Anda di halaman 1dari 88

TINJA UA N KRIMINOLOGIS TERHADAP PENYELESAIA N KASUS KRIMINA L

DALAM BENTUK DUGAA N MALPRA KTIK MEDIS MELALUI MAJELIS


KEHORMA TA N DISIPLIN KEDOKTERA N INDONESIA (MKDKI)

SKRIPSI

MARVINE VIA NO GA BRIELLE

1643500018

PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI

FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BUDI LUHUR

JAKARTA

2020

i
PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI
FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR

LEMBAR PER NYATAAN

Saya yang ber tanda tangan di bawah ini:

Nama : Marvine Viano Gabrielle

NIM : 1643500018

Program Studi : Kriminologi

Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik

Menyatakan bahwa SKRIPSI yang berjudul:

TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PENYELESAIAN KASUS KRIMINAL DALAM BENT UK


DUGAAN MALPRAKT IK MEDIS MELALUI MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN
INDONESIA (MKDKI)

Merupakan hasil pemikiran sendiri dan kar ya orisinil untuk meraih gelar akademik tingkat
Strata Satu (S-1),

Saya izinkan untuk dikelola oleh Universitas Budi Luhur sesuai dengan etika dan hukum
yang berlaku

Pernytaan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan saya bersedia menerima
konsekuensi apapun yang terjadi dimasa mendatang sesuai aturan yang berlaku apabila
pernyataan ini tidak benar.

Jakarta, .........................

Marvine Viano Gabrielle

ii Universitas Budi Luhur


PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI
FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR

LEMBAR PERSETUJ UA N

Setelah melalui pembimbingan, maka Skripsi dengan judul “TINJA UA N


KRIMINOLOGIS TERHA DAP PENYELESA IA N KASUS KRIMINA L DALAM BENTUK
DUGAA N MALPRAKTIK MEDIS MELALUI MAJELIS KEHORMA TA N DISIPLIN
KEDOKTERA N INDONESIA (MKDKI) ” yang diajukan oleh:

Nama : Marvine Viano Gabr ielle

NIM : 1643500018

Telah disetujui untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Sidang Tingkat Strata Satu (S -


1) Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Program Studi Kriminologi, Universitas Budi
Luhur, Jakarta Selatan.

Jakarta,...............
Dosen Pembimbing S kripsi

(Monica Margaret, M.Krim)

iii Universitas Budi Luhur


PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI
FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR

LEMBAR PENGESA HA N

Nama : Marvine Viano Gabrielle


NIM : 1643500018
Bidang Peminatan : Kriminologi
Jenjang Studi : Strata 1
Judul : TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP
PENYELESAIAN KASUS KRIMINAL DALAM
BENT UK DUGAAN MALPRAKT IK MEDIS
MELALUI MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN
KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)
Jakarta, ............ 2020

Tim Penguji: Tanda Tangan:

Ketua
(......................)
Penguji 1,

............................... (......................)
Penguji 2,

............................... (......................)

Ketua Program Studi Kriminologi

Chazizah Gusnita, M.Krim

iv Universitas Budi Luhur


PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI
FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR

ABSTRAKSI

Nama : Marvine Viano Gabrielle


NIM : 1643500018
Judul : TINJAUAN KRIMINOLOGIS TERHADAP PENYELESAIAN
KASUS KRIMINAL DALAM BENT UK DUGAAN
MALPRAKT IK MEDIS MELALUI MAJELIS KEHORMATAN
DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)
Klasifikasi : VII Bab
Referensi : 8 Buku, 2 Skripsi, 1 Disertasi, 21 Jur nal Elektronik, 1
Verbatim Wawancara, 7 Sumber Daring, 5 Aturan
Perundang-undangan dan 2 Dokumen Resmi.
Dilihat dari beberapa kasus malapraktik yang pernah terjadi di Indonesia, tampak bahwa
proses penyelesaian yang dilakukan hanya terkait kepada tindakan-tindakan berupa
mediasi hingga pengarahan untuk menyelesaikan permasalahan secara etik dan juga
disiplin. Penyelesaian kasus secara etik juga disipli n kedokteran dipegang secara legal
oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) & Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) yang dimana kedua lembaga ini ber gerak dibawah
pengawasan Konsil Kedokteran Indonesia. Sudah lama menjadi per bincangan di ranah
hukum juga kemasyarakatan tentang penyelesaian kasus malapraktik tanpa melewati
jalur hukum yang dimana kasus yang ada secara penglihatan diselesaikan tanpa keadilan
yang berarti. Penelitian ini akan melihat juga menganalisis dugaan malaprakti k medis di
dunia kedokteran Indonesia dari kacamata ilmu Kriminologi dengan didukung oleh teknik
pengumpulan data wawancara, studi literatur dengan dilandasi oleh teori anomie,
occupational crime, dan critical criminology views . Hasil dari penelitian ini berupa temuan
bahwa penyelesaian kasus dugaan malapraktik medis ber tabrakan dengan ketiadaan
pendefinisian malapraktik medis dan ranah medis sebagai tempat per putaran ekonomi.

Kata Kunci:

malapraktik medis, kelalaian medis, kejahatan okupasional, dokter, etika profesional

v Universitas Budi Luhur


PROGRAM STUDI KRIMINOLOGI
FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BUDI LUHUR

ABSTRACT

Name : Marvine Viano Gabrielle


Student ID Number : 1643500018
Theme of Research : Criminological Review About Criminal Settlement Case
In The Term of Medical Malpractice Through Medical
Disiplinary Institution
Classification : VII (7) Chapters
References : 8 Books, 2 Thesis, 1 Disertation, 21 e-Journals, 1
Verbatim Interview, 7 Online Source, 5 Statutory
Rules, and 2 Official Documents.

Some case that refers to Medical Malpractice in Indonesia shows the sttelement just
focused on the mediation and a direction that arrange victim to report the case to
medical ethics & disiplinary institution. The settlement of medical malpractice cases are
handled legally by Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) & Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), and this legal institution is operating under the
official Indonesian Medical Council. Case about medical malpractice has been talked
about for a long time in the eyes of law & social science, that –this type of case has been
settled without the law enforcement involved in it. This research see the settlement of
medical malpractice cases in the criminological perspective supported by analitical data
such as interview and study literature based on Durkheim’s anomie theories, occupational
crime theories, and critical criminology views. The result of this research is this
phenomena of settling medical malpractice case without law inforcement collide with a
fact that the definition of medical malpractice are not defined yet in Indonesia and
medical institution work as an economic or business institution.
Keyword:

medical malpractice, medical neglience, occupatio nal crime, doctor, professional ethics

vi Universitas Budi Luhur


KA TA PENGA NTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
rahmat juga karunia- Nya lah saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir berjudul “Tinjauan
Kriminologis Terhadap Penyelesaian Kasus Kriminal Dalam Bentuk Dugaan Malpraktik
Medis Melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)”. Penulisan
Tugas Akhir ini dilaksanakan dalam rangka pemenuhan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S-1) pada Program Studi Kriminologi Fakultas
Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Budi Luhur. Tugas Akhir ini dapat terlakana
tentunya atas dukungan dari banyak pihak dan oleh kerenanya dalam kesempatan kali
ini, penulis hendak menyampaikan rasa terimakasihnya kepada:

1. Kedua orang tua & adik penulis yang selalu memberikan dukungan juga
pelajaran hidup kepada penulis.
2. Rektor Universitas Budi Luhur, Bapak Dr. Ir. Wendi Usino, M.sc.
3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Bapak Dr. Rusdiyanta, M.si.
4. Ketua Program Studi Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas
Budi Luhur sekaligus Dosen Pembimbing Akademik penulis, Ibu Chazizah
Gusnita, M. Krim yang telah mendedikasikan waktu juga tenaganya dalam
membantu permasalahan penulis terkait administrasi akademik selama
perkuliahan berlangsung.
5. Dosen pembimbing penulis, Ibu Monica Margaret, M. Krim, yang telah
menyisihkan waktu dan tenaganya untuk memberikan masukan, saran juga
arahan ter hadap Tugas Akhir yang tengah penulis susun.
6. Seluruh Dosen dalam Program Studi Kriminologi Universitas Budi Luhur beserta
para staff di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik yang telah memberikan banyak
bentuk bimbingan selama 4 (Empat) tahun kebelakang sehingga pada proses
penyusunan T ugas Akhir ini penulis merasa sangat ter bantu.
7. Tim 3 Ekonomi I Ombudsman Republik Indonesia, yang tediri dari Bapak Dadan,
Bapak Andi, Bapak Adam, Bapak Fathir, Ibu Aat, Ibu Rizkiana, Ibu Hertika, dan
Ibu Indah yang telah meluangkan waktunya dalam proses penyediaan laporan
juga pengkoordinasian terkait penyiapan narasumber bagi penelitian ini.
8. Keluar ga Imam yang telah menyediakan rumahnya selama masa pandemi
berlangsung untuk mengerjakan skripsi.
9. Teman-teman Seperjajijiwa Kriminologi, Kakang, Ilham, Janice, Imam, Savat,
Ica, Dew y, Sisi, Fahdud, Faisal, Rovis, dan Ade.
10. Rekan Laper mulu, Bimo Nimo, Alber Ryan, Brambino, dan Giofun

vii Universitas Budi Luhur


11. Rekan-rekan Asem Geblek.
12. Warung Bu Dar ti Riverside yang telah menyediakan asupan makan siang selama
empat tahun lamanya bagi rekan-rekan Kriminologi.

Akhir kata dari penulis semoga penelitian ini dapat dimanfaatkan dengan
sebagaimana mestinya untuk penelitian-penelitian selanjutnya dan kepada pihak-pihak
yang telah membantu jalannya penelitian ini agar dilimpahkan rahmat oleh T uhan Yang
Maha Esa.

Jakarta, 11 Juli 2020

Marvine Viano Gabrielle

viii Universitas Budi Luhur


DAFTAR ISI

LEMBAR PER NYATAAN ........................................................................................... ii

LEMBAR PERSETUJ UA N......................................................................................... iii

LEMBAR PENGESA HA N.......................................................................................... iv

ABSTRAKSI ............................................................................................................. v

ABSTRACT .............................................................................................................. vi

KA TA PENGA NTAR ................................................................................................ vii

DA FTAR TABEL ...................................................................................................... xii

BAB I Pendahuluan................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ..................................................................................................1

1.2 Permasalahan........................................................................................................6

1.3 Pertanyaan Penelitian ............................................................................................7

1.4 Tujuan Penelitian...................................................................................................8

1.5 Signifikansi Penelitian ............................................................................................8

1.5.1 Signifikansi Akademis ...................................................................................8

1.5.2 Signifikansi Praktis .......................................................................................8

1.6 Keterbatasan Penelitian..........................................................................................8

1.7 Sistematika Penulisan ............................................................................................9

BAB II Tinjauan Pustaka ...................................................................................... 10

2.1 Definisi Konseptual ..............................................................................................10

2.1.1 Definisi Malapraktik Medis ..........................................................................10

2.1.2 Definisi Etika Kedokteran ...........................................................................11

2.1.2 Definisi Majelis Kode Etik Kedokteran ..........................................................12

2.1.3 Definisi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ...........................12

2.1.4 Definisi Kejahatan Profesionalisme ..............................................................12

2.1.5 Definisi Pr ofesionalisme Kedokteran ............................................................13

2.2 Teori Anomi Emile Dur kheim ................................................................................14

2.3 Teori Critical Criminology/Kriminologi Kritis............................................................14

ix Universitas Budi Luhur


2.4 Occupational Crime/Kejahatan Okupasional ...........................................................16

2.4 Review Jurnal ......................................................................................................19

2.4 Kerangka Berpikir ................................................................................................22

BAB III Metode Penelit ian ................................................................................... 24

3.1 Pendekatan Penelitian..........................................................................................24

3.2 Tipe Penelitian.....................................................................................................25

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ...............................................................................25

3.4 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ....................................................................26

3.4.1 Pengumpulan Dokumen Terkait Hingga Rilis Berita ......................................26

3.4.2 Studi Literatur ...........................................................................................26

3.4.2 Wawancara ...............................................................................................27

BAB IV Profil Instansi........................................................................................... 28

4.1 Lembaga Pembuktian Terkait Malapraktik .............................................................28

4.1.1 Majelis Kode Etik Kedokteran Indonesia ......................................................28

4.1.2 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ......................................28

4.2 Ombudsman Republik Indonesia Sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan Publik ......31

BAB V Hasil Temuan Data .................................................................................... 33

5.1 Pengertian Malapraktik Dalam Masyarakat ............................................................33

5.2 Pernyataan Ketua MKDKI Perihal Malapraktik Medis (Kasus Dr. Ayu) .......................34

5.3 Wawancara Dengan Asisten Ombudsman Republik Indonesia .................................36

5.4 Contoh Kasus & Judicial Review Malapraktik Medis ................................................38

5.4.1 Keadaan Vegetatif Pasien Tanpa Kejelasan .................................................38

5.4.2 Pemasangan Kateter Secara Sewenang-Wenang .........................................38

5.4.3 Pengangkatan Indung Telur Sepihak oleh dr. HS (2018) RS Grha Kedoya .....40

5.4.4 Judicial Review Undang-Undang Perlindungan Konsumen Negara India Serta


Implikasinya Terhadap Malapraktik Medis ............................................................41

5.4.5 Kasus Kematian Ayahanda Jacob Mathew ...................................................42

5.4.6 Kasus Kekeliruan Prosedur Dr. C. P.Srekumar, M.S.(Ortho) ..........................43

5.4.6 Persidangan in absentia Dalam Ranah Etik & Disiplin Kedokteran .................43

x Universitas Budi Luhur


5.4.7 Seminar Hukum Kupas Tuntas Tan ggungjawab atas Tindakan Malapraktik
Medis ................................................................................................................43

BAB VI Analisis ..................................................................................................... 45

6.1 Pelaksanaan Sidang Kasus Dugaan Malapraktik Kedokteran Tanpa melalui Jalur
Hukum .....................................................................................................................45

6.2 Kondisi Anomie Emile Dukr heim Yang Mengakibatkan Kebingungan Masyarakat Atas
Kasus Malapraktik Medis ............................................................................................49

6.3 Celah Dalam Ranah Keprofesian Dokter yang Menyebabkan Terjadinya Occupational
Crime .......................................................................................................................52

6.4 Ketiadaan Pendefinisian Malapraktik Medis Dilihat Dari Perspektif Critical Criminology
................................................................................................................................55

BAB VII Penutup................................................................................................... 58

7.1 Kesimpulan .........................................................................................................58

7.2 Saran ..................................................................................................................59

DA FTAR PUSTA KA ................................................................................................. 60

LAMPIRA N............................................................................................................. 64

KARTU BIMBINGA N.............................................................................................. 76

xi Universitas Budi Luhur


DA FTAR TABEL

Tabel Jumlah Kaus Malapraktik Di Indonesia .......................................................6

Tabel Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman RI (1) ............................ 68

Tabel Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman RI (2) ........................... 72

xii Universitas Budi Luhur


BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Dalam melakukan tugasnya, para tenaga kesehatan termasuk dokter
sekalipun memiliki tanggung jawab terhadap para pasien yang sedang ditanganinya.
Kesalahan-kesalahan yang mengakibatkan kerugian bagi sang pasien dampak
kerugiannya bukan hanya pada saat terjadinya suatu kesalahan tindakan, tetapi bisa
pula mempengar uhi keadaan sang pasien di masa yang akan datang. Dewasa ini,
kesadaran selur uh pasien akan hukum yang berlaku semakin besar, dan akibat hal ini
pula para tenaga kesehatan dituntut untuk lebih cekatan dalam melakukan tugasnya
dalam menangani ber bagai kondisi masalah kesehatan yang dialami oleh masyarakat.
Apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan yang berupa dugaan malapraktik, maka
bukan tidak mungkin sang pasien akan bergerak dalam hukum demi menuntut
keadilan atas diri mereka sendiri (Ake, 2003: 7).

Malapraktik dalam bidang medis tampak sebagai mekanisme ataupun definisi


yang digunakan oleh masyarakat umum untuk menjelaskan apa itu kesalahan –
kesalahan secara medis yang dilakukan oleh tenaga medis profesional itu sendiri.
Kesalahan medis bisa berupa penghilangan hak atas pasien, hingga menghilangnya
hak administrasi medis di tempat yang bersangkutan. Ada beberapa tipe dari
malapraktik medis, diantaranya yang dilihat secara etik, kriminal, administratif, dan
disiplin kedokteran. Malapraktik medis ini menjadi sebuah masalah yang terus
menerus berkembang di seluruh dunia, dan tentunya hal ini mempengaruhi sistem
kesehatan yang ada di negara-negara selama 3 dekade kebelakang. Salah satu
contoh dari pengaruh malapraktik medis adalah meningkatnya harga daripada
asuransi kesehatan yang ada di dunia, mengingat dengan terjadinya hal ini, maka
perekonomian secara produktif akan dipengar uhi (Duarte, dkk. 2018: 113).

Hampir sama dengan jenis malapraktik medis yang dirumuskan oleh tenaga
medis di Colombia, Soeraryo Darsono menjelaskan, bahwa malapraktik dalam bidang
medis dapat dibedakan menjadi:

1. Malapraktik Kriminal, yaitu dimana perbuatan yang dilakukan


memenuhi rumusan delik pidana, dan untuk
mempertanggungjawabkannya dilakukan secara individual, sehingga

1
tidak dapat dialihkan kepada organisasi ataupun rumah sakit yang
menaungi.
2. Malapraktik Civil, yaitu tenaga medis yang tidak melaksanakan
kewajibannya sesuai dengan standar operasional prosedur yang telah
ditetapkan di klinik ataupun rumah sakit yang bersangkutan. Proses
pertanggungjawabannya dapat secara individual ataupun dialihkan
langsung terhadap pihak rumah sakit yang menaungi.
3. Malapraktik administratif, yaitu dimana tenaga medis tidak dapat
menunjukkan kelengkapan surat tugas ataup un surat izin legal yang
menyatakan bahwa dirinya merupakan tenaga kesehatan yang sah.

Dalam melakukan proses penyelidikan di bidang malapraktik medis, tidak serta


merta masyarakat yang terkena dampaknya dapat langsung membuat laporan kepada
pihak berwajib, dan menunggu hasil persidangan, tetapi disini ada yang namanya
persidangan yang sesuai dengan kompetensi. Persidangan yang dimaksud adalah sebuah
organisasi disiplin kedokteran yang memang bergerak, dan dianggotai oleh sesama
tenaga kesehatan. Organisasi ini biasanya memiliki regulasi sendiri, dan telah ada standar
operasionalnya secara profesional. Untuk melakukan sebuah tindakan investigasi,
dibutuhkan profesional yang memang satu profesi dengan disiplin kesehatan yang sama
(Fathi, 2016: 5 – 6).

Dalam melaksanakan tugasnya sebagai seorang tenaga kesehatan, dokter


sebagai tameng ter depan ataupun garda terdepan dari pelayan kesehatan harus
memenuhi beberapa tanggung jawab. Tanggung jawab yang diemban cukup berat,
mengingat hal yang dilakukan oleh seorang dokter merupakan sebuah tata-cara praktik
secara keilmuan yang dilakukan dengan tingkat kesulitan, kemampuan, hingga perlakuan
prosedur yang sangat kompleks. Tingkat kompleksitas ini pada akhirnya akan
menimbulkan suatu halangan bagi para tenaga kesehatan, seperti melakukan kesalahan-
kesalahan yang akan mempegaruhi hasil akhir. Sistem yang kompleks ini tampak menjadi
hambatan hingga halangan karena bisa saja dikemudian hari akan terjadi suatu
kesalahan yeng entah itu tidak terduga, hingga tidak terlihat (Jayanti, 2009: 48).

Tenaga medis tentunya memiliki cara masing-masing dalam melakukan


pekerjaannya hingga sampai pada saat dimana ia melakukan kesalahan yang berakibat
fatal. Kesalahan ini merupakan awal dari kriminalisasi yang dilakukan oleh pasien atau
masyarakat yang merasa dirugikan. Malapraktik medis ini sangat mudah muncul ke atas
permukaan sebagai akibat dari keberadaan dunia medis itu sendiri yang menuntut
kemampuan ter tentu untuk dikuasai, sehingga tampaknya akan cukup sulit untuk
melepaskan kaitan antara kesalahan medis dengan tindakan malapraktik yang bisa

2 Universitas Budi Luhur


dikriminalisasikan. Pigeons & Oleary pernah mengatakan bahwa sesungguhnya kesalahan
yang dilakukan oleh profesional muncul sebagai akibat dari masyarakat yang tidak
mengetahui seluk beluk ter kecil daripada jalannya sebuah organisasi keprofesian ataupun
kelompok tertentu (Dekker, 2009:63).

Kelalaian daripada pihak tenaga kesehatan ini, khususnya dari dokter itu sendiri
dalam ranah profesinya biasa disebut pelanggaran etik. Pelanggaran dalam bentuk etik
ini terlihat ketika sang profesional melakukan kesalahan, dan juga ketidaksesuaian
prosedur mutu yang telah didalami selama masa pendidikannya. Dengan adanya
pelanggaran etik ini, maka dapat diupayakan hal-hal yang bersifat membina, karena pada
dasarnya, pelanggaran etik ini telah merusak moral, nilai, dan juga kewajiban yang
memang seharusnya diemban oleh tenaga kesehatan. Untuk dapat menafsir bahwa
tindakan yang dilakukan seorang dokter merupakan hal yang melanggar kode etik, ada
lembaga khusus yang bernama MKEK / Majelis Kehormatan Etika Kedokteran, yang
dimana lembaga ini bergerak di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia atau yang biasa
dikenal dengan istilah IDI. Jika kita membahas mengenai disiplin kedokteran, maka
lembaga yang menentukan bahwa sang dokter melakukan pelanggaran dalam bentuk
disiplin ada pada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia / MKDKI (Darwin,
2015: 19 – 21).

Terkait dengan pelanggaran kode etik yang dalam pemahaman masyarakat,


maka akan ber ujung ke dalam ranah malapraktik medis, ada penjelasannya sesuai
dengan prinsip-prinsip tertentu. Etika kedokteran yang dimaksud ini memiliki beberapa
prinsip, diantaranya:

1. Memberi manfaat, dan tidak memperburuk keadaan.


2. Penghormatan hak-hak pasien.
3. Keadilan
4. Integritas tenaga medis

Dengan adanya ke-empat poin tersebut, dapat disimpulkan bahwa malapraktik


medis ini terjadi sebagai akibat dari tidak terpenuhinya prinsip dari etika kedokteran yang
seharusnya tenaga kesehatan berikan pada setiap pasiennya (Hardisman, 2012: 75).

Untuk dapat melindungi hak-hak pasien ataupun masyarakat sebagai penikmat


fasilitas kesehatan, pemerintah telah pro-aktif dalam menanganinya, dan hal ini ditandai
dengan lahirnya undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedo kteran.
Dengan diundangkannya peraturan tersebut, pemerintah tampak fokus dalam
meningkatkan kesadaran, kemampuan, juga kemauan masyarakat untuk hidup sehat,
dan untuk menaikkan derajat kesehatan khalayak ramai secara optimal. Dokter dengan

3 Universitas Budi Luhur


segala keilmuannya memiliki hak untuk melakukan tindakan medis ter hadap tubuh
manusia dalam rangka meningkatkan taraf kesehatan masyarakat. Ketika kita
menjembatani isu yang terkait dengan Praktik kedokteran, kita dihadapkan pada Majelis
khusus yang ber naung di bawah Konsil Kedokteran Indonesia, yang dike nal dengan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), dan yang perlu ditekankan,
secara umum dalam UU Praktik Kedokteran belum dirumuskan mengenai definisi dari
kesalahan medis , malapraktik medis ataupun kelalaian dokter (Aprilianto, 2015: 528).

Di dalam etik juga disiplin kedokteran Indonesia, ada nilai-nilai yang dipegang
teguh, agar secara kasat mata, Tindakan yang mereka lakukan tidak disebut sebagai
sebuah malapraktik medis. Pemberian manfaat, tidak memperburuk keadaan,
menghormati hak pasien, keadilan, dan integritas pribadi daripada tenaga Kesehatan
merupakan prinsip-prinsip yang har us dipegang dengan erat, dimana jika salah satu
prinsip tersebut melenceng ataupun dilanggar, maka akan ada sebuah konsekuensi dari
pasien-pasien yang akan menyatakan bahwa hal-hal yang dilakukan merupakan sebuah
tindakan malapraktik medis. Pengaplikasian dari filosofi medis juga digunakan dalam
mendefinisikan suatu hal yang ber hubungan dengan malapraktik medis, dimana dalam
melaksanakannya ada konsekuensia, deontologisme, dan vir tu etik. Filosofi-filosofi medis
yang ada ini menjelaskan bagaimana cara atau perlakuan-perlakuan medis dapat
menyebabkan akibat-akibat tertentu (Hardisman, 2010: 75-76).

Istilah malapraktik medis yang dilakukan oleh tenaga medis ataupun para
profesional pendefinisiannya masih dalam perdebatan. Istilah mengenai malapraktik
medis biasa digunakan oleh negara-negara penganut sistem hukum anglo-saxon /
common law , sementara dalam negara yang memiliki sistem hukum civil law ,tidak
mengenal istilah-istilah yang berkaitan dengan malapraktik medis. Dalam negara civil
law, seperti Indonesia ini, istilah malapraktik biasa disebut sebagai “dolus”, “culpa lata”,
atau dapat didefinisikan sebagai kelalaian medik yang terjadi sebagai akibat dari ketidak-
mahiran atau ketidak-kompetenan profesional dalam menjalanan tugasnya, dan dalam
hal ini mer upakan seorang dokter yang terlibat suatu kasus dugaan malapraktik medis
(Susanto, 2013: 61).

Di Indonesia ini sendiri sudah ada beberpa kali santer terdengar kasus mengenai
kelalaian dalam tindakan medis. Dari pelayanan kesehatan yang sudah diberikan,
terdapat beberapa kelalaian ataupun kesalahan yang bisa disebut sebagai malapraktik
yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Kesalahan dari mulai salah diagnosa, hingga
salah menetapkan dosis obat menjadi salah dua contoh kelalaian medis yang konkret
terjadi. Sayangnya, masyarakat yang terkena dampak akibat dari kelalaian ini hanya
sebagaian kecil saja yang melaporkannya pada pihak yang berwenang, dan itupun jika

4 Universitas Budi Luhur


dilapor kan, tentu tidak akan sampai di pengadilan, mengingat adanya berbagai jalan
damai yang ditawar kan oleh penyedia jasa kesehatan (Aziz, 2014: 2).

Tindakan medis yang ber ujung kepada dugaan malapraktik masih marak terjadi
sebagai akibat dari standar keprofesian yang belum merata di Indonesia. Untuk dapat
membuktikan suatu kasus dugaan malapraktik medis secara nasional masihlah s ulit,
karena mengingat ilmu kedokteran hanya dikuasai oleh segelintir orang yang memang
sudah memiliki sertifikasi khusus. Masyarakat awam hanya memahami ilmu ini secara
umum saja. Penegak hukum akan kesulitan dalam rangka pembuktian daripada kasus
dugaan malapraktik medis ini, mengingat ilmunya hanya sebatas praktisi pidana saja,
melainkan bukan praktisi kedokteran. Pada akhirnya, kasus-kasus dugaan malapraktik
yang ada hanya akan bermuara diranah kode etik saja (Qomariyah, Choiwutun,
Prihatmini, 2018: 466).

Tenaga kesehatan yang dianggap lalai, menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya malapraktik medis. Ketidak-kompetenan dari para tenaga kesehatan yang
melakukan pelayanan medis bisa menimbulkan ker ugian bagi seorang pasien. Ketua
Ikatan Dokter Indonesia regional Lampung, dr. Asep Sukandar mengatakan bahwa dalam
satu tahun, di Lampung bisa terjadi dua hingga empat kali kasus dugaan malapraktik
medis, yang tentunya kasus-kasus yang ada belum tentu dapat diproses (Ginting, 2017:
2).

Kelalaian dalam ranah medis yang dilakukan oleh dokter/tenaga kesehatan bisa
disebut kejahatan ketika kelalaian yang dimaksud ini sudah melibatkan skill sang dokter
yang dimaksud. Kejahatan jenis ini sudah tidak melihat posisi suatu negara apakah
menganut pemahaman bahwa etika profesionalitas diatas segalanya, namun ketika suatu
kasus dugaan malapraktik telah melewati batas, maka hal tersebut bisa dibawa ke ranah
hukum. Secara umum juga secara sosial, tidak ada perlindungan khusus bagi para pelaku
kejahatan jenis malapraktik me dis ini, jika bukti sudah memenuhi, maka semuanya akan
bisa dibawa ke ranah hukum. Perlu diingat pula bahwa kelalaian yang dilakukan memiliki
arti bahwa sang profesional, yang dalam hal ini merupakan seorang dokter telah
melewatkan beberapa bagian skillnya sendiri dimana seharusnya mereka ber kompeten
dalam hal tersebut (Gupta, 2005: 23-26).

5 Universitas Budi Luhur


Kasus Malapraktik Medis
40
35
30
25
20
15
10
5
0
2015 2016 2017 2018

Tabel 1. Sumber Media Indonesia

Dikutip dari Media Indonesia, pengaduan beser ta gugatan hukum yang


diupayakan oleh masyarakat terkait dengan kasus dugaan malapraktik medis setiap
tahunnya dilakukan pendataan oleh Ikatan Dokter Indonesia. Dijelaskan melalui data PB
IDI (Ikatan Dokter Indonesia), setiap tahunnya, gugatan hukum terhadap dokter kian
bertambah, pada tahun 2015 saja ada 10 gugatan kepada pihak dokter, kemudian kasus
yang dilapor kan pun meningkat pada tahun berikutnya (2016) menjadi 30 gugatan. Pada
tahun 2017, gugatan kepada dokter terkait dengan kasus yang dialami masyarakat
kembali naik menjadi 38 kasus, dan pada semester pertama di tahun 2018, gugatan yang
masuk sudah ada sekitar 33 kasus. Ada perbedaan di dalam data yang dihimpun pada
tahun 2018, dimana kasus malapraktik yang masuk ke PB IDI terhitung hanya pada
semester atau 6 (Enam) bulan pertama saja (Oktaviyani, 2018).

1.2 Per masalahan


Hingga saat ini dalam undang-undang kesehatan yang berlaku di Indonesia,
belum ada aturan yang secara gamblang menyebutkan definisi daripada malapraktik
medis, sehingga kasus dugaan malapraktik medis hanya dikatakan sebagai sebuah
kelalaian yang dilakukan oleh tenaga medis saja. Kasus mengenai malapraktik medis
tampak agak sulit untuk dibawa ke meja hijau, men gingat dalam rangka penegakan
keadilannya dilakukan hanya secara etika keprofesian, Ikatan Dokter Indonesia sebagai
sebuah organisasi memiliki Majelis Etik, dan juga memiliki Majelis Kehormatan Disiplin
yang langsung berada di bawah keorganisasian IDI. Dalam rangka pembuktian ter kait
kasus dugaan malapraktik medis, pihak pelaku bisa saja hanya ter kena sanksi berupa

6 Universitas Budi Luhur


pencabutan surat izin praktik, dan tampak tidak ada proses secara hukum dalam
pelaksanaan tuntutannya.
Dengan tidak jelasnya norma hingga aturan-aturan yang berlaku ter kait dengan
pendefinsian malapraktik medis dalam masyarakat Indonesia, selain agak kacaunya
premrosesan kasus yang ter kait dengan malapraktik medis ini, pendefinisian ataupun
pengertian dalam masyarakat mengenai malapraktik medis pun menjadi agak liar.
Masyarakat tidak punya pegangan tentang apa itu yang dimaksud dengan malapraktik
medis, sehingga persepsi baru dalam masyarakat pun mu ncul, dan beberapa golongan
atau bagian masyarakat akan tidak mempercayai dokter sebagai tenaga kesehatan yang
mumpuni, dan malah akan kembali kepada praktik-praktik medis tradisional yang
keamanannya belum teruji secara ilmiah.
Tidak diaturnya definisi mengenai malapraktik medis yang difokuskan kepada
sebuah tindakan kriminal menyebabkan bidang keprofesian yang dimaksud (Dokter,
Perawat, Apoteker, dsb) beberapanya tidak bisa mengambil tindakan dengan alasan
ketiadaan definisi hukum dari malapraktik itu sendiri. Contoh kasus yang paling gampang
dilihat dan kur un waktunya terjadi kurang lebih satu tahun ke belakang, dikutip dari
Liputan 6 adalah kasus mengenai Dokter Terawan yang menerapkan sebuah teknologi
penyembuhan kepada para pasiennya dimana teknologi yang dipakai belum diuji secara
klinis. Dari kasus tersebut dapat dilihat bahwa kasus yang ada pun berpengaruh kepada
komunitas-komunitas keprofesian (Dokter-dokter Indonesia), krena dengan adanya kasus
dugaan pelanggaran disiplin kedokteran ini, kepercayaan masyarakat Indonesia menurun
terhadap para tenaga kesehatan resmi (Perdana, 2018).
Dengan adanya contoh kasus yang telah terjadi di Indonesia ini, kasus
malapraktik tanpa definisi ini tampak telah mengorban kan sisi profesionalitas daripada
tenaga Kesehatan hingga dokter itu sendiri. Keprofesionalitasan diuji pada masa
ketiadaannya definisi ini, karena dampaknya bisa terhadap kepercayaan masyarakat itu
sendiri kepada para dokter. Masyarakat akan mempertanyakan keprofesionalitasan para
dokter hingga bahkan akan timbul ketidakpercayaan kepada profesi dokter dikarenakan
hanya ada 1 kasus mencuat yang ter kait dengan malapraktik kedokteran (Permana, dkk,
2019: 54).

1.3 Pertanyaan Penelitian


Bagaimana kah penyelesaian kasus kriminal terkait dugaan malapraktik medis
yang merugikan pasien sebagai korban, dimana dalam penyelesaian perkaranya tidak
melewati langkah-langkah hukum yang berlaku secara individual bagi pelaku dengan
hanya melalui lembaga etik dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia?

7 Universitas Budi Luhur


1.4 Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis dan juga mengkaji dari sudut pandang secara kriminologi
terkait dengan penyelesaian kasus kriminal ter kait dengan dugaan malapraktik medis
melalui jalur etik Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang dimana majelis
ini ber tugas untuk menentukan ada atau tidaknya malapraktik medis yang terjadi tanpa
melewati jalur hukum yang ada di Indonesia.

1.5 Signifikansi Penelit ian

1.5.1 Signifikansi Akademis


Penelitian secara metodologi diharapkan dapat mengembangkan kajian
analisis mengenai ketiadaan definisi daripada malapraktik medis di Indonesia.
Konsep pemikiran dan juga teori yang ada dalam penelitian ini juga diharapkan
dapat membuka wawasan kita sebagai masyarakat, juga para penegak hukum
dalam menghadapi kasus-kasus yang terkait dengan malapraktik medis dengan
ditinjau dari segi pemikiran secara kriminologis, karena kita menjadi sadar, bahwa
dengan ketiadaannya definisi ter kait dengan malapraktik medis, maka akan sangat
sulit menggugat tenaga kesehatan yang diduga melakukan tindakan malapraktik
medis, padahal sangat jelas terlihat bahwa syarat dari proses terjadinya kejahatan
adalah dengan adanya pelaku, tindakan yang merugikan, dan juga korban.

1.5.2 Signifikansi Prakt is


Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pelaksanaan,
pengkajian lebih lanjut, hingga pengadaan undang-undang ter kait dengan
pengkhususan malapraktik medis dimasa yang akan datang. Kita har us mengingat
bahwa dengan adanya kealpaan dalam pendefinisian ini akan menyebabkan tidak
berjalannya norma tertentu yang ada di dalam masyarakat, dan para pelaku yang
cenderung menganggap normal kegiatan kejahatan yang sedang dilakukannya.
Pembentukan regulasi ter kait dengan malapraktik medis ini sangat diharapkan oleh
penulis, mengingat aturan-aturan yang ada hanya tampak sebagai penegak disiplin,
juga etik kedokteran semata, dan tidak ada aspek hukum yang jelas.

1.6 Keterbatasan Penelit ian


Peneliti agak kesulitan dalam mencari penelitian-penelitian mengenai tinjauan
secara kriminologis yang telah ada sebelumnya terkait dengan penelitian malapraktik
medis, karena jika dilihat secara keseluruhan, penelitian yang telah dilakukan tampaknya
hanya ter fokus ke substansi secara hukum pidana dan perdata saja, memang
beberapanya tetap ada penelitian yang melibatkan sudut pandang kriminologi, namun
tetap saja para penulis atau peneliti yang dimaksud memiliki latar belakang hukum,

8 Universitas Budi Luhur


bukan spesifik seorang kriminolog. Tampak masih sedikitnya penelitian-penelitian yang
mengaitkan malapraktik medis dengan kondisi sosial juga norma dari masyarakat, yang
dimana dalam penelitian ini, penulis berusaha untuk mengupas malapraktik medis dari
segi kealpaan norma, dan juga kealpaan definisi, sehingga malapraktik medis ini masih
marak terjadi, dan muncul definisi-definisi liar dikalangan masyarakat ter kait dengan
pengertian malapraktik medis.
Terkait dengan contoh kasus yang ada, penulis j uga mengalami kesulitan dalam
memasukan contoh-contohnya ke dalam penelitian ini, mengingat beberapa kasus
dugaan malapraktik masih berjalan pemeriksaannya dilembaga-lembaga ter kait. Penulis
tetap ber usaha mendapatkan izin untuk memasukan beberapa contoh kasus dugaan
perlakuan malapraktik medis kepada pihak Ombudsman Republik Indonesia, dengan
jalan tengah, beberapa kasus yang ada dapat dimasukan, namun dengan syarat penulis
harus tetap berpegang teguh pada keamanan data-data pribadi pasien sebagai korban,
dan juga data-data dari para terduga pelaku.

1.7 Sistematika Penulisan


Di bawah ini adalah penjelasan singkat dari penelitian ini ter kait dengan sistematika
penulisannya:
BAB I. Pendahuluan
Dalam Bab I Pendahuluan ini, penulis menjelaskan latar belakang yang
menyebabkan proposal skripsi ini hendak diaj ukan kepada pihak fakultas, dan
permasalahan terkait dengan tema yang penulis ambil, per tanyaan penelitian, tuj uan
penelitian, signifikansi penelitian, hingga keterbatasan penelitian pun dilampir kan
pada bab ini. Pada bagian akhir BAB I, dilampir kan terkait sistematika penuli san
penelitian yang penulis lakukan.
BAB II. Tinjauan Pustaka
Bab II berisi definisi konseptual, tinjauan pustaka, dan kerangka pemikiran
penulis untuk mendukung berjalannya penelitian ini. Pada bab ini, penulis melihat
dari berbagai macam sudut pandang terkait dengan tata-cara pemrosesan tindakan
malapraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan hingga bagaimana malapraktik
medis ini terdefinisikan di negara-negara lain.
BAB III. Metode Pene litian
Bab II berisi metode penelitian yang dilakukan oleh penulis. Dalam bab ini
dilampir kan pendekatan penelitian, tipe penelitian, waktu dilakukannya penelitian,
tempat penelitian, teknik pengumpulan data, langkah-langkah penelitian, serta
hambatan yang dialami dalam penelitian ini.

9 Universitas Budi Luhur


BAB II

Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi Konseptual

2.1.1 Definisi Malaprakt ik Medis


Malapraktik adalah sebuah kelalaian yang dilakukan, entah itu oleh perawat,
dokter ataupun tenaga kesehatan hingga ahli medis lainnya yang dengan
keterampilan-nya, dan juga pengetahuannya memberikan pelayanan secara
maksimal bagi masyarakat dalam bentuk perawatan secara medis pada seorang
pasien, yang dimana proses perawatan yang dimaksud bertujuan untuk mengobati
hingga menyembuhkan orang yang terluka.
Jika dirangkum secara lebih jauh lagi dari Kamus Medis Stedman, tindakan
malapraktik ini mer upakan suatu tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dengan cara-cara yang sembarangan, dan bisa juga berasal dari motivasi
kriminal sang terduga pelaku. Jika ditarik pada sebuah kesimpulan, mengenai
malapraktik medis ini dapat diringkas menjadi tiga bagian, yaitu melakukan tindakan
yang tidak diperbolehkan, tidak melakukan apa yang sehar usnya dilakukan, dan
melanggar hukum yang berlaku (Simson).

2.1.1.1 Jenis Malaprakt ik Medis


Dalam per kembangannya di dunia kesehatan juga keprofesian
kedokteran, malapraktik medis ini secara gamblang dapat dikategorikan ke
dalam tiga jenis malapraktik, yaitu:

2.2.1.1.1 Malaprakt ik Kr iminal


Malapraktik ini menjelaskan bahwa dimana per buatan
yang dilakukan memenuhi rumusan delik pidana, dan untuk
mempertanggungjawabkannya dilakukan secara individual,
sehingga tidak dapat dialihkan kepada organisasi ataupun rumah
sakit yang menaungi. Dalam penelitian ini, penulis akan berfokus
kepada Malapraktik Medis berjenis kriminal, dimana tindakan-
tindakan yang dihasilkan sudah memenuhi unsur-unsur pidana
ataupun unsur-unsur pelanggaran perdata.

10 Universitas Budi Luhur


2.2.1.1.2 Malaprakt ik Civil
Dapat dijelaskan bahwa pada jenis malraktek ini tenaga
medis yang tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan
standar operasional prosedur yang telah ditetapkan di klinik
ataupun rumah sakit yang bersangkutan. Proses
pertanggungjawabannya dapat secara individual ataupun dialihkan
langsung terhadap pihak rumah sakit yang menaungi.

2.2.1.1.3 Malaprakt ik administratif


Malapraktik jenis ini dilakukan, juga didugakan ketika
tenaga medis tidak dapat menunjukkan kelengkapan surat tugas
ataupun surat izin legal yang me nyatakan bahwa dirinya
merupakan tenaga kesehatan yang sah (Fathi, 2016: 5 – 6).

2.1.2 Definisi Et ika Kedokteran


Etika ter kait dengan profesi kedokteran sendiri sebenar nya telah ada
semenjak jaman Hammurabi, yang dimana pada masa itu, para disiplin ilmu
kesehatan hingga para tenaga kesehatannya mengenal, dan diterapkan ber bagai
macam peraturan terkait tindakan medis hingga perlakuan medis. Perlakuan medis,
dan tindakan medis yang ada pada jaman Hammurabi tak hanya ter kait tindakan
fisik terhadap pasien saja, melainkan mencangkup pula hal-hal yangberkaitan
dengan norma, dan tanggung jawab sebagai seorang dokter atau tenaga medis
(Muker nas Etika Kedokteran IV).
Terdapat tiga asas pokok yang menjelaskan mengenai etika kedokteran:

2.1.2.1 Otonomi
a. Kebutuhan akan orang-orang yang memang kompeten dalam
bidangnya, yang dimana dalam melakukan tindakannya dipengaruhi
oleh kehendak, beserta keinginannya sendiri. Pada tiap-tiap kasus yang
sedang ditangani, para ahli yang kompeten ini diharapkan dapat
menanggung akibat dari setiap apa yang dilakukannya, termasuk di
dalamnya akibat-akibat yang menimbulkan konsekuensi dari keputusan
yang telah diambil secara mandiri (Otonom).
b. Melindungi mereka yang lemah, dimana para orang-orang yang
memiliki kompetensi ini diharapkan u ntuk dapat melindungi mereka-
meraka, entah itu anak-anak hingga orang dewasa yang sedang dalam
keadaan lemah dan tidak mempunyai kemampuan mandiri.

11 Universitas Budi Luhur


2.1.2.2 Bersifat, bersikap amal, dan berbudi baik
Primum Non Nocere (Jangan berbuat sesuatu yang merugikan),
dimana kita harus mementingkan kesejahteraan individu dengan tidak
melupakan masyarakat sekitar.

2.1.2.3 Keadilan
Keadilan yang dimaksud adalah dengan memperlakukan orang-
orang ataupun antar manusia dengan lebih adil, entah itu dalam bentuk
proses transaksi hingga perlakuan tindakan, dan tidak boleh mengorbankan
orang lain demi kepentingan tertentu hingga untuk kepentingan golongan
lain.

2.1.2 Definisi Majelis Kode Etik Kedokteran


Majelis Kode Etik Kedokteran atau biasa disingkat MKEK adalah lembaga
yang mengatur, dan juga mengeluarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI),
beserta pedoman dari Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. MKEK dan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia ini berada di bawah
keorganisasian profesi dokter terbesar di Indonesia, yaitu Ikatan Dokter Indonesia,
atau yang biasa disingkat IDI, dan kedua lembaga ini ber gerak bersama dalam
menegakkan etika yang sepenuhnya harus dipatuhi oleh seluruh dokter yang ada di
Indonesia (Pelafu, 2015: 43-44).

2.1.3 Definisi Ma jelis Kehor matan Disiplin Kedokteran Indonesia


Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau yang biasa disingkat
MKDKI bergerak bersama MKEK dalam menegakkan etika keprofesian dari dokter
dokter yang ada di seluruh Indonesia. Bedanya dengan MKEK a dalah, MKDKI
merupakan lembaga yang memiliki wewenang dalam menentukan ada atau tidaknya
suatu kesalahan yang dilakukan oleh dokter, juga dokter gigi yang ada di Indonesia
dalam penerapannya ter kait dengan disiplin ilmu kedokteran. MKDKI juga berperan
dalam mengeluarkan sanksi bagi dokter ataupun dokter gigi yang terbukti
melakukan kesalahan atau pelanggaran disiplin ilmu kedokteran (Pelafu, 2015: 43-
44).

2.1.4 Definisi Kejahatan Profesionalisme


Menurut Friederich, kejahatan profesionalisme/ Occupational Crime
merupakan sebuah aktifitas yang dilakukan secara melawan hukum dengan maksud

12 Universitas Budi Luhur


dan tuj uan untuk mengambil keuntungan-keuntungan bagi diri sendiri ataupun
kelompok, dimana secara tipologi, kejahatan jenis ini masuk ke dalam ranah white-
collar crime. Kejaha tan profesionalsime didefinisikan secara lebih spesifik daripada
white-collar crime dikarenakan para pelaku yang melakukan kejahatan ini rupa -
rupanya ter diri atas kelompok ataupun individu yang bergerak secara satu
keprofesian saja. Kejahatan jenis ini diper oleh ketika para pelaku menerima suatu
tanggungjawab khusus dan juga sedang dipercaya oleh sang pemberi pekerjaan.
Sementara itu, Klenowski (2010) memiliki pendapat lain mengenai kejahatan
profesionalisme ini, dimana menurutnya jenis kejahatan ini merupa kan sebuah
pengambilan celah-celah khusus dalam suatu bidang pekerjaan legal yang pada
akhirnya celah ini dimanfaatkan untuk melakukan tindakan melawan hukum
(Yulianto & Lolo, 2017: 72).

2.1.5 Definisi Profesionalisme Kedokteran


Dokter sebagai individu yang memiliki keahlian khusus dalam bidang medis
memiliki beberapa peran penting sebagai perantara hingga penunjang hidup
seseorang. Dalam melakukan tugas dan juga perannya sebagai penyedia pelayanan
kesehatan,dokter dihadapkan dengan nilai-nilai serta tanggungjawab yang harus
diemban kepada para pasiennya. Secara harfiah dapat didefinisikan bahwa
profesionalisme kedokteran merupakan penerapan nilai- nilai beserta tanggungjawab
sebagai dokter dengan dilandasi oleh komponen-komponen penunjang yang di
dalamnya berisi nilai kekompetenan hingga nilai- nilai humanis yang harapannya
dapat diterapkan disetiap pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter -dokter
sebagai individu (Pur namasari dkk, 2015: 3-4).

13 Universitas Budi Luhur


2.2 Teor i Anomi Emile Dur kheim
Istilah tentang anomi pada awalnya berasal dari bahasa Yunani, yaitu anomia
yang memiliki ar ti tanpa norma. Emile Durkheim mendefinisikan anomi ini sebagai
sebuah keadaan tanpa norma dalam masyarakat, dimana dalam melakukan kegiatannya,
masyarakat tampak tidak mempedulikan hal-hal yang terkait dengan norma. Keberadaan
norma pada masa anomi ini bisa saja memang norma tersebut sudah tidak berlaku, dan
juga bisa saja memang norma tersebut tidak ada atau belum terbentuk di dalam
masyarakat. Sebagai akibat dari keberadaan norma yang tidak jelas ini, akan timbul
berbagai jenis penyimpangan yang dimana para pelakunya ini hanya berusaha untuk
memenuhi kepentingannya sendiri, dan tidak memper dulikan keadaan orang lain yang
dirugikan akibat tindakannya (Hagan, 2013: 210-211).
Teori anomi ini pada awalnya terjadi sebagai akibat dari per ubahan signifikan,
juga cepat yang terjadi dalam masyarakat, dan pada waktu itu telah terjadi revolusi
industri, dimana ada proses transisi yang sangat cepat dari masyarakat yang sebelumnya
mengandalkan keprofesian dalam ranah agraria menjadi keprofesian dalam bentuk
industri. Revolusi industri menciptakan masa transisi, yang dimana hukum hingga norma -
norma yang ada tampak tidak berlaku, dan ada beberapa norma dan aturan yang belum
terbentuk. Pada masa revolusi industri, lahir berbagai macam profesi bar u seperti
keberadaan hakim, psikolog, antropolog, dan ekonom. Pada masa-masa ini terjadi
beberapa konflik dalam ranah keprofesian yang dianut oleh masyarakat, dimana aturan-
aturan yang berlaku saat itu tidak bisa ikut berkembang dengan revolusi teknologi yang
setiap hari terus-menerus tumbuh (DiCristina, 2015:313).
Revolusi terhadap teknologi masih terjadi hingga sekarang ini, dimana hampir
sama dengan kejadian bersejarah saat ditemukannya mesin uap di Inggris pada kala itu,
dimana tak hanya sektor teknologi yang ter dampak, tetapi juga berdampak pada kondisi
sosial masyarakat. Pada masa sekarang ini, per kembangan teknologi bergerak secara
dinamis, dimana kita sebagai makhluk sosial dituntut untuk selalu mengikuti
perkembangannya. Terkait dengan nilai, norma, hingga hukum pada abad ini semuanya
dipengaruhi oleh per kembangan teknologi. Hal ini menyebabkan hal-hal yang baru
muncul ataupun hal-hal yang tidak ‘awam’ bagi masyarakat dapat alpa secara norma
juga hukum yang berlaku.

2.3 Teor i Cr itical Cr iminology/ Kr iminologi Kr itis


Kita telah memasuki abad ke-21, dimana hampir segala sektor yang ada di dunia
selalu dikepalai oleh para kapitalis. Para kapitalis ini memiliki tujuan untuk meraup
keuntungan dari segala sektor bidang yang ada. Arus globalisasi yang semakin kencang
juga menjadi pendor ong bagi kapitalisme untuk masuk ke setiap negara-negara dengan

14 Universitas Budi Luhur


tidak pandang bulu, bahkan jika dilihat secara kasat mata, kapitalisme tidak lagi
memandang apa itu negara berkembang dan apa itu negara maju. Kapitalisme masuk ke
hampir segala sudut-sudut dunia.
Akan menjadi sebuah permasalahan Ketika kapitalisme dan globalisasi yang
semakin hari semakin kencang tumbuh dalam masyarakat, dimana tampak bahwa
masyarakat sangat membutuhkannya tetapi tidak diimbangi dengan suatu pengawasan
terhadap sistem sosial yang terjadi dalam masyarakat. Sekarang ini setiap sistem tampak
hanya melihat dari segi ekonomi saja, dan tidak memperdulikan sektor lain yang
berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat. Masalah-masalah yang terjadi di dalam
masyarakat ini juga pada akhirnya dilihat dari segi produktifitas, bukan dari segi konflik
yang terjadi secara sosial, dimana hal ini bertentangan dengan teori-teori kriminologi
yang telah ada sebelumnya (Siegel, 2006: 263).
Kegiatan ekonomi yang semakin kompetitif membuat permasalahan baru yang
tak dapat dipungkiri, dimana masalah ini terjadi sebagai akibat daripada kapitalisme itu
sendiri. Permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan, terjadi sebagai
akibat dari adanya ‘kekuatan’ ter tentu yang memang menguasai suatu perekonomian
hingga kekuatan ini juga menguasai suatu negara. Penentu kebijkan tidak bisa dengan
semerta-mesta menggagaskan bahwa hal yang dilakukan melanggar undang-undang
atau tidak, dimana semua ini Kembali lagi kepada konsep ataupun prinsip daripada
kapitalis, yang mana semua yang dilakukan berdampak pada perekonomian (Siegel,
2006: 264).
Kealpaan hukum yang terjadi dalam kasus-kasus terkait malapraktik medis ini
tampak terjadi sebagai akibat dari kapitalisasi di-era globalisasi, dimana pemimpin hingga
pengusaha merasa tidak memiliki kepentingan dalam mengurusi keberadaan orang-
orang, bahkan orang-orang yang berada di bawah rata-rata perekonomian bisa saja
berbalik menjadi ‘penjahat’ dalam kasus-kasus melawan kejahatan yang ada.
Dapat difokuskan lagi terkait dengan kriminologi kritis ini sesuai dengan
pemikiran kriminologi kritisnya Richar d Quinney, yang dimana ada beberapa proposisi
sebagai berikut:
1. Masyarakat Amerika Serikat dasarnya adalah ekonomi yang dilandaskan oleh
kapitalisme.
2. Kepentingan- kepentingan yang diatur hanya menyasar pada kelas-kelas
ekonomi yang dominan.
3. Peran penguasa terkait di dalam Hukum Pidana yang berlaku.
4. Pengaturan j uga penegakan kejahatan tampak dilakukan oleh lembaga -
lembaga yang memang ditunj uk oleh pemerintahan dimana dalam
perjalanannya hanya mementingkan kelas-kelas yang berkuasa saja.

15 Universitas Budi Luhur


5. Kekerasan di dalam sistem hukum diatur dengan hanya menyasar kelas
tertentu dimana dalam keberadaannya dan artiannya bertolak belakang,
yang pada akhirnya hanya melindungi kelas-kelas tertentu.
6. Kejahatan baru akan terlihat ketika masyarakat kapitalis ini menghilang dari
masyarakat.

Secara umum, hukum yang berlaku dalam sebuah negara dibuat atas
kepentingan- kepentingan tertentu yang dalam penerapannya pihak-pihak yang memiliki
kepentingan ini secara langsung akan mendefinisikan ter kait apa-apa saja yang dimaksud
dengan kejahatan juga apa-apa saja yang dikategorikan dengan kejahatan (Hagan,
2013: 274-275).

2.4 Occupat ional Cr ime/ Kejahatan Okupasional


Kejahatan okupasional biasa dikaitkan dengan kejahatan-kejahatan yang
dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah pemahaman yang menurut publik bisa jadi
bukanlah sebuah kejahatan. Keterkaitan ini telah disebut oleh Lombrosso & Ferrero
(1972) dengan pendefinisian atau istilah mereka yang ber upa criminaloids. Kejahatan
jenis ini disebut sebagai sebuah perlakuan ataupun tindakan melindungi diri dengan
menggunakan perlindungan-perlindungan dari segi keprofesian yang dimana dalam pola
atau definisi sesungguhnya tindakan yang dilakukan dalam ranah keprofesia n tersebut
merupakan sebuah tindakan melawan norma-norma dalam masyarakat. Dalam
pengertian ini tampak bahwa masyarakat ataupun ranah publik memiliki opini-opini yang
sesungguhnya belum ‘menyentuh’ ranah keprofesian tersebut (Hagan, 2013: 431-432).

Kejahatan kerah putih oleh E.Sutherland mulai ditelurkan pada tahun 1940,
namun dalam penerapannya ke dalam kondisi sosial bermasyarakat, terjadi gesekan-
gesekan pemikiran. Pendefinisian kejahatan kerah putih ini menjadi sebuah masalah
dalam lingkup pemikir-pemikir sosiologi, mengingat sebelum kejahatan kerah putih ini
ditelur kan sebenar nya telah ada pemikiran- pemikiran serupa namun dengan pendefinisan
yang cukup berbeda. Pada akhirnya Clinard & Quinny membuat pembabakan baru dalam
ranah kejahatan kerah putih, sehingga dalam pendefinisiannya ada sebuah pembeda
yang diharapkan dapat memperjelas kejahatan kerah putih ini sendiri. Pemikiran
mengenai kejahatan kerah putih ini tampak har us lebih dikritisi kembali, sehingga dalam
buku Frank Hagan, pembabakan mengenai kejahatan kerah putih ini semakin dijabarkan
secara gamblang dengan diagram venn yang pada akhirnya akan menjelaskan irisan-
irisan yang berkaitan dengan kejahatan kerah putih, namun dengan pendefinisan-
pendefinisan ulang yang di dapat dari berbagai macam hasil pemikiran orang-orang
dalam ranah sosiologi juga dalam ranah kriminologi. Setelah ditelaah lebih jauh, ter dapat

16 Universitas Budi Luhur


banyak ‘turunan’ daripada kejahatan kerah putih ini sendiri, yang secara eksplisit akan
digunakan dalam penelitian ini dikhususkan pada occupa tional crime Clinnard & Quinney.

Penyebutan kejahatan dalam ranah keprofesian ini pada akhirnya akan muncul
sebuah keterkaitan antara kejahatan okupasional dengan kejahatan kerah putih. Secara
intinya, kejahatan kerah putih agak berbeda dengan kejahatan okupasional, dimana
kejahatan kerah putih menyentuh pribadi-pribadi hingga kelompok yang melakukan
kejahatan dengan memanfaatkan jabatan tinggi yang dimiliki oleh pribadi/kelompok
tertentu. Kejahatan okupasional ini dicetuskan oleh Clinnard & Quinney (1986). Ada pula
irisan-irisan yang berkaitan dengan kejahatan korporat, dimana kejahatan kerah putih,
kejahatan korporat, dan kejahatan okupasional saling beririsan. Irisan ini disebabkan oleh
cukup banyaknya pendefinisian mengenai kejahatan kerah putih yang ter jadi dari mulai
economic crime (American Bar Association, 1976) hingga upperword crime (Geis, 1974),
sehingga pada akhirnya har us dibuat irisan-irisan dalam ranah pendefinisiannya (Hagan,
2013: 431-432).

Secara eksplisit kejahatan okupasional ini mer upakan pelanggaran yang


dilakukan oleh individu yang dilakukan demi kepentingan individu itu sendiri dengan
memanfaatkan pekerjaan legal yang sedang dijalani. Jika dikerucutkan ke dalam
penelitian ini, kejahatan okupasional bisa digunakan oleh doter -dokter sebagai individu
dalam melakukan kesalahan-kesalahan yang sehar usnya bisa dicegah ataupun bisa untuk
ditanggulangi. Tenaga kesehatan ataupun dokter bisa melakukan jenis kejahatan ini
dengan memanfaatkan celah-celah opini publik yang masih bias tentang keberadaan
malapraktik medis ini. Mengenai pelevelan memang berbeda dengan kejahatan ekonomi
dan kejahatan kerah putih, namun di dalam kejahatan okupasional ini ter dapat level
tersendiri di dalam sebuah keorganisasiannya, seperti level keprofesionalisme -an dari
para dokter yang dapat dianalisis melalui tingkatan spesialisasinya.

Proffesional Power memiliki sebuah contoh nyata, yaitu organisasi AMA


(American Medical Association) yang dimana sejatinya organisasi pr ofesional ini harus
mengawasi tindak-tindak pengobatan yang dilakukan di Negara Amerika Serikat, namun
kenyataannya organisasi ini tampak hanya ber gerak mengamankan profit atau
keuntungan yang didapat dari usaha-usaha ter kait medis yang ada. Asosiasi medis pada
era ini tampak dilihat hanya sebagai pengaman usaha privat saja ketimbang
mengamankan masyarakat dengan cara mengawasi standar pelayanan kesehatan,
dimana setelah dilihat dari sudut pandang ini menjadi jelas bahwa usaha -usaha yang
dilakukan ini mengiris dasar-dasar dari kejahatan kerah putih itu sendiri. Perlu ditekankan
pula bahwa Kejahatan Kerah Putih sebagai sebuah kejahatan yang dilakukan oleh
pejabat/pekerja yang memiliki posisi tinggi, berbeda dengan kejahatan okupasional yang

17 Universitas Budi Luhur


mencangkup kejahatan yang dilakukan terdikotomi lagi yang dilakukan oleh individu-
individu di bidang keprofesian tertentu. Kejahatan jenis ini menjadi sangat mungkin
terjadi ketika statistik dari kejahatan jenis ini yang tidak jelas keberadaannya (Hagan,
2013: 433).

Clinard & Yeager juga Geis & Meier memiliki per nyataan mengapa kasus-kasus
terkait kejahatan okupasional ini agaknya sulit untuk dievaluasi juga sulit dilakukan
penelitiannya, diantaranya adalah sebagai berikut (Hagan, 2013: 434):

1. Keahlian dalam bidang keprofesian tertentu dibutuhkan dalam pr oses analisis


agar pemahaman ter kait kredibilitas lembaga profesi tersebut dapat
dipertanggungnawabkan.
2. Sanksi-sanksi yang ada seringkali hanya menyentuh pada sanksi administratif
hingga sanksi disiplin saja, seperti yang diterapkan pada etika keprofesian
dokter-dokter di Indonesia.
3. Penegakan secara ‘hukum’ dilakukan oleh lembaga khusus, melainkan bukan
lembaga peradilan hukum.
4. Tentu saja di dalamnya ada birokrasi yang harus dilewati, dimana hal ini
berhubungan dengan poin nomor pertama dimana jika kita sebagai peneliti
berusaha untuk masuk, akan kesulitan karena tidak memiliki profesi ataupun
kemampuan yang sama.

18 Universitas Budi Luhur


2.4 Review Jur nal
Pada tahun 2011, Abdul Aziz melakukan penelitian ilmiah yang dimana ia
membahas terkait malapraktik medis yang dilakukan oleh perawat atau tenaga kesehatan
dengan dilihat dari sudut pandang secara kriminologi. Dari penelitian tersebut didapatkan
hasil yang cukup mengejutkan, bahwa terkait dengan tindakan malapraktik medis ini
didasari oleh kemampuan secara individual dari para tenaga kesehatan itu sendiri.
Tampak adanya ketidak setaraan secara keilmuan oleh praktisi yang sudah bekerja dalam
pelayanan kesehatan yang ada ini. Masyarakat sebagai penerima pelayanan dari para
tenaga medis ini harus bersinergi dengan aparat hingga sang penyedia layanan, entah itu
rumah sakit hingga klinik kecil agar kejadian berupa malapraktik ini tidak diulangi
kembali. Pada tulisan ini juga menekankan ter kait penyamarataan dalam bidang keilmuan
tentang tenaga kesehatan, yang dimana hal ini perlu dilakukan oleh pihak pemerintah
sebagai pembentuk regulasi.
Sabungan Sibarani dari Universitas Atma Jaya Yogyakar ta pada tahun 2017
mengemukakan pada tulisannya yang berjudul “Aspek Perlindungan Huku Pasien Korban
Malapraktik Dilihat Dari Sudut Pandang Hukum Di Indonesia” bahwa tingkat malapraktik
medis kriminal yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Indonesia ini cukup tinggi.
Perlakuan dokter kepada pasien yang bertentangan dengan standar profesionalsime ini
dapat menimbulkan kerugian bagi pasien itu sendiri. Jika dilihat dari kacamata hukum,
tindakan malapraktik medis ini bisa digugat secara perdata yang mana pada hasil
akhirnya akan menimbulkan sanksi berupa ganti rugi hingga pemidanaan, namun kita
perlu juga melihat fakta hukum, bahwa keberadaan malapraktik medis ini alfa di atas
undang-undang.
Setiawan, Octara, dan Sugiharta pada tahun 2018 memiliki pandangan yang
berbeda ter kait dengan pelanggaran etik ataupun kejadian yang terkait dengan
malapraktik medis ini. Pada Jurnal Jurisprudentie yang ditulis oleh mereka, tindakan
melanggar kode etik ini bar u dapat terlihat, dirasakan, hingga dapat digugat ketika sang
tenaga kesehatan ataupun dokter yang menjalani prosedur kesehatan melakukan
tindakan-tindakan diluar “patient-consent” atau persetuj uan pasien ketika akan
melakukan sebuah prosedur. Dokter atau tenaga kesehatan baru dapat digugat ketika
mereka melakukan hal-hal yang ada diluar prosedur, dan hal ini pun membentuk
perspektif baru bagai penulis, seper ti contoh, bagaimana ketika para tenaga kesehatan
ini melakukan apa yang seharusnya dilakukan, dan terdaftar dalam persetujuan, namun
hal yang dilakukan ini gagal sehingga merugikan pasien?
Priharto Adi pada tulisannya yang berjudul “Formulasi Hukum Penanggulangan
Malapraktik Kedokteran” tahun 2013 menegaskan bahwa pengaturan mengenai
malapraktik medis ini belum diatur dalam kitab hukum hingga aturan hukum yang ada di

19 Universitas Budi Luhur


Indonesia. Hal ini menyebabkan kekosongan hukum, sehingga proses pemidanaan
tampak tidak berjalan, padahal sifat-sifat hukum, dan pasien sebagai korban telah
dirasakan. Formulasi hukum sangat dibutuhkan juga harus diusahakan oleh pemerintah,
mengingat hal-hal yang terjadi ini bisa saja menyangkut sebuah kerugian yang paling
tinggi, yaitu hilangnya nyawa manusia. Dengan adanya hukum yang jelas ini juga
menjadikan batasan-batasan yang ada terkait dengan malapraktik medis menjadi jelas,
karena di dalam hukum pasti ada definisi-definisi yang harus dipatuhi, hingga harus
dipahami.
Pemerintah sudah mengusahakan perlindungan bagi pasien, tetapi hanya dalam
bentuk pengadaan majelis khusus dan juga aturan khusus mengenai kesehatan. Sapta
Aprilianto menjabarkan dalam penelitiannya yang ter kait dengan peran Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terhadap Dugaan Kelalaian Medis Dokter,
bahwa keberadaan MKDKI, hingga MKEK ini tampak sebagai bukti nyata pemerintah
dalam menangani masalah-masalah yang ter kait dengan profesionalisme tenaga
kesehatan. Pada tulisan ini, sang penulis juga menegaskan bahwa tidak ada isitila h
kelalaian medis, melainkan yang ada hanyalah istilah pelanggaran disiplin kedokteran
yang tampak mencangkup keseluruhan tindakan dokter atau tenaga kesehatan yang
merugikan hingga menyalahi standar operasional prosedur. Pada penelitian ini, peneliti
tampak melihat kelalaian medis ataupun malapraktik medis yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan secara keprofesian saja, dan tidak melihatnya secara perdata ataupun pidana
yang harus diselesaikan bersma pihak korban atau pihak pasien.
Terkait dengan malapraktik medis entah itu secara sipil hingga pelanggaran
standar operasional, dan juga secara administratif, Muhammad Javad Fathi menjelaskan
bahwa kesalahan-kesalahan hingga pelanggaran yang dilakukan oleh tenaga medis ini
dilarang terjadi dalam tindakan atau prosedur kesehatan yang dijalani oleh tenaga medis,
dan hal ini tentunya ber hubungan dengan profesionalsime sang tenaga kesehatan.
Pelanggaran disiplin ini dikemudian hari seharusya dapat ditindak dengan penegakan
disiplin, dan penegakan secara hukum. Patut di garisbawahi, bahwa dalam penegakan ini
harus dilakukan walaupun tidak ada undang-undang yang berlaku, mengingat hal yang
dilakukan tentunya sudah mer ugikan pihak lain.
Pada tahun 2018, Medina beserta kawan-kawan melakukan penelitian kuantitatif
terkait dengan laporan dugaan malapraktik dibidang kesehatan. Dalam penelitian yang
pada akhirnya dimasukan dalam jurnal Columbian Anesthesiology ini, para penulis juga
menjelaskan jenis-jenis malapraktik medis beserta dampaknya bagi negara. Hal yang
dikemukakan oleh para penulis sejalan dengan pendefinisian yang dilakukan oleh peneliti
yang ada di Indonesia, yaitu merumuskan malapraktik medis dalam beberapa jenis, yairu
sipil, etik, kriminal, administratif, dan pelanggaran disiplin. Hal yang dikemukakan ter kait

20 Universitas Budi Luhur


dengan malapraktik ini tampak sejalan, dan tampak bahwa Indonesia sehar usnya bisa
menerapkan pendefinisian ini secara nasional.
Secara lebih jauh , Sidney W. A. Dekker pada penelitiannya di Jurnal of Criminal
Sciences International tampak melihat dari sudut pandang secara kriminologis dengan
melihat terlapor hingga terduga pelaku tindak malapraktik medis, dimana para
profesional (Dokter, dan tenaga kesehatan) bisa saja menerima sebuah kriminalisasi.
Kriminalisasi yang dilakukan tak hanya berdampak bagi individu (Terduga pelaku), tetapi
bisa pula menimpa komunitas profesional, yang dalam hal ini merupakan komunitas atau
organisasiper kumpulan dokter. Dampak secara psikologis juga dapat ditimbulkan bagi
dokter yang menerima kriminalisasi ini. Kriminalisasi ini bisa dilakukan oleh masyarakat
bersangkutan, dikarenakan biasanya undang-undang yang ada dalam suatu negara
menyamakannya dengan tindakan- tindakan yang disebabkan oleh kelalaian manusia atau
yang biasa disebut “ human error ”.
George Greggor y pada tahun 2017 mela kukan penelitian yang dimuat pada
Jurnal Forensic Biomechanics , dimana ia membuat pancingan kepada para profesional,
termasuk para analis hukum untuk kembali berpikir mengenai pelaporan yang dilakukan
atas dasar malapraktik medis. Pengetian mengenai patient consent kembali dimunculkan
pada penelitian ini, dan penulis tampak ingin menjelaskan bahwa apa apa saja yang ada
dalam perjanjian dengan seorang pasien tentu saja dalam pelaksanaannya di lapangan
dapat berbeda. Perbedaan ini bisa jadi disebabkan oleh teknologi, hingga keadaan yang
tidak memungkinkan secara medis. Secara legal ataupun secara hukum, hal -hal yang
berkaitan dengan produk teknologi medis ini harus ditinjau ulang, mengingat
perkembangannya tidak hanya terjadi sekali dua kali saja, melain kan akan terjadi setiap
saat.

21 Universitas Budi Luhur


2.4 Kerangka Berpikir

Ada unsur melawan


Occupational Crime
Tindakan hukum

Kerugian
Malapraktik
Kapitalisme Anomie
Korban
Medis

Reaksi Sosial

Memenuhi unsur Occupational Crime


terjadinya kejahatan

Jika dilihat dari rumusan peraturan tentang kesehatan masyarakat yang


diantaranya ada Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran,
Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hingga Undang-Undang
Nomor 8 tetang Perlindungan Konsumen, semuanya tidak ada yang menyinggung sama
sekali terkait dengan malapraktik medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Dapat
dilihat secara jelas j uga gamblang, bahwa tidak ada norma yang mengatur ter kait
dengan apa-apa saja yang disebut sebagai malapraktik dibidang medis, sehingga dapat
disimpulkan sementara bahwa ada kekosongan hukum di dalam masyarakat sekarang ini .

Tindakan malapraktik medis ini sendiri sudah memenuhi unsur tuntutan melawan
hukum, yang dimana menur ut Kitab Undang-Undang Perdata/ KUHPer di dalamnya
termasuk:

1. Ada sebuah per buatan yang melawan hukum,


2. Ada kesalahan dalam melakukan sesuatu hal,
3. Ada kerugian yang ditimbulkan.

Perlakuan pelaku terhadap kor ban ini pada akhirnya akan masuk ke dalam ranah
wanprestasi, dikarenakan seorang pelaku tidak melaksanakan kiat-kiatnya dalam
menyelesaikan sebuah masalah yang sudah diperjanjikan dengan sang korban, sehingga
permasalahan ini menimbulkan kerugian (Novianto, 2015: 490).

Tidak adanya batasan-batasan ter kait apa yang dimaksud dengan tindakan
malapraktik medis menyebabkan upaya penal dalam bentuk penegakan hukum bagi para

22 Universitas Budi Luhur


terduga pelaku tidak dapat dijalankan, dan akan beruj ung pada ketidak-adilan bagi para
korban. Ketiadaan akibat hukum daripada kasus malapraktik medis ini pada akhirnya
akan selesai melalui jalur mediasi yang dilakukan oleh Majelis Kode Etik Kedokteran, dan
sanksi yang didapat oleh ter duga pelaku hanya ber upa pembekalan dalam bentuk etik,
dan pembekalan disiplin saja (Ginting, 2017: 73 – 75).

Terkait dengan ruang lingkup kriminologi, malapraktik medis tampak sudah


masuk ke dalam ranah daripada ilmu kriminologi itu sendiri, mengingat segala sesuatu
yang membentuk kasus malapraktik medis telah memenuhi beberapa unsur sebagai
berikut:

1. Adanya tinda kan kejahatan yang dilakukan,


2. Adanya pelaku tindak kejahatan,
3. Adanya Korban kejahatan,
4. Ada reaksi sosial masyarakat.

23 Universitas Budi Luhur


BAB III

Metode Penelitian

3.1 Pendekatan Penelitian


Penelitian ini dilakukan secara kualitatif yang memiliki artian bahwa penelitian ini
dilakukan dengan hasil luaran nantinya berupa analisis secara deskriptif, dimana pada
tulisan ini isinya akan menjelaskan fenomena yang terjadi sesuai dengan pertanyaan
penelitian yang dirumuskan oleh penulis. Deskripsi analisis yang ditulis melihat dari
fenomena yang secara riil terjadi dalam masyarakat. Bedanya dengan penelitian
kuantitatif dapat dilihat dari hasil luaran yang didapat oleh peneliti, dimana luaran pada
penelitian kuantitatif ini tidak mencangkup secara luas, atau bisa dikatakan penelitian
yang dilakukan secara kuantitatif hanya menghasilkan kesimpulan secara makro saja
(Suyanto & Sutinah, 2005:165-166).
Penelitian mengenai proses penyelesaian kasus yang ter kait dengan malapraktik
medis ini cocok menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dikarenakan dalam menilik
kasus, dampak sosial, beser ta undang-undang yang menaungi kasus yang dimaksud
dibutuhkan analisis yang pada akhirnya dapat menghasilkan sebuah tulisan ilmiah dimana
tulisan ilmiah ini diharapkan dapat menjelaskan secara lengkap mengenai bagaimana
kasus malapraktik medis dapat selesai tanpa melewati jalur hukum, jalur etika profesional
yang tidak berdampak secara signifikan bagi keadilan korban, dan bagaimana
signifikansinya beserta gambaran secara jelas dimana pada aturan yang sedang berlaku
tidak mengatur sama sekali secara jelas ter kait dengan malapraktik medis.
Penelitian dengan metode kualitatif ini jika dihubungkan dengan penelitian yang
peneliti akan jalankan, maka akan melihat secara rinci mengenai bagaimana kekacauan
dalam etika profesionalisme yang terjadi di dalam sistem hukum juga masyarakat ketika
suatu aturan absen dalam ranah hukum yang menaungi profesi itu sendiri dan tak hanya
itu, beberapa aturan sosial juga absen karena adanya kealpaan secara normatif ini.
Absennya aturan ini jika dilihat melalui latar belakang penelitian pun sudah sangat rentan
bagi keberlangsungannya dalam masyarakat itu sendiri. Bisa dibayangkan ketika tidak
ada pembahasan menganai kasus- kasus ser upa dikemudian hari, maka kasus-kasus yang
dimaksud akan terjadi secara ter us mener us tanpa ada efek jera bagi para pelaku yang
melakukannya.
Dengan dilakukannya penelitian secara kualitatif ini diharapkan juga terjadi
penegasan bahwa pada saat ini tidak ada batasan-batasan yang mengatur tentang
malapraktik medis, sehingga definisi hingga penegakannya dalam masyarakat menjadi

24 Universitas Budi Luhur


bias juga multitafsir. Penelitian secara kualitatif ini diharapkan dapat menjadi sebuah
pemicu bagi peneliti lain untuk akhirnya dapat membahas lebih dalam mengenai kasus -
kasus yang ber kaitan dengan malapraktik medis, karena peneliti agak takut ketika
nantinya tidak ada sama sekali yang membahas terkait malapraktik ini maka akan timbul
definisi-definisi bar u hingga pada akhirnya yang akan dir ugikan adalah perkumpulan
keprofesian dokter itu sendiri.

3.2 Tipe Penelitian


Penelitian dilakukan secara deskriptif yang dimana penelitian kualitatif deskriptif
analitis ini dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan secara deskripsi mengenai pola,
kasus, hingga gambaran mengenai keadaan atau kondisi masyarakat yang secara
langsung terjadi dalam masyarakat. Penelitian diskriptif ini dilakukan biasanya dengan
kritis ter hadap suatu kasus. Pada suatu kasus yang terjadi dalam masyarakat biasanya
hanya terlihat permukaannya saja, sehingga fungsi dari penelitian kualitatif secara
deskriptif ini memiliki fungsi untuk menggali lebih dalam terkait apa -apa saja yang
memang terjadi pada kasus tersebut. Mengkritisi sebuah kasus pada ha sil akhirnya dapat
menggambarkan ter kait masalah apa yang dipertanyakan oleh peneliti (Bungin,
2014:68).

3.3 Waktu dan Tempat Penelit ian


Peneliti melakukan penelitian tidak secara langsung tur un ke lapangan,
melainkan peneliti menghimpun data-data lapangan dari dokumen pelaporan tentang
malapraktik dan juga peneliti mencoba untuk mengumpulkan artikel ataupun rilis berita
yang dapat digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian. Peneliti j uga memiliki
rencana untuk menggali data dari rilis atau berita ya ng terkait dengan proses
pelaksanaan sidang disiplin atupun sidang etik yang dilakukan oleh MKDKI dan MKEK.
Peneliti juga telah melaksanakan pertemuan dengan para Asisten Ombudsman RI
yang berada di Tim 3 Ekonomi, dimana tim ini merupakan tim ahli dibawah
kepemimpinan Bapak Dadan Suharmawijaya yang merupakan salah satu dari 9 pimpinan
Ombudsman RI dalam rangka pencarian data-data berupa laporan akhir yang
mendukung ter kait dengan kasus- kasus dugaan malapraktik medis yang telah masuk ke
Ombudsman RI dan juga MKDKI. Perlu diketahui pula bahwa Tim 3 Ekonomi
Ombudsman RI ini mengurusi masalah-masalah terkait dengan dugaan maladministrasi
perbankan hingga maladministrasi di ranah kesehatan. Penggalian data kepada
Ombudsman RI ini diharapkan dapat memperbanyak studi kasus juga studi dokumen
yang dapat peneliti kaitkan dengan penelitian ini, mengingat contoh kasus yang ada di
luar sana agaknya tidak terlalu mendukung juga terlalu sedikit bagi peneliti.

25 Universitas Budi Luhur


3.4 Teknik Pengumpulan Data Penelitian

3.4.1 Pengumpulan Dokumen Ter kait Hingga Rilis Berita


Data yang diambil untuk dianalisis dalam penelitian ini didapat dengan
menggunakan cara permintaan beberapa dokumen pendukung kepada beberapa
instansi. Peneliti telah melakukan pertemuan dengan Anggota dan juga Asisten
Ombudsman RI untuk meminta beberapa contoh kasus ter kait dengan malapraktik
medis. Peneliti juga meminta izin untuk menelaah beberapa dokumen pendukung
yang dimiliki oleh Ombudsman RI dalam rangka pembuktian terjadinya malapraktik
medis. Wawancara juga pengumpulan contoh kasus turut dilakukan kepada
beberapa Asisten Ombudsman RI, dimana peneliti berharap untuk mendapatkan
data berupa contoh kasus hingga bagaimana penanganan bagi korban malapraktik
medis ini dalam lingkup penegakan secara etik juga disiplin ilmu kedokteran.
Peneliti memilih Ombudsman RI dikarenakan memang ada bagian khusus
maladministrasi yang juga menangani terkait dengan kasus dugaan malapraktik
yang dilakukan oleh terduga pelaku. Maladministrasi yang dimaksud memang tidak
secara khusus menangani malapraktik medis dalam bentuk kriminal, namun
tindakan Ombudsman RI disini sebagai penengah, hingga pengawal jalannya
penegakan keadilan bagi korban walaupun bentuk penegakan tidak melalui
persidangan secara hukum.

3.4.2 Studi Literatur


Untuk memper kuat data-data yang telah dihimpun oleh peneliti,
dibutuhkan berbagai macam ar tikel penelitian yang sebelumnya telah dilakukan
oleh peneliti lain. Artikel penelitian yang didapat rata-rata berasal dari jurnal yang
diterbitkan secara online. Peneliti juga tidak hanya melihat hasil penelitian yang
dilakukan dalam negeri, tetapi juga melihat penelitian-penelitian yang dilakukan di
luar Indonesia sebagai per bandingan perspektif. Beberapa buku juga jadi acuan
peneliti terkait dengan penulisan penelitian ini, dan beber apanya ditulis oleh
dokter, sehingga peneliti dapat melihat dari perspektif dokter dalam melakukan
tindakan. Penelitian dari para ahli hukum juga peneliti masukan untuk menambah
wawasan beserta perspektif malapraktik medis yang seharusnya dibawa ke meja
hijau. Beberapa skripsi terkait dengan penyelesaian kasus malapraktik medis juga
peneliti ambil sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian ini kedepannya.

26 Universitas Budi Luhur


3.4.2 Wawancara
Wawancara juga tur ut dilakukan dalam penelitian ini, dimana wawancara
dilakukan untuk menguatkan kasus-kasus yang terdapat pada laporan Ombudsman
RI. Wawancara ini dilakukan terhadap salah satu Asisten Tim 3 Ekonomi 1 di
Ombudsman RI. Peneliti melakukan wawancara melalui telefon ter hadap Asisten
Ombudsman RI dengan poin-poin pertanyaan dikhususkan pada bagian pelayanan
publik ter kait dengan pengaduan malapraktik medis, peran rumah sakit sebagai
penentu ada atau tidaknya malapraktik medis hingga peran langsung MKDKI
sebagai lembaga negara pelayan publik dalam menentukan ada atau tidaknya
kasus malapraktik medis di ranah kedokteran.

27 Universitas Budi Luhur


BAB IV

Profil Instansi

4.1 Lembaga Pembukt ian Terkait Malaprakt ik

4.1.1 Majelis Kode Et ik Kedokteran Indonesia


Majelis Kode Etik Kedokteran atau MKEK di Indonesia pada masanya
bergerak untuk menegakkan kode etik yang dipegang oleh dokter ataupun dokter
gigi itu sendiri. Sebelum adanya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia,
segala persidangan ya ng terkait dengan etik juga disiplin kedokteran/kedokteran
gigi dilakukan oleh MKEK. Ada perbedaan signifikan yang dimiliki oleh pengadilan
etik dengan pengadilan per data atau pidana, yaitu persidangan dalam MKEK tidak
menggunakan pembuktian, melainkan pendekatan yang dilakukan adalah dengan
melihat menggunakan kacamata internal saja. Pembuktian yang dilakukan oleh
MKEK tidak melibatkan organisasi mandiri ataupun keterangan dari luar, yang
dalam arti secara harfiahnya, pembuktian dalam persidangan dilakukan oleh
internal MKEK itu sendiri, namun pada saat ini segala bentuk persidangan etik juga
disiplin sudah dilakukan oleh MKDKI (Sukohar & Carolia, 2016: 365).

4.1.2 Majelis Kehor matan Disiplin Kedokteran Indonesia


Sesuai dengan Undang-Undang Tentang Praktik Kedokteran Nomor 29
Tahun 2004, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau yang biasa
disingkat MKDKI sesuai dengan pasal 55 merupakan lembaga penegak disiplin
kedokteran dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran, dimana
MKDKI bergerak sebagai lembaga otonom di bawah Konsil Kedokteran Indonesia
dan dalam menjalankan tugasnya, lembaga ini bersifat independen. Terkait
dengan organisasi keprofesian, MKDKI berisikan 3 (Tiga) orang dokter dan 3 (Tiga)
orang dokter gigi dan di dalamnya pula terdapat 3 (Tiga) orang sarjana hukum.
MKDKI dapat menerima pengaduan dari masyarakat umum secara tertulis
yang ditujukan langsung kepada Ketua MKDKI. Dalam ranah pengaduan, di
dalamnya harus memuat identitas pelaku, tempat praktik dokter bersangkutan
juga tindakan yang bersangkutan, serta alasan pengaduan. Setelah proses aduan
masuk ke MKDKI, lembaga ini memeliki kewajiban unutk memeriksa aduan dan
mengeluarkan keputusan terkait aduan ter kait disiplin yang diterima (Konsil
Kedokteran Indonesia, 2017).

28 Universitas Budi Luhur


MKDKI memiliki tugas sesuai dengan Undang-Undang Praktik Kedokteran
Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 64, yaitu (1) Menerima pengaduan, memeriksa, dan
memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan, dan
(2) menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin
dokter atau dokter gigi. Terkait dengan sanksi disiplin, MKDKI memiliki wewenang
untuk memberikan surat peringatan hingga merekomendasikan pencabutan Surat
Tanda Registrasi ataupun surat izin praktik dokter hingga memberikan kewajiban
berupa mengikuti kembali pendidikan atau pelatihan dalam ranah industri
kedokteran/kedokteran gigi.
Secara mendalam, aturan-aturan mengenai pengaduan tentang dugaan
pelanggaran disiplin kedokteran & kedokteran gigi diatur dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011. Dalam peraturan
ini dijelaskan tentang pengadu, pengaduan, investigasi, persidangan hingga tata
laksana MKDKI yang di dalamnya terdapat Majelis Pemeriksaan Disiplin (MPD).
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia ini ditetapkan oleh Kementrian Hukum &
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada Tahun 2012 (Konsil Kedokteran
Indonesia, 2017).

29 Universitas Budi Luhur


Adapun alur pengaduan kepada MKDKI jika ada masyarakat yang
menduga bahwa dirinya ataupun sanak keluar ganya mengalami tindak dugaan
malapraktik medis adalah sebagai berikut sesuai dengan Surat Konsil Kedokteran
Indonesia Nomor 1056/U/MKDKI/VII/2018:

Registrasi Pemeriksaan
Saksi

Pemeriksaan Pemeriksaan
Ahli
Awal

Musyawarah  Pemeriksaan
Teradu

 Usulan
Ahli/Tanggapan
Akhir Dari
Verifikasi
Teradu

Laporan Musyawarah
Verifikasi

Putusan akhir
Pemeriksaan
Pengadu
Baca Putusan

Musyawarah
Penyampaian
Putusan ke
KKI

Ketua Divisi Pembinaan Konsil Kedokteran Gigi, atas nama Dr. Dr g. Zaura Anggraeni,
MDS dalam presentasinya mengenai Tata Laksana Pengelolaan Kasus Pelanggaran
Disiplin Kedokteran menyatakan bahwa dalam ranah pelaporan kasus dugaan
malapraktik medis, terdapat dua tenggat waktu yang tindak lanjut sebagai berikut:

1. Penyusunan Resume Pemeriksaan hingga Permintaan Tanggapan akhir ada


tenggat waktu 14 Hari.

30 Universitas Budi Luhur


2. Keputusan MPD hingga mencapai keputusan mengenai keberatan pelapor, ada
tenggat 30 hari.

4.2 Ombudsman Republik Indonesia Sebagai Lembaga Pengawas Pelayanan


Publik
Cukup banyak pertanyaan yang terkait dengan asal-usul kata yang berkaitan
dengan Ombudsman, dimana salah satunya ber upa singkatan dari beberapa suku kata.
Dalam penerapannya sebagai sebuah lembaga negara yang bergerak sebagai institusi
dibidang pengawasan, Ombudsman sendiri berasal dari bahasa Swedia yang pada intinya
menjelaskan hal-hal yang ber kaitan dengan keadilan dalam sebuah mekanisme
pengawasan. Jika dirunut lebih jauh, sebenar nya penggunaan istilah pengawasan
lembaga publik ini telah dipakai sedari jaman ketatanegaraan Islam hingga keberadaan
kekaisaran Dinasti Tsin. Perlindungan ter hadap masyarakat dari para penguasa yang
menyalahgunakan wewenang menjadi tugas utama dari sebuah lemabaga Ombudsman
(Kadarsih, 2010: 176).

Ombudsman RI bergerak di bawah pemerintahan Indonesia, dibuktikan oleh


Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2008, namun dalam pelaksanaannya, lembaga tetap
bergerak secara mandiri dalam mengurusi urusan-urusan yang berkaitan dengan
pengawasan lembaga pelayanan publik. Adapun tujuan dibentuknya Ombudsman
Republik Indonesia ini adalah untuk mendukung penyelenggaraan sistem pemerintahan
yang efisien juga efektif. Pengawasan-pengawasan dalam ranah pelayanan publik ini
sebagai salah satu bentuk aksi nyata pemerintahan dalam memerangi kolusi, nepotisme
hingga praktik-praktik maladministrasi. Fokus utama dari pelaporan ataupun laporan-
laporan yang masuk ke dalam Ombudsman RI diantaranya, adalah (Kadarsih, 2010:
177):

1. Maladministrasi dengan cara penyalahgunaan wewenang,


2. Maladministrasi dengan melakukan tindakan yang sewenang-wenang
terhadap publik,
3. Maladministrasi dengan cara melakukan tindakan ber upa penundaan
berlarut.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008, Ombudsman Republik


Indonesia ber gerak untuk mengawasi lembaga-lembaga yang berkaitan dengan negara,
yang dalam hal ini berupa Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah,
pelayanan publik atas nama swasta yang dibantu menggunakan dana daerah/dana
pemerintahan hingga akses-akses pengawasan proyek pemerintahan yang
dilakukan/dipercayakan kepada pihak swasta (Kadarsih, 20 10: 178).

31 Universitas Budi Luhur


Ombudsman RI sendiri dalam melakukan tugasnya dipimpin oleh 9 (Sembilan) orang
pimpinan, dimana 2 (Dua) anggota dikategorikan sebagai pimpinan utama beserta wakil,
dan ke- 7 (Tujuh) pimpinan sisanya merangkap sebagai anggota. Proses kerja daripada
Ombudsman itu sendiri terbagi-bagi lagi ke dalam beberapa tim inti yang mengurusi
bagian-bagian seperti Hukum, Pertanahan, hingga perekonomian. Di dalam penelitian
mengenai penyelesaian kasus malpraktik medis dapat dilapor kan kepada Ombudsman RI
ketika ada indikasi penyalahgunaan wewenang hingga penundaan berlarut yang
dilakukan oleh lembaga terkait keprofesian (PB IDI, KKI, MKEK, dan MKDKI). Ada tim
khusus yang menangani kasus-kasus ter kait pelayanan dalam dunia medis, yaitu Tim 3
Ekonomi I. Tim 3 ini menerima laporan-laporan yang berkaitan dengan masalah
perbankan hingga permasalahan pelayanan dalam bidang medis, dimana dalam laporan-
laporannya yang ada beberapa kasusnya terkait dengan penyelesaian masalah dengan
dugaan malpraktik medis yang tidak kunjung selesai dilembaga keprofesian ter kait.

32 Universitas Budi Luhur


BAB V

Hasil Temuan Data

5.1 Pengertian Malapraktik Dalam Masyarakat


Dengan menggunakan metode pengumpulan data secara ‘survey online’ yang di
dalamnya terdapat kuesioner sebagai sarana pengumpulan data, didapatkan responden
sebanyak 146 orang. Responden yang mengisi kuesioner secara online ini posisinya
tersebar dibeberapa wilayah Indonesia, seperti DKI Jakar ta, Pulau Sumatra, Kalimantan,
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku hingga Pulau Papua. Penelitian ter hadap
pengertian masyarakat mengenai malpraktik kedokteran ini menghasilkan definisi umum
sebagai berikut (Hardisman, 2012: 77-82):

1. Malapraktik medis merupakan suatu kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang
pada akhirnya menyebabkan kerugian hingga keburukan bagi keberlangsungan
pasien.
2. Malapraktik medis merupakan upaya yang dilakukan oleh tenaga medis yang
dimana apa yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan medis yang
berlaku.

Secara tematik terkumpul pula pendefinisian malapraktik medis dari par a


responden yang telah mengisi kuesioner yang isi dari pendefinisiannya adalah sebagai
berikut:

1. Resiko terhadap pasien ber upa kecacatan fisik hingga kematian,


2. Perlakuan tenaga kesehatan tidak sesuai dengan etika kedokteran yang berlaku,
3. Kesalahan dalam ranah pengobatan, dan
4. Kesalahan bentuk prosedural atau perlakuan yang tidak sesuai dengan standar
operasional prosedur (SOP).

Dalam pemahaman masyarakat Indonesia, malapraktik medis pada akhir nya


akan dikaitkan dengan bagaimana kondisi sang pasien setelah melalui jalan pengobatan
yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi/tenaga kesehatan, dimana dalam artiannya
pertimbangan dilakukan menggunakan filosofi konsekuentialis. Filosofi jenis ini pada
akhirnya akan dibuktikan dengan hasil akhir dari penelitian, bahwa malapraktik medis
merupakan perilaku yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi dengan cara menyalahi
standar operasional prosedur, kesalahan diagnosis juga pemeriksaan, dan kesalahan
prosedur pengobatan sehingga mengakibatkan kondisi yang diharapkan oleh pasie n tidak
terlaksana sebagaimana mestinya (Hardisman, 2012: 77-82).

33 Universitas Budi Luhur


5.2 Pernyataan Ketua MKDKI Perihal Malapraktik Medis (Kasus Dr. Ayu)
Ketua MKDKI periode 2013, atas nama Ali Baziad melakukan wawancara dengan
Koran Tempo dimana wawancara ini ter kait dengan kasus malapraktik medis yang
dilapor kan ke ranah hukum dengan tergugat dr Dewa Ayu Sasiary Prawani 1. Dokter Ayu
digugat oleh keluar ga korban dengan inti permasalahan ber upa meninggalnya pasien
atas nama saudari JFM setelah dilakukannya tindakan medis oleh dokter bersangkutan.
Pada saat digugat oleh keluarga korban, dokter Ayu sedang menjalankan proses
pendidikannya untuk menjadi dokter spesialis. Gugatan terhadap dokter Ayu dilakukan
melalui proses peradilan pidana dan tidak melalui langkah-langkah pelaporan secara
disiplin kedokteran Indonesia. Ketua MKDKI pada saat itu menegaskan bahwa
seharusnya pemrosesan melalui jalur pidana tidak semestinya dilakukan, karena sesuai
dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran
menyataka n bahwa masyarakat yang terdampak oleh tindakan kedokteran yang tidak
semestinya diharapkan untuk membuat laporan ke lembaga disiplin/MKDKI. Tempo.co
melakukan wawancara terhadap Ali Baziad yang kurang lebihnya apa yang bicarakan
dapat dirangkum ke dalam beberapa bagian sebagai berikut (Nasional.Tempo.co):

1. Dokter Ayu diputuskan oleh Mahkamah Agung untuk menjalankan hukuman


selaman 10 (Sepuluh) bulan penjara, dimana secara lebih jauh Ali tidak
menjelaskannya lagi namun ia menutur kan bahwa yang bersangkutan pada saat
kasus tersebut terjadi sang dokter memang tidak memegang surat izin praktik
atau SIP.
2. Tidak memiliki SIP secara legal merupakan suatu perbuatan melawan hukum
ataupun sudah jelas merupakan sebuah bentuk tindak pidana.
3. Terkait dengan kepengurusan SIP Dokter sehar usnya diawasi oleh rumah sakit
tempat bersangkutan itu bekerja, dan sudah menjadi kewajiban rumah sakit
untuk memperingatkan dokter agar melengkapi surat-surat ter kait yang mana
dapat diproses melalui Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
4. Pengurusan SIP memiliki syarat-syarat ter tentu dan di dalam proses
penyelesaiannya akan cepat jika dokumen-dokumen pendukung sudah terpenuhi,
dan pembelaan ketua MKDKI atas nama Dokter Ayu adalah jika memang yang
bersangkutan salah, apakah akan ada gerakan mend ukung Dokter Ayu ketika
dirinya diproses ke ranah hukum dan j uga ada penegasan bahwa teman ataupun
sejawat kedokteran di Indonesia memegang teguh sumpah dokter yang salah

1
Hasil wawancara dari Artikel Nasional Tempo berjudul “Ketua MKDKI: Kami Tak
Mengenal Istilah Malapraktik”

34 Universitas Budi Luhur


satu isinya adalah memperlakukan teman seprofesi bagaikan keluarga atau
saudara kandung.
5. Hasil pemeriksaan yang dilakukan lembaga etik (MKEK) menyatakan bahwa tidak
ada pelanggaran etik juga disiplin yang dilakukan oleh Dokter Ayu.
6. Kasus Dokter Ayu diarahkan untuk melakukan penyelesaian di ranah keprofesian,
namun pada akhirnya keluarga korban tetap menempuh jalur hukum.
7. MKDKI tidak menangani kasus yang menimpa Dokter Ayu dikarenakan sistem
pelaporan dugaan malapraktik medis dalam MKDKI itu sendiri dimana
masyarakat yang merasa dirugikan harus melapor kepada MKDKI, bukan MKDKI
yang mencari-cari kasus terkait malapraktik medis.
8. Hal yang mendukung Netralitas MKDKI adalah keberadaan praktisi hukum di
bidang kesehatan dan hukum pidana, jadi tidak keseluruhan anggota majelis
merupakan dokter/teman sejawat.
9. Proses pengadilan di MKDKI melibatkan 4 (Empat) dokter dan 1 (Satu) praktisi
hukum.
10. Penegakan disiplin kedokteran melalui MKDKI tampah belum dimengerti
sepenuhnya oleh publik bahkan aparat penegak hukum masih abu-abu dalam
menangani kasus dugaan malapraktik yang masuk ke ranah hukum.
11. Isi dari majelis dalam MKDKI berjumlah 11 (Sebelas) orang yang isinya terdiri
dari dokter juga ahli hukum dan para anggota majelis dilantik oleh Mentri
Kesehatan.
12. Pengisian informed consent harus atas persetuj uan/dilakukan sendiri oleh dokter
yang akan melakukan tindakan medis.
13. Kasus yang menimpa saudari JFM har us didalami kembali untuk penegasan
terkait dengan dugaan malapraktik yang dilakukan oleh dokter bersangkutan dan
sesuai hasil pemeriksaan forensik, ada sumbatan darah yang terjadi dalam
jantung dimana hal ini disebabkan oleh masuknya udara ke dalam aliran darah
menuju jantung atau yang istilah medisnya dapat disebut sebagai emboli. Jika
ditelisik lebih dalam, emboli ini dapat terjadi atau masuk ke jantung melalui infus
yang telah kosong, namun dalam kasus yang ada akan sangat jarang terjadi
dimana komposisinya hanya satu dari seratus ribu persalinan.
14. Ahli anastesi hanya memiliki peranan untuk membius pasien.
15. Terkait dengan kasus malapraktik dapat selesai di ranah ganti rugi melewati
komite medis rumah sakit bersangkutan. Negosiasi dapat untuk dilakukan dan
memang jika indikasi malapraktik sudah sangat kuat, masyarakat yang dirugikan
dapat melapor kannya ke aparat penegak hukum.

35 Universitas Budi Luhur


16. Keluar ga JFM sebenarnya memiliki hak untuk mengadukan kasus yang
dialaminya ke aparat penegak hukum, namun sesuai dengan kaidah undang-
undang yang telah disebutkan tersebut, keluarga juga harus melaporkannya ke
MKDKI.
17. Pada saat melakukan tindakan medis terhadap almarhumah, Dokter Ayu sedang
menjalankan pendidikan dokter spesialisnya dan yang seharusnya
bertanggungjawab pada saat/kasus ini adalah supervisi/yang mengawasinya
pada saat itu.
18. Ada dokter-dokter yang menyalahi etik juga disiplin dan sanksinya adalah
pencabutan S IP selama kuran waktu 6 (Enam) bulan ataupun lebih. Satu tahun
juga merupakan hukuman terberat dari pencabutan SIP Kedokteran.
19. Disiplin ilmu sudah seharusnya menggunakan penegakan secara keprofesionalan
di bawah Konsil Kedokteran Indonesia, dimana hal ini berbeda dengan
penggunaan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia.
20. Dokter/profesi kedokteran tidak mengenal istilah malapraktik medis, yang ada
hanyalah standar operasional prosedur.
21. Keberatan putusan yang dikeluarkan oleh MKDKI dapat dilakukan oleh pelapor
dengan batas maksimal 30 hari semenjak putusan dikeluarkan, namun keputusan
yang ada sebenarnya memiliki sifat mengikat.
22. Penegakan disiplin kedokteran tidak bisa dibawa ke ranah administrasi (PTUN).
23. Pemeriksaan ataupun penanganan kasus dugaan malapraktik medis yang masuk
ke MKDKI dapat diselesaikan hingga satu tahun. Selama proses pemeriksaan,
dokter teradu dapat menjalankan prakteknya seperti biasa. Jika ada pengakuan
secara jujur yang dilakukan oleh dokter teradu maka akan ada peringanan
putusan terhadapnya.
24. Penelantaran pasien terjadi akibat tidak imbangnya jumlah pasien dengan j umlah
dokter yang menangani. Ideal pasien yang dapat ditangani oleh dokter dalam
sehari per dokternya adalah sejumlah 20 orang pasien.
25. Pencarian tenaga kesehatan yang dilakukan para pasien Indonesia di luar negeri
terjadi akibat dokter dalam negri yang terlalu banyak tanggungan (Bekerja tidak
di satu tempat, dan banyak pasien yang ditangani).

5.3 Wawancara Dengan Asisten Ombudsman Republik Indonesia


Dari wawancara yang dilakukan ter hadap salah satu asisten Ombudsman RI atas
nama Rizkiana Hidayat, didapat data berupa penjelasan-penjelasan ter kait dengan
penangan kasus yang telah dilakukan sebelum-sebelumnya. Rizkiana Hidayat sendiri
merupakan salah satu Asisten Ombudsman Republik Indonesia yang saat ini mengemban

36 Universitas Budi Luhur


jabatan sebagai kepala bagian Penerimaan dan Verifikasi Laporan Ombudsman
Perwakilan D.I Yogyakarta, dimana sebelumnya beliau j uga sempat tergabung dalam Tim
3 Ekonomi I Ombudsman Republik Indonesia. Penjelasan mengenai per masalahan
dugaan malapraktik dapat masuk ke ranah Ombudsman dikarenakan hal-hal mengenai
pelaporan ke MKDKI mer upakan sepenuhnya salah satu cara atau contoh konkret
pelayanan publik. Ombudsman RI sebagai lembaga pengawas pelayanan publik memiliki
kewenangan untuk menegur hingga memberikan tindakan korektif bagi lembaga di
bawah naungan negara untuk memperbaiki pelayanan publiknya. Kasus -kasus dugaan
malapraktik sejauh ini yang sudah masuk ke MKDKI di tahun 2017 besarnya sejumlah
169 Kasus, dan di dalamnya terdapat kasus dari rentang yang sedang hingga berat.
Keterlambatan daripada penanganan kasus-kasus yang masuk ke MKDKI beberapanya
diakibatkan oleh tidak adanya kejelasan mengenai tenggat waktu penanganan kasus
sesuai dengan perkonsil kedokteran Indonesia 2.

Hambatan-hambatan yang ada juga diakibatkan oleh kasus-kasus cukup berat


yang dalam pembuktiannya memang butuh waktu yang lama. Namun sesuai dengan
ketentuan-ketentuan yang ber kaitan dengan pelayanan publik, seharusnya proses
verifikasi hingga proses penyelesaian secara ber kalanya harus diinfokan kepada pelapor,
dimana secara konkretnya hal ini belum dilakukan sehingga masyarakat memiliki
anggapan bahwa penyelesaian kasus melalui MKDKI ini dilakukan secara berlarut-larut
atau tidak memiliki kejelasan hingga bahkan ada yang sampai 3 tahun lamanya dalam
proses penyelesaian masalah terkait dengan dugaan malapraktik medis yang dilakukan
oleh dokter ber kaitan (Kasus DS, J, dll). Tindakan korektif sudah dilakukan oleh
Ombudsman RI dengan harapan agar agar MKDKI ber benah dengan tindakan-
tindakannya sebagai seorang lembaga pelayan publik. Sosialisasi juga perlu ditingkatkan
oleh MKDKI mengingat masyarakat itu sendiri yang masih kurang mengetahui bahwa ada
lembaga khusus yang mengur usi masalah mengenai disiplin kedokteran ini. Perlu
diperhatikan pula dalam ranah keprofesian seperti ini yang dimana lembaga-lembaga
independen yang mengurusi terkait dunia kesehatan diharapkan dapat bersinergi secara
penuh, mengingat salah satu contohnya ada Badan Pengawas Rumah Sakit/BPRS. Badan
Pengawas Rumah Sakit beserta para perangkat MKDKI diharapkan memiliki sinergi dalam
melaksanakan tugasnya sebagai lembaga pengawas di dunia medis 3.

2
Hasil wawancara dengan Asisten Ombudsman RI Tim 3 Ekonomi I
3
Ibid.

37 Universitas Budi Luhur


5.4 Contoh Kasus & Judicial Rev iew Malapraktik Medis

5.4.1 Keadaan Vegetatif Pasien Tanpa Kejelasan


Dibutuhkan proses yang lama dalam menyelesaikan kasus dugaan
malapraktik yang dilakukan oleh dr. C ter hadap saudari TS. Kasus dugaan
malapraktik ini menimpa salah satu dokter yang bekerja di Rumah Sakit ternama
Kota Medan, Sumatra Utara. Dilansir dari laporan yang masuk ke Ombudsman
Republik Indonesia, terdapat keanehan dalam menyelesaikan masalah terkait
dengan dugaan malapraktik ini. Setelah keluarga korban menduga sang kor ban
menerima tindakan malapraktik, segala urusan telah diserahkan kepada pihak
MKDKI, namun proses penyelesaian dilakukan dengan sewenang-wenang. Data
yang dihimpun dari laporan hasil penyelesaian Ombudsman RI menyatakan bahwa
terjadi kurang lebihnya dua inti permasalahan, yaitu Penundaan Berlarut dan Sikap
Sewenang-wenang berupa pemberian data informasi secara tidak jelas. Pada
akhirnya sesuai de ngan laporan yang dibuat oleh MKDKI, dokter bersangkutan telah
diberikan sanksi oleh Pengawas juga konsil kedokteran.

Setelah berkelit panjang dengan urusan-urusan pembuktian terkait dugaan


malapraktik medis terhadap saudari TS disalah satu RS Kota Medan, pada akhirnya
membuahkan hasil, berupa pencabutan Surat Tanda Registrasi keterangan dr. “C”.
Terkait dengan keputusan yang telah diambil ini dampaknya bagi sang dokter
adalah ia tidak bisa menjalankan lagi praktek yang ber hubungan dengan
kedokteran, yang dimana hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia nomor 20 tahun 2014. Pada peraturan Konsil Kedokteran
Indonesia Pasal 48 ayat 2, telah dijabarkan bahwa Majelis Pemeriksa Disiplin
memiliki hak untuk merekomendasikan pencabutan STR (Surat Tanda Registrasi)
paling lama 2 Tahun, yang didalamnya meliputi pencabutan selur uh kewenangan
untuk melakukan praktik kedokteran dan pencabutan kewenangan pada area
kompetensi tertentu untuk melakukan praktik kedokteran. Terkait dengan
pencabutan STR ini, dokter bersangkutan juga berkemungkinan untuk dicabut STR-
nya secara tetap/selamanya.

5.4.2 Pemasangan Kateter Secara Sewenang-Wenang


Peneliti juga tur ut menemukan data lain terkait dengan penyelesaian kasus
dugaan malapraktik di Rumah Sakit yang sama dengan kasus Sdr. TS. Peneliti
mengambil kasus dari penyelesaian Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan di Ombudsman
Republik Indonesia. Kasus terkait ini bermula ketika pasien atas nama JK dilarikan
ke rumah sakit HAM dan sebagai salah satu tindakan medis untuk menyelamatkan

38 Universitas Budi Luhur


nyawa pasien, dokter di bawah naungan rumah sakit har us memasangkan kateter
dan CVC. Pemasangan kateter dan CVC dilakukan dengan alasan penunjangan
nyawa sang pasien agar kondisinya tidak menjadi lebih parah dari sebelum datang
ke rumah sakit. Pada akhir nya pasien bersangkutan menghembuskan nafas
terakhir nya tertanggal 23 Agustus 2017.

Dari laporan akhir Ombudsman RI, peneliti mendapatkan penjabaran ber upa
dokumen-dokumen ter kait pasien (Triase masuknya pasien ke UGD, dokumen Bilas
Lambung, hingga Surat Keterangan Meninggal dari sang pasien), hingga dokumen
terkait pelaporan keluarga pasien terhadap MKDKI perihal dugaan dilakukannya
malapraktik medis ter hadap sang pasien. Ombudsman RI pada laporan awalnya
menduga bahwa ada penundaan berlarut daripada kasus yang dialami oleh keluarga
pasien. Penundaan berlarut yang dilakukan pihak tenaga kesehatan juga pengawas
kesehatan ini ber upa lambatnya permintaan keterangan dan juga ketidakjelasan
rekam medis yang dilakukan pihak rumah sakit kepada pasien yang sudah
meninggal dunia. Terkait dengan keberadaan rekam medis, sehabis tindakan
ataupun sehabis persetujuan untuk melakukan tindakan kepada pasien seyogyanya,
dan bahkan wajib untuk dicatat, namun pihak rumah sakit berkelit pada tanggal 30
Agustus 2017 bahwa rekam medis pasien yang bersangkutan belum selesai dibuat
yang dimana tanggal kematian dari sang pasien adalah 23 Agustus 2017 atau 7
(Tujuh) hari sebelum tanggal yang dimaksud .

Sesuai dengan Manual Rekam Medis yang dibuat oleh Konsil Kedokteran
Indonesia, Rekam Medis merupakan catatan, uraian, hingga diagnosis pasien yang
melakukan pengobatan dengan penulisnya berupa sang dokter ataupun dokter gigi.
Dokumen Rekam Medis j uga termasuk di dalamnya foto Roentgent, hasil
laboratorium, dan keterangan lainnya sesuai dengan kompetensi keilmuan sang
dokter. Dari catatan atau rekam medis ini, pihak tenaga kesehatan dapat
memperoleh:

1. Pengobatan Pasien,
2. Peningkatan Kualitas Pelayanan,
3. Pendidikan dan Penelitian,
4. Pembiayaan,
5. Statistik kesehatan, dan
6. Pembuktian hukum, disiplin, etik

Menilik dari kasus TS, mengenai rekam medis yang dimiliki oleh rumah sakit
terkait har us segera dibuat ketika ada tindakan dari para tenaga kesehatan yang

39 Universitas Budi Luhur


ada pada saat itu, dikarenakan sudah jelas sesuai dengan Peraturan Mentri
Kesehatan No. 269 Tahun 2008 bab 3, pasal 5 ayat (2) bahwa setiap rekam medis,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat segera dan dilengkapi setelah
pasien menerima pelayanan.

5.4.3 Pengangkatan Indung Telur Sepihak oleh dr. HS (2018) RS Gr ha


Kedoya
Pada tahun 2018 terdengar kasus dugaan malapraktik di Indonesia yang
berhubungan dengan hilangnya kemampuan seorang perempuan untuk
bereproduksi. Korban atas nama ‘S’ melakukan tindakan operasi dengan anastesi
bius secara total di RS. Gr ha Kedoya dengan dokter yang bertanggung jawab pada
saat itu atas nama dr. HS. Kronologi singkat sesuai dengan artikel & rilis berita yang
didapat oleh peneliti adalah sebagai berikut:

1. Sdri ‘S’ mengeluhkan nyeri setelah melakukan olahraga muay thai


sehingga yang bersangkutan mendatangi RS Grha Kedoya dan bertemu
dengan dokter spesialis penyakit dalam guna melakukan konsultasi
medis.
2. Pasien bersangkutan diminta untuk melakukan US G yang pada nantinya
akan digunakan sebagai data penunjang dalam penentuan perawatan
dan juga penetuan diagnosa penyakit kepada yang bersangkutan.
3. Hasil USG menunjukkan adanya kista sehingga pasien yang bersangkutan
dirujuk ke dokter kandungan atas nama dr. HS.
4. Sebagai tindakan, dr. HS melakukan operasi secara bius total terhadap
sang pasien guna mengangkat kista yang terindikasi berada pada rahim
pasien.
5. Pada saat hari ke empat setelah dilangsungkannya operasi pengangkatan
kista, dr. HS memberi tahu pasien, bahwa kedua indung telur
bersangkutan j uga ikut diangkat dikarenakan ada indikasi penyebaran sel
kanker (Niqmah, LailatunTribunnews.com. Diakses pada 26 Mei 2020).

Sang terduga korban pada saat ini sedang mengusahakan agar kasus
dugaan malapraktiknya ini diangkat ke meja hijau dengan menggunakan gugatan
secara perdata ke pengadilan. Pada akhirnya pihak penyedia layanan kesehatan
mengatakan bahwa segala hal yang menentukan kasus dr. HS ini dapat diserahkan
kepada Majelis Kehormatan Profesi untuk nantinya dapat ditindaklanjuti. Terkait
dengan kasus ini pula, sang terduga korban mempermasalahkan tindakan sang
dokter yang mengangkat indung telurnya secara sepihak dan tidak dilakukan upaya-
upaya diagnosis suatu penyakit sebagaimana yang biasa dokter lakukan. Penentuan

40 Universitas Budi Luhur


adanya sel kanker dalam proses diagnosanya bisa melalui laboratorium, dan pada
kasus yang bersangkutan ini, sang dokter melakukan tindakan pada saat operasi
hanya dengan mengandalkan penglihatan saja/tidak melakukan upaya second
opinion untuk menguatkan pendapat atau opini sang dokter bersangkutan
(Velarosdela. Megapolitan.kompas.com. Diakses pada 26 Mei 2020).

5.4.4 Judicial Rev iew Undang- Undang Per lindungan Konsumen Negara
India Serta Implikasinya Terhadap Malapraktik Medis
Jika melihat dari moral bangsa India, ada hubungan secara moral yang unik
antara masyarakat dengan dokter-dokter di India pada masa sebelum era modern
ini, dimana masyarakat memiliki angapan bahwa dokter adalah kepanjangan tangan
daripada Tuhan itu sendiri. Dunia medis dilihat sebagai r uang saintis dalam
melakukan sihir-sihir yang orang awam tidak dapat mengerti. Pada akhir abad ke-
20, terjadi pergeseran pemaknaan bagi para tenaga medis, yang mana
komersialisasi & globalisasi membuat peran para tenaga medis terlihat hanya seperti
tindakan keprofesian yang harus dijalani saja seperti profesi-profesi lainnya (Paul &
Bhatia, 2016: 1-5).

Negara India pada era moderen mulai merihat pasien sebagai sebuah
komoditi, dimana sebuah komoditi ini memang sebenar-benarnya adalah suatu
barang yang dapat menghasilkan uang, namun Negara India tetap berusaha agar
sebuah komoditi ini masihlah bernilai mulia sebagaimana manusia pada umumnya.
Undang-undang perlindungan konsumen dipakai untuk melindungi masyarakat India
sepenuhnya, dimana dasarnya sendiri berasal dari Consumer Protection Resolution
Nomor 39/248 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 9 April
Tahun 1985. Setelah adanya pembahasan mengenai undang-undang perlindungan
konsumen ini, dunia medis India mengadakan diskusi yang pada akhirnya
menyimpulkan beberapa poin terkait dengan Perlindungan Bagi Pasien. Tampak
timbul suatu keadaan normal baru di dalam masyarakat ter kait dengan pendefinisian
kontrak kerja antara dokter dengan pasien, dimana semua yang dilakukan &
disetujui, maka perjanjian tersebut memiliki sifat-sifat yang tunduk dengan hukum
(Singhal, 2015: 75-80).

Para praktisi medis tetap memiliki organisasi keprofesian yang tugasnya


tetap untuk mengawasi para tenaga kesehatan secara disiplin yang berlaku, dimana
kaidah-kaidah etik dunia kesehatan berusaha untuk ditegakkan. Ter kait dengan
disiplin dan juga etik ini dinaungi oleh Konsil Kedokteran India yang di dalamnya
terbagi-bagi lagi menurut daerahnya masing-masing. Perjanjian antara sokter
dengan pasien, yang biasanya dilakukan sebelum tindakan ataupun sebelum

41 Universitas Budi Luhur


melakukan operasi medis, menggunakan asas ser vis untuk individu/ personal,
dimana keseluruhan tanggungan biaya harus dipenuhi oleh pasien (tidak terkecuali
pula untuk biaya-biaya yang gratis) dan ketika itu juga dokter/tenaga kesehatan
melakukan tindakan sesuai dengan apa yang telah dijanjikan/tertulis pada perjanjian
medis bersama pasien (Singhal, 2015: 75-80).

Dalam sistem hukum Negara India, setelah ada atau terjadinya beberapa
kasus dugaan malapraktik dalam ranah kedokteran secara hukum telah diakui
bahwa kasus dugaan malapraktik yang melibatkan tanggungan- tanggungan dokter
sebagai pelayan kesehatan har us dipertanggungjawabkan dengan sebagaimana
mestinya. Sistem hukum India mulai memasukkan ranah malapraktik medis ke
dalam sistem pengadilannya dimulai pada Tahun 2005. Latar belakang dari
terjadinya perombakan dalam bidang malapraktik ini dikarenakan a danya kasus
konkret yang memang sebelumnya pernah terjadi. Beberapa contoh kasus nyata
yang terjadi di Negara India akan peneliti lampirkan di bawah. Adapun dasar dari
dimasukannya ranah malapraktik ini dikarenakan setelah menimbang lebih jauh,
malapraktik medis ini secara eksplisit diartikan sebagai sebuah kelalaian yang
dilakukan oleh dokter ataupun tenaga kesehatan. Selain itu, dari review hukum yang
dilakukan oleh pemerintah India menyatakan bahwa keberadaan or ganisasi
keprofesian harus tetap ada untuk menegakkan sistem etik kedokteran, namun yang
menjadi pembatasan adalah proses penentuan sanksi disiplin yang sepenuhnya
diserahkan kepada pihak pengadilan (Singhal, 2015: 79-80).

5.4.5 Kasus Kemat ian Ayahanda Jacob Mathew


Ayahanda Jacob sedang dirawat intensif dengan penanggungjawabnya
diberikan kepada beberapa perawat dan seorang dokter. Pada akhirnya, sang ayah
meninggal dunia disaksikan oleh Jacob, dimana ia memaparkan bahwa penyebab
ayahandanya meninggal dunia dikarenakan pada saat sang ayah mencapa i stase
kritis, tidak ada alat bantu ber upa silinder oksigen yang tersedia saat itu untuk
membantu pelancaran pernafasan bagi sang ayah. Tak hanya ketiadaan alat medis
berupa silinder oksigen saja, walaupun pada akhirnya silinder dapat disediakan,
pada saat alat dimasukkan ke dalam mulut sang ayah untuk melebarkan jalan
masuk udara, sang ayah meninggal dunia. Ketidakmampuan tenaga medis dalam
menjalankan prosedur berupa pemasukan silinder oksigen ke dalam mulut mendiang
menjadi per hatian dalam kasus ini, di mana dalam dunia medis itu sendiri waktu
tidak dapat ditolelir, dan proses memasukan silinder oksigen tampak terlambat
sehingga menyebabkan kematian bagi ayahanda Jacob. Kasus dugaan malapraktik
ini dapat naik ke atas meja hijau, dimana konklusi dari persidangan adalah

42 Universitas Budi Luhur


telahterjadi ‘kelalaian’ dalam menangani pasien yang dilakukan oleh para tenaga
kesehatan yang berada di ruangan pada saat itu. Menurut pengadilan, syarat
terjadinya kelalaian pada saat kejadian sudah terpenuhi, yang diantaranya ada
kewajiban, kecolongan, dan menimbulkan kerusakan (Singhal, 2015: 75-80).

5.4.6 Kasus Kekelir uan Prosedur Dr. C. P.Srekumar, M.S.(Ortho)


Kelalaian kali ini ditemukan pada kasus penanganan retak tulang bagian
femur, dimana keretakan sebesar helaian rambut menjadi semakin parah, diduga
berasal dari kelalaian sang dokter yang menangani pada saat itu. Pada saat
penanganan fraktur femur, ditemukan bahwa fraktur yang terjadi memiliki golongan
Garden type I, hingga pada akhirnya fraktur yang ada berubah menjadi fraktur
Garden type III. Kesalahan juga kelalian tidak dititikberatkan pada membesarnya
ukuran fraktur tulang femur, tetapi lebih ditekankan pada pemilihan jenis tindakan
pada saat itu yang menurut kaidah kedokteran sehar usnya dilakukan tindakan
hemiarthroplasty, tetapi sang dokter bersangkutan malah melakukan tindakan
internal fixation saja (Singhal, 2015 75-80).

5.4.6 Persidangan in absent ia Dalam Ranah Et ik & Disiplin Kedokteran


Dalam ranah etik & juga disiplin kedokteran Indonesia, ketika seorang
dokter diduga melakukan tindakan malapraktik medis berupa kelalaian-kelalaian
yang menyebabkan ker ugian bagi pasien hingga kematian bagi pasien tetap
dilakukan persidangan. Jadi dapat disimpulkan bahwa MKEK & MKDKI sebagai
lembaga di bawah pengawasan Ikatan Dokter Indonesia dapat melakukan
persidangan yang isinya ada pembelaan yang dilakukan oleh terduga pelaku. Pelaku
dapat menolak atau berhalangan untuk hadir tentu saja dengan ketentuan-
ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku, dimana alasan bagi sang teradu untuk
tidak datang dapat dipertanggungjawabkan secara sepenuhnya. Persidangan dalam
ranah etik & disiplin ini mengacu kepada Pasal 196 ayat (1) Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Rozaliyani, Anna. Wasito, dan Librianty.
2018: 73-77).

5.4.7 Seminar Hukum Kupas Tuntas Tanggungjawab atas Tindakan


Malaprakt ik Medis
Seminar dilaksanakan oleh PT. Sukses Indah Makmur, dimana para
narasumber yang diundang merupakan orang-orang yang ber kutat dalam dunia
kesehatan juga dunia kedokteran. Salah satu narasumber yang diundang adalah
Profesor Budi Sampurna, dimana beliau memapar kan bahwa saksi-saksi ahli yang
dihadir kan dalam memutus per kara dugaan malapraktik merupakan dokter-dokter

43 Universitas Budi Luhur


juga dimana dalam penentuan klausanya ada beberapa asas-asas yang harus
dipenuhi sebagai rangka dasar agar kasus yang dilaporkan ini dapat ditetapkan
sebagai sebuah kasus malapraktik medis. Dalam penentuannya, dugaan malapraktik
medis tidak serta mer ta dapat diangkat ke dalam jalur hukum, mengingat ada MKDKI
merupakan organisasi penegak disiplin kedokteran, dimana kasus -kasus etik yang
ada harus dipersoalkan dalam MKDKI, yang pada akhir nya MKDKI sendiri memiliki
harapan agar pelapor mendapat kepastian hukum (Nurfitriyani, Annisa. 2019).

Profesor Budi Sampur na secara lebih jauh menjelaskan bahwa asas -asas
yang ber kaitan dengan pembuktian kasus dugaan kasus malapraktik medis ini dibagi
ke dalam 4 (empat) bagian, yang dimana asas-asas tersebut meliputi Duty of Care
(Kewajiban seorang dokter dalam hal pemantauan pasien), Breach of Duty
(Pelepasan tanggungjawab), dan Direct Causalship (asas sebab-akibat secara
langsung). Standar keprofesian, informed consent (Persetujuan pasien/keluarga
dalam melakukan suatu tindakan medis yang di dalamnya ter dapat hak untuk
menentukan nasib sang pasien itu sendiri) , contribution neglience (Keikutser taan
seorang pasien mengenai asal muasal keadaan yang memburuk semenjak
dilakukannya tindakan medis), dan kekeliruan pemilihan tindakan yang dilakukan
oleh dokter, pengasumsian resio yang telah diinfokan sebelum tindakan,
kebertanggungjawaban r umah sakit ter kait, dan tindakan medis yang tidak sesuai
dengan Standar Operasional Prsedur juga turut andil dalam menimbang tentang
keberadaan malapraktik medis itu sendiri. Hal-hal yang telah disebutkan di atas ini
akan berguna ketika suatu kasus dugaan malapraktik medis akan diangkat ke meja
hijau (Novianto, 2015: 498-500).

44 Universitas Budi Luhur


BAB VI

Analisis

6.1 Pelaksanaan Sidang Kasus Dugaan Malaprakt ik Kedokteran Tanpa melalui


Jalur Hukum
Sebelum membahas lebih dalam tentang sidang etik dan sidang disiplin
kedokteran, tampak bahwa kita harus mengetahui secara intrik apa itu sidang secara
umum. Sidang di Negara Indonesia sendiri biasa dilakukan untuk membuktikan
perbuatan-perbuatan melawan hukum yang di dalamnya ada suara-suara yang memiliki
sifat untuk membela diri teradu dan memaparkan bukti penguat daripada suatu dugaan
tindak pidana. Di dalam persidangan ada saksi-saksi, pihak ter dakwa, pihak pelapor,
hingga para hakim-hakim. Pembuktian tindakan perkara yang diduga tindakan pidana ini
ditimbang oleh para hakim untuk nantinya disimpulkan apakah sang terlapor/terdakwa
bersalah sepenuhnya atas dugaan tindakan melawan hukum yang dilapor kan.
Penimbangan-penimbangan dilakukan ketika proses persidangan, dimana hakim
menimbang kasus yang masuk ke meja hijau dari pendapat-pendapat juga kesaksian
para saksi itu sendiri, selain itu di dalamnya juga ter dapat pembelaan-pembelaan yang
memang hak daripada terduga pelaku/terdakwa itu sendiri.

Perspektif tentang malapraktik medis tampaknya agak bergeser dari yang tadinya
dilihat hanya dari sudut pandang kedokteran, menjadi diperluas menggunakan sudut
pandang perlindungan konsumen. Penggunaan sudut pandang menggunakan
perlindungan konsumen tampak belum dilakukan di Indonesia, dimana hal ini terbukti
dengan tidak adanya aturan-aturan yang secara gamblang menyebut tentang
malapraktik medis di dalam Undang-Undang perlindungan Konsumen. Berbeda dengan
negara India, dimana telah terjadi suatu evolusi dalam dunia hukum mengenai
malapraktik medisnya. Pengambilan contoh kasus dari negara India menunjukkan adanya
perbedaan dan langkah-langkah secara hukum juga sosial terkait dengan malapraktik
medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, dimana ter dapat perbedaan tujuan akhir
yang akan menjelaskan apakah tindakan malapraktik medis merupakan sebuah tindakan
melawan hukum, hingga bahkan melawan norma-norma sosial yang ada dalam
masyarakat.

Negara India secara rasional melihat bahwa tindakan-tindakan medis tampak


dilakukan dengan melihat medis sebagai sebuah mar ket dagangan. Tindakan, obat-
obatan, hingga peralatan medis yang digunakan oleh para tenaga kesehatan
menghasilkan perputaran uang di dalamnya. Dalam kasus-kasus mengenai malapraktik

45 Universitas Budi Luhur


medis yang terindikasi kriminal, pada akhir nya akan diselesaikan melalui jalur hukum,
walaupun telah telak sama dengan negara Indonesia bahwa di negara India juga ada
organisasi keprofesian yang menaungi etik & disiplin kedokteran. Tatanan suduut
pandang mengenai malapraktik medis mengalami evolusi semenjak tahun 1986, dimana
pada masa moderen ini, masalah terkait malapraktik medis dilihat secara rasional yang
tampaknya menggunakan prinsip ekonomi. Prinsip ekonomi ini akan menjelaskan
permasalahan mengenai malapraktik medis yang tampaknya tidak dapat diselesaikan
secara hukum, dimana ilmu ekonomi melihat dugaan kejahatan ini sebagai suatu produk.
Dijelaskan dengan gampang bahwa jika suatu produk yang diberikan oleh medis gagal
dilakukan, maka sudah seharusnya ada kompensasi seimbang untuk menggantinya .
Sudut pandang yang selangkah lebih maju juga dipegang, dimana kewajiban seorang
dokter benar-benar har us dipertanggungjawabkan.

Kasus-kasus mengenai malapraktik medis yang ada di Indonesia, sedikit yang


berlanjut ke jalur hukum, dimana diantaranya hanya melewati persidangan etik & disiplin
saja melalui MKDKI untuk nantinya sang terlapor dikenakan sanksi berupa disiplin,
seperti pencabutan surat tugas hingga kewajiban untuk menjalankan kebali pendidikan
kesehatan. Seperti pada salah satu kasus di RSU Kota Medan yang menimpa sebuah
keluarga, dimana sang pasien yang dimaksud telah meninggal dunia akibat tindakan sang
dokter yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah medis. Sang keluar ga pasien (korban)
harus ber kelit dengan urusan-urusan mengenai pembuktian yang pada akhirnya
dilapor kan pada MKDKI. Laporan disudahi dengan mengeluarkan pencabutan surat tugas
dokter bersangkutan, dimana tampak tidak ada keadilan bagi keluarga kor ban. MKDKI
telah memutuskan bahwa tindakan yang dilakukan oleh sang dokter merupakan tindakan
yang melawan kaidah medis sehingga menyebabkan hilangnya nyawa pasien setelah
operasi dilangsungkan. Dalam kasus ini, hukum perlindungan konsumen tampak tidak
terpakai, karena ada hukum medis/hukum disiplin sendiri yang hanya memiliki sudut
pandang secara keprofesian.

Persidangan in absentia juga tampak sangat bisa diperdebatkan, dimana dari


data berupa artikel yang dimuat dalam salah satu Jurnal Kesehata n menunjukkan bahwa
jika terjadi dugaan kasus malapraktik medis maka sang terlapor (Dokter) setelah 3 (Tiga)
kali dipanggil tidak datang ke dalam persidangan etik juga disiplin Kedokteran Indonesia,
terkait dengan perdebatannya, dapat disimpulkan bahwa jika persidangan dengan jenis
in absentia ini sejatinya tidaklah adil bagi kor ban dugaan malapraktik medis. Ketidak
adilan ini sendiri dapat dibedah ke dalam beberapa bagian, yang pertama bahwa jika
persidangan in absentia tetap dilakukan, maka asas pembelaan terlapor akan hilang,
yang mana pembelaan ini pada akhirnya akan diatur sedemikianr upa oleh MKDKI,

46 Universitas Budi Luhur


dimana proses pemeriksaan akan me-review bukti-bukti yang ada untuk kemudiannya
dibacakan pada sidang putusan ahli yang pada akhirnya akan dilapor kan kepada Konsil
Kedokteran Indonesia / KKI. Pemeriksaan-pemeriksaan yang ada ini dilakukan oleh
orang-orang yang notabene memiliki kesamaan profesi dengan pihak yang diadukan.

Jika dilihat dari proses persidangan yang dilakukan ini sesuai atau malah
mengutip dari sistem hukum yang ada di Indonesia, maka seharusnya kasus-kasus yang
merupakan malapraktik dari hasil kelalaian dokter dapat diangkat ke atas meja hijau
untuk sepenuhnya mendapatkan keadilan di mata hukum yang sesungguhnya. Etika
keprofesian dipertaruhkan dalam jenis malapraktik kriminal ini, dimana sesungguhnya
jenis malapraktik kelalaian ini sudah secara nyata menimbulkan kerugian bagi para
korbannya. Kita dapat kembali menelisik bagaimana aturan-aturan di Negara India
berlaku ketika ada kasus yang berhu bungan dengan malapraktik ini. Memang Negara
India memiliki ikatan dokter secara nasionalnya sendiri, namun sistem hukum
tetapmengotakkan bahwa tindakan malapraktik yang penyebabnya adalah kelalaian yang
dilakukan oleh pihak penyedia layanan kesehatan atau yang lebih diker ucutkan lagi
adalah seorang dokter harus bertanggungjawab secara hukum, karena di dalam
pelaksanaan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh dokter terdapat kesadaran secara
personal hingga perjanjian-perjanjian yang dilakukan kepada pasien sebagai penerima
produk kesehatan itu sendiri.

Sidang dalam MKDKI yang mengurusi masalah terkait dengan dugaan kasus
malapraktik medis yang dilakukan oleh seorang dokter dilakukan secara ter tutup. Sesuai
dengan keterangan Rizkiana Hidayat selaku Kepala Penerimaan & Verifikasilaporan
Ombudsman RI Perwakilan DI Yogyakar ta, dimana jika dugaan kasus malapraktik telah
masuk dan diperiksa oleh MKDKI, maka segala proses pemeriksaan hingga pendatangan
saksi ahli akan dilakukan oleh MKDKI. Proses penentuan apakah kas us yang masuk
merupakan benar adanya sebuah pelanggaran disiplin tidak serta merta langsung
diberitahukan ke pelapor atau pihak ter kait, melainkan proses yang dilakukan sangatlah
tertutup, dari mulai saksi yang merupakan dokter ahli, hingga penasihat-penasihat
hukum tidak dibeber kan. Sidang MKDKI yang menurut mereka memiliki sebutan sidang
disiplin pada akhirnya hanya menghasilkan hukuman berupa penegakan disiplin yang
masa hukumannya antara 6 (Enam) bulan hingga 1 (Satu) tahun. Hal ini menunj ukkan
dari perspektif korban atau masyarakat yang terdampak bahwa tidak ada definisi
keadilan yang diputuskan dari sidang MKDKI yang telah dilakukan.

Kasus dokter Ayu yang diangkat ke meja hijau menjadi salah satu kasus kunci
pertandingan sengit antara etika keprofesian ketika dihadapkan dengan hukum
perundang-undangan yang berlaku. Dari sumber berupa rilis berita terlihat bahwa secara

47 Universitas Budi Luhur


sadar, pelaku melakukan tindak pidana yang rupa-rupanya adalah dengan melakukan
tindakan medis tidak di bawah surat tanda registrasi seorang dokter. Masyarakat satu
profesi ber usaha untuk membela pelaku yang secara sah di mata hukum harus menerima
hukuman selama 10 (Sepuluh) bulan lamanya. Reaksi sosial secara masif telah terjadi
dengan adanya kasus ini, dimana reaksi secara keprofesionalan dilakukan dengan
diadakannya aksi solidaritas dari para dokter untuk mendukung tindakan anti
kriminalisasi bagi dokter, juga reaksi dari masyarakat itu sendiri ketika hasil putusan dari
Pengadilan Negeri dirasa kurang sehingga kasus yang dimaksud diangkat ke ranah
Kasasi.

Pertanggungjawaban secara hukum ini sangatlah penting jika ditilik lagi ke dalam
kasus-kasus malapraktik medis yang didasar kan pada kelalaian yang dilakukan oleh
dokter-dokter. Kelalaian-kelalaian yang peneliti himpun diantaranya adalah k urangnya
skill dalam melakukan observasi juga penyimpulan tindakan, kesalahan secara sadar
dalam pemasangan-pemasangan alat-alat kesehatan, kesalahan melakukan tindakan
medis sebagaimana disebutkan pada kasus fraktur tulang femur dimana secara nyata
sebab-akibatnya dapat dihilangkan ketika sang dokter sedari awal mengetahui bahwa
tulang femur pasien berada pada stase yang tidak parah/di bawah rata -rata. Stase-stase
parah yang ditimbulkan oleh penyedia/tenaga kesehatan menjadi sebuah tanggungjawab
yang har usnya diamanahkan, dimana tidak mungkin pula secara tindak logis etik
kedokteran bahwa tindakan yang dilakukan pada tahap/stase awal sebuah penyakit
diperlakukan eksekusi ber upa penanganan yang sama ter hadap kasus lain dimana
tingkatan/stase penyakitnya lebih tinggi dari kasus pasien yang sedang ditangani.

Proses persidangan etik & disiplin yang dinaungi oleh IDI (Konsil Kedokteran
Indonesia) ini tampak secara nyata agak janggal, yang dimana dalam pendadaran yang
dilakukan oleh MKDKI itu sendiri, proses adua n langsung akan diterima oleh MKDKI di
bawah naungan KKI, namun dalam pendadaran lain (Seminar), keterangan berbeda
didapatkan bahwa secara hukum, korban dapat menuntut keadilannya kepada
persidangan. Kaus pengangkatan Indung Telur yang telah dipaparkan pa da Bab 5
Temuan Data dijelaskan secara krononologis yang dimana pihak rumah sakit (Wakil
Direktur RS Grha Kedoya atas nama Dr. Hiskia Satrio Cahyadi) atau yang merupakan
sejawat dokter teradu bersangkutan dalam masalah dugaan penyelewengan tindakan
kesehatan ini harusnya dilaporkan kepada MKDKI saja dan menghormati tindakan
ataupun penentuan masalah yang berkaitan dengan malapraktik ini. Secara eksplisit
ranah keprofesian, ada ketidaksinergian antara pihak-pihak yang berada di dalamnya.
Perbedaan pernyataan ini tampak tidak sesuai dengan tuj uan dilakukannya persidangan
etik untuk penentuan disiplin, dimana pengarahan secara hukum dikatakan dapat untuk

48 Universitas Budi Luhur


dilakukan dengan melibatkan dokter sebagai individu, namun dalam persidangan etik &
disiplin yang penulis temukan juga menyatakan bahwa persidangan etik yang hasil
akhirnya berupa penegakan secara disiplin juga secara nyata dilakukan kepada dokter
sebagai seorang individu.

6.2 Kondis i Anomie Emile Dukr heim Yang Mengakibat kan Kebingungan
Masyarakat Atas Kasus Malapraktik Medis
Pemahaman masyarakat yang kurang akan kasus-kasus malapraktik.
Pendefinisian malapraktik medis yang dilakukan oleh dokter hanya melahirkan artian-
artian secara umum saja. Dari penelitian sebelumnya terlihat bahwa definisi umum
mengenai malapraktik ini dibagi menjadi 2 (dua), yaitu malapraktik medis konsekuesialis
dan malapraktik dengan menyalahi standar operasional yang berlaku. Pemahaman umum
ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, mengingat setelah melihat
beberapa data-data dari penelitian hingga kasus-kasus hukum malapraktik medis yang
pernah terjadi ini pada kenyataannya akan berkutat di asas-asas yang tampak hanya
dimenger ti oleh ahli medis atau dokter itu sendiri. Asas-asas mengenai kejelasan konsen
medis hingga asas sebab akibat yang dilakukan oleh dokter tampak kurang diperhatikan,
seperti pada kasus pengangkatan indung telur RS Gr ha Kedoya dimana kuasa hukum dari
korban berusaha mengarahkan kasus ke atas meja hijau, namun dari pihak rumah sakit
bersangkutan, kasus malah diarahkan kepada majelis etik & disiplin kedokteran di
Indonesia .

Pemahaman masyarakat yang terbagi menjadi dua jalur ini saja pada akhir nya
akan menyebabkan ketidaksinkronan sistem, dimana ketika terjadi kasus dugaan
malapraktik, masyarakat yang terdampak akan kebingungan kemana mereka harus
melapor dan juga akan kebingungan apakah kasus yang mereka alami masuk ke dalam
klausa-klausa dimana kasus tersebut dapat disebut sebagai malapraktik medis sebagai
akibat dari kelalaian. Kasus Sdr DS menjadi salah satu contoh dampak dari ketidakjelasan
aturan-aturan etik ini, dimana ketika mereka mengalami kasus dugaan malapraktik yang
menyebabkan orangtuanya meninggal dunia, mereka berusaha mengangkat kasus ke
MKDKI, namun ketika laporan telah masuk ke dalam MKDKI malah ter dapat penundaan
berlarut yang menyebabkan kasusnya hanya berjalan di tempat saja. Ketika kasusnya
berhenti di MKDKI, yang bersangkutan berusaha meneruskan kasusnya agar diusut ke
Ombudsman RI hingga pada akhirnya keputusan akhir dalam laporan penutup
Ombudsman RI menyatakan bahwa MKDKI benar adanya melakukan penundaan berlarut
terhadap kasus Sdr DS. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa ketika ada kasus dugaan
malapraktik medis, tidak ada tenggat waktu yang jelas dalam rangka penyelesaiannya
juga tidak ada standar-standar penyelesaian masalah yang masuk ke ranah etik & disiplin

49 Universitas Budi Luhur


kedokteran. MKDKI yang mengur usi tindakan disiplin apa yang akan diterapkan ter hadap
dokter bersangkutan dari laporan akhir Ombudsman RI tentang kasus penundaan
berlarut secara jelas tampak bahwa tidak ada tenggat waktu penyelesaian kasus dugaan
malapraktik.

Tidak adanya tenggat waktu pemeriksaan hingga penyelesaian kasus dugaan


malapraktik yang masuk ke dalam MKDKI menyebabkan tertahannya kasus -kasus
mengenai malapraktik hingga bahkan salah satu kasusnya masuk ke lembaga pengawas
pelayanan publik atas nama Ombudsman Republik Indonesia. Di dalam Peraturan Konsil
Kedokteran Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 itu sendiri tidak ada aturan ter tulis yang
menyatakan ketetapan batas waktu atau tenggap waktu penyelesaian kasus dugaan
malapraktik medis yang dilakukan oleh dokter/dokter gigi.

Kebingungan masyarakat apakah kasus mau di bawa ke ranah meja hijau atau
ke mkdki. Terjadi sebuah ketidak jelasan konsep ter kait penanganan kasus-kasus dugaan
malapraktik medis yang merupakan hasil kelalaian- kelalaian dokter yang bersangkutan.
Dengan adanya sebuah informed consent, sehar usnya seorang pasien yang sedang
menjalani praktik medis dapat menentukan haknya secara bebas dari perjanjian yang
sudah disetujui dengan dokter yang bersangkutan, namun dalam penerapannya ter dapat
situasi yang ber kebalikan, dimana pada kasus pengangkatan indung telur seorang
perempuan di RS Gr ha Kedoya, dimana proses pengangkatan ini tidak diser tai oleh
informed consent. Perlu dipahami bahwa informed consent ini bukanlah perjanjian per
individu dengan dokter, melainkan sesuai dengan penjelasan Novianto pada hal-hal juga
klausa penentuan kasus malapraktik medis bahwa hak-hak mengenai keputusan tindakan
medis yang akan dilakukan kepada seorang pasien, dilakukan antara pasien sebagai
seorang individu dan juga pasien yang diwakili oleh salah seorang anggota keluarganya,
dimana hal ini memiliki arti bahwa persetujuan keluarga j uga sama kuatnya, mengingat
hal ini dilakukan atas dasar hak menentukan nasib sendiri bagi seorang pasien yang
sedang diberi tindakan oleh tenaga kesehatan/seorang dokter.

Adanya perbedaan tata laksana dalam penanganan kasus dugaan malapraktik


medis yang dianggap oleh Konsil Kedokteran Indonesia dengan para praktisi sebagai
pelanggaran disiplin ini menyebabkan pelaksanaan hingga pemeriksaan kasus yang
masuk ke ranah MKDKI menjadi tertahan, dimana contoh nyatanya adalah dengan
adanya perbedaan pemahaman antara Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia yang sama
sekali tidak menyebutkan minimal waktu penanggapan ataupun batas waktu
penyelesaian kasus-kasus dugaan malapraktik medis hingga pembacaan hasil
pemeriksaan untuk selanj utnya diserahkan kepada Konsil Kedokteran itu sendiri dengan
pernyataan salah satu anggota Konsil Kedokteran Indonesia yang dimana beliau dengan

50 Universitas Budi Luhur


serta merta menuliskan data berupa tenggat waktu dari pengeluaran hasil pemeriksaan
hingga pembacaan putusan.

Ketidaksinkr onan antar pejabat MKDKI dengan rekan seprofesi akan pemahaman
malapraktik medis beserta penyelesaiannya sebagai akibat dari ketiadaan aturan yang
terkait dengan malapraktik dalam ranah medis. Kita ketahui dari kasus-kasus juga hasil
wawancara dengan ketua MKDKI yang menyatakan bahwa para dokter hingga MKDKI
sekalipun tidak mengenal istilah Malapraktik medis, dimana yang ada hanyalah kesalahan
wewenang hingga perlakukan yang tidak sesuai dengan standar operasional
prosedur/SOP.Hal ini j uga berkaitan dengan pemahaman masyarakat terkait dengan
pendefinisian malapraktik medis, yang dimana secara pemikiran Dur kheim bahwa
ketidakteraturan dalam masyarakat ini akan ter us terjadi ketika ada pemahaman-
pemahaman hingga per kembangan-perkembangan yang ter us menerus berjalan namun
dalam penerapan norma-normanya di dalam masyarakat tidak mampu untuk mengejar
ketertinggalan tersebut. Dari data yang didapat ber upa pendefinisian masyarakat yang
terbagi menjadi penyebaban cidera dan pelaksanaan tindakan medis tidak sesuai dengan
SOP padahal secara data juga asas-asas ter kait malapraktik medis yang memang benar
dilakukan dalam ranah kedokteran mendapat pendefinisian yang cukup berbeda.
Pendefinisian yang berbeda ini menimbulkan state of anomie dalam masyarakat dimana
pemahaman mereka berbeda dengan pemahaman para penjalan profesi yang dimaksud
(Dokter/tenaga kesehatan). Ketika dijabar kan secara lebih lanjut, terdapat asas-asas
yang ber upa pemahaman mengenai syarat-syarat terpenuhinya malapraktik medis yang
dapat dipidanakan sehingga pada akhirnya akan menghasilkan keadilan secara hukum
bagi sang korban berupa kelalaian, absennya konsen yang telah disepakati secara
bersama-sama hingga klausa-klausa tindakan medis hasil pemeriksaan dokter ter kait.

Ketidak singkronan juga dialami oleh rekan sejawat dokter hingga para aparat
penegak hukum, dimana menurut keterangan Ali selaku Ketua MKDKI, pemahaman
terkait keberadaan malapraktik medis ini masih menyebabkan kebingungan dalam
masyarakat. Secara praktisnya ketika terjadi kasus yang merugikan bagi masyarakat
terkait dengan keprofesian dokter, masyarakat sendiri belum tahu menahu mengenai
keberadaan MKDKI di ranah penegakan disiplin kedokteran Indonesia. Jika b ukti cukup,
yang dalam contoh kasusnya adalah pengangkatan indung telur secara sepihak,
pemasangan kateter cvs secara sewenang-weang hingga penyebab meninggalnya
saudari JFM maka kasus yang ada tersebut sejatinya mungkin untuk diangkat ke meja
hijau. Dalam penerapannya terlihat ber beda dimana dalam wawancara terhadap ketua
MKDKI ter dapat beberapa keterangan yang ber tabrakan dimana pada satu sisi ketika
sang dokter bersangkutan jelas melakukan tindakan melawan hukum dirinya ber kata

51 Universitas Budi Luhur


bahwa hal tersebut menyala hi atau bahkan sudah termasuk ke dalam tindak pidana,
namun dalam poin lain dirinya mengatakan bahwa semua yang ter kait dengan dugaan
malapraktik sesuai dengan undnag-undang yang ada harus dilaporkan ke lembaga
keprofesian yang dalam hal ini adalah MKDKI.

Pemahaman masyarakat ini akan bertabrakan ketika kasus- kasus yang dialami
masuk ke ranah keprofesian, dimana dalam proses pengusutan kasus dugaan
malapraktik medis ini ada istilah-istilah secara etik yang harus dipenuhi agar asas-
asasnya kuat sebagai bentuk tindakan pidana. Perbandingan dapat dilakukan dengan
sistem peraturan perundang- undangan di Negara India ketika mereka memisahkan
antara pengadilan pidana yang ada dengan ranah keprofesian itu sendiri. Lembaga
pengawas etik di Negara India tetap ada, namun dalam pengusutan kasusnya dapat
diselesaikan menggunakan jalur hukum dan hal ini tentunya dengan mengacu pada
kasus yang terjadi itu sendiri. Medical neglience/kelalaian medis yang menyebabkan
kerugian ditekankan dalam proses pengusutan kasus-kasus malapraktik medis.

6.3 Celah Dalam Ranah Keprofesian Dokter yang Menyebabkan Ter jadinya
Occupat ional Crime
Pemanfaatan celah bagi dokter untuk lepas dari tuntutan (Rumah Ssakit Grha
Kedoya). Selama menjalani perawatan kepada pasien, dokter begerak sebagai seorang
individu yang dimana dalam tindakan- tindakannya terdapat perjanjian-perjanjian antara
pasien bersangkutan dengan sang dokter. Perawatan hingga tindakan yang dilakukan
oleh dokter sesuai dengan asas-asas legal kedokteran ter dapat persetujuan antara pasien
dengan dokter yang pada akhirnya akan dipertanggungjawabkan dimasa yang akan
datang. Dilihat dari kasus pengangkatan indung telur secara sepihak yang dilakukan oleh
salah seorang dokter di RS Grha Kedoya, tampak bahwa tidak dilakukan konsen secara
lebih dalam kepada pasien & keluarga pasien dalam melakukan tindakan medis berupa
pengangkatan indung telur yang terindikasi mengalami mutasi gen/kanker. Pasien telah
menunjuk kuasa hukum dan kuasa hukum bersangkutan ber usaha untuk menuntut
dokter dan ber usaha meminta penjelasan kepada pihak rumah sakit. Dari analisis yang
dilakukan ter hadap kasus ini, ada upaya memanfaatkan celah keprofesian yang dilakukan
oleh pihak rumah sakit sebagai penyedia layanan kesehatan untuk melindungi dokter
yang terlibat dalam kasus dugaan malpraktik.

Pemanfaatan celah yang dilakukan oleh industri Rumah Sakit sebagai penyedia
layanan untuk lepas dari tuntutan dengan adanya pemberhentian/pemindahan dokter
yang bermasalah. Dari keterangan Direktur RS Grha Kedoya didapatkan informasi bahwa
dokter berangkutan yang mengangkat indung telur pasien tanpa konsen ternyata telah
dibebastugaskan atau telah dipecat. Melihat dari sudut pandang kesulitan yang dihadapi

52 Universitas Budi Luhur


ketika meneliti ter kait kejahatan okupasional, terlihat bahwa profesi yang se dang
dihadapi oleh kor ban mer upakan sebuah profesi yang memiliki level yang cukup tinggi
(Dalam kasus ini sang dokter merupakan dokter spesialis) dan dengan dipecatnya dokter
bersangkutan menunjukkan bahwa ada proses menuju ‘tutup mulut’ dari pihak-pihak
yang terlibat dengan dugaan kasus malpraktik ini. Usaha perlindungan ini ter us menerus
dilakukan oleh pihak yang terlibat dengan memanfaatkan celah yang ada dalam ranah
keprofesian.

Pelepasan individu yang terlibat menjadi salah satu cara organisasi keprofe sian
dalam melepaskan individu bersangkutan dengan kasus yang ditaksir akan menjeratnya
di kemudian hari. Secara nyata hal ini sejalan dengan perumusan Hagan dalam masalah
periset yang menangani atau ber urusan dengan kasus-kasus keprofesian seperti ini yang
di dalamnya ada upaya-upaya ‘diam’ dengan memanfaatkan organisasi keprofesian itu
sendiri. Pihak RS Grha Kedoya tampak melakukan hal-hal ber upa pemanfaatan
organisasi keprofesian dengan cara berusaha untuk melempar kan kasus pengangkatan
indung telur ini ke dalam ranah MKDKI/Sanksi disiplin saja. Pelemparan kasus kepada
sanksi disiplin terlihat dari keterangan direktur RS Grha Kedoya atas nama dr. Hiskia
Satrio yang menyatakan bahwa untuk kasus pengangkatan indung telur secara sepihak
agar menunggu per nya taan dari MKDKI selaku lembaga yang mengawasi juga lembaga
yang memiliki wewenang untuk menentukan apakan kasus yang dimaksud merupakan
malpraktik medis atau bukan.

Perlindungan atas nama etik dalam ranah keprofesian dilaksanakan secara nyata
di dalam masyarakat dengan harapan agar masyarakat itu sendiri terlindungi dari
aktifitas-aktifitas yang dapat merugikan. Perlindungan juga tindak lanjut pengawasan
kode etik kedokteran di Indonesia dilakukan oleh MKDKI, dimana dalam kasus dugaan
malpraktik medis pengangkatan indung telur secara sepihak yang dilaksanakan di RS
Grha Kedoya, MKDKI ditunjuk untuk menentukan apakah kasusini dapat dikategorikan
sebagai malpraktik medis, namun dalam penyelesaiannya akan menjadi sia-sia menurut
perspektif korban, dimana hasil akhir dari pemeriksaan dapat berupa hanya pencabutan
Surat Tanda Registrasi praktik kedokteran saja, dan kasus ini tampak berjalan ke ranah
yang buntu, mengingat sang dokter bersangkutan sudah tidak terdaftar di rumah sakit
tempat dimana tindakan dilakukan. Hal ini tentunya akn kembali ber tabrakan dengan
ketentuan-ketentuan yang ber kaitan dengan pemahaman bahwa kasus malpraktik medis
dapat diper tanggungjawabkan secara individu, namun ketika ada sebuah kasus, proses-
proses permintaan keterangan dan rekomendasi penyelesaian kasus dilakukan oleh
direktur dari rumah sakit bersangkutan.

53 Universitas Budi Luhur


Dari kasus Sdri. TS ber upa tindakan operasi yang gagal dilakukan oleh sang
dokter, terlihat bahwa ada pula upaya-upaya pemanfaatan celah secara keprofesian,
dimana setelah ditelaah lebih lanj ut dari kronologi juga hasil rikasa dokumen, ada upaya
berupa penundaan berlar ut yang dilakukan oleh pihak MKDKI. Pemanfaatan organisasi
keprofesian ini terlihat dari per kembangan laporan yang tampak tidak ditindaklanjuti
dengan perkelitan pergantian anggota hingga tahap penyelesaian yang lebih dari 10
(Sepuluh) tahap. MKDKI sesuai dengan ketentuan KKImemiliki tugas untuk menerima
laporan terkait dugaan malpraktik, namun dalam kenyataannya masyarakat yang
terdampak kasus malah melaporkan balik MKDKI ke ranah pengawas pelayanan publik
yang dalam hal ini ditangani oleh Ombudsman Republik Indonesia. Secara komitmen juga
pelaksanannya, lembaga keprofesian memiliki pegangan untuk menjaga kualitas
pelayanan dari profesi yang dinaunginya, namun dilihat dari kasus ini ada
ketidaksesuaian dalam perumusan per undang-undangan secara individu keprofesian,
dimana undang-undang ataupun peraturan yang dibuat, secara nyatanya merupakan
hasil pemikiran dari para anggota organiasasi kepr ofesian itu sendiri. Dalam proses
berjalannya aturan-aturan terkait, ter dapat suatu pemikiran secara objektif saja dari
lembaga keprofesian ini dan hal ini sejalan dengan Regulasi Legal Okupasi & Hukum
yang ditulis oleh Hagan.

Dibuktikan dengan kebingungan masyarakat akan definisi yang ter kait dengan
malapraktik medis. Secara nyata terdapat dampak yang signifikan secara sosial bagi
masyarakat, dimana pemahaman-pemahaman masyarakat ter kait dengan malpraktik
medis secara kriminal ini tidak dapat diperdebatkan dan hanya akan masuk ke
penuntutan secara disiplin saja. Keberadaan MKDKI sebagai tameng ter depand dari
penegakan disiplin memberikan pemahaman bar u kepada masyarakat bahwa lembaga
pengawas bertindak sebagai penegak hukum. Perlu ditekankan bahwa proses penegakan
hukum yang dilakukan ini merupakan penegakan kepada hukum- hukum yang dibuat oleh
ranah keprofesian. Terlihat bahwa adanya upaya pengontrolan terhadap kasus -kasus
yang menyangkut tentang keprofesian ini. Pihak-pihak bersangkutan yang satu kubu
secara kompetensi keprofesionalan mengarahkan agar penyelesaian kasus dilakukan
secara disiplin saja daripada dilakukan secara tuntutan pidana.

Undang- undang yang dibuat oleh organisasi keprofesionalan yang dalam hal ini
merupakan MKDKI secara nyata dilanggar oleh dirinya sendiri dengan tidak melahirkan
konsekuensi apapun. Dari penutupan kasus yang dilakukan oleh Ombudsman RI, didapat
bahwa penyelesaian kasus dugaan malpraktik yang masuk ke ranah MKDK I mengalami
keterlambatan selama 3 tahun lamana, dimanaranah ini dalam Ombudsman RI masuk ke

54 Universitas Budi Luhur


dalam pelanggaran pelayanan publik berupa penundaan berlaurut yang dilakukan oleh
lembaga keprofesionalan di bawah naungan Ikatan Dokter Indonesia.

Kesulitan mendapatkan data ber upa statistik kasus-kasus dugaan malapraktik


yang ada di Indonesia sebagai akibat dari terjadinya occupational crime . Mengenai kasus-
kasus kejahatan jenis malapraktik medis ini agaknya jarang muncul ke permukaan
sebagai akibat dari tidak adanya pendataan ter kait kasus-kasus ini secara resmi, entah
itu dari pihak pemerintahan ataupun pihak swasta. Data yang penulis temukan satu-
satunya hanyalah dari PB Ikatan Dokter Indonesia daerah Pulau Sumatra saja, dimana
data yang dimaksud ini menunj ukkan kenaikan angka pelaporan setiap semester per
tahunnya. Ketiadaan data terkait kasus-kasus yang ada ini tampak tidak disusun secara
sistematis, yang mana hal ini sejalan dengan pemikiran bahwa kasus -kasus kejahatan
okupasional tidak ditangani sepenuhnya oleh lembaga peradilan hukum, melainkan hanya
ditangani oleh lembaga-lembaga etik hingga lembaga-lembaga penegak disiplin, seperti
MKDKI.

Ilmu sosial seper ti kriminologi ini kesulitan untuk menggali juga masuk ke ranah
keprofesionalan yang di dalamnya terdapat penegakan disiplin juga kode etik, dimana
hal-hal yang berkaitan dengan kejahatan jenis ini (Malapraktik medis) susah dimasuki
oleh orang awam seperti penulis ini. Ranah keprofesionalan memiliki aturan-aturan
tersendiri hingga memiliki kemampuan- kemampuan yang orang awam di luar
keprofesiannya tidak diper kenankan untuk masuk ke dalam dunia profesional itu sendiri.
Seperti pada kasus pengangkatan indung telur secara sepihak, semua pihak yang
seprofesi dengan sang dokter terus menyarankan agar kasus uyang diduga terjadi ini
agar segera dimasukan ke MKDKI saja, karena menur ut mereka kasus -kasus yang ter kait
dengan dugaaan malapraktik medis ini sepenuhnya harus melalui pembuktian di MKDKI,
yang hal ini ditekankan secara lebih dalam oleh direktur RS Grha Kedoya, bahwa dalam
hal ini yang dapat menentukan apakah kasus yang dimaksud merupakan malapraktik
medis adalah majelis keprofesian itu sendiri (MKDKI).

6.4 Ketiadaan Pendefinisian Malapraktik Medis Dilihat Dar i Perspekt if Cr itical


Cr iminology
Kepentingan- kepentingan dari kelompok hingga penggerak dari sebuah negara di
era moderen memiliki bahan bakar berupa sistem perekonomian yang kuat. Sesuai
dengan tulisan-tulisan Quinney, dimana kejahatan yang terjadi juga ter definisi dalam
masyarakat diakibatkan oleh adanya kapitalisme. Kita secara kasat mata melihat dari
kasus yang masuk ke Ombudsman RI berupa kesewenangan dalam memasang kateter
CVC setelah operasi dan kesewenangan dalam menentukan keadaan vegetatif dari
seorang pasien pasca operasi bahwa aturan-aturan yang tampak bisa mengatur

55 Universitas Budi Luhur


mengenai jalannya penuntutan kasus dugaan malapraktik medis ini tidak bisa mengikat
secara nyata. Dapat dianalisis dari kedua kejadian tersebut, bahwa sebenarnya salah
satu tindakan ber upa pencatatan rekam medis dilakukan tidak sesuai dengan standar
perundang-undangan yang berlaku. Sudah jelas ter pampang di dalam Peraturan Menteri
Kesehatan mengenai Rekam Medis yang menyatakan bahwa perekaman data -data yang
berkaitan dengan tindakan-tindakan apa saja yang dilakukan oleh para tenaga kesehatan
yang menangani har us dengan segera dicatat, namun dalam penerapannya secara
gamblang ternyata saat dilakukan pemeriksaan oleh MKDKI, rekam medis dari pasien
bersangkutan belum selesai dibuat. Hal mengenai pencatatan rekam medis ini
menimbulkan pertayaan di benak peneliti tentang bagaimana standar sesungguhnya dari
pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit bersangkutan.

Rumah sakit dilihat sebagai sebuah komoditi yang menawarkan pengobatan


sebagai salah satu produknya, dimana jika dibandingkan dengan Negara India terlihat
jelas bahwa sudah seharusnya pasien berpegang pada legalitas -legalitas tertulis yang
bersifat melindungi pasien dari sudit pandang korban. Kita j uga harus melihat hukum-
hukum ter tulis yang ada di Indonesia belum menyentuh ranah keadilan di bidang
kesehatan dengan dilihat sebagai perspektif seorang korban malapraktik medis. Dari
studi kasus juga penglihatan ter kait dengan peraturan perundang-undangan yang ada
sejatinya memiliki kepentingan tersendiri di balik penguasa yang ber kaitan dengan
tatanan ekonomi dari sebuah negara. Hingga saat ini tidak ada undang-undang yang
secara eksplisit mengatur tentang malapraktik medis, dan kekuasaan mengenai
penentuan kasus hingga penerapan disiplin diberikan kepada lembaga etik juga disiplin
kedokteran di bawah pengawasan Ikatan Dokter Indonesia. Secara gamblang terlihat dari
kasus pengangkatan indung telur RS Grha Kedoya hingga kasus-kasus contoh yang ada
di negara India, bahwa sebener nya kontrol kejahatan dipegang oleh orang-orang yang
memiliki kekuatan ataupun kepentingan ter tentu di kursi pemerintahan.

Pengelompokan teori dalam bentuk beberapa preposisi yang dirumuskan oleh


Quinney jika secara umum diterapkan pada kasus-kasus terlampir baru akan memiliki
kontradiksi yang sesungguhnya ketika kapitalisme itu sendiri hilang. Secara gamblangnya
ketika kapitalisme masih menjadi fokus utama dalam pengembangan negara, kejahatan-
kejahatan yang tampaknya tidak terlalu berpengaruh dengan perekonomian seperti
halnya kasus-kasus malapraktik ini tidak akan mencapai ke permukaan para penegak
hukum dikarenakan hukum itu sendiri yang tidak menulis keberadaan dari malapraktik
medis, namun ketika kapitalisme dihilangkan dari sebuah keteraturan sistem, masalah-
masalah yang telah disebutkan diatas baru akan mencuat karena masyarakat yang
terdampak akan melakukan klaim mengenai kasus-kasus malapraktik itu sendiri.

56 Universitas Budi Luhur


Peran pemerintahan secara konkret ada di dalam pembentukan organisasi
keprofesian yang di dalam kasus-kasus malapraktik medis ini terbentuk di bawah nama
Ikatan Dokter Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia ini sendiri di dalamnya ter dapat
perangkat-perangkat yang khusus mengurusi kasus-kasus dugaan malapraktik.
Pemerintah melalui Kementrian Kesehatan tampak sudah memiliki peran aktif dalam
rangka melindungi hingga menjamin kesehatan daripada para war ga negaranya, namun
patut dipertanyakan ketika dari contoh kasus yang peneliti ambil kesemuanya diarahkan
kepada lembaga penegakan disiplin saja walaupun dalam pelaksanaan prosedur
kesehatannya sudah menyalahi aturan sekelas Peraturan Kementrian Kesehatan.

57 Universitas Budi Luhur


BAB VII

Penutup

7.1 Kesimpulan
Pendefinisian malapraktik tidak har us terpaku dengan pelanggaran-pelanggaran
pidana yang diduga, melainkan bisa dikhususkan ke dalam klausa-klausa yang
disebabkan oleh kelalaian-kelalaian yang dilakukan dokter sebagai seorang pelayan
kesehatan. Pendefinisan terkait malapraktik medis dengan menilik ke dalam fokus
pembahasan ke dalam kelalaian medis ini sudah dilakukan di beberapa negara, yang
mana salah satunya adalah Negara India. Persidangan dilakukan dengan asas -asas yang
berlaku secara keilmuan hukum dalam suatu negara, sementar a badan-badan ataupun
lembaga keprofesian yang mengurusi tentang etik & disiplin kedokteran tetap berperan
sebagaimana mestinya sebagai lembaga pengawas juga penentuan etik kedokteran dan
juga memiliki tugas dalam hal penyediaan saksi ahli. Persidangan etik & disiplin yang
dilakukan pada saat ini oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran tampak belum
menyentuh esensinya secara khusus kepada korban atau masyarakat yang merasa
dirugikan dalam hal kasus dugaan malapraktik medis. MKDKI sebagai lembaga
independen sebagai penentu ada atau tidaknya malapraktik medis masih berkelit bahwa
sebenarnya tidak ada istilah yang ber kaitan degan malapraktik medis, dimana yang ada
hanyalah pelanggaran disiplin saja.

Pelanggaran-pelanggaran dalam hal etik & disiplin yang dilakukan oleh seorang
dokter pada akhirnya bisa dituntut secara hukum ketika mereka telah menyentuh ranah-
ranah kelalaian yang semestinya dapat atau bisa ditanggulangi sebelumnya secara
kemampuan dalam ilmu kedokteran dan jika kasus yang ada sudah mempengar uhi juga
masuk ke ranah masyarakat sosial maka sebenarnya telah menjadi sebuah pertanyaan
yang signifikan. Pada studi kasus seperti ini, lembaga disiplin yang dinaungi MKDKI harus
andil dalam melakukan sinergi dengan penegak hukum yang sesungguhnya. Kebera daan
lembaga penegakan disiplin ini pada akhirnya hanya mengur usi hal- hal yang berkaitan
dengan sang dokter saja, sehingga kesimpulan yang dapat diambil secara kelembagaan
pelayan publik adalah keber pihakan terhadap masyarakat masih kecil ataupun belum
terealisasikan. Patut diingat bahwa keberadaan MKDKI ini diawasi langsung oleh Konsil
Kedokteran Indonesia yang kelembagaannya termasuk ke dalam ranah peyananan
publik.

58 Universitas Budi Luhur


Pemanfaatan celah-celah dalam kasus dugaan malapraktik tidak diperhatikan
secara lebih lanjut yang dimana pemanfaatan celah-celah ini dapat berdampak pada
kurangnya keadilan bagi para korban-korban kasus malapraktik medis. Adanya penelitian
ini bukan serta merta menuntut agar penghukuman jatuh ke tangan sebuah kebijakan
penal atau yang lebih di kenal sebagai sebuah laku pemenjaraan, tetapi keselur uhan
penelitian ini, penelitian sebelumnya hingga penelitian lanjutan diharapkan dapat
melahirkan sebuah aturan hukum yang dapat dimengerti oleh masyarakat sebagaimana
dengan aturan atau norma yang masyarakat itu sendiri mengerti, bukan malah
mengdikotomi masalah-masasalah yang terkait dengan malapraktik ini sebagai masalah
yang hanya dimengerti oleh profesi tertentu saja.

7.2 Saran
Pemantapan regulasi terkait penanganan kasus dugaan malapraktik medis harus
dibicarakan lebih lanjut secara keilmuan. Pembentukan payung hukum yang berkaitan
dengan permasalahan kasus dugaan malapraktik medis harus dilakukan oleh lembaga -
lembaga yang berwenang dengan tentunya menjunjung tinggi nilai-nilai sinergisitas,
karena permasalahan jenis ini pada akhirnya akan melibatkan banyak studi juga jajak
pendapat dari para ahli yang ber beda bidang studi, seperti para ahli hukum, kriminolog,
hingga ahli dari bidang profesi dokter itu sendiri. Penjajakan regulasi dilakukan dalam hal
pendefinisian malapraktik medis, karena pada akhirnya juga pendefinisiannya ini sendiri
yang menyebabkan kasus-kasus yang ada tampak tidak terselesaikan dengan baik hingga
membutuhkan waktu yang lama untuk dapat selesai. Pada akhirnya haruslah jelas,
aturan hingga pendefinisian ini akan diselesaikan melewati jalur apa, mengingat hasil
akhir yang ditawar kan dalam penyelesaian kasus masih tumpang tindih diantara
organisasi pengawas itu sendiri.

Sosialisasi harus dilakukan oleh MKDKI selaku lembaga yang mengur usi hal-hal
terkait penegakan disiplin kedokteran di Indonesia, dimana tentang tata-cara pengaduan
harus lebih diperjelas lagi kepada masyarakat dengan memahami bahwa masyarakat
awam sepenuhnya belum mengerti ter kait dengan pengaduan dugaan kasus malapraktik
yang dialami. Hal ini menjadi pekerjaan r umah yang harus dibenahi oleh MKDKI itu
sendiri, dimana dari penelitian ini tampak bahwa masyarakat hanya akan membawa
kasus ini ke hadapan hukum saja dengan tidak mementingkan disiplinary action dari
MKDKI, dimana fenomena ini terjadi akibat dari kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh
Konsil Kedokteran Indonesia sebagai “kepala” dari penegakan-penegakan yang bersifat
etik j uga disiplin kedokteran.

59 Universitas Budi Luhur


DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:
Ake, Julianus. 2003. “Malapraktik Dalam Keperawatan ”. Pener bit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
Darwin, Eryati & Hardisman. 2012. “Etika Profesi Kesehatan”. Depublish:
Yogyakarta
Hagan, E. Frank. 2013. “Pengantar Kriminologi: Teori, Metode, dan Perilaku
Kriminal”. Kencana Prenadamedia Group: Jakarta
Jayanti, Nusye K. I. 2009. “Penyelesaian Hukum Dalam Malapraktik Kedokteran”.
Pustaka Yustisia: Yogyakarta
Sadi Is, Muhamad. 2015. “Etika dan Hukum Kesehatan”. Kencana: Jakarta
Suyanto, Bagong & Sutinah. 2013. “Metode Penelitian Sosial Berbagai Alternatif
Pendekatan”. Kencana Prenadamedia Group: Jakarta
Siegel, Larry J. 2006. “Criminology”. T homson Lear ning: Singapore
Bungin, Burhan. 2014. “Penelitian Kualitatif”. Kencana Prenadamedia Group:
Jakarta

Sumber Skr ipsi:


Ginting, Vera Polina BR. 2017 . “Penanggulangan Malapraktik Yang Dilakukan
Oleh Tenaga Kesehatan”. Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas
Bandar Lampung
Sinaga, Jan Bosarmen. 2013. “Analisis Putusan Sanksi Pidana Malapraktik Yang
Dilakukan Oleh Bidan”. Skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra
Utara

Sumber Disertasi:
Singhal, Aditya. 2015. “The Veracity of Laws Relating to Medical Malpractice in
India”. Diser tasi pada Universitas Hukum Amity (GGS IPU) Delhi, India

Sumber Jurnal:
Adi, Prihar to. 2013. “Formulasi Hukum Penanggulangan Malapraktik Kedokteran”.
Jurnal Kanun Ilmu Hukum Volume 15, Nomor 60. Diakses pada
jurnal.unsyiah.ac.id
Adler, Nancy E. 2000. “Medical Malpractice: The Effect Of Doctor-Patient
Relations on Medical Patient Perseptions and Malpractice Intention ”.
Jurnal Original Research Volume 173. Diakses pada ncbi.nlm.nih.gov

60 Universitas Budi Luhur


Buttigieg, George Gregory. 2017. “Medical Malpractice Defective
Product/Technology and their Rules of Engagement – Is it time to re-
think”. Journal of Forensic Biomechanics Volume 8, Nomor 2. Diakses
pada researchgate.net
Dekker, Sydney W. A. 2009. “Prosecuting Professional Mistake: Secondary
Victimization and a Research Agenda For Criminology”. Inter national
Journal of Criminal Justice Sciences Volume 4, Nomor 1. Diakses pada
researchgate.net
DiCristina, Br uce. 2015. “Durkheim’s Theory of Anomie and Crime: A Clarification
and Elaboration”. Australian & New Zealand Journal of Criminology
Volume 49, Nomor 3. Diakses pada sagepub.co.uk
D Gupta, B. 2005. “Medical Neglience: Civil Vs Criminal; Issue Settles”. Journal
Medical India JPAFMAT Nomor 5. Diakses pada medind.nic.in
Fathi, Muhamad Javad. 2016. “Examination of Crime and Similiar Concepts In
Medical Law”. Journal of Medical Ethics and History of Medicine Volume
9. Diakses pada ncbi.nlm.nih.gov
Hardisman. 2012. “Opini Masyarakat Tentang Malapraktik Kedokteran”. Jurnal
Kedokteran Andalas, Volume 36, Nomor 1. Diakses pada fk.unand.ac.id
Novianto, Widodo. 2015. “Penafsiran Hukum Dalam Menentukan Unsur-Unsur
Kelalaian Malapraktik Medik (Medical Malpractice)”. Jur nal Yustitia
Volume 4, Nomor 2. Diakses pada Jur nal.uns.ac.id
Kadarsih, Setiajeng. 2010. “Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik
Indonesia Dalam Pelayanan Publik Menurut UU No. 37 Tahun 2008”.
Jurnal Dinamika Hukum Volume 10 Nomor 2. Diakses pada core.ac.uk
Parra, Medina, dkk. 2018. “Characterization of Medical Malpractice Claims Against
Obstetricians Affiliated to FEPAS DE in Colombia 1999–2014: Historic
Cohort”. Colombian Journal of Anesthesiology Volume 46, Nomor 2.
Diakses pada scielo.org.co
Paul, Sourabh & Bhatia. 2016. “Doctor Patient Relationship: Changing Scenario in
India”. Asian Journal of Medical Science Volume 7, Nomor 4. Diakses
pada Nepjol.info
Permana, Muhammad, dkk. 2019. “Celetukan Beracun: Pendiskreditan Dokter
pada Second Opinion”. Jurnal Etika Kedokteran Indonesia, Volume 3,
Nomor 2. Diakses pada JEKI/ilmiah.id
Purnamasari, Cicih dkk. 2015. “Pembelajaran Profesionalisme Kedokteran Dalam
Persepsi Instruktur dan Mahasiswa”. Jurnal Pendidikan Kedokteran
Indonesia , Volume 4, Nomor 2. Diakses pada jur nal.ugm.ac.id

61 Universitas Budi Luhur


Qomariyah, S. I. Ohoiwutun & Satmi. 2018. “Tindak Pidana Kelalaian Dokter Gigi
Yang Menyebabkan Luka Pada Pasien”. Jurnal Lentera Hukum Volume 5,
Nomor 3. Diakses pada jurnal.unej.ac.id
Rozaliyani, Anna. Wasisto & Libriyanty. 2018. “Persidangan Tanpa Kehadiran
Dokter Terlapor Dalam Penanganan Kasus Pelanggaran Etik Kedokteran”.
Jurnal Etika Kedokteran Indonesia Volume 2, Nomor 2. Diakses pada
staff.ui.ac.id
Setiawan, Heri, dkk. 2018. “Pelanggaran Kode Etik Kedokteran Pada Kasus
Pengangkatan Indung Telur Pasien Secara Sepihak”. Jurnal
Jurisprudentie Volume 5, Nomor 2. Diakses pada journal.uin-alaudin.ac.id
Susanto, Juharto. S. 2013. “Tinjauan Malapraktik Medik Di Indonesia (Kaitan
Tanggungjawab Antara Teori Hukum Kedokteran Dan Praktek
Kedokteran)”. Jur nal Wima Medika Volume 1, Nomor 1. Diakses pada
journal.wima.ac.id
Sibarani, Sabungan. 2017. “Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban
Malapraktik Dilihat Dari Sudut Pandang Hukum Di Indonesia ”. Jurnal
Justitia Et Pax Volume 33, Nomor 1. Diakses pada ojs.uaj y.ac.id
Sukohar, Asep & Carolia. 2016. “Peran Majelis Kehormatan Etik Kedokteran
Indonesia (MKEK) Dalam Pencegahan dan Penyelesaian Malapraktik
Kedokteran”. Jur nal JK Unila Volume 1, Nomor 2. Diakses pada
juke.kedoktera n.unila.ac.id
Yulianto, Adi & Ferdinand Andi Lolo. 2017. “Analisis Occupational Crime Terhadap
Praktik Mark Down Dalam Dokumen Kapal Penangkap Ikan”. Jurnal
Kriminologi Indonesia. Diakses pada jour nal.ui.ac.id

Sumber Artikel:
Niqmah, Lailatun. 2018. “Sembilan Fakta Kasus Dugaan Malapraktik RS Grha
Kedoya, Kronologi Hingga Pernyataan Pihak Rumah Sakit”. Diakses pada
Tribunnews.com
Nurfitriyani, Annisa. 2019. “Kelalaian Medis: Siapa yang Tanggung Jawab?”.
Diakses pada wartaekonomi.com
Perdana, Aretyo Je von. 2018. “Kekhawatiran Konsil Kedokteran Soal Kasus
Dokter Terawan”. Diakses pada m.liputan6.com
Roszandi, Dasril. 2013. “Ketua MKDKI: Kami Tak Mengenal Istilah Malpraktek”.
Diakses pada nasional.tempo.com
Simson. “Malapraktik Medis”. Materi kuliah Fakul tas Kedokteran Gigi Universitas
Sumatra Utara. Diakses pada fkg.usu.ac.id

62 Universitas Budi Luhur


Velarosdela, Rindi. 2018. “Dugaan Malapraktik Pengangkatan Indung Telur Di
Kedoya Terjadid Tahun 2015”. Diakses pada megapolitan.kompas.com

Sumber Hukum Per undang- Undangan:


Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Prakti k Kedokteran
Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang- Undang Nomor 8 tetang Perlindungan Konsumen
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara
Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi

Sumber Online

Konsil Kedokteran Indonesia. (2017). Peraturan Perundangan . Diambil dari Konsil


Kedokteran Indonesia: kki.gov.id

63 Universitas Budi Luhur


LAMPIRAN

Verbatim
VERBATIM NA RASUMBER
Asisten Ombudsman RI Tim 3 Ekonomi I
Jakarta, 1 Juli 2020 (via Jar ingan Telfon)
Peneliti Bagaimana profil singkat anda serta jabatan yang diemban di
Ombudsman RI?
Narasumber Saya Ana, dari tahun 2014 sampai tahun 2015, aku jadi asisten
Ombudsman RI di bidang penegakan hukum, kemudian untuk
mengembangkan ilmunya, di tahun 2016 sampai dengan Oktober 2019
ada di tim ekonomi 1. Sekarang sejak Oktober 2019 sampai sekarang,
aku dipercaya jadi kepala Keasistenan pemeriksaan laporan di
Ombudsman Perwakilan Yogyakarta.
Peneliti Terkait masalah malapraktik medis. Mengapa bisa tiba-tiba ada
beberapa laporan di Ombudsman RI ber kaitan dengan malapraktik
medis?
Narasumber Kalau sebenarnya Ombudman langsung yang menangani
malapraktiknya kami tidak bisa, jadi kami menerima laporan yang ada
terkait dengan penanganan laporan di MKDKI. Nah rata-rata yang
dilapor kan ke kami adalah malprakteknya dan ini pelapor (masyrakat)
para pelapor ini melaporkan MKDKI ke Ombudsman RI karena proses di
MKDKI ini lama, nah karena lama, mereka melapor kan MKDKI ini ke
kami. Pelaporan yang ada ini berkaitan dengan penundaan berlarut,
tidak adanya penanganan, adanya pengabaian oleh MKDKI. Itu yang
kami tindaklanjuti, salah satunya kasus kemarin atas nama DS, ini
ditindaklanjuti karena sejak tahun 2014 laporan di MKDKI tidak ada
perkembangan tindak lanjut hingga tahun 2016 sehingga laporan ini
masuk ke Ombudsman RI
Peneliti Ada berapa kira-kiranya kasus malapraktik di MKDKI yang mangkrak
sehingga kasus tersebut dilaporkan kepada Ombudsman RI?
Narasumber Kalau terkait PVL malapraktik seingetku ya karena udah lama, harap
nama dirahasiakan, ada kasus DS di RS Medan, atas nama J, kasus di
Jogja, dan kasus lama berupa laporan dari masyarakat yang dirugikan
oleh rumah sakit di Bekasi. Ini yang masuk di Ombudsman ya antara
tahun 2016 hingga ada koordinasi undang-undang MKDKI, dan di tahun

64 Universitas Budi Luhur


2017 ada pergantian kepengur usan MKDKI dari infonya ada sekitar 139
laporan di tahun tersebut yang harus diselesaikan, dan hal ini yang
menyebabkan kasus DS lama untuk ditangani. Ada laporan mangkrak
hingga rumit dan lain sebagainya.
Peneliti Bisa tolong dijelaskan substansi Ombudsman RI dalam ranah
pengurusan kasus-kasus dugaan penundaan berlarut yang dilakukan
oleh MKDKI/KKI?
Narasumber Kebanyakan laporan yang masuk berupa penundaan berlarut hingga
tidak memberikan pelayanan dimana pelapor merasa tidak
mendapatkan tanggapan sebagaimana mestinya, jadi tidak hanya
penundaan berlarut saja.
Peneliti MKDKI terbentuk di bawah naungan Konsil Kedokteran Indonesia,
dimana pada akar nya semua berasal dari Ikatan Dokter Indonesia,
apakah penyelesaian masalah dugaan malapraktik medis ini menjadi
tidak ‘fair’/terlalu objektif, karena hampir seluruh
perangkat/pengurusnya berasal dari satu bidang keprofesian? Berbeda
jika memang diadakan pengadilan secara hukum yang sesungguhnya.
Narasumber MKDKI kan lembaga independen, aku rasa sih ya subjektif ya karena
ketika mereka perlu ahli, mereka minta rekomendasi dari IDI, nmaun
itupun dirahasiakan tanpa memberitahu nama dokter hingga kesaksian,
ahli dan lainnya, jadi dokter itu sendiri tidak tahu siapa yang dipanggil.
(Pengadilannya tertutup)
Peneliti Dari salah satu contoh kasus konkret dugaan malapraktik medis,
pemeriksaan di MKDKI menunjukkan adanya keterlambatan pada
pencatatan rekam medis pasien, dimana rekam medis korban pada saat
hendak dilakukan pemeriksaat ter nyata belum selesai dibuat oleh rumah
sakit bersangkutan, hal ini berkebalikan dengan peraturan mentri
kesehatan yang berlaku. Bagaimana tanggapan mbak Ana sebagai
seorang asisten?
Narasumber Kalau menurut aku sih ter kait hal ini harus dicatat apa yang terjadi
hingga tindakan yang dilakukan harus dicatat, mungkin itu juga sih
yang harus dilakukan sebuah pengawasan karena untuk pencatatan
rekam medis ada lembaga yang mengawasi ga cuman MKDKI, dimanan
masyarakat tampak belum mengetahui ter nyata mereka memiliki hak
untuk meminta salinan rekam medis dalam bentuk resume medis, kan
kalau rekam medis tidak boleh keluar/diberikan. Aku ga ngerti nih di

65 Universitas Budi Luhur


beberapa rumah sakit ada yang memang kalau tidak diminta maka ga
dikasih padahal gaboleh, namun ini pelanggaran, ini juga bisa dijadikan
bahan perbaikan pengawasan kedepannya. RS harusnya ada audit
berkala dari BPRS tapi prakteknya ga ngerti kaya gimana. Biasanya
keberadaan MKDKI belum dketahui secara umum, malah mereka curhat
permasalahan ke media sosial, ada sosialisasi yang kurang. Fungsi BPRS
aku rasa banyak yang ga tahu keberadaannya. Har usnya BPRS dan
MKDKI harus bersinergi, karena bagaimanapun dokter kerja di RS. Aku
sendiri kalo di RS biasanya yang nulis rekam medis itu perawat, nah ini
juga bisa menjadi kontrol dokter sendiri sebagai sacara cek and
recheck. Praktiknya lain, kadang dokter jaga yang memberikan, ta pi itu
Cuma beberapa oknum aja kebanyakan rs udah bagus.
Peneliti Secara kaidah aturan keluaran MKDKI, mereka memiliki tugas untuk
menerima juga menyelidiki kasus dugaan malarapktik atau pelanggaran
etik kedokteran, namun dalam pelaksanannya masyarakat malah
melaporkan balik MKDKI kepada Ombudsman RI atas dasar penundaan
berlarut, bagaimana tanggapan mbak Ana sebagai seorang asisten
Ombudsman RI?
Narasumber Nah sebetulnya kayak yang aku bilang di depan kalau laporan yang
diterima oleh Ombudsman RI ini lebih ke prosesnya di MKDKI. Ini juga
sekarang kayaknya udah lebih bagus, dimana dibandingkan pada tahun
2017 semacam prosedur penanganan perkara mereka sudah punya,
namun tidak ada tenggat waktu penyelesaiannya. Orang awam tidak
mengerti. Di tahun 2017, Ombudsman RI memberi tindakan korektif
kepada MKDKI bahwa acuan Perkonsil har us direvisi menjadi lebih jelas
tahapannya serta jangka waktu yang ada, dimana penjelasan isinya
harus disebutkan secara detil, dimana di per konsil yang baru disebutkan
jumlah hari pe nyelesaiannya. Itu masukan pertama kami, walau untuk
penyelesaian secara konkret tidak sepenuhnya bisa untuk dilaksanakan
karena ada kasus yang berat hingga kebutuhan ahli-ahli, jd ga bisa jadi
acuan, seenggaknya ada minimalnya lah. Ombudsman RI ini juga
memberikan rekomendasi berupa per baikan SOP hingga mekanisme
dan komitmen dipasang di tempat yang strategis untuk dibaca oleh
masyarakat, ter kait mekanisme. Sebelum kita kasih masukan gaada
aturan ini, dan sosialisasi kurang (SOP, Banner, dll) belum ada di
MKDKI, dan alhamdulilah dilaksanakan melalui perkonsil baru. Bar u

66 Universitas Budi Luhur


tahun 2019 awal ada revisi perkonsil karena ada tindakan korektif dari
Ombudsman RI (Masukan), dan saran untuk merevisi per konsil, dan
sosialisasi harap digalakkan. Walau satu gedung dengan KKI, MKDKI
beda lantai. Har usnya di bawah ada loket khusus untuk MKDKI, biar
masyarakat tidak bingung dengan penempatan yang ada.
Peneliti Penyelesaian kasus DS mencapai waktu 1 tahun dimana menurut
Ombudsman RI terjadi penundaan berlarut dalam kepengurusan
laporan yang masuk ke MKDKI dan setelah ditelaah lebih jauh ke
Permenkes hingga surat keputusan KKI sebenarnya tidak ada tenggat
waktu dalam penyelesaian kasus dugaan malapraktik atau disiplin
kedokteran, bagaimana tanggapan mbak Ana ter kait pelayanan publik
yang seperti ini selaku asisten Ombudsman RI?
Narasumber Jangka waktu penyelesaian memang tidak dijelaskan secara rinci di
dalam per konsil, dan ada permintaan secara tindakan korektif sudah
dilakukan oleh Ombudsman RI.
Peneliti Apakah dari contoh pelaporan dugaan penundaan berlarut oleh MKDKI
memperlihatkan kepada masyarakat umum bahwa sebenarnya
masyarakat tidak percaya akan lembaga tersebut, sehingga pada
kenyatannya mereka malah melapor kan lembaga MKDKI kepada
Ombudsman RI?
Narasumber Kalau pandangan kita gabisa nyalahin opini orang, nah kurangnya
MKDKI ini mereka ga ada kejelasan tenggat waktu dalam respon
pelaporan yang masuk. Banyak kok ketika ada instansi yang dilaporkan
mereka ditindaklanjuti, dan ada verifikasi awal,banyak instansi yang ga
ngasih tau proses ini, jadi mereka diem-diem aja. Akan lebih baik ketika
ada pemberitahuan kepada pelapor bahwa laporan mereka sudah
sampai mana. Ini yang kurang dari MKDKI, jadi kalaupun laporan sudah
masuk harusnya dilaporkan oleh MKDKI kepada pelapor melalui jalur
formal juga informal seperti melalui surat hingga chat whatsapp. Har us
ada keterbukaan informasi sih, itu yang perlu di MKDKI, hingga tahapan
tahapan penyelesaiannya perlu dilampir kan.

67 Universitas Budi Luhur


Laporan Akhir Hasil Pemer iksaan Ombudsman RI

OMBUDSMA N REPUBLIK INDONESIA

Laporan Akhir Hasil Pemer iksaan

No Register : 1352/LM/XII/2016/JKT
Tanggal : 1 Desember 2016
A. Para Pihak
Pelapor : Dormey Sinaga
Terlapor : Majelis Kehormataan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
B.Dugaan Maladministrasi: Dugaan penundaan berlarut oleh MKDKI ter kait proses penanganan Laporan
mengenai dugaan malpraktik terhadap Saudari Tioberti Sitor us oleh
dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT.
C. Proses Pemeriksaan:
1. Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman RI) telah melakukan pemeriksaan dokumen (resume
laporan) pada tanggal 20 Desember 2016 dan ber dasarkan pemeriksaan diperlukan permintaan
penjelasan kepada pihak Terlapor.
2. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0535/KLA/1352.2016/DS.59/T IM.3/ X III/2016
tertanggal 29 Desember 2016 dan surat Nomor : 0025/LNJ/1352.2016/DS.59 /T.3/2017 tertanggal
25 Januari 2017 kepada Ketua MKDKI yang pada intinya meminta Ketua MKDKI untuk melakukan
penelitian dan memberikan penjelasan atas dugaan penundaan berlarut yang dila kukan oleh MKDKI
terkait dengan laporan Pelapor yaitu Sdri. Dormey Sinaga.
3. Ombudsman RI telah mengadakan pertemuan dengan MKDKI pada hari Selasa tanggal 7 Maret
2017.
Hasil Pertemuan:
a.Perkembangan tindak lanj ut laporan sudah memasuki tahap ke 24 (dua puluh empat) dari 29
(dua puluh sembilan) tahap penanganan pengaduan oleh MKDKI sesuai dengan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 32 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Kasus
Dugaan Pelanggaran Disiplin Dokter dan Dokter Gigi (Per konsil 32/2015) yaitu tahap membuat
keputusan;
b. Pada bulan Juli 2016, terjadi pergantian kepemimpinan dan ada sekitar 139 (seratus tiga puluh
sembilan) laporan dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi;
c. Laporan Pelapor yaitu Sdri. Dormey Sinaga akan menjadi prioritas MKDKI;
d. Pada tanggal 30 Maret 2017, akan dibacakan 4 (empat) putusan dugaan pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi di Medan tetapi belum bisa memastikan apakah laporan Sdri. Dormey
Sinaga termasuk salah satu yang dibacakan atau tidak;
e. Akan dilakukan revisi terhadap Perkonsil 32/2015.
4. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0533/SRT/1352.2016/DS.24/T.3/ III/2017 tertanggal

68 Universitas Budi Luhur


14 Maret 2017 kepada Pelapor yang pada intinya menyampaikan tanggapan tindak lanjut dari
MKDKI dan hasil pertemuan hari Selasa tanggal 7 Maret 2017.
5. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 782/ORI-SRT/V/2017 ter tanggal 24 Mei 2017 kepada
Ketua MKDKI, Ketua KKI, dan Sdri. Dormey Sinaga yang pada intinya mengundang para pihak
untuk menghadiri pertemuan pada hari Senin tanggal 29 Mei 2017.
6. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 843/ORI-SRT/VI/2016 kepada Ketua MKDKI, Ketua
KKI, dan Pelapor yang pada intinya mengundang kembali para pihak untuk menghadiri pertemuan
pada hari Rabu tanggal 14 Juni 2017.
7. Ombudsman RI telah mengadakan pertemuan dengan Sekretariat KKI yaitu Sdr. Bimo Satrio selaku
Kepala Bagian Pelayanan Hukum, Sdri. Maritania selaku Kepala Sub Bagian Persidangan, dan Sdr.
Bayu Pramadini selaku Staf Pelayanan Hukum pada hari Rabu tanggal 14 Juni 2017.
Hasil Pertemuan:
a. Pada tanggal 14 Juni 2017 pukul 13.00 akan dilakukan sidang draf putusan oleh MKDKI,
selanjutnya akan diberikan draf putusan kepada Teradu dalam hal ini adalah dr. Chairiandi
Siregar Sp.OT untuk memberikan tanggapan dalam waktu 30 hari dengan melampirkan bukti
baru;
b. Jangka waktu pemeriksaan suatu kasus bergantung pada kompleksitas kasus karena
dibutuhkan pemanggilan ahli dan juga saksi. Majelis Pemeriksaan Disiplin (MPD) MKDKI
memiliki kewenangan dalam proses penyelesaian masalah. Dalam pemeriksaan kasus ini
diduga membutuhkan pengkajian mendalam sehingga membutuhkan proses yang lama;
c. Pada proses transisi kepemimpinan, terdapat sejumlah kasus yang tidak terinformasikan
kepada pimpinan yang baru. Setelah pergantian pimpinan, pimpinan baru mulai bersidang
pada bulan Agustus 2016;
d. Ahli ter hadap suatu kasus adalah ahli yang independen. Ahli tersebut tidak mengetahui siapa
dokter yang dilaporkan dan kasus yang ditangani seper ti apa, biasanya minta rekomendasi ke
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memanggil ahli;
e. Persidangan kembali dilakukan, apabila ter dapat novum yang kuat terhadap keberatan Teradu.
Apabila Teradu hanya akan mengungkap kembali kasus, maka MKDKI akan menolak kasus
tersebut.
f. Terkait dengan prosedur sudah diatur dalam Perkonsil 32/2015 dan saat ini sedang dilakukan
proses revisi terhadap Per konsil tersebut untuk meningkatkan efektivitas penanganan kasus;
g. Pelapor mengatakan bahwa terdapat informasi yang berbeda mengenai tahap status
penanganan permasalahan, karena pada tahun 2016 dinyatakan sudah pada tahap tertentu.
8. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 11330/SRT/1352.2016/DS.57/IX/2017 ter tanggal 18
September 2017 kepada Ketua KKI dan Ketua MKDKI yang pada intinya meminta kepada Ketua KKI
dan Ketua MKDKI menyampaikan perkembangan terhadap per masalahan yang dilapor kan oleh
Pelapor kepada Ombudsman RI.
9. Ombudsman RI telah menanyakan tindak lanjut atas surat Nomor : T U.03.02/03/KKI/ X/3122/2017
tertanggal 4 Oktober 2017 melalui Whatsapp kepada Sdr. Bambang selaku Sekretaris MKDKI.
10. Ombudsman RI telah menanyakan kembali tindak lanjut atas surat Nomor : TU.03.02/03/KKI/
X/3122/2017 ter tanggal 4 Oktober 2017 melalui Whatsapp kepada Sdr. Bambang selaku Sekretaris
MKDKI pada tanggal 16 Oktober 2017.
11. Ombudsman RI telah mengirimkan surat Nomor : 2652/ORI-SRT/XI/ kepada Direktur Utama RSUP
Haji Adam Malik dan surat Nomor : 2653/ORI-SRT/X I/2017 kepada Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi Sumatera Utara tertanggal 29 November 2017 yang pada intinya mengundang para pihak
untuk menghadiri pertemuan pada hari Senin tanggal 6 Desember 2017.
12. Ombudsman RI telah mengadakan pertemuan dengan Jajaran Direktur dan Dokter Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Adam Malik pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2017.

69 Universitas Budi Luhur


Hasil Pertemuan:
a. Pelapor sudah melapor kan dr. Chairiandi Siregar Sp.OT ke MKDKI sejak tahun 2016 dan untuk
proses internal dianggap sudah tidak ada permasalahan setelah dilakukan komunikasi antara
para pihak;
b. Dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT mengaku sudah menjelaskan semua persiapan dan resiko operasi
kepada Pasien Tioberti Sitor us yaitu Ibu dari pelapor ser ta anak dari pasien yang tinggal
bersama di Sidempuan. Kemudian, dr. Chairiandi Siregar melakukan tahap selanjutnya yaitu
penjadwalan untuk operasi;
c. Setelah dilakukan operasi, pasien Tiober ti Sitorus diantar ke kamar ICU dan sudah tidak
ditangani lagi oleh dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT melainkan oleh Dokter Anastesi;
d. Pasien Tiober ti Sitorus dirawat di kamar ICU sekitar 30 (tiga puluh) hari kemudian meninggal;
e. Pelapor merupakan salah satu anak dari Pasien Tiober ti Sitorus yang tidak hadir pada saat dr.
Chairiandi Siregar, Sp.OT menjelaskan persiapan operasi sebanyak 2 (dua) kali ter dahulu,
sementara anak-anak pasien Tioberti yang mengikuti penjelasan sudah maklum dan tidak
mempermasalahkan hal tersebut. dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT menginformasikan bahwa
terjadi konflik antar anak-anak pasien Tioberti Sitor us;
f. dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT mengaku tidak mengetahui bahwa ter dapat permintaan kantong
darah kepada keluarga pasien Tiober ti Sitorus setelah satu jam operasi;
g. Operasi tidak dilaksanakan sendiri oleh dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT melainkan juga oleh
orang lain dalam tim seper ti Perawat dan Dokter Anastesi. Oleh karena itu, dr. Chairiandi
Siregar sebagai dokter bedah menangani masalah bedah dan melakukan konsulta si dengan
Dokter Umum, Dokter Penyakit Dalam, sedangkan pemeriksaan nafas, nadi, darah dilakukan
oleh bagian lain;
h. dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT mengatakan bahwa ada persediaan darah di PMI RS UP Adam
Malik dan jika memang Pasien Tioberti Sitor us kekurangan darah maka pasien akan meninggal.
Namun, dalam kenyataannya ada beberapa masalah-masalah lain sehingga setelah 30 hari
kemudian Pasien Tioberti Sitor us meninggal;
i. dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT mengatakan bahwa seseorang yang berwenang menyatakan
pasien kekurangan darah adalah Dokter Anastesi ber koordinasi dengan Dokter Bedah. Namun,
karena operasi yang dilakukan kepada Pasien Tioberti Sitorus adalah operasi biasa, maka tidak
diperlukan kantong darah dalam jumlah besar. Jika memang diperlukan, bisa diminta kan di
PMI RSUP Adam Malik. Apabila terdapat permintaan terhadap kantong darah, itupun tidak
semua digunakan di kamar bedah, bisa juga digunakan di kamar ICU jika memang diperlukan
tambahan darah. dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT menambahkan bahwa RSUP Adam M alik
merupakan rumah sakit pusat sehingga siapa saja ada di rumah sakit dan informasi yang
dikeluarkan tidak jelas berasal dari siapa. Apabila pasien mendapatkan informasi, seharusnya
dikonfirmasi terlebih dahulu kepada Dokter Penanggungjawab Pasien (DPJP) .
j. dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT mengatakan kondisi Pasien Tioberti Sitorus setelah dioperasi
dalam kondisi baik, telah dijahit dan dilakukan perawatan luka yang mer upakan tanggung
jawab Dokter Bedah. Terkait masalah pernafasan, tensi, dan nadi merupakan ke wenangan
Dokter Anastesi.
13. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 496/ORI-SRT/III/2017 ter tanggal 12 Maret 2018
yang pada intinya mengundang MKDKI untuk menghadiri pertemuan pada hari Senin tanggal 19
Maret 2018.
14. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 518/ORI-SRT/III/2018 ter tanggal 19 Maret 2018
kepada Ketua MKDKI yang pada intinya menyampaikan hasil pemeriksaan mengenai penanganan
laporan Pelapor.
15. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0352/SRT/1352.2016/DS -57/T.3/V/2018 tertanggal 3

70 Universitas Budi Luhur


April 2018 kepada Pelapor yang pada intinya memberitahukan per kembangan penyelesaian laporan
melalui LAHP.
16. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0434/SRT/1352.2016/DS -5/T.3/2018 tertanggal 8
Mei 2018 kepada Ketua MKDKI yang pada intinya meminta MKDKI untuk memberikan
penjelasan/laporan upaya pelaksanaan tindakan korektif yang dilakukan.
17. Ombudsman RI telah mengadakan pertemuan dengan MKDKI pada hari Jumat tanggal 13 Juli
2018.
Hasil Pertemuan :
a. memberikan salinan putusan MKDKI ter kait pengaduan atas nama Pelapor yaitu Dormey
Sinaga;
b. memberikan salinan Surat Keputusan Pencabutan STR dr. Chairiandi Siregar Sp.OT
c. memberikan copy daftar hadir dan dokumentasi pembacaan putusan tanggal 23 Oktober 2018;
d. melaksanakan tindakan korektif sebagaimana Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang
disampaikan kepada Saudara melalui surat Nomor : 518/ORI-SRT/III/2018 tertanggal 19 Maret
2018.
18. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0578/SRT/1352.2016/DS -57/T.3/VII/2018 tertanggal
24 Juli 2018 kepada Ketua MKDKI yang pada intinya meminta MKDKI untuk memberikan informasi
dan data sebagai berikut :
a. copy daftar hadir dan dokumentasi pembacaan putusan pada tanggal 23 Oktober 2018;
b. tindak lanjut tindakan korektif sebagaimana Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) yang
disampaikan kepada MKDKI melalui surat Nomor : 518/ORI-SRT/III/2018 ter tanggal 19 Maret
2018.
19. Ombudsman RI telah mengirim surat Nomor : 0578/SRT/1352.2016/DS -57/T.3/VII/2018 tertanggal
24 Juli 2018 kepada Ketua KKI yang pada intinya meminta KKI untuk memberikan informasi dan
data sebagai berikut :
a. salinan putusan MKDKI terkait pengaduan atas nama Pelapor yaitu Dorme Sinaga;
b. salinan Surat Keputusan Pencabutan STR dr. Chairiandi Siregar Sp.OT.
D. Hasil Pemeriksaan:
1. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia telah melakukan penundaan berlarut:
a. Menerima pengaduan : MKDKI menerima 1 (satu) berkas pengaduan dari Sdri. Dormey Sinaga
dengan Nomor Register pengaduan : 29/P/MKDKI/VI/2014 dan 30/P/MKDKI/VI/2014.
b. MKDKI telah memeriksa dugaan pelanggaran disiplin kedokteran. Namun, pemeriksaan
berproses lewat dari tenggat waktu yang diatur dalam Per konsil 32 Tahun 2015. Dalam
Perkonsil 32 Tahun 2015 diatur bahwa tenggat waktu yang dibutuhkan dalam menangani 1
kasus adalah 95,3 jam/8 jam. Namun, kasus Pelapor sudah ditangani selama 3 tahun.
c. Terhadap kasus pelanggaran disiplin dr. Chairiandi Siregar Sp.OT: Majelis Pemeriksa Disiplin
baru memutus secara musyawarah dalam sidang terbuka pada hari Senin tanggal 23 Oktober
2017
2. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia telah bersikap sewenang-wenang dengan tidak
memberikan informasi secara jelas :
a. Ketidaksesuaian informasi yang diberikan oleh MKDKI antara pertemuan pada tanggal 7 Maret
2017 dengan pertemuan pada tanggal 14 Juni 2017. Dalam per temuan 7 Maret 2017, MKDKI
menyatakan bahwa penanganan kasus Pelapor telah memasuki tahap 24 (dua puluh empat) dari
29 (dua puluh sembilan) tahap yang harus dilalui, dimana berdasarkan Perkonsil 32 Tahun 2015
tahap ke 24 (dua puluh empat) adalah tahap membuat draf keputusan. Sedangkan, da lam
pertemuan pada tanggal 14 Juni 2017, MKDKI menyatakan bahwa proses penangaan kasus
sudah sampai pada tahap penyusunan draf putusan yang mana berdasarkan Per konsil 32 Tahun

71 Universitas Budi Luhur


2015 tahapan tersebut tidak ada.
3. Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan yaitu dengan telah
diterbitkannya Putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Atas Pengaduan Nomor
Register 29/P/MKDKI/VI/2014 Dan Pengaduan Nomor Register 30/P/MKDKI/VI/2014 tentang
Dugaan Pelanggaran dan Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 67/KKI/KEP/X I/2017
tentang Pelaksanaan Putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia yang pada intinya
menjatuhkan sanksi kepada dr. Chairiandi Siregar, Sp.OT selaku Teradu berupa Dokter Spesialis
Orthopedi dan Traumatologi.
4. Laporan Masyarakat Nomor Register: 1352/LM/X II/2016/JKT tanggal 1 Desember 2016 dinyatakan
selesai dan ditutup
E. Kesimpulan:

Ditemukan Adanya Maladministrasi

V Ditemukan Adanya Maladministrasi, namun telah diselesaikan

Tidak Ditemukan Adanya Maladministrasi

No Register : 0925/LM/x/2017/JKT
Tanggal : 31 Oktober 2017
B. Para Pihak
Pelapor : Jhonson Parsaoran Sianipar
Terlapor : RSUP H. Adam Malik Medan
B.Dugaan Maladministrasi or : Dugaan adanya penundaan berlarut oleh MKDKI Terkait belum
ditindaklanjutinya pengaduan malpraktek yang dilakukan oleh
dokter RSUP H. Adam Malik
F. Proses Pemeriksaan :

20. Pada bulan --------- Ombudsman RI telah melakukan pemeriksaan dokumen. Adapun dokumen
yang telah diperiksa antara lain :
a. Kronologi laporan;
b. Dokumen Pengisian Formulir Informed Consent RSUP H. Adam Malik, Nomor
UK.01.09/IV.4.2/223./2015 tanggal terbit 29 Januari 2015;
c. Dokumen Pemasangan Kateter Urin Menetap RSUP H. Adam Malik, Nomor:
YM.01.11/i.2/307/2015 tanggal ter bit 2 Februari 2015;
d. Dokumen Transfer Pasien Intra Rumah Sakit, Nomor: UK.01.09/I.2/329/2015 tanggal terbit 3
Februari 2015;
e. Dokumen Persetujuan / Penolakan Tindakan Kedokteran (Inform Consent) RSUP H. Adam
Malik, Nomor: UK.01.09/1.2/326/2015 tanggal terbit 3 Febr uari 2015;
f. Dokumen Transfer Pasien Antar Rumah Sakit, Nomor: UK.01.09/I.2/327/2015 Tanggal terbit 3
Februari 2015;
g. Dokumen Kriteria Pasien Masuk IGD RS UP H. Adam Malik, Nomor: UK.01.09/I.25/398/2015

72 Universitas Budi Luhur


tanggal ter bit 9 Februari 2015;
h. Dokumen Dokter Spesialis Jaga IGD, Nomor: UK.01.09/I.25/395/2015 tanggal terbit 9 Febr uari
2015;
i. Dokumen Triase Instalasi Gawat Darurat RSUP H. Adam Malik, Nomor: UK.01.09/I.25/413/2015
tanggal ter bit 10 Febr uari 2015;
j. Dokumen Transfer Pasien Ke HCU/ICU, Nomor: UK.01.09/I.25/412/2015 tanggal terbit 10
Februari 2015;
k. Dokumen Bilas Lambung Melalui NGT RSUP H. Adam Malik, Nomor: UK.01.09/I.4.5/1942/2015
tanggal ter bit 29 Mei 2015;
l. Dokumen Pendaftaran Pasien Gawat Darurat RSUP H. Adam Malik, Nomor:
UK.01.09/I.35/2478/2015 tanggal ter bit 2 November 2015;
m. Resume Keluar Pasien IGD, Nomor: RM.4.5/RESUMEGD/2014;
n. Surat Keterangan Meninggal an. JESSICA KAT ELINE Br. SIANIPAR Nomor: 1.R.01.02.33.263 ,
tanggal 23 Agustus 2017;
o. Surat Pemberitahuan tentang kematian yang tidak wajar, a.n JESSICA KAT ELINE Br. S IANIPAR
yang ditujukan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI), tanggal 15
September 2017;
p. Surat Susulan dan Tanggapan tentang kematian yang tidak wajar a.n JESSICA KATELINE Br.
SIANIPAR tanggal 25 September 2017;
q. Surat Kementrian Kesehatan RI perihal Resume Medis Pasien a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar,
Nomor HK.04.01/IV.2.1/2296/2017 tanggal 22 November 2017;
r. Surat MKDKI Perihal jawaban atas Permintaan Klarifikasi Laporan Masyarakat, Nomor:
1748/U/MKDKI/X I/2017 tanggal 24 November 2017;
s. Surat Kementrian Kesehatan RI perihal Informasi pasien a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar berisi
lampiran kronologis, Nomor: UK.01.01/I. 1-3/7476/2017 tanggal 28 November 2017;
t. Surat Penerima Kuasa a.n. Heber Sihombing, S.H. Yudha Dewi Setiawan Sihombing Law Firm,
Nomor 02/YDSS-2.05/I-18 tanggal 18 Januari 2018;
u. Surat Kementrian Kesehatan Republik Indonesia perihal tindak lanjut Permintaan Informasi dan
Penjelasan Atas Kasus Di RSUP H. Adam Malik Medan, Nomor: IR.02.02/III.3/031/2018 tanggal
30 Mei 2018;

2. Pada 15 September 2017, pihak pelapor mengirimkan Surat kepada Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) Perihal Pemberitahuan Mengenai Kematian Yang Tidak Wajar a.n.
Jessica Kateline Br. Sianipar;

3. Pada 25 September 2017, Orangtua Jessica Kateline Br. Sianipar melapor kan Kematian yang tidak
wajar anaknya a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar kepada pihak Ombudsman RI;

4. Pada 15 November 2017, pihak Ombudsman RI mengirimkan Surat Nomor


0485/KLA/0925.2017/DS-57/T.3/X I/2017 kepada RSUP H. Adam Malik yang dimana pihak
Ombudsman RI meminta penjelasan mengenai:

I. Standar Operasional Prosedur RSUP HAM terkait tindakan medis, pelayanan, dan
pemberian informasi kepada pasien dan/ atau keluarga pasien;
II. Pertimbangan pemasangan, fungsi resiko, serta prosedur pemasangan CVC pada pasien
sebagaimana telah diuraikan dalam kronologi;
III. Apakah pemasangan CVC pada pasien a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar sudah sesuai
prosedur?;
IV. Pembuatan rekam medis sebagaimana dalam angka 5 (lima) uraian kronologi bahwa pada
tanggal 30 Agustus 2017 belum selesai dibuat dilengkapi dengan SOP pembuatan Rekam
Medis di RSUP HAM.

5. Pada 22 November 2017, Kementrian Kesehatan RI mengirimkan Surat Nomor

73 Universitas Budi Luhur


HK.04.01/IV.2.1/2296/2017 kepada Ombudsman RI yang berisi resume medis pasien;

6. Pada 24 November 2017, MKDKI memberikan respon terhadap permintaan klarifikasi laporan
masyarakat Nomor: 1748/U/MKDKI/X I/2017 yang berisikan penjelasan, bahwa tidak pernah ada
surat yang masuk ke MKDKI terkait permintaan klarifikasi kepada dokter yang mena ngani pasien
yang bersangkutan.

7. Pada 28 November 2017, Kementrian Kesehatan RI mengirimkan Surat Nomor: UK.01.01/I. 1 -


3/7476/2017 yang berisikan kr onologis pasien sesuai dengan permintaan pihak Ombudsman RI
dalam Surat Nomor: 0485/KLA/0925.2017/DS -57/T.3/X I/2017;

8. Pada tanggal 6 Desember 2017, Ombudsman RI melakukan kunjungan guna melakukan investigasi
terhadap kasus yang telah dilapor kan oleh Sdr. Jhonsons Parsaoran Sianipar mengenai dugaan
penundaan berlarut oleh MKDKI ter kait belum ditindaklanjutinya pengaduan malpraktik yang
diduga dilakukan oleh Dokter Di RSUP H. Adam Malik dalam menangani pasien a.n. Jessica Kateline
sehingga menyebabkan terjadinya kematian. Pertemuan dilakukan dengan Direktur Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik, dan Dinas Kesehatan Provinsi Sumatra Utara. Dari per temuan yang
dilakukan, pihak RSUP H. Adam Malik memberikan dokumen berupa SOP RSUP HAM yang harus
dilakukan terhadap para pasiennya sesuai dengan permintaan Ombudsman RI pada Surat Nomor:
0485/KLA/0925.2017/DS-57/T.3/X I/2017;

9. Pada tanggal 5 Januari 2018, Ombudsman RI menyampaikan surat Nomor:


008/SRT/0925.2017/DS-57/T.3/I/2018 Perihal Pemberitahuan & Perkembangan Tindak Lanj ut
Laporan kepada Sdr. Jhonsons Parsaoran Sianipar. Adapun dalam pemberitahuan tersebut,
Ombudsman RI Telah melakukan langkah – langkah sebagai berikut:
a. Melakukan analisis/telaah terhadap laporan yang saudara keluhkan;
b. Menyampaikan surat Nomor: 0485/KLA/0925.2017/DS -57/T.3/X I/2017 tertanggal 15 November
2017, Ombudsman Republik Indonesia meminta klarifikasi tertulis kepada RSUP Haji Adam
Malik Medan yang ditembuskan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) dan belum memperoleh kejelasan;
c. Sebagai tindak lanjut atas tidak adanya tanggapan dari RSUP H. Adam Malik Medan,
Ombudsman Republik Indonesia mengadakan per temuan di RSUP H. Adam Malik Medan pada
tanggal 6 Desember 2017 dan memperoleh tanggapan dari direktur RRS UP H. Adam Malik
Medan ser ta Surat Nomor: UK.01.01/I.1-3/7476/2017 tertanggal 28 November 2017, mengenai
kronologi penanganan pasien atas nama Jessica Kataline Br. Sianipar.
d. Ombudsman Republik Indonesia menerima Surat Ketua MKDKI Nomor: 1748/U/MKDKI/X I/2017
tertanggal 24 November 2017 menyampaikan penjelasan bahwa:
I. MKDKI tidak pernah menerima surat Saudara tertanggal 15 September 2017
II. MKDKI mengarahkan kepada saudara untuk melengkapi formulir pengaduan sesuai
peraturan yang berlaku

10. Pada 12 April 2018, pihak Ombudsman RI mengirim surat Nomor: 0383/SRT/0925.2017/DS -
57/T.3/IV/2018 perihal Permintaan informasi dan penjelasan yan g ditujukan kepada Badan
Pengawas Rumah Sakit Indonesia;

11. Pada tanggal 30 Mei 2018, Kementrian Kesehatan menyampaikan surat Nomor:
IR.02.02/III.3/031/2018 kepada Ombudsman RI sebagai langkah penindaklanjutan dari surat
Ombudsman RI Nomor: 0383/SRT/0925.2017/DS-57/T.3/IV/2018 perihal permintaan informasi dan
penjelasan;

12. Pada tanggal 3 Agustus 2018, pihak Ombudsman RI mengirimkan surat Nomor:
0622/SRT/0925.2017/DS-57/T.3/VIII/2018 perihal permintaan informasi dan penjelasan yang

74 Universitas Budi Luhur


dituj ukan kepada Badan Pengawas Rumah Sakit Provinsi Sumatra Utara;

13. Pada tanggal 16 November 2018, Ombudsman RI menyampaikan surat Nomor


0838/SRT/0925.2017/DS-57/T.3/X I/2018 perihal Permintaan Informasi dan Penjelasan tindak lanj ut
yang telah dilakukan oleh MKDKI yang ditujukan kepada Ketua MKDKI;

G. Hasil Pemeriksaan :

Setelah melakukan serangkaian tindak lanjut penyelesaian laporan, diketahui bahwa permasalahan
yang dikeluhkan oleh Pelapor mengenai dugaan adanya penundaan yang tidak berlar ut oleh MKDKI
terhadap kasus kematian a.n. Jessica Kateline Br. Sianipar, pada kelanjutannya sang terlapor (RS UP
H. Adam Malik) telah menunaikan kewajibannya sbb;
1. Pihak terlapor telah menguraikan kejadian versi terlapor secara jelas, dan detail melalui
pertemuan yang diadakan dengan Pihak Ombudsman RI pada tanggal 06 Desember 2017, di
Medan;
2. Kronologis secara medis (Rekam medis dari pihak RSUP H. Adam Malik) telah diberikan
terhadap pihak Ombudsman RI yang menyatakan bahwa memang sang pasien sudah dalam
kondisi yang cukup sekarat/mengkhawatir kan pada saat dibawa ke RSUP yang
bersangkutan.

Sesuai Pasal 36 ayat 1 huruf d Undang-Undang 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik
Indonesia, menyatakan “Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan ”,
sehingga laporan di tutup.
H. Kesimpulan: Ditemukan Adanya Maladministrasi

Ditemukan Adanya Maladministrasi, namun telah diselesaikan

V Tidak Ditemukan Adanya Maladministrasi

75 Universitas Budi Luhur


KARTU BIMBINGAN
FA KULTAS ILMU SOSIAL DA N ILMU POLITIK

NIM : 1643500018
NAMA : Marvine Viano Gabrielle
DOSEN PEMBIMBING : Monica Margaret, S.Sos., M.Krim
JUDUL SKRIPSI : Tinjauan Kriminologis Terhadap Penyelesaian Kasus
Kriminal Dalam Bentuk Dugaan Malpraktik Medis Melalui
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(Mkdki)

No. Tanggal Materi Paraf Dosen


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Mahasiswa di atas telah melakukan bimbingan dengan jumlah materi yang telah
mencukupi untuk disidangkan.

Jakarta,
Mahasiswa Dosen Pembimbing

(Marvine Viano Gabrielle) (Monica Margaret, S.Sos., M.Krim)

76 Universitas Budi Luhur

Anda mungkin juga menyukai