SKRIPSI
NUR RAHMAH
17.00044
PADA TANGGAL
Oleh:
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Mengetahui
Ketua Program Studi Ilmu Hukum
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Habaring Hurung Sampit
i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS PENELITIAN
b. NPM/NIM : 17.00044
Anak
hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri dan bukan hasil
plagiat. Jika terdapat unsur karya orang lain, saya akan mencantumkan sumber
pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pencabutan gelar
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa paksaan
Nur Rahmah
ii
LEMBAR PERNYATAAN PERSTUJUAN PUBLIKASI KARYA
b. NPM/NIM : 17.00044
Mental Anak
Demikian pernyataan ini saya buat dalam keadaan sadar tanpa paksaan
Nur Rahmah
iii
Ucapan Terimakasih
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat
dan penulisan skripsi ini dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar S1 Sarjana Hukum (SH) pada Program Studi Ilmu Hukum,
bimbingan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis inin
iv
4. M. Fabrian Harbowo yang selalu memberikan support sistem dalam
semangat, dan kasih sayang yang tak terhingga, agar aku dapat
6. Kepada semua pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, serta
kepada kita semua. Terimakasih kalian sangat bermakna dan berarti dalam
kehidupanku. Akhir kata penulis berharap kiranya agar penyusunan skirpsi ini
bermanfaat bagi perkembangan ilmu khususnya dalam Ilmu Hukum Pidana, Amin
Ya Robbal Allamin.
v
RINGKASAN
Perilaku kekerasan akhir akhir ini tidak hanya terjadi di kalangan dewasa,
hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa dalam bentuk lain, contohnya kekerasan
yang menyerang mental anak. Kekerasan jenis ini bisa berdampak sangat besar
kepada anak itu sendiri yakni anak bisa berkembang menjadi pribadi dengan
kepercayaan diri rendah. Cara pandang terhadap diri, lingkungan, dan dunia juga
akan menjadi buruk.Anak juga bisa memperlihatkan sikan antisosial dan menjauhi
orangtua. Dalam kasus yang ekstrem, anak bisa melakukan perilaku menyimpang,
belum bisa ditanggulangi dengan signifikan sehingga masih marak terjadi dan
sebagian masih sering mengekpose hal ini ke khalayak ramai. Dengan adanya
uraian diatas maka di perlukan teori hukum sebagai landasan dan acuan dalam
masyarakat. Dari data yang diperoleh secara langsung dari lapangan berdasar dari
vi
narasumber. Bahan hukum yang digunakan, yaitu berupa peraturan perundang-
Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23
dengan hukum. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak - haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
tercantum dalam pasal (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 jo.
pengertian kepada keluarga dan masyarakat mengenai pentingnya hak anak, agar
keluarga dan masyarakat bisa turut memberikan dukungan kepada anak korban
kekerasan mental atau child abuse. Kerjasama antara aparat penegak hukum,
orang tua dan masyarakat harus lebih ditingkatkan di berbagai bidang hukum
untuk tercapainya tujuan perlindungan hukum terhadap anak, agar tidak terjadi
lagi korban kekerasan mental terhada anak yang dilakukan oleh teman, keluarga
vii
sehingga emosi dan luapan perasaan aanak bisa tersampaikan. Hal lainseperti
tempat perlindungan khusus bagi anak dirasa masih mengalami kekurangan, maka
fasilitas tersebut hendaknya perlu ditambah agar dalam menangani anak korban
viii
PUNISHMENT FOR PERPETRATORS OF VIOLENCE AGAINST
CHILDREN'S MENTAL
NUR RAHMAH
Abstract
ix
DAFTAR ISI
Hal
1. LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................i
4. UCAPAN TERIMAKASIH......................................................................iv
5. RINGKASAN.............................................................................................vi
6. ABSTRAK..................................................................................................ix
7. DAFTAR ISI...............................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
2. TUJUAN PENELITIAN............................................................................14
3. MANFAAT PENELITIAN........................................................................15
x
6. METODE PENELITIAN...........................................................................27
BAHAN HUKUM...........................................................................................29
7. SISTEMATIKA PENULISAN..................................................................29
xi
3.3. Ketentuan Pasal 82..............................................................................47
BAB IV PENUTUP
4.1 KESIMPULAN.....................................................................................53
4.2 SARAN..................................................................................................54
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................56
xii
BAB I
PENDAHULUAN
ABUSE)
Kekerasan pada anak tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga bisa
berteriak di depan anak, mengancam anak, dan mengatakan bahwa ia tidak baik.
Jarang melakukan kontak fisik seperti memeluk dan mencium anak juga termasuk
diri anak meliputi: Kehilangan kepercayaan diri, terlihat depresi dan gelisah, sakit
kepala atau sakit perut yang tiba-tiba, menarik diri dari aktivitas sosial, teman-
Kekerasan mental terhadap anak disini salah satunya yang sangat berperan
mental korbannya sehingga si korban akan merasa tidak percaya diri, mulai
1
mempertanyakan intelejensi, hingga merasa tidak memiliki harga diri. Kekerasan
verbal bisa terjadi pada hubungan apa pun dan intensitasnya biasanya meningkat
bila tidak segera diakhiri. Jika sudah parah, kekerasan ini juga bisa berujung pada
seseorang membentak orang lain. Padahal, kekerasan verbal juga bisa terjadi
ketika seseorang berbicara dengan nada halus hingga berbisik, namun dilakukan
atau merasakan satu atau lebih dari hal-hal berikut, bisa jadi itu adalah bentuk
2. Degradasi
sendiri dan menganggap dirinya tidak berguna.Contohnya, “kamu tidak akan bisa
3. Manipulasi
Kekerasan verbal ini dilakukan dengan tujuan memerintah Anda, tapi tidak
dengan kalimat imperatif. Misalnya, “kalau kamu memang sayang keluarga, kamu
2
4. Menyalahkan
Berbuat salah adalah hal yang manusiawi. Namun, orang yang melakukan
mereka, misalnya dengan berkata “saya harus memarahi kamu karena perilakumu
5. Merendahkan
mengerdilkan Anda dan di saat yang bersamaan membuat dirinya lebih superior.
Contoh kalimat merendahkan adalah “saya yakin suara kamu bagus, tapi lebih
6. Kritik berkelanjutan
dalam kekerasan verbal, kritik dilakukan dengan sangat kasar dan terus-menerus
sehingga korbannya akan merasa tidak punya harga diri. Contohnya, “kamu suka
7. Menuduh
Menuduh juga bisa menjadi kekerasan verbal ketika hal itu dilakukan
kekerasan verbal ini dapat berupa “saya harus berteriak karena kamu keras
kepala.”
8. Menolak berbicara
Bahkan tidak berkata apa pun bisa jadi bentuk kekerasan verbal, terutama
bila dilakukan untuk membuat korbannya merasa tidak enak. Misalnya, ketika
3
Anda bertengkar dengan pasangan, ia memilih diam dan pergi ketika Anda
9. Mengarang
agar Anda merasa bersalah? Bisa jadi itu adalah bentuk kekerasan verbal agar
Anda segera minta maaf dan kian tergantung pada mereka. Contoh konkretnya
seperti Anda menagih janji pasangan untuk membantu pekerjaan rumah, tapi dia
berkata “kita tidak pernah ada perjanjian soal itu”. Bahkan, ia bisa
Berdebat adalah bagian dari hubungan yang sehat, namun perdebatan yang
tak berujung dan dilakukan berulang kali bisa jadi bentuk kekerasan verbal.
Misalnya, jika Anda merupakan wanita yang bekerja, kondisi rumah mungkin
tidak selalu rapi.Ketika ini terjadi berkali-kali, pasangan Anda selalu menyalahkan
11. Ancaman
Kekerasan verbal bisa jadi awal mula terjadinya kekerasan fisik, salah
ancaman.Ancaman ini sangat mudah dikenali karena sudah pasti memberi efek
takut pada korban dan menuntut korban untuk patuh pada kata-kata pelaku
kekerasan ini. Contohnya, “kalau kamu tidak menuruti saya, jangan salahkan saya
4
12. Melawan
dalam konteks politik, filosofis, atau ilmiah tetapi juga dalam konteks umum.
dan pengalaman korban secara teratur merupakan salah satu jenis kekerasan
verbal.
2. Anak merasa harga diri dan kepercayaan diri Anda menjadi rendah
sangat rentan menderita efek buruk dari kekerasan ini. Penelitian menunjukkan
anak yang kerap mendapat kekerasan verbal dapat berkembang menjadi pribadi
dengan kepercayaan diri rendah. Cara pandang terhadap diri, lingkungan, dan
dunia juga akan menjadi buruk. Anak juga bisa memperlihatkan sikan antisosial
5
dan menjauhi orangtua. Dalam kasus yang ekstrem, anak bisa melakukan perilaku
orang dewasa, efek kekerasan verbal yang ditimbulkan pun tidak jauh
dan menjalin hubungan yang tidak sehat. Jika mental sudah terluka parah, mereka
bisa mengalami depresi hingga post traumatic stress disorder (PTSD) yang akan
Pada tahun 2019 angka Kasus Kekerasan Perempuan dan Anak di Kotim
Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) masih tinggi.Bahkan pada April 2019 ini
saja, setidaknya ada empat kasus yang masuk dan ditangani oleh Lembaga
empat kasus yang kami tangani pada April 2019 ini. Sehingga kasus kekerasan
perempuan dan anak masih tinggi," ujar Ketua LSM Lentera Kartini Forisni
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), asusila, dan juga seksual terhadap anak
dimana kekerasan anak naik menjadi 6 kasus dan 2 kekerasan fisik.Ellena Rosie
6
keluarga. Namun karena orangtua tetap bekerja di rumah fokus mencari nafkah
dan perhatiannya kurang terhadap anak-anak sehingga terjadi broken home dan
anak pun menjadi korban. “Meski disaat pandemi orang tua tetap fokus mencari
terus meningkatkan perlindungan dan pendampingan terhadap anak. Hal ini pun
menimbulkan luka-luka fisik atau kematian pada anak.Bentuk luka dapat berupa
lecet atau memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas
gigitan, cubitan, ikan pinggang, atau rotan.Dapat pula berupa luka bakar akibat
bensin panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika.Lokasi luka biasanya
ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau
oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau
rewel, menangis terus, minta jajan, buang air atau muntah di sembarang tempat,
7
2. Kekerasan Anak Secara Psikis
kasar dan kotor, memperlihatkan buku, gambar, dan film pornografi pada anak.
maladaptif, seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut ke luar
anak dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar
anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orangtua yang tidak
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada
perkembangan fisik, psikisnya dan status sosialnya. Misalnya, anak dipaksa untuk
8
dengan upah rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk
gambar film pornografi pada anak. Anak yang mendapatkan perlakuan ini
menangis jika didekati, takut ke luar rumah dan takutbertemu dengan orang lain.
belum bisa ditanggulangi dengan signifikan sehingga masih marak terjadi dan
sebagian masih sering mengekpose hal ini ke khalayak ramai. Secara umum ada
tentang Hak Asasi Manusia, antara lain menyebutkan setiap orang berhak untuk
hidup, berhak untuk tidak disiksa dan berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
9
Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan
Undang.
Perlindungan Anak ditetapkan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 2016 oleh Presiden
Joko Widodo dan diundangkan oleh Menkumham Yasonna H. Laoly hati itu juga,
Hal ini sesuai dengan ketentuan konvensi hak anak yag telah diratifikasi
serta menghargai partisipasi anak. Pemerintah, orang tua dan masyarakat sudah
saatnya menyadari anak - anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa
Hak-hak anak perlu ditegakkan antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh
10
berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak,
hak anak. Salah satu kasus kekerasan yang terjadi pada anak yaitu kasus
kekerasan yang dialami oleh seorang siswi Sekolah Dasar yang sering diejek oleh
siswi SMP di Thamrin City.Peristiwa terjadi pada Jumat, 14 Juli 2017 sekitar
Berawal dari saling menghina antara korban dan pelaku, karena merasa
kasus di atas, yang paling terlihat adalah kekerasan fisik yang dialami oleh
korban.Terlihat pula bahwa kekerasan fisik yang terjadi tersebut selalu diawali
oleh kekerasan psikis, entah dimulai dari saling ejek mengejek, rasa tidak suka
Jika melihat secara kasat mata maka akan terlihat bahwa korban hanya
mengalami dampak fisik seperti lebam-lebam, dan luka lainnya. Namun jika
diteliti lebih dalam maka dalam adanya child abuse atau kekerasan pada mental
anaklah yang paling mendalam. Korban tidak hanya memiliki dampak fisik saja,
tetapi juga dampak psikis yang memang secara kasat mata tidak terlihat hanya
2
Huraerah, Abu. Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, Bandung, 2012, H.47.
11
saja akan dirasakan oleh korban tersebut ketika korban mengingat peristiwa yang
kerap kali kekerasan yang terjadi yaitu kekerasan fisik, seksual dan psikis. Dari
berbagai kekerasan tersebut dampak yang pasti akan dialami oleh korban
tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan satu sama lain sesuai fungsinya
Dalam salah satu buku Kata kekerasan itu sendiri (violence) berasal dari
terkendali dalam lingkup masyarakat yang terjadi karena adanya kekuatan untuk
sosial. Kekerasan terhadap anak (child abuse) adalah semua bentuk perlakuan
12
nyata ataupun potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak,
tumbuh kembang. Anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks
Karena itu, sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum
enforcement policy)”5.
dehumanisasi.
4
Fakih M, Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect.IDI-UNICEF, Jakarta,
2003,hlm. 77
5
Hamdan. M, Opcit. H.24.
13
mencari perhatian, melampiaskaneroismedi depan teman sebaya dan
sebagainya”96.
anak, yakni faktor internal dan faktor eksternal.Faktor internal (faktor dari dalam)
dipengaruhi oleh diri anak itu sendiri dan faktor dari keluarga si anak.Sedangkan
faktor eksternal (faktor dari luar) dipengaruhi oleh adanya faktor lingkungan
kompleks tentang hal ini maka penulis bermaksud untuk melakukan penelitian ini
MENTAL ANAK”
Abuse)?
b). Apa saja Sanksi Hukum bagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap
mental anak?
2. Tujuan Penelitian
6
Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2010, H. 15
14
a) Menganalisis dan menemukan bentuk perlindungan hukum dalam
3. Manfaat Penelitian
anak.
antara lain:
2018.
15
sebagai berikut:
pendidikan
islam ?
anak di Wonosobo?
hukum serta sanksi dalam hukum pidana bagi pelaku Kekerasan terhadap
16
5. Kerangka Teoritik dan Konseptual
landasan dan acuan dalam menangani bentuk tidak kekerasan terhadap mental
penjelasan berikut ini sebagai landasan dan acuan untuk memperjelas kerangka
golongan besar, yaitu teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien),
teori relatif atau teori tujuan (doel theorien), dan teori menggabungkan
(verenigings theorien)”8.
kejahatan.Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan
primer dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan tuntutan
keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel Kant dalam
7
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metedologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Ghalia Indonesia: Jakarta, 1990, H.
37.
8
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958, H. 157.
17
bukunya Filosophy of Law”9, bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-
pelaku itu sendiri maupun bagi masyarakat.Tapi dalam semua hal harus dikenakan
perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarkat. Itu
sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.Mengenai teori pembalasan ini,
Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai
reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori
maatschappelijke orde);
9
Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992, H. 11
10
Hamzah.Andi , Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993,
18
b). Untukmemperbaiki kerugian yang diderita oleh masyarakat sebagai akibat dari
maatschappelijke nadeet);
Tentang teori relatif ini Muladi dan Barda Nawawi Arief menjelaskan,
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Oleh karena itu teori ini pun sering juga
disebut teori tujuan (utilitarian theory). Jadi dasar pembenaran adanya pidana
menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya Pidana dijatuhkan bukan" quia
mewujudkan ketertiban. Teori ini menggunakan kedua teori tersebut di atas (teori
absolut dan teori relatif) sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa
11
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangk a Pembangunan Hukum Pidana, Cetakan I,
Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, H. 12.
12
Muladi dan Arief, Op. Cit., H.16.
13
Koeswadji, Op.cit, H. 11-12.
19
a). Kelemahan teori absolut adalah menimbulkan ketidakadilan karena dalam
b). Kelemahan teori relatif yaitu dapat menimbulkan ketidakadilan karena pelaku
tindak pidana ringan dapat dijatuhi hukum berat; kepuasan masyarakat diabaikan
mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang tidak dapat dibantah, yaitu
bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk mencegah kejahatan serta
pendapat di kalangan sarjana mengenai tujuan pidana itu, namun ada satu hal yang
tidak dapat dibantah, yaitu bahwa pidana itu merupakan salah satu sarana untuk
masyarakat.
boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat
20
b). Teori integratif yang menitikberatkan pada pertahanan tata tertib
narapidana.
masyarakat”15.
a. Pemidanaan bertujuan:
15
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op cit, H. 2
21
2). Memasyarakatkan narapidana dengan mengadakan pembinaan
16
17
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System & Implementasinya,:
Raja Grafindo Persada,Jakarta, 2003, H. 45.
22
reformasi atau rehabilitasi pada si terpidana. Ciri khas dari
5. 4 .Kerangka Konseptual.
masih perlu penjelasan lebih lanjut untuk dapat memahami arti dan
hakekatnya. Menurut Roeslan Saleh “pidana adalah reaksi atas delik, dan
ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada
perlu adanya konsep yang terurai dengan jelasan batasan serta undang-
23
harkatdan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
- Pasal 28B ayat (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
- Pasal 28H ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
Anak.
Manusia-Pasal 62.
mental spiritualnya.
24
5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
dalam kandungan.
25
strategis anak sebagai generasi penerus masa depan
26
6. Metode Penelitian
skripsi ini adalah penelitian data normatif (kepustakaan). Dengan metode ini,
Normatif analitis, dengan objek penelitian berupa hukum positif, yang berlaku
logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Adapun jenis data yang digunakan
terdiri dari tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer sebagai bahan hukum
yang mengikat, bahan hukum sekunder sebagai hasil olahan pendapat atau pikiran
pakar-pakar ahli di bidangnya yang memberi petunjuk dan bahan hukum yang
dan sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui
penulisan ini adalah dengan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu menyajikan
27
Harmonisasi peraturan perundang-undangan merupakan keserasian
lainnya”19,
a. Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari lapangan
19
L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah, yang disampaikan pada Pidato
Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995, H. 4-5.
20
M. Ibrahim., et. al, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Ilmu Hukum.UBHARA Press.Jakarta, 2012, H. 23
28
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan-bahan yang erat hubunganya
sekunder yang berupa buku, artikel, makalah dan lain sebagainya. Kemudian
dipilih dan dihimpun serta disajikan dalam kerangka sistematis guna memudahkan
7. Sistematika Penulisan
berikut:
BAB I, merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang dan
penulisan.
BAB II, pada bagian BAB II ini membahas tentang rumusan masalah
29
tentang “PEMIDANAAN BAGI PELAKU KEKERASAN TERHADAP
MENTAL ANAK” .
BAB III, dalam BAB III ini juga membahas isu hukum yang di rumuskan
pada rumusan masalah kedua, pada Bab ini penulis memuat tentang apa saja
sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap mental anak?
BAB IV, merupakan Bab penutup di mana dalam Bab ini berisi
penulisan skripsi yang telah di uraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu,
Pada bagian BabV terakhir disertai dengan daftar pustaka yang mampu
30
BAB II
sepuluh asas yang diterapkan dalam sistem peradilan anak berdasarkan pasal 2 UU No. 11 tahun
2012, yaitu:
bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang membahayakan Anak
perlakuan yang berbeda didasarkan pada suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum Anak, urutan kelahiran Anak,
d. Kepentingan terbaik bagi anak Yang dimaksud dengan ”kepentingan terbaik bagi
31
f. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak Yang dimaksud dengan
”kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak” adalah hak asasi yang paling
kegiatan untuk meningkatkan kualitas, ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
kesehatan jasmani dan rohani Anak baik di dalam maupun di luar proses peradilan
terhadap Anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi Anak. i.
Asas-asas yang ada tersebut secara jelas menunjukkan perlakuan khusus terhadap anak
32
terhadap anak.Perlindungan ini didasarkan pada keadaan pelaku yang masih anak-anak yang
tidak bisa disamakan dengan orang dewasa. Selanjutnya, huruf d menyebutkan agar proses
hukum yang dilakukan mengacu kepada kepentingan terbaik bagi anak, untuk kelangsungan
hidup dan tumbuh kembang anak, dan seterusnya. Berdasarkan asas-asas ini pula, maka
Terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,
Hasil penelitian terhadap UU No. 11 tahun 2012 menunjukkan bahwa terdapat berbagai bentuk
perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Di sini bentuk perlindungan
tersebut dibagi kepada empat bagian, yaitu bentuk perlindungan yang terdapat selama proses
hukum berlangsung – digunakan istilah litigasi, bentuk perlindungan dalam proses non litigasi,
aparat penegak hukum, dan pendamping Anak yang berhadapan dengan hukum.
bahwa victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,
kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau udsaha pelanggaran ringan
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Selaras dengan pendapat Arif Gosita
menyatakan bahwa yang dimaksud korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak
- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana yang tercantum dalam pasal (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
22
Waluyo.Bambang.Victimologi Perlindungan Korban & Saksi. Sinar Grafika. Jakarta 2012. H:9
33
jo. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak). Dalam perlindungan ini
“(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Undang Dasar Negara RI tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak yang
meliputi:
a. Non diskriminasi,
Pada produk hukum berdasarkan kajian yang terurai diatas terdaat asas-asa hukum
34
Dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1997 pemerintah Indonesia telah pula memberi peluang
4. Suasana tanya jawab di laksanakan secara kekluargaan, sehingga anak merasa aman dan
tidak takut.
6. Setiap anak mempunyai hak untuk persidangan tertutup, hanya di kunjungi oleh orang
tua, wali, orang tua asuh, petugas sosial, saksi dan orang-orang yang berkempentingan,
7. Para petugas tidak menggunakan pakaian seragam tetai memakai pakaian bebas resmi.3
Keadilan Restoratif dan Diversi merupakan hal yang menjadi pembeda paling penting
Diversi sendiri di artikan sebagai pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana23. Keadilan Restoratif merupakan suatu
proses Diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama
mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya
menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, Anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
Merujuk kepada pengertian diversi di atas, dapat diketahui bahwa setiap kasus anak yang
berhadapan dengan hukum terlebih dahulu diselesaikan melalui jalur non litigasi. Di sinilah
23
Pasal 1 poin 7, UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
24
Penjelasan Umum, UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
35
sebenarnya hukum adat dapat memainkan peran untuk mengisi bentuk- bentuk penyelesaian
kasus anak yang berhadapan dengan hukum yang dapat dilakukan sesuai dengan nilai-nilai lokal.
Adat masyarakat yang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dianggap memberikan
nilai positif terhadap penyelesaian kasus anak secara bermartabat dan dapat menciptakan
kepuasan tersendiri oleh masyarakat adat. Atas dasar pemikiran ini sudah seharusnya melihat dan
1. Anak yang berkonflik dengan hukum. Maksudnya adalah anak sebagai pelaku tindak
pidana.
2. Anak yang menjadi korban tindak pidana, yaitu anak yang mengalami penderitaan fisik,
3. Anak yang menjadi saksi tindak pidana, yaitu anak yang dapat memberikan keterangan
Kategori anak sebagai pelaku tindak pidana tentu saja memiliki ketentuan umur
tersendiri.Mereka adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.Jadi anak yang berumur di bawah 12
tahun, walaupun melakukan tindak pidana, belum dikategorikan sebagai anak yang berhadapan
dengan hukum. Dengan demikian, ia berada di luar ketentuan ini. Begitu juga, orang yang telah
berumur di atas 18 tahun tidak lagi digolongkan kepada anak, namun sudah dianggap dewasa,
Kategori anak yang menjadi korban tindak pidana adalah anak yang belum berusia 18
tahun.Sedangkan kategori anak yang juga belum berumur 18 tahun.Untuk kategori anak sebagai
36
korban dan anak sebagai saksi disamakan usianya, yaitu 18 tahun. Di sini tidak diberi batasan
apakah anak di bawah usia 12 tahun disebut korban dan menjadi saksi? Kalau melihat isi
ketentuan ini tentu saja harus dipahami bahwa anak yang belum berumur 12 dapat menjadi
Bisa juga melalui tahapan ringan untuk pendekatan terlebih dahulu yaitu berupa:
a. Rehabilitasi sosial;
c. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari
Undang-Undang Perlindungan Anak menyebutkan, bukan hanya anak sebagai pelaku tindak
pidana yang berhak mendapat bantuan hukum, tetapi juga anak yang menjadi korban.Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa setiap orang
yang tersangkut perkara berhak mendapat bantuan hukum dan bagi yang tidak mampu, biayanya
anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui upaya:
a. Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis,
c. Pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan
37
Terkait perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dalam konteks anak
sebagai korban maka terdapat beberapa poin yang penting untuk diperhatikan, sebagaimana
e. Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain yang kejam, tidak
f. Pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
i. Pemberian pendidikan;
a. Setiap koban dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia berhak atas perlindungan fisik dan
mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun.
b. Perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum dan aparat
adalah :
38
a. Perlindungan atas keamanan pribadi korban atau saksi-saksi dari ancaman fisik dan
mental.
c. Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan disidang pengadilan tanpa bertatap muka
dengan tersangka.
Tata cara pemberian perlindungan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 diatur
prosedur dan mekanisme perlindungan yaitu dalam Pasal 5 sampai dengan pasal 8 yang intinya
sebagai berikut:
1. Inisiatif aparat penegak hukum dan aparat keamanan, dan jasa atau
ditindaklanjuti. Selain korban dan saksi tentu yang menyampaikan adalah Komnas HAM,
melakukan :
39
3. Pemberian perlindungan dihentikan apabila :
g. Korban dan saksi-saksi tidak dikenakan biaya apapun atas perlindungan yang diberikan
Kewajiban dan tanggungjawab Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah diatur dalam Pasal
a. Pasal 21
menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran dan kondisi fisik
dan/atau mental.
2. Untuk menjamin pemenuhan hak anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Negara
40
4. Untuk menjamin pemenuhan hak anak melaksanakan kebijakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
anak didaerah.
5. Kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat melalui upaya membangun
6. Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan kabupaten/ kota layak anak sebagaimana
b. Pasal 22
memberikan dukungan serta sarana, prasarana, ketesediaan sumber daya manusia dalam
c. Pasal 23
dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orangtau, wali, atau
anak.
d. Pasal 24
Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah menjamin anak untuk mempergunakan haknya
41
e. Pasal 25
Perlindungan hukum secara represif berupa pemberian restitusi dan kompensasi bertujuan
mengembalikan kerugian yang dialami oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur
dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak sebagai
korban kejahatan seksual yang mengalami trauma berupa rehabilitasi. Korban kejahatan
kekerasan seksual biasanya tidak hanya mengakibatkan/menimbulkan luka fisik tapi juga
menderita tekanan psikologis, sehingga selain pemulihan fisik, juga memerlukan pemulihan
Indonesia Nomor 09 Tahun 2015 tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak Berhadapan Dengan
Rehabilitasi merupakan suatu upaya untuk memulihkan kondisi psikologis anak sebagai korban
perkembangan psikologis dalam jangka waktu yang lama. Salah satu hal teknis yang bisa
dilakukan adalah dengan persuasif dengan cara rekreasional atau memberikan hiburan kepada
anak korban kejahatan seksual, pembentukan pola pikir positif yang lebih berorientasi masa
depan, penghindaran publikasi atas identitasnya dengan niat menghindari penilaian negatif atas
42
2.2. DASAR HUKUM TENTANG KEKERASAN TERHADAP METAL ANAK (CHILD
ABUSE)
a. Dasar hukum
Nomor 1 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang
1. Bahwa negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
2. bahwa kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat
dan mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa
dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana dan memberikan tindakan
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pada tanggal 25 Mei 2016;
43
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua atas Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Menjadi Undang-Undang;
bahwa Negara menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seiring dengan pesatnya arus globalisasi dan
dampak negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kekerasan terhadap
anak khususnya yang berkaitan dengan kekerasan seksual semakin meningkat tajam.
mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian disahkan menjadi
Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjadi Undang-Undang berdasarkan ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pertimbangan di atas,
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
44
BAB III
PEMBAHASAN
ini adalah isi UU Nomor 17 tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 tentang
Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU
(bukan format asli) yang berkaitan dengan pemidanaan terhadap kekerasan mental anak”:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap Orang
yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk
3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua,
wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari
satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
45
4) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena
5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban
lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku
dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan
6) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
7) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan
8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama dengan pidana
disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 81A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
Republik Indonesia.
46
Pasal 81A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua,
wali, orang- orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
47
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban
lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular,
terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4),
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat
a. Pasal 81A
(1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (7) dikenakan untuk jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun dan dilaksanakan setelah terpidana menjalani pidana pokok.
(2) Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tindakan dan rehabilitasi diatur
48
b. Pasal 82
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali,
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
(3) Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari
ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih
dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau
hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3
(5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku
(6) Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai
49
(7) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana
pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan. Pidana tambahan dikecualikan bagi
pelaku Anak.
Dengan ini jelas adanya telah diuraikan pada Pasal 81 point 4 yaitu: :
“point (4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa,
penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia,
pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.
Kekerasan mental pada anak (child abuse) disini termasuk dalam gangguan mental atau
gangguan psikologis. Dikarenakan psikologi anak terganggu akibat bullying dan sejenisnya yang
berkenaan dengan hal mental. Sehingga pada pasal ini sangat jelas adanya untuk penerapan
sanksi bagi pelaku. Sedangkan pada : Pasal 82A (1) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 82 ayat (6) dilaksanakan selama dan/atau setelah terpidana menjalani pidana pokok. (2)
Pelaksanaan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah pengawasan secara berkala
oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, sosial, dan
kesehatan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata Cara pelaksanaan tindakan diatur dengan
Peraturan Pemerintah. Ancaman sanksi hukum yang tersebut dalam ketentuan perundang-
undangan sebagaimana terurai diatas cukup berat. Akan tetapi apakah ancaman sanksi hukum
tadi efektif untuk membuat jera para pelaku tindak kekerasan atau calon-calon pelaku jera.
Maka Sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana kekerasan terhadap mental anak tertuang
di dalam pasal 81 dan pasal 81A, 82, 82A perpu Nomor: 1 Tahun 2016. Di dalam pasal 81 Perpu
Nomor 1 Tahun 2016, yang telah diuraikan pada jabaran isi pasal-pasal tersebut.
50
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Kamus Crime Dictionary menerangkan
bahwa victim adalah orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental,
kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau udsaha pelanggaran ringan
dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya. Selaras dengan pendapat Arif Gosita
menyatakan bahwa yang dimaksud korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak
- haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
sebagaimana yang tercantum dalam pasal (Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002
jo. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak). Dalam perlindungan ini
Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2016 yang di uraikan pada pasal 81 bahwa
“(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang
tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga
kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu
25
Waluyo. Bambang. Victimologi Perlindungan Korban & Saksi. Sinar Grafika. Jakarta 2012. H:9
51
orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
52
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Kesimpulan Berdasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan
1. Peran aparat penegak hukum, masyarakat dan orang tua adalah memberikan perlindungan
terhadap korban, mengungkap kekerasan mental teradap anak ini bisa berakhir sehingga
tidak berlanjut di masa depan sag anak yang menjadi korban perundungan. dan
a. Aspek Yuridis, dengan memberikan fasilitas dengan psikolog anak baik dalam
penyimpangan perilaku.
kendala yaitu:
b. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah (SDM) sehingga mereka masih
beranggapan apabila kasus kekerasan mental kepada anak atau child abuse adalah
c. Fasilitas yang menangani korban kekerasan terhadap mental anak (child abuse) atau
dengan istilah bullying masih terbentur pada masalah SDM dan lingkungan sosial
53
serta kondisi peradilan yang tidak memahami kondisi psikologi anak korban
4.2 SARAN
Bertitik tolak dari kesimpulan diatas maka penulis menyarankan hal-hal berikut :
1. Kerjasama antara aparat penegak hukum, orang tua dan masyarakat harus lebih
terhadap anak, agar tidak terjadi lagi korban kekerasan mental atau child abuse terhadap
anak yang dilakukan oleh teman, keluarga ataupun lingkungan sosialnya. Diantaranya
dalam perihal memberikan sosialisasi mengenai pentingnya hak anak sehingga anak
mendatangkan para psikolog anak sehingga emosi dan luapan perasaan aanak bisa
tersampaikan. Hal lainseperti tempat perlindungan khusus bagi anak dirasa masih
mengalami kekurangan, maka fasilitas tersebut hendaknya perlu ditambah agar dalam
menangani anak korban kekerasan mental atau hild abuse ini lebih efektif.
54
Daftar Pustaka
A. Buku
E. Utrecht, Hukum Pidana I, Jakarta: Universitas Jakarta, 1958, hlm. 157.
Fakih M, Pelatihan Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Korban Child Abuse and Neglect. IDI-
UNICEF, Jakarta, 2003, hlm. 77
Hamdan. M, Politik Hukum Pidana, Jakarta: Rajawali Press, 1997, hlm. 23
Hamdan. M, Opcit.Hlm. 24.
Hamzah.Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1993,
Huraerah Abu, Kekerasan Terhadap Anak, Nuansa Cendekia, Bandung, 2012, hal. 47.
Ibid. Pasal 1 ayat (2)
Ibid.
Ibrahim M. et. al, Buku Pedoman Penulisan Skripsi Ilmu Hukum. UBHARA Press, Jakarta, 2012,
hlm. 23
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media Publishing,
Malang, 2006, Hal.57
Koeswadji, Perkembangan Macam-macam Pidana Dalam Rangk a Pembangunan Hukum
Pidana, Cetakan I, Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1995, hlm 12.
Koeswadji, Op.cit, Hlm. 11-12.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992, hlm.
22.
Muladi dan Arief, Op. Cit., Hlm. 16.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Op cit, Hlm. 2
Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di
Indonesia Dewasa Ini,.Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm. 24.
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System &
Implementasinya,: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 45.
Soemitro, Ronny Hanitijo. Metedologi Penelitian Hukum dan Yurimetri. Ghalia Indonesia:
Jakarta, 1990, hlm. 37.
Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, hal 15
Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002, Op. Cit, Pasal 1 ayat (1)
55
Yasir Arafat, Undang-Undang Dasar RI 1945 dan Perubahannya, Permata Press, Jakarta, 2010,
hal. 27.
Makalah: L.M. Gandhi, Harmonisasi Hukum Menuju Hukum Yang Responsif, Makalah, yang
disampaikan pada Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap FH-UI, 1995, hal 4-5.
B. Jurnal Internasional
1. Kobandaha Mahmudin, PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM SISTEM HUKUM DI
INDONESIA, Jurnal Hukum Unsrat Vol. 23/No. 8/Januari/2017
2. Lina Dwi Istiqomah, Nyoman Serikat Putra Jaya, Duwi Aryadi, CRIMINAL THREATS
FOR PERPETRATORS OF OMISSION IN CHILD ABUSE IN INDONESIA, Jurnal
Pembaharuan Hukum: Volume VI No.3 September–Desember 2019
56
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4235)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 95 Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4419)
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2019 tentang Pedoman Peran Serta Media Komunitas dalam
Pencegahan Kekerasan terhadap Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1173).
E. Internet Sumber:
Sumber:
"Child abuse - definition of child abuse by the Free Online Dictionary, The saurus and
Encyclopedia". Thefreedictionary.com. Diakses tanggal 20, September 2020
"Child Maltreatment Surveillance: Uniform Definitions for Public Health and Recommended
Data Elements". Leeb, R.T. (1 January 2008). Centers for Disease Control and Prevention.The
saurus and Encylopedia. Diakses tanggal 20 November 2020
Teryy E Lawson, Bentuk-bentuk kekerasan pada anak (child abuse) Dunia
Psikologi.com/kekerasan-pada anak. The saurus and Encylopedia.Diakses pada 29, September-
2020
57