Anda di halaman 1dari 84

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA


PELECEHAN SEKSUAL DI WILAYAH
HUKUM POLRES BULELENG

SKRIPSI

KADEK RADITYA

016.300.07

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANJI SAKTI
SINGARAJA
2020
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
PELECEHAN SEKSUAL DI WILAYAH
HUKUM POLRES BULELENG

SKRIPSI

KADEK RADITYA

016.300.07

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANJI SAKTI
SINGARAJA
2020
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini saya buat sendiri dan tidak

ada yang dijiplak baik sebagian maupun keseluruhan dari karya orang lain,

kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar

pustaka serta sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya yang sama yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi

atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan oleh orang lain.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa tekanan dari

siapapun. Apabila dikemudian hari apa yang saya nyatakan tidak benar maka saya

bersedia dituntut berdasarkan aturan hukum yang berlaku.

Singaraja, ……………………..
Yang membuat,

__________________________
Lembar Persetujuan Pembimbing

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK


SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA
PELECEHAN SEKSUAL DI WILAYAH
HUKUM POLRES BULELENG

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar


Sarjana hokum Pada Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Panji Sakti

Menyetujui

Pembimbing

……………………………….
NIP/NIK……………………..

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Panji Sakti,

……………………………….
NIP/NIK……………………..
Lembar Pengesahan

TELAH DIUJI DAN DIPERTAHANKAN


DI DEPAN TIM PENGUJI
Pada Hari……., Tanggal……………

TIM PENGUJI

Ketua Tim Penguji, Sekretaris Tim Penguji,

……………………… ………………………

Penguji, Penguji,

……………………… ………………………

Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Panji Sakti,

………………………
MOTTO
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa,

karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk melengkapi syarat dalam menyelesaikan

studi di Universitas Panji Sakti. Adapun judul Skripsi ini adalah : “

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana

Pelecehan Seksual Di Wilayah Hukum Polres Buleleng ” bisa terselesaikan

tepat pada waktunya.

Selain bekal pengetahuan yang ada, disadari bahwa dalam penulisan

Skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak

baik secara langsung maupun tidak langsung ikut mendorong penyusunan Skripsi

ini.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :

1.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna

mengingat keterbatasan yang penulis miliki. Untuk itu, pada kesempatan ini

penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi

penyempurnaan tulisan ini. Sebagai akhir kata, penulis menyampaikan

terimakasih dan semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang

memerlukan.

Singaraja, 03 Februari 2020


Penulis

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya

manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa,

yang memiliki peranan strategis dan mempuayai ciri serta sifat yang khusus,

memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi,

selaras, dan seimbang (Makarao, 2013:1)1. Oleh karena itu setiap anak perlu

diberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkemberng

secara optimal baik secara fisik, mental, dan juga sosial serta berahlak mulia.

Untuk mewujudkan hal tersebut maka pembinaan dan bimbingan oleh orang-

orang terdekat baik itu orang tua dan keluarga sangat diperlukan karena

berpengaruh bagi kelangsungan hidup anak. Maka dari itu untuk

melaksanakan pembinaan dan perlindungan terhadap anak, kedisiplinan dan

tanggung jawab orang tua tidak boleh diabaikan.

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud

dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

1
Makarao, Mohammad Taufik, dkk. 2013. Hukum Perlindungan Anak Dan Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rineka Cipta, Jakarta, 2013.
termasuk anak yang masih di dalam kandungan (UU No. 35 tahun 2014) 2.

Sejak anak dalam kandungan hingga lahir dan juga berkembang, anak

mempunyai hak untuk hidup dan mendapat perlindungan baik dari orang tua,

keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Hak asasi anak yang merupakan bagian dari hak asasi manusia ini

mendapat jaminan dan perlindungan hukum baik itu dari hukum Nasional

maupun hukum Internasional sebagaimana termuat dalam Undang-Undang

Dasar maupun dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa 10 Desember

1948. Ketentuan mengenal hak asasi manusia di Indonesia ini selain

tercantum pada Pasal 28 A sampai Pasal 28 J dan juga tercantum dalam

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain

itu untuk masalah hak anak juga tercantum dalam Konvensi Hak Anak

(Comention on The Right of The Child), yang maksudnya adalah perjanjian

yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai negara yang

menggatur hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak anak. Konvensi ini

merupakan konvesi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang melindungi hak-hak

anak dan salah satu bagian dari instrumen internasional yang luas dan ditanda

tangani oleh 192 negara. Indonesia merupakan salah satu dari 192 negara

yang meratifikasi Konvensi Hak Anak (Conrvention on The Riglut of The

Child).

Dengan meratifikasi konvensi ini, Indonesia memiliki kewajiban untuk

memenuhi hak- hak anak yang mengalami kekerasan khususnya kekerasan

2
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak
seksual (Prameswari, 2017:168)3. Dunia anak yang seharusnya diwarnai

dengan kegiatan bermain, belajar, dan mengembangkan minat serta bakatnya

untuk masa depan, namun pada kenyataannya banyak terjadi kekerasan baik

itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual (Huraerah, 2006: 21)4. Dalam

hal ini yang disebut dengan kekerasan fisik terhadap anak seperti : dipukul,

ditendang maupun disiksa dengan berbagai cara, sementara yang dimaksud

dengan kekerasan seksual adalah keterlibatan anak dalam kegiatan seksual

yang tidak dipahaminya. Kekerasan seksual juga dapat berupa perlakuan

tidak senonoh oleh orang lain, kegiatan yang menjurus pada pormografi,

perkataan-perkataan porno, dan melibatkan anak dalam bisnis prostitusi.

Secara umum pengertian dari kekerasan seksual pada anak adalah

keterlibatan seseorang anak dalam segala bentuk aktivitas seksual yang

terjadi sebelum anak mencapai batasan umur tertentu yang ditetapkan oleh

hukum negara yang bersangkutan dimana orang dewasa atau anak lain yang

usianya lebih tua atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih dari

anak memanfaatkannya untuk kesenangan seksual atau aktivitas seksual

(CASAT Programe, Child Development Institute; Boyscouts of America;

Komnas PA). Kekerasan seksual terhadap anak perlu mendapat perhatian

yang serius mengingat akibat yang timbul dari kekerasan seksual terhadap

anak akan menyebabkan anak mengalami trauma yang berkepanjangan.

Trauma yang nantinya dialami oleh anak dapat membahayakan bagi

perkembangan jiwa anak sehingga anak tidak dapat tumbuh dan berkembang
3
Prameswari. 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Jakarta
4
Huraerah. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Nuansa. Bandung
secara wajar. Kekerasan terhadap anak bisa terjadi kapan dan dimana saja

serta bisa dialami oleh anak perempuan dan anak laki-laki. Kekerasan

seksual terhadap anak adalah pelangaran moral dan hukum, serta dapat

melukai secara fisik dan psikoiogi. Kekerasan seksual terhadap anak dapat

dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan, pencabulan/pelecehan, serta

incest. Siapapun bisa menjadi pelaku dari kejahatan seksual terhadap anak,

karena tidak adanya karakteristik khusus.

Pelaku kekerasan seksual terhadap anak mungkin dekat dengan anak,

yang dapat berasal dari berbagai kalangan. Pedofilia sebutan istilah untuk

pelecehan seksual pada anak, pelaku kekerasan seksual terhadap anak juga

cenderung memodifikasi target yang beragam, siapapun bisa menjadi target

pelaku kekerasan seksual, bahkan anak ataupun saudaranya sendiri. Maka

dari itu perlu adanya perlindungan terhadap anak agar anak tersebut tidak

terus menjadi korban dari kekerasan seksual khususnya korban dari

pelecehan seksual. Perlindungan anak tersebut berarti melindungi potensi

sumber daya manusia dari ancaman pelecehan seksual dan membangun

manusia Indonesia seutuhnya, menuju masyarakat adil dan makmur, materi

spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (N-hriana,

2011: 1)5

Pelecehan seksual terhadap anak perlu mendapat perhatian serius

mengingat akibat dari kekerasan seksual terhadap anak akan menyebabkan

anak mengalami trauma yang berkepanjangan. Trauma yang dialami anak

akan dapat membahayakan bagi perkembangan jiwa anak sehingga nantinya


5
N-hriana. 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat. Setara Press
anak tidak akan tumbuh dan berkembang dengan wajar. Anak juga berhak

atas pemeliharaan dan perlindungan baik dalam masa kandungan maupun

sudah dilahirkan. Anak juga berhak atas perlindungan-perlindungan di

lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan

dan perkembangan dengan wajar (Pasal 2 ayat (3) dan ayat (4) Undang -

Undang No. 4 Tahun 1979) Tentang Kesejahteraan Anak 6. Pelecehan seksual

adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan yang

berhubungan dengan dorongan seksual, yang merugikan atau membuat tidak

senang pada orang yang dikenai perlakuan itu. Atau bisa juga diartikan setiap

perbuatan yang memaksa seseorang terlihat dalam suatu hubungan seksual

atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian seksual yang tidak

menginkannya.

Pada dasamya perbuatan tersebut dipahami sebagai merendahkan dan

menghina pihak yang dilecehkan beberapa tahun terakhir ini kejahatan

terhadap orang dewasa maupun anak-anak semakin meningkat. Hal ini

terjadi seiring dengan perkembangan teknologi dan peradaban manusia,

kejahatan yang terjadi tidak hanya menyangkut kejahatan terhadap nyawa,

harta benda akan tetapi kejahatan terhadap kesusilaan semakin meningkat.

Sebagai masalah sosial tindak pidana kekerasan seksual dan pelecehan

hingga kini sudah banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia baik yang

dilakukan oleh orang dewasa maupun lanjut usia dan dari kebanyakan

korbannya adalah anak-anak. Berbagai pelecehan seksual akhimya menjadi

6
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak
perkara kejahatan yang terungkap selama ini, umumnya dilakukan oleh

orang-orang yang masih ada hubungan baik atau sudah kenal akrab dengan

korban, baik hubungan keluarga maupun tetangga, ataupun hubungan antara

pelaku dan korban sudah saling mengenal sebelumnya.

Meskipun telah ada aturan yang mengatur dan memberikan perlindungan

secara nyata terhadap anak sebagai korban pelecehan seksual, namun masih

saja terjadi tindak pidana pelecehan seksual khususnya terhadap anak yang

menjadi korban dalam 4 (empat) tahun terkahir ini walaupun tidak terjadi

secara segnifikan. Khususnya di Kabupaten Buleleng yang merupakan

kabupaten yang dijuluki sebagai kota pendidikan, dengan julukan tersebut

seharusnya anak sebagai generasi muda yang menjadi salah satu sumber daya

manusia yang berpotensi nantinya untuk membangun Kabupaten Buleleng

menjadi kota yang lebih baik dan berdaya saing tinggi. Dewasa ini di

Kabupaten Buleleng masih saja terjadi kasus-kasus tindak pidana pelecehan

seksual terutama anak yang menjadi korbannya. Menurut data anak sebagai

korban tindak pidana seksual tahun 2016 sampai tahun 2019, dalam 4

(empat) tahun terakhir terjadi 14 kasus pelecehan seksual anak, dan 15 kasus

persetubuhan anak.

Kasus anak sebagai korban Pencabulan (pelecehan seksual) berdasarkan

fakta yang terjadi di Kabupaten Buleleng masih saja terjadi walaupun sudah

ada aturan yang jelas mengaturnya. Selain itu, perlindungan hukum kepada

anak yang menjadi korban tindak pidana pelecehan seksual bukan hanya

terbatas pada hukuman pelaku, namun juga perhatian terhadap psikis anak
setelah terjadinya tindak pidana tersebut. Kurangnya sosialisasi dari

lembaga-lembaga perlindungan anak seperti LSM dan Balai

Permasyarakatan (BAPAS) juga menyebabkan kurang optimalnya

perlindungan hukum terhadap anak di Kabupaten Buleleng. Berdasarkan

latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji

lebih lanjut untuk menulis dalam bentuk skripsi dengan judul ‘Perlindungan

Hukum Tergadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual”

( Studi Kasus di Wilayah Hukum Polres Buleleng ).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasrakan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka masalah

yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagaai berikut :

1.2.1 Apa faktor penyebab terjadinya tindak pidana pelecehan seksual

terhadap anak di wilayah hukum Polres Buleleng ?

1.2.2 Bagaiamana perlindungan hukum terhadap anak akibat terjadinya

pelecehan seksual ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Berdasarkan permasalahan yang ditemukan maka peneliti melakukan

pembatasan ruang lingkup permasalahan yaitu, perlindungan hukum terhadap

anak sebagai korban tindak pidana pelecehan seksual di wilayah hukum

Polres Buleleng, Kejaksaan Negeri Buleleng dan Pengadilan Negeri

Singaraja Kelas IB, serta faktor penghambat proses pemberian perlindungan


hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pelecehan seksual di

wilayah hukum Polres Buleleng, Kejaksaan Negeri Buleleng, dan Pengadilan

Negeri Singaraja Kelas IB.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan yang akan dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.4.1 Untuk Mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana

pelecehan seksual di wilayah hukum Polres Buleleng

1.4.2 Untuk mengetahui perlindunga hukum terhadap anak akibat

terjadinya pelecehan seksual.

1.5 Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian yang dijelaskan di atas maka manfaaat

dari adanya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.5.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

akademis dan informasi bagi pembaca dibidang hukum pada

umumnya, juga dapat menambah wawasan pengetahuan dan

memberikan sumbangan pemikiran terhadap pengembangan ilmu

hukum pidana.

1.5.2 Manfaat Prakti

1.5.2.1 Bagi Penegak Hukum


Memberikan informasi dan menjadikan masukan bagi

para penegak hukum dalam melindungi korban tindak pidana

pencabulan terhadap anak dan memberikan efek jera terhadap

pelaku.

1.5.2.2 Bagi Masyarakat

Memberikan kontribusi kepada masyarakat luas

khususnya para orang tua, guru, pelajar dan remaja agar lebih

berhati-hati, sehingga diharapkan kedepannya tidak ada lagi

kasus tindak pidana pencabulan lagi khususnya anak yang

menjadi korban, karena akan merusak mental anak akan

kejadian pencabulan yang dialami.

1.5.2.3 Bagi Peneliti

Penelitian ini dibuat untuk memenuhi syarat mencapai

gelar sarjana hukum.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald sebagaimana dikutip Satjipto Raharjo awal mula dari

munculnya teori perlindungan hukum ini bersumber dari teori hukum alam

atau aliran hukum alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles, dan

Zeno. Menurut aliran hukum alam menyebutkan bahwa hukum itu bersumber

dari Tuhan yang bersifat universal dan abadi, serta antara hukum dan moral

tidak boleh dipisahkan. Para penganut aliran ini memandang bahwa hukum

dan moral adalah cerminan dan aturan secara internal dan eksternal dari

kehidupan manusia yang diwujudkan melalui hukum dan moral (Raharjo,

2000:53)7.

Fitzgerald menjelaskan teori perlindungan hukum Salmond bahwa

hukum bertujuan mengintergrasikan dan mengkoordinasi berbagai

kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan,

perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan

cara membatasi berbagai kepentingan dilain pihak. Kepentingan hukum

adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki

otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur

dan dilindungi. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni

perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan

hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan

kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara

anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah

7
Raharjo. 2000. lmu Hukum. PT. Cipta Aditya. Semarang
yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat (Raharjo, 2000:54)8

Menurut Satjipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan

pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan oleh orang

lain dan perlindungan itu di berikan kepada masyarakat agar dapat

menikmati hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan

untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan

fleksibel, melainkan juga predektif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan untuk

mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi, dan politik untuk

memperoleh keadilan sosial (Raharjo, 2000:55)9

Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang

melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.

(Muchsin,2003)10. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Perlindungan Hukum Preventif

Pindungan hukum yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan

untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam

peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatau

pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam

melakukan kewajiban.

b. Perlindungan Hukum Represif

Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa


8
Raharjo. 2000. lmu Hukum. PT. Cipta Aditya. Semarang
9
Raharjo. 2000. lmu Hukum. PT. Cipta Aditya. Semarang
10
Muchlin. 2003. Perlindungan hukum Represif. Jakarta
sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan

apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran

(Muchsin, 2003: 20)11

Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum

bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif.

Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya

sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam

pengambilan keputusanberdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif

bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk

penanganannya di lembaga peradilan (Hadjon, 1987: 29)12

Sesuai dengan uraian yang ada di atas dapat disimpulkan serta

dinyatakan bahwa fungsi hukum adalah melindungi rakyat dari bahaya dan

tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain,

masyarakat maupun pengusaha. Selain itu berfungsi pula untuk memberikan

keadilan serta menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh

rakyat.

Perlindungan hukum jika dijelaskan secara harafiah dapat

menimbulkan banyak persepsi. Sebelum mengurai perlindungan hukum

dalam makna yang sebenarnya dalam ilmu hukum, menarik pula untuk

mengurai sedikit mengenai pengertian-pengertian yang dapat timbul dari

penggunaan istilah perlindungan hukum, yakni Perlindungan hukum bisa

berarti perlindungan yang diberikan terhadap hukum agar tidak ditafsirkan

11
Muchlin. 2003. Perlindungan hukum Represif. Jakarta
12
Philipus M.Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina Ilmu, Surabaya.
berbeda dan tidak dicederai oleh aparat penegak hukum dan juga bisa berarti

perlindungan yang diberikan oleh hukum terhadap sesuatu (Mertokusumo,

2009:38)13

Perlindungan hukum yang diberikan oleh bagi rakyat Indonesia

merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip

negara hukum yang berlandasan Pancasila. Setiap orang berhak mendapatkan

perlindungan dari hukum. Hampir seluruh yang berhubungan hukum harus

mendapatkan perlindungan dari hukum.

2.1.2 Pengertian serta Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur

tentang Anak

Pengertian anak di Indonesia dibedakan menurut batasan umurnya dan

diatur menurut bidang hukumnya masing-masing. Secara yuridis kedudukan

seorang anak menimbulkan akibat hukum. Dalam lapangan hukum

keperdataan, akībat hukum terhadap kedudukan seorang anak menyangkut

pada persoalan-persoalan hak dan kewajiban, seperti masalah kekuasaan

orang tua, pengakuan sahnya anak, penyangkalan sahnya anak, perwalian

pendewasaan, serta masalah pengangkatan anak. Sedangkan dalam lapangan

hukum pidana menyangkut masalah pertanggung jawaban pidana. Beberapa

pengertian anak akan dijelaskan sebagai berikut :

a. Anak Secara Sosiologis

Mertokusumo, Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar).


13

Yogyakarta: Liberty.
Seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang anak bukan semata-

mata berdasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan

dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup

mandiri menurut pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada.

b. Anak secara yuridis

Hukum di Indonesia memiliki banyak Undang-Undang yang

mencantumkan penjelasan anak yang berbeda-beda, maka pengertian

anak antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kescjahteraan

Ahak Pasal ayat (2), anak adalah seseorang yang belum mencap umur 21

tahun dan belum pernah kawin.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah

mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum

pernah kawin.

Dalam Undang-Undang 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-

Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1),

anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang

masih dalam kandungan.

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Pasal I ayat (4), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem


Peradilan Anak disebutkan 3 (tiga) kategori anak yaitu : anak yang

berkonflik dengan hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun,

tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Anak korban adalah anak yang belum mencapai umur 18 tahun yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang

disebabkan oleh tindak pidana. Anak saksi adalah anak yang belum

berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di pengadilan tentang suatu

perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri.

Dengan banyaknya batasan umur yang berbeda-beda dari beberapa

peraturan di atas, maka dalam hal ini peneliti menggunakan definisi anak

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Pengertian anak secara bahasa adalah seseorang yang masih berada

di bawah umur atau belum cukup umur untuk melakukan hal-hal umum.

Dalam beberapa hal kepolosan dan keluguan anak dapat dimanfaatkan

oleh orang dewasa sebagai celah untuk melakukan suatu tindakan yang

dapat merugikan anak. Anak berbeda dengan orang dewasa, anak belum

masih cukup matang dalam beberapa hal yaitu belum matang secara

fisik, psikis maupun mentalnya. Anak masih perlu ditemani, dibimbing,

diarahkan, dilindungi oleh orang dewasa sehingga anak dalam beberapa

hal tertentu memerlukan perlakuan khusus serta memerlukan

perlindungan yang khusus pula, terutama pada tindakan-tindakan yang


dapat merugikan perkembangan mental maupun jasmani pada diri anak

(Prakoso, 2013:24)14

Pengertian perlindungan anak terdapat dalam Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 tentang Perlindungan Anak15, Pasal I ayat (2) menyatakan bahwa

perlindungan anak adalan segala kegiatan untuk menjamin dan

melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi. Kebijaksanaan usaha dan kegiatan yang menjamin

terwujudnya perlindungan anak, pertama didasarkan atas pertimbangan

bahwa anak merupakan golongan yang rawan, disamping itu karena

adanya golongan anak-anak yang mengalami hambatan dalam

pertumbuhan dan perkembangannya, baik rohani, jasmani, maupun

sosial. Perlindungan terhadap anak didasari oleh prinsip-prinsip sebagai

berikut (Gultom, 2014: 70-72)16

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri.

Anak adalah modal utama kelangsungan hidup negara, untuk itu

hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-

haknya karena banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara


14
Prakoso. 2013. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta
15
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Gultom, Maidin. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: Refika
16

Aditama.
dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-

hak anak.

b. Kepentingan terbaik anak.

Agar perlindungan anak diselenggarakan dengan baik, maka harus

menganut prinsip bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang

sebagai prioritas tertinggi dalam setiap keputusan yang menyangkut

anak. Prinsip ini digunakan karena dalam banyak hal anak “korban”

disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannyan.

c. Lintas Sektoral.

Nasib anak tergantung dari banyak faktor, baik yang makro maupun

mikro, yang langsung dan tidak langsung. Perlindungan terhadap anak

adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di

semua tingkatan, tidak hanya keluarga atau anak itu sendiri.

2.1.2.1 Hak-Hak Anak

Anak adalah generasi muda penerus bangsa, dengan fakta

bahwa banyak terjadi pelanggaran yang korbannya anak, maka

pemerintah membuat berbagai macam peraturan untuk melindungi

hak anak agar anak dapat berkembang dengan baik.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak


dalam Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak dalam

pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang

bertanggungjawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan

dari perlakuan :

a. Deskriminasi

b. Eksploitasi baik ekonomi maupun seksual

c. Penelantaran

d. Kekejaman, kekerasan dan penganiayaan

e. Ketidakadilan

f. Perlakuan salah lainnya

Setiap anak memiliki hak untuk mendapat perlindungan,

perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan situasi dan

kondisi yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak

secara manusiawi ke arah hal yang positif. Ini berarti dilindunginya

anak untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup,

mempunyai kelangsungan hidup, bertumbuh kembang dan

perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri atau

bersama para pelindungnya (Gosita, 1996: 14)17

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan

Anak menjelaskan betapa pentingnya untuk memperhatikan anak

dengan memenuhi berbagai kebutuhannya karena anak adalah modal

dan aset negara di masa depan, khususnya dijelaskan dalam Pasal 2

mengenai penyelenggaraan perlindungan anak harus berdasarkan


17
Gosita, Arief. 1996. Masalah Korban Kejahatan. CV. Akademika Pressindo, Jakarta.
prinsip :

a. Non Diskriminasi

b. Kepentingan terbaik bagi anak

c. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan

d. Penghargaan terhadap anak

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak, hak-hak dari anak dalam proses proses peradilan

pidana diatur dalam Pasal 3 yaitu :

a. Diperlakukannya manusiawi dengan memperhatikan secara

kebutuhan sesuai dengan umurnya. Memperoleh pendampingan

orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak. Tidak

ditangkap, ditahan, dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir

dan dalam waktu yang paling singkat. Memperoleh bantuan

hukum dan bantuan lainnya secara efektif. Bebas dari

penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam.

Memperoleh keadilan dimuka pengadilan anak yang objektif,

tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum.

b. Tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya.

Indonesia telah memiliki banyak peraturan yang mengatur

beberapa hak anak seperti contohnya anak memperoleh

pendidikan, difasilitasi agar kesehatannya terjaga, memilih

agama sesuai dengan keyakinannya, memperoleh informasi

mengenai orang tua, hingga hak anak ketika berhadapan dengan


hukum, serta hak dasar lainnya yang ada di berbagai peraturan

yang didalamnya mengatur tentang anak.

2.1.3 Pengertian Korban ( Viktimologi )

Viktimologi secara istilah berasal dari kata victim (korban) dan logos

(ilmu pegetahuan), dalam bahasa latin viktimologi, berasal dari kata victima

yang berarti korban dan logos yang berarti ilmu (Waluyo, 2012: 9)18. Secara

terminology, viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang

korban, penyebab timbulnya korban, dan akibat-akibat penimbulan korban

yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial (Gosita,

1996: 138)19. Viktimologi merupakan ilmu yang masih baru dibandingkan

cabang ilmu lainnya seperti kriminologi dan sosiologi, namun demikian

dalam perkembangan hukum khususnya dalam rangka penegakan hukum

pidana maka peranan dari viktimologi tidak bisa lagi dibandingkan dengan

begitu saja. Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah atau studi yang

mempelajari viktimisasi (korban) sebagai sebuah permasalahan dalam

kehidupan manusia yang merupakan bentuk dari suatu kenyataan sosial.

Perkembangan viktimologi hingga pada keadaan seperti sekarang

tentunya tidak terjadi dengan sendirinya, namun telah melalui beberapan

tahapan perkembangan yang dapat dibagi ke dalam tiga fase. Pada tahap

pertama, viktimologi hanya mempelajari korban kejahatan saja, pada fase ini

dikatakan sebagai "penal or special victimology". Sementara itu fase kedua,


18
Waluyo. 2012. Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

19
Gosita, Arief. 1996. Masalah Korban Kejahatan. CV. Akademika Pressindo, Jakarta.
viktimologi tidak mengkaji hanya korban kejahatan saja, namun juga

meliputi korban kecelakaan, pada fase ini disebut sebagai "general

victimology". Fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih luas lagi,

yaitu mengkaji permasalahan permasalahan korban karena penyalahgunaan

kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini dikatakan sebagai "new

victimology".

2.1.3.1 Manfaat Viktimologi

Manfaat Viktimologi antara lain :

a. Viktimologi memberikan pemahaman yang lebih baik

tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan

penderitaan fisik, mental, dan sosial. Tujuannya untuk

memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan

peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku serta

pihak lain.

b. Viktimologi memberikan dasar pemikiran untuk mengatasi

masalah kompensasi pada korban, pendapat-pendapat

viktimologi dipergunakan dalam keputusan-keputusan

peradilan kriminal yang juga merupakan suatu studi

mengenai hak asasi manusia (Hamzah,1986: 13-14)20

2.1.3.2 Ruang Lingkup Viktimologi

Munculnya viktimologi tidak terlepas dari adanya keperhatian

20
Hamzah. 1986. Hukum pidana. Surabaya.
terhadap korban tindak pidana yang sering kali terabaikan.

Viktimologi membahas, mempelajari, dan meneliti tentang korban

dan seluk beluknya seperti peranan korban dalam hal terjadinya

suatu tindak pidana, hubungan antara pelaku dengan korban dan

peranan korban dalam sistem peradilan pidana (Mulyadi, 2004 :

32)21.

Menurut mulyadi viktimologi merupakan suatu studi yang

bertujuan untuk :

a. Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan dengan

korban.

b. Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab terjadinya

viktimisasi

c. Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi

penderitaan manusia

J.E Sahetapi, berpendapat bahwa ruang lingkup viktimologi

meliputi bagaimana seseorang dapat menjadi korban yang

ditentukan oleh suatu victimlty yang tidak selalu berhubungan

dengan masalah kejahatan, termasuk pula korban kecelakaan, dan

bencana selain dari korban kejahatan penyalah gunaan kekuasaan.

Perkembangan di tahun 1985, Separovic mempelopori

pemikiran agar viktimologi khusus mengkaji korban karena adanya

kejahatan dan penyalagunaan kekuasaan dan tidak mengkaji korban

musibah atau bencana alam karena korban bencana alam diluar


21
Mulyadi. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminilogi dan Viktimologi. Jakarta
kemauan manusia atau out of man will (Mulyadi, 2004: 109) 22

Kejahatan yang mengakibatkan korban sebagai objek kajian

viktimologi semakin luas setelah Kongres PBB ke-5 (kelima) di

Geneva tahun 1980 di Caracas, yang meminta perhatian bahwa

korban kejahatan dalam cakupan viktimologi bukan hanya kejahatan

konvensional seperti pemerasan, pencurian, penganiayaan, dan

lainnya, tetapi juga kejahatn inkonvensional seperti : terorisme,

pembajakan, dan kejahatan kerah putih.

Kongres PBB ke-6 (keenam) Tahun 1980 di Caracas tersebut

menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan terhadap nyawa, orang,

harta benda, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan abuse power,

sedangkan dalam Kongres PBB ke-7 (ketujuh) Tahun 1985,

menghasilkan kesepakatan untuk memperhatikan kejahatan-

kejahatan tertentu yang dianggap atau dipandang membahayakan

seperti economic crime, environmental offences, illegal trafficking

in drugs, terrorism, apartheid, industrial crime

2.1.3.3 Pengertian Korban

Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh para

ahli maupun bersumber dari konvensi-konvensi internasional yang

membahas mengenai korban kejahatan, sebagaimana diantaranya

sebai berikut :

a. Menurut kamus Rime Dictionary Victim, korban adalah


22
Mulyadi. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminilogi dan Viktimologi. Jakarta
orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau

penderitaan mental, kerugian harta benda atau

mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran

ringan yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan

lainnya (Waluyo, 2012: 9)23

b. Menurut The Declaration of Basic Principles of Justice for

Victims of Crime and Abuse of Power, korban adalah orang-

orang yang secara individual atau kolektif, telah mengalami

penderitaan, meliputi penderitaan fisik atau mental,

penderitaan emosi, kerugian ekonimis atau pengurangan

substansi hak-hak asasi, melalui perbuatan atau pembiaran

yang melanggar hukum pidana yang berlaku di negara

anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang

melarang penyalahgunaan kekuasaan (Gosita, 2004: 44)24

c. Menurut Mansyur korban adalah orang-orang yang baik

secara individual maupun kolektif telah menderita

kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional,

ekonomi, atau gangguan substansi terhadap hak-haknya

yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang

melanggar hukum pidana dimasing-masing negara,

termasuk penyalah gunaan kekuasaan (Mansyur, 2007:47)25


23
Waluyo. 2012. Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Gosita, Arief. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer. Kelompok
24

Gramedia.
25
Mansyur, Didik M. Arif, Elsataris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Korban

adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman

kekerasan dalam lingkup rumah tangga

e. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi, Korban adalah orang

perseorangan atau kelompok orang yang mengalami

penderitaan, baik fisik, mental, maupun emosional, maupun

kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian,

pengurangan, atau perampasan hak-hak dasarnya sebagai

akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk

korban adalah ahli warisnya

f. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata

Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam

Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, Korban adalah

orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami

penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia

yang berat memerlukan perlindungan fisik dan mental dari

ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapu.

2.1.3.4 Tipologi Korban

Perkembangan ilmu viktimoloi selain memperhatikan posisi

korban, juga membagi jenis-jenis korban. Tipologi kejahatan dapat


Antara Norma Dan Realita. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
ditinjau dari dua dimensi. Pertama dari perspektif tingkat

keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan. Kedua yakni faktor-

faktor yang menyebabkan seseorang dapat menjadi korban kejahatan

(Arief, 2006: 49)26

Beberapa tipologi korban menurut penjelasan diats yaitu

sebagai berikut :

a. Nonparticipacing victims, yaitu mereka yang tidak peduli

terhadap upaya penanggulangan kejahatan.

b. Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter

tertentu sehingga cendrung menjadi korban.

c. Procative victims, yaitu yang menimbulkan rangsangan

terjadinya kejahatan.

d. Participating victims, yaitu mereka yang tidak menyadari

atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya

menjadi korban.

e. False victim, yaitu mereka yang menjadi korban karena

perbuatan yan dibuatnya sendiri.

Tipologi korban sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki

kemiripan dengan tipologi kedua yang didefinisikan menurut

perspektif keadaan dan status korban itu sendiri yaitu sebagai

berikut:

a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada

Gosita, Arief. 2006. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: PT Buana Ilmu Populer. Kelompok
26

Gramedia.
hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada

kasus kecelakaan pesawat. Dalam kasus ini tanggungjawab

sepenuhnya terletak pada pelaku.

b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif

mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus

perselingkuhan, dimana korban sebagai pelaku, karena itu

dari aspek tanggungjawab terletak pada diri korban dan

pelaku sccara bersama-sama.

c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat

akan tetap dengan sikapnya justru mendorong dirinya

menjadi korban. Misalnya mengambil uang di Bank dalam

jumlah besar dan tanpa pengawalan, sehingga mendorong

orang lain untuk merampasnya.

d. Biologically weak victim, yaitu mereka yang memiliki fisik

yang lemah yang menyebabkan dirinya menjadi korban.

e. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban

karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya

korban obat bius, judi, dan prostitusi.

2.1.3.5 Ruang Lingkup Korban

Membahas mengenai korban kejahatan pada awalnya tentu

menuju pada korban orang perseorangan atau individu, karena

kejahatan yang sering terjadi di masyarakat memang demikian.


Misalnya, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan sebagainya.

Dengan setiap tahap perkembangannya, korban kejahatan bukan saja

orang perseorangan tetapi meluas dan kompleks. Persepsinya tidak

hanya banyaknya jumlah korban (orang), namun korporasi, institusi,

pemerintah, bangsa dan negara.

Hal ini juga dinyatakan bahwa korban dapat berarti individu

atau kelompok baik swasta maupun pemerintah (Gosita, 1996: 75-

76)27. Penjabaran mengenai korban perseorangan, institusi,

lingkungan hidup masyarakat, bangsa dan negara sebagai berikut :

a. Korban perseorangan adalah setiap orang sebagai individu

mendapat penderitaan baik jiwa, fisik, materiil, maupun

nonmaterial. Korban institusi adalah setiap institusi

mengalami penderitaan kerugian dalam menjalankan

fungsinya yang menimbulkan kerugian yang

berkepanjangan akibat dari kebijakan pemerintah,

kebijakan swasta, maupun bencana alam.

b. Korban lingkungan hidup adalah setiap lingkungan alam

yang di dalamnya berisikan kehidupan tumbuh-tumbuhan,

binatang, manusia, dan masyarakat serta semua jasad hidup

yang tumbuh dan berkembangdan kelestariannya sangat

tergantung pada lingkungan alam tersebut yang telah

mengalami gundul, longsor, banjir, dan kebakaran yang

ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah yang salah dan


27
Gosita, Arief. 1996. Masalah Korban Kejahatan. CV. Akademika Pressindo, Jakarta.
perbuatan masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

c. Korban masyarakat, bangsa dan negara adalah masyarakat

yang diperlakukan secara deskriminatif, tidak adil, tumpang

tindih perkembangan hasil pembangunan serta hak sipil,

hak politik, hak ekonomi, hak sosial, hak budaya yang tidak

lebih baik setiap tahun.

2.1.4 Istilah, Pengertian serta Unsur-Unsur Tindak Pidana

2.1.4.1 Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum

pidana. Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan

dalam undang-undang, melawan hukum, yang patut dipidana, dan

dilakukan dengan kesalahan. Orang yang melakukan perbuatan

pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan dengan pidana

apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan

apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi

masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan

yang dilakukan (Hamzah, 1986:22)28. Tindak pidana adalah suatu

kelakuan manusia diancam pidana oleh peraturan-peraturan

perundang-undangan, jadi suatu kelakuan pada umumnya dilarang

dengan ancaman pidana.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu

perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dikenakan hukuman

28
Hamzah. 1986. Hukum pidana. Surabaya.
pidana. Sedangkan menurut Tresna, peristiwa pidana itu adalah

suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang

bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-

undangan lain terhadap perbuatan dimana diadakan tindakan

penghukuman (Sholeh, 2003: 53)29.

Dengan kata lain tindak pidana juga dapat dikatakan sebagai

perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki

unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam

dengan pidana, dimana penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah

demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan

umum (Lamintang, 1997: 16)30

Moeljanto, menyatakan tindak pidana beliau menggunakan kata

Perbuatan Pidana, bahwa perbuatan pidana menurut Moeljanto

adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan

diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan

tersebut berdasarkan definisi tersebut Moeljanto menjabarkan unsur-

unsur dari tindak pidana, yaitu perbuatan yang dilarang oleh aturan

hukum. Ancaman bagi pidana yang melanggar (Suwandy, 2015:18) 31

Setelah melihat berbagai definisi tindak pidana diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah

Soeaidy, Zulkhair Sholeh. 2001. Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: CV. Novindo
29

Pustaka Mandiri.

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya
30

Bakti.

Sowaidy, Zulkhair Sholeh. 2001. Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: CV. Novindo
31

Pustaka Mandiri.
perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan

pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang

bersifat aktif dimana dapat diartikan melakukan sesuatu yang

sebenarnya dilarang oleh hukum, dan perbuatan perbuatan yang

bersifat pasif atau dapat diartikan tidak berbuat sesuatu yang

sebenarnya diharuskan oleh hukum.

Tindak pidana dibagi menjadi dua yaitu tindak pidana umum

dan tindak pidana khusus. Tindak pidana umum merupakan

perbuatan yang dilakukan seseorang dengan melakukan suatu

kejahatan atau pelanggaran pidana yang merugikan kepentingan

orang lain atau merugikan kepentingan umum. Sedangkan tindak

pidana khusus dapat diartikan sebagai perbuatan pidana yang telah

ditentukan dalam perundangan tertentu di luar KUHP. Rochmat

Soemitro, mendefinisikan tindak pidana khusus sebagai tindak

pidana yang telah diatur tersendiri dalam undang-undang khusus,

yang memberikan peraturan khusus tentang tata cara penyidikannya,

tuntutannya, pemeriksaannya, maupun sanksinya yang menyimpang

dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP. Hukum Pidana Khusus

diperuntukan bagi orang-orang tertentu saja misalnya anggota

angkatan perang ataupun merupakan hukum yang mengatur tentang

delik-delik tetentu saja, misalnya hukum pidana ekonomi, hukum

pajak, dan pada khususnya juga mengatur tentang anak.


2.1.4.2 Unsur-Unsur Tindak Pidana

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka

harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang

diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip

intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan

menjadi 2 segi yaitu :

a. Unsur Subyektif yaitu hal-hal yang melekan pada diri si

pelaku atau berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting

adalah yang bersangkutan dengan batinnya. Unsur

subyektif tindak pidana meliputi: Kesengajaan dolus atau

kealpaan culpa, Niat atau maksud dengan segala

bentuknya, ada atau tidaknya perencanaan.

b. Unsur Obyektif merupakan hal-hal yang berhubungan

dengan keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak

pidana itu dilakuakan dan berada diluar batin si pelaku.

Memenuhi rumusan undang-undang, sifat melawan hukum,

kualitas si pelaku. Kausalitas, yaitu yang berhubungan

antara penyebab tindakan dengan akibatnya. Pada dasarnya

unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yang ada

dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari

luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.

2.1.5 Jenis-Jenis Tindak Pidana


Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan terdapat dalam

buku II dan pelanggaran dimuat dalam buku III. Kejahatan adalah perbuatan

yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan perundang-undangan

tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan Pelanggaran adalah

perbuatan yang oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena

adanya pengaturan perundang-undangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T

Memorie van Toelichting yang dikutip oleh Moeljanto, bahwa kejahatan

adalah rechtsdelicten yaitu perbuatan-perbuatan meskipun tidak ditentukan

dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai

perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan pelanggaran

adalah wetsdelicten yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan

hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembagian atas

kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Ancaman

pidana dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa

perbedaan tersebut dapat dilihat dari :

a. Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana,

sedangkan dalam pelanggaran tidak dipidana. Hal pembantuan,

pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana kejahatan dapat

dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak pidana

pelanggaran tidak dipidana.

b. Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana

menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan,


sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku. Ketentuan pidana

dalam perundang undangan Indonesia hanya diperlukan bagi setiap

pegawai negeri yang di luar wilayah hukum Indonesia melakukan

kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaranjabatan. Tenggang

kadaluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak perjalanan

pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada kejahatan.

c. Dalam hal ini perbarengan perbuatan concursus, sistem penjatuhan

pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem aborsi yang

diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran menggunakan

sistem kumulasi murni.

2.1.6 Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan

dengan yang dimaksud strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana

disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa Latin yakni kata

delictum. Dalam kamus hukum pembatasan delik tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana)".32

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaarfeit, terdiri

atas tiga suku kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar

diartikan sebagai dapat dan boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak,

peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Pengertian tindak pidana dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dikenal dengan istilah strafbaarfeit


32
Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan Kelima, (Jakarta: P.T.Rineka Cipta, 2007), hal 92.
dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan delik,

sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang - undang

mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindakan

pidana.33

Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku

karya Lamintang, sebagai:

“Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang

dengan sengaja ataupun tidak Sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,

dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi

terpeliharanya tertib hukum.”34

Simons mengartikan sebagaimana dikutip dalam buku Leden Marpaung

strafbaarfeit sebagai berikut.

“strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah

dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang

tindakannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang

telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”35

Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut:

“Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

33
Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, (Yogyakarta: Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap
Indonesia, 2012) hal 20
34
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, (Bandung:P.T.Citra Aditya Bakti,
2011), hal 182.
35
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan ketujuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal
8
hukum, yang patut dipididana dan dilakukan dengan kesalahan.”36

Menurut Moeljatno, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang

memiliki unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang dapat dibagi

menjadi dua macam yaitu :

a. Subyektif adalah berhubungan dengan diri sipelaku dan

termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung

dihatinya.

b. Obyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku

atau yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaannya, yaitu

dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku

itu harus dilakukan.

2.1.7 Pengertian Pelecehan Seksual

Pengertian pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku bersifat

seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat perlakuan tersebut, dan

pelecehan seksual yang dapat terjadi atau dialami oleh perempuan dan laki-

laki. Sedangkan menurut Rubenstein tindakan yang didasarkan pada seks

yang menyinggung penerima.

Menurut Winarsunu (2008)37, pelecehan seksual adalah segala macam

bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan

tidak dikehendaki korbannya. Bentuknya dapat berupa ucapan, tulisan,

simbol, isyarat dan tindakan yang berkonotasi seksual. Aktifitas yang


36
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana,Cetakan keempat, (Jakarta: P.T.Rienka Cipta, 2010), hal 96
37
Winarsunu. 2008. Pelecehan Seksual. Jakarta: PT Cipta Abadi
berkonotasi seksual bisa dianggap pelecehan seksual jika mengandung unsur-

unsur yakni : adanya pemaksaan kehendak secara sepihak oleh pelaku,

kejadian ditentukan oleh motivasi pelaku, kejadian tidak diinginkan korban,

dan mengakibatkan penderitaan bagi korban.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pelecehan seksual adalah perilaku atau

perhatian yang bersifat seksual yang tidak diinginkan atau tidak dikehendaki

dan berakibat mengganggu diri penerima pelecehan. Pemaksaan melakukan

kegiatan seksual, pernyataan merendahkan tentang orientasi seksual atau

seksualitas, permintaan melakukan tindakan seksual yang disukai pelaku,

ucapan atau perilaku yang berkonotasi seksual, semua dapat digolongkan

menjadi pelecehan seksual. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) tidak dikenal istilah pelecehan seksual, KUHP hanya mengenal

istilah cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP.

Dalam buku karya R.Soesilo istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai

perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji dan

semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Misalnya cium-ciuman,

meraba raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagaiannya.

Menurut ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu

telah dianggap melanggar kesopanan atau kesusilaan, dapat dimasukan

sebagai perbuatan cabul, Sementara istilah pelecehan seksual mengacu pada

sexual demands or creation of sexually offensive enironments yang unsur

penting dalam pelecehan seksual adalah ndanya ketidakinginan atau

penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual.


Artinya perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang tanpa sopan

santun (rasa susila) yang tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan

tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.

Secara umum dua aspek penting dalam pelecehan seksual, yaitu aspek

perilaku dan aspek situasional.

a. Aspek Prilaku

Pelecehan seksual sebagai rayuan seksual yang tidak dikehendaki

penerimanya, dimana rayuan tersebut muncul dalam berbagai bentuk

baik yang halus, kasar, terbuka, fisik maupun verbal dan bersifat searah.

Bentuk umum dari pelecehan seksual adalah verbal dan godaan secara

fisik dimana pelecehan secara verbal lebih banyak daripada secara fisik.

Para ahli tersebut menyebutkan pelecehan dalam bentuk verbal adalah

bujukan seksual yang tidak diharapkan, gurauan atau pesan seksual yang

terus-menerus, mengajak kencan terus-menerus walaupun ditolak, pesan

yang menghinakan atau perendahkan, komentar yang sugestif atau cabul,

dan permintaan pelayanan seksual yang dinyatakan dengan ancaman

tidak langsung maupun terbuka.

b. Aspek Situasional

Pelecehan seksual dapat dilakukan dimana saja dan dengan kondisi

tertentu. Perempuan dan anak korban pelecehan seksual dapat berasal

dari setiap ras, umur, karakteristik, kelas, sosial, pendidikan, pekerjaan,

tempat kerja, dan pendapatan.


2.1.8 Perlindungan Hukum Terhadap Anak Korban Pelecehan Seksual

Pengertian perlindungan hukum terhadap anak adalah usaha untuk

melindungi hak-hak anak yang berhadapan dengan hukum agar anak yang

berhadapan dengan hukum tidak menjadi korban penyalahgunaan wewenang

selama proses pidana berlangsung. Bentuk perlindungan hukum yang

diberikan tersebut contohnya pada tahap penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan, atas dasar inisiatif

dari aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan/atau dari permohonan

yang disampaikan oleh anak harus dapat perlakuan khusus.

Hukum di Indonesia memiliki banyak Undang-Undang yang

mencantumkan penjelasan anak yang berbeda-beda, maka pengertian anak

antara lain dapat dijelaskan sebagai berikut :

Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kescjahteraan

Ahak Pasal ayat (2), anak adalah seseorang yang belum mencap umur 21

tahun dan belum pernah kawin.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak, anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.

Dalam Undang-Undang 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-

Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1), anak

adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Pasal I ayat (4), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Anak disebutkan 3 (tiga) kategori anak yaitu: anak yang berkonflik dengan

hukum adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18

tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Anak korban adalah anak yang

belum mencapai umur 18 tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental,

dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Anak saksi

adalah anak yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan

keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di

pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan dialami

sendiri.

Dengan banyaknya batasan umur yang berbeda-beda dari beberapa

peraturan di atas, maka dalam hal ini penulis menggunakan definisi anak

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.


2.2 Kerangka Berpikir

Gambar 2.1
Kerangka Berpikir

Tindak Pidana
Pelecehan Seksual
Terhadap Anak

Faktor Penyebab
Terjadinya
Pelecehan Seksual
Terhadap Anak

Proses Hukum

Pelaku Tindak
Pelecehan Seksual Korban

Hukum Preventif UU No 35 Tahun


2014 & UU No 39
& Tahun 1999
Pencegahan
Pelecehan Seksual
Terhadap Anak

Penurunan Kasus
Tindak Pidana
BAB III
Pelecehan Seksual

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

empiris. Hukum empiris merupakan hukum yang dianut oleh masyarakat. Sebab,

dalam hal ini secara nyata hukum yang ada benar-benar dijalani dan dijadikan

sebagai landasan oleh masyarakat. Dalam ilmu hukum jika dikaji dari segi
Hukum Preventif
penelitian maka hukum dapat dikaji dari dua sisi yakni sisi normatif dan sisi
&
Hukum
empirisnya. Preventif
Dalam penelitian dengan menggunakan metode hukum empiris
Pencegahan
& Pelecehan Seksual
penelitian hukum dilakukan untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau
Terhadap Anak
dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya
UU No hukum
35 Tahundi masyarakat.
2014 & UU No 39
Ciri dari penelitian hukum empiris adalah suatu penelitian yang beranjak dari
Tahun 1999
adanya kesenjangan antara teori dan realita. Penelitian hukum empiris didasarkan

pada kenyataan di lapangan atau melalui observasi pengamatan langsung, yang

artinya penelitian di lakukan untuk menemukan atau mengetahui fakta-fakta serta

data yang dibutuhkan terkumpul lalu dikonfersikan dengan identifikasi masalah

dan tentunya akan menuju pada penyelesaian masalah. Penelitian ini termasuk
kedalam penelitian hukum empiris karena hendak mengetahui perlindungan

hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana pelecehan seksual di wilayah

hukum Polres Buleleng.

3.2 Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriftif,

dimana deskriftif adalah salah satu jenis penelitian yang tujuannya untuk

menyajikan gambaran lengkap mengenai seting sosial atau dimaksudkan untuk

eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial,

dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah

dan unit yang diteliti antara fenomena yang diuji. Penelitian ini menggambarkan

tentang bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak

pidana pelecehan seksual di wilayah hukum Polres Buleleng.

3.3 Lokasi Penelitian

Lokasi dari penelitian ini yaitu di wilayah hukum Polres Buleleng. Loaksi ini

dipilih oleh peneliti karena Buleleng sebagai julukan Kota Pendidikan harusnya

merealisasikan pendidikan sebagai salah satu hak yang didapat oleh anak, bukan

malah mendapatkan perlakuan yang secara langsung menghambat pertumbuhan

anak tersebut dari segi mental.


3.4 Data dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum empiris data yang diteliti ada dua jenis yaitu data

primer dan data sekunder.

3.4.1 Data Primer

Data primer adalah sumber data penelitian yang diperoleh secara

langsung dari sumber aslinya yang berupa wawancara, jajak pendapat dari

individu atau kelompok (orang) maupun hasil observasi dari suatu obyek,

kejadian atau hasil pengujian (benda). Pada penelitian ini data primer

diperoleh secara langsung dari lapangan baik responden maupun informan

yang berkaitan dengan penelitian. Data penelitian ini bersumber dari

penelitian lapangan yang dilakkan di wilayah hukum Polres Buleleng.

Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan bahwa di Kabupaten Buleleng

dengan identitasnya sebagai Kota Pendidikan dimana sebagai anak

semestinya pokus untuk menuntut ilmu namun banyak anak yang menjadi

korban pelecehan seksual. Inilah yang menjadikan peneliti memlilih

Kabupaten Buleleng sebagai lokasi penelitian, dan tentunya sudah memenuhi

karakteristik sebagai tempat yang unik untuk dilakukan penelitian.

Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini terdari dari

peraturan prundang - undangan yang didapat dari UUD 1945, Kitab Undang

- Undang Hukum Pidana ( KUHP ), Kitab Undang - Undang Hukum Acara

Pidana, Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,

Undang - Undang No 74 Tahun 1974 tentang Kesejahteraan Anak, Undang -

Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


3.4.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh melalui

media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti

yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak

dipublikasikan secara umum. Dengan kata lain, peneliti membutuhkan

pengumpulan data dengan cara berkunjung ke perpustakaan, pusat kajian,

pusat arsip atau membaca banyak buku yang berhubungan dengan penelitian

serta dalam penelitian ini data akan diperoleh dari penelaahan studi

kepustakaan berupa karya ilmiah, peraturan perundang - undangan,

dokumentasi dari beberapa instansi dan data - data yang sudah

didokumentasikan dalam sumber hukum dan tentunya yang berhubungan

dengan masalah yang akan diteliti.

Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh

bersumber dari jurnal - jurnal dan hasil penelitian yang berkaitan dengan

perlindungan hukum terhadap tindak pidana pelecehan seksual.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Untuk melengkapi penelitian ini dalam pemenuhan data primer dan sekunder,

maka peneliti menggunakan tiga jenis pengumpulan data yang diantara lainnya

yaitu :

3.5.1 Teknik Studi Dokumen

Teknik ini dilakukan dengan menelaah bahan pustaka, hasil penelitian


berupa artikel-artikel terkait topik penelitian, peraturan perundang-undangan,

serta yang terpenting dokumentasi dari intasi yang terkait dengan tindak

pidana pelecehan seksual di wilayah hukum Polres Buleleng.

3.5.2 Teknik Wawancara

Teknik penelitian ini dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan

melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan masalah

yang nantinya akan dibahas dalam pembahasan. Pemilihan informan sebagai

sumber data dalam penelitian ini berdasarkan pada aspek penguasaan subyek,

memiliki data, dan tentunya bersedia memberikan informasi secara lengkap

dan tepat. Yang akan menjadi informan yaitu subyek yang memiliki peranan

yang vital dalam menunjang penelitian ini, yaitu pejabat atau aparat penyidik

dari reskrim Polres Buleleng atau penyidik pembantu pada Perlindungan

Perempuan dan Anak (PPA) di Polres Buleleng dan Kepala Seksi Tindak

Pidana Umum di Kejaksaan Negeri Buleleng.

3.5.3 Teknik Observasi

Teknik Observasi adalah pengamatan dan pencatatan suatu objek

dengan sistematika fonemena yang diselidiki.. Teknik observasi yang

dilakukan peneliti yaitu teknik observasi langsung, dimana peneliti

melakukan pengamatan secara langsung kondisi yang sebenarnya bagaimana


gejala yang ada dalam masyarakat Buleleng.

3.6 Pengolahan Data dan Analisis Data

Penelitian ini diolah dan dianalisis secara kualitatif dimana data yang

disajikan bukan dalam bentuk angka melainkan data-data yang wujudnya dalam

bentuk kata-kata dengan penyusunan yang sistematis. Langkah-langkah dari

analisis kualitatif yaitu data yang terkumpul diolah yang selanjutnya akan di

kategorikan atau diklasifikasikan dengan data lain, lalu dilakukan interpretasi

unutk memahami kondisi sosial yang terjadi di masyarakat, setelah itu dilakukan

penafsiran dari prespektif peneliti setelah memahi seluruh kualitas data, setelah

dilakukan analisis kualitatif maka data akan disajikan secara deskriftif kualitatif

yang sitematis.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Hasil Penelitian

Kabupaten Buleleng berada di belahan Utara Pulau Bali, memanjang

dari Barat ke Timur dengan batas-batas di sebelah Barat Kabupaten

Jembrana, disebelah Selatan Kabupaten Tabanan, Badung, dan Bangli serta

dibagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Karangasem, sedangkan

disebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa dan Bali. Kabupaten Buleleng

memiliki luas wilayah 1.365,88 km2 atau 24,25% dari luas Provinsi Bali,

dengan panjang pantai kurang lebih 157 Km. Dimana secara administrasi

Kabupaten Buleleng terdiri dari 9 Kecamatan, 129 Desa, 19 Kelurahan, dan

169 Desa Adat. Letak Kabupaten Buleleng secara geografis berada pada

posisi 8o,03’ 40’’-8o,23’00’’ Lintang Selatan dan 114o,25’ 55’’- 115o27’ 28”

Bujur Timur.(https://bulelengkab.bps.go.id).

Kondisi perekonomian di Kabupaten Buleleng setiap tahunnya

mengalami peningkatan, terdapat banyak sektor yang menjadi penunjang


peningkatan perekonomian di Kabupaten Buleleng diantaranya sektor

pariwisata, sector pertanian, sector perkebunan, sector industri dan masih

banyak lagi. Kegiatan perekonomian yang dilakukan di Kabupaten Buleleng

tidak selalu berjalan mulus. Terdapat banyak kasus kerugian Pelecehan

seksual yang dialami oleh anak di bawah umur yang diakibatkan oleh pelaku

secara sengaja maupun tidak sengaja. Kerugian tersebut terdiri dari materiil

dan immateriil.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Pelecehan Seksual

Terhadap Anak Di Wilayah Hukum Polres Buleleng

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa

kejahatan dapat terjadi tidak dengan begitu saja melainkan disebabkan

oleh beberapa hal tergantung pada jenis kejahatan yang terjadi. Pada

pembahasan skripsi ini, penulis akan mengkaji terkait dengan faktor-

faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan pelecehan seksual. Untuk

mengetahui faktor mendorong atau penyebab sesorang melakukan

kejahatan, kita meninjau hal-hal yang terdapat dalam kriminologi. Karena

kriminologi sebagai gejala masyarakat. Kejahatan Pelecehan seksual

sangat banyak terjadi dikalangan masyarakat yang bentuk pelecehan

seksualnya baik dalam bentuk visual, verbal, dan fisik. Sebelum

melakukan penelitian, penulis berhipotesis bahwa faktor pendorong

terjadinya kejahatan pelecehan seksual disebabkan oleh adanya berbagai

faktor, antara lain dipengaruhi oleh faktor dari luar lingkungan (eksternal)
dan faktor dari dalam lingkungan diri pelaku sendiri (internal), misalnya

pergaulan bebas, semakin berkembangnya tekhnologi canggih, dan

peranan korban itu sendiri dalam hal berpakaian yang tidak wajar

sehinggah mengundang nafsu seksual seseorang yang melihatnya.

Dalam pembahasan ini, penulis akan mengkaji mengenai

pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual.

Sebelum melakukan pengkajian lebih lanjut, penulis akan memaparkan

data tindak pidana pelecehan seksual yang terjadi dalam kurun waktu

tahun 2016 sampai dengan 2019. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

pada tempat di Polres Buleleng, penulis memperoleh data mengenai

tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak yang terjadi di Kabupaten

Buleleng dalam kurun waktu tahun 2016-2019, seperti terlampir pada

table dibawah ini:

Tabel 1
Jumlah Kasus Tindak Pidana Pelecehan Seksual di Polres Buleleng
Tahun 2016-2019

No Jenis Tindak Pidana 2016 2017 2018 2019


Pelecehan Seksual
1 Tindak Pidana 4 8 4 10
pencabulan
2 Tindak Pidana 5 8 9 12
persetubuhan
3 Tindak Pidana 3 4 8 10
kekerasan
4 Tindak Pidana 3 5 8 -
melarikan Anak gadis
Jumlah 15 25 29 32

Sumber Data: Sat Reskrim Unit Pemberdayaan Perempuan dan Anak Polres
Buleleng
Berdasarkan data pada tabel 1 di atas dapat dilihat bahwa jumlah

pelecehan seksual yang terjadi tiap tahunnya cenderung meningkat tiap

tahunnya, yakni, pada tahun 2016 terdapat 15 kasus yaitu 4 kasus tindak

pidana pelecehan seksual pencabulan, 5 kasus tindak pidana

persetubuhan, 3 kasus tindak pidana kekerasan dan 3 kasus melarikan

anak di bawah umur/gadis. Pada tahun 2017 terdapat 25 kasus yaitu 8

kasus tindak pidana pencabulan, 8 kasus pidana persetubuhan, 4 kasus

kekerasan dan 5 kasus melarikan anak gadis . Pada tahun 2018 menjadi

29 kasus saja yaitu 4 kasus tindak pidana pencabulan, 9 kasus

persetubuhan, 8 kasus kekerasan dan 8 kasus melarikan anak gadis. Pada

tahun 2019 meningkat tetapi jenis tidak ada sama sekali kasus tindak

pidana melarikan anak gadis, dengan kasus tindak pidana pencabulan 10,

kasus persetubuhan 12, dan kasus kekerasan berjumlah 10.

Jumlah keseluruhan tindak pidana pelecehan seksual yang terjadi di

kota Singaraja dalam kurun waktu 4 tahun terakhir sejak 2016 sampai

tahun 2019 yakni terdapat 101 kasus. Dari data tersebut dapat

disimpulkan bahwa kasus tindak pidana pelecehan seksual tiap tahunnya

terjadi pningkatan meskipun tidak terlalu signifikan.Namun tingkat

pelecehan seksual dikategorikan jumlah yang cukup banyak. Maraknya

pelecehan seksual yang terjadi di sekeliling kita dipengaruhi oleh

beberapa faktor penyebab.

Pada penelitian ini dalam bentuk wawancara di Kepolisian Resort

Polres Buleleng. Wawancara yang dilakukan dengan Ibu Cening


Swantari S.H, selaku Kepala Sub Unit Perlindungan Perempuan dan

Anak. Pada wawancara tersebut penulis mempertanyakan terkait faktor-

faktor yang mempengaruhi tindak pidana pelecehan seksual, beliau

mengemukakan bahwa :

Terkait kasus tindak pelecehan seksual yang marak terjadi, ada


banyak faktor yang menjadi penyebab terjadinya pelecehan
seksual tersebut. Yang paling banyak terjadi karena mereka suka
sama suka dalam artian mereka menjalin suatu hubungan
(berpacaran), faktor perkembangan tekhnologi yang semakin
canggih,faktor alkohol yang membuat pelaku tidak bisa
menahan hawa nafsunya dikarenakan pengaruh dari minuman
alkohol tersebutdan yang paling penting kurangnya pemahaman
mereka terhadap hukum.

Menanggapi hasil wawancara tersebut di atas, menurut Ibu Ibu Cening

Swantari S.H Selaku Kepala Sub Unit Perlindungan Perempuan dan Anak,

menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak

pidana pelecehan seksual karena adanya beberapa hal yakni sebagai berikut :

a. Pergaulan bebas

b. Faktor lingkungan

c. Perkembangan tekhnologi yang semakin canggih

d. Faktor alcohol

Selain dari itu, penulis juga melakukan wawancara dengan pelaku tindak

pidana pelecehan seksual. Melalui wawancara dengan narapidana pelecehan

seksual, berikut hasil wawancara yang penulis dapatkan :

Tabel 2

Hasil Wawancara Narapidana Tind.P. Pelecehan Seksual pada Lembaga


Pemasyarakatan Klas I Mks

No Nama Umur Pekerjaan Alasan Melakukan


Pelecehan Seksual
1 Adi 35 W.Swasta Pergaulan Bebas
2 Endra 40 Buruh Faktor lingkungan
3 Risky 43 Pedagang Kurang paham
terhadap hukum
4 Alwih 51 Swasta Teknologi,HP
5 Siahaan 47 Buruh Pergaulan Bebas

Menanggapi hasil wawancara tersebut di atas, para pelaku pelecehan

seksual menyatakan bahwa yang mempengaruhi mereka melakukan

pelecehan seksual sebagaimana hasil penelitian penulis sebelumnya hampir

sama.

Berdasarkan dari keseluruhan hasil pembahasan di atas dapat

disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan

pelecehan seksual sebagai berikut :

a. Pergaulan bebas yang membuat pelaku terbiasa dengan keadaan

disekelilingnya.

b. Faktor lingkungan yang memberikan banyak pengaruh dalam bentuk

tingkah laku kriminal, sebab pengaruh sosialisasi seseorang tidak akan

lepas dari pengaruh lingkungan.

c. Kurangnya pemahaman terhadap hukum sehinggah banyak orang

melakukan sesuatu tanpa mengetahui dampak yang ditimbulkan dari

akibat suatu perbuatannya.

d. Perkembangan tekhnologi yang semakin canggihpenyebab terjadinya

suatu kejahatan pelecehan seksual karena semakin canggihnya tekhnologi

sehinggah semua orang.


Dari data tersebut dapat diamati bahwa selama empat tahun terakhir

kasus tindak pidana pelecehan seksual terhadap anak di Polres Buleleng

berada pada tren peningkatan jumlah kasus, artinya kasus tindak pidana

pelecehan seksual pada anak masih menjadi masalah yang perlu

perhatian dan penanganan secara serius khususnya dari pihak yang

diberikan wewenang oleh undang-undang.

Menurut keterangan Ibu Cening Swantari S.H, dari total 96 kasus

yang terlapor pada Unit PPA Polres Buleleng, bahwa hanya 35 (tiga

puluh lima) kasus yang lanjut ke tahap pengadilan karena 61 kasus

lainnya di selesaikan diluar pengadilan, dalam hal ini pihak korban dan

pelaku sepakat untuk menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan

akan tetapi ada beberapa perjanjian yang harus disepakati oleh pelaku.

Pelaku di minta untuk menandatangani surat perjanjian yang memuat

bahwa pelaku harus menikahi korban pada saat korban telah berumur 18

tahun dan pelaku diminta untuk membayar restitusi senilai

Rp.10.000.000.00 (Sepuluh Juta Rupiah) kepihak keluarga korban.

Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap Kepala Unit

Perlindungan Perempuan dan Anak Polres Buleleng yang beralamat di

Jalan Pramuka No.1 Singaraja pada hari selasa tanggal 02 Juni 2020, Ibu

Cening Swantari S.H menjelaskan mengenai perlindungan hukum

terhadap anak pelecehan seksual dilaksanakan berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan. Beliau mengatakan bahwa:

Segala bentuk perlindungan hukum terhadap anak korban tindak


pidana pelecehan seksual terhadap anak dilaksnakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Dalam proses
pelaksanaannya melipatkan berbagai pihak. Anak korban tindak
pidana pelecehan seksual mendapatkan segala hak-haknya dan
memperoleh perlindungan sesuai kebutuhan anak korban.

Menanggapi hasil wawancara tersebut diatas, menurut Ibu Cening

Swantari S.H selaku Kepala Unit PPA di Polres Buleleng, menyatakan

bahwa perlindungan hukum yang diberikan kepada anak korban

pelecehan seksual yakni sebagai berikut:

a. Identitas korban dirahasiakan

b. Dalam proses pemeriksaan, korban tidak di datangkan langsung

kekantor polisi, melainkan korban di datangi langsung di

rumahnya.

c. Bantuan medis, dalam hal ini pihak kepolisian mendampingi

untuk dilakukan Visum Et Repertum.

d. Anak korban tindak pidana pelecehan seksual memperoleh segala

bentuk perlindungan sesuai dengan kebutuhannya.

Selain dari itu, penulis juga melakukan wawancara dengan

pelaku kejahatan pelecehan seksual. Melalui wawancara dengan

narapidana kejahatan pelecehan seksual, berikut hasil wawancara

yang penulis dapatkan :

4.2.2 Upaya Yang Dilakukan Unit PPA Polres Buleleng Dalam Hal

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak

Pidana Pelecehan Seksual.


Perlindungan terhadap anak untuk mendapatkan perlakuan dan

kesempatan yang sesuai dengan kebutuhannya dalam berbagai bidang

kehidupan, sehingga dalam memberikan perlindungan hukum terhadap

anak oleh pemerintah harus didasarkan pada Prinsip Hak Anak yaitu

penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas hak anak. Pemerintah

telah mengesahkan UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak. Perlindungan anak yang dilakukan berdasarkan prinsip

nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, tumbuh

dan berkembang. Pengertian Anak Menurut UURI No 35 Tahun 2014

Tentang Perubahan Atas UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perlindungan Anak dalam Pasal 1 Angka 1 yaitu seseorang yang belum

berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam

kandungan. Itu artinya, sebagian pemuda yaitu seseorang yang berusia 16-

30 berdasarkan UURI Nomor 40 Tahun 2009 Tentang Kepemudaan,

masih bisa dikategorikan sebagai anak.

Menanggapi hasil wawancara tersebut diatas, menurut Ibu Cening

Swantari S.H selaku Kepala Unit PPA di Polres Buleleng, menyatakan

bahwa kerja sama yang dilakukan dalam perlindungan hukum kepada

anak korban pelecehan seksual adalah :

a. Pekerja Sosial

Peran pekerja sosial adalah berupaya untuk membuat individu,

kelompok, dan masyarakat dapat berfungsi secara sosial disertai dengan

penerapan kemampuan mendasar, yaitu pengetahuan, keahlian, dan nilai


yang akan membentuk pribadi dari pekerja sosial dalam melaksanakan

pendekatan terhadap kliennya. Peran pekerja sosial adalah sebagai

berikut.38

1. Peran sebagai penghubung. Pekerja sosial menghubungkan klien

dengan sistem sumber yang diperlukan

2. Peran sebagai pemungkin. Pekerja sosial berperan sebagai konselor

dengan berupaya untuk memberikan peluang agar kepentingan dan

kebutuhan klien tidak terhambat.

3. Peran sebagai mediator. Pekerja sosial sebagai penengah antara klien

dengan pihak yang berkonflik

4. Peran sebagai advokat. Pekerja sosial berupaya untuk melindungi

hak-hak dan kepentingan klien serta menyediakan pelayanan yang

dibutuhkan, dan mengembangkan program.

5. Peran sebagai perunding. Peranan ini muncul ketika pekerja sosial

dan klien mulai bekerja sama. Ini merupakan kolaborasi antara klien

dan pekerja sosial yang menggunakan pendekatan pemecahan

masalah.

6. Peran sebagai pelindung. Pekerja sosial berusaha melindungi klien

dari orang-orang yan berisiko terhadap kehidupan sosialnya

38
Suharto, E. (2010). Pendidikan dan Praktek Pekerjaan Sosial di Indonesia. Bandung: STKS
Press.
7. Peran sebagai fasilitator. Pekerja sosial membantu klien untuk dapat

berpartisipasi, berkontribusi, mengikuti keterampilan baru, dan

menyimpulkan apa yang telah dicapai klien.

8. Peran sebagai inistiator. Pekerja sosial memberikan perhatian pada

masalah atau hal-hal yang berpotensi menjadi masalah.

b. Dokter Psikeater

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

Pasal 133 ayat 1 dan 2:17

1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang

korban, baik luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena

peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan

permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau

dokter dan atau ahli lainnya.

2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan

tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau

pemeriksaan bedah mayat.

Berdasarkan KUHAP tersebut, setiap dokter wajib untuk dapat

membuat keterangan untuk keperluan peradilan jika diminta oleh

penyidik. Keterangan tersebut berupa visum et repertum. Secara definisi,

visum et repertum merupakan keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter,

berisi temuan dan pendapat berdasarkan keilmuannya tentang hasil

pemeriksaan medis terhadap manusia atau bagian tubuh manusia, baik


yang hidup maupun mati, atas permintaan tertulis (resmi) dari penyidik

yang berwenang yang dibuat atas sumpah atau dikuatkan dengan sumpah

untuk kepentingan peradilan.39

Dalam penulisan visum et repertum, pada bagian pemberitaan berisi

data objektif/temuan pada korban. Bagian ini memuat temuan dokter

dalam anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang dan riwayat

perawatan yang memiliki data objektif. Dalam pembuatan visum et

repertum kasus pelecehan seksual, pada bagian kesimpulan berisi resume

singkat kasus dengan interpretasi adanya tanda-tanda persetubuhan pada

korban.40

Secara umum, anamnesis yang perlu dilakukan adalah mengenai

detail kejadian pelecehan seksual yang dialami oleh korban, riwayat

pelecehan seksual sebelumnya, gejala-gejala dari komplikasi yang

mungkin timbul akibat dari pelecehan seksual yang dialami, dan riwayat

menstruasi terutama pada korban anak yang dalam rentang usia pubertas.

Anamnesis perlu dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang

disesuaikan dengan usia korban. Saat melakukanan amnesis, dokter perlu

menunjukkan rasa empati, bersikap suportif, tidak menanyakan

pertanyaan-pertanyaan yang sugestif, menunjukkan emosi seperti kaget

atau tidak percaya, dan lebih banyak mendengarkan korban. Dokter tidak

boleh memiliki penilaian sebelum dikonfirmasi oleh korban. Oleh karena

39
Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2016.
40
Safitry O. Mudah membuat visum et repertum kasus luka.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2016.
itu, dokter tidak perlu ragu untuk menanyakan kejadian pelecehan secara

detail, misalnya menanyakan apakah pelaku memegang-megang

kemaluan korban, dihisap, dijilat, atau digigit, atau apa yang telah korban

lakukan atas permintaan pelaku.

Dokter dapat membina hubungan dengan anak sebelum menanyakan

hal-hal mengenai pelecehan seksual dengan cara membicarakan hal-hal

yang disukai anak, seperti binatang peliharaan, hobi, atau teman. Jika

memungkinkan, saat dilakukan anamnesis dengan korban, orang tua tidak

dilibatkan agar penuturan korban tidak terpengaruh atau terganggu dengan

kehadiran orang tua.4142

Pada anak laki-laki, pemeriksaan dilakukan dengan melakukan

inspeksi genitalia eksterna meliputi penis dan skrotum untuk mencari

tanda-tanda adanya trauma atau luka. Pemeriksaan anus dilakukan

denganinspeksi eksterna dan inspeksi sfingter anal dengan posisi anak

supine dan lutut pada dada (posisi cannonball). Pemeriksaan anoskopi

atau colok dubur tidak rutin dilakukan.

Berdasarkan keterangan Ibu Cening Swantari S.H selaku Kepala Unit

PPA di Polres Buleleng Temuan-temuan yang disebabkan oleh trauma

dan atau kontak seksual antara lain:43

41
Kellogg N. The evaluation of sexual abuse in children. Pediatrics. 2005;116(2):506-512
42
Jenny C, Crawford-Jakubiak JE, Committee on Child A,Neglect, American Academy of P.
The evaluation of childrenin the primary care setting when sexual abuse is
suspected.Pediatrics. 2013;132(2):e558-567
43
Adams JA, Kellogg ND, Farst KJ, et al. Updated Guidelines for the Medical Assessment and
Care of Children Who May Have Been Sexually Abused. J Pediatr Adolesc Gynecol.
2016;29(2):81-87.
a) Laserasi akut atau lebam pada labia, penis, skrotum, jaringan

perianal, atau perineum.

b) Laserasi akut pada fourchette posterior, tidak melibatkan hyme.

c) Bekas luka pada perianal.

d) Bekas luka pada fourchette posterior atau fossa

e) Lebam, petekiae, atau abrasi hymen.

f) Laserasi akut himen parsial atau komplit

g) Laserasi vagina.

h) Laserasi perianal dengan tampak jaringan di bawah dermis.

i) Bekas transeksi himen atau celah himen komplit di antara arah jam

4 dan jam 8 yang meluas hingga basis hymen.

j) Defek di separuh bawah himen tanpa ada jaringan himen yang

ditemukan.

Dari hasil wawancara dengan Ibu Cening Swantari S.H Pemeriksaan

penunjang yang dilakukan oleh dokter psikeater pada korban kasus

pelecehan seksual antara lain pemeriksaan semen untuk membuktikan

adanya kontak seksual serta pemeriksaan untuk penyakit menular seksual,

seperti infeksi Neisseria gonorrheae, sifilis, Chlamidia trachomatis,

Trichomonas vaginalis, dan HIV. Pada pemeriksaan semen, selain untuk

menunjukkan adanya kontak seksual, dapat juga dilakukan pemeriksaan

DNA untuk mencari pelaku, terutama bila pelaku tidak diketahui.

Pemeriksaan semen paling baik dilakukan dalam 24 jam setelah kontak


seksual, namun padaanak remaja dapat dilakukan hingga 72 jam setelah

kontak.

Dalam UURI no. 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UURI nomor. 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 69 A menyebutkan “Perlindungan

Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:

a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan

b. Rehabilitasi social

c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan,dan

d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat

pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan

pemeriksaan disidang pengadilan.

Berdasarkan hasil wawancara penulis terhadap Kepala Unit Perlindungan

Perempuan dan Anak Polres Buleleng yang beralamat di Jalan Jl. Pramuka No.1,

Banjar Jawa, Kec. Buleleng, pada hari selasa tanggal 02 Juni 2020, Ibu Cening

Swantari S.H menjelaskan mengenai proses perlindungan hukum terhadap anak

pelecehan seksual dilaksanakan berdasar pada peraturan perundang-undangan.

Menurut Ibu Cening Swantari S.H selaku Kepala Unit PPA di Polres Buleleng

mengatakan adapun perlindungan menjadi hak-hak anak korban tindak pidana

pelecehan seksual sebagai berikut :

1. Memberikan Bantuan Hukum

Menurut Ibu Cening Swantari S.H selaku Kepala Unit PPA di

Polres Buleleng mengatakan bahwa peranan bantuan hukum kepada


seorang korban tindak pidana sangat diperlukan terutama bagi anak

korban pelecehan seksual , karena pada seorang anak yang berhadapan

dengan penegak hukum misalnya penyidik, jaksa, ataupun hakim

kemungkinan akan merasa takut mengemukakan semua hal yang

dialaminya selaku korban. Pemberian bantuan hukum terhadap korban

kejahatan haruslah diberikan baik diminta ataupun tidak diminta oleh

korban. Hal ini penting untuk dilakukan mengingat masih rendahnya

tingkat kesadaran hukum dari sebagian besar korban yang menderita

kekerasan ini. Sikap membiarkan korban kejahatan tidak memperoleh

bantuan hukum yang layak dapat berakibat pada semakin terpuruknya

kondisi korban kejahatan.44

Ibu Cening Swantari S.H selaku Kepala Unit PPA di Polres

Buleleng menjelaskan dalam Pasal 59 A yaitu Perlindungan Khusus bagi

Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dilakukan melalui

upaya:

a) Penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi

secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan

gangguan kesehatan lainnya.

b) Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan.

c) Pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga

tidak mampu.

d) Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap

proses peradilan.
44
Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom. Op.cit. hal.147.
Ibu Cening Swantari S.H mengatakan UURI Perlindungan Anak

menegaskan secara limitatif bahwa korban berhak mendapat bagi korban

dari keluarga tidak mampu. Semestinya kata “berhak” diganti menjadi

kata “wajib”, sehingga bermakna sebagai perintah kepada pejabat yang

terlibat dalam perlndungan hukum bagi anak korban kejahatan kekerasan

seksual untuk mencari penasihat hukum.

Berbeda dengan korban yang kepentingan telah diwakilkan kepada

jaksa, sehingga dalam prakteknya korban jarang didampingi penasihat

hukum. Tetapi khusus bagi anak korban kejahatan berhak mendapat

bantuan hukum, sekalipun kepentingannya telah diwakilkan oleh jaksa.

Sangat kurang anak korban kejahatan kekerasan seksual didampingi oleh

penasihat hukum, tetapi semua korban pada proses pemeriksaan tetap

mendapatkan pendampingan dan hakim yang mempimpin persidangan

selalu menanyakan baik kepada penuntut umum dan juga kepada korban,

bahkan hakim sering menunda persidangan jika pendamping korban tidak

hadir.

Di dalam Pasal 64 yaitu perlindungan khusus bagi anak yang

berhadapan dengan hukum dalam konteks anak sebagai korban maka

terdapat beberapa poin yang penting untuk diperhatikan, sebagaimana

dimaksud pada 59 ayat (2) huruf b dilakukan melalui :

a) Perlakuan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan

sesuai dengan umurnya.

b) Pemisahan dari orang dewasa.


c) Pemberian bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif.

d) Pemberlakuan kegiatan rekreasional.

e) Pembebasan dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan lain

yang kejam, tidak manusiawi serta merendahkan martabat dan

derajatnya.

f) Pemberian pendampingan Orang Tua/Wali dan orang yang

dipercaya oleh Anak

g) Pemberian advokasi sosial.

h) Pemberian aksesibilitas, terutama bagi Anak Penyandang

Disabilitas.

i) Pemberian pendidikan.

j) Pemberian pelayanan kesehatan dan

k) Pemberian hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan.

2. Rehabilitasi

Secara Represif, diperlukan perlindungan hukum berupa pemberian

restitusi dan kompensasi bertujuan mengembalikan kerugian yang dialami

oleh korban baik fisik maupun psikis, sebagaimana diatur dalam Pasal 98

sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Konseling diberikan kepada anak

sebagai korban pelecehan seksual yang mengalami trauma berupa

rehabilitasi. Terhadap pelecehan pada psikis selain pemulihan kesehatan

mental, juga pemulihan fisik jika korban menderita fisik misalnya pada

korban kejahatan kekerasan seksual yang biasanya tidak hanya


mengakibatkan/menimbulkan luka fisik tapi juga menderita tekanan

psikologis, sehingga memerlukan pemulihan psikologis dengan

memberikan bimbingan konseling hingga anak kembali pulih.

Menurut Ibu Cening Swantari S.H Rehabilitasi anak sudah diatur

dalam Peraturan Departemen Sosial (selanjutnya disingkat Depsos)

Republik Indonesia Tahun 2004 : 4 tentang Lembaga Kesejahteraan

Sosial Anak (selanjutnya disingkat LKSA). Dalam depsos, LKSA adalah

lembaga atau tempat pelayanan sosial bagi yang melaksanakan

penyelenggaraan kesejahteraan sosial bagi Anak.

Secara teknis upaya rehabilitasi merupakan suatu upaya untuk

memulihkan kondisi psikologis anak sebagai korban kekerasan seksual,

adanya kekekhawatiran terhadap trauma yang bias mempengaruhi

perkembangan psikologis dalam jangka waktu yang lama. Salah satu hal

teknis yang bisa dilakukan adalah dengan persuasif dengan cara

rekreasional atau memberikan hiburan kepada anak korban kekerasan

seksual, pebentukan pola pikir positif yang lebih berorientasi masa depan,

penghindaran publikasi atas identitasnya dengan niat menghindari

penilaian negatif atas peristiwa yang telah dialami.

3. Pencegahan

Pencegahan merupakan dimensi preventif dari pelaku kejahatan.

Jika preemtif mencegah niat pelaku kejahatan melalui internalisasi nilai-

nilai dan norma sosial, maka preventif mencegah kesempatan pelaku

kejahatan melalui perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras


bisa berupa penegak hukum dan infrastuktur hukum, sementara perangkat

lunak bisa berupa instrumen hukum berupa aturan perundang-undangan.

UURI Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban

orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan

rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi

terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus

berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan

perkembangan anak, baik fisik, mental, spritual maupun sosial.

Dari hasil wawancara penulis dengan AKBP I Made Sinar Subawa,

S.I.K.,N.H bagian Hukum Polrestabes polres Buleleng pada hari senin 11

Mei pukul 11.30 bahwa :

“Dalam upaya pencegahan tindak kekerasan Seksual maka pihak


Kepolisian dalam upaya preventif, berkoordinasi dengan stake
holder yang memiliki kewenangan yang sama dalam hal ini
Pemerintah Kota Singaraja melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan
dan Perindungan Anak dengan melakukan pembentukan satuan
pelayanan mulai dari tiap kecamatan untuk sosialisasi perlindungan
anak dari semua tindak kekerasan termasuk kekerasan seksual
termasuk dalam upaya penanganan yang mencoba menerapkan
pendekatan restorative justice, suatu pendekatan yang
menitikberatkan pemulihan psikologis anak korban kekerasan
seksual”.

Dari hasil wawancara tersebut penulis mengamati bahwa dalam

penanganan pelecehan seksual terhadap anak dibutuhkan partipasi dan

peran aktif antara pihak dalam upaya pencegahan baik upayaupaya

preventif atau pencegahan maupun upaya-upaya represif atau pada ranah

penindakan.
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau

yang berhadapan dengan hukum berhak untuk dirahasiakan bantuan

hukum dan bantuan lainnya juga berhak didapatkan oleh anak yang

menjadi korban atau pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan tindak

pidana pelecehan seksual terhadap anak dianalisis lebih lanjut sebagai

berikut:

Pasal 81 UURI No.35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,

menyatakan bahwa:

1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara

paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas)

tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah).

2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja

melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau

membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain.

3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik,

atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada

ayat (1).
Proses peradilan pidana anak merupakan suatu proses yuridis dimana

hukum di tegakkan dengan tidak mengesampingkan kebebasan

mengeluarkan pendapat dan pembelaan dimana keputusanya diambil dengan

mempunyai suatu motivasi tertentu. Oleh karena itu perlindungan anak perlu

diusahakan suatu kondisi di mana setiap anak dapat melaksanakan hak dan

kewajibanya, dan sedapat mungkin harus di usahakan dalam berbagai bidang

kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Memberikan hak-hak anak dan

kewajiban ini tentunya termasuk pula terhadap anak yang berhadapan dengan

hukum.

Menurut John Rawls, subyek keadilan bergantung pada penerapan hak

dan kewajiban. Bahwa keadilan adalah penuntasan hak dan kewajiban.Hak

adalah segala sesuatu yang harus diberikan kepada Anda. Sementara

kewajiban adalah segala sesuatu yang harus Anda berikan kepada pihak lain.

Maka manusia yang adil haruslah melakukan kewajibannya dengan

memberikan hak pihak lain, dan menerima haknya dari kewajiban pihak lain

atas dirinya. Pihak lain yang dimaksud bias berupa manusia, kumpulan

manusia (masyarakat), Negara, alam semesta, bahkan Tuhan. Penuntasan hak

asasi manusia yang selaras dengan kewajiban asasi manusia kemudian

melahirkan keadilan asasi manusia

Keadilan yang merupakan penuntasan hak dan kewajiban meliputi

keadilan pada diri sendiri, utamanya keadilan sosial. Saking pentingnya,

keadilan sosial dimaktubkan pula dalam salah satu Sila dalam Pancasila yang

merupakan Dasar Negara Republik Indonesia. Perlindungan hak-hak anak


dan kewajiban anak, bukan hanya amanat UURI Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perlindungan Anak, tetapi lebih mendasar dari itu, yakni amanat

Pancasila yang berupaya menegakkan keadilan sosial, termasuk pada anak

sebagai masa depan bangsa dan negara.

Menurut penulis bentuk perlindungan hukum bagi anak korban

pelecehan seksual seperti memberikan bantuan hukum, rehabilitasi dan

pencegahan belum sepenuhnya optimal, hal ini terlihat dari anak sebagai

korban kejahatan kekerasan seksual belum sepenuhnya mendapatkan bantun

hukum pada tingkat penyidikan, penuntutan, sampai pada tingkat peradilan

masih sering terabaikan dan tidak didampingi oleh penasehat hukum serta

belum optimalnya rehabilitasi yang diberikan kepada anak sebagai korban

pelecehan kekerasan seksual yang masih menyisahkan tauma yang

berkepanjangan, dan pencegahan yang belum optimal terlihati dari jumlah

anak yang menjadi korban pelecehan seksual yang dari tahun ke tahun

semakin meningkat.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, maka penulis menarik beberapa kesimpulan;

1. Faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan pelecehan

seksual di kota Makassar adalah :

a. Pergaulan Bebas

b. Faktor alkohol

c. Lingkungan / tempat tinggal

d. Faktor perkembangan tekhnologi yang semakin canggih

e. Faktor kurangnya pemahaman terhadap hukum

f. Peranan korban

2. Bahwa bentuk perlindungan hukum terhadap anak dalam UURI

Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yaitu dengan cara memberikan

hak-hak anak. Hak asasi anak merupakan derivasi dari berbagai dimensi
Hak Asasi Manusia yang tertera dalam aturan perundang-undangan.

Mengenai hak anak sebagai korban dalam hal akses terhadap pemenuhan

hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan

kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial sebagai upaya pemulihan

terhadap kondisi anak sebagai korban kekerasan seksual yang memiliki

trauma jangka panjang. Yang menjadi hak bagi anak dalam mendapatkan

perlindungan hukum korban kejahatan kekerasan seksual yaitu

memberikan bantuan hukum, rehabilitasi, dan pecegahan.

5.2 Saran

Adapun rekomendasi atau saran yang ditawarkan oleh penulis mengenai

perlindungan anak sebagai korban atas kejahatan sosial, antara lain ;

1. Agar kiranya pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintahan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan

secara terus menerus, terintegrasi dan terkoordinasi antara lembaga yang

memiliki wewenang dalam upaya pelaksanaan pemenuhan hak anak

khususnya anak korban kekerasan seksual demi terlindunginya hak-hak

anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna

menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental,

spritual maupun sosial.

2. Agar perlindungan hukum terhadap anak khususnya anak sebagai korban

kejahatan seksual berjalan efektif dan efisien maka diperlukan


DAFTAR PUSTAKA

1.1 Dari Buku

Darwan Prianst. 2003. Hukum Anak Indonesia. PT Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Faizin, Abdul. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Koeban Kekerasan

Seksual. Salatiga, 2010.

Gosita, Arief. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Akademi Pressindo,

Jakarta.

Gosita, Arief. 1996. Masalah Korban Kejahatan. CV. Akademika Pressindo,

Jakarta.

Gosita, Arief. 2006. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: PT Buana Ilmu

Populer. Kelompok Gramedia.

Gultom, Maidin. 2012. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan

Perempuan. Bandung: Refika Aditama.

Hamzah. 1986. Hukum pidana. Surabaya.

Huraerah. 2006. Kekerasan Terhadap Anak. Nuansa. Bandung

Lamintang, P.A.F. 1997. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung:

PT Citra AdityaBakti.

Makarao, Mohammad Taufik, dkk. 2013. Hukum Perlindungan Anak Dan

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Rineka Cipta,

Jakarta, 2013.

Mansur, Didik M. Arif, Elsataris Gultom. 2007. Urgensi

PerlindunganKorban Kejahatan AntaraNorma Dan Realita. Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada.

Mertokusumo, Mertokusumo, Sudikno. 1991. Mengenal Hukum (Suatu

Pengantar). Yogyakarta: Liberty.

Muchlin. 2003. Perlindungan hukum Represif. Jakarta

Muladi. 2005. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana.

Badan Penerbit UniversitasDiponegoro. Semarang

Mulyadi. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminilogi dan Viktimologi.

Jakarta

N-hriana. 2011. Hukum dan Keadilan Masyarakat. Setara Press

Nandang Sambas. 2013 Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen

International Perlindungan Anak Serta Penerapannya. Graha Ilmu.

Yogyakarta: 2013.

Philipus M.Hadjon. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Bina

Ilmu, Surabaya.

Prakoso. 2013. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta

Prameswari. 2017. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. PT

Raja Grafindo Persada.Jakarta

Raharjo. 2000. lmu Hukum. PT. Cipta Aditya. Semarang

Sahetapy, J.E. 1983. Kejahatan Kekerasan Suatu Pendekatan Interdisipliner.

Sinar Wijaya, Surabaya

Soesilo, R. 1985. Kriminologi (Pengetahuan Tentang Sebab-Sebab

Kejahatan). Bogor: Politeia.

Sowaidy, Zulkhair Sholeh. 2001. Dasar Hukum Perlindungan Anak. Jakarta:


CV. Novindo Pustaka Mandiri.

Soekanto, 2004. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian

Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Rajawali Press.

Soekanto. 2012, Pengantar Penelitian Hukum. UI Press, Jakarta.

Waluyo. 2012. Hukum Pidana. PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Winarsunu. 2008. Pelecehan Seksual. Jakarta: PT Cipta Abadi

1.2 Dari Artikel

Arifah. (2017). Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak

Pidana Pelecehan Seksual (Studi Kasus Di Polda DIY ).

Baskoro, Lestantya R. (2018). Pelecehan Seksual dalam Hukum Kita

(Online).https://hukum.tempo.co/read/1055000/pelecehan-seksual-

dalam-hukum-kita/full&view=ok ( diakses pada 24 Oktober 2019 )

Handayani, Dewi and , Kuswardhani, (2016) Perlindungan Hukum Terhadap

Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Pelecehan Seksual (Studi

Kasus Di Polres Ngawi ).

Ratna Batara. (2012). Kekerasan Seksual : Mitos dan Realita.

Hukumonline.com. Diakses pada 24 Desember 2019

1.3 Dari Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku Kedua Bab XIV: Kejahatan

Terhadap Seksual

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak


Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Anda mungkin juga menyukai