Anda di halaman 1dari 20

PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH KALANGAN MAHASISWA DI

INDONESIA DITINJAU BERDASARKAN TEORI LABELING DAN


ANOMI

MAKALAH

OLEH :
SALSHA BELFIRA ( A1012201063 )

KEMENTRIAN PENDIDIKAN BUDAYA RISET DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“ PENYALAHGUNAAN NARKOBA OLEH KALANGAN MAHASISWA
DI INDONESIA DITINJAU BERDASARKAN TEORI LABELING DAN
ANOMI ” ini tepat waktunya.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tanggung jawab
akademis bapak Dr.Hermansyah SH.,M.Hum pada mata kuliah Kriminologi.
Selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan dalam pembaca
dan juga penulis.

Saya berterimakasih kepada bapak Dr.Hermansyah, SH.,M.Hum. selaku dosen


mata kuliah Kriminologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan serta wawasan saya terhadap bidang studi yang kami
tekuni.

Sebagai penulis, saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan baik dari
penyusunan hingga tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu,
saya dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar saya dapat
memperbaiki makalah ini. Harapan saya, semoga makalah yang saya susun ini
memberi manfaat untuk pembaca.

Tangerang, 10 Juni 2022

Penulis
A. PENDAHULUAN
Seiring perkembangan teknologi dan globalisasi, ternyata menjadi pemicu
terjadinya perluasan serta peningkatan kasus narkoba di Indonesia.Di Indonesia,
kasus penyalahgunaan narkoba semakin maraknya terjadi. Tindak kejahatan ini
telah menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan sosial ekonomi
tingkat menegah bawah hingga tingkat sosial ekonomi atas. Pada masa sekarang,
internet membuat komunikasi antar pengguna, pengedar, pemasok dapat semakin
mudah dan cepat.
Indonesia dulunya pada 2009 tercatat 5 jumlah kasus, namun seiring
berjalannya waktu, jumlah kasus semakin naik, hingga pada Desember 2021
Badan Narkotika Nasional (BNN) menangani 6.894 kasus di Indonesia.
Mengawali tahun 2022, Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia (BNN RI)
melakukan gebrakan dalam upaya War on Drugs baik melalui strategi soft, hard,
maupun smart power approach. Dalam aspek hard power approach melalui
upaya pemberantasan, BNN RI berhasil mengungkap kasus kejahatan narkotika
dengan barang bukti sabu seberat 218,46 kilogram dan ekstasi sebanyak 16.586
butir serta tersangka sebanyak sebelas orang di Provinsi Kalimantan Timur,
Kalimantan Barat dan Riau. 1
Berdasarkan peta pergerakan narkoba dunia yang
dirilis oleh UNODC, posisi Indonesia yang dulunya berstatus ‘negara transit’ kini
menjadi ‘negara tujuan’ perdagangan narkoba illegal.2 Fakta ini menunjukkan
bahwa masyarakat Indonesia tidak kebal dari cengkeraman penggunaan narkoba.
Penduduk Indonesia yang lebih muda dilaporkan menyalahgunakan narkoba lebih
banyak daripada orang dewasa.
Pengurus Dewan Pengurus Pusat (DPP) Aliansi Relawan Perguruan
Tinggi Anti Penyalahgunaan Narkoba (Artipena) menyampaikan dalam acara
diskusi Hari Anti Narkotika Internasional (HANI) 2021 bahwa 27% pengguna

1
Humas BNN, “ Gebrakan War on Drugs Awal Tahun BNN RI Ungkap Ratusan Kilogram Sabu dan Belasan
Ribu Ektasi ” https://bnn.go.id/gebrakan-war-drugs-awal-tahun-bnn-ri-ungkap/, Diakses pada Jum’at
(10/6/2022), 14.55 WIB
2
Valentina Lusia Sinta Herindrasti, “Drug-Free ASEAN 2025: Tantangan Indonesia Dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba,” Jurnal Hubungan Internasional 7, no. 1 (2018).
narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa.3 Lembaga
pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang bersih dan bebas dari praktek-
praktek kejahatan, dewasa ini peredaran narkoba telah masuk kedalam lingkungan
pendidikan seperti sekolah dan kampus. Dalam usia yang produktif dan labil, para
pelajar dan mahasiswa sangat rentan terpengaruh dengan tren perkembangan
zaman. Rasa ingin tahu yang tinggi serta faktor lingkungan dan pergaulan yang
buruk membuat mereka lebih gampang terpengaruh untuk menggunakan narkoba.
Hal ini senada dengan data BNN yang mengatakan bahwa 17% dari total
pengguna narkoba adalah mahasiswa atau terdapat sekitar 1,2 juta mahasiswa
yang menggunakan narkoba.4
Bagaimana nasib negara Indonesia apabila banyak penerusnya terlibat
kasus penyalahgunaan narkoba. Oleh karena itu, berangkat dari asumsi penulis
terkait penyalahgunaan narkoba dengan bentuk kejahatan di masyarakat, maka hal
ini perlu dikaji secara kriminologis. Tulisan ini dibuat untuk memahami
penyalahgunaan narkoba di kalangan masyarakat dengan mengintegrasikan fakta-
fakta dalam berita dan teori-teori kriminologi (anomi dan labelling).

3
Valentina Lusia Sinta Herindrasti, “Drug-Free ASEAN 2025: Tantangan Indonesia Dalam Penanggulangan
Penyalahgunaan Narkoba,” Jurnal Hubungan Internasional 7, no. 1 (2018).
4
Lenny Tristia Tambun, " 27% Pengguna Narkoba dari Kalangan Pelajar dan Mahasiswa ",
https://www.beritasatu.com/nasional/792291/27-pengguna-narkoba-dari-kalangan-pelajar-
dan mahasiswa , diakses pada hari Jum’at (10/06/22) pada pukul 10.00 WIB
B. KAJIAN TEORITIS
Teori kriminologi adalah teori tentang sifat, tingkatan, penyebab
danpengendalian pelaku criminal, yang jenis utamanya adalah teori biologis,
psikologis, dan sosiologis serta teori individu tertentu4seperti teori pilihan
rasional.5 Teori kriminologi dibuat agar kita dapat lebih memahami mengapa
orang berperilaku seperti itu dan bahwa dalam memahami alasannya, kita dapat
merespons tindakan ini secara lebih efektif. dan aktor yang melakukan tindakan
tersebut.6 Goerge B Vold menyebutkan teori adalah bagian dari suatu penjelasan
yang muncul manakala seseorang dihadapkan pada suatu gejala yang tidak
dimengerti. Sebagian orang yang mempelajari tentang kriminologi pasti
menyadari adanya hubungan antara narkoba dan sebab kejahatan tertentu. Telah
banyak kasus yang membuktikan bahwa mayoritas pelaku kejahatan serius
setidaknya dibawah pengaruh alkohol atau penyalahgunaan narkoba dalam
melakukan kejahatan tersebut.
Secara global, aktual dan representatif teori anomie lahir, tumbuh dan
berkembang berdasarkan kondisi sosial (social heritage) munculnya revolusi
industri hingga great depression di Prancis dan Eropa tahun 1930-an
menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek bagi individu dan lembaga
sosial/masyarakat.7 Pertama kalinya, istilah Anomie diperkenalkan Emile
Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of
anomie referred to on absence of social regulation normlessness). Kemudian
dalam buku The Division of Labor in Society (1893) Emile Durkheim
mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di
dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang
terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari
orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi.8
Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep anomie Emile
Durkheim untuk menjelaskan deviasi di Amerika. Menurut Robert K. Merton,

5
(Akers, 1999)
6
Dan Okada, “Criminological Theory and Crime Explanation,” Criminal Justice and Criminological
Paradigms (2015).
7
Emilia Susanti dan Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi (Bandar Lampung : AURA, 2018) hal. 80
8
Ibid hlm.28
konsep anomie diredefinisi sebagai ketidaksesuaian atau timbulnya
diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan institutional means sebagai akibat
cara masyarakat diatur (struktur masyarakat) karena adanya pembagian kelas.9
Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means.
Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan
membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan means
diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana
mencapai tujuan.10 Sehingga, Robert K. Merton membagi norma sosial berupa
tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable means)
untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perkembangan berikutnya, pengertian
anomie mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan-tujuan dan
sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Dalam pencapaian tujuan
tersebut, ternyata tidak setiap orang menggunakan sarana-sarana yang tersedia,
akan tetapi ada yang melakukan cara tidak sesuai dengan cara-cara yang telah
ditetapkan (illegitime means). Aspek ini dikarenakan, menurut Robert K. Merton,
struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-
perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal
dari kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam
mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi
(uper class). Robert.K.Merton mengemukakan lima cara mengatasi anomie dalam
setiap anggota kelompok masyarakat dengan tujuan yang membudaya (go` als)
dan cara yang melembaga (means). Kelima bentuk penyesuaian tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :11
1. Conformity (konformitas) adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat
tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat
karena adanya tekanan moral.
2. Innovation (inovasi) yaitu keadaan dimana tujuan dalam masyarakat diakui
dan dipelihara tetapi mengubah sarana-sarana yang dipergunakan untuk
mencapai tujuan tersebut.

9
Ibid hlm.28
10
Emilia Susanti dan Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi (Bandar Lampung : AURA, 2018) hal. 92
11
Loc.Cit I Gusti Ngurah Darwata, Terminologi Kriminologi, hal.13
3. Ritualism (ritualisme) yaitu keadaan dimana warga masyarakat menolak
tujuan yang telah ditetapkan namun sarana-sarana yang telah ditentukan tetap
dipilih.
4. Retreatism (penarikan diri) merupakan keadaan dimana para warga
masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah disediakan.
5. Rebellion (pemberontakan) adalah suatu keadaan dimana tujuan dan sarana
yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau
mengubah seluruhnya.
Selanjutnya, terdapat teori Labeling yang timbul pada awal tahun 1960-an
dan banyak dipengaruhi oleh aliran Chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya,
teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu :12
1. Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori
menggunakan perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
2. Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya
kejahatan, dengan menggunakan self report study yaitu interviu terhadap
pelaku kejahatan yang tidak tertangkap/tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the
Community dari Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh
Howard Becker (The Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of
Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human Deviance Social Problem and Social
Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971). Dari
perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua
aspek, yaitu :
1. Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap
atau label.
2. Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah
laku.
Sudah menjadi kesepakatan diantara para penganut teori label bahwa
proses pemberian label merupakan penyebab seseorang untuk menjadi jahat.
Menurut Romli Atmasasmita, terdapat dua konsep penting dalam teori ini, yaitu,

12
Emilia Susanti dan Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi (Bandar Lampung : AURA, 2018) hal.89
Primary Deviance: Ditujukan kepada perbuatan pentimpangan tingkah laku awal
serta Secondary Deviance Berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari
pengalaman seseorang sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat.
Sekali cap atau status ini dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang
bersangkutan untuk selanjutnya melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan
kemudian akan mengidentifikasikan dirinya dengan cap yang telah diberikan
masyarakat terhadap dirinya.
F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary
deviance) dan penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan
primer muncul dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan
hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya,
penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat
sikap diri dan peran sosial. Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang
atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer. Para ahli teori label
mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang paling penting,
karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan pelabel dan
pendekatan ini sering disebut teori interaksi.13
Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum
dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan
kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan
terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang
melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi
aksinya.14 Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori labeling meliputi
aspek-aspek :15
1. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
2. Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau
kelompok berkuasa;
3. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang
berkuasa ;

13
Emilia Susanti dan Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi (Bandar Lampung : AURA, 2018) hal.90
14
Loc. Cit Sulistyanta dan Maya Hehanusa, Hlm. 42
15
Emilia Susanti dan Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi (Bandar Lampung : AURA, 2018) hal.90
4. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena
ditetapkan demikian oleh penguasa.
5. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak
patut jika dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
Para pengguna narkoba melakukan kejahatan untuk membayar narkoba
mereka dan ini menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Selain itu, banyak
penjahat berada di bawah pengaruh obat-obatan saat melakukan kejahatan. Hal-
hal seperti ini akan menjadi kebiasaan dan mempengaruhi pemberantasan
kejahatan narkoba akan menjadi sesuatu yang sulit diwujudkan.
C. PEMBAHASAN
Kriminologi merupakan ilmu yang memiliki ruang lingkup kajian antara
lain;
a) Orang yang melakukan kejahatan;
b) Penyebab dilakukannya tindak pidana;
c) Mencegah kejahatan; dan
d) Cara merehabilitasi orang yang melakukan kejahata.
Dari pendalaman yang telah penulis lakukan, dapat ditemukan adanya
penelitian penelitian yang berkaitan dengan penyebab terjadinya kejahatan dan
alasan hal tersebut dapat bertahan di masyarakat. Berdasarkan kasus yang penulis
angkat terkait penyalahgunaan narkoba oleh para mahasiswa yang penulis temui
berkaitan dengan teori-teori kriminologi. Pada kasus itu terdapat beberapa macam
teori kriminologi yang memiliki korelasi dengan studi kasus yang telah dilakukan
oleh penulis tentang peredaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan
mahasiswa (remaja) berdasarkan pendekatan dan teori-teori kriminologi modern,
sebagai berikut:
a. Labeling Theory
Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi
aliran Chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai
beberapa spesifikasi, yaitu teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu.
Namun, teori menggunakan perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan
penjahat, dan teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya
kejahatan, dengan menggunakan self report study yaitu interviu terhadap pelaku
kejahatan yang tidak tertangkap/tidak diketahui polisi.Dalam teori pelabelan ini
membedakan tiga bentuk penyimpangan.16 Dalam kasus yang diangkat penulis
terdapat dua bentuk penyimpangan. Pertama, penyimpangan individu (individual
deviation), yaitu penyimpangan yang salah satunya disebabkan oleh tekanan
psikologis internal. Hal ini jelas dapat diketahui dari para mahasiswa yang
cenderung depresi atau lelah dengan padatnya aktivitas perkuliahan. Yang kedua
adalah deviasi situasional (situational deviation), yang merupakan akibat dari stres

16
Edwin M. Lemert, Labeling Theory Secondary Deviance, Criminolog. (Routledge, 2015).
atau tekanan dari situasi tersebut. Dalam hal ini stress terhadap lingkungan
kampus merupakan akibat dari tekanan psikologis yang dialami para mahasiswa.
F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance)
dan penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan primer muncul
dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai
efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer
tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial.
Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang atau peran sosial yang
berdasar pada penyimpangan primer. Para ahli teori label mengemukakan bahwa
penyimpangan sekunder adalah yang paling penting, karena merupakan proses
interaksi antara orang yang dilabel dengan pelabel dan pendekatan ini sering
disebut teori interaksi. Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara
pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan
perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku
itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi,
siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap
konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori
labeling meliputi aspek-aspek :
1. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
2. Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau
kelompok berkuasa;
3. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang
berkuasa ;
4. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan
demikian oleh penguasa.
5. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut
jika dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.
Dalam teori ini juga menjelaskan mengapa seseorang diberi label, ada dua
aspek yang dikemukakan oleh Howard S. Becker.17 Yang pertama adalah
menjelaskan mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi label. Para

17
Howard S. Becker, “Labelling Theory Reconsidered,” in Deviance and Social Control, 2018
mahasiswa tersebut tentunya dicap sebagai pecandu narkoba oleh beberapa warga
karena perbuatannya. Warga menganggap pecandu narkoba hanya bergaul dengan
pecandu narkoba. Yang kedua adalah efek label sebagai konsekuensi dari
penyimpangan perilaku. Hal ini menyebabkan mahasiswa
tersebut menjadi orang yang dijauhi oleh sebagian warga.
Sudah menjadi kesepakatan diantara para penganut teori label bahwa
proses pemberian label merupakan penyebab seseorang untuk menjadi jahat.
Menurut Romli Atmasasmita, terdapat dua konsep penting dalam teori ini, yaitu,
Primary Deviance: Ditujukan kepada perbuatan pentimpangan tingkah laku awal
serta Secondary Deviance Berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari
pengalaman seseorang sebagai akibat dari penangkapan dan cap sebagai penjahat.
Sekali cap atau status ini dilekatkan pada seseorang, maka sangat sulit orang yang
bersangkutan untuk selanjutnya melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan
kemudian akan mengidentifikasikan dirinya dengan cap yang telah diberikan
masyarakat terhadap dirinya.18
b. Anomie Theory
Durkheim dalam bukunya yang berjudul the Duvisuon of Labor In Society
(1893), menggunakan istilah anomie untuk menggambarkan keadaan
deregulation di dalam masyarakat.Keadaan deregulasi oleh Durkheim diartikan
sebagai tidak ditaatinya aturan-aturanyang terdapat dalam masyarakat dan orang
tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain. Keadaan deregulation atau
normlessness inilah yang menimbulkan perilaku deviasi. Pada tahun 1938 Merton
mengambil konsep anomi untuk menjelaskan perbuatan deviasi di amerika. Tetapi
konsep dari Merton berbeda dengan apa yang dipergunakan oleh
Durkheim.Menurut Merton, dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-tujuan
tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan
tersebut terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan. Tetapi dalam kenyataan
tidak setiap orang dapat menggunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini
menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Dengan
demikian akan timbul penyimpangan-penyimpangan dalam mencapai tujuan.

18
A. B. SMUSHKIN, “PRINCIPLES OF CRIMINOLOGY,” Actual Problems of Russian Law, no. 5 (2019).
Dalam perkembangan selanjutnya, Merton tidak lagi menekankan pada
tidak meratanya sarana-sarana yang tersedia, tetapi lebih menekankan pada
perbedaan-perbedaan struktur kesempatan. Dalam setiap masyarakat selalu
terdapat struktur sosial. Struktur sosial, yang berbentuk kelas-kelas, menyebabkan
adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Keadaan-
keadaan tersebut (tidak meratanya sarana-sarana serta perbedaan perbadaan
struktur kesempatan) akan menimbulkan frustasi di kalangan para warga yang
tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan.
Dengan demikian ketidakpuasan, konflik, frustasi dan penyimpangan
muncul karena tidak adanya kesempatan bagi mereka dalam mencapai tujuan.
Situasi ini akan menimbulkan keadaan di mana para warga tidak lagi mempunyai
ikatan yang kuat terhadap tujuanserta sarana-sarana atau kesempatan-kesempatan
yang terdapat dalam masyarakat.Secara global, aktual dan representatif teori
anomie lahir, tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi sosial (social heritage)
munculnya revolusi industri hingga great depression di Prancis dan Eropa tahun
1930-an menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek bagi individu dan lembaga
sosial/masyarakat. Perkembangan berikutnya, begitu pentingnya teori analisis
struktur sosial sangat dilatarbelakangi usaha New Deal Reform pemerintah
dengan fokus penyusunan kembali masyarakat. Untuk pertama kalinya, istilah
Anomie diperkenalkan Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan
tanpa norma (the concept of anomie referred to on absence of social regulation
normlessness). Kemudian dalam buku The Division of Labor in Society (1893)
Emile Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan
“deregulation” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya
aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang
diharapkan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi. Menurut Emile
Durkheim, teori anomie terdiri dari tiga perspektif, yaitu : Manusia adalah mahluk
sosial (man is social animal). Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human
being is a social animal). Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan
keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni
(tending to live in colonies, and his/her survival dependent upon moral
conextions).
Kemudian, istilah anomie dikemukakan Emile Durkheim dalam bukunya
Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri dalam masyarakat
merupakan akhir puncak dari anomie karena dua keadaan sosial berupa social
integration dan social regulation. Emile Durkheim mengemukakan bahwa bunuh
diri atau suicide berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu :
pertama deregulasi kebutuhan atau anomi, kedua regulasi yang keterlaluan atau
fatalism, ketiga kurangnya integrasi struktural atau egoisme. Hipotesis keempat
dari suicide menunjuk kepada proses sosialisasi dari seorang individu kepada
suatu nilai budaya altruistic mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan
bunuh diri. Hipotesis keempat ini bukan termasuk teori stress. Pada tahun 1938,
Robert K. Merton mengadopsi konsep anomie Emile Durkheim untuk
menjelaskan deviasi di Amerika. Teori anomie Robert K. Merton pada mulanya
mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada
struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi
terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk
itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan
kultural. Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural
melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-tujuan dan
kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan
means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai
sarana mencapai tujuan. Karena itu, Robert K. Merton membagi norma sosial
berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable
means) untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perkembangan berikutnya,
pengertian anomie mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan-tujuan
dan sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Dalam pencapaian tujuan
tersebut, ternyata tidak setiap orang menggunakan sarana-sarana yang tersedia,
akan tetapi ada yang melakukan cara tidak sesuai dengan cara-cara yang telah
ditetapkan (illegitime means). Aspek ini dikarenakan, menurut Robert K. Merton,
struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-
perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal
dari kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam
mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi
(uper class). Robert K. Merton mengemukakan lima cara mengatasi anomie dalam
setiap anggota kelompok masyarakat dengan tujuan yang membudaya (goals) dan
cara yang melembaga (means). Kelima bentuk penyesuaian tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut :
1. Conformity (konformitas) adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap
menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena
adanya tekanan moral.
2. Innovation (inovasi) yaitu keadaan dimana tujuan dalam masyarakat diakui dan
dipelihara tetapi mengubah sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai
tujuan tersebut.Kelima bentuk penyesuaian tersebut dapat diuraikan sebagai
beriku.
3. Ritualism (ritualisme) yaitu keadaan dimana warga masyarakat menolak tujuan
yang telah ditetapkan namun sarana-sarana yang telah ditentukan tetap dipilih.
4. Retreatism (penarikan diri) merupakan keadaan dimana para warga masyarakat
menolak tujuan dan sarana yang telah disediakan.
5. Rebellion (pemberontakan) adalah suatu keadaan dimana tujuan dan sarana
yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau
mengubah seluruhnya.
Berdasarkan skema penyesuaian diri Robert K. Merton di atas maka
inovasi, ritualisme, penarikan diri dan pemberontakan merupakan bentuk
penyesuaian diri yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Karena itu,
pengadaptasian yang gagal pada struktur sosial merupakan fokus dari teori Robert
K. Merton (Problems of acces to legitimate means of achieving the goals are the
focus of Anomie Theory). Sebagai sebuah teori, maka Anomie merupakan
golongan teori abstrak/macrotheoriess dalam klasifikasi teori positif Frank P. dan
Marilyn McShane, atau dengan melalui pendekatan teorinya secara sociological
(Frank Hagan). Teori anomie Robert K. Merton diperbaiki Cloward & Ohlin
(1959) dengan mengetengahkan teori differential opportunity. Cloward & Ohlin
mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat cara-cara untuk mencapai sukses, yaitu
cara yang disebutnya “legitimate dan illegitimate”. Sedangkan Robert K. Merton
hanya mengakui cara yang pertama.
Emile Durkheim mendefinisikan teori anomie adalah keadaan dimana
tidak adanya norma. Masyarakat pada tempat tersebut tidak mematuhi peraturan
atauhukum yang telah diberlakukan di tempat tersebut. Teori ini terbagi menjadi
tiga perspektif sebagai berikut:19
a. Manusia adalah makhluk sosial;
b. Eksistensi manusia sebagai makhluk sosial;
c. Manusia cenderung hidup bermasyarakat dan keberadaannya sangat
bergantung pada hal masyarakat tersebut.
Teori anomie atau strain mengusulkan bahwa ketika masyarakat dicirikan
oleh ketidakseimbangan dalam tatanan sosial mereka, itu menciptakan kondisi
yang menguntungkan bagi kejahatan dan penyimpangan.20 Seperti penggunaan
narkoba. Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah mengatur dengan jelas
larangan terkait penyalahgunaan narkoba. Namun masih banyak masyarakat yang
mengabaikan peraturan tersebut sehingga muncul situasi tanpa norma.21 Karena
sangat jelas bahwa kasus yang dialami para mahasiswa tersebut tidak sesuai
dengan norma yang ada baik peraturan kampus dan peraturan
perundang undangan yang telah diatur. Berdasarkan pendekatan kasus
menggunakan teori-teori kriminologi diatas, banyak para kriminolog mendukung
pandangan bahwa lingkungan tempat seseorang dibesarkan akan mempengaruhi
peluang mereka untuk melakukan kejahatan. Faktanya, kejahatan dewasa lebih
sering terjadi di kalangan remaja dimana mereka mampu memanfaatkan
perkembangan teknologi informasi satu sama lain. Faktor sosial sangat
mempengaruhi perkembangan kejahatan dalam hal ini penyalahgunaan narkoba di

19
J. Mitchell Miller and Holly Ventura Miller, “Sociological Criminology and Drug Use: A Review of
Leading Theories,” in The Nurture Versus Biosocial Debate in Criminology: On the Origins of Criminal
Behavior and Criminality, 2014.
20
Christian Wickert, “ Anomie/ strain theories ” , https://soztheo.de/theories-of-crime/anomie-strain-
theories/?lang=en , diakses pada hari Sabtu(11/06/22) pada pukul 12.34 WIB
21
M. D. Williams III, F. P., & McShane, Criminological Theory (Englewood Cliffs: New Jerseyn Printice
Hall, 1988).
kalangan mahasiswa. Selanjutnya, masih terdapat sejumlah teori lain yang telah
dikemukakan namun tidak disertakan dalam tulisan ini.
D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Kriminologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang
kejahatan yang didalamnya membahas tentang bagaimana suatu kejahatan
muncul,bagaimana pola suatu kejahatan, dan juga bagaimana cara
penanggulangannya. Tulisan ini mengkaji penggunaan narkoba di kalangan
mahasiswa dengan menggunakan teori-teori kriminologi modern. Hasil dari
tulisan ini menunjukkan bahwa Labeling Theory, dan Anomie /Strain Theory
masih merupakan pendekatan yang kuat dan konsisten dari kemungkinan perilaku
penggunaan narkoba mahasiswa atau pelajar. Analisis ini juga menjabarkan sebab
penggunaan narkoba para mahasiswa di Indonesia tersebut dengan teori modern
tentang perilaku menyimpang (deviant) dapat diterapkan atau dapat diterapkan
dengan cara yang sama ketika mempertimbangkan tren baru dalam perilaku
penggunaan narkoba pelajar zaman sekarang. Namun, teori dan pendekatan
kriminologis yang digunakan disini untuk mempelajari studi kasus penggunaan
narkoba oleh mahasiswa di Indonesia sendiri masih terbatas. Tulisan ini hanya
berfokus hanya pada penggunaan narkoba sebagai perilaku menyimpang tanpa
mempertimbangkan faktor genetika, epidemiologi, studi kecanduan, dan praktik
klinis lainnya dalam rangka pemahaman tentang perilaku penggunaan narkoba
secara lebih holistik
b. Saran
Seiring perkembangan teknologi dan globalisasi, ternyata menjadi pemicu
terjadinya perluasan serta peningkatan kasus narkoba di Indonesia.Di Indonesia,
kasus penyalahgunaan narkoba semakin maraknya terjadi. Tindak kejahatan ini
telah menjalar ke berbagai lapisan masyarakat, dari kalangan sosial ekonomi
tingkat menegah bawah hingga tingkat sosial ekonomi atas. Pada masa sekarang,
internet membuat komunikasi antar pengguna, pengedar, pemasok dapat semakin
mudah dan cepat. Untuk masa depan yang lebih baik bagi penerus bangsa
Indonesia, diharapkan agar pemerintah lebih memperhatikan para gen z terutama
terkait dalam kejahatan penyalahgunaan narkoba. Karena seperti yang dilihat
fakta saat ini bahwa maraknya globalisasi dan perkembangan teknologi, semakin
memicu akan penyalahgunaan narkoba di berbagai kalangan. Penulis percaya
bahwa teori kriminologi diatas sudah cukup penting karena memberikan dasar
yang baik untuk memahami kontributor para mahasiswa dan lingkungannya untuk
kejahatan tersebut. Tetapi penulis juga percaya bahwa sosiolog dan kriminolog
harus bekerjasama menuju pendekatan yang lebih interdisiplin untuk studi kasus
penyalahgunaan narkoba pada generasi muda di masa depan.
DAFTAR PUSTAKA
Humas BNN, “ Gebrakan War on Drugs Awal Tahun BNN RI Ungkap Ratusan
Kilogram Sabu dan Belasan Ribu Ektasi ” https://bnn.go.id/gebrakan-war-
drugs-awal-tahun-bnn-ri-ungkap/, Diakses pada Jum’at (10/6/2022), 14.55
WIB
Valentina Lusia Sinta Herindrasti, “Drug-Free ASEAN 2025: Tantangan
Indonesia Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba,” Jurnal
Hubungan Internasional 7, no. 1 (2018).
AKERS, RONALD L. “Social Learning and Social Structure:” Theoretical
Criminology3, no. 4 (1999).
Akers, Ronald L., and Christine S. Sellers. “Social Learning Theory.” In The
Oxford Handbook of Juvenile Crime and Juvenile Justice, 2011.
Becker, Howard S. “Labelling Theory Reconsidered.” In Deviance and Social
Control, 2018.
Collins, J. J., & Messerschmidt, P. M. “Epidemiology of Alcohol-Related
Violence.” Alcohol Health & Research World 17, no. 2 (1993): 93–100.
Edwin H. Sutherland. Azas-Azas Kriminologi. VII. Bandung: Alumni, 1969.
Ensminger, Margaret E., James C. Anthony, and Joan McCord. “The Inner City
and Drug Use: Initial Findings from an Epidemiological Study.” Drug and
Alcohol.
Christian Wickert, “ Anomie/ strain theories ” , https://soztheo.de/theories-of-
crime/anomie-strain-theories/?lang=en , diakses pada hari Sabtu(11/06/22)
pada pukul 12.34 WIB.
(Akers, 1999)
Dan Okada, “Criminological Theory and Crime Explanation,” Criminal Justice
and Criminological Paradigms (2015).
Emilia Susanti dan Eko Rahardjo, Hukum dan Kriminologi (Bandar Lampung :
AURA, 2018)
M. D. Williams III, F. P., & McShane, Criminological Theory (Englewood Cliffs:
New Jerseyn Printice Hall, 1988).

Anda mungkin juga menyukai