Anda di halaman 1dari 70

NASKAH UJIAN TERTUTUP

SKRIPSI

PEMIDANAAN BAGI PELAKU


KEKERASAN TERHADAP MENTAL
ANAK

NUR RAHMAH
17.00044

PROGRAM STUDI HUKUM


SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM
HABARING HURUNG SAMPIT
TAHUN 2020

Jalan : Ki Hajar Dewantara No. 56. Sampit


Kabupaten Kotawaringin Timur
Provinsi Kalimantan Tengah
Telepon (0531) 24695
LEMBAR PENGESAHAN

NASKAH UJIAN SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI UNTUK DIUJI

PADA TANGGAL

Oleh:

PEMBIMBING I

PEMBIMBING II

Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit

i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

a. Nama : Nur Rahmah

b. NPM/NIM : 17.00044

c. Program Studi : Ilmu Hukum

d. Judul Skripsi : Pemidanaan Bagi Pelaku Kekerasan Terhadap Mental

Anak

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan Skripsi ini berdasarkan

hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri dan bukan hasil

plagiat. Jika terdapat unsur karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber

yang jelas. Dan, apabila dikemudian hari terdapat ketidakbenaran dalam

pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar

yang telah diperoleh.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa paksaan

dari pihak manapun.

Sampit, Yang membuat pernyataan,

Nur Rahmah

ii
LEMBAR PERNYATAAN PERSTUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

a. Nama : Nur Rahmah

b. NPM/NIM : 17.00044

c. Program Studi : Ilmu Hukum

d. Judul Skripsi : Pemidanaan Bagi Pelaku Kekerasan Terhadap

Mental Anak

Demi kepentingan akademis, menyetujui untuk memberikan kepada

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung kebebasan tanpa meminta

imbalan/bayaran/royalty dalam bentuk apapun untuk menyimpan,

mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan

mempublikasikan skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis/penyusun dan pemilik dari skripsi ini.

Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa paksaan

dari pihak manapun.

Sampit, Yang membuat pernyataan,

Nur Rahmah

iii
Ucapan Terimakasih

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat

Rahmat dan Hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian

dan penulisan skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar S1 Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum,

Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit (STIH-HR)

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak mendapat dorongan serta

bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis inin

mengucapkan terimakasih yang sebesar besarnya kepada :

1. Ayahku H. Mukasin Cahyono S.T, Ibuku Hj. Kencana, Kakak dan

Abang ku Ratna Septriani, Bayu Wicaksono, Ari Wijaya, Bela

Wulandari yang tidak pernah henti mendukung serta mendoakanku.

2. Bapak H. Rusdianto, SH,.MH. ketua STIH-HR Sampit dan selaku

Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu untuk

memberikan bimbingan serta kesempatan kepada penulis untuk bisa

menyelesaikan skripsi ini

3. Bapak M. Syiblunnur, S.Kep,.MH. selaku Dosen Pembimbing II, yang

telah memberikan arahan dan motivasi ilmu pengetahuan dan

pengalaman kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

iv
4. M. Fabrian Harbowo yang selalu memberikan support sistem dalam

bentuk apapun itu disaat senang maupun susah dalam menyelesaikan

penulisan skripsi ini.

5. Anggun Roro Ciptaning Tyas, Desyra Damayanti, Rahma Andriani,

Tria Merni dan Rusanti yang selalu memberikan dukungan, do’a,

semangat, dan kasih sayang yang tak terhingga, agar aku dapat

mencapai tujuan yang kuimpikan.

6. Kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta

almamater kebanggaanku Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring

Hurung Sampit (STIH-HR).

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya

kepada kita semua. Terimakasih kalian sangat bermakna dan berarti dalam

kehidupanku. Akhir kata penulis berharap kiranya agar penyusunan skirpsi ini

bermanfaat bagi perkembangan ilmu khususnya dalam Ilmu Hukum Pidana, Amin

Ya Robbal Allamin.

v
RINGKASAN

Perilaku kekerasan akhir akhir ini tidak hanya terjadi di kalangan dewasa,

melainkan juga di kalangan anak-anak dan remaja. Kekerasan pada anak tidak

hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa dalam bentuk lain, contohnya kekerasan

yang menyerang mental anak. Kekerasan jenis ini bisa berdampak sangat besar

kepada anak itu sendiri yakni anak bisa berkembang menjadi pribadi dengan

kepercayaan diri rendah. Cara pandang terhadap diri, lingkungan, dan dunia juga

akan menjadi buruk.Anak juga bisa memperlihatkan sikan antisosial dan menjauhi

orangtua. Dalam kasus yang ekstrem, anak bisa melakukan perilaku menyimpang,

seperti menggunakan obat-obatan terlarang, minum alkohol, dan merokok untuk

mengurangi rasa sakit secara emosional di dalam dirinya

Di Indonesia Kekerasan pada mental anak ini masih seringterjadi dan

belum bisa ditanggulangi dengan signifikan sehingga masih marak terjadi dan

sebagian masih sering mengekpose hal ini ke khalayak ramai. Dengan adanya

uraian diatas maka di perlukan teori hukum sebagai landasan dan acuan dalam

menangani bentuk tidak kekerasan terhadap mental anak (child abuse).

Berdasarkan hasil penelitian, penulis mendapatkan bahwa tujuan pidana

itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi

masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Juga pidana penjara merupakan

sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di

masyarakat. Dari data yang diperoleh secara langsung dari lapangan berdasar dari

vi
narasumber. Bahan hukum yang digunakan, yaitu berupa peraturan perundang-

undangan dalam KUHAP, Undang-Undang UU Nomor 17 tahun 2016 tentang

Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum, Hasil penelitian terhadap UU No. 11 tahun 2012 menunjukkan

bahwa terdapat berbagai bentuk perlindungan terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak - haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,

serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana yang

tercantum dalam pasal (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 jo.

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak).

Berdasarkan dari persoalan ini solusi penulis Dalam memberikan

sosialisasi Lembaga Perlindungan Anak sebaiknya lebih banyak memberikan

pengertian kepada keluarga dan masyarakat mengenai pentingnya hak anak, agar

keluarga dan masyarakat bisa turut memberikan dukungan kepada anak korban

kekerasan mental atau child abuse. Kerjasama antara aparat penegak hukum,

orang tua dan masyarakat harus lebih ditingkatkan di berbagai bidang hukum

untuk tercapainya tujuan perlindungan hukum terhadap anak, agar tidak terjadi

lagi korban kekerasan mental terhada anak yang dilakukan oleh teman, keluarga

ataupun lingkungan sosialnya. Serta Fasilitas-fasilitas dalam menangani anak

sebagai korban kekerasan ini hendaknya mendatangkan para psikolog anak

vii
sehingga emosi dan luapan perasaan aanak bisa tersampaikan. Hal lainseperti

tempat perlindungan khusus bagi anak dirasa masih mengalami kekurangan, maka

fasilitas tersebut hendaknya perlu ditambah agar dalam menangani anak korban

kekerasan mental atau hild abuse ini lebih efektif

viii
PUNISHMENT FOR PERPETRATORS OF VIOLENCE AGAINST
CHILDREN'S MENTAL

NUR RAHMAH
Abstract

Child abuse against children in Indonesia is still happening and only be


handled in certain cases that have to be reported. This often happens and some
still cannot be formally prosecuted and are still considered normal for the
community. There is still a scarcity of judicial solutions that are socialized to the
public as a form of legal protection for children so that children lose their right to
get any protection.
The problem of criminal acts against children's mentality arises because
the enforcement of criminal law has not been oriented to the value of justice,
especially the protection of victims, but rather on the application of punishment to
the perpetrators. The problem in this study is how the provisions of legal
protection for children as victims of criminal acts according to the current
positive criminal law. Legal protection for children who are victims of mental
crimes against children in positive criminal law is currently contained in Articles
287, 290, 292, 293, 294 and 295 of the Criminal Code and Articles 81 and 82 of
the Law. No. 23/2002 jo. Act. No. 35 of 2014 in conjunction with Perpu
No.1/2016 concerning the second amendment to Law no. 23/2002 concerning
Child Protection, and if the victim is included in the household scope, then the
provisions of Articles 46 and 47 of the Law also apply. No. 23/2004 concerning
the Elimination of Domestic Violence, as well as Law no. 31/2014 concerning the
Protection of Witnesses and Victims. weaknesses that appear in the Act. No.
31/2014 is the absence of a provision that regulates sanctions if the perpetrator
does not provide restitution for the victim.

Keywords: Legal Protection, Children, Moral Crimes

ix
DAFTAR ISI

Hal

1. LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................i

2. LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN...............ii

3. LEMBAR PERNYATAAN PERSTUJUAN PUBLIKASI KARYA


ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.................................iii

4. UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................iv

5. RINGKASAN.............................................................................................vi

6. ABSTRAK..................................................................................................ix

7. DAFTAR ISI...............................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG DAN RUMUSAN MASALAH............................1

1. 1. PENGERTIAN UMUM KEKERASAN MENTAL ANAK


(CHILD ABUSE)..............................................................................1

1. 2. KEKERASAN VERBA SECARA UMUM......................................2

2. TUJUAN PENELITIAN............................................................................14

3. MANFAAT PENELITIAN........................................................................15

4. PERBANDINGAN DENGAN PENELITIAN SEBELUMNYA............15

5. KERANGKA TEORITIK & KONSEPTUAL.........................................17

5.1. TEORI ABSOLUTATAU TEORI PEMBAHASAN.......................17

5.2. TEORI RELATIF ATAU TEORI TUJUAN....................................18

5.3. TEORI GABUNGAN.........................................................................19

5.4. KERANGKA KONSEPTUAL...........................................................23

x
6. METODE PENELITIAN...........................................................................27

6.1. TIPE PENELITIAN...........................................................................27

6.2. PENDEKATAN PENELITIAN.........................................................27

6.3. PENDEKATAN UNDANG – UNDANG (STATUE


APPROACH)..................................................................................27

6.4. PENDEKATAN MASALAH (CASE APPROACH).......................28

6.5. SUMBER BAHAN HUKUM.............................................................28

6.6. TEKNIK PROSEDUR PENGUMPULAN DAN ANALISIS .........29

BAHAN HUKUM...........................................................................................29

7. SISTEMATIKA PENULISAN..................................................................29

BAB II PERLINDUNGAN HUKUM DALAM UPAYA PEMULIHAN


KONDISI ANAK YANG MENGALAMI TRAUMA AKIBAT
KEKERASAN MENTAL (MENTAL ABUSE)

2. 1. Perlindungan Hukum Anak..............................................................31

2. 2 .Ulasan Dari teori perlindungan hukum berdasarkan hasil


Kajian..................................................................................................32

2. 3 . Produk Hukum Berdasarkan Kajian..............................................34

2. Perlindungan Hukum dalam upaya pemulihan Kondisi Anak Pasca


Trauma........................................................................................................37

2. 1. Upaya penmdampingamn korban.....................................................37

2.2. Dasar Hukum Tentang Kekerasan Terhadap Mental Anak


(Child Abuse).......................................................................................43

BAB III PEMBAHASAN


PEMBERLAKUAN UNDANG UNDANG NOMOR 17 TAHUN
2016 TERHADAP KEKERASAN MENTAL ANAK

3.1. Ketentuan Pasal 81..............................................................................45

3.2. Di antara Pasal 81 dan Pasal 82 ........................................................46

xi
3.3. Ketentuan Pasal 82..............................................................................47

BAB IV PENUTUP

4.1 KESIMPULAN.....................................................................................53

4.2 SARAN..................................................................................................54

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................56

xii
BAB I

PENDAHULUAN

KEKERASAN TERHADAP MENTAL ANAK (CHILD ABUSE)

1. Latar Belakang Masalah dan Rumusan Masalah

1. 1. PENGERTIAN UMUM KEKERASAN MENTAL ANAK (CHILD

ABUSE)

Kekerasan pada anak tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa

dalam bentuk lain, contohnya kekerasan yang menyerang mental anak.Bentuk

kekerasan terhadap anak yang menyerang mental bisa beranekaragam. Sebagai

contoh kekerasan emosional yakni meremehkan atau mempermalukan anak,

berteriak di depan anak, mengancam anak, dan mengatakan bahwa ia tidak baik.

Jarang melakukan kontak fisik seperti memeluk dan mencium anak juga termasuk

contoh dari kekerasan emosional pada anak. Tanda-tanda kekerasan emosional di

diri anak meliputi: Kehilangan kepercayaan diri, terlihat depresi dan gelisah, sakit

kepala atau sakit perut yang tiba-tiba, menarik diri dari aktivitas sosial, teman-

teman, atau orangtua, perkembangan emosional terlambat, sering bolos sekolah

dan penurunan prestasi, kehilangan semangat untuk sekolah, menghindari situasi

tertentu, kehilangan ketrampilan.

Kekerasan mental terhadap anak disini salah satunya yang sangat berperan

mempengaruhi pada anak adalah kekerasan verbal.Kekerasan verbal adalah

bentuk penyiksaan pada seseorang melalui kata-kata. Tujuannya adalah merusak

mental korbannya sehingga si korban akan merasa tidak percaya diri, mulai

1
mempertanyakan intelejensi, hingga merasa tidak memiliki harga diri. Kekerasan

verbal bisa terjadi pada hubungan apa pun dan intensitasnya biasanya meningkat

bila tidak segera diakhiri. Jika sudah parah, kekerasan ini juga bisa berujung pada

kekerasan fisik dan meninggalkan efek yang buruk bagi korbannya.

1. 2. KEKERASAN VERBA SECARA UMUM

Banyak orang berpikir kekerasan verbal hanya terjadi ketika

seseorang membentak orang lain. Padahal, kekerasan verbal juga bisa terjadi

ketika seseorang berbicara dengan nada halus hingga berbisik, namun dilakukan

setiap hari dan bertujuan melakukan pembunuhan karakter.Jika Anda menemukan

atau merasakan satu atau lebih dari hal-hal berikut, bisa jadi itu adalah bentuk

kekerasan verbal. Beikut beberapa contoh definsi kekerasan verbal :

1. Name-calling (pemberian nama gelar)

Name-calling merupakan nama panggilan yang bernada hinaan atau

mengata-ngatai seseorang dengan mengganti namanya menjadi sebutan yang lain.

Contohnya, “kamu tidak akan mengerti ini karena kamu bodoh.”

2. Degradasi

Kata-kata ini dikeluarkan agar seseorang merasa bersalah terjadap dirinya

sendiri dan menganggap dirinya tidak berguna.Contohnya, “kamu tidak akan bisa

jadi apa-apa kalau bukan karena bantuan saya.”

3. Manipulasi

Kekerasan verbal ini dilakukan dengan tujuan memerintah Anda, tapi tidak

dengan kalimat imperatif. Misalnya, “kalau kamu memang sayang keluarga, kamu

tidak akan melakukan itu.”

2
4. Menyalahkan

Berbuat salah adalah hal yang manusiawi. Namun, orang yang melakukan

kekerasan akan menjadikan kesalahan Anda sebagai pembenaran atas tindakan

mereka, misalnya dengan berkata “saya harus memarahi kamu karena perilakumu

sangat tidak bisa ditolerir.”

5. Merendahkan

Kata-kata ini akan keluar ketika si pelaku kekerasan verbal berniat

mengerdilkan Anda dan di saat yang bersamaan membuat dirinya lebih superior.

Contoh kalimat merendahkan adalah “saya yakin suara kamu bagus, tapi lebih

bagus lagi kalau kamu diam saja.”

6. Kritik berkelanjutan

Menerima kritik adalah bagian dari proses pendewasaan diri. Namun

dalam kekerasan verbal, kritik dilakukan dengan sangat kasar dan terus-menerus

sehingga korbannya akan merasa tidak punya harga diri. Contohnya, “kamu suka

marah-marah makanya tidak ada orang yang suka dengan kamu.”

7. Menuduh

Menuduh juga bisa menjadi kekerasan verbal ketika hal itu dilakukan

untuk menjatuhkan mental Anda.Tidak perlu dengan kata-kata kasar, bentuk

kekerasan verbal ini dapat berupa “saya harus berteriak karena kamu keras

kepala.”

8. Menolak berbicara

Bahkan tidak berkata apa pun bisa jadi bentuk kekerasan verbal, terutama

bila dilakukan untuk membuat korbannya merasa tidak enak. Misalnya, ketika

3
Anda bertengkar dengan pasangan, ia memilih diam dan pergi ketika Anda

menuntut penjelasan darinya.

9. Mengarang

Pasangan kerap mengatakan bahwa Anda suka mengarang suatu kejadian

agar Anda merasa bersalah? Bisa jadi itu adalah bentuk kekerasan verbal agar

Anda segera minta maaf dan kian tergantung pada mereka. Contoh konkretnya

seperti Anda menagih janji pasangan untuk membantu pekerjaan rumah, tapi dia

berkata “kita tidak pernah ada perjanjian soal itu”. Bahkan, ia bisa

menegaskannya dengan “jangan suka mengarang, itu cuma halusinasi kamu”

sehingga Anda akan meminta maaf.

10. Perdebatan yang tidak berujung

Berdebat adalah bagian dari hubungan yang sehat, namun perdebatan yang

tak berujung dan dilakukan berulang kali bisa jadi bentuk kekerasan verbal.

Misalnya, jika Anda merupakan wanita yang bekerja, kondisi rumah mungkin

tidak selalu rapi.Ketika ini terjadi berkali-kali, pasangan Anda selalu menyalahkan

Anda yang akhirnya mengakibatkan debat tak berujung.

11. Ancaman

Kekerasan verbal bisa jadi awal mula terjadinya kekerasan fisik, salah

satunya dimulai ketika pelaku kekerasan ini mengeluarkan nada

ancaman.Ancaman ini sangat mudah dikenali karena sudah pasti memberi efek

takut pada korban dan menuntut korban untuk patuh pada kata-kata pelaku

kekerasan ini. Contohnya, “kalau kamu tidak menuruti saya, jangan salahkan saya

jika terjadi sesuatu yang mengerikan pada kamu.”

4
12. Melawan

Melawan adalah kecenderungan untuk menjadi argumentatif, tidak hanya

dalam konteks politik, filosofis, atau ilmiah tetapi juga dalam konteks umum.

Korban kekerasan tersebut dapat membagikan perasaan positifnya tentang

kegiatan yang baru saja dilakukannya, dan pelaku kemudian mencoba

menyangkal bahwa perasaannya salah. Melawan, mengabaikan perasaan, pikiran,

dan pengalaman korban secara teratur merupakan salah satu jenis kekerasan

verbal.

Adapun tanda – tanda bahwa anak sedang mengalami kekerasan mental

(child abuse) secara verbal adalah seagai berikut:

1. Anak selalu merasa kalah

2. Anak merasa harga diri dan kepercayaan diri Anda menjadi rendah

3. Anak merasa tertekan saat berdiskusi

4. Anak sering menjadi beban lelucon yang membuat merasa buruk

5. Anak mudah merasa takut dan malu

6. Pelecehan verbal meningkat menjadi pertengkaran fisik terhadap anak

Kekerasan verbal dapat terjadi kapan pun, termasuk ketika seseorang

masih kanak-kanak, misalnya kekerasan verbal yang dilakukan orangtua, teman,

atau orang-orang di lingkungannya.Anak-anak sendiri merupakan kelompok yang

sangat rentan menderita efek buruk dari kekerasan ini. Penelitian menunjukkan

anak yang kerap mendapat kekerasan verbal dapat berkembang menjadi pribadi

dengan kepercayaan diri rendah. Cara pandang terhadap diri, lingkungan, dan

dunia juga akan menjadi buruk. Anak juga bisa memperlihatkan sikan antisosial

5
dan menjauhi orangtua. Dalam kasus yang ekstrem, anak bisa melakukan perilaku

menyimpang, seperti menggunakan obat-obatan terlarang, minum alkohol, dan

merokok untuk mengurangi rasa sakit secara emosional di dalam dirinya.Pada

orang dewasa, efek kekerasan verbal yang ditimbulkan pun tidak jauh

berbeda.Selain itu, mereka juga mungkin mengalami penurunan prestasi akademis

dan menjalin hubungan yang tidak sehat. Jika mental sudah terluka parah, mereka

bisa mengalami depresi hingga post traumatic stress disorder (PTSD) yang akan

menghancurkan kualitas kehidupan secara keseluruhan.

Pada tahun 2019 angka Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kotim

Masih Tinggi.Menurut sumber Borneo news “kekerasan perempuan dan anak di

Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) masih tinggi.Bahkan pada April 2019 ini

saja, setidaknya ada empat kasus yang masuk dan ditangani oleh Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) Lentera Kartini.Pada April 2019 setidaknya ada

empat kasus yang kami tangani pada April 2019 ini. Sehingga kasus kekerasan

perempuan dan anak masih tinggi," ujar Ketua LSM Lentera Kartini Forisni

Aprilista, Kasus yang terjadi tersebut diantaranya adalah pelecehan seksual,

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), asusila, dan juga seksual terhadap anak

di bawah umur, serta persetubuhan anak. Kasus tersebut sangat mengkhawatirkan,

dan akan berdampak buruk terhadap perkembangan anak ke depannya .

Sedangkan tahun 2020 kekerasan anak meningkat menjadi 8 kasus,

dimana kekerasan anak naik menjadi 6 kasus dan 2 kekerasan fisik.Ellena Rosie

menuturkan lantaran kurangnya perhatian orang tua terhadap anak-

anaknya.Seharusnya banyak di rumah saat terbaik untuk quality time bagi

6
keluarga. Namun karena orangtua tetap bekerja di rumah fokus mencari nafkah

dan perhatiannya kurang terhadap anak-anak sehingga terjadi broken home dan

anak pun menjadi korban. “Meski disaat pandemi orang tua tetap fokus mencari

nafkah dirumah sehingga perhatiannya kurang pada anaknya,” Dengan

meningkatnya kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual, pihak - pihak

terus meningkatkan perlindungan dan pendampingan terhadap anak. Hal ini pun

menjadi tantangan bagi pihaknya untuk meningkatkan lagi kinerjanya agar

kekerasan pada anak di Kotim dapat berkurang .

Menurut Suharto mengelompokkan kekerasan pada anak menjadi31 :

1. Kekerasan Anak Secara Fisik

Kekerasan secara fisik adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan

terhadap anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang

menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak.Bentuk luka dapat berupa

lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas

gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan.Dapat pula berupa luka bakar akibat

bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika.Lokasi luka biasanya

ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau

daerah bokong.Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu

oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau

rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat,

memecahkan barang berharga.

7
2. Kekerasan Anak Secara Psikis

Kekerasan secara psikis meliputi penghardikan, penyampaian kata-kata

kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak.

Anak yang mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku

maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar

rumah dan takutbertemu dengan orang lain.

3. Kekerasan Anak Secara Seksual

Kekerasan secara seksual dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara

anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar

visual).Maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan

orang dewasa (incest, perkosaan, eksploitasi seksual).

4. Kekerasan Anak Secara Sosial

Kekerasan secara sosial dapat mencakup penelantaran anak dan eksploitasi

anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak

memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh-kembang anak.

Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan

pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada

sikap diskriminatif atau perlakuan sewenangwenang terhadap anak yang

dilakukan keluarga atau masyarakat.Sebagai contoh, memaksa anak untuk

melakukan sesuatu demi kepentingan ekonomi, sosial, atau politik tanpa

memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan

perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk

bekerja di pabrik-pabrik yang membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki)

8
dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk

angkat senjata, atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga

melebihi batas kemampuannya.

Berdasarkan pejelasasn dan uraian diatas maka kekerasan mental anak

(child abuse) termasuk dalam kategori Kekerasan secara psikis meliputi

penghardikan, penyampaian kata-kata kasar dan kotor, memperlihatkan buku atau

gambar film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini

umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaptif, seperti menarik diri, pemalu,

menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takutbertemu dengan orang lain.

Di Indonesia Kekerasan pada mental anak ini masih seringterjadi dan

belum bisa ditanggulangi dengan signifikan sehingga masih marak terjadi dan

sebagian masih sering mengekpose hal ini ke khalayak ramai. Secara umum ada

empat kategori utama tindak kekerasan terhadap anak yaitu: pengabaian,

kekerasan fisik, pelecehan emosional/psikologis, dan pelecehan seksual anak.

Kekerasan terhadap anak adalah tindak kekerasan secara fisik, seksual,

penganiyaan emosional, atau pengabaian terhadap anak1.

Bab X-A Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD RI)

tentang Hak Asasi Manusia, antara lain menyebutkan setiap orang berhak untuk

hidup, berhak untuk tidak disiksa dan berhak bebas dari perlakuan yang bersifat

deskriminatif. Kemudian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 ini tentang

Perlindungan Anak dalam perjalanannya mengalami perubahan. Pertama dengan

UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kedua dengan Peraturan Pemerintah


1
"Child abuse definition of child abuse by the Free Online Dictionary, Thesaurus and Encyclopedia.

9
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016

tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak ini kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan UU

Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-

Undang.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2016

tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 2016 oleh Presiden

Joko Widodo dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna H. Laoly hati itu juga,

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 99.

Hal ini sesuai dengan ketentuan konvensi hak anak yag telah diratifikasi

oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden RI Nomor 36 Tahun 1990

yang mengemukakan tentang prinsip-prinsip umum perlindungan anak, yaitu non

diskriminasi, kepentingan terbaik anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang

serta menghargai partisipasi anak. Pemerintah, orang tua dan masyarakat sudah

saatnya menyadari anak - anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa

lainnya yang harus dihargai.

Hak-hak anak perlu ditegakkan antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh

dan berkembang optimal, memperoleh perlindungan, pendidikan dan ikut

10
berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak,

sebagaimana telah tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang diratifikasi

Pemerintah Indonesia tahun 1990, disusul disahkannya UU RI No. 23/2002

tentang Perlindungan Anak yang mencantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran

hak anak. Salah satu kasus kekerasan yang terjadi pada anak yaitu kasus

kekerasan yang dialami oleh seorang siswi Sekolah Dasar yang sering diejek oleh

siswi SMP di Thamrin City.Peristiwa terjadi pada Jumat, 14 Juli 2017 sekitar

pukul 13.30 WIB.

Berawal dari saling menghina antara korban dan pelaku, karena merasa

dendam si pelaku merasa tidak puas.Keesokan harinya pelaku mencegat dan

meminta korban untuk bertemu di Thamrin City sepulang sekolah, disanalah

pelaku dengan temannya melakukan penganiayaan pada korban. Penganiayaan itu

direkam dan disebarkan ke media sosial oleh temannya yang lain2.Berdasarkan

kasus di atas, yang paling terlihat adalah kekerasan fisik yang dialami oleh

korban.Terlihat pula bahwa kekerasan fisik yang terjadi tersebut selalu diawali

oleh kekerasan psikis, entah dimulai dari saling ejek mengejek, rasa tidak suka

berlebihan hingga mengeluarkan kata-kata makian dan lain-lain sehingga akhirnya

terjadilah kekerasan fisik.

Jika melihat secara kasat mata maka akan terlihat bahwa korban hanya

mengalami dampak fisik seperti lebam-lebam, dan luka lainnya. Namun jika

diteliti lebih dalam maka dalam adanya child abuse atau kekerasan pada mental

anaklah yang paling mendalam. Korban tidak hanya memiliki dampak fisik saja,

tetapi juga dampak psikis yang memang secara kasat mata tidak terlihat hanya
2
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, Bandung, 2012, H.47.

11
saja akan dirasakan oleh korban tersebut ketika korban mengingat peristiwa yang

telah dialaminya. Melihat banyaknya kasus kekerasan di lingkungan sekolah

kerap kali kekerasan yang terjadi yaitu kekerasan fisik, seksual dan psikis. Dari

berbagai kekerasan tersebut dampak yang pasti akan dialami oleh korban

kekerasan yaitu dampak psikis terhadp korban.

Menurut Hamdan, dalam pengertian praktis, politik kriminal adalah usaha

rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan. Usaha ini

meliputi aktivitas dari pembentuk undang-undang, kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan aparat eksekusi pemidanaan.Aktivitas badan-badan tersebut

tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai fungsinya

masing-masing3.Selanjutnya, proses penegakan hukum dalam penanggulangan

kejahatan melalui kebijakan penal/hukum pidana sangat penting eksistensinya.

Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga

merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana).

Dalam salah satu buku Kata kekerasan itu sendiri (violence) berasal dari

kata Latinyakni, visyang berari daya, kekuatan dan latusyang berarti

membawa.Secara sosiologis, kekerasan merupakan konflik sosial yang tidak

terkendali dalam lingkup masyarakat yang terjadi karena adanya kekuatan untuk

melakukan kerusakan (tindakan merusak) dengan mengabaikan Norma dan nilai

sosial. Kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah semua bentuk perlakuan

menyakitkan secara fisik ataupun emosional, penyalahgunaan seksual, pelalaian,

eksploitasi komersial atau eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera/kerugian


3
Hamdan. M, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1997, H.23

12
nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak,

tumbuh kembang. Anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks

hubungan tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan4.

Karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum

pidana juga merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum(law

enforcement policy)”5.

Faktor-faktoryang rentan menjadipenyebab terjadinya kekerasan

terhadapanak diantaranya yaitu:

a) Faktor Lingkungan Sosial di sekitar anak yangkeras, baik dalam

bidang ekonomi, sosial, politik, budaya dan sebagainya.

b) FaktorLingkungan Sekolah yang formalistis dan cenderung

dehumanisasi.

c) Faktor dari sikap orangtua yang semakin permisif (serba

membolehkan) terhadap ikatan nilai-nilai moral, serta intensitas

komunikasi yang tidak lagi intens karena modernisasi dan

profesionalisasi, yang menuntut individu menekuni keahliannya dan

mengabdikan diri secara total kepada dunia kerja.

d) Faktor hilangnya ruang publik untuk ekspresi anak, seperti

sedikitnya tempat untuk mengembangkan potensi anak dalam bidang

olahraga, seni teater, musik, sastra, permainan kreatif dan

sebagainya sehingga anak-anaklebih melampiaskan kepada hal-hal

yang destruktif, tidak terkendali, tindakan coba-coba, tindakan

4
Fakih M, Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect.IDI-UNICEF, Jakarta,
2003,hlm. 77
5
Hamdan. M, Opcit. H.24.

13
mencari perhatian, melampiaskaneroismedi depan teman sebaya dan

sebagainya”96.

Dari macam-macam faktor yang ada di atas dapat disimpulkan bahwa

terdapat 2 (dua) faktor penting yang menyebabkan adanya kekerasan terhadap

anak, yakni faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal (faktor dari dalam)

dipengaruhi oleh diri anak itu sendiri dan faktor dari keluarga si anak.Sedangkan

faktor eksternal (faktor dari luar) dipengaruhi oleh adanya faktor lingkungan

tempat tinggal atau berinteraksinya si anak, faktor sistem pengajaran di

lingkungan sekolah, maupun faktor teknologi.Berdasarkan latar belakang yang

kompleks tentang hal ini maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian ini

dengan judul “PEMIDANAAN BAGI PELAKU KEKERASAN TERHADAP

MENTAL ANAK”

Berdasarkan latar belakang masalah yang di uraikan di atas, maka penulis

merumuskan permasalahan sebagai berikut:

a). Bagaimana bentuk perlindungan hukum dalam upaya pemulihan

kondisi anak yang mengalami trauma akibat kekerasan mental (Mental

Abuse)?

b). Apa saja Sanksi Hukum bagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap

mental anak?

2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

6
Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2010, H. 15

14
a) Menganalisis dan menemukan bentuk perlindungan hukum dalam

kekerasan mental anak (Mental Abuse).

b) Mengetahui dan memahami Sanksi Hukum yang terkait atas tindak

pidana kekerasan terhadap mental anak.

3. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

a) Hasil penelitian ini akan memberikan sumbang saran dalam ilmu

Hukum khususnya tentang pemidanaan kekerasan mental terhadap

anak.

b) Menambah wawasan dan Membentuk pengetahuan bagi penulis

dan masyarakat untuk memahami hukum dan sanksi atas

pemidanaan kekerasan mental anak.

4. Perbandingan Dengan Penelitian Sebelumnya.

Ada beberapa judul skripsi yang mempunyai kemiripan dengan

penelitian yang penulis lakukan.Namun tetap memiliki perbedaan yang

mendasar dengan penelitian penulis. Adapun judul skripsi dimaksud,

antara lain:

1. IMAN NUR MAHMUDI dengan judul “CHILD

ABUSEKEKERASAN PADA ANAK DALAM PERSPEKTIF

PENDIDIKAN ISLAM” UIN RADEN INTAN LAMPUNG. Tahun

2018.

Dalam skripsi ini diangkat rumusan masalah:

15
sebagai berikut:

a. Bagaimanakah child abuse (kekerasan pada anak) dalam perspektif

pendidikan

islam ?

b.Bagaimanakah solusi terhadap terjadinya child abuse (kekerasan pada

anak) menurut para cendikiawan muslim?

2. VANIA TWIDESYADINDA dengan judul “PERLINDUNGAN

HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL

DALAM PRAKTIK PENEGAKAN HUKUM PIDANA” UNIVERSITAS

ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA.Tahun 2019.

Dalam skripsi ini diangkat rumusan masalah sebagai berikut;

a. Apa faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap

anak di Wonosobo?

b. Bagaimana modus operandi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual

terhadap anak di Kabupaten Wonosobo?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi

korban kekerasan seksual dalam praktik penegakan hukum pidana oleh

Kepolisian dan Pengadilan Negeri Wonosobo?

Dari kedua penelitiaan terdahulu tersebut sangat berbeda dengan

isu hukum yang sedang peneliti angkat.Karena yang disusun penulis

bertujuan untuk menganalisis dan menjabarkan bentuk perlindungan

hukum serta sanksi dalam hukum pidana bagi pelaku Kekerasan terhadap

mental anak (child abuse).

16
5. Kerangka Teoritik dan Konseptual

Dengan adanya uraian diatas maka di perlukan teori hukum sebagai

landasan dan acuan dalam menangani bentuk tidak kekerasan terhadap mental

anak (child abuse). Di dalam suatu penelitian diperlukan adanya kerangka

teoristis sebagaimana yang di kemukan oleh Ronny H. Soemitro bahwa untuk

memberikan landasan yang mantap pada umumnya setiap penelitian haruslah

selalu disertai pemikiran-pemikiran teoritis”7.Maka akan diuraikan dalam

penjelasan berikut ini sebagai landasan dan acuan untuk memperjelas kerangka

teoritik dan konseptual.

Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga

golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),

teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan

(verenigings theorien)”8.

5.1. Teori Absolut atau Teori Pembahasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan

kejahatan.Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan

kepada orang yang melakukan kejahatan.Jadi dasar pembenarannya terletak pada

adanya kejahatan itu sendiri.Seperti dikemukakan Johanes Andenas bahwa tujuan

primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan

keadilan.Sedang pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder.Tuntutan

keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam

7
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metedologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Ghalia Indonesia: Jakarta, 1990, H.
37.
8
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958, H. 157.

17
bukunya Filosophy of Law”9, bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-

mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si

pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat.Tapi dalam semua hal harus dikenakan

hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan.

Setiap orang seharunya menerima ganjaranseperti perbuatannya dan

perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarkat. Itu

sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.Mengenai teori pembalasan ini,

Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut:"Teori pembalasan menyatakan

bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki

penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk

dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu

kejahatan.Tidaklah perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana.”10

5.2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai

reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori

relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di

dalam masyarakat.Sebagaimana dikemukakan Koeswadji bahwa tujuan pokok

dari pemidanaan yaitu:

a). Untuk mempertahankan ketertiban masyarakat (dehandhaving van de

maatschappelijke orde);

9
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992, H. 11
10
Hamzah.Andi , Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993,

18
b). Untukmemperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari

terjadinya kejahatan, (het herstel van het doer de misdaad onstane

maatschappelijke nadeet);

c). Untuk memperbaiki si penjahat (verbetering vande dader);

d). Untuk membinasakan si penjahat (onschadelijk maken van de misdadiger);

e) Untuk mencegah kejahatan (tervoorkonning van de misdaad)”11.

Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan,

bahwa: Pidana bukan sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan

kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai

tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga

disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana

menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya Pidana dijatuhkan bukan" quia

peccatum est"(karena orang membuat kejahatan) melainkan "nepeccetur" (supaya

orang jangan melakukan kejahatan)”12.

5.3. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan bahwa tujuan pidana itu selain membalas

kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat, dengan

mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori

absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa

kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan yaitu 1413:

11
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangk a Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I,
Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, H. 12.
12
Muladi dan Arief, Op. Cit., H.16.
13
Koeswadji, Op.cit, H. 11-12.

19
a). Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam

penjatuhan hukuman perlu mempertimbangkan bukti-bukti yangada dan

pembalasan yang dimaksud tidak harus negara yang melaksanakan.

b). Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku

tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan

jika tujuannya untuk memperbaiki masyarakat; dan mencegah kejahatan dengan

menakut-nakuti sulit dilaksanakan.Perbedaan pendapat di kalangan saijana

mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu

bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta

memperbaiki narapidana.Menurut teori gabungan integratif bahwa tujuan pidana

itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi

masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Walaupun terdapat perbedaan

pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang

tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk

mencegah kejahatan serta memperbaiki narapidana.Pidana penjara merupakan

sarana untuk memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di

masyarakat.

Demikian juga halnya dengan pidana penjara merupakan sarana untuk

memperbaiki narapidana agar menjadi manusia yang berguna di masyarakat.Teori

integratif dapat dibagimenjadi tiga golongan, yaitu:”14

a). Teori integratif yang menitikberatkan pembalasan, akan tetapi tidak

boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat.


14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992, H. 22.

20
b). Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib

masyarakat, tetapi tidakboleh lebih berat dari suatu penderitaan yang

beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh

narapidana.

c). Teori integratif yang menganggap harus ada keseimbangan antara

kedua hal di atas.

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan

terhadap masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar

hukum. Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana

mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu

yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu proses

pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam

masyarakat”15.

Dengan maksud bahwa hukuman yang dijatuhkan setimpal dengan

apa yang telah dilakukan oleh pelaku. Dalam Naskah Rancangan

Undang-Undang (RUU) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tahun

2005, mengenai tujuan pemidanaan diatur dalam Pasal 54, yaitu:

a. Pemidanaan bertujuan:

1). Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan

norma hukum demi pengayoman masyarakat;

15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op cit, H. 2

21
2). Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan

sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;

3). Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat, dan

4). Membebaskan rasa bersalah pada terpidana,

5). Memaafkan terpidana.

b. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan

merendahkan martabat manusia.

Hakim harus merenungkan aspek pidana/pemidanaan dalam

kerangka tujuan pemidanaan tersebut dengan memperhatikan

bukan saja rasa keadilan dalam kalbu masyarakat, melainkan harus

mampu menganalisis relasi timbal balik antara si pelaku dengan si

korban”16. Menurut Sholehuddin tujuan pemidanaan yaitu”17:

1. Memberikan efek penjeraan dan penangkalan. Penjeraan

berarti menjauhkan si terpidana dari kemungkinan

mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan

sebagai penangkal berarti pemidanaan berfungsi sebagai

contoh yang mengingatkan dan menakutkan bagi

penjahat-penjahat potensial dalam masyarakat.

2. Pemidanaan sebagai rehabilitasi. Teori tujuan

menganggap pemidanaan sebagai jalan untuk mencapai

16

17
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya,:
Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2003, H. 45.

22
reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Ciri khas dari

pandangan tersebut adalah pemidanaan merupakan proses

pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar

kembali berintegrasi dalam masyarakat secara wajar.

3. Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral, atau

merupakanproses reformasi. Karena itu dalam proses

pemidanaan, si terpidana dibantu untuk menyadari dan

mengakui kesalahan yang dituduhkan kepadanya.

5. 4 .Kerangka Konseptual.

Pidana adalah sebuah konsep dalam bidang hukum pidana yang

masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan

hakekatnya. Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan

ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada

pembuat delik itu”18. Berdasarkan landasan konsep ini maka secara

langsung untuk pemidanaan kekerasan terhadap mental anak (child abuse),

perlu adanya konsep yang terurai dengan jelasan batasan serta undang-

undang yang menjadi landasan dasar anak yang dilindungi untuk

memberikan sanksi kepada si pelaku dan diantaranya adalah:

a. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

b. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak - haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan


18
Saleh.Roeslan, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1983, H. 9.

23
harkatdan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.

c. 1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 tentang Hak Anak.

- Pasal 28B ayat (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.

- Pasal 28H ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan

batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup baik

dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan

2. Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

-Pasal 4 Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam

memperoleh derajat kesehatan yang optimal.

-Pasal 9 Pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat.

-Pasal 17 ayat (1) Kesehatan anak diselenggarakan untuk

mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak.

4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia-Pasal 62.

Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan

jaminan sosial secara layak, sesuai dengan kebutuhan fisik dan

mental spiritualnya.

24
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

-Pasal 44 ayat (1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan

menyelenggarakan kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar

setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak

dalam kandungan.

-Pasal 44 ayat (2) Penyediaan fasilitas dan penyelenggaraan upaya

kesehatan secara komprehensif sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1) didukung oleh peran serta masyarakat.

-Pasal 44 ayat (3) Upaya kesehatan yang komprehensif

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,

preventif, kuratif dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan

dasar maupun rujukan.

6. UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1

tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun

2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU adalah:

a. bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi sebagaimana tercantum

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke

tahun semakin meningkat dan mengancam peran

25
strategis anak sebagai generasi penerus masa depan

bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi

pidana dan memberikan tindakan terhadap pelaku

kekerasan seksual terhadap anak dengan mengubah

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak;

c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada

tanggal 25 Mei 2016;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu

membentuk Undang-Undang tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas

Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang;

26
6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipergunakan penulis adalah dengan metode

penelitian Yuridis-Normatif karena telah disesuaikan dengan rumusan dan sifat

masalah penelitian yaitu bersifat normative. Pendekatan penelitian penulisan

skripsi ini adalah penelitian data normatif (kepustakaan). Dengan metode ini,

hukum dipersepsikan sebagai Norma, maka kajian ini sifatnya Deskriptif

Normatif analitis, dengan objek penelitian berupa hukum positif, yang berlaku

pada suatu saat di tempat tertentu.

6.1. Tipe Penelitian

Penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif

yaitu suatu metode pendekatan ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan

logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Adapun jenis data yang digunakan

terdiri dari tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer sebagai bahan hukum

yang mengikat, bahan hukum sekunder sebagai hasil olahan pendapat atau pikiran

pakar-pakar ahli di bidangnya yang memberi petunjuk dan bahan hukum yang

memberikan pemahaman dan pengertian untuk mendukung bahan hukum primer

dan sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui

dengan melakukan studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan dalam

penulisan ini adalah dengan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menyajikan

kajian pada data - data yang diperoleh dari objek penelitian.

6.2. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan masalah yang di gunakan penulis yaitu:

6.3. Pendekatan undang-undang (Statute Approach)

27
Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian

antara peraturan perundang-undangan antara yang satu dengan yang

lainnya”19,

6.4. Pendekatan Masalah (Case Approach).

Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus-

kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi.Kasus-kasus yang

ditelaah merupakan kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan

berkekuatan hukum tetap.Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan

tersebut adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan

sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan

isu hukum yang dihadapi.

6.5. Sumber Bahan Hukum

Sumber Bahan Hukum adalah subyek dari mana data yang

diperlukan dalam suatu penelitian dapat diperoleh. Dalam penelitian ini

sumber data yang dipergunakan adalah:

a. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan

berdasar dari narasumber. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan

perundang-undangan dalam penulisan ini yang dipergunakan adalah

KUHP, KUHAP, Undang-Undang UU Nomor 17 tahun 2016 tentang

Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU

No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak”20.

19
L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah, yang disampaikan pada Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995,  H. 4-5.
20
M. Ibrahim., et. al, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Ilmu Hukum.UBHARA Press.Jakarta, 2012, H. 23

28
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubunganya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis,

seperti RUU, buku-buku tentang hukum, jurnal hukum, hasil penelitian

hukum, makalah hukum, dan sebagainya”21.

6.6. Teknik Prosedur Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam mengumpulkan data

sekunder adalah studi kepustakaan.Selain itu digunakan juga bahan hukum

sekunder yang berupa buku, artikel, makalah dan lain sebagainya. Kemudian

dipilih dan dihimpun serta disajikan dalam kerangka sistematis guna memudahkan

analisis yang diteliti Yaitu PEMIDANAAN BAGI PELAKU KEKERASAN

TERHADAP MENTAL ANAK.

7. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini disusun dengan kooperatif sebagai

berikut:

BAB I, merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang dan

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, perbandingan penelitian

sebelumnya, kerangka teoritik dan koseptual, metode penelitian serta sistematik

penulisan.

BAB II, pada bagian BAB II ini membahas tentang rumusan masalah

pertama yang membahas tentang Perlindunganhukum dengan upaya pemulihan

kondisi anak yang mengalami trauma akibat kekerasan mental (Mental

Abuse).dengan hukum yang di rumuskan pada rumusan masalah pertama yaitu


21
Ibid

29
tentang “PEMIDANAAN BAGI PELAKU KEKERASAN TERHADAP

MENTAL ANAK” .

BAB III, dalam BAB III ini juga membahas isu hukum yang di rumuskan

pada rumusan masalah kedua, pada Bab ini penulis memuat tentang apa saja

sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap mental anak?

BAB IV, merupakan Bab penutup di mana dalam Bab ini berisi

kesimpulan dari seluruh rangkaian pembahasan dan hasil penelitian dalam

penulisan skripsi yang telah di uraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu,

penulis akan memberikan saran-saran yang membangun atau opini pribadi

berdasarkan masalah – masalah terkait yang muncul dalam pemidanaan kekerasan

terhadap mental anak.

Pada bagian BabV terakhir disertai dengan daftar pustaka yang mampu

memperjelas unsur-unsur terkait yang merupakan bentuk dari tujuan dari

penulisan skirpsi ini.

30
BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM DALAM UPAYA PEMULIHAN KONDISI ANAK YANG

MENGALAMI TRAUMA AKIBAT KEKERASAN MENTAL (MENTAL ABUSE)

2. 1. Perlindungan Hukum Anak

Perlindungan Hukum dalam Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak Terdapat

sepuluh asas yang diterapkan dalam sistem peradilan anak berdasarkan pasal 2 UU No. 11 tahun

2012, yaitu:

a. Perlindungan Yang dimaksud dengan ”pelindungan” meliputi kegiatan yang

bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak

secara fisik dan/atau psikis.

b. Keadilan Yang dimaksud dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian

perkara Anak harus mencerminkan rasa keadilan bagi Anak.

c. Nondiskriminasi Yang dimaksud dengan ”nondiskriminasi” adalah tidak adanya

perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis

kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak,

serta kondisi fisik dan/atau mental.

d. Kepentingan terbaik bagi anak Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi

Anak” adalah segala pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan

kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak.

e. Penghargaan terhadap pendapat anak Yang dimaksud dengan ”penghargaan

terhadap pendapat Anak” adalah penghormatan atas hak Anak untuk

berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan,

terutama jika menyangkut hal yang memengaruhi kehidupan anak.

31
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak Yang dimaksud dengan

”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling

mendasar bagi Anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat,

keluarga, dan orang tua.

g. Pembinaan dan pembimbingan Anak Yang dimaksud dengan ”pembinaan” adalah

kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta

kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan

pidana. Yang dimaksud dengan ”pembimbingan” adalah pemberian tuntunan

untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta

kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan.

h. Proporsional Yang dimaksud dengan ”proporsional” adalah segala perlakuan

terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak. i.

Perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir Yang dimaksud

dengan “perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir” adalah pada

dasarnya Anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya, kecuali terpaksa guna

kepentingan penyelesaian perkara.

i. Penghindaran pembalasan Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan”

adalah prinsip menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana.

2. 2. Ulasan Dari teori perlindungan hukum berdasarkan hasil kajian

Asas-asas yang ada tersebut secara jelas menunjukkan perlakuan khusus terhadap anak

yang berhadapan dengan hukum.Asas pertama, misalnya, menekankan asas perlindungan

32
terhadap anak.Perlindungan ini didasarkan pada keadaan pelaku yang masih anak-anak yang

tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Selanjutnya, huruf d menyebutkan agar proses

hukum yang dilakukan mengacu kepada kepentingan terbaik bagi anak, untuk kelangsungan

hidup dan tumbuh kembang anak, dan seterusnya. Berdasarkan asas-asas ini pula, maka

diperlukan aturan dan tindakan khusus untuk menangani perkara anak.

Terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,

Hasil penelitian terhadap UU No. 11 tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat berbagai bentuk

perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Di sini bentuk perlindungan

tersebut dibagi kepada empat bagian, yaitu bentuk perlindungan yang terdapat selama proses

hukum berlangsung – digunakan istilah litigasi, bentuk perlindungan dalam proses non litigasi,

aparat penegak hukum, dan pendamping Anak yang berhadapan dengan hukum.

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kamus Crime Dictionary menerangkan

bahwa victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,

kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau udsaha pelanggaran ringan

dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Selaras dengan pendapat Arif Gosita

menyatakan bahwa yang dimaksud korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”22.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak

- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

sebagaimana yang tercantum dalam pasal (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

22
Waluyo.Bambang.Victimologi Perlindungan Korban & Saksi. Sinar Grafika. Jakarta 2012. H:9

33
jo. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak). Dalam perlindungan ini

mengandung aspek penting yaitu :

a. Terjaminnya dan terpenuhinya hak- hak anak,

b. Terpenuhinya harkat dan martabat kemanusiaan,

c. Perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi,

d. Terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Kemudian sebagaimana telah diperbaharui dalam UU Nomor 17 tahun 2016 tentang


Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang di uraikan pada pasal 81 bahwa:

“(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan pancasila dan berlandaskan Undang-

Undang Dasar Negara RI tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang

meliputi:

a. Non diskriminasi,

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak,

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidp dan berkembang,

d. Penghargaan terhadap pendapat anak

2. 3 . Produk Hukum Berdasarkan Kajian

Pada produk hukum berdasarkan kajian yang terurai diatas terdaat asas-asa hukum

perlinmdungan amak meliputi:

a. Asas – asas hukum perlindungan anak

34
Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 pemerintah Indonesia telah pula memberi peluang

perlindungan hak terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, yakni:

1. Setiap anak diperlakukan sebagai yang belum terbukti bersalah,

2. Waktu peradilan anak tidak diselingi oleh peradilan dewasa,

3. Setiap anak mempunyai hak untuk dibela oleh seorang ahli,

4. Suasana tanya jawab di laksanakan secara kekluargaan, sehingga anak merasa aman dan

tidak takut.

5. Setiap anak berhak mendapat perlindungan dari tindakan-tindakan yang merugikan,

menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya,

6. Setiap anak mempunyai hak untuk persidangan tertutup, hanya di kunjungi oleh orang

tua, wali, orang tua asuh, petugas sosial, saksi dan orang-orang yang berkempentingan,

7. Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetai memakai pakaian bebas resmi.3

Keadilan Restoratif dan Diversi merupakan hal yang menjadi pembeda paling penting

antara UU No. 11 tahun 2012 dengan UU No. 3 tahun 2007.

Diversi sendiri di artikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana23. Keadilan Restoratif merupakan suatu

proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama

mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya

menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk

memperbaiki, rekonsiliasi dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan”24.

Merujuk kepada pengertian diversi di atas, dapat diketahui bahwa setiap kasus anak yang

berhadapan dengan hukum terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur non litigasi. Di sinilah

23
Pasal 1 poin 7, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
24
Penjelasan Umum, UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

35
sebenarnya hukum adat dapat memainkan peran untuk mengisi bentuk- bentuk penyelesaian

kasus anak yang berhadapan dengan hukum yang dapat dilakukan sesuai dengan nilai-nilai lokal.

Adat masyarakat yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dianggap memberikan

nilai positif terhadap penyelesaian kasus anak secara bermartabat dan dapat menciptakan

kepuasan tersendiri oleh masyarakat adat. Atas dasar pemikiran ini sudah seharusnya melihat dan

membandingkan bagaimana masyarakat menyelesaikan kasus anak.

b. Kategori anak yang berhadapan dengan hukum, yaitu:

1. Anak yang berkonflik dengan hukum. Maksudnya adalah anak sebagai pelaku tindak

pidana.

2. Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang mengalami penderitaan fisik,

mental, dan/kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana.

3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat memberikan keterangan

guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang

suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Kategori anak sebagai pelaku tindak pidana tentu saja memiliki ketentuan umur

tersendiri.Mereka adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.Jadi anak yang berumur di bawah 12

tahun, walaupun melakukan tindak pidana, belum dikategorikan sebagai anak yang berhadapan

dengan hukum. Dengan demikian, ia berada di luar ketentuan ini. Begitu juga, orang yang telah

berumur di atas 18 tahun tidak lagi digolongkan kepada anak, namun sudah dianggap dewasa,

dan berlaku ketentuan umum hukum pidana.

Kategori anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berusia 18

tahun.Sedangkan kategori anak yang juga belum berumur 18 tahun.Untuk kategori anak sebagai

36
korban dan anak sebagai saksi disamakan usianya, yaitu 18 tahun. Di sini tidak diberi batasan

apakah anak di bawah usia 12 tahun disebut korban dan menjadi saksi? Kalau melihat isi

ketentuan ini tentu saja harus dipahami bahwa anak yang belum berumur 12 dapat menjadi

korban dan dapat pula sebagai saksi.

2. Perlindungan Hukum Dalam Upaya Pemulihan Kondisi Anak Pasca Trauma

2.1. Upaya penmdampingamn korban

Bisa juga melalui tahapan ringan untuk pendekatan terlebih dahulu yaitu berupa:

a. Rehabilitasi sosial;

b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan

c. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari

penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan, bukan hanya anak sebagai pelaku tindak

pidana yang berhak mendapat bantuan hukum, tetapi juga anak yang menjadi korban.Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang

yang tersangkut perkara berhak mendapat bantuan hukum dan bagi yang tidak mampu, biayanya

ditanggung oleh negara.

Pasal 59 A Undang Undang Pertlindungan Anak menyebutkan; perlindungan khusus bagi

anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:

a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis,

dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;

b. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

c. Pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.

37
Terkait perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dalam konteks anak

sebagai korban maka terdapat beberapa poin yang penting untuk diperhatikan, sebagaimana

dimaksud pada Pasal 59 ayat (2) huruf b, dilakukan melalui:

a. Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;

b. Pemisahan dari orang dewasa;

c. Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;

d. Pemberlakuan kegiatan rekreasional;

e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak

manusiawi serta merendahkan martabat dan derajatnya;

f. Pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;

g. Pemberian advokasi sosial;

h. Pemberian aksesibilitas, terutama bagi anak penyandang disabilitas;

i. Pemberian pendidikan;

j. Pemberian pelayanan kesehatan;

k. Pemberian hak lain sesuai dengn ketentuan peraturan perundang-undangan.

b. Perlindungan saksi dan korban

Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban menegaskanbahwa :

a. Setiap koban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia berhak atas perlindungan fisik dan

mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.

b. Perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat

keamanan secara cuma-cuma.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 menjabarkan bentuk-bentuk perlindungan

adalah :

38
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi-saksi dari ancaman fisik dan

mental.

b. Perahasiaan identitas koban dan saksi.

c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan disidang pengadilan tanpa bertatap muka

dengan tersangka.

Tata cara pemberian perlindungan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 diatur

prosedur dan mekanisme perlindungan yaitu dalam Pasal 5 sampai dengan pasal 8 yang intinya

sebagai berikut:

a. Perlindungan hukum terhadap korban dan saksi dilakukan berdasarkan :

1. Inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan, dan jasa atau

2. Permohonan yang disampaikan oleh korban atau saksi.

b. Permohonan disampaikan kepada:

1. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahap penyelidikan

2. Kejaksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan.

3. Pengadilan pada tahap pemeriksaan.

c. Permohonan tersebut disampaikan lebih lanjut kepada aparat keamanan untuk

ditindaklanjuti. Selain korban dan saksi tentu yang menyampaikan adalah Komnas HAM,

Kejaksaan, atau Pengadilan yang dimaksud aparat keamanan adalah Polri.

d. Permohonan perlindungan dapat disampaikan langsung kepada aparat keamanan.

e. Setelahmenerima permohonan, maka aparat penegak hukum atau aparat keamanan

melakukan :

1. Klarifikasi atas kebenaran permohonan.

2. Identifikasi bentuk perlindungan yang diperlukan.

39
3. Pemberian perlindungan dihentikan apabila :

4. Atas permohonan yang bersangkutan.

5. Korban dan atau saksi meninggal dunia.

6. Berdasakan pertimbangan aparat penegak hukum atau aparat keamanan, perlindungan

tidak diperlukan lagi.

f. Penghentian perlindungan harus diberitahukan secara tertulis kepada yang besangkutan

dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sebelum persidangan dihentikan.

g. Korban dan saksi-saksi tidak dikenakan biaya apapun atas perlindungan yang diberikan

kepadanya. Segala biaya dibebankan kepada anggaran masing-masing instansi penegak

hukum atau aparat keamanan.

Kewajiban dan tanggungjawab Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal

21-25 Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan sebagai berikut:

a. Pasal 21

1. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab

menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis

kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran dan kondisi fisik

dan/atau mental.

2. Untuk menjamin pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Negara

berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak.

3. Untuk menjamin pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat(1),

pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan

kebijakan dibidang penyelenggaraan perlindungan anak.

40
4. Untuk menjamin pemenuhan hak anak melaksanakan kebijakan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk

melaksanakan dna mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan

anak didaerah.

5. Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat melalui upaya membangun

kabupaten/ kota layak anak.

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/ kota layak anak sebagaimana

dimaksud pada ayat (5) diatu dalam Peraturan Presiden.

b. Pasal 22

Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab

memberikan dukungan serta sarana, prasarana, ketesediaan sumber daya manusia dalam

penyelenggaraan perlindungan anak.

c. Pasal 23

1. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin Perlindungan, pemeliharaan,

dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtau, wali, atau

orang lain yang secara hukum bertanggungjawab terhadap anak.

2. Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah mengawasi penyelenggaraan pelindungan

anak.

d. Pasal 24

Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin anak untuk mempergunakan haknya

dalam meyampaikan pendapat dengan usia dan tingkat kecerdasan anak.

41
e. Pasal 25

1. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan

melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak

2. Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dillaksanakan dengan melibatkan organisasi masyarakat, akademisi, dan pemerhati anak.

Perlindungan hukum secara represif berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan

mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur

dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai

korban kejahatan seksual yang mengalami trauma berupa rehabilitasi. Korban kejahatan

kekerasan seksual biasanya tidak hanya mengakibatkan/menimbulkan luka fisik tapi juga

menderita tekanan psikologis, sehingga selain pemulihan fisik, juga memerlukan pemulihan

psikologis dengan memberikan bimbingan konseling hingga anak kembali pulih.

Pelaksanaan Rehabilitasi diatur dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Republik

Indonesia Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan Dengan

Hukum Oleh Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (selanjutnya disingkat LPKS).

Rehabilitasi merupakan suatu upaya untuk memulihkan kondisi psikologis anak sebagai korban

kekerasan seksual, terhadap adanya kekekhawatiran trauma yang dapat mempengaruhi

perkembangan psikologis dalam jangka waktu yang lama. Salah satu hal teknis yang bisa

dilakukan adalah dengan persuasif dengan cara rekreasional atau memberikan hiburan kepada

anak korban kejahatan seksual, pembentukan pola pikir positif yang lebih berorientasi masa

depan, penghindaran publikasi atas identitasnya dengan niat menghindari penilaian negatif atas

peristiwa yang telah dialami.

42
2.2. DASAR HUKUM TENTANG KEKERASAN TERHADAP METAL ANAK (CHILD

ABUSE)

a. Dasar hukum

UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU

Latar Belakang. Pertimbangan UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu

Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menjadi UU adalah:

1. Bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana

tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. bahwa kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat

dan mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa

dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana dan memberikan tindakan

terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan mengubah Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

3. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 25 Mei 2016;

4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,

dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan

43
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan

Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Menjadi Undang-Undang;

Landasan hukum UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1


tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi UU adalah terdapat pada pasal; Pasal 5 ayat (1), Pasal 20,
dan Pasal 22 ayat (2),

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang


Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5606).

b. Penjelasan UU Nomor 17 Tahun 2016

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dicantumkan

bahwa Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seiring dengan pesatnya arus globalisasi dan

dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kekerasan terhadap

anak khususnya yang berkaitan dengan kekerasan seksual semakin meningkat tajam.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tersebut telah

mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian disahkan menjadi

Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pertimbangan di atas,

Pemerintah perlu segera menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

44
BAB III

PEMBAHASAN

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2016 TERHADAP

KEKERASAN MENTAL ANAK

Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perlindungan Anak Di bawah

ini adalah isi UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang

Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU

(bukan format asli) yang berkaitan dengan pemidanaan terhadap kekerasan mental anak”:

3.1. Ketentuan Pasal 81

diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang

yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk

Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua,

wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga

kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari

satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

45
4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga)

dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena

melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D.

5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban

lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,

terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku

dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan

paling lama 20 (dua puluh) tahun.

6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat

(5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan

berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana

pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.

9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku Anak.

3.2. Di antara Pasal 81 dan Pasal 82

disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal

diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia.

46
Pasal 81A

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu

paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara

berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum,

kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial, dan kementerian

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

3.3. Ketentuan Pasal 82

diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua,

wali, orang- orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga

kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu

orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

47
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga)

dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan

tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban

lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,

terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya

ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4),

pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat

dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

a. Pasal 81A

pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:

(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu

paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.

(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara

berkala oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum,

sosial, dan kesehatan.

(3) Pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur

dengan Peraturan Pemerintah.

48
b. Pasal 82

Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan

denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali,

orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga

kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu

orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari

ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.

(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih

dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau

hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku

dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.

(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai

tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

49
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana

pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pidana tambahan dikecualikan bagi

pelaku Anak.

Dengan ini jelas adanya telah diuraikan pada Pasal 81 point 4 yaitu: :

“point (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa,
penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Kekerasan mental pada anak (child abuse) disini termasuk dalam gangguan mental atau

gangguan psikologis. Dikarenakan psikologi anak terganggu akibat bullying dan sejenisnya yang

berkenaan dengan hal mental. Sehingga pada pasal ini sangat jelas adanya untuk penerapan

sanksi bagi pelaku. Sedangkan pada : Pasal 82A (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok. (2)

Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala

oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan

kesehatan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Cara pelaksanaan tindakan diatur dengan

Peraturan Pemerintah. Ancaman sanksi hukum yang tersebut dalam ketentuan perundang-

undangan sebagaimana terurai diatas cukup berat. Akan tetapi apakah ancaman sanksi hukum

tadi efektif untuk membuat jera para pelaku tindak kekerasan atau calon-calon pelaku jera.

Maka Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap mental anak tertuang

di dalam pasal 81 dan pasal 81A, 82, 82A perpu Nomor: 1 Tahun 2016. Di dalam pasal 81 Perpu

Nomor 1 Tahun 2016, yang telah diuraikan pada jabaran isi pasal-pasal tersebut.

50
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kamus Crime Dictionary menerangkan

bahwa victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,

kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau udsaha pelanggaran ringan

dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Selaras dengan pendapat Arif Gosita

menyatakan bahwa yang dimaksud korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain

yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita”25.

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak

- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi

sebagaimana yang tercantum dalam pasal (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

jo. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak). Dalam perlindungan ini

mengandung aspek penting yaitu :

a. Terjaminnya dan terpenuhinya hak- hak anak,

b. Terpenuhinya harkat dan martabat kemanusiaan,

c. Perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi,

d. Terwujudnya anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.

Kemudian sebagaimana telah diperbaharui dalam UU Nomor 17 tahun 2016 tentang

Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang di uraikan pada pasal 81 bahwa

“(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
25
Waluyo. Bambang. Victimologi Perlindungan Korban & Saksi. Sinar Grafika. Jakarta 2012. H:9

51
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”

52
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai jawaban permasalahan sebagai berikut :

1. Peran aparat penegak hukum, masyarakat dan orang tua adalah memberikan perlindungan

terhadap korban, mengungkap kekerasan mental teradap anak ini bisa berakhir sehingga

tidak berlanjut di masa depan sag anak yang menjadi korban perundungan. dan

memberikan perhatian lebih, dukungan kepada korban. Adapun peran Lembaga

Perlindungan Anak terhadap anak korban kekerasan tersebut yang meliputi:

a. Aspek Yuridis, dengan memberikan fasilitas dengan psikolog anak baik dalam

proses hukum maupun diluar proses hukum.

b. Aspek Psikologis; bertujuan untuk membantu korban yang mengalami

penyimpangan perilaku.

2. Pada kasus beikut Lembaga Perlindungan Anak di Indonesia menemukan beberapa

kendala yaitu:

a. Sikap keluarga yang tidak mengetahui atau memahami hak-hak anak.

b. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah (SDM) sehingga mereka masih

beranggapan apabila kasus kekerasan mental kepada anak atau child abuse adalah

hal yang lumrah saja.

c. Fasilitas yang menangani korban kekerasan terhadap mental anak (child abuse) atau

dengan istilah bullying masih terbentur pada masalah SDM dan lingkungan sosial

53
serta kondisi peradilan yang tidak memahami kondisi psikologi anak korban

kekerasan mental tersebut.

4.2 SARAN

Bertitik tolak dari kesimpulan diatas maka penulis menyarankan hal-hal berikut :

1. Kerjasama antara aparat penegak hukum, orang tua dan masyarakat harus lebih

ditingkatkan di berbagai bidang hukum untuk tercapainya tujuan perlindungan hukum

terhadap anak, agar tidak terjadi lagi korban kekerasan mental atau child abuse terhadap

anak yang dilakukan oleh teman, keluarga ataupun lingkungan sosialnya. Diantaranya

dalam perihal memberikan sosialisasi mengenai pentingnya hak anak sehingga anak

merasa terlindungi dan nyaman berada dilingkungan nya.

2. Fasilitas-fasilitas dalam menangani anak sebagai korban kekerasan ini hendaknya

mendatangkan para psikolog anak sehingga emosi dan luapan perasaan aanak bisa

tersampaikan. Hal lainseperti tempat perlindungan khusus bagi anak dirasa masih

mengalami kekurangan, maka fasilitas tersebut hendaknya perlu ditambah agar dalam

menangani anak korban kekerasan mental atau hild abuse ini lebih efektif.

54
Daftar Pustaka

A. Buku
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958, hlm. 157.
Fakih M, Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect. IDI-
UNICEF, Jakarta, 2003, hlm. 77
Hamdan. M, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1997, hlm. 23
Hamdan. M, Opcit.Hlm. 24.
Hamzah.Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993,
Huraerah Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, Bandung, 2012, hal. 47.
Ibid. Pasal 1 ayat (2)
Ibid.
Ibrahim M. et. al, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Ilmu Hukum. UBHARA Press, Jakarta, 2012,
hlm. 23
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media Publishing,
Malang, 2006, Hal.57
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangk a Pembangunan Hukum
Pidana, Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, hlm 12.
Koeswadji, Op.cit, Hlm. 11-12.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992, hlm.
22.
Muladi dan Arief, Op. Cit., Hlm. 16.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op cit, Hlm. 2
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di
Indonesia Dewasa Ini,.Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 24.
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya,: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 45.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metedologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Ghalia Indonesia:
Jakarta, 1990, hlm. 37.
Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal 15
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002, Op. Cit, Pasal 1 ayat (1)

55
Yasir Arafat, Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Perubahannya, Permata Press, Jakarta, 2010,
hal. 27.

Makalah: L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah, yang
disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995,  hal 4-5.

B. Jurnal Internasional
1. Kobandaha Mahmudin, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM SISTEM HUKUM DI
INDONESIA, Jurnal Hukum Unsrat Vol. 23/No. 8/Januari/2017

2. Lina Dwi Istiqomah, Nyoman Serikat Putra Jaya, Duwi Aryadi, CRIMINAL THREATS
FOR PERPETRATORS OF OMISSION IN CHILD ABUSE IN INDONESIA, Jurnal
Pembaharuan Hukum: Volume VI No.3 September–Desember 2019

3. Nur’aeni, KEKERASAN ORANG TUA PADA ANAK (studi kasus tentang


perkembangan emosi anak, Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini Vol. 2 No. 2, Juli -
Desember 2017

4. Raissa Lestari, IMPLEMENTASI KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG HAK


ANAK (Convention on The Rights of The Child) DI INDONESIA (Studi kasus:
Pelanggaran Terhadap Hak Anak di Provinsi Kepulauan riau 2010-2015), Jurnal JOM
FISIP Vol. 4 No. 2 t Oktober 2017

5. Tambunan Lambok, IMPLEMENTASI PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP


ANAK SEBAGAI KORBAN KEKERASAN PSIKIS DALAM RUMAH TANGGA,
Jurnal Hukum 2014
C. Jurnal Nasional
1. Gusti Ngurah Agung Darmasuara, A. A. Ngurah Yusa Darmadi, PERLINDUNGAN
HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEKERASAN, Kertha Wicara : Journal Ilmu
Hukum: Vol. 05, No. 02, Juni 2015
2. Ni Made Sutrisna Dewi, A. A. Ngurah Yusa Darmadi, Sagung Putri M.E Purwani,
UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KORBAN TINDAK PIDANA
KEKERASAN TERHADAP ANAK DI KOTA DENPASAR , Kertha Wicara : Journal
Ilmu Hukum: Vol. 05, No. 01, Februari 2016

D. Peraturan Perundang-Undangan Peraturan Perundang-Undangan:


Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

56
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4419)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2019 tentang Pedoman Peran Serta Media Komunitas dalam
Pencegahan Kekerasan terhadap Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1173).
E. Internet Sumber:
Sumber:
"Child abuse - definition of child abuse by the Free Online Dictionary, The saurus and
Encyclopedia". Thefreedictionary.com. Diakses tanggal 20, September 2020
"Child Maltreatment Surveillance: Uniform Definitions for Public Health and Recommended
Data Elements". Leeb, R.T. (1 January 2008). Centers for Disease Control and Prevention.The
saurus and Encylopedia. Diakses tanggal 20 November 2020
Teryy E Lawson, Bentuk-bentuk kekerasan pada anak (child abuse) Dunia
Psikologi.com/kekerasan-pada anak. The saurus and Encylopedia.Diakses pada 29, September-
2020

57

Anda mungkin juga menyukai