Anda di halaman 1dari 34

1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kebijakan tentang otonomi daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), yang ditetapkan dengan undang-undang telah membawa
konsekuensi tersendiri bagi daerah untuk bisa melaksanakan pembangunan di
segala bidang, dengan harapan dapat dilaksanakan secara mandiri oleh
daerah. Menurut UU No. 32 tahun 2004 pasal 1, pengertian otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Tantangan yang dihadapi
suatu daerah terutama untuk daerah otonom yang baru adalah peningkatan
pendapatan daerah dan kemandirian dalam pembangunan dengan kendala
ketersediaan sumber daya di daerah yang terbatas. Dalam UU Nomor 33
Tahun 2004 Pasal 10 dinyatakan bahwa yang menjadi sumber-sumber
pembiayaan untuk pembangunan daerah (capital investment) antara lain
berasal dari PAD dan Dana Perimbangan yang diterima oleh daerah-daerah
dari Pemerintah Pusat. Dana Perimbangan itu sendiri terdiri dari Dana Bagi
Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Selain itu, juga terdapat sumber lain yang berasal dari pembiayaan berupa
pinjaman daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) menurut Undang-Undang nomor 33
tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut
1

berdasarkan

Peraturan

Daerah

yang

disesuaikan

dengan

peraturan

perundang-undangan. PAD merupakan pendapatan murni yang dihasilkan


oleh pemerintah daerah setempat dan digunakan untuk membiayai
pemerintahan daerah tersebut. PAD didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan
lain-lain PAD yang sah. Untuk itu, dalam masa desentralisasi seperti ini,
pemerintah daerah dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan
PAD-nya masing-masing dengan memaksimalkan sumber daya yang dimiliki
supaya bisa membiayai segala kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana
prasarana daerah melalui alokasi belanja modal pada APBD. Semakin baik
PAD suatu daerah maka semakin besar pula alokasi belanja modalnya
(Ardhini, 2011). Darwanto dan Yustikasari (2007) menyatakan bahwa PAD
berpengaruh positif dan signifikan terhadap alokasi belanja modal. Temuan
ini dapat mengindikasikan bahwa besarnya PAD menjadi salah satu faktor
penentu dalam menentukan belanja modal. Besarnya PAD dapat mengurangi
penggunaan sumber pembiayaan yang berasal dari transfer, mendorong
akuntabilitas, dan memperbaiki pembiayaan yang ada dalam daerah tersebut
(Kusnandar dan Iswantoro, 2012).
Di sisi lain, pengelolaan keuangan daerah yang baik akan berpengaruh
terhadap kemajuan suatu daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang
dilakukan secara ekonomis, efisien, dan efektif atau memenuhi prinsip value
for money serta partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan keadilan akan
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pengelolaan keuangan daerah yang
2

baik tidak hanya membutuhkan sumber daya manusia yang handal, tetapi
juga harus didukung oleh kemampuan keuangan daerah yang memadai.
Upaya pemerintah daerah dalam menggali kemampuan keuangan daerah
dapat dilihat dari kinerja keuangan daerah yang diukur menggunakan analisis
rasio keuangan daerah. Pengukuran kinerja keuangan pada pemerintah
daerah juga digunakan untuk menilai akuntabilitas dan kemampuan daerah
dalam menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan demikian maka suatu
daerah yang kinerja keuangannya dinyatakan baik, berarti daerah tersebut
memiliki kemampuan keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi
daerah.
Selain itu dalam penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah disebut ada beberapa variabel yang mencerminkan kebutuhan akan
penyediaan sarana publik di setiap daerah. Dua di antaranya adalah luas
wilayah dan jumlah penduduk. Dalam penelitiannya, Kusnandar dan
Iswantoro (2010), menyebutkan bahwa daerah yang luas wilayahnya besar
tentu membutuhkan jumlah fasilitas yang lebih baik sebagai syarat untuk
pelayanan kepada masyarakat dibanding daerah yang memiliki luas wilayah
lebih kecil. Selain itu, kebutuhan sarana publik setiap daerah dengan jumlah
penduduk yang bervariasi juga berbeda.
Dalam upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, Pemerintah
Daerah wajib mengalokasikan dana dalam bentuk anggaran belanja modal
dalam APBD untuk

menambah aset tetap. Alokasi belanja modal ini


3

didasarkan pada kebutuhan daerah akan

sarana dan prasarana, baik untuk

kelancaran pelaksanaan tugas pemerintahan maupun untuk fasilitas publik.


Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2010 tentang Sistem
Akuntansi Pemerintahan, ditegaskan bahwa belanja modal ini ialah alokasi
pengeluaran anggaran yang digunakan untuk perolehan aset tetap dan aset
lainnya yang dapat memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi.
Dalam kaitannya dengan peningkatan penerimaan daerah, belanja modal
memiliki peranan yang amat penting terkait dengan peningkatan sarana dan
prasarana publik pada suatu daerah publik. dalam penelitian kusumaningrum
(2013) menyebutkan bahwa luas

wilayah, jumlah penduduk, dan

kemandirian keuangan daerah berpengaruh positif terhadap alokasi belanja


modal. Sedangkan efektifitas PAD berpengaruh positif dan tidak signifikan
terhadap alokasi belanja modal.
Berdasarkan uraian di atas maka disusunlah penelitian dengan judul
Pengaruh Luas Wilayah, Jumlah Penduduk, Kemandiriaan Daerah, dan
Efektifitas PAD terhadap Alokasi Belanja Modal.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan
masalah yang menjadi pokok bahasan penelitian ini adalah:
1. Apakah luas wilayah berpengaruh terhadap alokasi belanja modal
Kabupaten/Kota di Jawa Timur?
2. Apakah jumlah penduduk berpengaruh terhadap alokasi belanja modal
Kabupaten/Kota di Jawa Timur?
3. Apakah kemandirian daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja modal
Kabupaten/Kota di Jawa Timur?
4. Apakah efektivitas PAD berpengaruh terhadap alokasi belanja modal
Kabupaten/Kota di Jawa Timur?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis pengaruh luas wilayah terhadap alokasi belanja modal
Kabupaten/Kota di Jawa Timur?
2. Untuk menganalisis pengaruh jumlah penduduk terhadap alokasi belanja
modal Kabupaten/Kota di Jawa Timur?
3. Untuk menganalisis pengaruh kemandirian daerah terhadap alokasi belanja
modal Kabupaten/Kota di Jawa Timur?
4. Untuk menganalisis pengaruh efektivitas PAD terhadap alokasi belanja
modal Kabupaten/Kota di Jawa Timur?

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kontribusi praktis
Memperkuat penelitian sebelumnya berkenaan dengan adanya pengaruh
luas wilayah, jumlah penduduk, kemandirian daerah, dan efektivitas PAD
terhadap alokasi belanja modal yang dilakukan secara empiris pada
Pemerintah Kabupaten/Kota di Jawa Timur.
2. Kontribusi teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan terhadap ilmu
pengetahuan untuk dijadikan bahan pembelajaran kemajuan pendidikan.
Serta bahan referensi data tambahan bagi Peneliti lainnya yang tertarik
pada bidang kajian ini dan juga sebagai informasi dan pengembangan
untuk Peneliti selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan batasan dari suatu pembahasan. Dengan
adanya batasan ini diharapkan pembahasan tidak menyimpang dari masalah
yang sedang dibahas di dalam penelitian itu sendiri dan diharapkan penelitian
tersebut menjadi jelas permasalahannya, dengan ini maka penulis
memberikan batasan-batasan penelitian yakni sebagai berikut:
1. Subjek penelitian
Penelitian dilakukan pada data keuangan, kode dan data wilayah
administrasi pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2015

2. Objek penelitian
Dalam penelitian ini, objek penelitian hanya fokus pada luas wilayah,
jumlah penduduk, kemandirian daerah, efektivitas PAD, dan alokasi
belanja modal Kabupaten/Kota di Jawa Timur pada tahun 2015

2. TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS


2.1 Tinjauan Teoretis
2.1.1 Belanja Modal
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang
Bagan Akun Standar mendefinisikan belanja modal sebagai pengeluaran
anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset
tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode
akuntansi, serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset
lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah. Aset tersebut dipergunakan
untuk operasional kegiatan sehari-hari suatu satuan kerja.
Belanja modal menurut Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010
tentang Standar Akuntansi Pemerintahan adalah pengeluaran anggaran
yang digunakan untuk memperoleh aset tetap dan aset lainnya. Belanja
modal mencakup belanja modal untuk pemerolehan tanah, gedung dan
bangunan, peralatan, dan aset tak berwujud.
Belanja modal dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu
belanja publik dan belanja aparatur. Belanja publik adalah belanja yang
manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat sedangkan belanja
aparatur adalah Hasil belanja pemerintah yang langsung dapat dirasakan
langsung oleh aparatur pemerintahan.
Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006,
belanja modal adalah sebagai pengeluaran yang dilakukan dalam rangka
pembelian atau pengadaan atau pembangunan aset tetap berwujud yang
8

mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (dua belas) bulan untuk


digunakan dalam kegiatan pemerintahan. Jadi dapat disimpulakan belanja
dikategorikan sebagai belanja modal apabila:
1. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau
aset lainnya yang dengan demikian menambah aset pemerintah,
2. Aset tetap atau aset lainnya tersebut mempunyai nilai manfaat jangka
panjang (lebih dari satu tahun), dan
3. Perolehan aset tetap tersebut dimaksudkan bukan untuk dijual.
Belanja Modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset

tetap

pemerintah daerah, yaitu peralatan, bangunan, infrastruktur, dan harta


tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap
tersebut, yaitu dengan cara membangun sendiri, menukarkan dengan
aset tetap lain, dan membeli. Namun, di dalam pemerintahan biasanya
diperoleh dengan cara membeli yang umumnya dilakukan dengan proses
lelang atau tender yang cukup rumit (Abdullah dan Halim, 2006).
Alokasi belanja modal didasarkan pada kebutuhan, hal ini
mengandung arti bahwa tidak semua satuan kerja atau unit organisasi di
pemerintahan daerah melaksanakan kegiatan atau proyek pengadaan
aset tetap. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing satuan
kerja, ada satuan kerja yang memberikan pelayanan kepada

publik

berupa penyediaan sarana dan prasarana fisik, seperti fasilitas pendidikan


(gedung sekolah, peralatan laboratorium, mobiler), kesehatan (rumah
sakit, peralatan kedokteran, mobil ambulans), jalan raya, dan jembatan,
9

sementara satuan kerja lain hanya memberikan pelayanan jasa langsung


berupa pelayanan administrasi (catatan sipil, pembuatan kartu identitas
kependudukan), pengamanan, pemberdayaan, pelayanan kesehatan, dan
pelayanan pendidikan.
Berdasarkan PP No. 71 Tahun 2010 Belanja mencakup jenis belanja
sebagai berikut:
1. Belanja operasi
a. Belanja pegawai
b. Belanja barang
c. Belanja bunga
d. Belanja subsidi
e. Belanja hibah
f. Belanja bantuan sosial
2. Belanja modal
a. Belanja aset tetap
b. Belanja aset lainnya
3. Belanja lain-lain/tak terduga
4. Transfer
2.1.2 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
disebutkan Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah

10

pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan


daerah sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Halim (2007) mendifinisikan pendapatan asli daerah sebagai semua
penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah
tersebut. Pendapatan asli daerah ini merupakan salah satu modal
dasar bagi pemerintah daerah dalam mendapatkan dana dalam memenuhi
belanja daerah, selain itu merupakan usaha daerah guna memperkecil
ketergantungan dalam mendapatakan dana (subsidi) dari pemerintah
pusat. Karena desentralisasi fiskal yang terjadi saat ini menuntut adanya
kemandirian

daerah

dalam

menggali

potensi

lokal

dan

mempergunakannya sesuai dengan kebijakan masing-masing daerah, oleh


karena itu aparat pemerintah daerah cenderung melihat Pendapatan Asli
Daerah (PAD) sebagai sumber utama keberhasilan otonomi, berbagai
usaha pun dilakukan untuk meningkatkan PAD ini. Di dalam upaya untuk
meningkatkan PAD, daerah dilarang menetapkan Peraturan Daerah
(Perda) tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi
dan dilarang menetapkan perda tentang pendapatan yang menghambat
mobilitas bagi penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar daerah, dan
kegiatan

impor

maupun

ekspor

(Komite

Standar

Akuntansi

Pemerintahan, 2005).
Pendapatan asli daerah dikelompokkan menjadi empat menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, yaitu sebagai berikut.
11

1. Pajak daerah.
2. Retribusi daerah.
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dirinci menurut
objek pendapatannya, yaitu antara lain sebagai berikut:
a. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
daerah/BUMD,
b. bagian labaatas penyertaan modal pada

perusahaan milik

pemerintah/BUMN,
c. bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta
atau kelompok usaha masyarakat.
2.1.3 Luas wilayah
Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Luas wilayah
dalam hal ini apakah besarannya berpengaruh terhadap jumlah realisasi
belanja modal pemerintah yang erat kaitannya dengan peningkatan pelayanan
publik.
2.1.2 Jumlah penduduk
Negara yang sedang berkembang yang mengalami ledakan jumlah
penduduk,

termasuk

Indonesia,

akan

selalu

mengkaitkan

antara

kependudukan dengan pembangunan ekonomi. Akan tetapi hubungan antar


keduanya tergantung pada sifat dan masalah kependudukan yang dihadapi
oleh setiap negara, dengan demikian tiap negara atau daerah akan
12

mempunyai masalah kependudukan yang khas dan potensi serta tantangan


yang khas pula (Wirosardjono, 1998).
Jumlah penduduk yang besar di Indonesia oleh para perencana
pembangunan dipandang sebagai aset modal dasar pembangunan tetapi
sekaligus juga sebagai beban pembangunan. Sebagai aset apabila dapat
meningkatkan kualitas maupun keahlian atau keterampilan sehingga akan
meningkatkan produksi nasional. Jumlah penduduk yang besar akan menjadi
beban jika struktur persebaran dan mutunya sedemikian rupa sehingga hanya
menuntut pelayanan sosial dan tingkat produksinya rendah, sehingga menjadi
tanggungan penduduk yang bekerja secara efektif (Budihardjo, 2003).
Adam Smith berpendapat bahwa dengan didukung bukti empiris bahwa
pertumbuhan penduduk tinggi akan dapat menaikkan output melalui
penambahan tingkat dan ekspansi pasar baik pasar dalam negeri maupun
pasar luar negeri. Penambahan penduduk merupakan satu hal yang
dibutuhkan dan bukan suatu masalah, melainkan sebagai unsur penting yang
dapat memacu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Besarnya
pendapatan dapat mempengaruhi penduduk. Jika jumlah penduduk
meningkat maka pendapat yang dapat ditarik juga meningkat.
2.1.3 Kemandirian daerah
Rasio kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan
pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan,
pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar
pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah.
13

Kemandirian diidentikkan dengan PAD. Tingginya PAD dijadikan


sebagai tolak ukur untuk menentukan kemandirian suatu daerah. Rasio
kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam
pembangunan daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah dan
hal tersebut akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang
tinggi (Halim, 2007).
2.1.4 Efektivitas PAD
Rasio efektivitas yaitu rasio yang menggambarkan kemampuan
pemerintah

daerah

dalam

merealisasikan

PAD

yang

direncanakan

dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.


Kemampuan pemerintah daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai minimal satu atau 100%.
Namun demikian, semakin tinggi rasio efektivitas maka kemampuan
daerahpun semakin baik. Pengertian efektivitas berhubungan dengan derajat
keberhasilan suatu operasi pada sektor publik sehingga suatu kegiatan
dikatakan efektif jika kegiatan tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap
kemampuan menyediakan pelayanan masyarakat yang merupakan sasaran
yang telah ditetapkan sebelumnya. Semakin besar realisasi penerimaan PAD,
maka dapat dikatakan semakin efektif, begitu pula sebaliknya.
Apabila hasil prosentase efektivitas PAD di atas 100% maka dapat
dikatakan kinerja keuangan tersebut sangat efektif. Bila hasilnya adalah 90%
- 100% dikatakan efektif, 80% - 90% cukup efektif, 60% - 80% kurang
14

efektif, dan <60% tidak efektif.


2.2 Rerangka Pemikiran
Penelitian ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
alokasi belanja modal. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
variabel dependen dan variabel independen. Variabel dependen yaitu alokasi
belanja modal kabupaten dan kota di seluruh Indonesia pada tahun 2013.
Variabel independen dilihat dari luas wilayah, jumlah penduduk, kemandirian
keuangan daerah dan efektivitas PAD.

Berdasarkan uraian tersebut, kerangka mengenai hubungan antar


masing-masing variabel dapat dilihat dalam gambar berikut ini:
Variabel Independen

Variabel Dependen

Kemandirian
Keuangan Daerah
Kemandirian
Keuangan Daerah
Kemandirian
Keuangan Daerah

Alokasi Belanja
Modal

Kemandirian
Keuangan Daerah

15

2.3 Perumusan Hipotesis


2.3.1 Pengaruh luas wilayah terhadap alokasi belanja modal
Anggaran belanja modal didasarkan pada kebutuhan daerah akan
sarana dan prasarana, baik untuk kelancaran pelaksanaan tugas
pemerintahan maupun untuk fasilitas publik. Daerah dengan wilayah
yang lebih luas membutuhkan sarana dan prasarana yang lebih banyak
sebagai syarat untuk pelayanan kepada publik bila dibandingkan dengan
daerah dengan wilayah yang tidak begitu luas. Berdasarkan penelitian
Siswantoro (2012), disebutkan bahwa luas wilayah memiliki pengaruh
terhadap alokasi belanja modal.
Zega (2014) menjelaskan

bahwa

secara

simultan

luas

wilayah

berpengaruh terhadap alokasi belanja modal dan secara parsial tidak


berpengaruh terhadap alokasi belanja modal. Maka hipotesis luas wilayah
terhadap belanja modal adalah sebagai berikut:
H1: Luas Wilayah berpengaruh terhadap alokasi Belanja Modal.
2.3.2 Pengaruh jumlah penduduk terhadap alokasi belanja modal
Jumlah penduduk tiap daerah tidak sama, setiap daerah yang memiliki
luas wilayah yang besar tidak selalu memiliki jumlah penduduk yang paling
besar, begitu juga sebaliknya. Pengambilan variabel ini berdasarkan pada
penjelasan Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan
Keuangan

antara

Pemerintah

Pusat

dan

Pemerintah

Daerah

yang

menyebutkan bahwa beberapa variabel yang menggambarkan kebutuhan


dalam penyediaan layanan publik di setiap daerah dan salah satunya adalah
16

jumlah penduduk. Pentingnya variabel jumlah penduduk dikaitkan dengan


besar kecilnya pajak dan retribusi (Sriyana, 1999), besar kecilnya penerimaan
pajak pusat maupun pajak daerah sangat ditentukan oleh jumlah penduduk,
pendapatan, dan kebijakan pemerintah. Dari uraian tersebut maka disusunlah
hipotesis seperti berikut:
H2: Jumlah penduduk berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.
2.3.3 Pengaruh kemandirian keuangan daerah terhadap alokasi belanja
modal
Variabel ini menggambarkan tingkat ketergantungan daerah terhadap
sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian berarti tingkat
ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama
pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah.
Ardhini dan Handayani (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
rasio kemandirian daerah berpengaruh positif tidak signifikan terhadap rasio
belanja modal untuk pelayanan publik. Apabila rasio kemandirian daerah
meningkat, maka hal ini tidak berpengaruh terhadap jumlah belanja modal
untuk pelayanan publik.
Sularso dan Restianto (2011) dalam penelitiannya Pengaruh Kinerja
Keuangan terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi
menyebutkan bahwa rasio kemandirian keuangan daerah memiliki pengaruh
terhadap alokasi belanja modal. Maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut.
H3: Kemandirian keuangan daerah berpengaruh terhadap alokasi belanja
modal.

17

2.3.4 Pengaruh efektivitas PAD terhadap alokasi belanja modal


Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan Pemerintah Daerah
dalam merealisasikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang direncanakan
dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah.
Dalam penelitiannya tentang Pengaruh Rasio Keuangan Daerah terhadap
Belanja Modal untuk Pelayanan Publik dalam Perspektif Teori Keagenan,
Ardhani dan Handayani (2011) menyimpulkan bahwa rasio efektivitas
berpengaruh positif signifikan terhadap belanja modal untuk pelayanan
publik. Sehingga apabila efektivitas keuangan daerah cenderung lebih
efektif, hal ini berpengaruh terhadap jumlah belanja modal untuk pelayanan
publik.
Dalam penelitian Hidayat (2013), Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan
Daerah terhadap Alokasi Belanja Modal, disebutkan bahwa kinerja keuangan
yang dinilai salah satunya dengan efektivitas PAD memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap alokasi belanja modal.
Sularso dan Restianto (2011) dalam penelitiannya tentang Pengaruh
Kinerja Keuangan terhadap Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan
Ekonomi, menyebutkan bahwa rasio efektivitas PAD memiliki memiliki
pengaruh terhadap alokasi belanja modal.
Efektivitas PAD menunjukkan keberhasilan operasional pemerintahan
karena dapat mempengaruhi pengadaan pelayanan masyarakat sesuai dengan
target yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan pemenuhan target oleh
pemerintah dalam pelayanan publik, maka terpenuhi juga anggaran belanja
18

modal yang merupakan salah satu bentuk pelayanan publik yang akan
dirasakan oleh masyarakat. Besarnya efektivitas PAD akan mempengaruhi
besarnya alokasi belanja modal. Maka disusunlah hipotesis sebagai berikut:
H4: Efektivitas PAD berpengaruh terhadap alokasi belanja modal.

19

3. METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian dan Gambaran Populasi (Objek) Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif
adalah penelitian yang menekankan pada pengujian teori-teori melalui
pengukuran variabel-variabel penelitian dengan angka dan melakukan
analisis data dengan prosedur statistik.
Populasi penelitian merupakan sekelompok orang, kejadian, atau segala
sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu (Indrianto dan Supomo,
2002). Penelitian ini menggunakan satu variabel terikat (dependen) yaitu
alokasi belanja modal dan empat variabel bebas (independen) yaitu luas
wilayah, jumlah penduduk, kemandirian daerah, dan efektivitas PAD.
Penelitian menggunakan data populasi, dimana populasi yaitu seluruh daerah
kabupaten/kota di provinsi Jawa Timur. Penelitian ini dilakukan pada 29
kabupaten dan 9 kota dengan periode tahun 2015.
3.2 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel terdiri atas sejumlah
anggota yang dipilih dari populasi (Sekaran, 2006). Dalam penelitian ini,
ditetapkan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan purposive
sampling yaitu pengambilan sampel dengan pertimbangan tertentu. Adapun
pertimbangan yang ditentukan untuk pengambilan sampel ini yaitu:
1. Pemerintahan

kabupaten/kota

provinsi

Jawa

Timur

yang

telah

menyerahkan laporan realisasi anggarannya dan APBD.


2. Pemerintahan kabupaten/kota provinsi Jawa Timur yang memiliki
20

kelengkapan informasi yang dibutuhkan yaitu informasi tentang luas


wilayah, jumlah penduduk, kemandirian daerah, efektivitas PAD dan
belanja modal tahun 2015.
Dari 29 Kabupaten dan 9 Kota yang dijadikan populasi, semuanya memenuhi
kriteria untuk ditetapkan sebagai sampel penelitian. Berikut adalah data
sampel yang terdiri dari 38 sampel:
Sampel Penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Kabupaten/Kota
Kabupaten Pacitan
Kabupaten Ponorogo
Kabupaten Trenggalek
Kabupaten Tulungagung
Kabupaten Blitar
Kabupaten Kediri
Kabupaten Malang
Kabupaten Lumajang
Kabupaten Jember
Kabupaten Banyuwangi
Kabupaten Bondowoso
Kabupaten Situbondo
Kabupaten Probolinggo
Kabupaten Pasuruan
Kabupaten Sidoarjo
Kabupaten Mojokerto
Kabupaten Jombang
Kabupaten Nganjuk
Kabupaten Madiun
Kabupaten Magetan
Kabupaten Ngawi
Kabupaten Bojonegoro
Kabupaten Tuban
Kabupaten Lamongan
Kabupaten Gresik
Kabupaten Bangkalan
Kabupaten Sampang
21

28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38

Kabupaten Pamekasan
Kabupaten Sumenep
Kota Kediri
Kota Blitar
Kota Malang
Kota Probolinggo
Kota Pasuruan
Kota Mojokerto
Kota Madiun
Kota Surabaya
Kota Batu

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data pada dasarnya disesuaikan dengan sumber
datanya yaitu sumber data primer yang dilakukan dengan teknik wawancara,
observasi. Dan sumber data sekunder yang dilakukan dengan mengumpulkan
data dari literatur, dokumen dari lembaga tertentu.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
sekunder yaitu data dikumpulkan dengan metode dokumentasi. Ini dilakukan
dengan

mengumpulkan,

mencatat,

dan

menghitung

data-data

yang

berhubungan dengan penelitian. Selain itu, pengumpulan data menggunakan


studi kepustakaan yang dilakukan dengan membaca dan mengumpulkan
literatur yang menjadi sumber data baik yang berasal dari buku perkuliahan,
artikel, maupun hasil penelitian yang berhubungan dengan permasalahan.
Data yang digunakan untuk penelitian ini antara lain laporan realisasi
anggaran, APBD, luas wilayah, dan jumlah penduduk Kabupaten/Kota di
Jawa Timur. Sumber yang digunakan untuk memperoleh data yang
diperlukan

adalah

www.djpk.depkeu.go.id

sebagai

sumber

untuk
22

memperoleh data mengenai laporan realisasi anggaran dan APBD.


Sedangkan

luas

wilayah

dan

jumlah

penduduk

diperoleh

dari

www.kemendagri.go.id dalam buku induk kode dan data wilayah


administrasi pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Timur tahun 2015
3.4 Variabel dan Definisi Operasional Variabel
Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas terdiri dari luas wilayah,
jumlah penduduk, kemandirian daerah, dan efektivitas PAD. Sedangkan
variabel terikat yang digunakan adalah belanja modal. Yang dimaksud
dengan variabel itu sendiri adalah apa pun yang dapat membedakan atau
membawa variasi dalam nilai (Sekaran, 2011).
3.4.1 Variabel dependen
Variabel dependen adalah variabel yang dirumuskan atau tergantung oleh
variabel lainnya. Dalam penelitian ini variabel dependen adalah belanja
modal. Alokasi belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam
rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap atau aset
lainnya yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi,
termasuk didalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang
sifatnya mempertahakan atau menambah masa manfaat, meningkatkan
kapasitas dan kualitas aset.

23

3.4.2 Variabel Independen


Variabel independen adalah variabel yang menjelaskan atau mempengaruhi
variabel yang lain (Husein, 2003). Variabel independen dalam penelitian ini
adalah:
1. Luas wilayah
Daerah dengan wilayah yang lebih luas membutuhkan sarana dan
prasarana yang lebih banyak sebagai syarat untuk pelayanan kepada
publik bila dibandingkan dengan daerah dengan wilayah yang tidak
begitu luas. Berdasarkan penelitian Siswantoro (2012), mnyebutkan
bahwa luas wilayah memiliki pengaruh terhadap alokasi belanja modal.
2. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk tiap daerah tidak sama, setiap daerah yang
memiliki luas wilayah yang besar tidak selalu memiliki jumlah
penduduk yang paling besar, begitu juga sebaliknya. Sesuai dengan UU
nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yang menyebutkan bahwa
jumlah penduduk merupakan salah satu variabel yang menggambarkan
kebutuhan dalam penyediaan layanan publik di setiap daerah.
3.

Kemandirian daerah
Dalam penelitiannya, Dwirandra (2006) menyebutkan bahwa
kemandirian keuangan daerah adalah kemampuan keuangan daerah
otonom dalam mendanai belanja daerahnya dengan kemampuan
sendiri, yaitu dari penghasilan asli daerah. Kemandirian keuangan
24

daerah dapat diukur menggunakan rasio kemandirian daerah, dengan


formula sebagai berikut.

Kemandirian

PAD
Transfer pusat prov pinjaman

4. Efektifitas PAD
Efektivitas

PAD

merealisasikan

target

menganalisis
PAD

yang

kemampuan
telah

ditetapkan

daerah
dengan

untuk
cara

mengkalkulasi berapa persen realisasi PAD yang telah diberlakukan oleh


pemerintah dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan.
Efektivitas PAD

Realisasi PAD
x100%
Target PAD

Apabila hasil persentase efektivitas PAD di atas 100% maka dapat


dikatakan kinerja keuangan tersebut sangat efektif. Bila hasilnya adalah
90% - 100% dikatakan efektif, 80% - 90% cukup efektif, 60% - 80%
kurang efektif, dan <60% tidak efektif.
3.5 Teknik Analisis Data
3.5.1 Statistik deskriptif
Statistik deskriptif terdiri dari perhitungan mean, median, standar
deviasi, maksimum dan minimum masing-masing data sampel (Ghazali,
2006). Penyajian statistik deskriptif bertujuan untuk melihat profil dari
data penelitian tersebut dengan hubungan yang ada antar variabel yang
digunakan dalam penelitian tersebut.

25

3.5.2 Uji asumsi klasik


Pengujian regresi linear berganda dapat dilakukan setelah model
dari penelitian ini memenuhi syarat-syarat yaitu lolos dari asumsi klasik.
Syarat-syarat tersebut adalah data harus terdistribusi secara normal,
tidak

mengandung

multikolinearitas,

autokorelasi,

dan

heterokedastisitas. Untuk itu sebelum melakukan pengujian regresi


linear berganda perlu dilakukan terlebih dahulu pengujian asumsi klasik
(Santoso, 2012), yang terdiri dari:
1. Uji normalitas
Pengujian normalitas ini bertujuan untuk mengetahui apakah data
yang digunakan telah terdistribusi secara normal. Untuk menguji
normalitas data, penelitian ini menggunakan analisis grafik.
Pengujian normalitas melalui analisis grafik adalah dengan cara
menganalisis grafik normal probability plot. Data dapat dikatakan
normal jika data atau titik-titik tersebar di sekitar garis diagonal dan
penyebarannya mengikuti garis diagonal.
Pada prinsipnya, normalitas dapat dideteksi dengan melihat
penyebaran data (titik) pada sumbu diagonal dari grafik atau dengan
melihat histogram dari residualnya. Dasar pengambilan keputusan:
a. Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal atau grafik histogramnya menunjukkan pola
distribusi normal, maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas.
26

b. Jika data menyebar lebih jauh dari diagonal dan/atau tidak


mengikuti arah garis diagonal atau grafik histogram tidak
menunjukkan pola distribusi normal, maka model regresi tidak
memenuhi asumsi normalitas (Santoso, 2012).
Menurut Ghozali (2009), jika data tidak normal maka yang harus
dilakukan adalah:
1. Lakukan transformasi data, misal mengubah data menjadi bentuk
logaritma (log), akar (square root)
2. Menambah jumlah data
3. Menghilangkan data yang dianggap sebagai penyebab tidak
normalnya hasil distribusi data
2. Uji multikolinieritas
Uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas
(Santoso, 2012). Uji multikolinieritas ini digunakan karena pada
analisis regresi terdapat asumsi yang mengisyaratkan bahwa variabel
bebas (independen) harus terbebas dari gejala multikolinieritas atau
tidak terjadi korelasi antar variabel independen.
Cara untuk mengetahui apakah terjadi multikolinieritas atau
tidak yaitu dengan melihat nilai tolerance dan Varian Inflation
Factor (VIF). Kedua ukuran ini menunjukkan setiap variabel
independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen
lainnya.

Menurut

Ghozali

(2009),

untuk

mendeteksi
27

multikolinearitas pada suatu model regresi dapat dilihat dari nilai


tolerance dan VIF (Variance Inflation Factor), yaitu:
a. jika nilai tolerance > 0,10 dan VIF < 10, maka dapat diartikan
bahwa tidak terdapat multikolinearitas, dan
b. jika nilai tolerance < 0,10 dan VIF > 10, maka dapat
diartikanbahwa terjadi multikolinearitas.
3.

Uji autokorelasi
Uji autokorelasi, dilakukan untuk mengetahui apakah dalam
model regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada
periode t dan dengan kesalahan pengganggu pada periode t-1
(sebelumnya). Jika terjadi korelasi, maka dinamakan ada problem
autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutan
sepanjang waktu berkaitan satu sama lainnya. Jika ada masalah
autokorelasi, maka model regresi yang seharusnya signifikan menjadi
tidak layak untuk dipakai. Autokorelasi dalam penelitian ini
menggunakan uji statistik Durbin Watson. Berikut adalah cara
pengambilan keputusan ada tidaknya autokorelasi (Ghozali, 2009):
a. Bila angka D-W di antara -2 sampai +2, berarti tidak terjadi
autokorelasi
b. Bila angka D-W di bawah -2 berarti ada autokorelasi positif
c. Bila angka D-W di atas +2 berarti ada autokorelasi negatif

28

3. Uji heterokedastisitas
Pengujian ini memiliki tujuan untuk menguji apakah dalam
model regresi terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu
pengamatan ke pengamatan yang lain atau untuk melihat penyebaran
data. Jika variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang
lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda disebut
heterokedastisitas. Model regresi yang baik adalah tidak terdapat
heterokedastisitas.
Pengujian ini bertujuan untuk melihat penyebaran data. Uji ini
dapat dilakukan dengan melihat gambar plot antara nilai prediksi
variabel indepanden (ZPRED) dengan residaulnya (SRESID). Model
regresi yang baik adalah yang tidak terdapat heterokedastisitas.
Apabila dalam grafik tersebut tidak terdapat pola tertentu yang teratur
dan data tersebar secara acak di atas dan dibawah 0 pada sumbu Y,
maka diindentifikasikan tidak terdapat heterokedastisitas (Santoso,
2012). Dan jika ada pola tertentu seperti titik-titik yang ada
membentuk pola tertentu yang teratur (bergelombang, melebar
kemudian

menyempit),

maka

mengindikasikan

telah

terjadi

heteroskedastisitas (Ghozali, 2006).


3.5.3 Uji regresi
Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda
yang digunakan untuk melihat pengaruh sisa lebih pembiayaan
anggaran, dana perimbangan, dan pertumbuhan ekonomi terhadap
29

belanja modal. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan


model analisis regresi berganda bertujuan untuk memprediksi kekuatan
pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (Sekaran,
1992). Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model
analisis regresi variabel independen terhadap variabel dependen
(Sekaran, 2006).
Hubungan antar variabel tersebut dapat digambarkan dengan
persamaan sebagai berikut :

BM 1.LW 2 .JP 3 .KD 4 .EPAD e

Keterangan:
BM

: Belanja modal

: Konstanta

Koefisien

regresi

untuk

masing-masing

variabel

independen
LW

: Luas Wilayah

JP

: Jumlah Penduduk

KD

: Kemandirian Daerah

EPAD

: Efekvitas Pendapatan Asli Daerah

: Koefisien error

30

3.5.4 Uji hipotesis


Secara statistik, ketepatan fungsi regresi sampel dalam menaksir nilai
aktual dapat diukur dengan nialai statistik t, nilai statistik f, serta
koefisien deteminasi. Perhitungan statistik disebut signifikan secara
statistik apabila nilai uji statistiknya berada dalam daerah kritis (daerah
dimana Ho ditolak). Sebaliknya disebut tidak signifikan bila nilai uji
statistiknya berada dalam daerah dimana Ho diterima (Ghozali, 2005).
3.5.4.1 Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi bertujuan untuk menguji tingkat keeratan
atau keterikatan antarvariabel dependen dan variabel independen yang
bisa dilihat dari besarnya nilai koefisien determinan determinasi
(adjusted R-square).Nilai koefisien determinasi adalah antara nol dan
satu (Ghozali, 2005). Nilai R2 yang kecil berarti kemampuan variabelvariabel independen dalam menjelaskan variasi variabel dependen
sangat terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel
independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan
untuk memprediksi variasi variabel dependen (Ghozali, 2005).
3.5.4.2 Pengujian Simultan (uji statistik f)
Pengujian ini bertujuan untuk menunjukkan apakah semua variabel
independen atau bebas yang dimasukkan dalam model mempunyai
pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen (Ghozali,
2005). Uji f dapat dilakukan dengan melihat tingkat signifikansi f pada
output hasil regresi menggunakan SPSS dengan level of significant 5%.
31

- Jika nilai signifikansi lebih besar dari 5% maka hipotesis ditolak


(koefisien regresi tidak signifikan), artinya secara simultan variabelvariabel bebas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
variabel terikat.
- Jika nilai signifikan lebih kecil dari 5% maka hipotesis diterima
(koefisien regresi signifikan).
Hal ini berarti bahwa secara simultan variabel-variabel bebas
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikat
3.5.4.3 Pengujian Parsial (uji statistik t)
Uji t dilakukan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel
independen mempengaruhi variabel dependen secara signifikan.
Pengujian parsial digunakan uji t. Cara melakukan uji t adalah dengan
membandingkan t hitung dengan t table pada derajat kepercayaan 5%.
Pengujian ini menggunakan kriteria Ho: =0 artinya tidak ada pengaruh
signifikan antara variabel independen terhadap variabel dependen. Ho:
0 artinya ada pengaruh signifikan antara variabel independen
terhadap variabel dependen. Jika t hitung lebih kecil t tabel maka Ho
diterima dan H1 ditolak. Dan sebaliknya, jika t hitung lebih besar t tabel
maka Ho ditolak dan H1 diterima (Ghozali, 2005).

32

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. dan A. Halim. 2006. Studi atas Belanja Modal pada Anggaran
Pemerintah Daerah dalam Hubungannya dengan Belanja Pemeliharaan
dan Sumber Pendapatan. Jurnal Akuntansi Pemerintah. Volume 2 No. 2,
November
Ardhini. 2011. Pengaruh Rasio Keuangan Daerah Terhadap Belanja Modal
Untuk Pelayanan Publik Dalam Prespektif Teori Keagenan (studi pada
kabupaten dan kota di Jawa Tengah). Skripsi. Universitas Diponegoro,
Semarang
Ardhini dan S. Handayani. 2011. Pengaruh rasio Keuangan Daerah Terhadap
Belanja Modal Untuk Pelayanan Publik Dalam Perspektif Teori Keagenan
(Studi Pada Kabupaten Dan Kota Di Jawa Tengah). Universitas
Diponegoro. Semarang.
Budiharjo, Kadarwati, (2003). Metodologi dan Metode Penelitian Eksperimental.
Yogyakarta: Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah V
Darwanto dan Y. Yustikasari. 2007. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi,
Pendapatan Asli Daerah dan Dana Alokasi Umum terhadap
Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi
X Makasar 26-28 Juli 2007
Dwirandra. 2007. Efektivitas Dan Kemandirian Keuangan Daerah Otonom
Kabupaten/Kota Di Propinsi Bali Tahun 2002 2006. Skripsi. Bali: FE
Udayana
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. 2015.
Laporan Realisasi Anggaran dan APBD. www.djpk.depkeu.go.id. 07 Juni
2016 (15.00)
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Edisi Ketiga. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Ghozali, Imam. 2006. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS.
Cetakan Keempat. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ghozali, Imam. 2009. Analisis statistik multivariate dengan program SPSS. Edisi
revisi. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro.
Halim, Abdul. 2007. Akuntansi Keuangan Daerah. Edisi revisi. Jakarta: Salemba
Empat.
Hidayat, M. F. 2013. Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan Daerah Terhadap
Alokasi Belanja Modal (Studi pada Kabupaten dan Kota di Jawa Timur).
Jurnal Ilmiah, Malang :Universitas Brawiajaya.
Husein, Umar, 2003. Metodologi Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Indriantoro, dan Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi
dan Manajemen. Edisi Pertama. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Kementerian Dalam Negeri. 2015. Kode dan data wilayah administrasi
pemerintahan Kabupaten/Kota di Jawa Timur. www.kemendagri.go.id. 07
Juni 2016 (15.20)
Komite Standar Akuntansi Pemerintahan. 2005. Pernyataan Standar Akuntansi
Pemerintahan. Jakarta: PT. Sinar Grafika
33

Kusnandar dan D. Iswantoro, 2012. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan


Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah
Terhadap Belanja Modal. Jurnal Universitas Indonesia.
Kusnandar dan D. Siswantoro. 2012. Pengaruh Dana Alokasi Umum, Pendapatan
Asli Daerah, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Luas Wilayah
Terhadap Belanja Modal. Rosidi Simposium Nasional Akuntansi XIII.
Kusumaningrum, Endar. 2013. Analisis Pengaruh Luas Wilayah, Jumlah
Penduduk, Kemandirian Daerah, dan Efektifitas PAD terhadap Alokasi
Belanja Modal (Studi pada Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia
tahun 2013). Skripsi. Surakarta: FE Universitas Sebelas Maret.
Santoso, Singgih. 2012. Aplikasi penggunaan SPSS pada statistik non parametrik.
Edisi revisi. Jakarta: Elex media komputindo.
Sekaran, Uma. 1992, Metodologi Penelitian untuk Bisnis, Edisi 4, Buku 1,
Jakarta: Salemba Empat
Sekaran, Uma. 2006. Research methods for bussiness. Buku 2. Edisi 4. Jakarta:
Salemba empat.
Sriyana, Jaka. 1999. Hubungan Keuangan PusatDaerah, Reformasi Perpajakan
dan Kemandirian Pembiayaan Pembangunan Daerah. JEP. Vol 4 No.1
Sularso, H. dan Y.. E. Restianto, 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap
Alokasi Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten/Kota di
Jawa Tengah. Media Riset Akuntansi, Vol.1 No.2: 109-124.
Wirosardjono, Sucipto. 1998. Pertumbuhan Penduduk Indonesia Catatan Analisa,
Prisma, No 3 Tahun XVII
Zega, H.S. 2014. Pengaruh pendapatan asli daeras, dana alokasi umum, dana
bagi hasil, sisa lebih pembiayaan anggaran, dan luas wilayah terhadap
belanja modal dengan dana alokasi khusus sebagai variabel moderating
pada pemerintah kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Jurnal Universitas
Sumatera Utara.

34

Anda mungkin juga menyukai