menjadi pijakan kita untuk meraih hal yang lebih baik. Pijakan yang kita buat adalah pijakan
yang kokoh dan kuat, sebab kalau kita berpijak pada pijakan yang rapuh (berasal dari kepurapuraan) akan membuat kita jatuh dan kita akan mengalami kehancuran.
Pada dasarnya semua manusia akan cenderung kepada kebaikan, hanya kita sering tidak
mendengarkan hati nurani kita sendiri, kita abaikan seruan hati nurani dengan membuat
pembenaran-pembenaran terhadap perbuatan buruk yang kita lakukan.
Contoh sederhana tentang kesadaran diri:
Ada seorang siswa, dia menyadari betul bahwa dirinya berasal dari keluarga tidak mampu.
Dia sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk bisa sekolah walaupun dia sebelumnya
harus mengurus SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) dari desa/kelurahan agar bisa
mendapatkan keringanan biaya dari sekolah dan bisa diajukan beasiswa. Dia menghargai
betul jerih payah kedua orangtuanya untuk membiayai dia sekolah. Maka tumbuhlah
tekadnya dalam hati bahwa dia akan bersungguh-sungguh dalam belajar, dia tidak akan
menyia-nyiakan waktunya untuk hal-hal yang sia-sia. Belajar dan terus belajar sehingga dia
menjadi siswa berprestasi. Dia tidak minta yang macam-macam kepada orangtuanya apalagi
yang tidak berhubungan langsung dengan pendidikan, karena itu tadi dia sudah memiliki
kesadaran siapa dirinya, bagaimana keadaan orangtuanya. Dia tidak minta HP, tidak minta
sepatu atau tas yang mahal, tidak minta uang jajan yang banyak apalagi minta dibelikan
sepeda motor. Sekali lagi karena dia memiliki kesadaran diri. Malah yang ada mungkin dia
berusaha sendiri mencari pekerjaan part time (paruh waktu) untuk mendapatkan uang
tambahan untuk sekedar bisa membeli buku-buku pelajaran atau di sekolah dia nyambi jualan
yang kira-kira tidak mengganggu tugas utamanya untuk belajar. Tidak ada istilah gengsi
untuk hal-hal yang positif. Sebaliknya siswa yang tidak memiliki kesadaran diri, dia tahu
dirinya berasal dari keluarga tidak mampu tetapi tetap ingin tampil seolah-olah dia dari
keluarga mampu. Dia berusaha menutupi keadaan dirinya yang sebenarnya. Dia memaksa
kepada orangtuanya untuk dibelikan macam-macam di luar kemampuan orangtuanya. Minta
dibelikan HP atau motor. Kalau tidak dituruti dia akan mogok sekolah, sering bolos dan
melakukan hal-hal yang negatif lainnya. Atau mungkin dia berusaha mencari uang sendiri
tapi dengan jalan tidak halal karena yang penting uangnya besar sehingga dia bisa tampil
hebat di hadapan teman-temannya. Amat berbahaya apabila terjadi demikian. Kesadaran diri
itu sangat penting.
Contoh lain: Seorang siswa yang memiliki kesadaran diri. Dia sadar bahwa dirinya memiliki
kekurangan yaitu lambat dalam menerima pelajaran. Dengan kesadarannya itu dia berusaha
dengan sangat gigih bahwa dia tidak boleh ketinggalan dari teman-temannya. Dia belajar dan
terus belajar. Temannya membaca cukup satu kali, dia akan membaca 10 kali atau bahkan
seratus kali. Bisa diumpamakan, temannya melangkah dia lakukan dengan berjalan,
temannya berjalan dia lakukan dengan berlari dan seterusnya. Dia banyak bertanya baik
kepada guru, teman, atau saudara. Akhirnya yang tadinya dia tidak bisa menjadi bisa, yang
tadinya tidak mengerti menjadi mengerti. Sebaliknya siswa yang lambat menerima pelajaran
tapi tidak memiliki kesadaran diri, dia akan mencari jalan pintas dengan menyontek ketika
ulangan atau menyalin pekerjaan orang lain apabila ada Pekerjaan Rumah (PR) atau tugas
dari guru. Dia tidak akan menjadi siswa yang berilmu pengetahuan tinggi dan berprestasi.
Satu contoh lagi:
Seorang siswa anak tokoh masyarakat atau pejabat yang sangat disegani dan dihormati.
Apabila siswa tersebut memiliki kesadaran diri maka dia akan berperilaku yang baik dalam
kesehariannya. Dia mencoba menyelaraskan dirinya dengan ketokohan Bapaknya. Dia
menyadari betul kalau dia berperilaku buruk akan berdampak pada citra orangtuanya, akan
mencemarkan nama baik orang tuanya. Dia bahkan akan berusaha menjadi teladan bagi
teman-temannya yang lain. Sebaliknya siswa yang anak tokoh masyarakat atau pejabat tadi
tidak memiliki kesadaran diri, dia justru akan berperilaku seenaknya sendiri mentangmentang anak pejabat, dia mengganggap akan kebal hukum atau tidak akan ada yang berani
menegur dirinya. Maka dia akan menjadi anak yang sombong yang pada akhirnya akan
dijauhi teman-temannya.Bagaimana caranya seorang pendidik menumbuhkan kesadaran diri
siswa tersebut? Diantaranya dengan cara menjadi contoh yang baik bagi siswa-siswanya,
berkomunikasi yang baik dengan siswa, banyak bercerita tentang tokoh-tokoh teladan. Mau
mendengarkan sekaligus memberikan nasehat yang baik bagi siswa-siswa yang bermasalah,
selalu mengaitkan pelajaran yang kita berikan dengan nilai-nilai agama dan masih banyak
lagi cara yang lain. Tugas guru bukan hanya mengajar, tapi justru tugas mendidik yang lebih
berat. Transfer of knowledge and transfer of value. Semoga kita diberi kekuatan untuk terus
menjalankan tugas yang mulia ini. Amiin.
Penulis adalah Guru di SMA Negeri 1 Banjarsari,Jln. Raya KM.3 Banjarsari Ciamis 46383.
E-mail: herlinalinlin@yahoo.co.id
serius untuk menangani isu-isu konflik yang menyebabkan terjadinya kekerasan di dunia
pendidikan. Konflik tidak dapat dihindarkan sehingga harus dikelola agar keadaan menjadi
lebih baik. Kita menyaksikan bahwa pendidikan selama ini didesain hanya untuk
mengajarkan keterampilan-keterampilan di bidang akademik sehingga segala persoalan di
luar akademik tidak menjadi bagian dari evaluasi.
Berbicara tentang kesadaran kolektif merupakan urgensi yang terus menerus mengalami
degradasi. Cukup sulit menjadi pemicu kesadaran kolektif, khususnya pada dunia pendidikan.
Tawaran pada konsep (tekstual), banyak pihak mengklaim memiliki cara jitu dalam
membangun kesadaran kolektif, namun tataran priktiknya kita nihil dalam menjadi penggagas
kesadaran universal tersebut. penyebab sulitnya menumbahkan kesadaran kolektif terhadap
konsep pendidikan karena banyak orang tidak merasa menjadi bagian dalam pemicu
kesadaran tersebut. Contoh misalnya, pelaku bisnis yang pada jam sekolah membiarkan siswa
bermain di warnet, di rental playstation, dan lainnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/satria123/refleksi-dunia-pendidikankita_573f01e651f9fdcb07557411
Perkelahian antar pelajar merupakan perbuatan yang dilakukan pelajar dengan beramairamai baik dilakukan secara memukul, menendang, menusuk dengan pisau tumpul dan benda
tajam yang mana dapat mengakibatkan rasa derita pada korban.
Berdasarkan data KPAI jumlah kekerasan antar siswa meningkat tiap tahunnya. Pada tahun
2013 terjadi 255 kasus kekerasan yang menewaskan 20 siswa di seluruh Indonesia.
Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak tahun 2014 menerima kasus sebanyak 2.737,
bahkan Komnas PA (Perlindungan Anak), memprediksi tahun 2015 angka kekerasan dengan
perilaku anak-anak dan tawuran antar siswa akan meningkat sekitar 12 18 persen (Liputan
Pendidikan Indonesia).
Kasus perkelahian antar pelajar mulai beredar diberbagai daerah salah satunya terjadi di
daerah Kendari Sulawesi Tenggara.
Analisis sosial berdasarkan sumber buku dari DR. Sofyan S. Wilis (2005), dengan judul
Remaja dan Masalahnya, dijelaskan faktor penyebab dari perkelahian antar pelajar adalah.
Pertama adalah faktor dalam diri pelajar yaitu lemahnya pertahanan diri, kurangnya
kemampuan dalam menyesuaikan diri dan kurangnya dasar-dasar keimanan dalam diri
pelajar.
Faktor kedua adalah keluarga, yaitu kurangnya perhatian orang tua dalam membimbing anak,
keluarga yang tidak harmonis, perhatian orang tua yang terlalu berlebihan dengan
memanjakan anak sehingga menjadikan anak bertindak semaunya.
Ketiga, faktor lingkungan sosial yang tidak kondusif yaitu pengaruh lingkungan pergaulan
yang buruk ditambah kontrol sosial dan kontrol diri yang semakin lemah menjadikan seorang
anak sering membuat keributan dan senang berkelahi. Keempat, faktor lingkungan sekolah
berupa tindakan guru dan fasilitas pendidikan.
Kepribadian guru yang buruk dapat dipastikan akan menular kepada anak didik, seperti yang
diungkapkan oleh ahli psikohigenis Bernard dalam Sofyan S. Wilis (2005), bahwa:
Teacher personality is contagious, if he is tense, irritable, dominating or careless, the pupil
will show the evidence of tension, crossness and lack of social grace and will produce
slovenly work.
Artinya, perilaku guru yang buruk seperti tegang, marah, mudah tersinggung, menguasai
murid, maka para murid akan tertular oleh sifat dan perilaku guru tersebut. Dalam hal ini
secara sosiologis terdapat bentuk interaksi simbolik yang digambarkan melalui tingkah laku
seorang guru dimana tindakan tersebut dapat dijadikan cerminan kepribadian dari siswa.
Kekurangan fasilitas pendidikan juga merupakan salah satu sumber dari gangguan pendidikan
yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai tingkah laku negatif dimana menjadikan siswa
untuk dapat keluar dari lingkungan sekolah dengan bertindak semaunya salah satunya dengan
membuat kegaduhan.
Fenomena perkelahian antar pelajar dalam konteks sosiologis terjadi karena motif ingin
menunjukkan rasa solidaritas dan proses pencarian jati diri serta kemungkinan adanya
gangguan psikologis dalam diri siswa. Perkelahian antar pelajar dilatarbelakangi karena siswa
merasa menjadi satu golongan yang dapat membela teman atau membela sekolahnya
Fenomena ini dalam pandangan Emile Durkheim menyebutnya sebagai kesadaran kolektif
yang mana dalam kelompok siswa terjadi konflik antara dua atau tiga siswa dari sekolah atau
gank yang berbeda dapat berimbas pada tawuran antar pelajar yang melibatkan puluhan siswa
dari sekolah yang berbeda atau kelompok yang berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa
pelajar.
elain itu George Ritzer juga menganalisis penyebab dari perkelahian antar pelajar dengan
pandangannya mengenai interaksi simbolik dimana simbol yang dikemukakan mengandung
makna atau tertentu, misalnya pelajar yang berkelahi karena mereka ingin memberikan label
kepada sekolah mereka bahwa sekolah merekalah yang terkuat dan tidak akan dianggap
remeh oleh sekolah lainnya.
Kartini Kartono (1986), menjelaskan landasan dari penyebab perkelahian antar pelajar dapat
disalurkan dalam berbagai analisis kajian lingkup teori yakni, pertama, teori biologis dimana
lebih menekankan pada faktor nature sebagai penentu perkembangan manusia kematangan,
dasar-dasar biologis perilaku dan proses mental.
Kedua, teori psikologis yaitu menekankan sabab-sebab tingkah laku anak dari aspek
psikologis dan isi kejiwaannya antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi,
sikap-sikap yang salah, fantasi, resonalisasi yang keliru, konflik batin, emosi yang
kontroversi dan kecenderungan psikologis.
Ketiga, teori sosiogenesis yaitu tingkah laku pada anak-anak remaja ini adalah murni
sosiologis atau sosial-psikologis misalnya disebabkan oleh pengaruh stuktur sosial yang
deviatif, tekanan kolompok, peran sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru
maka faktor-faktor kultural dalam sosial itu sangat mempengaruhi, status individu ditengah
kelompoknya, partisipasi sosial dan pendefinisian diri atau konsep diri.
Empat, teori sub-kultur yaitu terkait dengan sistem nilai dan kepercayaan atau keyakinan,
berupa ambisi materil, hidup bersantai, pola kriminal, relasi hetero seksual bebas yang
memotivasi timbulnya kolompok-kelompok remaja berandal dan kriminal, sedangkan
perangsangnya adalah mendapatkan status sosial terhormat ditengah kelompoknya, prestise
sosial, relasi sosial dan hadiah-hadiah materil lainnya.
Dalam analisa sosial fenomena perkelahian antar pelajar mudaratnya sangat berdampak buruk
pada berbagai pihak antara lain bagi pelajar itu sendiri, keluarga, sekolah maupun
masyarakat. Bagi para pelajar dampak yang diperoleh adalah akan dijauhi teman,
menimbulkan luka fisik dan tindak pidana jika mengakibatkan luka fisik maupun kematian
pada seseorang.
Bagi keluarga yaitu rasa malu terhadap tetangga karena ulah salah satu anggota keluarga
selain itu keluarga mendapat teguran dari pihak sekolah dan masyarakat maupun kepolisian
serta pihak keluarga akan melakukan ganti rugi berupa materil jika terjadi kerusakan.
Bagi Sekolah dampak yang diperoleh adalah kerugian materil seperti rusaknya gedung
sekolah maupun peralatan lain akibat dari pelemparan benda dari pihak lain dan
kerugian yang menyangkut nama baik sekolah dalam lingkungan masyarakat maupun aparat
keamanan yakni timbulnya kesan sekolah urakan dan menjadi pengawasan dari pihak yang
berwajib, sementara dampak yang didapat oleh masyarakat adalah terganggunya ketertiban
dan keamanan lingkungan sekitarnya.
Solusi untuk menangani fenomena perkelahian antar pelajar yakni dapat dilakukan dengan
penyaluran bentuk partisipasi dari berbagai pihak yaitu keluarga sebagai pendidikan awal
untuk anak, pendidikan sekolah maupun masyarakat.
Pada lingkungan keluarga orang tua menciptakan kehidupan rumah tangga yang beragama,
dan keluarga yang harmonis, adanya kesamaan norma-norma yang dipegang antara ayah dan
ibu juga keluarga lainnya dalam rumah tangga untuk mendidik anak, memberikan kasih
sayang secara wajar kepada anak, memberikan perhatian yang memadai terhadap kebutuhan
anak dan pengawasan secara wajar terhadap pergaulan anak.
Peran lingkungan sekolah adalah memberikan pengawasan secara wajar terhadap pergaulan
anak, memberikan pendidikan moral untuk para pelajar, mengintensifikasikan pelajaran
agama bagi pelajar, mengintensifikasikan bagian bimbingan konseling dengan cara
mengadakan tenaga ahli.
Juga adanya kesamaan norma-norma yang dipegang oleh guru yang akan menimbulkan
kekompakan dalam membimbing murid sehingga dapat memunculkan kewibawaan guru
dimata murid-murid sekaligus memperkecil timbulnya kenakalan dan terakhir melengkapi
fasilitas sekolah seperti gedung laboratorium, masjid, alat pelajaran, alat olah raga, kesenian
dan alat keterampilan sebagai media pembelajaran yang digunakan oleh siswa.
Sementara pada lingkungan masyarakat yaitu mengadakan kegiatan kemasyarakatan yang
positif untuk membantu tercapainya tujuan pendidikan yang baik seperti organisasi karang
taruna, organisasi olahraga dan organisasi dalam bentuk keagamaan sebagai pembentuk
kepribadian anak.
Sementara penjelasan dari Kartini kartono (1986), cara untuk mengurangi perkelahian antar
pelajar yaitu: 1). Banyak mawas diri untuk melihat kelemahan dan kekurangan sendiri dan
melakukan koreksi terhadap kekeliruan yang sifatnya tidak mendidik dan tidak menuntun. 2).
Memberikan kesempatan kepada remaja untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan
sehat. 3). Memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang relevan dengan kebutuhan
pelajar zaman sekarang serta kaitannya dengan perkembangan bakat dan potensi pelajar.
Penulis menyampaikan kepada anak muda dalam hal ini pelajar bahwa telitilah setiap
tindakan yang dilakukan, janganlah mudah terprovokasi agar tidak terjadi hal-hal yang
berakibat fatal pada diri anda sekalian dan belajarlah dengan sungguh-sungguh untuk
menopang dari cita-cita yang diharapkan. #LombaEsaiKemanusiaan
Sumber Bacaan
Berita antara SULTRA.com
Indonesian review.com
Kartono, Kartini. 1986. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Rajawali. Jakarta.
Wilis, Sofyan S. 2005. Remaja dan Masalahnya. Alfabeta. Bandung.