SKRIPSI
1643500018
JAKARTA
2020
i
PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI
FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR
NIM : 1643500018
Merupakan hasil pemikiran sendiri dan kar ya orisinil untuk meraih gelar akademik tingkat
Strata Satu (S-1),
Saya izinkan untuk dikelola oleh Universitas Budi Luhur sesuai dengan etika dan hukum
yang berlaku
Pernytaan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima
konsekuensi apapun yang terjadi dimasa mendatang sesuai aturan yang berlaku apabila
pernyataan ini tidak benar.
Jakarta, .........................
LEMBAR PERSETUJ UA N
NIM : 1643500018
Jakarta,...............
Dosen Pembimbing S kripsi
LEMBAR PENGESA HA N
Ketua
(......................)
Penguji 1,
............................... (......................)
Penguji 2,
............................... (......................)
ABSTRAKSI
Kata Kunci:
ABSTRACT
Some case that refers to Medical Malpractice in Indonesia shows the sttelement just
focused on the mediation and a direction that arrange victim to report the case to
medical ethics & disiplinary institution. The settlement of medical malpractice cases are
handled legally by Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) & Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), and this legal institution is operating under the
official Indonesian Medical Council. Case about medical malpractice has been talked
about for a long time in the eyes of law & social science, that –this type of case has been
settled without the law enforcement involved in it. This research see the settlement of
medical malpractice cases in the criminological perspective supported by analitical data
such as interview and study literature based on Durkheim’s anomie theories, occupational
crime theories, and critical criminology views. The result of this research is this
phenomena of settling medical malpractice case without law inforcement collide with a
fact that the definition of medical malpractice are not defined yet in Indonesia and
medical institution work as an economic or business institution.
Keyword:
medical malpractice, medical neglience, occupatio nal crime, doctor, professional ethics
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat juga karunia- Nya lah saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir berjudul “Tinjauan
Kriminologis Terhadap Penyelesaian Kasus Kriminal Dalam Bentuk Dugaan Malpraktik
Medis Melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)”. Penulisan
Tugas Akhir ini dilaksanakan dalam rangka pemenuhan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Kriminologi Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Budi Luhur. Tugas Akhir ini dapat terlakana
tentunya atas dukungan dari banyak pihak dan oleh kerenanya dalam kesempatan kali
ini, penulis hendak menyampaikan rasa terimakasihnya kepada:
1. Kedua orang tua & adik penulis yang selalu memberikan dukungan juga
pelajaran hidup kepada penulis.
2. Rektor Universitas Budi Luhur, Bapak Dr. Ir. Wendi Usino, M.sc.
3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Bapak Dr. Rusdiyanta, M.si.
4. Ketua Program Studi Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Budi Luhur sekaligus Dosen Pembimbing Akademik penulis, Ibu Chazizah
Gusnita, M. Krim yang telah mendedikasikan waktu juga tenaganya dalam
membantu permasalahan penulis terkait administrasi akademik selama
perkuliahan berlangsung.
5. Dosen pembimbing penulis, Ibu Monica Margaret, M. Krim, yang telah
menyisihkan waktu dan tenaganya untuk memberikan masukan, saran juga
arahan ter hadap Tugas Akhir yang tengah penulis susun.
6. Seluruh Dosen dalam Program Studi Kriminologi Universitas Budi Luhur beserta
para staff di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang telah memberikan banyak
bentuk bimbingan selama 4 (Empat) tahun kebelakang sehingga pada proses
penyusunan T ugas Akhir ini penulis merasa sangat ter bantu.
7. Tim 3 Ekonomi I Ombudsman Republik Indonesia, yang tediri dari Bapak Dadan,
Bapak Andi, Bapak Adam, Bapak Fathir, Ibu Aat, Ibu Rizkiana, Ibu Hertika, dan
Ibu Indah yang telah meluangkan waktunya dalam proses penyediaan laporan
juga pengkoordinasian terkait penyiapan narasumber bagi penelitian ini.
8. Keluar ga Imam yang telah menyediakan rumahnya selama masa pandemi
berlangsung untuk mengerjakan skripsi.
9. Teman-teman Seperjajijiwa Kriminologi, Kakang, Ilham, Janice, Imam, Savat,
Ica, Dew y, Sisi, Fahdud, Faisal, Rovis, dan Ade.
10. Rekan Laper mulu, Bimo Nimo, Alber Ryan, Brambino, dan Giofun
Akhir kata dari penulis semoga penelitian ini dapat dimanfaatkan dengan
sebagaimana mestinya untuk penelitian-penelitian selanjutnya dan kepada pihak-pihak
yang telah membantu jalannya penelitian ini agar dilimpahkan rahmat oleh T uhan Yang
Maha Esa.
ABSTRAKSI ............................................................................................................. v
ABSTRACT .............................................................................................................. vi
BAB I Pendahuluan................................................................................................. 1
1.2 Permasalahan........................................................................................................6
4.2 Ombudsman Republik Indonesia Sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan Publik ......31
5.2 Pernyataan Ketua MKDKI Perihal Malapraktik Medis (Kasus Dr. Ayu) .......................34
5.4.3 Pengangkatan Indung Telur Sepihak oleh dr. HS (2018) RS Grha Kedoya .....40
5.4.6 Persidangan in absentia Dalam Ranah Etik & Disiplin Kedokteran .................43
6.1 Pelaksanaan Sidang Kasus Dugaan Malapraktik Kedokteran Tanpa melalui Jalur
Hukum .....................................................................................................................45
6.2 Kondisi Anomie Emile Dukr heim Yang Mengakibatkan Kebingungan Masyarakat Atas
Kasus Malapraktik Medis ............................................................................................49
6.3 Celah Dalam Ranah Keprofesian Dokter yang Menyebabkan Terjadinya Occupational
Crime .......................................................................................................................52
6.4 Ketiadaan Pendefinisian Malapraktik Medis Dilihat Dari Perspektif Critical Criminology
................................................................................................................................55
LAMPIRA N............................................................................................................. 64
Pendahuluan
Hampir sama dengan jenis malapraktik medis yang dirumuskan oleh tenaga
medis di Colombia, Soeraryo Darsono menjelaskan, bahwa malapraktik dalam bidang
medis dapat dibedakan menjadi:
1
tidak dapat dialihkan kepada organisasi ataupun rumah sakit yang
menaungi.
2. Malapraktik Civil, yaitu tenaga medis yang tidak melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah
ditetapkan di klinik ataupun rumah sakit yang bersangkutan. Proses
pertanggungjawabannya dapat secara individual ataupun dialihkan
langsung terhadap pihak rumah sakit yang menaungi.
3. Malapraktik administratif, yaitu dimana tenaga medis tidak dapat
menunjukkan kelengkapan surat tugas ataup un surat izin legal yang
menyatakan bahwa dirinya merupakan tenaga kesehatan yang sah.
Kelalaian daripada pihak tenaga kesehatan ini, khususnya dari dokter itu sendiri
dalam ranah profesinya biasa disebut pelanggaran etik. Pelanggaran dalam bentuk etik
ini terlihat ketika sang profesional melakukan kesalahan, dan juga ketidaksesuaian
prosedur mutu yang telah didalami selama masa pendidikannya. Dengan adanya
pelanggaran etik ini, maka dapat diupayakan hal-hal yang bersifat membina, karena pada
dasarnya, pelanggaran etik ini telah merusak moral, nilai, dan juga kewajiban yang
memang seharusnya diemban oleh tenaga kesehatan. Untuk dapat menafsir bahwa
tindakan yang dilakukan seorang dokter merupakan hal yang melanggar kode etik, ada
lembaga khusus yang bernama MKEK / Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, yang
dimana lembaga ini bergerak di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia atau yang biasa
dikenal dengan istilah IDI. Jika kita membahas mengenai disiplin kedokteran, maka
lembaga yang menentukan bahwa sang dokter melakukan pelanggaran dalam bentuk
disiplin ada pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia / MKDKI (Darwin,
2015: 19 – 21).
Di dalam etik juga disiplin kedokteran Indonesia, ada nilai-nilai yang dipegang
teguh, agar secara kasat mata, Tindakan yang mereka lakukan tidak disebut sebagai
sebuah malapraktik medis. Pemberian manfaat, tidak memperburuk keadaan,
menghormati hak pasien, keadilan, dan integritas pribadi daripada tenaga Kesehatan
merupakan prinsip-prinsip yang har us dipegang dengan erat, dimana jika salah satu
prinsip tersebut melenceng ataupun dilanggar, maka akan ada sebuah konsekuensi dari
pasien-pasien yang akan menyatakan bahwa hal-hal yang dilakukan merupakan sebuah
tindakan malapraktik medis. Pengaplikasian dari filosofi medis juga digunakan dalam
mendefinisikan suatu hal yang ber hubungan dengan malapraktik medis, dimana dalam
melaksanakannya ada konsekuensia, deontologisme, dan vir tu etik. Filosofi-filosofi medis
yang ada ini menjelaskan bagaimana cara atau perlakuan-perlakuan medis dapat
menyebabkan akibat-akibat tertentu (Hardisman, 2010: 75-76).
Istilah malapraktik medis yang dilakukan oleh tenaga medis ataupun para
profesional pendefinisiannya masih dalam perdebatan. Istilah mengenai malapraktik
medis biasa digunakan oleh negara-negara penganut sistem hukum anglo-saxon /
common law , sementara dalam negara yang memiliki sistem hukum civil law ,tidak
mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan malapraktik medis. Dalam negara civil
law, seperti Indonesia ini, istilah malapraktik biasa disebut sebagai “dolus”, “culpa lata”,
atau dapat didefinisikan sebagai kelalaian medik yang terjadi sebagai akibat dari ketidak-
mahiran atau ketidak-kompetenan profesional dalam menjalanan tugasnya, dan dalam
hal ini mer upakan seorang dokter yang terlibat suatu kasus dugaan malapraktik medis
(Susanto, 2013: 61).
Di Indonesia ini sendiri sudah ada beberpa kali santer terdengar kasus mengenai
kelalaian dalam tindakan medis. Dari pelayanan kesehatan yang sudah diberikan,
terdapat beberapa kelalaian ataupun kesalahan yang bisa disebut sebagai malapraktik
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Kesalahan dari mulai salah diagnosa, hingga
salah menetapkan dosis obat menjadi salah dua contoh kelalaian medis yang konkret
terjadi. Sayangnya, masyarakat yang terkena dampak akibat dari kelalaian ini hanya
sebagaian kecil saja yang melaporkannya pada pihak yang berwenang, dan itupun jika
Tindakan medis yang ber ujung kepada dugaan malapraktik masih marak terjadi
sebagai akibat dari standar keprofesian yang belum merata di Indonesia. Untuk dapat
membuktikan suatu kasus dugaan malapraktik medis secara nasional masihlah s ulit,
karena mengingat ilmu kedokteran hanya dikuasai oleh segelintir orang yang memang
sudah memiliki sertifikasi khusus. Masyarakat awam hanya memahami ilmu ini secara
umum saja. Penegak hukum akan kesulitan dalam rangka pembuktian daripada kasus
dugaan malapraktik medis ini, mengingat ilmunya hanya sebatas praktisi pidana saja,
melainkan bukan praktisi kedokteran. Pada akhirnya, kasus-kasus dugaan malapraktik
yang ada hanya akan bermuara diranah kode etik saja (Qomariyah, Choiwutun,
Prihatmini, 2018: 466).
Tenaga kesehatan yang dianggap lalai, menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya malapraktik medis. Ketidak-kompetenan dari para tenaga kesehatan yang
melakukan pelayanan medis bisa menimbulkan ker ugian bagi seorang pasien. Ketua
Ikatan Dokter Indonesia regional Lampung, dr. Asep Sukandar mengatakan bahwa dalam
satu tahun, di Lampung bisa terjadi dua hingga empat kali kasus dugaan malapraktik
medis, yang tentunya kasus-kasus yang ada belum tentu dapat diproses (Ginting, 2017:
2).
Kelalaian dalam ranah medis yang dilakukan oleh dokter/tenaga kesehatan bisa
disebut kejahatan ketika kelalaian yang dimaksud ini sudah melibatkan skill sang dokter
yang dimaksud. Kejahatan jenis ini sudah tidak melihat posisi suatu negara apakah
menganut pemahaman bahwa etika profesionalitas diatas segalanya, namun ketika suatu
kasus dugaan malapraktik telah melewati batas, maka hal tersebut bisa dibawa ke ranah
hukum. Secara umum juga secara sosial, tidak ada perlindungan khusus bagi para pelaku
kejahatan jenis malapraktik me dis ini, jika bukti sudah memenuhi, maka semuanya akan
bisa dibawa ke ranah hukum. Perlu diingat pula bahwa kelalaian yang dilakukan memiliki
arti bahwa sang profesional, yang dalam hal ini merupakan seorang dokter telah
melewatkan beberapa bagian skillnya sendiri dimana seharusnya mereka ber kompeten
dalam hal tersebut (Gupta, 2005: 23-26).
Tinjauan Pustaka
2.1.2.1 Otonomi
a. Kebutuhan akan orang-orang yang memang kompeten dalam
bidangnya, yang dimana dalam melakukan tindakannya dipengaruhi
oleh kehendak, beserta keinginannya sendiri. Pada tiap-tiap kasus yang
sedang ditangani, para ahli yang kompeten ini diharapkan dapat
menanggung akibat dari setiap apa yang dilakukannya, termasuk di
dalamnya akibat-akibat yang menimbulkan konsekuensi dari keputusan
yang telah diambil secara mandiri (Otonom).
b. Melindungi mereka yang lemah, dimana para orang-orang yang
memiliki kompetensi ini diharapkan u ntuk dapat melindungi mereka-
meraka, entah itu anak-anak hingga orang dewasa yang sedang dalam
keadaan lemah dan tidak mempunyai kemampuan mandiri.
2.1.2.3 Keadilan
Keadilan yang dimaksud adalah dengan memperlakukan orang-
orang ataupun antar manusia dengan lebih adil, entah itu dalam bentuk
proses transaksi hingga perlakuan tindakan, dan tidak boleh mengorbankan
orang lain demi kepentingan tertentu hingga untuk kepentingan golongan
lain.
Secara umum, hukum yang berlaku dalam sebuah negara dibuat atas
kepentingan- kepentingan tertentu yang dalam penerapannya pihak-pihak yang memiliki
kepentingan ini secara langsung akan mendefinisikan ter kait apa-apa saja yang dimaksud
dengan kejahatan juga apa-apa saja yang dikategorikan dengan kejahatan (Hagan,
2013: 274-275).
Kejahatan kerah putih oleh E.Sutherland mulai ditelurkan pada tahun 1940,
namun dalam penerapannya ke dalam kondisi sosial bermasyarakat, terjadi gesekan-
gesekan pemikiran. Pendefinisian kejahatan kerah putih ini menjadi sebuah masalah
dalam lingkup pemikir-pemikir sosiologi, mengingat sebelum kejahatan kerah putih ini
ditelur kan sebenar nya telah ada pemikiran- pemikiran serupa namun dengan pendefinisan
yang cukup berbeda. Pada akhirnya Clinard & Quinny membuat pembabakan baru dalam
ranah kejahatan kerah putih, sehingga dalam pendefinisiannya ada sebuah pembeda
yang diharapkan dapat memperjelas kejahatan kerah putih ini sendiri. Pemikiran
mengenai kejahatan kerah putih ini tampak har us lebih dikritisi kembali, sehingga dalam
buku Frank Hagan, pembabakan mengenai kejahatan kerah putih ini semakin dijabarkan
secara gamblang dengan diagram venn yang pada akhirnya akan menjelaskan irisan-
irisan yang berkaitan dengan kejahatan kerah putih, namun dengan pendefinisan-
pendefinisan ulang yang di dapat dari berbagai macam hasil pemikiran orang-orang
dalam ranah sosiologi juga dalam ranah kriminologi. Setelah ditelaah lebih jauh, ter dapat
Penyebutan kejahatan dalam ranah keprofesian ini pada akhirnya akan muncul
sebuah keterkaitan antara kejahatan okupasional dengan kejahatan kerah putih. Secara
intinya, kejahatan kerah putih agak berbeda dengan kejahatan okupasional, dimana
kejahatan kerah putih menyentuh pribadi-pribadi hingga kelompok yang melakukan
kejahatan dengan memanfaatkan jabatan tinggi yang dimiliki oleh pribadi/kelompok
tertentu. Kejahatan okupasional ini dicetuskan oleh Clinnard & Quinney (1986). Ada pula
irisan-irisan yang berkaitan dengan kejahatan korporat, dimana kejahatan kerah putih,
kejahatan korporat, dan kejahatan okupasional saling beririsan. Irisan ini disebabkan oleh
cukup banyaknya pendefinisian mengenai kejahatan kerah putih yang ter jadi dari mulai
economic crime (American Bar Association, 1976) hingga upperword crime (Geis, 1974),
sehingga pada akhirnya har us dibuat irisan-irisan dalam ranah pendefinisiannya (Hagan,
2013: 431-432).
Clinard & Yeager juga Geis & Meier memiliki per nyataan mengapa kasus-kasus
terkait kejahatan okupasional ini agaknya sulit untuk dievaluasi juga sulit dilakukan
penelitiannya, diantaranya adalah sebagai berikut (Hagan, 2013: 434):
Kerugian
Malapraktik
Kapitalisme Anomie
Korban
Medis
Reaksi Sosial
Tindakan malapraktik medis ini sendiri sudah memenuhi unsur tuntutan melawan
hukum, yang dimana menur ut Kitab Undang-Undang Perdata/ KUHPer di dalamnya
termasuk:
Perlakuan pelaku terhadap kor ban ini pada akhirnya akan masuk ke dalam ranah
wanprestasi, dikarenakan seorang pelaku tidak melaksanakan kiat-kiatnya dalam
menyelesaikan sebuah masalah yang sudah diperjanjikan dengan sang korban, sehingga
permasalahan ini menimbulkan kerugian (Novianto, 2015: 490).
Tidak adanya batasan-batasan ter kait apa yang dimaksud dengan tindakan
malapraktik medis menyebabkan upaya penal dalam bentuk penegakan hukum bagi para
Metode Penelitian
Profil Instansi
Registrasi Pemeriksaan
Saksi
Pemeriksaan Pemeriksaan
Ahli
Awal
Musyawarah Pemeriksaan
Teradu
Usulan
Ahli/Tanggapan
Akhir Dari
Verifikasi
Teradu
Laporan Musyawarah
Verifikasi
Putusan akhir
Pemeriksaan
Pengadu
Baca Putusan
Musyawarah
Penyampaian
Putusan ke
KKI
Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran Gigi, atas nama Dr. Dr g. Zaura Anggraeni,
MDS dalam presentasinya mengenai Tata Laksana Pengelolaan Kasus Pelanggaran
Disiplin Kedokteran menyatakan bahwa dalam ranah pelaporan kasus dugaan
malapraktik medis, terdapat dua tenggat waktu yang tindak lanjut sebagai berikut:
1. Malapraktik medis merupakan suatu kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang
pada akhirnya menyebabkan kerugian hingga keburukan bagi keberlangsungan
pasien.
2. Malapraktik medis merupakan upaya yang dilakukan oleh tenaga medis yang
dimana apa yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan medis yang
berlaku.
1
Hasil wawancara dari Artikel Nasional Tempo berjudul “Ketua MKDKI: Kami Tak
Mengenal Istilah Malapraktik”
2
Hasil wawancara dengan Asisten Ombudsman RI Tim 3 Ekonomi I
3
Ibid.
Dari laporan akhir Ombudsman RI, peneliti mendapatkan penjabaran ber upa
dokumen-dokumen ter kait pasien (Triase masuknya pasien ke UGD, dokumen Bilas
Lambung, hingga Surat Keterangan Meninggal dari sang pasien), hingga dokumen
terkait pelaporan keluarga pasien terhadap MKDKI perihal dugaan dilakukannya
malapraktik medis ter hadap sang pasien. Ombudsman RI pada laporan awalnya
menduga bahwa ada penundaan berlarut daripada kasus yang dialami oleh keluarga
pasien. Penundaan berlarut yang dilakukan pihak tenaga kesehatan juga pengawas
kesehatan ini ber upa lambatnya permintaan keterangan dan juga ketidakjelasan
rekam medis yang dilakukan pihak rumah sakit kepada pasien yang sudah
meninggal dunia. Terkait dengan keberadaan rekam medis, sehabis tindakan
ataupun sehabis persetujuan untuk melakukan tindakan kepada pasien seyogyanya,
dan bahkan wajib untuk dicatat, namun pihak rumah sakit berkelit pada tanggal 30
Agustus 2017 bahwa rekam medis pasien yang bersangkutan belum selesai dibuat
yang dimana tanggal kematian dari sang pasien adalah 23 Agustus 2017 atau 7
(Tujuh) hari sebelum tanggal yang dimaksud .
Sesuai dengan Manual Rekam Medis yang dibuat oleh Konsil Kedokteran
Indonesia, Rekam Medis merupakan catatan, uraian, hingga diagnosis pasien yang
melakukan pengobatan dengan penulisnya berupa sang dokter ataupun dokter gigi.
Dokumen Rekam Medis j uga termasuk di dalamnya foto Roentgent, hasil
laboratorium, dan keterangan lainnya sesuai dengan kompetensi keilmuan sang
dokter. Dari catatan atau rekam medis ini, pihak tenaga kesehatan dapat
memperoleh:
1. Pengobatan Pasien,
2. Peningkatan Kualitas Pelayanan,
3. Pendidikan dan Penelitian,
4. Pembiayaan,
5. Statistik kesehatan, dan
6. Pembuktian hukum, disiplin, etik
Menilik dari kasus TS, mengenai rekam medis yang dimiliki oleh rumah sakit
terkait har us segera dibuat ketika ada tindakan dari para tenaga kesehatan yang
Sang terduga korban pada saat ini sedang mengusahakan agar kasus
dugaan malapraktiknya ini diangkat ke meja hijau dengan menggunakan gugatan
secara perdata ke pengadilan. Pada akhirnya pihak penyedia layanan kesehatan
mengatakan bahwa segala hal yang menentukan kasus dr. HS ini dapat diserahkan
kepada Majelis Kehormatan Profesi untuk nantinya dapat ditindaklanjuti. Terkait
dengan kasus ini pula, sang terduga korban mempermasalahkan tindakan sang
dokter yang mengangkat indung telurnya secara sepihak dan tidak dilakukan upaya-
upaya diagnosis suatu penyakit sebagaimana yang biasa dokter lakukan. Penentuan
5.4.4 Judicial Rev iew Undang- Undang Per lindungan Konsumen Negara
India Serta Implikasinya Terhadap Malapraktik Medis
Jika melihat dari moral bangsa India, ada hubungan secara moral yang unik
antara masyarakat dengan dokter-dokter di India pada masa sebelum era modern
ini, dimana masyarakat memiliki angapan bahwa dokter adalah kepanjangan tangan
daripada Tuhan itu sendiri. Dunia medis dilihat sebagai r uang saintis dalam
melakukan sihir-sihir yang orang awam tidak dapat mengerti. Pada akhir abad ke-
20, terjadi pergeseran pemaknaan bagi para tenaga medis, yang mana
komersialisasi & globalisasi membuat peran para tenaga medis terlihat hanya seperti
tindakan keprofesian yang harus dijalani saja seperti profesi-profesi lainnya (Paul &
Bhatia, 2016: 1-5).
Negara India pada era moderen mulai merihat pasien sebagai sebuah
komoditi, dimana sebuah komoditi ini memang sebenar-benarnya adalah suatu
barang yang dapat menghasilkan uang, namun Negara India tetap berusaha agar
sebuah komoditi ini masihlah bernilai mulia sebagaimana manusia pada umumnya.
Undang-undang perlindungan konsumen dipakai untuk melindungi masyarakat India
sepenuhnya, dimana dasarnya sendiri berasal dari Consumer Protection Resolution
Nomor 39/248 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 9 April
Tahun 1985. Setelah adanya pembahasan mengenai undang-undang perlindungan
konsumen ini, dunia medis India mengadakan diskusi yang pada akhirnya
menyimpulkan beberapa poin terkait dengan Perlindungan Bagi Pasien. Tampak
timbul suatu keadaan normal baru di dalam masyarakat ter kait dengan pendefinisian
kontrak kerja antara dokter dengan pasien, dimana semua yang dilakukan &
disetujui, maka perjanjian tersebut memiliki sifat-sifat yang tunduk dengan hukum
(Singhal, 2015: 75-80).
Dalam sistem hukum Negara India, setelah ada atau terjadinya beberapa
kasus dugaan malapraktik dalam ranah kedokteran secara hukum telah diakui
bahwa kasus dugaan malapraktik yang melibatkan tanggungan- tanggungan dokter
sebagai pelayan kesehatan har us dipertanggungjawabkan dengan sebagaimana
mestinya. Sistem hukum India mulai memasukkan ranah malapraktik medis ke
dalam sistem pengadilannya dimulai pada Tahun 2005. Latar belakang dari
terjadinya perombakan dalam bidang malapraktik ini dikarenakan a danya kasus
konkret yang memang sebelumnya pernah terjadi. Beberapa contoh kasus nyata
yang terjadi di Negara India akan peneliti lampirkan di bawah. Adapun dasar dari
dimasukannya ranah malapraktik ini dikarenakan setelah menimbang lebih jauh,
malapraktik medis ini secara eksplisit diartikan sebagai sebuah kelalaian yang
dilakukan oleh dokter ataupun tenaga kesehatan. Selain itu, dari review hukum yang
dilakukan oleh pemerintah India menyatakan bahwa keberadaan or ganisasi
keprofesian harus tetap ada untuk menegakkan sistem etik kedokteran, namun yang
menjadi pembatasan adalah proses penentuan sanksi disiplin yang sepenuhnya
diserahkan kepada pihak pengadilan (Singhal, 2015: 79-80).
Profesor Budi Sampur na secara lebih jauh menjelaskan bahwa asas -asas
yang ber kaitan dengan pembuktian kasus dugaan kasus malapraktik medis ini dibagi
ke dalam 4 (empat) bagian, yang dimana asas-asas tersebut meliputi Duty of Care
(Kewajiban seorang dokter dalam hal pemantauan pasien), Breach of Duty
(Pelepasan tanggungjawab), dan Direct Causalship (asas sebab-akibat secara
langsung). Standar keprofesian, informed consent (Persetujuan pasien/keluarga
dalam melakukan suatu tindakan medis yang di dalamnya ter dapat hak untuk
menentukan nasib sang pasien itu sendiri) , contribution neglience (Keikutser taan
seorang pasien mengenai asal muasal keadaan yang memburuk semenjak
dilakukannya tindakan medis), dan kekeliruan pemilihan tindakan yang dilakukan
oleh dokter, pengasumsian resio yang telah diinfokan sebelum tindakan,
kebertanggungjawaban r umah sakit ter kait, dan tindakan medis yang tidak sesuai
dengan Standar Operasional Prsedur juga turut andil dalam menimbang tentang
keberadaan malapraktik medis itu sendiri. Hal-hal yang telah disebutkan di atas ini
akan berguna ketika suatu kasus dugaan malapraktik medis akan diangkat ke meja
hijau (Novianto, 2015: 498-500).
Analisis
Perspektif tentang malapraktik medis tampaknya agak bergeser dari yang tadinya
dilihat hanya dari sudut pandang kedokteran, menjadi diperluas menggunakan sudut
pandang perlindungan konsumen. Penggunaan sudut pandang menggunakan
perlindungan konsumen tampak belum dilakukan di Indonesia, dimana hal ini terbukti
dengan tidak adanya aturan-aturan yang secara gamblang menyebut tentang
malapraktik medis di dalam Undang-Undang perlindungan Konsumen. Berbeda dengan
negara India, dimana telah terjadi suatu evolusi dalam dunia hukum mengenai
malapraktik medisnya. Pengambilan contoh kasus dari negara India menunjukkan adanya
perbedaan dan langkah-langkah secara hukum juga sosial terkait dengan malapraktik
medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dimana ter dapat perbedaan tujuan akhir
yang akan menjelaskan apakah tindakan malapraktik medis merupakan sebuah tindakan
melawan hukum, hingga bahkan melawan norma-norma sosial yang ada dalam
masyarakat.
Jika dilihat dari proses persidangan yang dilakukan ini sesuai atau malah
mengutip dari sistem hukum yang ada di Indonesia, maka seharusnya kasus-kasus yang
merupakan malapraktik dari hasil kelalaian dokter dapat diangkat ke atas meja hijau
untuk sepenuhnya mendapatkan keadilan di mata hukum yang sesungguhnya. Etika
keprofesian dipertaruhkan dalam jenis malapraktik kriminal ini, dimana sesungguhnya
jenis malapraktik kelalaian ini sudah secara nyata menimbulkan kerugian bagi para
korbannya. Kita dapat kembali menelisik bagaimana aturan-aturan di Negara India
berlaku ketika ada kasus yang berhu bungan dengan malapraktik ini. Memang Negara
India memiliki ikatan dokter secara nasionalnya sendiri, namun sistem hukum
tetapmengotakkan bahwa tindakan malapraktik yang penyebabnya adalah kelalaian yang
dilakukan oleh pihak penyedia layanan kesehatan atau yang lebih diker ucutkan lagi
adalah seorang dokter harus bertanggungjawab secara hukum, karena di dalam
pelaksanaan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dokter terdapat kesadaran secara
personal hingga perjanjian-perjanjian yang dilakukan kepada pasien sebagai penerima
produk kesehatan itu sendiri.
Sidang dalam MKDKI yang mengurusi masalah terkait dengan dugaan kasus
malapraktik medis yang dilakukan oleh seorang dokter dilakukan secara ter tutup. Sesuai
dengan keterangan Rizkiana Hidayat selaku Kepala Penerimaan & Verifikasilaporan
Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakar ta, dimana jika dugaan kasus malapraktik telah
masuk dan diperiksa oleh MKDKI, maka segala proses pemeriksaan hingga pendatangan
saksi ahli akan dilakukan oleh MKDKI. Proses penentuan apakah kas us yang masuk
merupakan benar adanya sebuah pelanggaran disiplin tidak serta merta langsung
diberitahukan ke pelapor atau pihak ter kait, melainkan proses yang dilakukan sangatlah
tertutup, dari mulai saksi yang merupakan dokter ahli, hingga penasihat-penasihat
hukum tidak dibeber kan. Sidang MKDKI yang menurut mereka memiliki sebutan sidang
disiplin pada akhirnya hanya menghasilkan hukuman berupa penegakan disiplin yang
masa hukumannya antara 6 (Enam) bulan hingga 1 (Satu) tahun. Hal ini menunj ukkan
dari perspektif korban atau masyarakat yang terdampak bahwa tidak ada definisi
keadilan yang diputuskan dari sidang MKDKI yang telah dilakukan.
Kasus dokter Ayu yang diangkat ke meja hijau menjadi salah satu kasus kunci
pertandingan sengit antara etika keprofesian ketika dihadapkan dengan hukum
perundang-undangan yang berlaku. Dari sumber berupa rilis berita terlihat bahwa secara
Pertanggungjawaban secara hukum ini sangatlah penting jika ditilik lagi ke dalam
kasus-kasus malapraktik medis yang didasar kan pada kelalaian yang dilakukan oleh
dokter-dokter. Kelalaian-kelalaian yang peneliti himpun diantaranya adalah k urangnya
skill dalam melakukan observasi juga penyimpulan tindakan, kesalahan secara sadar
dalam pemasangan-pemasangan alat-alat kesehatan, kesalahan melakukan tindakan
medis sebagaimana disebutkan pada kasus fraktur tulang femur dimana secara nyata
sebab-akibatnya dapat dihilangkan ketika sang dokter sedari awal mengetahui bahwa
tulang femur pasien berada pada stase yang tidak parah/di bawah rata -rata. Stase-stase
parah yang ditimbulkan oleh penyedia/tenaga kesehatan menjadi sebuah tanggungjawab
yang har usnya diamanahkan, dimana tidak mungkin pula secara tindak logis etik
kedokteran bahwa tindakan yang dilakukan pada tahap/stase awal sebuah penyakit
diperlakukan eksekusi ber upa penanganan yang sama ter hadap kasus lain dimana
tingkatan/stase penyakitnya lebih tinggi dari kasus pasien yang sedang ditangani.
Proses persidangan etik & disiplin yang dinaungi oleh IDI (Konsil Kedokteran
Indonesia) ini tampak secara nyata agak janggal, yang dimana dalam pendadaran yang
dilakukan oleh MKDKI itu sendiri, proses adua n langsung akan diterima oleh MKDKI di
bawah naungan KKI, namun dalam pendadaran lain (Seminar), keterangan berbeda
didapatkan bahwa secara hukum, korban dapat menuntut keadilannya kepada
persidangan. Kaus pengangkatan Indung Telur yang telah dipaparkan pa da Bab 5
Temuan Data dijelaskan secara krononologis yang dimana pihak rumah sakit (Wakil
Direktur RS Grha Kedoya atas nama Dr. Hiskia Satrio Cahyadi) atau yang merupakan
sejawat dokter teradu bersangkutan dalam masalah dugaan penyelewengan tindakan
kesehatan ini harusnya dilaporkan kepada MKDKI saja dan menghormati tindakan
ataupun penentuan masalah yang berkaitan dengan malapraktik ini. Secara eksplisit
ranah keprofesian, ada ketidaksinergian antara pihak-pihak yang berada di dalamnya.
Perbedaan pernyataan ini tampak tidak sesuai dengan tuj uan dilakukannya persidangan
etik untuk penentuan disiplin, dimana pengarahan secara hukum dikatakan dapat untuk
6.2 Kondis i Anomie Emile Dukr heim Yang Mengakibat kan Kebingungan
Masyarakat Atas Kasus Malapraktik Medis
Pemahaman masyarakat yang kurang akan kasus-kasus malapraktik.
Pendefinisian malapraktik medis yang dilakukan oleh dokter hanya melahirkan artian-
artian secara umum saja. Dari penelitian sebelumnya terlihat bahwa definisi umum
mengenai malapraktik ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu malapraktik medis konsekuesialis
dan malapraktik dengan menyalahi standar operasional yang berlaku. Pemahaman umum
ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, mengingat setelah melihat
beberapa data-data dari penelitian hingga kasus-kasus hukum malapraktik medis yang
pernah terjadi ini pada kenyataannya akan berkutat di asas-asas yang tampak hanya
dimenger ti oleh ahli medis atau dokter itu sendiri. Asas-asas mengenai kejelasan konsen
medis hingga asas sebab akibat yang dilakukan oleh dokter tampak kurang diperhatikan,
seperti pada kasus pengangkatan indung telur RS Gr ha Kedoya dimana kuasa hukum dari
korban berusaha mengarahkan kasus ke atas meja hijau, namun dari pihak rumah sakit
bersangkutan, kasus malah diarahkan kepada majelis etik & disiplin kedokteran di
Indonesia .
Pemahaman masyarakat yang terbagi menjadi dua jalur ini saja pada akhir nya
akan menyebabkan ketidaksinkronan sistem, dimana ketika terjadi kasus dugaan
malapraktik, masyarakat yang terdampak akan kebingungan kemana mereka harus
melapor dan juga akan kebingungan apakah kasus yang mereka alami masuk ke dalam
klausa-klausa dimana kasus tersebut dapat disebut sebagai malapraktik medis sebagai
akibat dari kelalaian. Kasus Sdr DS menjadi salah satu contoh dampak dari ketidakjelasan
aturan-aturan etik ini, dimana ketika mereka mengalami kasus dugaan malapraktik yang
menyebabkan orangtuanya meninggal dunia, mereka berusaha mengangkat kasus ke
MKDKI, namun ketika laporan telah masuk ke dalam MKDKI malah ter dapat penundaan
berlarut yang menyebabkan kasusnya hanya berjalan di tempat saja. Ketika kasusnya
berhenti di MKDKI, yang bersangkutan berusaha meneruskan kasusnya agar diusut ke
Ombudsman RI hingga pada akhirnya keputusan akhir dalam laporan penutup
Ombudsman RI menyatakan bahwa MKDKI benar adanya melakukan penundaan berlarut
terhadap kasus Sdr DS. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa ketika ada kasus dugaan
malapraktik medis, tidak ada tenggat waktu yang jelas dalam rangka penyelesaiannya
juga tidak ada standar-standar penyelesaian masalah yang masuk ke ranah etik & disiplin
Kebingungan masyarakat apakah kasus mau di bawa ke ranah meja hijau atau
ke mkdki. Terjadi sebuah ketidak jelasan konsep ter kait penanganan kasus-kasus dugaan
malapraktik medis yang merupakan hasil kelalaian- kelalaian dokter yang bersangkutan.
Dengan adanya sebuah informed consent, sehar usnya seorang pasien yang sedang
menjalani praktik medis dapat menentukan haknya secara bebas dari perjanjian yang
sudah disetujui dengan dokter yang bersangkutan, namun dalam penerapannya ter dapat
situasi yang ber kebalikan, dimana pada kasus pengangkatan indung telur seorang
perempuan di RS Gr ha Kedoya, dimana proses pengangkatan ini tidak diser tai oleh
informed consent. Perlu dipahami bahwa informed consent ini bukanlah perjanjian per
individu dengan dokter, melainkan sesuai dengan penjelasan Novianto pada hal-hal juga
klausa penentuan kasus malapraktik medis bahwa hak-hak mengenai keputusan tindakan
medis yang akan dilakukan kepada seorang pasien, dilakukan antara pasien sebagai
seorang individu dan juga pasien yang diwakili oleh salah seorang anggota keluarganya,
dimana hal ini memiliki arti bahwa persetujuan keluarga j uga sama kuatnya, mengingat
hal ini dilakukan atas dasar hak menentukan nasib sendiri bagi seorang pasien yang
sedang diberi tindakan oleh tenaga kesehatan/seorang dokter.
Ketidaksinkr onan antar pejabat MKDKI dengan rekan seprofesi akan pemahaman
malapraktik medis beserta penyelesaiannya sebagai akibat dari ketiadaan aturan yang
terkait dengan malapraktik dalam ranah medis. Kita ketahui dari kasus-kasus juga hasil
wawancara dengan ketua MKDKI yang menyatakan bahwa para dokter hingga MKDKI
sekalipun tidak mengenal istilah Malapraktik medis, dimana yang ada hanyalah kesalahan
wewenang hingga perlakukan yang tidak sesuai dengan standar operasional
prosedur/SOP.Hal ini j uga berkaitan dengan pemahaman masyarakat terkait dengan
pendefinisian malapraktik medis, yang dimana secara pemikiran Dur kheim bahwa
ketidakteraturan dalam masyarakat ini akan ter us terjadi ketika ada pemahaman-
pemahaman hingga per kembangan-perkembangan yang ter us menerus berjalan namun
dalam penerapan norma-normanya di dalam masyarakat tidak mampu untuk mengejar
ketertinggalan tersebut. Dari data yang didapat ber upa pendefinisian masyarakat yang
terbagi menjadi penyebaban cidera dan pelaksanaan tindakan medis tidak sesuai dengan
SOP padahal secara data juga asas-asas ter kait malapraktik medis yang memang benar
dilakukan dalam ranah kedokteran mendapat pendefinisian yang cukup berbeda.
Pendefinisian yang berbeda ini menimbulkan state of anomie dalam masyarakat dimana
pemahaman mereka berbeda dengan pemahaman para penjalan profesi yang dimaksud
(Dokter/tenaga kesehatan). Ketika dijabar kan secara lebih lanjut, terdapat asas-asas
yang ber upa pemahaman mengenai syarat-syarat terpenuhinya malapraktik medis yang
dapat dipidanakan sehingga pada akhirnya akan menghasilkan keadilan secara hukum
bagi sang korban berupa kelalaian, absennya konsen yang telah disepakati secara
bersama-sama hingga klausa-klausa tindakan medis hasil pemeriksaan dokter ter kait.
Ketidak singkronan juga dialami oleh rekan sejawat dokter hingga para aparat
penegak hukum, dimana menurut keterangan Ali selaku Ketua MKDKI, pemahaman
terkait keberadaan malapraktik medis ini masih menyebabkan kebingungan dalam
masyarakat. Secara praktisnya ketika terjadi kasus yang merugikan bagi masyarakat
terkait dengan keprofesian dokter, masyarakat sendiri belum tahu menahu mengenai
keberadaan MKDKI di ranah penegakan disiplin kedokteran Indonesia. Jika b ukti cukup,
yang dalam contoh kasusnya adalah pengangkatan indung telur secara sepihak,
pemasangan kateter cvs secara sewenang-weang hingga penyebab meninggalnya
saudari JFM maka kasus yang ada tersebut sejatinya mungkin untuk diangkat ke meja
hijau. Dalam penerapannya terlihat ber beda dimana dalam wawancara terhadap ketua
MKDKI ter dapat beberapa keterangan yang ber tabrakan dimana pada satu sisi ketika
sang dokter bersangkutan jelas melakukan tindakan melawan hukum dirinya ber kata
Pemahaman masyarakat ini akan bertabrakan ketika kasus- kasus yang dialami
masuk ke ranah keprofesian, dimana dalam proses pengusutan kasus dugaan
malapraktik medis ini ada istilah-istilah secara etik yang harus dipenuhi agar asas-
asasnya kuat sebagai bentuk tindakan pidana. Perbandingan dapat dilakukan dengan
sistem peraturan perundang- undangan di Negara India ketika mereka memisahkan
antara pengadilan pidana yang ada dengan ranah keprofesian itu sendiri. Lembaga
pengawas etik di Negara India tetap ada, namun dalam pengusutan kasusnya dapat
diselesaikan menggunakan jalur hukum dan hal ini tentunya dengan mengacu pada
kasus yang terjadi itu sendiri. Medical neglience/kelalaian medis yang menyebabkan
kerugian ditekankan dalam proses pengusutan kasus-kasus malapraktik medis.
6.3 Celah Dalam Ranah Keprofesian Dokter yang Menyebabkan Ter jadinya
Occupat ional Crime
Pemanfaatan celah bagi dokter untuk lepas dari tuntutan (Rumah Ssakit Grha
Kedoya). Selama menjalani perawatan kepada pasien, dokter begerak sebagai seorang
individu yang dimana dalam tindakan- tindakannya terdapat perjanjian-perjanjian antara
pasien bersangkutan dengan sang dokter. Perawatan hingga tindakan yang dilakukan
oleh dokter sesuai dengan asas-asas legal kedokteran ter dapat persetujuan antara pasien
dengan dokter yang pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan dimasa yang akan
datang. Dilihat dari kasus pengangkatan indung telur secara sepihak yang dilakukan oleh
salah seorang dokter di RS Grha Kedoya, tampak bahwa tidak dilakukan konsen secara
lebih dalam kepada pasien & keluarga pasien dalam melakukan tindakan medis berupa
pengangkatan indung telur yang terindikasi mengalami mutasi gen/kanker. Pasien telah
menunjuk kuasa hukum dan kuasa hukum bersangkutan ber usaha untuk menuntut
dokter dan ber usaha meminta penjelasan kepada pihak rumah sakit. Dari analisis yang
dilakukan ter hadap kasus ini, ada upaya memanfaatkan celah keprofesian yang dilakukan
oleh pihak rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan untuk melindungi dokter
yang terlibat dalam kasus dugaan malpraktik.
Pemanfaatan celah yang dilakukan oleh industri Rumah Sakit sebagai penyedia
layanan untuk lepas dari tuntutan dengan adanya pemberhentian/pemindahan dokter
yang bermasalah. Dari keterangan Direktur RS Grha Kedoya didapatkan informasi bahwa
dokter berangkutan yang mengangkat indung telur pasien tanpa konsen ternyata telah
dibebastugaskan atau telah dipecat. Melihat dari sudut pandang kesulitan yang dihadapi
Pelepasan individu yang terlibat menjadi salah satu cara organisasi keprofe sian
dalam melepaskan individu bersangkutan dengan kasus yang ditaksir akan menjeratnya
di kemudian hari. Secara nyata hal ini sejalan dengan perumusan Hagan dalam masalah
periset yang menangani atau ber urusan dengan kasus-kasus keprofesian seperti ini yang
di dalamnya ada upaya-upaya ‘diam’ dengan memanfaatkan organisasi keprofesian itu
sendiri. Pihak RS Grha Kedoya tampak melakukan hal-hal ber upa pemanfaatan
organisasi keprofesian dengan cara berusaha untuk melempar kan kasus pengangkatan
indung telur ini ke dalam ranah MKDKI/Sanksi disiplin saja. Pelemparan kasus kepada
sanksi disiplin terlihat dari keterangan direktur RS Grha Kedoya atas nama dr. Hiskia
Satrio yang menyatakan bahwa untuk kasus pengangkatan indung telur secara sepihak
agar menunggu per nya taan dari MKDKI selaku lembaga yang mengawasi juga lembaga
yang memiliki wewenang untuk menentukan apakan kasus yang dimaksud merupakan
malpraktik medis atau bukan.
Perlindungan atas nama etik dalam ranah keprofesian dilaksanakan secara nyata
di dalam masyarakat dengan harapan agar masyarakat itu sendiri terlindungi dari
aktifitas-aktifitas yang dapat merugikan. Perlindungan juga tindak lanjut pengawasan
kode etik kedokteran di Indonesia dilakukan oleh MKDKI, dimana dalam kasus dugaan
malpraktik medis pengangkatan indung telur secara sepihak yang dilaksanakan di RS
Grha Kedoya, MKDKI ditunjuk untuk menentukan apakah kasusini dapat dikategorikan
sebagai malpraktik medis, namun dalam penyelesaiannya akan menjadi sia-sia menurut
perspektif korban, dimana hasil akhir dari pemeriksaan dapat berupa hanya pencabutan
Surat Tanda Registrasi praktik kedokteran saja, dan kasus ini tampak berjalan ke ranah
yang buntu, mengingat sang dokter bersangkutan sudah tidak terdaftar di rumah sakit
tempat dimana tindakan dilakukan. Hal ini tentunya akn kembali ber tabrakan dengan
ketentuan-ketentuan yang ber kaitan dengan pemahaman bahwa kasus malpraktik medis
dapat diper tanggungjawabkan secara individu, namun ketika ada sebuah kasus, proses-
proses permintaan keterangan dan rekomendasi penyelesaian kasus dilakukan oleh
direktur dari rumah sakit bersangkutan.
Dibuktikan dengan kebingungan masyarakat akan definisi yang ter kait dengan
malapraktik medis. Secara nyata terdapat dampak yang signifikan secara sosial bagi
masyarakat, dimana pemahaman-pemahaman masyarakat ter kait dengan malpraktik
medis secara kriminal ini tidak dapat diperdebatkan dan hanya akan masuk ke
penuntutan secara disiplin saja. Keberadaan MKDKI sebagai tameng ter depand dari
penegakan disiplin memberikan pemahaman bar u kepada masyarakat bahwa lembaga
pengawas bertindak sebagai penegak hukum. Perlu ditekankan bahwa proses penegakan
hukum yang dilakukan ini merupakan penegakan kepada hukum- hukum yang dibuat oleh
ranah keprofesian. Terlihat bahwa adanya upaya pengontrolan terhadap kasus -kasus
yang menyangkut tentang keprofesian ini. Pihak-pihak bersangkutan yang satu kubu
secara kompetensi keprofesionalan mengarahkan agar penyelesaian kasus dilakukan
secara disiplin saja daripada dilakukan secara tuntutan pidana.
Undang- undang yang dibuat oleh organisasi keprofesionalan yang dalam hal ini
merupakan MKDKI secara nyata dilanggar oleh dirinya sendiri dengan tidak melahirkan
konsekuensi apapun. Dari penutupan kasus yang dilakukan oleh Ombudsman RI, didapat
bahwa penyelesaian kasus dugaan malpraktik yang masuk ke ranah MKDK I mengalami
keterlambatan selama 3 tahun lamana, dimanaranah ini dalam Ombudsman RI masuk ke
Ilmu sosial seper ti kriminologi ini kesulitan untuk menggali juga masuk ke ranah
keprofesionalan yang di dalamnya terdapat penegakan disiplin juga kode etik, dimana
hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan jenis ini (Malapraktik medis) susah dimasuki
oleh orang awam seperti penulis ini. Ranah keprofesionalan memiliki aturan-aturan
tersendiri hingga memiliki kemampuan- kemampuan yang orang awam di luar
keprofesiannya tidak diper kenankan untuk masuk ke dalam dunia profesional itu sendiri.
Seperti pada kasus pengangkatan indung telur secara sepihak, semua pihak yang
seprofesi dengan sang dokter terus menyarankan agar kasus uyang diduga terjadi ini
agar segera dimasukan ke MKDKI saja, karena menur ut mereka kasus -kasus yang ter kait
dengan dugaaan malapraktik medis ini sepenuhnya harus melalui pembuktian di MKDKI,
yang hal ini ditekankan secara lebih dalam oleh direktur RS Grha Kedoya, bahwa dalam
hal ini yang dapat menentukan apakah kasus yang dimaksud merupakan malapraktik
medis adalah majelis keprofesian itu sendiri (MKDKI).
Penutup
7.1 Kesimpulan
Pendefinisian malapraktik tidak har us terpaku dengan pelanggaran-pelanggaran
pidana yang diduga, melainkan bisa dikhususkan ke dalam klausa-klausa yang
disebabkan oleh kelalaian-kelalaian yang dilakukan dokter sebagai seorang pelayan
kesehatan. Pendefinisan terkait malapraktik medis dengan menilik ke dalam fokus
pembahasan ke dalam kelalaian medis ini sudah dilakukan di beberapa negara, yang
mana salah satunya adalah Negara India. Persidangan dilakukan dengan asas -asas yang
berlaku secara keilmuan hukum dalam suatu negara, sementar a badan-badan ataupun
lembaga keprofesian yang mengurusi tentang etik & disiplin kedokteran tetap berperan
sebagaimana mestinya sebagai lembaga pengawas juga penentuan etik kedokteran dan
juga memiliki tugas dalam hal penyediaan saksi ahli. Persidangan etik & disiplin yang
dilakukan pada saat ini oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran tampak belum
menyentuh esensinya secara khusus kepada korban atau masyarakat yang merasa
dirugikan dalam hal kasus dugaan malapraktik medis. MKDKI sebagai lembaga
independen sebagai penentu ada atau tidaknya malapraktik medis masih berkelit bahwa
sebenarnya tidak ada istilah yang ber kaitan degan malapraktik medis, dimana yang ada
hanyalah pelanggaran disiplin saja.
Pelanggaran-pelanggaran dalam hal etik & disiplin yang dilakukan oleh seorang
dokter pada akhirnya bisa dituntut secara hukum ketika mereka telah menyentuh ranah-
ranah kelalaian yang semestinya dapat atau bisa ditanggulangi sebelumnya secara
kemampuan dalam ilmu kedokteran dan jika kasus yang ada sudah mempengar uhi juga
masuk ke ranah masyarakat sosial maka sebenarnya telah menjadi sebuah pertanyaan
yang signifikan. Pada studi kasus seperti ini, lembaga disiplin yang dinaungi MKDKI harus
andil dalam melakukan sinergi dengan penegak hukum yang sesungguhnya. Kebera daan
lembaga penegakan disiplin ini pada akhirnya hanya mengur usi hal- hal yang berkaitan
dengan sang dokter saja, sehingga kesimpulan yang dapat diambil secara kelembagaan
pelayan publik adalah keber pihakan terhadap masyarakat masih kecil ataupun belum
terealisasikan. Patut diingat bahwa keberadaan MKDKI ini diawasi langsung oleh Konsil
Kedokteran Indonesia yang kelembagaannya termasuk ke dalam ranah peyananan
publik.
7.2 Saran
Pemantapan regulasi terkait penanganan kasus dugaan malapraktik medis harus
dibicarakan lebih lanjut secara keilmuan. Pembentukan payung hukum yang berkaitan
dengan permasalahan kasus dugaan malapraktik medis harus dilakukan oleh lembaga -
lembaga yang berwenang dengan tentunya menjunjung tinggi nilai-nilai sinergisitas,
karena permasalahan jenis ini pada akhirnya akan melibatkan banyak studi juga jajak
pendapat dari para ahli yang ber beda bidang studi, seperti para ahli hukum, kriminolog,
hingga ahli dari bidang profesi dokter itu sendiri. Penjajakan regulasi dilakukan dalam hal
pendefinisian malapraktik medis, karena pada akhirnya juga pendefinisiannya ini sendiri
yang menyebabkan kasus-kasus yang ada tampak tidak terselesaikan dengan baik hingga
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat selesai. Pada akhirnya haruslah jelas,
aturan hingga pendefinisian ini akan diselesaikan melewati jalur apa, mengingat hasil
akhir yang ditawar kan dalam penyelesaian kasus masih tumpang tindih diantara
organisasi pengawas itu sendiri.
Sosialisasi harus dilakukan oleh MKDKI selaku lembaga yang mengur usi hal-hal
terkait penegakan disiplin kedokteran di Indonesia, dimana tentang tata-cara pengaduan
harus lebih diperjelas lagi kepada masyarakat dengan memahami bahwa masyarakat
awam sepenuhnya belum mengerti ter kait dengan pengaduan dugaan kasus malapraktik
yang dialami. Hal ini menjadi pekerjaan r umah yang harus dibenahi oleh MKDKI itu
sendiri, dimana dari penelitian ini tampak bahwa masyarakat hanya akan membawa
kasus ini ke hadapan hukum saja dengan tidak mementingkan disiplinary action dari
MKDKI, dimana fenomena ini terjadi akibat dari kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia sebagai “kepala” dari penegakan-penegakan yang bersifat
etik j uga disiplin kedokteran.
Sumber Buku:
Ake, Julianus. 2003. “Malapraktik Dalam Keperawatan ”. Pener bit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
Darwin, Eryati & Hardisman. 2012. “Etika Profesi Kesehatan”. Depublish:
Yogyakarta
Hagan, E. Frank. 2013. “Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku
Kriminal”. Kencana Prenadamedia Group: Jakarta
Jayanti, Nusye K. I. 2009. “Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran”.
Pustaka Yustisia: Yogyakarta
Sadi Is, Muhamad. 2015. “Etika dan Hukum Kesehatan”. Kencana: Jakarta
Suyanto, Bagong & Sutinah. 2013. “Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif
Pendekatan”. Kencana Prenadamedia Group: Jakarta
Siegel, Larry J. 2006. “Criminology”. T homson Lear ning: Singapore
Bungin, Burhan. 2014. “Penelitian Kualitatif”. Kencana Prenadamedia Group:
Jakarta
Sumber Disertasi:
Singhal, Aditya. 2015. “The Veracity of Laws Relating to Medical Malpractice in
India”. Diser tasi pada Universitas Hukum Amity (GGS IPU) Delhi, India
Sumber Jurnal:
Adi, Prihar to. 2013. “Formulasi Hukum Penanggulangan Malapraktik Kedokteran”.
Jurnal Kanun Ilmu Hukum Volume 15, Nomor 60. Diakses pada
jurnal.unsyiah.ac.id
Adler, Nancy E. 2000. “Medical Malpractice: The Effect Of Doctor-Patient
Relations on Medical Patient Perseptions and Malpractice Intention ”.
Jurnal Original Research Volume 173. Diakses pada ncbi.nlm.nih.gov
Sumber Artikel:
Niqmah, Lailatun. 2018. “Sembilan Fakta Kasus Dugaan Malapraktik RS Grha
Kedoya, Kronologi Hingga Pernyataan Pihak Rumah Sakit”. Diakses pada
Tribunnews.com
Nurfitriyani, Annisa. 2019. “Kelalaian Medis: Siapa yang Tanggung Jawab?”.
Diakses pada wartaekonomi.com
Perdana, Aretyo Je von. 2018. “Kekhawatiran Konsil Kedokteran Soal Kasus
Dokter Terawan”. Diakses pada m.liputan6.com
Roszandi, Dasril. 2013. “Ketua MKDKI: Kami Tak Mengenal Istilah Malpraktek”.
Diakses pada nasional.tempo.com
Simson. “Malapraktik Medis”. Materi kuliah Fakul tas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatra Utara. Diakses pada fkg.usu.ac.id
Sumber Online
Verbatim
VERBATIM NA RASUMBER
Asisten Ombudsman RI Tim 3 Ekonomi I
Jakarta, 1 Juli 2020 (via Jar ingan Telfon)
Peneliti Bagaimana profil singkat anda serta jabatan yang diemban di
Ombudsman RI?
Narasumber Saya Ana, dari tahun 2014 sampai tahun 2015, aku jadi asisten
Ombudsman RI di bidang penegakan hukum, kemudian untuk
mengembangkan ilmunya, di tahun 2016 sampai dengan Oktober 2019
ada di tim ekonomi 1. Sekarang sejak Oktober 2019 sampai sekarang,
aku dipercaya jadi kepala Keasistenan pemeriksaan laporan di
Ombudsman Perwakilan Yogyakarta.
Peneliti Terkait masalah malapraktik medis. Mengapa bisa tiba-tiba ada
beberapa laporan di Ombudsman RI ber kaitan dengan malapraktik
medis?
Narasumber Kalau sebenarnya Ombudman langsung yang menangani
malapraktiknya kami tidak bisa, jadi kami menerima laporan yang ada
terkait dengan penanganan laporan di MKDKI. Nah rata-rata yang
dilapor kan ke kami adalah malprakteknya dan ini pelapor (masyrakat)
para pelapor ini melaporkan MKDKI ke Ombudsman RI karena proses di
MKDKI ini lama, nah karena lama, mereka melapor kan MKDKI ini ke
kami. Pelaporan yang ada ini berkaitan dengan penundaan berlarut,
tidak adanya penanganan, adanya pengabaian oleh MKDKI. Itu yang
kami tindaklanjuti, salah satunya kasus kemarin atas nama DS, ini
ditindaklanjuti karena sejak tahun 2014 laporan di MKDKI tidak ada
perkembangan tindak lanjut hingga tahun 2016 sehingga laporan ini
masuk ke Ombudsman RI
Peneliti Ada berapa kira-kiranya kasus malapraktik di MKDKI yang mangkrak
sehingga kasus tersebut dilaporkan kepada Ombudsman RI?
Narasumber Kalau terkait PVL malapraktik seingetku ya karena udah lama, harap
nama dirahasiakan, ada kasus DS di RS Medan, atas nama J, kasus di
Jogja, dan kasus lama berupa laporan dari masyarakat yang dirugikan
oleh rumah sakit di Bekasi. Ini yang masuk di Ombudsman ya antara
tahun 2016 hingga ada koordinasi undang-undang MKDKI, dan di tahun
No Register : 1352/LM/XII/2016/JKT
Tanggal : 1 Desember 2016
A. Para Pihak
Pelapor : Dormey Sinaga
Terlapor : Majelis Kehormataan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
B.Dugaan Maladministrasi: Dugaan penundaan berlarut oleh MKDKI ter kait proses penanganan Laporan
mengenai dugaan malpraktik terhadap Saudari Tioberti Sitor us oleh
dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT.
C. Proses Pemeriksaan:
1. Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman RI) telah melakukan pemeriksaan dokumen (resume
laporan) pada tanggal 20 Desember 2016 dan ber dasarkan pemeriksaan diperlukan permintaan
penjelasan kepada pihak Terlapor.
2. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0535/KLA/1352.2016/DS.59/T IM.3/ X III/2016
tertanggal 29 Desember 2016 dan surat Nomor : 0025/LNJ/1352.2016/DS.59 /T.3/2017 tertanggal
25 Januari 2017 kepada Ketua MKDKI yang pada intinya meminta Ketua MKDKI untuk melakukan
penelitian dan memberikan penjelasan atas dugaan penundaan berlarut yang dila kukan oleh MKDKI
terkait dengan laporan Pelapor yaitu Sdri. Dormey Sinaga.
3. Ombudsman RI telah mengadakan pertemuan dengan MKDKI pada hari Selasa tanggal 7 Maret
2017.
Hasil Pertemuan:
a.Perkembangan tindak lanj ut laporan sudah memasuki tahap ke 24 (dua puluh empat) dari 29
(dua puluh sembilan) tahap penanganan pengaduan oleh MKDKI sesuai dengan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 32 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi (Per konsil 32/2015) yaitu tahap membuat
keputusan;
b. Pada bulan Juli 2016, terjadi pergantian kepemimpinan dan ada sekitar 139 (seratus tiga puluh
sembilan) laporan dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi;
c. Laporan Pelapor yaitu Sdri. Dormey Sinaga akan menjadi prioritas MKDKI;
d. Pada tanggal 30 Maret 2017, akan dibacakan 4 (empat) putusan dugaan pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi di Medan tetapi belum bisa memastikan apakah laporan Sdri. Dormey
Sinaga termasuk salah satu yang dibacakan atau tidak;
e. Akan dilakukan revisi terhadap Perkonsil 32/2015.
4. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0533/SRT/1352.2016/DS.24/T.3/ III/2017 tertanggal
No Register : 0925/LM/x/2017/JKT
Tanggal : 31 Oktober 2017
B. Para Pihak
Pelapor : Jhonson Parsaoran Sianipar
Terlapor : RSUP H. Adam Malik Medan
B.Dugaan Maladministrasi or : Dugaan adanya penundaan berlarut oleh MKDKI Terkait belum
ditindaklanjutinya pengaduan malpraktek yang dilakukan oleh
dokter RSUP H. Adam Malik
F. Proses Pemeriksaan :
20. Pada bulan --------- Ombudsman RI telah melakukan pemeriksaan dokumen. Adapun dokumen
yang telah diperiksa antara lain :
a. Kronologi laporan;
b. Dokumen Pengisian Formulir Informed Consent RSUP H. Adam Malik, Nomor
UK.01.09/IV.4.2/223./2015 tanggal terbit 29 Januari 2015;
c. Dokumen Pemasangan Kateter Urin Menetap RSUP H. Adam Malik, Nomor:
YM.01.11/i.2/307/2015 tanggal ter bit 2 Februari 2015;
d. Dokumen Transfer Pasien Intra Rumah Sakit, Nomor: UK.01.09/I.2/329/2015 tanggal terbit 3
Februari 2015;
e. Dokumen Persetujuan / Penolakan Tindakan Kedokteran (Inform Consent) RSUP H. Adam
Malik, Nomor: UK.01.09/1.2/326/2015 tanggal terbit 3 Febr uari 2015;
f. Dokumen Transfer Pasien Antar Rumah Sakit, Nomor: UK.01.09/I.2/327/2015 Tanggal terbit 3
Februari 2015;
g. Dokumen Kriteria Pasien Masuk IGD RS UP H. Adam Malik, Nomor: UK.01.09/I.25/398/2015
2. Pada 15 September 2017, pihak pelapor mengirimkan Surat kepada Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) Perihal Pemberitahuan Mengenai Kematian Yang Tidak Wajar a.n.
Jessica Kateline Br. Sianipar;
3. Pada 25 September 2017, Orangtua Jessica Kateline Br. Sianipar melapor kan Kematian yang tidak
wajar anaknya a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar kepada pihak Ombudsman RI;
I. Standar Operasional Prosedur RSUP HAM terkait tindakan medis, pelayanan, dan
pemberian informasi kepada pasien dan/ atau keluarga pasien;
II. Pertimbangan pemasangan, fungsi resiko, serta prosedur pemasangan CVC pada pasien
sebagaimana telah diuraikan dalam kronologi;
III. Apakah pemasangan CVC pada pasien a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar sudah sesuai
prosedur?;
IV. Pembuatan rekam medis sebagaimana dalam angka 5 (lima) uraian kronologi bahwa pada
tanggal 30 Agustus 2017 belum selesai dibuat dilengkapi dengan SOP pembuatan Rekam
Medis di RSUP HAM.
6. Pada 24 November 2017, MKDKI memberikan respon terhadap permintaan klarifikasi laporan
masyarakat Nomor: 1748/U/MKDKI/X I/2017 yang berisikan penjelasan, bahwa tidak pernah ada
surat yang masuk ke MKDKI terkait permintaan klarifikasi kepada dokter yang mena ngani pasien
yang bersangkutan.
8. Pada tanggal 6 Desember 2017, Ombudsman RI melakukan kunjungan guna melakukan investigasi
terhadap kasus yang telah dilapor kan oleh Sdr. Jhonsons Parsaoran Sianipar mengenai dugaan
penundaan berlarut oleh MKDKI ter kait belum ditindaklanjutinya pengaduan malpraktik yang
diduga dilakukan oleh Dokter Di RSUP H. Adam Malik dalam menangani pasien a.n. Jessica Kateline
sehingga menyebabkan terjadinya kematian. Pertemuan dilakukan dengan Direktur Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik, dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara. Dari per temuan yang
dilakukan, pihak RSUP H. Adam Malik memberikan dokumen berupa SOP RSUP HAM yang harus
dilakukan terhadap para pasiennya sesuai dengan permintaan Ombudsman RI pada Surat Nomor:
0485/KLA/0925.2017/DS-57/T.3/X I/2017;
10. Pada 12 April 2018, pihak Ombudsman RI mengirim surat Nomor: 0383/SRT/0925.2017/DS -
57/T.3/IV/2018 perihal Permintaan informasi dan penjelasan yan g ditujukan kepada Badan
Pengawas Rumah Sakit Indonesia;
11. Pada tanggal 30 Mei 2018, Kementrian Kesehatan menyampaikan surat Nomor:
IR.02.02/III.3/031/2018 kepada Ombudsman RI sebagai langkah penindaklanjutan dari surat
Ombudsman RI Nomor: 0383/SRT/0925.2017/DS-57/T.3/IV/2018 perihal permintaan informasi dan
penjelasan;
12. Pada tanggal 3 Agustus 2018, pihak Ombudsman RI mengirimkan surat Nomor:
0622/SRT/0925.2017/DS-57/T.3/VIII/2018 perihal permintaan informasi dan penjelasan yang
G. Hasil Pemeriksaan :
Setelah melakukan serangkaian tindak lanjut penyelesaian laporan, diketahui bahwa permasalahan
yang dikeluhkan oleh Pelapor mengenai dugaan adanya penundaan yang tidak berlar ut oleh MKDKI
terhadap kasus kematian a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar, pada kelanjutannya sang terlapor (RS UP
H. Adam Malik) telah menunaikan kewajibannya sbb;
1. Pihak terlapor telah menguraikan kejadian versi terlapor secara jelas, dan detail melalui
pertemuan yang diadakan dengan Pihak Ombudsman RI pada tanggal 06 Desember 2017, di
Medan;
2. Kronologis secara medis (Rekam medis dari pihak RSUP H. Adam Malik) telah diberikan
terhadap pihak Ombudsman RI yang menyatakan bahwa memang sang pasien sudah dalam
kondisi yang cukup sekarat/mengkhawatir kan pada saat dibawa ke RSUP yang
bersangkutan.
Sesuai Pasal 36 ayat 1 huruf d Undang-Undang 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia, menyatakan “Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan ”,
sehingga laporan di tutup.
H. Kesimpulan: Ditemukan Adanya Maladministrasi
NIM : 1643500018
NAMA : Marvine Viano Gabrielle
DOSEN PEMBIMBING : Monica Margaret, S.Sos., M.Krim
JUDUL SKRIPSI : Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyelesaian Kasus
Kriminal Dalam Bentuk Dugaan Malpraktik Medis Melalui
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(Mkdki)
Mahasiswa di atas telah melakukan bimbingan dengan jumlah materi yang telah
mencukupi untuk disidangkan.
Jakarta,
Mahasiswa Dosen Pembimbing