Proses Seni Pertunjukan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 7

NAMA

: SANDIKA ARIS NUGROHO

NIM

: C0514052

JURUSAN

: ILMU SEJARAH

KELAS

:B

Soal:
Bagaimana munculnya proses karya seni dan kaitannya dengan munculnya sejarah seni
pertunjukan itu sendiri?
Jawab:
Berbagai pengamat ahli seni telah mencoba mengulas dan menyusun suatu definisi
tentang batasan dan pengertian arti kata seni , namun hingga kini belum satupun yang
dirasakan tepat. Pendapat tentang suatu pengertian seni terus berkembang sesuai dengan pola
pikir dan sudut pandang seseorang.
Seni tumbuh dan muncul ketika perasaan didorong untuk menyatakan pengalamanpengalaman kepada orang lain. Seni dapat tumbuh dan muncul karena dorongan perasaan dan
emosi guna membagi berbagai wawasan, ide gagasan, atau perasaan dan pengalaman kepada
orang lain.
Dalam proses menuju penciptaan karya seni banyak dilakukan kreator yang
menentukan pendekatan ide gagasannya, misalnya dengan coretan pada lembaran kertas atau
mencoba menyimpulkan dan menambah bila merasa kurang, ada juga yang langsung
menuangkan ide pikiran untuk menentukan hasil karyanya seperti seni pertunjukan.
Untuk mengamati perkembangan seni pertunjukan Indonesia dari masa lampau
sampai ke Era Globalisasi, diperlukan penelusuran sejarahnya sejak Masa Prasejarah sampai
ke masa sekarang ini. Cara yang demikian ini tidaklah berarti bahwa kita harus menoleh ke
belakang saja tanpa memiliki tujuan ke arah masa depan. Namun justru dengan melihat
perkembangan seni pertunjukan Indonesia di masa silam, akan dapat diketahui pasang
surutnya berbagai bentuk seni pertunjukan.
1. Masa Prasejarah
Pada masa Prasejarah yang berlangsung dari ratusan tahun sebelum tarikh masehi
sampai pada abag pertama masehi, diperkirakan seni pertunjukan Indonesia telah
mengalami perkembangan yang baik. Memang, peninggalan-peninggalan dari masa itu
yang sampai kepada kita tidak begitu banyak, itupun yang bisa kita amati hanyalah yang

berupa benda-benda peninggalan arkeologi yang terkait dengan upacara penyembahan


kepada roh nenek moyang, kepercayaan, animisme, serta kepercayaan kepada binatang
totem.
Berutuk
Walaupun secara arkeologis benda-benda peninggalan Masa Prasejarah itu
sudah sangat tua sampai mencapai ribuan tahun, tetapi kadang-kadang oleh
masyarakat yang mewarisinya sampai kini sering mendapat interprestasi baru.
Sebagai contoh adalah sebuah patung besar dari batu yang sebenarnya merupakan
peninggalan Zaman Megalitithikum yang terdapat di desa Trunyan Bali. Namun
demikian patung seorang lelaki dari batu dengan pahatan kasar itu mendapat tempat
yang sangat terhormat di kalangan penduduk Trunyan. Patung itu menurut
kepercayaan masyarakat Trunyan sebenarnya merupakan pemeluk Hindu dan
dianggap sebagai nenek moyang yang disebut Batara Berutuk dengan nama
kehormatan Ratu Sakti Pancering Jagat.
Tokoh kepercayaan yang dianggap sebagai moyang masyarakat Trunyan itu
benar-benar mendapat penghormatan yang sangat besar pada sebuah upacara
keagamaan yang sangat akbar yang disebut Ngusaba Gede Kapat Lanang. Upacara
keagamaan yang sangat akbar itu berupa pertunjukan drama pantomim bertopeng dan

dimainkan dalam jumlah ganjil maksimalnya 21 orang pria.


Gordang Sembilan
Dalam sejarah sebenarnya Sumatra Utara pernah pula mendapat pengaruh
Budaya Hindu. Peninggalan-peninggalan pengaruh masa Kebudayaan Hindu di
Sumatra Utara bisa di cermati dari reruntuhan sembilan candi Hindu dan Buddha.
Hanya saja peninggalan Masa Hindu itu oleh sebagian masyarakat Batak terutama
Batak Mandailing dianggapnya sebagai rumah nenek moyang mereka.
Salah satu bentuk seni pertunjukan yang sangat menarik untuk di ketengahkan
adalah ansambel musik gordang atau gondang yang sangat mengutamakan melodi
yang dihasilkan oleh sejumlah instrumen gendang (gordang atau gondang).
Masyarakat Batak Mandailing yang mendiami wilayah Tapanuli Selatan
merupakan masyarakat yang memeluk agama Islam, tetapi yang terpadu dengan
kepercayaan Masa Prasejarah yaitu kepercayaan animisme dan penyembahan
terhadap roh nenek moyang. Dalam bidang seni pertunjukan ternyata masyarakat
Batak Mandailing masih melestarikan warisan tradisi lama mereka. Kehadiran
ansambel musik Gordang Sembilan pada masyarakat Batak Mandailing yang fungsi
utamanya adalah untuk mengundang roh nenek moyang itu jelas bahwa budaya musik
ini merupakan peninggalan tradisi dari masa Pra-Hindu atau masa Prasejarah.

2. Masa Pengaruh Hindu


Kontak dengan kebudayaan Hindu yang berasal dari India telah menghasilkan
kekayaan seni Indonesia yang luar biasa, oleh karena agama Hindu dan Buddha selalu
melibatkan seni dalam upacara-upacara keagamaanya. Pengaruh seni yang sangat
mendalam bermula terjadi di Jawa, Sumatra, Bali, bahkan juga sampai ke sebagian
Kalimantan.
Bedhaya Ketawang
Tari Bedhaya di istana-istana Surakarta dan Yogyakarta yang dibawakan oleh
sembilan penari wanita merupakan tari upacara yang konon dianggap sakral. Letak
kesakralan itu antara lain terletak pada jumlah penari yang sembilan yang bisa
dihubungkan dengan kosmologi Hindu. Dalam kosmologi India angka ini
melambangkan sembilan arah angin atau sembilan dewa penjaga mata angin.
Pada masyarakat Bali yang beragama Hindu Dharma pedanda (rokhaniwan)
serta pemangku (pengelola pura) ketika memimpin sebuah upacara pertama kali harus
mempersembahkan sesaji kepada Nawa Sanga, yaitu dewa-dewa kesembilan mata
angin. Ke sembilan dewa mata angin itu adalah : 1. Wisnu (Utara), 2. Sambu (Timur
Laut), 3. Iswara (Timur), 4. Mahesora (Tenggara), 5. Brahma (Selatan), 6. Rudra
(Barat Daya), 7. Mahadewa (Barat), 8. Sengkara (Barat Laut), 9. Siwa (Tengah).
Maksud utama dari penyelenggaraan Tari Bedhaya adalah untuk menjaga
keseimbangan alam atau jagat raya, yaitu keseimbangan antara mikro kosmos dengan
makro kosmos.
Oleh kalangan istana jawa jumlah penari Bedhaya yang sembilan itu kadangkadang juga dikaitkan dengan faham kejawen. Dikatakan bahwa jumlah sembilan
melambangkan jumlah lubang yang terdapat pada tubuh manusia itu adalah: satu
mulut, dua mata, dua lubang hidung, dua lubang telinga, satu dubur, dan satu kelamin.
Apabila seseorang yang bisa nutupi babahan nawa sanga yang berarti menutup
sembilan lubang dia akan menjadi manusia yang sempurna, oleh karena itu ia
mampu mengekang kesembilan hawa nafsunya.
Diantara tari Bedhaya yang dianggap sangat sakral adalah Bedhaya Ketawang
dari Keraton Surakarta. Tari ini oleh kalangan Keraton Surakarta dianggap sebagai
tari yang sangat keramat, oleh karena menggambarkan pertemuan antara antara Sultan
Agung atau Susuhunan yang sedang memerintah dengan Kanjeng Rati Kencansari
atau Kanjeng Ratu Kidul. Tema percintaan antara Raja Jawa dengan Penguasa Laut
Selatan ini memiliki latar belakang politik yang sangat dalam

Seni pertunjukan Bedhaya Ketawang di istana Surakarta selain memiliki


kepentingan politik, cara pelaksanaannya juga merupakan meditasi yang dilakukan
oleh Susuhunan. Hal ini bisa dicermati lewat kehadiran Susuhunan yang duduk
sendirian di Pendapa Sasana Sewaka dengan dihadap oleh pejabat tinggi negara, serta
dikelilingi oleh berbagai benda upacara. Meditasi ini merupakan meditasi resmi
kenegaraan, hingga kehadiran pejabat negara itu tidak lain sebagai jemaah dalam
upacara itu. Dengan demikian sampai tahun 1945 Bedhaya Ketawang selain memiliki
makna politis dan kulural, juga memiliki makna mistis.
3. Masa Pengaruh Islam
Pengaruh budaya Islam mulai tampak jelas di Indonesia sejak abad ke-13 dan
berkembang dengan pesat sekali sampai abad ke-18. Berbeda dengan agama Hindu yang
merupakan agama yang memiliki stratifikasi sosial yang berbentuk kasta-kasta, agama
Islam sangat demokratis. Akibatnya, agama ini cepat sekali berkembang luas di semua
lapisan masyarakat. Hampir setiap sudut di kepulauan Indonesia tersentuh oleh agama
baru ini. Namun perlu dicatat bahwa agama ini tidak melibatkan semua bentuk seni dalam
ibadah-ibadahnya.
Oleh karena proses pembentukan sebuah produk budaya termasuk seni pertunjukan
pada umumnya melewati proses akumulasi selektif wilayah-wilayah Indonesia yang
budaya Islamnya sangat menonjol adalah daerah-daerah yang ketika agama Islam masuk,
kebudayaan Hindu tidak berkembang atau telah mengalami kemerosotan.
Wayang Kulit Sasak
Pertunjukan wayang kulit yang merupakan tradisi Jawa dan Bali yang sangat
memasyarakat ini ternyata juga berkembang di kalangan masyarakat Sasak di
Lombok. Hanya saja, berbeda dengan lakon-lakon yang banyak mewarnai pergelaran
wayang kulit di Jawa dan Bali yang pada umumnya mengambil dari wiracarita
Mahabrata dan Ramayana, wayang kulit sasak selalu menampilkan lakon-lakon yang
bersumber dari Serat Menak. Lakon-lakon dari cerita Menak ini merupakan lakonlakon yang selalu menggambarkan kepahlawanan seorang tokoh pahlawan dari negeri
Arab sebelum berkembangnya agama Islam. Tokoh ini dikenal dengan berbagai nama,
namun di Lombok tokoh yang paling terkenal adalah Jayengrana.
Pertunjukan wayang kulit Sasak berkembang dengan baik di Lombok pada
perempat pertama abad ke-20 sampai menjelang pecahnya pemberontakan PKI pada
tahun 1965. Semula pertunjukan ini berfungsi sebagai media penyebaran agama
Islam.

4. Masa Pengaruh Barat


Pengaruh Barat (Eropa) yang berawal sejak datangnya para pedagang portugis yang
kemudian disusul dengan hadirnya orang-orang Belanda pada kahir abad ke-16, sampai
sekarang bisa kita saksikan dalam berbagai bentuk seni. Pengaruh itu terdapat di kotakota besar dan istana-istana kerajaan. Dalam bidang seni pertunjukan pengaruh itu sampai
sekarang masih tampak dengan jelas dalam bidang musik dan teater manusia.
Musik Nasional
Pengaruh Barat terhadap musik sangat menonjol. Tangga nada diatonis yang
berasal dari Barat bukan saja menghadirkan perpaduan antara Timur dan Barat, akan
tetapi justru tangga nada inilah yang mendasari terciptanya musik nasional Indonesia.
Di istana-istana Jawa Tengah (termasuk DIY) musik Barat juga menyusup ke
ansambel gamelan. Dalam beberapa komposisi gendhing atau lagu yang mengiringi
tari putri bedhaya atau srimpi dari Keraton Yogyakarta menyusup beberapa instrumen
musik Barat seperti genderang, trombon, terompet, dan kadang-kadang juga klarinet.
Awal pembentukan musik nasional terjadi ketika para pemuda Indonesia
melakukan gerakan untuk membebaskan diri dari kaum penjajah Belanda serta
gerakan untuk menciptakan kebudayaan nasional. Gerakan yang terjadi pada tahun
1920-an ini dibidang musik mengarah kepada upaya untuk menciptakan musik yang
tidak berciri etnis. Satu-satunya yang mampu melahirkan msuik yang tidak berciri
etnis adalah sistem tangga nada yang berasal dari Barat yaitu sistem nada diatonis.
Yang pertama harus diupayakan adalah menciptakan lagu kebangsaan yang kemudian
kita sebut Lagu Indonesia Raya karya W. R. Supratman.
Dengan terciptanya lagi kebangsaan Indonesia Raya yang diakui oleh seluruh
pemuda-pemudi Indonesia, kemudian menyusul lagu-lagu lainnya yang juga
menggunakan sistem tangga nada diatonis. Dewasa ini bisa kita katakan bahwa lagulagu Indonesia jenis seriosa, keroncong, dan dangdut yang menggunakan sistem
tangga nada diatonis bisa kita tempatkan sebagai musik nasional.

5. Masa Kemerdekaan
Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, seni pertunjukan terus berkembang dengan
baik. Satu hal yang perlu di perhatikan, apabila sebelum kemerdekaan istana-istana
merupakan sentra perkembangan seni pertunjukan yang baik, sejak saat itu boleh
dikatakan seni pertunjukan istana kehilangan pelindung. Memang, sejak masa Pergerakan
Nasional telah terjadi upaya untuk mengeluarkan seni istana dari tembok istana, agar bisa
dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat.

Arah perkembangan seni pertunjukan pada akhir-akhir tahun 1940-an masih terbatas
pada upaya untuk menghilangkan batas antara seni pertunjukan rakyat. Pada saat itu para
budayawan lebih suka menggunakan istilah seni pertunjukan klasik untuk menyebut seni
pertunjukan yang berasal dari istana.
Seni pertunjukan yang berkembang jauh dari istana yang sebelum Masa Kemerdekaan
merupakan sentra perkembangan seni yang adiluhung, mulai merasa tidak rendah diri
lagi. Apabila sebelum Masa Kemerdekaan wilayah-wilayah diluar istana selalu berkiblat
pada seni istana seperti yang terjadi di Jawa Tengah, sejak Indonesia Merdeka mereka
ingin tampil sebagai wilayah yang mampu membanggakan jati diri mereka.
Upaya untuk menampilkan jati diri sebagai suatu bangsa besar yang memiliki
kebudayaan nasional mewarnai pula perkembangan seni pertunjukan diseluruh pelosok
tanah air. Arah perkembangan semacam ini sebenarnya telah terjadi sejak masa
pergerakan Nasional. Bahasa Nasional yaitu bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa
Melayu semakin kokoh. Musik Nasional yang berawal dari lagi kebangsaan Indonesia
Raya makin berkembang. Drama atau Sandiwara yang bernuansa Indonesia muncul
dimana-mana. Pembaruan taru juga muncul di daerah-daerah.
6. Masa Era Globalisasi
Dunia seni adalah dunia yang diciptakan masyarakat tentu saja banyak manusia akan
bergelut dengannya dan merupakan kebutuhannya. Peristiwa ini tentu tidak akan lepas
dari dunia politik sebagai sasaran media kampanye dan kepentingan-kepentingan politik,
pada beberapa masa yang lalu kesenian asal Solo ketoprak yang justru sangat popular di
Yogyakkarta di gaet Partai Komunis Indonesia (PKI) yang paling mencolok pada
tahun1950-an sampai awal tahun1960-an, ketika partai ini mendominasi kehidupan
politik tanah air. James R. Brandon dalam bukunya Theatre in Southeast Asia
memberitakan, bahwa PKI membentuk orgaisasi ketoprak seluruh Indonesia yang diberi
nama Badan Kontak Ketoprak Seluruh Indonesia (BAKOKSI) kebudayaan yang bernama
LEKRA (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang secara langsung berhubungan dengan
BAKOKSI selain menampilkan lakon-lakon yang mengobarkan semangat partai, pernah
pula menampilkan cerita yang menghina agama dengan lakon Matinya Tuhan,
kemudian disusul judul Pernikahan Paus, sementara itu Partai Nasional Indonesia (PNI)
juga memiliki organisasi ketoprak yang bernama Lembaga Ketoprak Nasional (LKN)
akan tetapi keanggotaanya hanya seperempat BAKOKSI, namun gemuruhnya
perkembangan ketoprak dikalangan masyarakat yang berbahasa jawa kemudian berakhir
menyusul peristiwa berdarah pemberontatan PKI yang gagal yang terjadi pada 30

September 1965. Banyak tokoh-tokoh ketoprak yang membintangi BAKOKSI harus


masuk penjara, karena mereka dituduh sebagai angota PKI yang sangat aktif, setelah
peristiwa berdarah itu berakhir pertunjukan ini muncul tapi tak senyaring dulu, bahkan
bila dipertunjukan secara komersial hanya sebagai selingan pertunjuka wayang, tidak
hanya masa PKI, pada masa penjajahan Jepang, sejak tahun1942 pertunjukan Ludruk
yang masih bisa berjalan meski dengan pengawasan sering pula memanfaatkan seni
pertunjukan Ludruk untuk keperluan propaganda, namun karena Ludruk berasal dari
rakyat sering dilontarkan pula sindiran-sindiran kepada Jepang sehingga kurang berhasil.
Ternyata Ludruk juga digunkan senjata untuk melawan Jepang lewat sindiran-sindiran
yang mengacu pada agar rakyat Surabaya berani menentang penindasan Jepang. Pada
masa itu group Ludruk yang paling terkenal adalah group asuhan Cak Durasin, atau yang
sering dikenal dengan Ludruk Durasin. Seiring dengan sindiran-sindiran yang sering
muncul Jepang mulai khawatir kemudian mereka mengambil tindakan dengan memanggil
Cak Durasin dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaanya.

DAFTAR PUSTAKA
Soedarsono, R.M. 1998. Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press

Anda mungkin juga menyukai