
Mardjono Reksodiputro, Ibid
42
Angger Sigit pramukti, Sistem Peradilan Anak Indonesia, teuku umar.
43
Nasir Djamil,op,cit ,hal 33
62

dengan hukum saja. Tapi sistem peradilan pidana anak juga harus dimaknai

mencangkup akar permasalahan, root caouses mengapa anak melakukan

perbuatan pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem

peradilan pidana anak mencangkup banyak ragam dan kompeksitas isu mulai

dari anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses pradilan, kondisi

tahanan, dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut

dengan demikian, istilah sistem peradilan pidana anak merujuk pada legalislasi,

norma dan standar, prosedur, mekanisme dan ketentuan.

Berdasarkan penjelasan pasal 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidan Anak menjelaskan setiap anak dalam proses

peradilan pidana berhak : a). diperlakukan secara manusiawi dengan

memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya. b). dipisahkan dengan

orang dewasa. c). memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.

d). mlakukan kegiatan rekreasional. e). bebas dari penyiksaan, penghukuman

atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan

martabatnya. f). tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup. g). tidak

ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dalam waktu

yang paling singkat. h). memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang

objektif, tidak memihak, dan dalam siding yang tertutup untuk umum. i). tidak

dipublikasikan identitasnya. j). memperoleh pendampingan orang tua/wali dan

orang yang di percaya oleh Anak. k). memperoleh advokasi sosial. l).

memperoleh kehidupan pribadi. m). memperoleh aksesbilitas, terutama bagi


63

anak cacat. n). memperoleh pendidikan. o). memperoleh pelayanan kesehatan.

p). memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada

anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang

dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Disamping itu, hakim juga wajib

memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orangtua, wali, atau

orangtua asuh, hubungan antara anggota keluarga, dan keadaan lingkungannya.

Karena anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak

memiliki sistem penilaian kanak-kanak yang menampilkan martabat anak

sendiri dan kriteria norma tersendiri, sebab sejak lahir anak sudah menampakan

ciri-ciri dan tingkah laku karakteristik yang mandiri, memiliki kepribadian yang

khas dan unik. Hal ini disebabkan oleh karena taraf perkembangan anak itu

memang selalu berlainan dengan sifat- sifatnya dan ciri-cirinya, dimulai pada

usia bayi, remaja, dewasa dan usia lanjut, akan berlainan psikis maupun

jasmaninya.

Undang-undang Peradilan bagi anak di negara tersebut. Dalam

pembahasannya ada kelompok yang menekankan segi pelanggaran hukumnya,

ada pula kelompok yang menekankan pada sifat tindakan anak apakah sudah

menyimpang dari norma yang berlaku atau belum melanggar hukum. Namun

semua sepakat bahwa dasar pengertian kenakalan anak adalah perbuatan atau

tingkah laku yang bersifat anti sosial. Sebagaimana diketahui terdapat berbagai
64

macam definisi yang dikemukakan oleh para ilmuwan tentang juvenile

delinquency ini, seperti diuraikan di bawah ini. Paul Moedikno (dalam Romli

Atmasasmita, 1983:22) memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile

Delinquency, yaitu sebagai berikut:44

Paul Moedikno (dalam Romli Atmasasmita, 1983:22) mernberikan

perumusan, mengenai pengertian Juvenile Delinquency, yaitu sebagaI berikut:

a. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu

kejahatan, bagi anak-anak merupakan deliquency. Jadi semua tindakan

yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya,

membunuh dan sebagainya.

b. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang

menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana

jangki tidak sopan, mode you can see dan sebagainya

c. Semua perbuatan yang menunjukan kebutuhan perlindungan bagi sosial,

termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Tingkah laku yang menjurus kepada masalah Juvenile Delinquency ini

menurut Adler (dalam Kartini Kartono, 1992:21-23) adalah: 45

1. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan

membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;

44
Romli Atmasasmita, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Rajawali Pers,
Kota Besar, 2011, hlm. 23.
45
Kartini Kartono, Patologi sosial 2 Kenakalan Reajala (Jakarta; CV, Raawali, 1998) hal 21
65

2. Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman

lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan

dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror

lingkungan.

3. Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku

(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.

4. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi

di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-

macam kedurjanaan dan tindakan asusila;

5. Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan

mengancam, intimadasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas

menjambret, menyerang, merampok, mengganggu, menggarong,

melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik,

meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya;

6. Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas,

atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang

mengganggu sekitarnya;

7. Perkosaan, agresivitas seksual, seksual, dan pembunuhan dengan motif

sosial, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan

inferior,, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi balas

dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain;


66

8. Kecanduan dan ketagihan narkoba (obat bius, drug, opium, ganja yang erat

berkaitan dengan tindak kejahatan;

9. Tindakan-tindakan imoral seksual secara terang-terangan tanpa tedeng

aling-aling, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan Cinta bebas tanpa

kendali (promiscuity) yang didororng oleh hiperseksualitas, dorongan

menuntut hak, dan usaha-usaha kompensasi lainnya yang kriminal sifatnya;

10. Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas

lainnya pada anak remaja disertai dengan rindakan-tindakan sadis;

11. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga

menimbulkan akses kriminalitas;

12. Komersialisasi seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan

pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;

13. Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan

pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;

14. Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-

anak dan remaja psikopatik, neurotik dan menderita gangguan jiwa lainnya;

15. Tindak kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur (encephaletics

lethargoica) dan ledakan maningitis serta post-encephalitics; juga luka di

kepala dengan kerusakan pada otak ada kalanya membuahkan kerusakan

mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan kontrol

diri;
67

16. Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak

yang menuntut lkompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.

E. Teori Anak

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak

yang masih dalam kandungan terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014. Pasal tersebut menjelaskan bahwa, anak adalah siapa saja yang

belum berusia 18 tahun dan termasuk anak yang masih di dalam kandungan,

yang berarti segala kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak

sudah dimulai sejak anak tersebut berada di dalam kandungan hingga berusia

18 tahun.

1. Hak – hak Anak

Hak – hak anak merupakan hak yang bersifat asasi, sebagaimana

yang dimiliki orang dewasa, Hak Asasi Manusia (HAM).46 Pada

hakikatnya anak–anak tak dapat melindungi diri sendiri terhadap

ancaman mental, fisik, sosial, dalam berbagai kehidupan. Secara kodrat

anak-anak memiliki substansi yang lemah dan di dalam system hukum

dipandang sebagai subjek hukum yag dikaitkan dari bentuk

pertanggung jawaban sebagai mana layaknya seorang subjek hukum

46
Lihat Absori, Prlindungan Hukm Hak-hak Anak dan Imlementasinya di Indonesia Pada
Era Otonomi Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1
68

normal.47 Oleh karena itulah ank-anak memerlukan perlindungan.

Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi

yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara

positif.

Menurut pasal 52 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999, hak anak

adalah hak asasi manusia da untuk kepentingannya hak anak itu diakui

dan dilinungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan.

Menurut Ronald Dworkin, hak selalu mengalahkan semua

pertimbangan kuat yang umumnya menang dalam persaingan dengan

soal lain seperti kemakmuran Negara atau kemudahan administrasif.

a. Hak-hak Anak

Hak-hak anak diaur dapam beberapa peraturan diantaranya yaitu

: Dalam Deklarasi Hak Anak khususnya pada asas 2, dikatakan

bahwa anak-anak mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan

khusus dan harus memperoleh kesempatan dan fasilitas yang

dijamin oleh hukum dan sarana lain.

Hak-hak anak ini diakui dalam konvensi hak-hak (KHA) yang

dikeluarkan oleh Majeis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada

47
Dawin Prints, Hukum Anak Indoneia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, Hal 2.
69

tahun 1989. Menurut konvensi tersebut, semua anak, tanpa

membela ras, suku bangsa, agama, jenis kelamin, asal usul

ketuunan, maupun bahasa memiliki empat hak dasar yaitu :

b. Hak Atas Kelangsungan Hidup

Termasuk di dalamnya adalah: hak atas tingkat kehidupan yang

layak, dan pelayanan kesehatan. Artinya anak-anak berhak

mendapatkan gizi yang baik, tempat tinggal yang layak, dan

perawatan kesehatan yang baik bila ia jatuh sakit.

a. Hak Untuk Berkembang

Termasuk di dalamnya adalah hak untuk

mendapatkan pendidikan, informasi, waktu luang, berkreasi seni

dan budaya, juga hak asasi untuk anak-anak cacat, dimana mereka

berhak mendapatkan perlakuan dan pendidikan khusus.

b. Hak Partisipasi

Termasuk di dalamnya adalah hak kebebasan

menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul serta ikut serta

dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dirinya.

c. Hak Perlindungan
70

Termasuk di dalamnya adalah perlindungan dari segala bentuk

eksploitasi, perlakuan kejam dan sewenang-wenang dalam proses

peradilan pidana maupun dalam hal lainnya.

2. Jenis-jenis Hak Anak

Jenis Hak Anak menurut Absori dikelompokkan menjadi 4 hak

yaitu48:

a. Hak terhadap kelangsungan hidup

1) Hak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan;

2) Hak untuk memperolah perlindungan dan memulihkan kembali

aspek dasar jati diri;

3) Hak untuk hidup bersama;

4) Hak untuk memperoleh perlindungan dari segala bentuk salah

perlakuan yang dilakukan orang tua atau orang lain yang

bertanggung jawab atas pengasuhannya;

5) Hak untuk memperoleh perlindungan khusus bagi anak– anak

yang kehilangan lingkungan keluarganya dan menjamin

pengusahaan keluarga atau penempatan institusional yang

sesuai dengan mempertimbangkan latar budaya anak;

48
Lihat Absori, Op.cit, Hal 80-83.
71

6) Hak-hak anak penyandang cacat untuk memperoleh

pengasuhaan, pendidikan dan latihan khusus yang dirancang

untuk membantu mereka demi mencapai tingkat kepercayaan

diri yang tinggi;

7) Hak anak menikmati standar kehidupan yang memadai dan hak

atas pendidikan;

b. Hak Terhadap Perlindungan

1) Perlindungan dari gangguan pribadi;

2) Perlindungan dari keterlibatan dalam pekerjaan yang

mengancam kesehatan, pendidikan dan perkembangan anak;

3) Perlindungan dari peyalah gunaan obat bius dan narkoba,

perlindungan dari upaya penganiayaan seksual, prostitusi, dan

pornografi;

4) Perlindungan upaya penjualan, penyelundupan dan penculikan

anak;

5) Perlindungan dari proses hukum bagi anak yang didakwa atau

diputus telah melakukan pelanggaran hukum.

c. Hak Untuk Tumbuh Berkembang

1) Hak untuk memperoleh informasi;

2) Hak untuk bermain dan rekreasi;

3) Hak untuk berpartisipasi dalam kegiatan budaya;

4) Hak untuk kebebasan berpikir dan beragama;


72

5) Hak untuk mengembangkan kepribadian;

6) Hak untuk memperoleh identitas;

7) Hak untuk didengar pendapatnya;

8) Hak ntuk memperoleh pengembangan kesehaatan dan fisik.

d. Hak Untuk Berpartisipasi

1) Hak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan

atas pendapatnya;

2) Hak untuk mendapat dan mengetahi informasi serta

untuk mengekspresikan;

3) Hak untuk berserikat menjalin hubungan untuk bergabung;

4) Hak untuk memperoleh informasi yang layak dan terlindung

dari informasi yang tidak sehat.

3. Pengaturan Hak Anak

Pengaturan hak-hak anak menurut Konvensi Hak Anak yaitu:

Pasal 19

“Negara akan mengambil langkah–langkah legislatif


administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna
melindungi anak dari segala bentuk kekerasan fisik
atau mental atau penyalah gunaan penelantaran atau
perlakuan salah, atau eksploitasi termasuk penyalah
gunaan seksual.“
Penetapan program-program sosial guna memberi dukungan

yang diperlukan bagi anak, dan mereka yang berhak memelihara anak.
73

Menetapkan program pelaporan, rujukan, pemeriksaan untuk

kepentingan proses pribadi dan proses peradilan.

a. Pasal 32

“Hak anak untuk dilindungi terhadap eksploitasi


ekonomi dan terhadap pelaksanaan setiap pekerjaan
yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan
anak, atau merugikan kesehatan anak atau
perkembangan fisik, mental, spiritual, moral atau sosial
anak.”
b. Pasal 34

“Melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi

dan penyalahgunaan seksual.”

c. Pasal 39

“Mengambil semua langkah yang tepat


meningkatkan pemulihan fisik maupun pesikologis dari
reintegrasi dengan masyarakat seoarang anak yang
menjadi korban dari setiap bentuk penelantaran,
eksploitasi atau penyalahgunaan, penyiksaan atau setiap
bentuk kekejaman yang tidak manusiawi dan
merendahkan martabat.”
Disamping itu di dalam Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak, disebutkan bahwa:

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak.
74

“Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan,

dan bimbingan berdasarkan kasih sayang, baik dalam

keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk

tumbuh dan berkembang secara wajar. “

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 4 1979 tentang

kesejahteraan Anak.

“Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan

kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan

kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk manjadi

warga negara yang baik dan berguna. “

Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang No.4 Tahun 1979


Tentang Kesejateraan Anak.
“Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik

semasa dalam kandungan maupun sesudah di lahirkan.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1979

Tentang Kesejahteraan Anak

“Anak yang tidak mampu berhak atas perlindungan

terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan


75

atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan

dengan wajar.”

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun

2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak:

a. Pasal 13 ayat 1 dan 2

(1) “Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,


wali atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab
atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi
maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman,
kekerasaan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f.
perlakuan salah lainnya
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak
melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
b. Pasal 15

“Setiap anak berhak untuk memperoleh


perlindungan dari: a. penyalahgunaan dalam kegiatan
politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c.
pelibatan dalam kerusuhan sosial; d. pelibatan dalam
peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; e.
pelibatan dalam peperangan.”

c. Pasal 16 Ayat (1) dan (2)

Ayat (1) “Setiap anak berhak memperoleh


perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan,
atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.”
Ayat (2) “Setiap anak berhak memperoleh kebebasan
sesuai dengan hukum.”
76

d. Pasal 17

Ayat (1) “Setiap anak yang dirampas kebebasannya


berhak untuk: a) Mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang
dewasa; b)Memperoleh bantuan hukum atau bantuan
lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku; dan c)Membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum.”
Ayat (2) “Setiap anak yang menjadi korban atau
pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan
hukum berhak dirahasiakan.”
e. Pasal 59

“Pemerintah wajib dan bertanggung jawab


memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak
tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak
yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan
anak korban perlakuan salah dan penelantaran.”
F. Tinjauan Mengenai Kriminologi

1. Pengertian Kriminologi

Secara etimologis, kriminologi berasal dari kata crimen yang

berarti kejahatan dan logos berarti ilmu atau pengetahuan. Jadi


77

kriminologi adalah ilmu atau ilmu pengetahuan tentang kejahatan.49

Istilah kriminologi untuk pertama kali digunakan oleh P. Topinand

(1897), ahli antropologi Prancis. Sebelumnya kriminologi

menggunakan istilah antropologi criminal.50

Beberapa sarjana terkemuka memberikan definisi kriminologi

sebagai berikut:

a. E.H. Sutherland, kriminologi adalah seperangkat pengetahuan

yang mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial

b. W.A Bonger, kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang

bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya

c. Wood, menyatakan istilah kriminologi meliputi keseluruhan

pengetahuan yang diperoleh berdasaran teori atau pengalaman

yang bertalian dengan perbuatan jahat dan para penjahat

d. Noach, menyebutkan kriminologi adalah ilmu pengetahuan

tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut

orang-orang yang terlibat dalam perilaku jahat dan perbuatan

tercela itu.

2. Ruang Lingkup Kriminologi

Menurut Bonger, ruang lingkup kriminologi dibedakan antara

kriminologi murni dan kriminologi terapan.

49
Susanto. I.S. 2011. Kriminologi. Genta Publishing, Yogyakarta, hal. 1.
50
Abdussalam H.R, 2007, Kriminologi, Restu Agung, Jakarta, hal. 4.
78

a. Ruang lingkup kriminologi murni melliputi :

1) Antropologi Kriminal

Antropologi kriminal adalah ilmu pengetahuan yang

mempelajari dan meneliti mengenai manusia yang jahat dari

tingkah laku, karakter dari sifat dan cirri tubuhnya seperti

apa, juga meneliti apa ada hubungan antara suku bangsa

dengan kejahatan dan seterusnya.

2) Sosiologi Kriminal

Sosiologi kriminal adalah ilmu pengetahuan yang

mempelajari dan meneliti mengenai kejahatan sebagai suatu

gejala sosial atau gejala masyarakat, untuk mengetahui

sampai dimana sebab-sebab kejahatan yang terjadi di dalam

masyarakat. Seperti apakah masyarakat yang melahirkan

kejahatan termasuk kepatuhan dan ketaatan masyarakat

terhadap peraturan perundang-undangan. Apakah norma-

norma masyarakat tidak berfungsi dalam mencegah

kejahatan.

3) Psikologi Kriminal

Ilmu pengetauan ini mmperlajari dan meneliti kejahatan dari

sudut kejiwaannya. Apakah kejiwaannya melahirkan

kejahatan atau karena lingkungan atau sikap masyarakat


79

yang mempengaruhi kejiwaan, sehingga menimbulkan

kejahatan.

4) Psikopatologi dan Neuropatologi Kriminal

Ilmu pengetahuan ini mempelajari dan menelitik kejahatan

dan penjahat yang sakit jiwa atau urat syaraf. Apakah sakit

jiwa atau urat syaraf yang menimbulkan kejahatan dan

kejahatan apa yang timbul akibat sakit jiwa atau urat syaraf.

5) Penologi

Ilmu pengetahuan ini mempelajari dan meneliti kejahatan

dari penjahat-penjahat yang telah dijatuhi hukuman. Apakah

penjahat yang dijatuhi hukuman tersebut akan menjadi

warga masyarakat yang baik atau masih melakukan

kejahatan, bahkan mungkin lebih meningkat kualitas

kejahatannya. Apakah pemidanaan dikaitkan dengan latar

belakang dan adanya keseimbangan antara pemidanaan

dengan kejahatan yang dilakukan.

3. Teori kriminologi

Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain

(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :

a. Teori Diferensial Association

Sebab-sebab timbulnya kejahatan dalam kriminologi

dapat diketahui salah satunya yakni dengan teori yang disebut


80

teori differensial association yang pertama kali dikemukakan

oleh Shuterland. Dia menjelaskan bahwa dalam melakukan

suatu kejahatan diperlukan suatu proses belajar terlebih dahulu,

perilaku yang dipelajari dalam lingkungan sosial tersebut.

Artinya bahwa semua tingkah laku dapat dipelajari dengan

berbagai cara. Bahwa menurutnya tingkah laku jahat dapat kita

pelajari melalui interaksi dan komnikasi, yang dipelajari dalam

kelompok tersebut. Teori asosiasi differensial Sutherland

mengenai kejahatan menegaskan bahwa :

1) Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.

2) Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi

dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.

3) Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi

dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan

kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah

pergaulan.

4) Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik

melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan

pembenar.

5) Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas

peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak

menyukai.
81

6) Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya

terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar

daripada mentaatinya.

7) Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi,

durasi, prioritas dan intensitas.

8) Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan

dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua

mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.

9) Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari

kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku

kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan

umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal

pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan

nilai-nilai yang sama.

Teori asosiasi diferensial dapat digunakan sebagai alat

analisis untuk mencari penyebab orang melakukan cyber crime.

Menurut teori tersebut, pada dasarnya kejahatan merupakan

hasil dari suatu proses pembelajaran dan komunikasi yang

berlangsung dari seseorang pada kelompok intim.

b. Teori anomi

Kemudian teori Anomi. Konsep anomi sendiri

diperkenalkan oleh seorang sosiolog Prancis yaitu Emile


82

Durkheim (1893). Kata ini berasal dari bahasa Yunani a-:

“tanpa”, dan Nomos: “hukum” atau “peraturan”. Istilah

tersebut dikemukakan oleh Robert. K. Merton yang bertujuan

untuk menggambarkan keadaan tanpa norma (deregulation) di

dalam masyarakat. Keadaan deregulation atau normlessness

tersebut, kemudian menimbulkan perilaku deviasi. Teori ini

tidak lepas dari konspesi Durkheim tentang manusia, yang

menurutnya ditandai oleh tiga hal, yakni manusia merupakan

mahluk sosial (man is social animal); eksistensinya sebagai

mahluk sosial (human being is a social animal); manusia

cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat

tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to

live in colonies, and his/her survival dependent upon moral

conextions) Teori anomi dapat digunakan sebagai alat analisis

untuk mencari penyebab orang melakukan kejahatan siber

(cyber crime). Teori anomi beranggapan bahwa kejahatan

muncul karena dalam masyarakat tidak ada norma yang

mengatur suatu aktivitas tersebut (normlessness)

c. Teori kontrol sosial

Teori ini meletakan penyebab pada lemahnya ikatan

individu atau ikatan sial dengan masyarakat, atau karena

macetnya integrasi sosial. Kelompok-kelompok yang lemah


83

sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung melanggar hukum

merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika

seseorang dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali

kecenderungan menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya.

Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari putusannya ikatan

seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang. Terdapat

empat kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku

kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :

1) Kasih Sayang

Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada

antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang

tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu

merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang

patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan

positif bagi individu.

2) Komitmen

Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi

dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-

tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya

hidup delinkuensi.

3) Keterlibatan
84

Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan

seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan

konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan

yang dihargai masyarakat.

4) Kepercayaan

Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya

keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan

kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini

sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu

dengan lingkungan masyarakatnya.

G. Teori yang terkait dengan Judul

1. Personality Traits

Menurut Robbins dan Judge (2008) Sikap (attitude) merupakan

pernyataan-pernyataan evaluative terhadap objek, orang atau peristiwa.

Sikap memiliki tiga komponen yaitu kesadaran (kognitif) adalah

segmen opini atau keyakinan dari sikap. Seperti keyakinan bahwa

“deskriminasi itu salah” merupakan sebuah pernyataan evaluative.

Komponen perasaan (efektif) adalah segmen emosional atau perasaan

dari sikap dan tercermin dalam pernyataan seperti “saya tidak menyukai

jon karena ia mendiskriminasi orang-orang minoritas:. Komponen

perilaku (behavioral) dari sebuah sikap merujuk sesuatu. Sehingga dari


85

contoh didiskriminasi di atas perilaku yang timbul misalnya menghidari

Jon.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bawah perilaku

merupakan bagian dari sikap. Menurutnya kepribadian seseorang dapat

membentuk perilaku setiap idividu. Kepribadian didefinisikan sebagai

keseluruhan cara dimana seseorang idnividu bereaksi dan berinteraksi

dengan individu lain.

Kata personality dalam bahasa inggris berasal dari bahasa

yunani- kuno prosopon atau persona, yang artinya ‘topeng’ yang biasa

dipakai artis dalam teater. Para artis itu bertingkah laku sesuai dengan

ekspresi topeng yang dipakainya, seolah-olah topeng itu mewakili ciri

kepribadian tertentu (Alwisol, 2005).

Murray menyatakan kepribadian adalah suatu lembaga yang

mengatur organ tubuh, yang sejak lahir sampai mati tidak pernah

berhenti terlibat dalam pengubahan kegiatan fungsional. Guliford

menyatakan kepribadian adalah pola trait-trait yang unik dari seseorang.

Phares menyatakan kepribadian adalah pola khas dari

pikiran,perasaan,dan tingkah laku yang membedakan orang satu dengan

yang lainnya dan tidak berubah lintas waktu dan situasi. (Murray dalam

Asra,2008).

Dari defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa kepribadian

adalah sifat-sifat unik yang ada dalam diri setiap individu yang
86

membedakan individu satu dan lainnya. Kemudian juga menjadi salah

satu faktor yang mempengaruhi individu untuk berinteraksi dengan

lingkungannya.

Dewasa ini penyakit mental disebut antisocial personality atau

psychopathy sebagai suatu kepribadian yang ditandai oleh suatu

ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang ramah, bersifat cuek,

dan tidak pernah merasa bersalah. para psychopath terlihat mempunyai

kesehatan mental yang sangat bagus, tetapi apa yang kita saksikan itu

sebenarnya hanyalah suatu “mask of sanity” atau topeng kewarasan.

Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji

hubungan antara keperibadian dengan kejahatan. Pertama, melihat

perbedaan-perbedaan antara struktur keperibadian dri penjahat dan

bukan penjahat. Kedua, memprediksi tingkah laku. Ketiga, menguji

tingkatan di mana dinamika-dinamika keperibadian normal beroperasi

dalam diri penjahat. Keempat, mencoba menghitung perbedaan-

perbedaan individual antara tipe-tipe dan kelompok-kelompok

kejahatan.

Dalam bukunya The Criminal Personality (kepribadian

criminal), Yochelson dan Samenow menolak klaim para psikoanalis

bahwa kejahatan disebabkan oleh konflik internal. Tetapi yang

sebenarnya para penjahat itu sama-sama memilikipola berpikir yang


87

abnormal yang membawa mereka memutuskan untuk melakukan

kejahatan.

Yochelson dan Samenow mengidentifikasi sebanyak 52 pola

berfikir yang umumnya ada pada penjahat yang mereka teliti. Keduanya

berpendapat bahwa para penjahat adalah orang yang “marah”, yang

merasa suatu sense superprioritas, menyangkal tidak bertanggung jawab

atas tindakan yang mereka ambil, dan mempunyai harga diri yang

sangat melambung. Tiap dia merasa ada satu serangan terhadap harga

dirinya, ia akan memberi reaksi yang sangat kuat, sering juga berupa

kekerasan.

2. Moral Development theory

Lawrence Kohlberg mengembangkan teori perkembangan

moral yang pada dasarnya berada di ranah afektif, namun juga

berkembang secara kognitif sebagaimana sebuah proses yang

berkembang melalui tahapan-tahapan tertentu.

Kohlberg mencoba mengembangkan dan meningkatkan

kesadaran penalaran moral dengan cara menekankan pada interaksi.

Menurut Kohlberg aspek moral adalah sesuatu yang tidak dibawa dari

lahir, tetapi sesuatu yang berkembang dan dapat dikembangkan atau

dipelajari. Perkembangan moral ini merupakan proses internalisasi nilai

atau norma masyarakat sesuai dengan kematangan dan kemampuan

seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap aturan yang berlaku dalam


88

kehidupannya. Jadi, perkembangan moral ini mencakup aspek kognitif

tentang pengetahuan baik atau buruk, benar atau salah, dan aspek

afektifnya yaitu sikap perilaku moral mengenai bagaimana cara

pengetahuan moral tersebut dipraktikkan dalam kehidupan.51

Teori perkembangan moral tumbuh preconventional stage atau

tahap prakonvensional. Disini aturan moral dan nilai-nilai moral anak

terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk menghindari

hukuman. Menurut teori ini, anak-anak di bawah umur 9 tahun hingga

11 tahun biasanya berpikir pada tingkatan prakonvensional ini.

kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang sejak lahir dan

konsekuensinya jika tidak mendapat hal itu. Remaja biasanya berfikir

pada conventional law (tingkatan konvensional). Pada tingkatan ini

seorang individu meyakini dan mnegadopsi nilai-nilai dan aturan

masyarakat. Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakkan aturan itu.

Mereka misalnya berpikir “mencuri itu tidak sah, sehingga saya tidak

seharusnya mencuri dalam kondisi apapun”. Akhirnya, pada

postconventional level (tingkatan poskonvensional) individu-individu

secara kritis menguji kebiasaan-kebiasaan dan aturan-aturan sosial

sesuai dengan perasaan mereka tentang hak asasi universal, prinsip-

prinsip moral dan kewajiban-kewajiban. Mereka berpikir “orang

51
Darmiyati Zuchdi,Humanisasi Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008). Hlm 11
89

semestinya mengikuti aturan hukum, namun prinsip-prinsip etika

universal, seperti penghargaan pada hak-hak asasi manusia dan untuk

martabat hidup manusia, menggantikan hukum tertulis bila keduanya

beradu”.

Moral yang pada umumnya didefinisikan oleh para ahli

psikologi sebagai sikap dan keyakinan yang dimiliki seseorang yang

membantu orang tersebut untuk memutuskan apa yang benar dan salah

(hook, 1999). Selanjutnya Hook menyatakan bahwa konsep moralitas

itu sendiri dipengaruhi oleh aturan dan norma norma budaya yang

dimana seseorang dibesarkan, sehingga terinteralisasi dalam diri orang

tersebut.

Teori perkembangan Moral dari L. Kohlberg memiliki beberapa

tahap-tahap perkembangan moral tersebut diantaranya sebagai berikut :

Tingkat I : Pra Konvensional. Pada tingkat (level) moralitas Pra

konvensional, moralitas anak berorientasi kepada akibat fisik yang

diterimanya daripada akibat-akibat psikologis dan berorientasi pada

rasa patuh kepada pemberi otoritas. Jadi perilaku moral anak

berdasarkan pada kendali eksternal, pada hal-hal yang diperintahkan

dan dilarang oleh otoritas tersebut. Tingkat Pra konvensional ini dibagi

menjadi dua tahap, yaitu tahap satu dan tahap dua.

Tahap 1 : Orientasi patuh dan takut hukuman. Dalam tahap

pertama tingkat ini, anak berorientasi pada kepatuhan dan hukuman, dan
90

moralitas suatu tindakan dinilai atas dasar akibat fisiknya. Anak

menganggap perbuatannya baik apabila ia memperoleh ganjaran atau

tidak mendapat hukuman. Oleh karenanya tingkah laku anak diarahkan

untuk mendapatkan ganjaran tersebut dan menghindarkan

laranganlarangan yang akan memberinya hukuman. Kepatuhan anak

ditujukan kepada otoritas, bukan kepada peraturan dan kepatuhan

dinilai untuk kepentingan dirinya sendiri. Pikirannya bersifat egosentris,

yaitu anak tidak dapat memahami atau mempertimbangkan pandangan-

pandangan orang lain yang berbeda dengan pandangannya.

Tahap 2: Orientasi naif egoistis/hedonisme instrumental. Pada

tahap ini, seseorang menghubungkan apa yang baik dengan

kepentingan, minat dan kebutuhan dirinya sendiri serta ia mengetahui

dan membiarkan orang lain melakukan hal yang sama. Seseorang

menganggap yang benar apabila kedua belah pihak mendapat perlakuan

yang sama, yaitu yang memberikan kebutuhan-kebutuhan sendiri dan

orang lain, semacam moralitas jual beli. Perspektif timbal balik ini

masih bersifat sangat pragmatis. Tahap ini juga disebut tujuan

instrumental oleh karena tindakan itu dianggap benar jika secara

instrumental dapat menyenangkan, memuaskan diri sendiri dan orang

lain. Tahap ini berbeda dari tahap moral orientasi patuh dan takut

hukuman dalam hal sudah timbulnya pandangan timbal balik antara

dirinya dengan orang lain, karena tahap orientasi patuh dan takut
91

hukuman hanya mampu melihat dari perspektif dan kepentingan dirinya

sendiri saja. Perbedaan lainnya adalah bahwa seseorang pada tahap ini

di dalam menentukan apakah sesuatu itu baik atau tidak baik, tidak

sepenuhnya tergantung pada pihak otoritas (kekuatan eksternal), tetapi

peran dirinya sendiri mulai ada

Tingkat II: Konvensional. Tingkat moralitas ini juga biasa

disebut moralitas peraturan konvensional dan persesuaian (conformity).

Ciri utama tingkat ini adalah suatu tindakan dianggap baik apabila

memenuhi harapan-harapan orang lain di luar dirinya, tidak peduli

akibatakibat yang langsung dan kelihatan. Sikap ini bukan hanya mau

menyesuaikan dengan harapan-harapan orang tertentu atau dengan

ketertiban sosial, akan tetapi sikap ingin loyal, sikap ingin menjaga,

menunjang dan memberi justifikasi pada ketertiban itu dan sikap ingin

mengidentifikasikan diri dengan orang-orang atau kelompok yang ada

di dalamnya. Tingkat konvensional dibagi menjadi dua tahap, yaitu

tahap tiga dan tahap empat.

Tahap 3: Orientasi anak yang baik. Dalam tahap ini, moralitas

anak yang baik, anak yang menyesuaikan diri dengan peraturan untuk

mendapatkan persetujuan orang lain dan untuk mempertahankan

hubungan baik dengan mereka. Agar disebut sebagai anak baik,

individu berusaha agar ia dapat dipercaya oleh kelompok, bertingkah

laku sesuai dengan tuntutan kelompok dan berusaha memenuhi


92

harapanharapan kelompok. Jadi pada tahap ini individu telah menyadari

nilai dalam suatu kelompok. Ciri-ciri altruistik cukup menonjol, yaitu ia

lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri. Kemampuan

empati membuat individu pada tahap ini mulai meninggalkan prinsip

timbal balik, sifat egois telah ditransformasikan kepada pencarian

persetujuan. Oleh karena itu di dalam memutuskan sesuatu secara moral

baik, persetujuan diri sendiri belum cukup, individu masih mencari

persetujuan eksternal. Perlu dipahami bahwa egosentrisme individu

belum ditinggalkan sama sekali.

Tahap 4: Moralitas pelestarian otoritas dan aturan sosial. Dalam

tahap keempat ini kebenaran diartikan sebagai menjunjung tinggi

hukum yang disetujui bersama. Individu yakin bahwa apabila kelompok

sosial menerima peraturan yang sesuai bagi seluruh anggota kelompok,

mereka harus berbuat sesuai dengan peraturan itu agar terhindar dari

kecaman dan ketidak setujuan sosial. pada tahap ini orientasi sebagai

orang yang loyal, bak hati, memenuhi harapan orang atau kelompok

berganti dengan orientasi memelihara dan mempertahankan sistem

sosial. Orientasi melaksanakan kewajiban dengan baik dan

menghilangkan egosentrime yang masih ada pada tahap ketiga

penalaran moral. Dapat disimpulkan bahwa ciri utama tahap ini adalah

menggantikan loyalitas kepada orang lain, kelompok atau masyarakat

kepada loyalitas hukum.


93

Tingkat III: Pasca konvensional. Tingkat ketiga ini bisa juga

disebut sebagai moralitas prinsio-prinsip yang diterima sendiri. Pada

tingkatan ini nilai-nilai moral diartikan terlepas dari otoritas dan dari

kelompok, terlepas dari apakah individu menjadi anggota kelompok

atau tidak. Individu berusaha untuk memperoleh nilai-nilai moral yang

lebih sahih yang diakui oleh masyarakat luas yang bersifat universal dan

menjadi hak milik pribadinya. Tingkat pasca konvensional ini dibagi

menjadi dua tahap, yaitu tahap lima dan tahap enam.

Tahap 5 : Kebenaran diperoleh individu melalui pertimbangan

hak-hak individu yang umum dan telah dikaji oleh masyarakat secara

kritis. Konsensus masyarakat diperlukan karena nilai-nilai pribadi

masih dianggap relatif. Legalitas diutamakan, akan tetapi tidak

berpegang secara kaku kepada peraturan seperti pada tahap keempat.

Pada tahap kelima ini peraturan dapat diubah demi kesejahteraan

masyarakat. Individu meyakini bahwa harus ada keluwesan dalam

keyakinan-keyakinan moral yang memungkinkan modifikasi dan

perubahan standar moral apabila ini terbukti akan menguntungkan

kelompok sebagai suatu keseluruhan. Pada tahap ini individu menyadari

bahwa hukum dan kewajiban harus berdasarkan perhitungan rasional

dari kegunaannya secara keseluruhan. Di dalam bertindak individu

melakukan yang paling baik untuk mendapatkan yang paling baik.

Individu menyadari bahwa terdapat perbedaan nilai dan pendapat


94

diantara individu-individu. Dalam hal ini individu tidak memihak, akan

tetapi lebih berorientasi pada kontrak sosial. Beberapa nilai dan hak

seperti hak hidup dan kebebasan harus tetap dijunjung tinggi walaupun

tidak mendapatkan dukungan mayoritas.

Tahap 6: Moralitas prinsip-prinsip individu dan conscience.

Dalam tahap keenam ini kebenaran didasari oleh kata hati sendiri yang

mengandung konsistensi, pemahaman yang logis dan prinsip universal

seperti keadilan, persamaan hak-hak asasi manusia dan penghormatan

terhadap martabat manusia. Dengan mengikuti prinsip etika yang

dipilih sendiri oleh individu ini, apabila hukum melanggar

prinsipprinsip, maka individu akan bertindak dengan berpegang pada

prinsip-prinsip tersebut. Prinsip ini merupakan keadilan hak asasi

manusia sebagai individu. Individu memiliki persektif bahwa setiap

manusia yang rasional menyadari sifat moralitas atau fakta bahwa orang

adalah pribadi tersendiri dan harus diperlakukan demikian. Pada tahap

ini orang menyesuaikan dengan standar sosial dan cita-cita internal

terutama untuk menghindari rasa tidak puas dengan diri sendiri dan

bukan untuk mengindari kecaman sosial. tahap ini merupakan moralitas

yang lebih banyak berlandaskan penghargaan terhadap orang lain

daripada keinginan pribadi.

Menurut Kohlberg (Shaffer, 1985; Durkin, 1995; Hook, 1999),

tingkat pra konvensional ialah tingkat kebanyakan anak di bawah usia


95

10 tahun. Tingkat konvensional ialah tingkat kebanyakan remaja dan

orang dewasa. Tingkat pasca konvensional ialah tingkat yang dicapai

oleh sejumlah minoritas orang dewasa dan biasanya dicapai setelah usia

24 tahun.

Menurut Kohlberg dan kawan-kawannya, kebanyakan

delinquent dan penjahat berpikir pada tingkatan pra-konvensional.

Akan tetatpi, perkembangan moral yang rendah atau tingkatan

prakonvensional saja tidak menyebabkan kejahatan. Faktor -faktor

lainnya, seperti situasi atau tiadanya ikatan sosial yang penting,

mungkin ambil bagian.

Psikolog John Bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan

dan ateksi (kasih sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak

mendapat hal itu. Dia mengajukan theory of attachment (teori kasih-

sayang) yang terdiri atas tujuh hal penting, yaitu: (1) specifity (kasih

sayang itu sifatnya selektif); (2) Duration (kasih sayang berlangsung

lama dan bertahan); 3) Engagement of emotion (melibatkan emosi); (4)

Ontogeny (rangkaian perkembangan, anak membentuk kasih sayang

pada satu figure utama); (5) Learning (kasih sayang hasil dari interalksi

social yang mendasar); (6) Organization (kasih sayang mengikuti suatu

organisasi perkembangan); (7) Biological function (perilaku kasih

sayang memiliki fungsi biologis, yaitu survival). Menurut Bowlby,


96

orang yang sudah biasa menjadi penjahat umumnya memiliki

ketidakmampuan membentuk ikatan-ikatan kasih sayang.

Para kriminolog juga menguji pengaruh ketidakhadiran seorang

ibu, baik karena kematian, perceraian atau karena ditinggalkan. Apakah

ketidakhadiran itu menyebabkan delinquency? Penelitian empiris masih

samar/tidak jelas dalam soal ini. Namun satu studi terhadap 201 orang

yang dilakukan oleh Joan McCord menyimpulkan bahwa variable:

kasih sayang serta pengawasan ibu yang kurang cukup, konfik orang

tua, kurangnya percaya diri sang ibu, kekerasan ayah secara signifikan

mempunyai hubungan dengan dilakukannya kejahatan terhadap orang

dan/atau harta kekayaan. Ketidakhadiran sang ayah tidak dengan

sendirinya berkorelasi dengan tingkah laku kriminal.


BAB III

DATA PENELITIAN

A. Kasus Posisi

1. Tindak Pidana Pengeroyokan

Pada kasus pertama yaitu pengeroyokan yang mengakibatkan

mati dilakukan oleh RG, AH, dan TA di Pengadilan Anak pada

Pengadilan Negeri Bandung Kelas IA Khusus yang memeriksa dan

mengadili perkara anak pada tingkat pertama, dengan acara

pemeriksaan biasa telah menjatuhkan putusan. Pengeroyokan hingga

mengakibatkan mati ini dilakukan oleh ketiga terdakwa diawali dengan

pertengkaran mulut yang dilakukan oleh AH kepada korban Nendi.

Selanjutnya AH sempat melakukan pemukulan kepada korban,

setelah itu giliran Terdakwa RG yang menghampiri dan memukul

korban. Bahwa saat itu korban Nendi Als. Rega sempat melakukan

perlawanan dengan cara berusaha untuk menghindar dari Para

Terdakwa, namun usaha tersebut gagal karena Terdakwa RG berhasil

menarik baju korban dengan tangan kiri, selanjutnya Terdakwa RG

menusuk ke arah antara tubuh dan leher sebelah kanan dengan

menggunakan pisau hingga akhinya korban berteriak dan mengalami

luka serta mengeluarkan banyak darah; Bahwa selanjutnya AH

97
98

bersama-sama dengan Terdakwa RG, TA Sdr. Hendra (Dpo), Sdr. Opan

(Dpo) pergi meninggalkan korban dengan menggunakan motor.

Bahwa akibat dari perbuatan Para Terdakwa bersama dengan

rekan-rekannya korban Nendi Als Rega mengalami luka hingga

akhirnya meninggal dunia, hal tersebut didasarkan atas Visum Et

Repertum No.: B /16/ VM 2017 /Reskrim Rumah Sakit Bhayangkara

Sartika Asih yang dibuat dan di tanda tangani oleh dr. M. Hisan

Wahyudi, SpF dengan kesimpulan pemeriksaan:

Pada pemeriksaan mayat dengan jenis kelamin laki-laki,

dijumpai luka tusuk dileher akibat kekerasan benda tajam. Terdapat

tanda pendarahan hebat. Sebab kematian orang ini adalah akibat

kekerasan benda tajam didaerah leher sebelah kanan (tusuk) yang

mengakibatkan putus pada percabangan pembuluh nadi, leher sebelah

kanan, sehingga terjadi pendarahan hebat;>:ayat (1) dan ayat (2) ke - 3

KUH Pidana;

Perbuatan terakwa sebagai mana diatur dan diancam pidana

dalam pasal 353 ayat (1) dan ayat (3) KUHP. Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1

KUH Pidana.

Dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Pangadilan Negeri

Bandung KL IA Khusus pada hari Senin, tanggal 10 Juli 2017 oleh kami

Dr. Jonlar Purba, SH.MH. selaku Ketüa Majelis, Waspin

Simbolon,SH.MH. dan Suwanto,SH. masing-masing sebagal Hakim


99

Anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka

untuk umum oleh Majelis Hakim tersebut pada har Selasa, tanggal 11

Juli 2017 dengan dibantu oleh Landong Hadamean Silalahi,SH.

Panitera Pengganti Pengadilan Negeri Bandung dengan dihadiri oleh

Gani Alamsyah,SH. Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung

dan Terdakwa dengan didampingi oleh Penasihat Hukumnya.

Mengadili dan Menyatakan bahwa Terdakwa RG dengan

identitas tersebut diatas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana dimuka umum secara bersama-sama

melakukan kekerasan terhadap manusia yang menyebabkan matinya

Orang. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karerna itu dengan

pidana penjara selama 3 (iga) tahun. Menetapkan bahwa masa

penahanan yang telah djalani oleh 1 Terdakwa dikurangkan seluruhnya

dari Pidana yang dijatuhkan.52

Dalam pengertian kesalahan menurut psikologis hukum pidana

adalah hubungan batin anatara pelaku dan perbuatan yang

dilakukannya. Jika perbuatan tesebut dikehendaki, maka peaku telah

melakuaknnya dengan sengaja. Pasal 48; pengaruh dengan paksa ada

beberapa postulat terkait dengan paksa ;

52
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, PUTUSAN Nomor : 16/Pid.Ss-
Anak/20017/PIN BDG
100

a. Good alias nonfuit litium recesitas licitum artinya keadaaan

terpakasa memperbolehkan apanya yang tadi dilarang oleh

hukum ;

b. Incotu extremal recessitatess antcomuria yang berarti dalam

keadaan terpaksa, tindakan yang diambil dipandang perlu ;

c. Recessitas quod Cogitdefensit, keadaan melindungi apa yang

harus diperbuat.

d. Recessitas Sublege Non Contineturo Zwia Quod Alias ronese

Licitum ecessitas Facit Licitium, artinya keadaan terpaksa tidak

ditahan oleh hukum perbuatan dilarang oleh huum, namun

dilaukan dalam keadaan terpaksa maka perbuatan tersebut

dianggap sah.

2. Tindak Pidana Pembunuhan

Selanjutnya pada kasus posisi yang kedua yakni Fitri yang

merupakan pelaku tunggal atas pembunhan yang dlakukan terhadap

anak usia 5 tahun Arumi. Kasus ini bermula ketika Fitri mulai menonton

danmenggemari berbagai film horror dan killers. Dia mulai terpesona

vidio game kekerasan khususnya selipeis dimainkan sepanjang waktu

gambar gambar yang dibuat berubah menjadi semakin kelam dan

menyeramkan sesaat kemudian Fitri tertarik forum online dan situs

crepypasta yang berisi kumpulam cerita horor pendek favoritnya


101

slenderman dia juga menjelajahi sudut paling menakutkan diinternet

seperti channel youtube Marble Hornets dan Crypt Tv. sudah bosan

dengan fantasi Fitri mulai mencari yang nyata vidio pemenggalam

kepala kecelakaan mobil otopsi dan mutilasi, tidak lama lagi Fitri

memiliki teman yang bisa di share obsesi gelapnya.

Untuk mengekspor fantasinya Fitri bangkit meraih kucing

kesayangannya dipeluk dielus bulunya yang halus dari punggung hingga

keleher kucing.Fitri mulai mencekam leher kucing yang ada dipelukannya. Lalu

Fitri berjalan kejendala dan melemparkan kucing keluar jendela, kucingnya

menjadi korban pertamanya.

Setelah saat itu Fitri tak bisa tidur dikamar dia menulis kata-kata penuh

amarah dan keputusasaan dibukunya, menggambar sosok remaja perempuan

yang menangis teraniaya merasa tak berdaya ada pula sosok pria berjas hitam

tanpa wajah dan tentakel panjang dipunggung mirip tokoh fiksi menyeramkan

slanderman menurut cerita dari crepypasta slanderman suka menculik dan

melukai orang terutama anak-anak. Fitri menghentikan aksinya menengok

kearah pintu yang terbuka diluar kamar cahaya remang-remang tak seorang pun

disana suasana sepi dan hening Fitri lanjut menggambar Fitri merapat

kedinding pelan-pelan. Selanjutnya FItri menuruni tangga menuju ruang tamu

lalu ia melihat sosok hitam bertangan panjang berjongkok disana membentur

langit-langit rumah kecilnya sosok itu menoleh tanpa wajah sang pahlawan
102

slanderman. Fitri menatap tak berkedip matanya terbelalai bibir yang tertutup

rapat berubah menjadi senyum lebar dia membuka tangan menutup mata.

5 maret 2020 jam setengah dua siang Fitri kekamar mandi dengan bak

yang terisi penuh. Fitri berbalik menuju ruang tamu Arumi dan indri masih

nonton tv Fitri mendekat duduk disamping Arumi tanganya digandeng Fitri

menuju kamar mandi pintu langsung dikunci dari dalam. Fitri angkat Arumi

masuk kedalam bak air setinggi dadanya dia berusaha berjongkok mata

terpejam berusaha merana raba dasar bak tak berhasil gelagapan Arumi kembali

berdiri. Arumi mengedip-ngedipkan mata terkena tetesan air, kedua tangan

diulurkan ke Fitri minta diangkat. Fitri condongkan badan dengan tangan

kirinya mencekam leher Arumi tangan kanan menjabak rambut mengarahkan

kepala kedalam air Arumi menangis, Fitri masukan dua jari tangan kedalam

mulut dia tangan kiri mencekik semakin keras Arumi berontak. Bocah

perempuan usia 5 tahun dibunuh anak remaja usia 14 tahun yang selama ini

dikagumi dan dianggap sebagai kakanya sendiri ialah Fitri. Fitri dapat

melakukan sesuatu yang begitu mengerikan sangat sulit dipahami kemungkinan

dia mengalami keadaan sikosis yang sering digambarkan sebagai break from

reality atau dia tidak bisa memberdakan mana fantasi dan mana kenyataan. 53

53
Podcast Lenyap
https://open.spotify.com/episode/7cRZtlCZY2jU5nWgfgEVFi?si=9SI50DtxSWODuIDB-iwMIw ,
diakses pada Rabu 21 April 2021, pukul 15.00
103

Arumi dikeluarkan dari dalam bak mandi ditekan-tekan dadanya agar

darah dan busa yang keluar dari hidung dapat dibersihkan tubuh lunglai itu

dimasukan kedalam ember. Lalu ember tersebut diangkat perlahan kelantai dua,

meninggalkan pakaian dan sandal anak kecil dikamar mandi. Mayat

digelontorkan diatas kasur dibungkus dengan seprai yang diambil didalam

lemari kamarnya. Bagian kepala, leher, perut dan pergelangan kaki diikat erat

dengan baju, mulut disumpal gumpalan tisu. Fitri memastikan jasad Arumi

meninggal dan tak bernafas, lalu jasad diseret dan didudukan, bersandar

didalam lemari. Sisi baju ditata kembali untuk menutupi jasadnya.

Dalam beberapa kasus pembunuhan, pelaku menyimpan souvenir yang

diambil dari korban untuk membantu para pembunuh menghidupkan kembali

kekerasan mereka dan mendapatkan kekuasaan. Mereka dapat menikmati

kepuasan rahasia melihat kenang-kenangan pembunuhan terpajang mereka tau

bahwa itu beresiko tapi biasanya mereka merasa kebal untuk ditangkap.

menurut mereka para pembunuh kolektor ini merasakan kepuasan dalam

membunuh korban yang mereka pilih sesuka hati souvenir baik dalam bentuk

vidio atau foto, itu memiliki arti yang sama bagi para pembunuh sama seperti

mendali yang dipasang didinding semua itu demi melestarikam keterikatan para

pembunuh pada para korban dan agar pengalaman pembunuhan yang mereka

lakukan tetap hidup dalam kenangan. Itulah yang di lakukan Fitri terhadap

mayat Arumi yang tergeletak tak bernyawa dalam bak mandi.


104

Sidang perdana digelar dipengadilan negeri Jakarta Pusat pada hari

Rabu 20 Mei 2020 secar online dipimpin hakim anak ibu Made Sukreni dan

Jaksa penuntut umum Kusuma Atmaja, Fitri yang tengah hamil 5 bulan lebih

didampingi kuasa hukum Tito Sitompo. Dalam tuntutannya jaksa penuntut

umum Kusuma Atmaja menyampaikan fitri masih anak-anak dan dalam kondisi

karena nya dia dituntut 6 tahun penjara.

Selanjutnya pada Selasa 18 agustus 2020 vonis dibacakan menyatakan

anak Nurhalimah Fitriani alias Fitri telah terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tidak pidana kekerasan terhadap anak hingga

mengakibatkan mati sebagai mana dakwaan Pasal 76 C Undang-undang

Republik Indonesia No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang

Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Juncto pasal

80 ayat 3 Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 20014 tentang

perubahan atas undang undang republik indonesia No. 23 tahun 2002 tentang

perlindungan anak dengan demikian pengadilan negri jakarta pusat

menjatuhkan pidana penjara kepada anak Nurhalimah Fitriani alias fitri di

Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) Handayani Jakarta

bahwa pengawasan balai pemasyarakatan tingkat satu selama 2 tahun.

Menrut Seto Mulyadi Sikolog Senior Indonesia atau biasa di kenal Ka

seto sempat berbicara dengan fitri Menurut dia perilaku menyimpang fitri

sebagai Callous-unemotional (CU) bukan psikopat berdasarkan jurnal


105

pediatric italia BMC yang dtulis Simone Pisano di Department Of Medition

and Surgery di Kliink a Child Adolsen New Neuroscinece University Saleno

Italia. Mengatakan perilaku Callous-unemotional (CU), kurangnya rasa

empati, rasa bersalah dan emosi yang dangkal faktor-faktor yang mungkin

berkontribusi dan berkembangnya sifat-sifat CU diwakili oleh sifat-sifat

temperamen dan oleh intreraksi dari orang tua ke anak.

B. Hasil Wawancara

Didalam pembahasan pada poin ini akan diuraikan hasil wawancara

yang bertemakan seputar masalah yang terkait dengan penulisan ini, dimana

waancara tersebut dihasilkan dari proses sesi wawancara terhadap kepolisian

yakni Bripka Ade Hediansyah selaku Petugas polisi yang bertanggung jawa

atas penangkapan pada tindak pidana pengeroyokan, selanjutnya Ibu Diana

selaku Manager Program Dari LPA (Lembaga Perlindungan Anak) kota

Bandung, dan Kepala Staff Anak LPKA (Lembaga Pemasyarakatan Khusus

Anak) Bapak Ardyanto. Pada sesi wawancara tersebut peneliti mengajukan 3

peranyaan, yang sebelumnya sudah dipaparkan terlebih dahulu sebelum

wawancara dilakukan.

1. Bripka Ade Hediansyah

Di polrestabes Bandung, polisi menjelaskan bahwa penerapan

pasal 170 atau 340 disini kronologisnya sudah direncanakan untuk

membunuh si kaka tapi karena si adik berwajah mirip dengan si kaka,


106

sehingga pelaku membunuh salah sasaran. Dikarenakan putusan

pengadilan Negri Bandung 170, kalau dari pihak kepolisian mereka

memakai pasal yang berlaku saja. Karena korban saat ditusuk tidak

langsung meninggal dan sempat dibawa kerumah sakit, makanya

dimasukan pada pasal 340, karena pelaku sudah memiliki niat untuk

membunh dari awal pertemuan.54

Pasal yang diberikan diharapkan pelaku tindak pidana

pengeroyokan dan pembunuhan mendapat efek jera. Pelaku

pengeroyokan sekaligus pembunuhan merupakan dari kebijakan hukum

pidana oleh karenanya juga merupakan usaha mewujudkan perundang-

undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu

waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Hal ini sebenarnya harus

menjadi perhatian pemerintah dan keluarga terkait dengan urusan

pembinaan narapidana, sehingga setelah menjalani hukum sanksi sosial

tersebut tidak lagi punya keinginan untuk melakukan sebuah tindak

kejahatan.

Hukum pidana menunjukan adanya suatu perbedaan dari

hukum-hukum yang lain pada umumnya, yaitu bahwa didalamnya

orang mengenal adanya suatu kesengajaan untuk memberikan akibat

hukum yang mereka perbuat. Adanya penderitaan-penderitaan yang

54
Wawancara dengan Oknum Polrestabes Bandung, 19 Oktober 2020
107

bersifat khusus dalam bentuk hukuman-hukuman yang seperti telah

dilakukan diatas.

Secara sederhana dapat dilihat tujuan pemidanaan seorang agar

pelaku tindak pidana tersebut memahami kesalahan yang telah

dilakukannya, sehingga ketika si pelaku tersebut dimasukan ke penjara

atau lapas sosial diharapkan kepada para pelaku tindak pidana tersebut

mendapatkan efek jera.

Kenyataan yang terjadi saat ini adalah dimana seorang pelaku

tindak pidana ketika dijatuhi hukuman yang harus dijalaninya, hukuman

yang harus dijalaninya dengan ditempatkan di dalam lembaga

permasyarakatan (LAPAS) tidak membuat para pelaku tersebut jera

untuk melakukan suatu tindak pidana. Sehingga tidak heran jika di

Indonesia banyak terdapat penjahat kambuhan yang dalam bahasa

hukumnya dikenal dengan resedivis. Karenanya banyak para pelaku

tindak pidana melakukanya kembali disebabkan pengaruh lingkungan

tempat tinggal dan pertemanan. Seperti para pelaku ini mereka

melakukan tindak pidana ini disebakan lingkungan mereka adalah geng

motor yang berandalan dan sering meresahkan warga.

Para pelaku memang sudah dari awal mengincar dan ingin

membunuh korban. Maka dari itu pelaku sudah menyiapkan senjata

tajam berupa pisau yang akan ditusukan kepada leher korban secara

sadar. Sehingga bisa dikatakan bahwa pelaku memang punya dugaan


108

psikopat tersebut. Sempat setelah penusukan para pelaku kembali untuk

memeriksa tubuh korban yang tergeletak dan bersimbah darah. Dan

setelah itu para pelaku kembali pergi. Karena pelaku penusukan pun

penuh dendam dan tidak ada perasaan menyesal atas perlakuan yang

mereka lakukan tersebut.

Bicara mengenai Personality characteristics, ialah bagaimana

setiap individu beraksi dan berinteraksi, dimensi yang mengukur

kecenderungan individu untuk patuh terhadap individu lain, apa faktor

yang menyebabkan itu terjadi ialah faktor bagaiamana ke 3 (tiga)

tersangka ini adalah sebuah anggota geng motor, dimana geng motor ini

identik dengan gayanya yang solid walau menyimpang. Seperti

pengeroyokan ini menyimpang tapi karena solid mereka rela

melakukannya bersama tanpa berfikir panjang.

Lalu moral development theory ini menjelaskan bagaiamana

ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan

perkembangan penalaran moralnya. Yang memiliki beberapa tingkatan

seperti, pertama Pra-Konvenional yaitu orientasi kepatuhan dan hukum,

orientasi minat pribadi, yang kedua orientasi keselarasian interpersonal

dan konformitas (sikap anak baik), orientasi otoritas dan pemeliharaan

aturan sosial, dan yang ke tiga ialah pasca konvensional orientasi

kontrak sosial, prinsip etika universal. Sehingga pernyataan tersebut


109

selaras dengan perilaku yang tercermin dari 3 tersangka pelaku tindak

pidana pengeroyokan.

2. Ibu Diana

Dalam lembaga perlindungn anak, faktor utama anak melakukan

tinda pidana yakni faktor ekonomi, faktor menaja harga diri orang tua,

faktor lingkungan, dan faktor pola asuh. Namun dalam kasus tindak

pidana faktor terbesarnya yakni ada pada faktor diri sendiri, keluarga

dan teman sepermainan. Dalam hal tersebut pola asuh yang kurang baik

dari kedua orang tua dapat menyebabkan anak melakukan perbuatan

ataupun perilaku yang kurang baik maupun kurang terpuji bahkan

hingga dapat melakukan tindak pidana

Pada hal tersebut salah satu contohnya yakni berbohong.

Berbohong bisa menjadi salah satu pemicu anak melakukan tindakan

buruk. Karena jika seorang anak dari kecil sudah dibiarkan berbohong

maka yang akan ditanamakan dalam pikiran mereka kebohongan demi

kebohongan. Jika diajarkan seperti itu terus menerus maka anak tidak

akan belajar dari kesalahannya melainkan akan menutupi

kebohongannya secara terus menerus.55

55
Wawancara dengan Managemen Oprasional Lembaga Perlindungan Anak (LPA), 28 Maret
2021.
110

Dalam kedua kasus tersebut faktor yang paling terbesar ialah

pola asuh dari orang tua karena mereka para pelaku tindak pidana masih

di bawah umur, yang merupakan masih tanggung jawab dari kedua

orang tunya, dalam memberikan moral dan personal karakter pada anak.

Pada kasus anak berusia 14 tahun yang membunuh anak usia 5 tahun

faktor tersbesarnya ialah pola asuh dari orang tuanya. Karena orang tua

seharusnya dapat mengkontrol apa tontonan anak. Jika ada perilaku

anak yang kurang baik atau berbeda dapat orang tua tanyakan kepada

ahlinya.

3. Kepala Staff Pendidikan LPKA Bpk Ardyanto

Dalam pembinaan di LPKA keberhasilan pembinaan tidak dapat

dipungkiri juga tergantung kepada para Pembina di lapangan dan juga

kepada sistem yang diberikan dari pemerintahan. Jika dilihat dari kasus

misalkan kasus pidana pembunuhan karena dinegara kita jika setiap

pidana jatuhnya penjara bila mengikuti aturan para pembina setuju-

setuju saja tapi jika yang utama perlindungan anak itu kalau dia yang

sama pacarnya sendiri tapi saya masih kurang setuju untuk dijatuhi

hukuman penjara tapi kalo yang karena memang diundang-undang kita

semuanya dijatuhi hukuman pidana mau enggak mau harus diikuti

asalkan anak tersebut ketika masuk kesini otomatis langsung sadar

intinya dia sekali masuk kesini langsung sadar dan tidak mau tidak akan
111

melanggar kejahatan lagi, tapi mengenai kasus pacaran memang masih

harus dikaji ulang lagi karena kan kalau anak-anak yang masih umur 16,

17 kan masa depannya masih panjang ketika dia terkena masalah.

Didalam lapas Bandung ini ada sekolah, tapi saat dia keluar ditempat

lain enggak tau untuk kebutuhan sekolahnya gimana karena jika yang

masalah sekolah juga memiliki kasus pada pembunuhan yang dilakukan

anak di sekolah itu memiliki wewenangnya dari kementrian pendidikan.

Ketika kementrian pendidikan dan kementrian hukum tidak sejalan jadi

hak sekolah anak tidak dapat terpenuhi.

Untuk anak-anak ketika dia masih usia dibawah 17 vonis

tertingginya setengah hukuman dewasa bisa sepuluh tahun seumur

hidup hukuman mati kalo anak-anak maksimalnya sepuluh tahun karena

di indonesia hukuman tertinggi 20 kan untuk satu pidana. Untuk tidak

pidana pembunuhan usianya macam-macam tergantung situasi didalam

lapas ini bermacam macam ada yang pembuhunan berencana ada juga

pembunuhan yang dia terlibat kasus kriminal kaya kasus begal dan ada

juga begal yang masuk unsur kekerasan sehingga korban meninggal itu

yang tidak disengaja tapi kalo yang pembunuhan berencana ada faktor

dendam atau sakit hati.

Menurut bapak Ardiyanto pengaruh lingkungan yang

menyebabkan anak melakukan tindak pidana ialah fifty-fifty. Karena

menurutnya ada anak yang memiliki pengaruh jelek dan yang memiliki
112

pengaruh bagus, yang terutama ialah faktor lingkungan dan faktor

teman, jika kita lihat bagaimana orang tua sudah memperingati kalau

tidak didengarkan oleh anaknya, ya dia akan terjerumus, terutama jika

itu diluar kasus pembuhuna. Faktor lingkungan terutama teknologi

karena mereka memiliki rasa ingin tau sehingga larinya kesana maka

faktor lingkungan sangat mempengaruhi.

Menurut Bapak Ardyanto “Kalau ciri umum untuk yang saya

ketahui selama ini ada ciri khusus yang terlibat pada kasus 365, 363,

370 karena yang 170 dikarenakan kasusnya ialah tawuran tidak cuman

satu kali melakukannya, ketika dia sudah terlibat yang mengakibatkan

korbanya meninggal akan kena. Untuk yang pencurian itu saya

tanyakan dia melakukan pencurian yang terhitung untuk masuk pada

tahap penyelidikan dia sudah lima kali. Sehingga ciri-cirinya tidak bisa

dilihat secara langsung namun kita sudah tau dia pernah sekali

melakukan terus dua kali tiga kali jadi kalo ciri-ciri itu tidak bisa dilihat

dari kasusnya ketika dia melakukan tindak pidana yang baru sekali terus

dia berulang ya itu ciri-cirinya seperti itu yang bisa dilihat dari ciri kasus

170, 363 dan 365 pencurian, tawuran kalau yang perlindungan anak

enggak terlalu kelihatan”.56

56
Wawancara dengan Lembaga Perlindungan Khusus Anak (LPKA), 13 April 2021
113

Menurut Bapak ardyanto dari sistem hukuman vonis yang

diberikan. Sistem kemasyarakatan seperti itu ada tahapannya dalam

menjalani sepertiga, setengah, dan dua pertiga, jika sudah mendekati

masa sepertiga, maka pelaku tindak pidana dlihat dulu apakah anak ini

sudah ada perilakunya yang baik selama menjalani pembinaan. Dan

bagaimana kalau memang anak itu sudah melaksanakannya. Maka

dapat diusulkan integrasi pembebasan bersyarat, sebagaimana yang

tercantum pada Pasal 81 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. “Anak yang telah

menjalani ½ (satu,;K9K;

[ perdua) dari lamanya pembinaan di LPKA dan berkelakuan baik

berhak mendapatkan pembebasan bersyarat”. Selain itu tidak full

sepuluh tahun menjalaninya ada mendapatkan remisi kalau anak, ada

remisi anak tapi jika sudah dewasa si anak bisa mendapatkan remisinya,

remisi tersebut sudah khusus yaitu setiap hari raya dan remisi

kemerdekaan.
BAB IV

ANALISIS DATA BAHASAN

A. Faktor Kriminologi Yang Menyebabkan Anak Melakukan Tindak Pidana

Pengeroyokan dan Pembunuhan

Pada sebuah teori kriminologi mengenai Differential Association

Theory (Teori Asosiasi Diferensial) menurut Gabriel Tarde (1912) seorang

sarjana Perancis adalah orang pertama yang mengusulkan bahwa pola-pola

delinquency dan kejahatan dipelajari dengan cara yang serupa seperti setiap

jabatan atau akupasi, terutama melalui jalan imitation atau peniruan dan

association atau pergaulan dengan yang lain. Berarti kejahatan yang dilakukan

seseorang adalah hasil peniruan terhadap tindakan kejahatan yang ada dalam

masyarakat dan ini terus berlangsung.

Perilaku kejahatan identik dengan perilaku non kejahatan, sebab

keduanya merupakan sesuatu yang dipelajari. Edwin H. Sutherland (1939)

berhipotesis bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang

dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk

norma hukum. Proses yang dipelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan

sesungguhnya namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang

nyaman atau memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.

Sehingga teori kriminologi mengenai Differential Association Theory

(Teori Asosiasi Diferensial) sangat cocok dengan penggambaran mengenai

114
115

kasus tindak pidana pembunuhan dan pengeroyokan, dikarenakan para anak

yang melakukan tindak pidana biasanya imitation atau peniruan dan association

atau pergaulan dengan yang lain. Berarti kejahatan yang dilakukan seseorang

adalah hasil peniruan terhadap tindakan kejahatan yang ada dalam masyarakat

dan ini terus berlangsung. Para anak ini melakukan peniruan dari pergaulan

bahkan dari acara film yang di tontonnya.

Berdasarkann hasil wawancara yang peneliti peroleh dan telah

dijabarkan pada Bab 3 bahwa faktor-faktor pendorong terjadinya tindak pidana

yang dilakukan anak dibawah umur ini bisa terjadi karena lingkungan.

Lingkungan yang salah akan membawa seseorang kearah yang negatif,

begitupun sebaliknya lingkungan yang baik akan membawa seseorang kearah

yang positif. Tindak pidana pengeroyokan yang menyebabkan mati bisa terjadi

diakibatkan lingkungan para pelaku adalah geng motor. Dan tindak pidana

pembunuhan yang dilakukan anak berusia 14 tahun.

1. Faktor Kriminologi Yang Menyebabkan Anak Melakukan Tindak

Pidana Pengeroyokan

Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak,

tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala

sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula

sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak,

moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga


116

akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam

masyarakat.

Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih

untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter

ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan

menyerahkan segalanya kepada orang tua. Tingkah laku yang tidak

dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di

dalam keluarga. Hal yang paling penting adalah bahwa kehidupan seorang

anak hendaknya tidak diatur oleh kebutuhan orang tua dan menjadikan anak

sebagai obyek untuk kepentingan orang tua. Efisiensi menurut konsep

orang tua ini akan mengeringkan potensi anak, menghambat perkembangan

emosional anak, serta menelantarkan minat anak. (Lianny Solihin :

2004:134)57

Kenakalan anak memeang wajar terjadi dikalangan remaja, namun

ada yang berakibat bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain. Dampak yang

terjadi akibat kenalakan remaja pasti merugikan orang lain dan masyarakat

sekitar, sebagai contoh kenakalan remaja yakni mencuri, berkelahi,

menggunakan narkotika, pengeroyokan, tawuran, dan sebagainya. Namun

akhir-akhir ini kenakalan remaja yang meresahkan di Kota Bandung

merupakan tindak pidana pegeroyokan oleh remaja yang menyebabkan

57
Lianny Solihin, ”Tindak kekerasan Pada Anak dalam Keluarga”, Jurnal Penddikan
Penabur, No 03, hal. 133 (2004).
117

kematian. Tentu saja meresahkan masyarakat karena hal tersebut

menyebabkan seorang anak mati.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengeroyokan sendiri

memiliki arti proses, cara, perbuatan mengeroyok, sedangkan arti kata

mengeroyok sendiri memiliki arti menyerang beramai-ramai (orang

banyak) atau perkelahian beramairamai.2 Secara yuridis pengeroyokan

dijelaskan dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang

berbunyi barangsiapa terangterangan dan dengan tenaga bersama

melakukan kekerasan terhadap orang atau barang. Dapat dianalisis bahwa

faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana pengeroyokan

oleh anak yang menyebabkan kematian di wilayah Kota Bandung, dibagi

dalam faktor internal dan faktor eksternal.

a. Faktor Internal

Faktor Internal adalah satu hal yang menyebabkan anak

bertingkah tertentu yang datang dari dirinya sendiri.Dengan kata lain,

dapat dikatakan bahwa faktor internal adalah faktor-faktor yang

menyebabkan anak berperilaku menyimpang yang berasal dari dalam

diri sendiri, dan dalam prespektif penelitian ini dapat pula menyebabkan

terjadinya tindak pidana pengeroyokan yang menyebabkan kematian

oleh anak. Berikut beberapa faktor internal:

1) Faktor Usia

2) Faktor Karakter
118

b. Faktor Eksternal

Faktor Eksternal adalah faktorfaktor yang menyebabkan anak

berperilaku menyimpang yang berasal dari luar dirinya, dengan kata

lain faktor eskternal bisa disebabkan karena keluarga dan perceraian

orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau

perselisihan antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada

remaja, komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik, serta

faktor media massa yang menampilkan adegan yang tidak layak

dipertontonkan untuk anak- anak atau remaja bisa menjadi penyebab

terjadinya kenakalan remaja.

1) Faktor Keluarga

2) Faktor Lingkungan Pergaulan

3) Faktor Media Massa

Merujuk pada Kitab Undang-undangan Hukum Pidana (KUHP).

Pengeryokan yang menyebabkan mati termasuk kedalam bagian Pasal 340

KUHP yaitu mengenai pembunuhan berencana, yang mana pasal tersebut

berbunyi :

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan


lebih dahulu menghilangkan nyawa orang lain, dihukum
karena pembunuhan direncanakan (Moord), dengan
hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara
sementara selama-lamanya dua puluh tahun”
Selanjutnya disebutkan dalam Pasal 170 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) bahwa:


119

“Barang siapa dengan terang-terang dan dengan tenaga


bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau
barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun enam bulan. Perbuatan “Mengeroyok” yaitu
bersama sama melakukan aksi kejahatan untuk menyakiti
seseorang.”

Pasal 340 KUHP menjadi acuan dari suatu tindakan pembunuhan

jika pelaku sebelumnya membunuh, telah berencana menghabiskan nyawa

korban dengan segala persiapan yang telah pelaku lakukan agar terjadi.

Untuk itu, negara sebagai perwakilan dari masyarakat menggunakan

kewenangannya dalam mengatasi permasalahannya melalui kebijakan

pidana (criminal policy). Salah satu kebijakan pidana yang digunakan

negara adalah pemberian sanksi pidana melalui undang-undang. Dalam

pelaksanaanya, penetapan sanksi pidana melalui undang-undangan

sekarang ini lebih digunakan sebagai primum remedium daripada sebagai

ultimum remedium. Hal ini dapat dilihat dari beberapa undang-undangan

yang ada dimana hampir sebagian besar undang-undangan mencantumkan

sanksi pidana.

Biasanya faktor yang dapat membuat seseorang melakukan tindak

pidana adalah faktor internal yakni faktor didalam diri pelaku. Ketika sang

pelaku takut dan merasa terancam. Bisa juga karena adanya dendam,

dimana ia melakukan perbuatan tersebut.

Pada kasus yang pertama ialah tiga tersangka bersama sama

mengeroyok satu korban yang menyebabkan mati. Pengadilan Negeri kelas


120

IA Khusus Bandung yang berwenang memeniksa dan mengadili perkara ini,

" Sebagai turut serta melakukan penganiayaan dengan rencana terlebih

dahulu dan mengakibatkan kematian yaitu terhadap korban Nendi Als.

Rega yang mengakibatkan mati.

Pada kasus tersebut faktor lingkungan menjadi faktor utama anak

melakukan tindak pidana, karena dari ketiga tersangka yang merupakan

anggota salah satu geng motor yang paling terkenal di Bandung, dengan

lingkngan yang kurang baik seperti banyaknya pecandu alkohol dan pencuri

membuat para tersangka dapat melanggar norma hukum, ditambah dengan

usia yang masih di bawah umur dengan tidak adanya contoh yang baik,

sehingga para anak tidak mendapatkan kontrol atas perilaku maupun

perbuatan yang mereka lakukan. Menurut bapak Bripka Ade Herdiansyah

saat dilakukan wawancara menyatakan bahwa ruang lingkup tempat tinggal

ketiga tersangka tersebut sangat tidak baik dalam perkembangan moral anak

karena berada pada lingkungan pemabuk, pencurian dan geng motor.

2. Faktor Kriminologi Yang Menyebabkan Anak Melakukan Tindak

Pidana Pembunuhan

Pada kasus kedua Fitri anak usia 14 tahun yang melakukan

pembunuhan terhadap tetangganya yang berusia 5 tahun. Berdasarkan pasal

Pasal 26 ayat (1) Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak. Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk: (a).


121

mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak, (b).

menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan

minatnya; (c). mencegah terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan (d).

memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada

Anak. Sehingga faktor utama yang membuat Fitri melakukan tindak pidana

pembunuhan ialah keluarga dan diri sendri, berawal dari orang tuanya

bercerai yang membuat fitri menyendiri dan mengurung diri, sampai

akhirnya dia masuk grup yang berisikan orang-orang pecinta film dan cerita

psikopat, yang membuat Fitri berfantasi. Dan karena Fitri sering ditinggal

Ayahnya dan Ibu tirinya bekerja akhirnya Fitri tinggal dirumah dan

mengurus adik adiknya. Sehingga tidak ada pengawasan dari orang tua Fitri

mengenai apa saja yang telah ditonton dan dibaca oleh Fitri. Disini keluarga

sangat bertentangan pada pasal tersebut, sehingga dapat dikatakan faktor

utama anak melakukan tindak pidana ialah keluarga atau orang tua.

Selanjutnya faktor anak melakukan tindak pidana pembunuhan

yakni mereka mendapatkan kekerasan seksual, salah satunya ialah Fitri, Dia

mendapatkan kekerasan seksual dari kedua paman kandung dan tirinya.

Anak usia 14 tahun harus mendapatkan pelecehan seksual dari saudaranya

yang seharusnya dia mendapatkan perlindungan namun dia harus

mendaptkan hal yang tidak diinginkan.

Menurt Bapak Ardyanto selaku Kepala Staff Anak LPKA “2 dari 8

anak laki-laki di dalam LPKA melakukan tindak pidana pembunuhan faktor


122

utamanya ialah mereka mendapatkan pelecehan seksual dari korbannya,

salah satunya ialah dia memutilasi korbannya dikarenakan dia geram dan

sudah lelah diperlakukan seperti itu oleh korbannya”.

Pada pernyataan tersebut tidak hanya perempuan yang mendapatkan

pelecehan seksual, laki-laki pun mendapatkannya, menurut peneliti hal

tersebut dikarenakan anak-anak usia tersebut tidak memiliki power untuk

melawan ditambah para korban dan pelaku pelecehan tersebut merupkan

orang dewasa yang memiliki kemampan untuk mengontrol pada korban

tersebuut.

Para sarjana kriminologi (Sutherland, Cressey, 1974; Tarf, England

Jr,. 1964; Manheim, 1965; Reckless, 1973; Johnson, 1968; Haskell

Yablonsky, 1972; Gibbons, 1977; Quinney, 1975; Glaser 1974; dan Fox,

1976) sepakat bahwa yang merupakan objek penelitian kriminologi adalah

kejahatan; penjahat; tingkah laku menyimpang; pelaku penyimpangan;

korban kejahatan; reaksi sosial terhadap tingkah laku jahat dan tingkah laku

menyimpang, baik merupakan reaksi formal, yaitu bekerjanya pranata-

pranata sistem peradilan pidana, maupun reaksi nonformal dari warga

masyarakat terhadap pelaku kejahatan serta korban kejahatan dalam suatu

peristiwa kejahatan. Keseluruhan objek penelitian tersebut dianalisis dalam


123

ruang lingkup sosiologi di bawah topik gejala sosial. Atau dengan kata lain,

objek penelitian kriminologi tersebut dipelajari sebagai gejala sosial.58

Dalam perilaku kejahatan adanya suatu kejahatan pastilah dapat

terjadi dikarenakan adanya pelaku baik satu orang pelaku ataupun beberapa

orang pelaku. Dalam diri pelaku kejahatan terdapat adanya faktor-faktor.

Faktor tersebutlah yang mendorong pelaku untuk melakukan kejahatan.

Faktor-faktor penyebab kejahatan tersebut dilihat dari beberapa sudut,

yaitu:

1. Faktor yang bersumber dari dalam diri pelaku (internal)

a. Pelaku merasa tidak bersalah atas perilaku yang diperbuat.

Meskipun hukum memiliki asas fiksi, yaitu asas yang

menganggap semua orang mengerti hukum (presumption iures

de iure) namun pada kenyataannya tidak semua orang

mengetahui aturan hukum. Setiap penyelenggara Negara

berkewajiban memberikan penyuluhan hukum sebagai bagian

dari edukasi dan pembudayaan hukum. Pemerintah

berkewajiban menyampaikan adanya hukum tertentu kepada

masyarakat.

Terjadinya suatu pelanggaran hukum, seringkali pelaku

tidak merasa bersalah atas kejahatan yang telah dilakukannya.

58
(Muhammad Mustofa, Metode Penelitian Kriminologi 2013:8)
124

Hal tersebut disebabkan pelaku tidak mengetahui aturan hukum

atau Undang-undang yang mengatur larangan melakukan

kejahatan tindak pidana pembunuhan. Pada kasus ini pelaku

menganggap apa yang dilakukan bukanlah suatu tindak pidana

karena tidak mengertinya batasan-batasan terutama mereka

melakukannya untuk balas dendam dan merasa apa yang mereka

lakukan merupakan sebuah permainan.

b. Adanya Kepentingan yang ada dalam diri pelaku. Pelaku

kejahatan dalam melakukan kejahatannya pasti memiliki

kepentingan atau biasa kita sebut dengan maksud dan tujuan dari

perbuatannya. Dalam kasus ini pelaku memiliki kepentingan

yang ditujukan untuk dirinya. Agar kepentingan yang dituju

pelaku dapat tercapai maka dari itu pelaku melakukan berbagai

macam upaya dan tidak memiliki beban untuk melakukan

Pembunuhan tersebut, untuk kasus pertama karena keinginan

untuk balas dendam, dan pada kasus kedua keinginan mencoba

fantasi yang sudah sejak lama ada.

c. Pelaku Merasa Memiliki Jabatan yang Lebih Tinggi. Karena

kondisi kekuasaan sosial yang menempatkan kekuatan

kelompok atau geng sangat ditakuti tersebut mereka memliki

power, dan pada kasus kedua pelaku memiliki power karena

korbannya merupakan anak kecil yang nurut apa yang


125

diperintahkan seorang yang dianggap kakak tersebut, sehingga

korban tidak bisa melakukan apapun selain menuruti perintah.

d. Pernah Menjadi Korban Pelecehan Seksual Sebelumnya. Weber

dan Smith (2010) mengungkapkan dampak jangka panjang

kekerasan seksual terhadap anak yaitu anak yang menjadi

korban kekerasan seksual pada masa kanak-kanak memiliki

potensi untuk menjadi pelaku kekerasan seksual di kemudian

hari. Ketidak berdayaan korban saat menghadapi tindakan

kekerasan seksual di masa kanak-kanak, tanpa disadari

digeneralisasi dalam persepsi mereka bahwa tindakan atau

perilaku seksual bisa dilakukan kepada figur yang lemah atau

tidak berdaya. Para korban pelecehan seksual berkemungkinan

dapat menjadi pelaku Pelecehan Seksual dan tindak pidana

pembunuhan dimasa depan.

2. Faktor yang timbul dari luar diri pelaku (Eksternal).

a. Faktor yang ada pada diri korban. Adanya suatu perbuatan dapat

menimbulkan interaksi yang bersifat resiprokal, yaitu hubungan

timbal balik antara pelaku dengan lawan bicara atau interaksi

berhubungan yang mengandung makna timbal-balik. Begitu

pula dengan kejahatan ini yang menimbulkan timbal balik antara

pelaku dengan korban. Pada korban dan pelaku tindak


126

pengeroyokan tersebut mereka saling kenal, para pelaku tidak

terima atas perilaku korban yang memalak pelaku, akibat tidak

terimanya hal tersebut maka para pelaku memiliki rencana untuk

balas dendam atas perilaku tersebut. Pada kasus selanjutnya

korban Pelecehan seksual dalam menanggapi atau melawan

pelaku, korban cenderung lemah mental bahkan ada beberapa

korban yang tidak peduli bahwa dirinya mengalami pelecehan

seksual atau tidak mengerti dirinya adalah korban pelecehan

seksual. Akibat daripada itu pelaku lebih leluasa untuk

melakukan kejahatannya dan merasa dirinya lebih kuat dari

korban.

b. Perkembangan Teknologi. Semakin majunya teknologi yang

tidak dapat di kontrol membuat banyak video-video porno yang

bebas di akses oleh semua umur, tua muda, laki-laki perempuan

dapat mengakses video tersebut kapan saja dimana saja dengan

gratis. Akibatnya penikmat content tersebut senang berimajinasi

kegiatan seksual yang mereka inginkan, dan mereka dapat

melakukan hal apapun untuk mendapatkan apa yang mereka

inginkan.

c. Faktor Modernisasi. Dengan berkembangnya jaman yang

kemudian diikuti perkembangan teknologi, hal tersebut juga

mengakibatkan perkembangan budaya dalam masyarakat.


127

Adanya kemajuan-kemajuan di berbagai sektor membawa

masyarakat terhadap pola pikir yang lebih maju lebih modern.

Seiring perubahan zaman yang semakin modern menciptakan

bentuk-bentuk kriminalitas yang baru yang juga semakin

modern sebab akses informasi, media massa, media sosial, dan

kebudayaan yang berkembang ke arah individualistis dan

matrealisitis.

B. Personality characteristics theory dan Moral development theory dalam

Tindak Pidana Pengeroyokan dan Pembunuhan Yang di Lakukan Anak

Dalam hal ini faktor apa yang menyebabkan anak melakukan tindak

pidana yang dihubungkan dengan personality characteristic theory. Perlu kita

ketahui bahwa pengertian kepribadian adalah satu kesatuan yang membimbing

individu dalam menyesuaikan diri pada lingkungan sosial maupun lingkungan

fisik, dengan mencangkup secara keseluruhan dari pikiran, perasaan dan

perilaku dalam keadaan sadar ataupun tidak sadar. Pra adolsen dan adolsen

merupakan masa mencari jati diri atau dalam teori perkembangan kepribadian

Eriksen hal ini merupakan kekaburan identitas. Sehingga anak cenderung

melakukan suatu pekerjaan yang bersifat uji coba, rasa ingin tahu, solidaritas

kelompok, dan lain-lain, yang kemudian mengarah pada bentuk perilaku

menyimpang atau biasa disebut dengan perilaku delinkuensi.


128

Menurut Bynum dan Thompson perilaku delikuensi merupakan suatu

bentuk perilaku illegal yang mencerminkan peran kenakalan yang terus

menerus, dimana perilaku tersebut oleh masyarakat dianggap sebagai

penyimpangan yang sangat serius. Perilaku tersebut diartikan oleh orang lain

sebagai ancaman terhadap norma legitimasi masyarakat. Sedangkan menurut

Farrington mengartikan delinkuensi sebagai yang meliputi pencurian,

perampokan sifat suka merusak (vandalism), kekerasan terhadap orang lain dan

penggunaan obat.

Pada umumnya orang yang melakukan suatu tindakan delinkuensi lebih

banyak disebabkan oleh faktor frustasi dan agresif. Menurut Roper kejahatan

dimulai sebagai reaksi dari frustasi, meskipun diakui masih diperlukan faktor

lainnya sebelum mencapai frsutasi tesebut berubah menjadi kejahatan. Frustasi

tersebut timbul karena tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan manusia.59

Pada umumnya orang yang melakukan tindak pidana violent offenses

mempunyai kontrol emosi yang kurang stabil. Seperti pada kasus ini

pengeroyokan yang menyebabkan mati, penyebab utama mereka melakukan

pelanggaran ini yaitu di valak oleh korban dulu dan mereka tidak terima atas

hal itu. Selain itu kasus pembunuhan karena adanya motif balas dendam dan

penusukan yang disebabkan karena kontrol dirinya yang kurang. Karena

59
Susanto, I.S. 2011, Kriminologi, Yogyakarta : Genta Publishing, hal 71
129

alasan-alasan inilah yang membuat anak cenderung melakukan tindak pidana

volent offenses.

Dari keterangan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang

melakukan tindak pidana berarti memliliki kesehatan mental yang kurang sehat

(cacat mental). Salah satu bentuk gangguan kesehatan mental yang dialami oleh

anak yang melakukan tindak pidana violent offenses yaitu Encephalis

Lethargica yang dapat menimbulkan tindakan-tindakan yang anti sosial,

pelanggaran seks. Selain itu menurut Marrisa Harrison, asisten professor

psikologi di Penn State Harrisburg : “Pembunuh massal hampir selalu laki-laki.

Mereka sering memiliki motif, misalnya balas dendam”. Sehingga hal ini

semakin memperkuat bahwa tindak pidana violent offenses di kasus

pengeroyokan ini karena motif mereka balas dendam.

Lebih lanjut Johnson menyampaikan pendapat David Pittman bahwa

anak yang mendapat didikan baik dan berkepribadian mentap, maka pengaruh

jelek hanya sedikit efeknya. Paul G. Gressey lebih menonjolkan pengaruh unsur

personality and social background daripada pengaruh media massa. Akhirnya

disimpulkan bahwa pengaruh media massa akan berbeda-beda berkaitan

dengan kualitas individu dan kondisi lingkungan masyarakat. Sutherland dan

Cressey setelah menguraikan dan menganalisis berbagai pendapat yang

menyangkut pengaruh media massa, berkesimpulan dan menitikberatkan pada

masalah lingkungan masyarakat di mana jumlah kejahatan tercatat tinggi,

remaja di situ lebih dipengaruhi media massa yang menampilkan kejahatan.


130

Sebaliknya remaja yang tinggal pada wilayah yang sedikit angka kejahatannya,

media massa yang menampilkan kejahatan juga kurang berpengaruh pada

remaja.

Kesimpulannya ialah banyak faktor yang mempengaruhi personality

yang dimiliki anak, sehingga orang tua harus lebih mengkontrol apa yang

dilihat, ditonton dan didengarkan oleh anak, karena baik buruknya perilaku

anak bagaimana orang tua dalam mendidik anak dalam rumah.

Moral pada umunya didefinisikan sebagai sikap dan keyakinan yang

dimiliki oleh seseorang yang membantu untuk memutuskan apa yang benar dan

salah. Kohlberg mengidentifikasikan perkembangan moral menjadi enam

tahap. Pada tahap Pra Konvensional hingga Pasca Konvesional menjadi

tahapan mengapa seorang anak melakukan tindak kejahatan. Peneliti akan

menjelaskan satu persatu tahapan dengan dihubungkan pada kasus yang

menjadi latar belakang peneliti.

Pra Konvensional pada tingkat ini moralitas anak berorientasi kepada

akibat fisik yang diterimanya daripada akibat-akibat psikologis dan berorientasi

pada rasa patuh kepada pemberi otoritas. Jadi perilaku moral anak berdasarkan

pada kendali eksternal, pada hal ini para pelaku ialah merupakan anggota

sebuah geng motor yang cukup ditakuti di Kota Bandung, peneliti

menyimuplkan bahwa mereka melakukan tindak pidana tersebut dikarenakan

akibat fisik dari orientasi yang diberikan pihak geng motor pada diri para pelaku

dan rasa patuh yang mereka harus ikuti dan turuti.


131

Pada tahap ini orientasi patuh dan takut hukuman merupakan tindakan

memperoleh ganjaran jika mereka tidak mengikuti aturan atau membantah

peraturan yang sudah berlaku pada lingkungan geng motornya tersebut. Oleh

karenanya pikiran para pelaku tersebut ialah hanya menuruti apa yang

diperintahkan. Terutama para geng motor mempunya kredibilitas sehingga jika

salah satu anggotanya merasa di rendahkan cara yang baik ialah dengan

melawan.

Selain faktor agresif dan frustasi sebagai pengaruh tindak pidana yang

dilakukan anak, ada faktor-faktor lainnya seperti faktor lingkungan, faktor

ekstren dari lingkungan ini marak terjadinya kejahatan yang dilakukan anak

dibawah umur karena faktor lingkungan. Dimana pun tempat tinggal anak ini

jika memang lingkungan sekitarnya membebaskan anak anak ini untuk bergaul

dengan yang tidak benar, maka akan menyebabkan anak-anak lainnya juga akan

melakukan perilaku yang menyimpang.

Menurut John R. Cavanagh bahwa komik itu menarik karena ada 2

(dua) alasan; pertama, fantasi yang disodorkan merupakan kesempatan bagi

anak untuk membalas dendam terhadap orang tuanya tanpa melakukan tindakan

negatif; ke dua, gambaran-gambaran komik memberi kemungkinan pada anak-

anak untuk menangkap arti dan maksud yang dilukiskan itu. Kurangnya

pendidikan moral yang seharusnya diberikan orang tua pada anak, membuat

anak dapat berfantasi terhadap komik yang dibacanya.


132

Kejahatan pengeroyokan yang menyebabkan mati ini dinilai juga

sebagai kelalaian dari orang tua atau pola asuh yang diberikan orang tua. Dalam

hal ini moral sejak kecil dengan baik. Pola asuh yang secara nyata

membebaskan anak dari pergaulan malam yang bebas dan ikut-ikut sebuah

geng motor menyebabkan kejahatan anak di bawah umur kian meningkat,

termasuk kejahatan pengeroyokan dengan alasan balas dendam.

Menurut Kohlberg dan kawan-kawannya, kebanyakan delinquent dan

penjahat berpikir pada tingkatan pra-konvensional. Akan tetatpi,

perkembangan moral yang rendah atau tingkatan prakonvensional saja tidak

menyebabkan kejahatan.faktor-faktor lainnya, seperti situasi atau tiadanya

ikatan sosial yang penting, mungkin ambil bagian. Para kriminolog juga

menguji pengaruh ketidakhadiran seorang ibu, baik karena kematian,

perceraian atau karena ditinggalkan. Pada kasus pembunuhan di sawah besar

yang melibatkan pelaku yang berusia 14 tahun ini mulai berubah ketika

perceraian orang tuanya, di tambah tidak ada perhatian dari Ibu kandungnya

terhadapnya. Sehingga sebagian besar para pelaku juga merasakan kurangnya

kasih sayang dan perhatian dikarenakan perceraian orang tua.

Psikolog John Bowlby mempelajari kebutuhan akan kehangatan dan

ateksi (kasih sayang) sejak lahir dan konsekuensi jika tidak mendapat hal itu.

Dia mengajukan theory of attachment (teori kasih-sayang) yang terdiri atas

tujuh hal penting, yaitu: (1) specifity (kasih sayang itu sifatnya selektif); (2)

Duration (kasih sayang berlangsung lama dan bertahan); 3) Engagement of


133

emotion (melibatkan emosi); (4) Ontogeny (rangkaian perkembangan, anak

membentuk kasih sayang pada satu figure utama); (5) Learning (kasih sayang

hasil dari interalksi social yang mendasar); (6) Organization (kasih sayang

mengikuti suatu organisasi perkembangan); (7) Biological function (perilaku

kasih sayang memiliki fungsi biologis, yaitu survival). Menurut Bowlby, orang

yang sudah biasa menjadi penjahat umumnya memiliki ketidakmampuan

membentuk ikatan-ikatan kasih sayang.60

Moralitas adalah cara yang paling mendasar, apabila sudah tertanam ke

dalam jiwa remaja akan dapat mengontrol dan mengekang dengan sendirinya

dalam melakukan segala tindakan, apalagi tindakan tersebut bertentangan

dengan hati nuraninya. Moral yang telah tertanam ke dalam jiwanya akan

menjadi benteng baginya dalam menghadapi pengaruh negatif dari manapun

datangnya.

C. Solusi Yang Dapat Dilakukan Pemerintah Sebagai Upaya Pencegahan

Tindak Pidana Pengeroyokan dan Pembunuhan yang Dilakukan Anak

Putusan Hakim merupakan mahkota dan puncak dari suatu perkara yang

sedang diperiksa maupun diadili oleh hakim tersebut. Oleh karena itu, tentu saja

Hakim membuat keputusan harus memperhatikan segala aspek didalamnya,

mulai dari perlunya kehati-hatian, menghindari kemungkinan ketidakcermatan,

baik yang bersifat formal maupun bersifat materil.

60
Topo Santosa dan Eva Achjani, Kriminologi. Hal, 54
134

Adapun pembunuhan biasa dalam bentu pokok (doodslag) yang diatur

dalam Bab XXIII RUU KUHP Tahun 2017 terdapat di dalam pasal 583 yaitu

mengenai penerapan sanksi atau hukuman maksimum dan hukuman minimum

terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan. Adapun pembunuhan sengaja

berdasarkan RUU KUHP yaitu sebagai berikut:61

1. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok diatur dalam pasal 583 ayat

(1);

2. Pembunuhan yang dilakukan diikuti, disertai, dan didahului diatur

dalam pasal 583 ayat (3);

3. Pembunuhan yang dilakukan dengan rencana diatur dalam pasal 584;

4. Seorang ibu yang merampas nyawa anaknya diatur dalam pasal 585

ayat (1);

5. Pembunuhan yang dilakukan oleh dokter diatur dalam pasal 586;

6. Pembunuhan yang dilakukan atas permintaan korban diatur dalam

pasal 587;

7. Pemberian bantuan untuk melaksanakan bunuh diri diatur dalam pasal

588;

8. Pengguguran kandungan diatur dalam pasal 589-590;

9. Pengguguran yang dibantu oleh dokter, bidan, paramedis, apoteker,

atau juru obat diatur dalam pasal 591.

61
Institute For Criminal Justice Reform, Naskah Rancangan Kitab..., 193
135

Kenakalan remaja merupakan bagian yang besar dalam kejahatan.

Kebanyakan penjahat yang sudah dewasa, umumnya sejak mudanya menjadi

penjahat, sudah merosot kesusilaannya sejak kecil. Barang siapa menyelidiki

sebab-sebab kenakalan remaja dapat mencari tindakan-tindakan pencegahan

kenakalan remaja itu sendiri, yang kemudian akan berpengaruh pula terhadap

pencegahan kejahatan orang dewasa. Jika kita meneliti bahan-bahan yang ada

akan terlihat dengan jelas pentingnya keadaan lingkungannya sewaktu masih

muda untuk terjadinya kejahatan, yang menimbulkan pertanyaan apakah

dengan adanya keadaan lingkungan yang sangat buruk, tak dapat diakui adanya

apa yang dinamakan kejahatan-lingkungan yang murni.62

Seringnya terjadi tindak pidana pengeroyokan dan pembunuhan yang

dilakukan anak baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan tempat anak

bergaul membuat pihak kepolisian sangat berperan penting terhadap

penanggulangannya dan memikirkan langkah-langkah yang harus diambil

untuk menyelesaikan masalah tersebut. Menurut Bapak Ardyanto selaku

Kepala Staff Kesiswaan LPKA Bandung bahwa ada beberaa hal yang harus

dilakukan pemerintah terhadap anak yang melakukan tindak pidana yaitu:

1. Pelayanan fisik dan kesehatan

2. Pelayanan mental spiritual dan psikososial

3. Pelayanan pendidikan

62
Bonger, Op., cit. hlm. 106.
136

4. Bimbingan pelatihan keterampilan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Diana dari Lembaga

Perlindungan anak upaya pencegahan yang terbaik untuk anak ialah dengan

tidak memberikan hukuman penjara melainkan hukuman binaan, dan upaya

terbaik ntuk pencegahan tersebut ialah pola asuh dari orang tua, agar anak

mengetahui perbuatan baik dan salah, selanjutnya ialah pembinaan dari

kepolisian untuk menjelaskan mengenai apa saja perilaku atau perbuatan yang

dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana.

Menurut Ibu Diana selaku Manager Oprasional LPA terkait dengan

kasus ini dan kasus anak lainnya yang perlu dilakukan adalah bagaimana

menyentuh hati anak merehabilitasi dan menyadarkan anak. Walaupun anak

memiliki gangguan kejiwaan dari segi kejiwaannya sudah kena. Berharap ada

terapi kejiwaan terhadap anak supaya anak siap menghadapi masa depan dan

tidak melakukannya kembali.

Usaha untuk mencapai tingkat kepatuhan hukum di kalangan remaja

dapat melalui beberapa aktivitas akan tetapi yang paling sederhana dan

bersahabat adalah dengan cara penyuluhan hukum yang dapat divisualisasikan

dalam beragam bentuk dan jenisnya. Melalui beberapa perwujudan tersebut,

remaja mampu menginternalisasikan nilai-nilai positif yang bermanfaat dalam

kehidupan di tengah masyarakat dan lingkungannya.

Selanjutnya moralitas adalah cara yang paling mendasar, apabila sudah

tertanam ke dalam jiwa remaja akan dapat mengontrol dan mengekang dengan
137

sendirinya dalam melakukan segala tindakan, apalagi tindakan tersebut

bertentangan dengan hati nuraninya. Moral yang telah tertanam ke dalam

jiwanya akan menjadi benteng baginya dalam menghadapi pengaruh negatif

dari manapun datangnya.63 Cara moralitas menekankan pada upaya

pembentukan dan pembinaan moral dan mental remaja, yang dapat dilakukan

melalui penyuluhan kesadaran hukum bagi remaja, penanaman rasa tanggung

jawab sosial, penanaman kesadaran beragama dan penyuluhan tentang sebab-

musabab kenakalan remaja. Internalisasi norma sosial dan norma agama dapat

mendidik remaja memiliki rasa tanggung jawab dan memiliki penghayatan

serta perilaku yang sesuai dengan perintah agama, sedang larangan agama yang

dianutnya juga ditinggalkan. Perspektif demikian mampu memberi sumbangan

positif bagi terwujudnya kehidupan sosial serta terwujudnya lingkungan sehat

secara material maupun moral spiritual.64

Preventif ialah usaha untuk menghindari kenakalan remaja jauh

sebelum kenakalan itu terjadi. Tindakan ini efektif sebab sesuai dengan

semboyan: lebih baik mencegah daripada mengatasi masalah. Tindakan

preventif diantaranya adalah memberi kesibukan pada remaja. Misalnya

kepramukaan, kegiatan olah raga, ketrampilan, kursus praktis, pendidikan

keagamaan dan pembinaan organisasi kemasyarakatan yang lain. Pada intinya

remaja memanfaatkan waktunya agar lebih disiplin, lebih patuh, lebih setia dan

63
Qirom Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, Op., cit., hlm. 48.
64
Sudarsono, Op., cit., hlm. 6
138

lebih meningkat kepandaiannya, yang akhirnya bermuara pada remja yang siap

menyongsong masa depan yang lebih cerah. Dengan tindakan-tindakan

preventif ini diharapkan akan dapat mengurangi timbulnya kenakalan remaja,

setidaknya akan dapat menguranginya baik secara kualitatif maupun secara

kuantitatif.

Upaya–upaya tersebut di atas tentu belum cukup untuk menanggulangi

tindak pidana yang dilakukan oleh anak. Oleh karena itu diperlaukan peran

anggota keluarga dan masyarakat khususnya lembaga lain seperti dinas

pendidikan untuk mendidik, memotivasi, mengawasi, dan memberikan

pembinaan kepada anak agar tidak melakukan tindak pidana khususnya tindak

pidana pembunuhan.

Sebagaimana yang tertera pada Pasal 93 Undang-undang No.35 tahun

2014 Tentang Perlindungan anak. Masyarakat dapat berperan serta dalam

pelindungan Anak mulai dari pencegahan sampai dengan reintegrasi sosial

Anak dengan cara menyampaikan: a. menyampaikan laporan terjadinya

pelanggaran hak Anak kepada pihak yang berwenang; b. mengajukan usulan

mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan Anak; c. melakukan

penelitian dan pendidikan mengenai Anak; d. berpartisipasi dalam penyelesaian

perkara Anak melalui Diversi dan pendekatan Keadilan Restoratif; e.

berkontribusi dalam rehabilitasi dan reintegrasi sosial Anak, Anak Korban

dan/atau Anak Saksi melalui organisasi kemasyarakatan; f. melakukan

pemantauan terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam penanganan perkara


139

Anak; atau g. melakukan sosialisasi mengenai hak Anak serta peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan Anak.

Dalam mewujudkan upaya tersebut pemerintah serta masyarakat harus

saling tolong menolong, dan bahu membahu dalam menaplikasikan pasal

tersebut. Karena kepedulian dari masyarakat dapat mengurangi tingkat

kejahatan mapun tindak pidana yang dilakukan anak. Karena pengaruh

lingkungan cukup besar dalam memberkan contoh perilaku kurang baik seperti

tidak membiarkan anak melakukan kekerasan maupun menerima kekerasan.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka penulis dapat menarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya anak melakukan tindak

pidana pembunuhan dan pengeroyokan pada kasus diatas terbagi dalam dua

faktor yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor dari

dalam diri seseorang untuk melakukan kejahatan seperti pembunuhan yang

sudah terlihat dari pelaku itu sejak lahir biasanya tergantung kepada

keadaan psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan

kejiwaan, pelaku yang terganggu pikirannya tidak akan tenang apabila

pelaku tidak melampiaskan perasaaanya kepada korban dengan

menghilangkan nyawa, faktor dalam keluarga juga sangat mendorong

seseorang melakukan kejahatahn pembunuhan seperti keluarga broken

home, pola asuh yang kurang baik, kurang perhatian dan kasih sayang yang

diberikan orang tua kepada anak, dan perasaan sakit hati yang dimiliki oleh

pelaku sehingga merasa memliki tanggung jawab untuk menyelesaikan

persoalannya dan memilih untuk membunuh dan mengeroyok korbannya.

Faktor eksternal yaitu faktor dari luar seperti lingkungan pelaku kejahtan

140
141

itu tinggal, sehingga memiliki dampak yang dapat mempengaruhi seorang

anak mengambil sebuah keputusan.

2. Kejahatan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan anak merupakan

tindakan yang kekurangan perhatian pada personality charachteritics dan

pembangunan pada moralnya, anak yang tidak memiliki karakter pada masa

kanak-kanak ketika meranjak dewasa akan cenderung mencari jati diri,

dengan memiliki lingkungan yang kurang baik, seorang anak akan mencari

dan membangun moralnya dengan mencontoh lingkungan tempat dia tingal

maupun teman sepermainanya, maka setiap orang tua harus dan wajib

memberikan personal karakter kepada anaknya dan membangun moral

yang baik pada anak, agar anak mengetahui boleh atau tidaknya sesuatu

yang dilakukan, dalam melakukan hal tersebut pola asuhlah menjadi point

terpenting yang harus diberikan orang tua kepada anak.

3. Upaya Penanggulangan terhadap tindak pidana pembunuhan dan

pengeroyokan bisa dilalui dalam cara benar atau sarana pidana yaitu dengan

menerapkan sanksi hukuman terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan

melalui proses persidangan peradilan, juga penanggulangan tindak pidana

ini bisa dilalui dengan cara non-penal yaitu pencegahan agar tidak

terjadinya peristiwa yang mengakibatkan korban nyawa. Pemerintah harus

turut serta memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat dan daerah

yang tertinggal agar informasi tersebut tersebar secara merata disetiap


142

daerah. Dalam konteks kebijakan penanggulangan kenakalan remaja perlu

dimodifikasi politik kesejahtraan masyarakat dan politik perlindungan

masyrakat. Kemudian langkah lain yang ditempuh adalah Peningkatan dan

pemaantapan aparatur penegak hukum, meliputi pemantapan organisasi,

personel dan sarana prasarana untuk menyelesaikan perkara pidana dan

perundang-undangan yang dapat berfungsi menganalisir dan membendung

kejahatan dan mempunyai jangkauan ke masa depan. Mekanisme peradilan

pidana yang efektif dengan syarat-syarat cepat, tepat, murah, dan sederhana.

Koordinasi antar-aparatur penegak hukum dan aparatur pemerintah lainnya

yang berhubungan, untuk meningkatkan daya guna dalam penanggulangan

kriminalitas. Dan tentunya partisipasi masyrakat yang sangat diperlukan

disini, guna untuk membantu pelaksanaan penanggulangan kriminalitas.

B. Saran

Selanjutnya penulis mengemukakan saran-saran yang menyangkut hal-

hal yang berkaitan dengan skripsi ini sebagai bahan pertimbangan bagi semua

pihak yang bersangkutan, yaitu:

1. Faktor-faktor yang menyebabkan anak melakukan tindak pidana terdapat

dua diantaranya faktor internal yakni keluarga, keluarga harus menjadi

pondasi dasar untuk memberikan perlindungan dan keamanan pada anak,

untuk anak tidak melakukan tindak pidana, selanjutnya yakni faktor

eksternal, lingkungan menjadi faktor kedua yang paling banyak


143

memberikan dampak negatif kepada anak, oleh sebab itu faktor-faktor

diatas, keluarga maupun lingkungan harus memiiliki rasa empati dan

tanggung jawab atas kehidupan bersama untuk memberikan perlindungan

dan kasih sayang. Manusia itu dilahirkan dengan ruang kasih sayang, ruang

kasih sayang itu harus penuh. Ketika ruang kasih sayang itu tidak penuh dia

akan mencari source of happiness yang lainnya, maka ketika dia t8idak

mendapatkan dirumah dia akan mencari keluar, entah di lingkungannya,

teman, pacar bahkan hingga narkoba. Orang yang punya masalah di luar

rumah, itu ruang kasih sayangnya tidak penuh, cara terbaik untuk orang tua

adalah, penuhi ruang kasih sayang anaknya sepenuh-penuhnya aga rdia

tidak mencari ruang kasih sayang di tempat lain

2. Sebaiknya dalam penanganan terhadap kasus pembunuhan maupun

pengeroyokan yang dilakukan anak masih saja terjadi sampai saat ini, anak

sebagai manusia yang kelak akan menadi penerus bangsa sungguh sangat

disayangkan apabila terlibat dengan kasus kejahatan yang tergolong berat

tersebut. Upaya dan langkah-langkah yang telah ditempuh harus lebih

ditingkatkan lagi, guna mencegah terjadinya kejahatan yang sama terulang

kembali. System peradilan yang digunakan harus sesuai dengan prinsip

anak yang sudah mau memasuki usia remaja diperlakukan dan memeroleh

hukuman dengan orang dewasa.


144

3. Perlunya peran pemerintah untuk menyadarkan masyarakat pentingnya

kesadaran hukum. Dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat dan

pemahaman bahaya tindak pidana pembunuhan dan perilaku kriminal

lainnya bila terjadi. Diperlukan adanya penataan lingkungan yang baik,

dimulai dari lingkungan keluarga dengan menanamkan norma-norma

hukum yang ada dalam masyarakat agar anak tidak mudah terjerumus

dalam pergaulan buruk dan pikiran yang menjurus kedalam hal negatif

layaknya seperti pembunuhan dan pengeroyokan yang biasanya di

sebebkan balas dendam. Untuk menghindari terjadinya tindak pidana

pembunuhan, masyarakat setempat perlu turut andil dan berpatisipasi untuk

mengatasi kasus seperti ini. Misalnya, dengan segera melaporkan ke pihak

yang berwajib apabila melihat kejadian pembunuhan di sekitarnya, atau

bahkan menghalangi pelaku sebisa mungkin agar tidak terjadi korban yang

mengakibatkan kehilangan nyawa. Sanksi yang diberikan kepada para

pelaku yakni anak kiranya memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana

pembunuhan dan juga menjadi upaya preventif kepada aparat penegak

hukum untuk mengurangi kejahatan yang ada di dalam masyarakat. Hal lain

yang perlu diperhatikan adalah memaksimal dan memantapkan kinerja para

penegak hukum guna melindungi hak warga, baik sebagai pelaku maupun

sebagai korban kejahatan. Peningkatan dan pemaantapan aparatur penegak

58 hukum, meliputi pemantapan organisasi, personel dan sarana prasarana


145

untuk menyelesaikan perkara pidana pada anak dan perundang-undangan

yang dapat berfungsi mengkanalisir dan membendung kejahatan dan

mempunyai jangkauan ke masa depan.


DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Abdul Syani, Sosialogis Kriminalitas. Bandung. Remaja Karya. 1987.

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,

2008

Bonger W.A., 1962, Pengatar Tentang Kriminologi, terjemahan R.A. Koesnoen,

Pembangunan, Jakarta

Dawin Prints, Hukum Anak Indoneia, Citra Aditya Bakti, Bandung

Fajar Mukti dan Yulianto, Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Lihat Absori, Prlindungan Hukm Hak-hak Anak dan Imlementasinya di Indonesia

Pada Era Otonomi Daerah, Jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1

Kartini Kartono, 1998. Patologi sosial 2 Kenakalan Reajala, Jakarta; CV, Raawali.

Muchsin. Perlindungan Anak Dalam Perspektif Hukum Positif (Tinjauan Hukum

Administrasi Negara, Hukum Perdata, dan Hukum Pidana), 2011

Mochtar Kusumaatdja dan Arief Sidarta, Pengantar Ilmu Hukum, Buku I, alumni,

Bandung, 2000

P.A.F.Laminating , & D.Simons. Kitab Pelajaran HukumPidana, Penerbit Pionir

Jaya, Bandung 1992

Qirom Syamsudin Meliala dan E. Sumaryono, 1985, Kejahatan Anak, Suatu Tinjauan

dari Psikologi dan Hukum, Liberty, Yogyakarta.

146
147

Romli Atmasasmita, 2011. Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia,

Rajawali Pers, Kota Besar.s

Ronny Hanitijo Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1990

Setya Wahyudi. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing 2011

Sudarsono, 1990, Kenakalan Remaja, Prevensi, Rehabilitasi dan Resosialisasi.

Rineka Cipta, Jakarta.

Soedjono Dirdjosisworo, 1969, Doktrin-doktrin Kriminologi, Alumni, Bandung

Soerjono Soekanto dan Mamudji, Sri Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001. Majda El. Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam

Konstitusi Indonesia (Jakarta : Kencana, 2005)

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,

2005.

W.A Gerungan. Psikologis Sosial, PT Refika Aditama. Bandung : 2004.

W.A Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, diperbaharui oleh Dr. T.H Kempe

diterjemah kan oleh R.A. Koesnoe, diperbaharui oleh B.M. Reksodiputro SH,

dibawah penilikan Paul Moedigdo, cetakan keempat, Pustaka Sarjana, Jakarta

1977.

Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika

Aditama, 2002.

Yesmil Anwar, Adang, Kriminologi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2016.


148

II. PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Ke-

IV

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang No.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

III. SUMBER LAIN

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, PUTUSAN Nomor :

16/Pid.Ss-Anak/20017/PIN BDG

Eko Priliawito dan Luqman Rimadi, 2011, Anak Indonesia Mendekam di Penjara,

dalam http://metro.news.viva.co.id/news/read/273781-4-622-anak-

indonesia-mendekam-di-penjara, diunduh Rabu, 03 Oktober 2012. pukul.

15:05.

KPAI 2019. KPAI : Anak JAdi Pelaku Kriminalitas Trendnya Meningkat, dalam

https://akurat.co/news/id-555028-read-kpai-anak-jadi-pelaku-kriminalitas-

trendnya-meningkat

Podcast Lenyap

https://open.spotify.com/episode/7cRZtlCZY2jU5nWgfgEVFi?si=9SI50D

txSWODuIDB-iwMIw , diakses pada Rabu 21 April 2021, pukul 15.00


149

Terjemahan gang up o, swarm overhalm, sumber : ebsoft

http://rudihendrawan93.blogspot.co.id/2013/07/makalah-peristiwa-

hukum-pidana.html
LAMPIRAN

150
151
152
153

Anda mungkin juga menyukai