Anda di halaman 1dari 20

KEBUDAYAAN JEPANG

Jepang yang mempunyai kebudayaan yang unik


membuat Negara bunga sakura itu banyak di kenal masyarakat dunia salah satunya
Indonesia, kebudayaan jepang yang sampai saat ini masih dilakukan dalam berbagai
kesempatan misalkan perayaan hanami, di karenakan masyarakat jepang mencintai
kebudayaannya sendiri dan mau menjaganya. Orang jepang mau memakai pakean seberat
dan setebal kimono untuk sekedar menghadiri upacara resepsi pernikahan, sekarang kita
tau bagaimana cintanya warga jepang pada kebudayaannya sendiri. Adakalanya kita perlu
mengetahui seperti apa kebudayaan jepang itu, mungkin dengan mengetahui beberapa
kebudayaan jepang kita bisa sedikit meniru cara melestarikan kebudayaannya, mungkin
bisa saja kebudayaan kita tetap terjaga dan tetap di lakukan seperti kebudayaan jepang,
berikut beberapa contoh kebudayaan jepang:
Perayaan hanami
Samurai
Shogun
Baju tradisional jepang
PERAYAAN HANAMI

Hanami (hana wo miru = melihat bunga) atau ohanami adalah tradisi Jepang dalam
menikmati keindahan bunga, khususnya bunga sakura. Mekarnya bunga sakura merupakan
lambang kebahagiaan telah tibanya musim semi. Selain itu, hanami juga berarti piknik
dengan menggelar tikar untuk pesta makan- makan di bawah pohon sakura.
Rombongan demi rombongan berpiknik menggelar tikar dan duduk-duduk di bawah
pepohonan sakura untuk bergembira bersama, minum sake, makan makanan khas Jepang,

dan lain-lain layaknya pesta kebun. Semuanya bergembira. Ada kelompok keluarga, ada
kelompok perusahaan, organisasi, sekolah dan lain-lain.
Menurut kisah sejarah, kebiasaan hanami dipengaruhi oleh raja-raja Cina yang gemar
menanam pohon plum di sekitar istana mereka. Di Jepang para bangsawanpun kemudian
mulai menikmati bunga Ume (plum). Namun pada abad ke-8 atau awalperiode Heian,
obyek bunga yang dinikmati bergeser ke bunga sakura. Dikisahkan pula bahwa Raja Saga
di era Jepang dahulu gemar menyelenggarakan pesta hanami di taman Shinsenendi Kyoto.
Para bangsawanpun menikmati hanami di berbagai istana mereka, dan para petani masa itu
melakukannya dengan mendaki gunung terdekat di awal musim semi untuk menikmati
bunga sakura yang tumbuh disana sambil `tidak lupa membawa bekal untuk makan siang.
Hingga kini hanami menjadi kebiasaan yang mengakar di seluruh masyarakat Jepang dan
telah di terima sebagai salah satu kekhasan bangsanya. Khusus di daerah Kansai dan
Jepang Barat, tempat-tempat unggulan untuk ber-hanami adalah Arashiyama di Kyoto,
Yoshino di Nara, taman disekitar OsakaCastle dan Taman Shukugawa di Nishinomiya,
Prefektur Hyogo.
Waktu bunga sakura bermekaran di pohonnya berbeda-beda dari satu daerah ke daerah
lainnya, dimulai dari daerah paling selatan. Tapi rata-rata mekar dari akhir Maret hingga
awal April (kecuali di Okinawa dan Hokkaido). Dengan demikian pesta memandang dan
menikmati sakura juga berlainan waktunya dari satu daerah ke daerah lainnya. Prakiraan
pergerakan mekarnya bunga sakura disebut garis depan bunga sakura (sakurazensen).
Prakiraan ini dikeluarkan oleh direktorat meteorologi dan berbagai badan yang berurusan
dengan cuaca. Saat melakukan hanami di suatu tempat adalah ketika semua pohon sakura
yang ada di tempat tersebut bunganya sudah mekar semua.
Namun akhir-akhir ini tradisi hanami membawa dampak negatif. Banyak orang Jepang
yang mabuk dan angka kecelakaan pun meningkat. Taman pun menjadi gunung sampah. Di
saat hanami kelihatannya kesadaran tertib buang sampah menjadi luntur. Sayang sekali.
Tapi di sisi lain, hanami seperti sebuah `rehat` singkat dari striknya hidup orang-orang
Jepang. Hanami juga merupakan pembelajaran berharga bagi anak tentang alam dan
tradisi.
OSAKA
Osaka Castle di kota Osaka termasuk salah satu tempat favorit untuk ber-hanami. Para
peneliti memperkirakan bahwa wilayah yang kini dikenal dengan nama kota Osaka telah
dihuni manusia sejak sepuluh ribu tahun lalu. Sekitar abad ke-5, kebudayaan Timur telah
diperkenalkan ke wilayah Jepang melalui Peninsula Korea lalu Osaka yang dikemudian
hari menjadi pusat kebudayaan dan politik Jepang.
Pada abad ke-7, ibukota pertama Jepang didirikan di Osaka dan ia menjadi pintu gerbang
kebudayaan dan perdagangan utama Jepang. Kemudian suatu saat sekitar akhir abad ke-12

kekuatan politik disana jatuh ketangan kelas pendekar perang dan Jepang mulai memasuki
masa perselisihan sipil dan intrik muncul dimana-mana hingga menumbuhkan
ketidakpastian masa depan rakyatnya.
Pada tahun 1583, Toyotomi Hideyoshi seorang penguasa dimasanya berhasil menyatukan
Jepang dari masa kelam ini dan kemudian memilih Osaka sebagai tempat tinggalnya. Ia
membangun Osaka menjadi pusat politik serta ekonomi Jepang. Puri Osaka atau Osaka
Castle merupakan salah satu saksi bisu kemegahan masa itu dan menjadi bangunan
terindah yang didirikan oleh Toyotomi Hideyoshi. Puri ini dikelilingi taman yang penuh
pohon Cherry, Plum dan Sakura serta berbunga indah saat musim semi. Bunga yang
menjadi kebanggaan masyarakat setempat serta mengundang kekaguman para pengunjung
saat ber-hanami.
Di abad ke-17 walalupun pusat kekuatan politik telah bergeser ke Tokyo, Osaka terus
berlanjut memainkan peran yang penting dalam mengatur perekonomian dan distribusi
barang di Jepang. Di masa ini pula kebudayaan kota berkembang pesat antara lain melalui
lahirnya sekolah-sekolah yang dikelola pihak swasta dengan sistim pendidikan yang
berbeda dari yang dilaksanakan oleh pemerintah dimasa itu. Melalui cara ini, cara berpikir
terbuka dan semangat berwirausaha telah dipupuk dan menjadikan Osaka dikemudian hari
menjadi suatu kota metropolis yang modern serta menjadi kota terbesar ketiga di Jepang.
Pada masa lalu, Osaka memang pernah menjadi pusat perdagangan Jepang. Kini, seiring
dengan kemajuan jaman, sejak akhir tahun 1990an banyak perusahaan-perusahaan
terkemuka memindahkan kantor pusat mereka ke Tokyo. Namun beberapa tetap
mempertahankan tradisi berkantor pusat di Osaka.
SAMURAI

Istilah samurai ( ), pada awalnya mengacu kepada


seseorang yang mengabdi kepada bangsawan. Pada zaman Nara, (710 784), istilah ini
diucapkan saburau dan kemudian menjadi saburai. Selain itu terdapat pula istilah lain yang
mengacu kepada samurai yakni bushi.

Istilah bushi ( ) yang berarti orang yang dipersenjatai/kaum militer, pertama kali
muncul di dalam Shoku Nihongi ( ), pada bagian catatan itu tertulis secara
umum, rakyat dan pejuang (bushi) adalah harta negara. Kemudian berikutnya istilah
samurai dan bushi menjadi sinonim pada akhir abad ke-12 (zaman Kamakura).
Pada zaman Azuchi-Momoyama (1573 1600) dan awal zaman Edo (1603), istilah saburai
berubah menjadi samurai yang kemudian berubah pengertian menjadi orang yang
mengabdi.
Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang tidak
terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal dengan rnin ( ).
Rnin ini sudah ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah rnin digunakan bagi samurai
tak bertuan pada zaman Edo (1603 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang
berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya. kehidupan seorang
rnin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang
samurai menjadi rnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk
menjalani hidup sebagai rnin. Adapula rnin yang berasal dari garis keturunan, anak
seorang rnin secara otomatis akan menjadi rnin. Eksistensi rnin makin bertambah
jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya
kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para samurai kehilangan majikannya.
Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada
zaman Nara (710 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan
memberlakukan wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan
yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun
bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi
peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus membekali diri
secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut.
Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat
sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari
wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori ( ) yang secara harfiah berarti
pembela, namun pasukan ini tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada
zaman berikutnya.
Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum
bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan
kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan
para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan
pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan
tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar.
Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi

baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi)
mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas
militer yang dikenal dengan samurai.
Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto
muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling
memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak
mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum
bangsawan. Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan
dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji.
Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas
politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi
politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei ( ) pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan
tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai negara di
dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan
perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan
yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro
maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan
Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen
(1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang
menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum
samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana. Taira pun mengangkat dirinya sebagai
kuge ( bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian
besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara
keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar
Shirakawa,

yang

pada

akhirnya

mengantarkan

keluarga

Minamoto

mendirikan

pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 1333). Ketika


Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo
yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336),
ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan
Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak
terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan
bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua
(tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai

pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh,
taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi
tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan
penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah
yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki
Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi
pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam
menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busurpanah dengan pedang sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan
tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang. Pada zaman Muromachi
(1392 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara
di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara
Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuch tairitsu).
Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan
tuan tanah daerah (shugo daimy) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di
pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimy daerah.
Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing. Setiap
Han13 seolah terikat dalam sebuah negara-negara kecil yang saling mengancam. Kondisi
ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku
jidai (1568 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau
kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan
tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai negara nasional di bawah satu
pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan
Toyotomi Hideyoshi.
Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi
militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai,
yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan
negara luar, Nara yang merupakan lumbung padi, dan Kyoto yang merupakan pusat
pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar. Strategi terpenting yang dijalankannya
adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang
portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu
di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat
memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis,
sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api
(yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya
lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk

pemerintahan pusat yang kokoh. Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi


Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi
Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama
Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang
penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil
menyatukan seluruh Jepang.
Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang,
dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di
Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya. Terdapat dua peraturan
penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan
katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara
strategis bermaksud mengontrol kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani
agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata. Keberhasilan Toyotomi
menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang
perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang
menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan
Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk
menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi
wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.
Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah
gekokuj ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa
Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo).
Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak
Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada
tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu
Edo pada tahun 1603.
KEMATIAN SAMURAI
Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada tindakan
pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang sangat penting bagi
seorang samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai mati yang terbaik telah ditulis di
dalam sebuah buku, Hagakure pada kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai
berangkat ke medan peperangan, Hagakure buku tersebut dikatakan telah membawa
semangat dan panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan,
wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah
disalahtafsirkan oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya. Malah, contoh
utama yang boleh dipaparkan di sini terletak di Bab Pendahuluan buku Hagakure itu

sendiri: Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada
di sini hanya pilihan yang pantas untuk kematian.
Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam
kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang.
Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku Hagakure: Kita semua mau
hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka.
Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan
yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai
(Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam,
seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat
kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia
akan mencapai apa yang dihajatinya.
Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan
Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini. Taira Tomomori boleh dianggap sebagai
Jeneral Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan
pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang
Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang
jeneral yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika
berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jeneral tersebut telah mengkhianati
perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori
membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri. Seterusnya kita akan
bincangkan mengenai Dua Kematian Cara Samurai iaitu Mati Di Medan Pertempuran dan
Seppuku.
CARA KEMATIAN
1. Mati di medan pertempuran
Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam peperangan
untuk membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan para samurai. Mati
dibunuh di medan perang adalah lebih baik daripada hidup tetapi ditangkap oleh musuh.
Salah seorang samurai yang terkenal, Uesugi Kenshin sempat meninggalkan pesanan
kepada para pengikutnya sebelum mati:
Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat
perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara
biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat
perlindungan Tuhan.
Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan
perang. Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah
Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto,

Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada sementara yang lain telah mengambil
keputusan untuk membunuh diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman
Minamoto Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16).
Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.
2. Seppuku
Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara membunuh diri.
Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai. Bagi seorang samurai,
membunuh diri adalah lebih baik daripada membiarkan ditangkap, karena sekiranya
samurai itu masih hidup dan ditangkap, ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga
dan raja. Di Barat, cara membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan
Membunuh Diri dengan membelah perut tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para
samurai), tidak diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti yang
tercatat dalam sejarah, Seppuku ini mula dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan
Minamoto Yorisama pada akhir kurun ke-12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih
cara ini karena lebih mudah melakukan dibandingkan membunuh diri dengan cara
memenggal kepala sendiri. Ada juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan
seppuku, iaitu dengan membelah perut adalah merupakan cara yang paling jujur untuk
mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan yang amat sangat dan ini
mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, mati dengan cara
seppuku dianggap sebagai suatu keberanian dan kehormatan.
Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat dalam
kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan dikeluarkan, kemudian satu
bantal yang besar akan diletakkan di atasnya . Para saksi pembunuhan akan berdiri di
sebelah samurai tersebut (pelaku seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian
(sebagai satu nilai penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani
seppuku, memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal tersebut.
Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang kaishakunin,
atau `kedua akan turut berlutut. Kaishakunin atau `Kedua adalah sahabat akrab kepada
samurai yang telah meninggal kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap
tidak senonoh dan amat memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan
terpilih (berkesanggupan untuk melakukan tugas membantu) saja yang akan menjadi
kaishakunin.
Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di
dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan
menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan
mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan
sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi. Apabila dia telah bersedia, dia akan

mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan.
Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan
ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini,
maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut
setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.
Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan
bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku
yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai
nama-nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:
Junshi: Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut meninggal.
Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia dan merugikan karena
negara akan banyak kehilangan perwira yang setia. Semasa kematian Maharaja Meiji pada
1912, Jeneral Nogi Maresue telah melakukan junshi.
Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi.
Tidak begitu popular, melibatkan seseorang yang melakukan seppuku sebagai tanda
peringatan kepada seseorang raja apabila segala bentuk musyawarah (persuasion) gagal.
Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah melakukan kanshi untuk mengubah
prinsip dan pemikiran Oda Nobunaga.
Sokotsu-shi: Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus
kesalahannya.
Ini merupakan sebab yang paling popular dalam melakukan seppuku. Antara samurai yang
melakukan sokotsu-shi ini termasuklah Jeneral Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki
(1501-1561), karena telah membuat satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya
di dalam bahaya.
SHOGUN

Shogun ( Sh gun) adalah istilah bahasa Jepang yang berarti jenderal. Dalam konteks
sejarah Jepang, bila

disebut pejabat shogun maka yang dimaksudkan adalahSei-i Taishgun ( )


yang berarti Panglima Tertinggi Pasukan Ekspedisi melawan Orang Biadab (istilah
Taishgun berarti panglima angkatan bersenjata). Sei-i Taishgun merupakan salah satu
jabatan jenderal yang dibuat di luar sistem Taih Ritsury. Jabatan Sei-i Taishgun dihapus
sejak Restorasi Meiji. Walaupun demikian, dalam bahasa Jepang, istilah shgun yang
berarti jenderal dalam kemiliteran tetap digunakan hingga sekarang.
Sejak zaman Nara hingga zaman Heian, jenderal yang dikirim untuk menaklukkan wilayah
bagian timur Jepang disebut Sei-i Taishgun, disingkat shogun. Jabatan yang lebih rendah
dari Sei-i Taishgun disebut Seiteki Taishgun ( panglima penaklukan orang
barbar?) dan Seisei Taishgun ( panglima penaklukan wilayah barat?). Gelar
Sei-i Taishgun diberikan kepada panglima keshogunan (bakufu) sejak zaman Kamakura
hingga zaman Edo. Shogun adalah juga pejabatTry (kepala klan samurai) yang
didapatkannya berdasarkan garis keturunan.
Pejabat shogun diangkat dengan perintah kaisar, dan dalam praktiknya berperan sebagai
kepala pemerintahan/penguasa Jepang. Negara asing mengganggap shogun sebagai raja
Jepang, namun secara resmi shogun diperintah dari istana kaisar, dan bukan penguasa
yang sesungguhnya. Kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Kaisar Jepang.
Sejarah
Zaman Nara dan zaman Heian
Kata Sei-i dalam Sei-i Taishgun berarti penaklukan suku Emishi yang tinggal di
wilayah timur Jepang. Suku Emishi dinyatakan sebagai orang barbar oleh orang Jepang
zaman dulu. Sei-i Taishgun memimpin pasukan penyerang dari arah pesisir Samudra
Pasifik, dan di bawah komandonya terdapat Seiteki Taishgun yang memimpin pasukan
penyerang dari arah pesisir Laut Jepang. Selain itu dikenal Seisei Taishgun yang
memimpin pasukan penakluk wilayah Kyushu di bagian barat Jepang.
Dalam perkembangannya, istilah Sei-i (penaklukan suku Emishi) diganti pada zaman
Hki menjadi Sei-t (penaklukan wilayah Timur). Namun istilah penaklukan suku
Emishi (Sei-i) kembali digunakan sejak tahun 793. Istilah Sei-i Shgun (jenderal
penaklukan suku Emishi) mulai dipakai dalam dokumen resmi sejak tahun 720 (Yr tahun
4 bulan 9 hari 29) ketika Tajihi Agatamori diangkat sebagai Sei-i Shgun. Istilah Sei-t
Shgun (jenderal penaklukan wilayah timur) mulai dipakai sejak tahun 788 seperti catatan
sejarah yang ditulis Ki no Kosami (730-797) yang ikut serta dalam ekspedisi ke wilayah
timur.
Pada tahun 790, tomo no Otomaro ditugaskan sebagai Sei-t Taishi (Duta Besar
Penaklukan Wilayah Timur). Dua tahun kemudian, nama jabatan tersebut diganti menjadi
Sei-i Shi ( ?, Duta Penaklukan Wilayah Timur), atau bisa juga disebut Sei-i Shgun
(Jenderal Penaklukan Wilayah Timur).

Sakanoue no Tamuramaro diangkat sebagai Sei-i Taishgun pada tahun 797 setelah
sebelumnya menjabat Wakil Duta Penaklukan Wilayah Timur sekaligus Wakil Duta
Penaklukan Suku Emishi di bawah komando tomo no Otomaro. Pemimpin Emishi
bernama Aterei yang bertempur pantang menyerah akhirnya berhasil ditangkap oleh
Tamuramaro dan dibawa ke ibu kota, sedangkan selebihnya berhasil ditaklukkan. Pada
praktiknya, Sakanoue no Tamuramaro adalah Sei-i Taishgun yang pertama atas jasanya
menaklukkan suku Emishi.
Selanjutnya dalam rangka peperangan melawan Emishi, Funya no Watamaro diangkat
sebagai Sei-i Shogun (Jenderal Penaklukan Suku Emishi) pada tahun 811. Perang
dinyatakan berakhir pada tahun yang sama, dan wakil shogun bernama Mononobe no
Taritsugu naik pangkat sebagai Chinju Shgun. Istilah chinjufu berarti pangkalan militer
yang terletak di Provinsi Mutsu. Setelah itu, jabatan Sei-i Shgun kembali dipulihkan sejak
tahun 814.
Zaman Kamakura
Minamoto no Yoritomo memulai karier militer sebagaiTry (kepala klan Minamoto) di
wilayah Kanto. Jabatan kepala klan bukan merupakan jabatan resmi di bawah sistem
hukum Ritsury, dan kedudukan Yoritomo tidak jauh berbeda dengan Taira no Masakado
atau pemimpin pemberontak lain di daerah.
Pada tahun 1190, Yoritomo diangkat sebagai jenderal pengawal kaisar (Ukone no Taish)
yang merupakan posisi resmi dalam pemerintahan. Jabatan sebagai jenderal pengawal
kaisar mengharuskannya tinggal di ibu kota Kyoto. Jabatan ini tidak sesuai bagi Yoritomo
yang berambisi menguasai secara total wilayah Kanto. Yoritomo mengundurkan diri dari
jabatan jenderal pengawal kaisar, namun tetap mempertahankan hak istimewa sebagai
mantan jenderal tertinggi (Sakino-u Taish).
Setelah mantan Kaisar Go-Shirakawa mangkat, Minamoto Yoritomo diangkat sebagai Sei-i
Taishgun pada tanggal 21 Agustus 1192. Pemerintahan militer yang didirikan Yoritomo di
Kamakura dikenal sebagai Keshogunan Kamakura.
BAJU TRADISIONAL JEPANG

1. Kimono
Kimono ( ) adalahpakaian tradisionalJepang. Arti harfiah kimono adalahbaju atau
sesuatu yang
dikenakan (ki berartipaka i, danmono berartibarang).
Pada zaman sekarang, kimono berbentuk seperti huruf T, miripmantel berlengan panjang
dan berkerah. Panjang kimono dibuat hingga ke pergelangan kaki. Wanita mengenakan
kimono berbentuk baju terusan, sementara pria mengenakan kimono berbentuk setelan.
Kerah bagiankanan harus berada di bawah kerah bagiankiri. Sabuk kain yang disebutob i
dililitkan di bagianperut/pinggang, dan diikat di bagianpunggung. Alas kaki sewaktu
mengenakan kimono adalahzri ataugeta.Kimono sekarang ini lebih sering dikenakan
wanita pada kesempatan istimewa. Wanita yang belum menikah mengenakan sejenis
kimono yang disebut furisode.[1] Ciri khas furisode adalah lengan yang lebarnya hampir
menyentuh lantai. Perempuan yang genap berusia 20 tahun mengenakanfurisod e untuk
menghadiri seijin shiki.
Pria mengenakan kimono pada pesta pernikahan, upacara minum teh, dan acara formal
lainnya. Ketika tampil di luar arena sumo, pesumo profesional diharuskan mengenakan
kimono.[2] Anak-anak mengenakan kimono ketika menghadiri perayaan Shichi- Go-San.
Selain itu, kimono dikenakan pekerja bidang industri jasa dan pariwisata, pelayan wanita
rumah makan tradisional (rytei) dan pegawai penginapan tradisional (ryokan).
Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (hanayome ish) terdiri darifurisod e danuch
ikake (mantel yang dikenakan di atasfurisode).Furisode untuk pengantin wanita berbeda
darifurisode untuk wanita muda yang belum menikah. Bahan untukfurisod e pengantin
diberi motif yang dipercaya mengundang keberuntungan, seperti gambar burung jenjang.
Warnafurisod e pengantin juga lebih cerah dibandingkanfurisodebiasa.Shiro muku adalah
sebutan untuk baju pengantin wanita tradisional berupafurisode berwarna putih bersih
dengan motif tenunan yang juga berwarna putih.
Sebagai pembeda dari pakaian Barat (yfuku) yang dikenal sejak zaman Meiji, orang
Jepang menyebut pakaian tradisional Jepang sebagaiwafuku ( , pakaian Jepang).
Sebelum dikenalnya pakaian Barat, semua pakaian yang dipakai orang Jepang disebut
kimono. Sebutan lain untuk kimono adalahgofuku ( ). Istilahgofuku mulanya dipakai
untuk menyebut pakaian orang negara Dong Wu (bahasa Jepang : negara Go) yang tiba di
Jepang dari daratan Cina.
2. Kimono wanita

Terselubung yang dikandung masing-masing jenis kimono. Tingkat


formalitas kimono wanita ditentukan oleh pola tenunan dan warna, mulai dari kimono
paling formal hingga kimono santai. Berdasarkan jenis kimono yang dipakai, kimono bisa
menunjukkan umur pemakai, status perkawinan, dan tingkat formalitas dari acara yang
dihadiri.
Kurotomesode

Tomesode adalah kimono paling formal untuk wanita yang sudah


menikah. Bila berwarna hitam, kimono jenis ini disebut kurotomesode (arti harfiah:
tomesode hitam). Kurotomesode memiliki lambang keluarga (kamon) di tiga tempat: 1 di
punggung, 2 di dada bagian atas (kanan/kiri), dan 2 bagian belakang lengan (kanan/kiri).
Ciri khas kurotomesode adalah motif indah padasuso (bagian bawah sekitar kaki) depan
dan belakang. Kurotomesode dipakai untuk menghadiri resepsi pernikahan dan acara-acara
yang sangat resmi.
Irotomesode

Tomesode

yang

dibuat

dari

kain

berwarna

disebut

irotomesode (arti harfiah: tomesode berwarna). Bergantung kepada tingkat formalitas

acara, pemakai bisa memilih jumlah lambang keluarga pada kain kimono, mulai dari satu,
tiga, hingga lima buah untuk acara yang sangat formal. Kimono jenis ini dipakai oleh
wanita dewasa yang sudah/belum menikah. Kimono jenis irotomesode dipakai untuk
menghadiri acara yang tidak memperbolehkan tamu untuk datang memakai kurotomesode,
misalnya resepsi di istana kaisar. Sama halnya seperti kurotomesode, ciri khas irotomesode
adalah motif indah pada suso.

Furisode

Furisode adalah kimono paling formal untuk wanita muda


yang belum menikah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh
bagian kain. Ciri khas furisode adalah bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke
bawah. Furisode dikenakan sewaktu menghadiri upacara seijin shiki, menghadiri resepsi
pernikahan teman, upacara wisuda, atauhatsu mode. Pakaian pengantin wanita yang
disebut hanayome ish termasuk salah satu jenis furisode.

Homongi

Hmon-gi ( , arti harfiah: baju untuk berkunjung) adalah


kimono formal untuk wanita, sudah menikah atau belum menikah. Pemakainya bebas
memilih untuk memakai bahan yang bergambar lambang keluarga atau tidak. Ciri khas
homongi adalah motif di seluruh bagian kain, depan dan belakang. Homongi dipakai
sewaktu menjadi tamu resepsi pernikahan, upacara minum teh, atau merayakan tahun baru.

Iromuji

Iromuji adalah kimono semiformal, namun bisa dijadikan kimono formal bila iromuji
tersebut memiliki lambang keluarga (kamon). Sesuai dengan tingkat formalitas kimono,
lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan
bagian dada). Iromoji dibuat dari bahan tidak bermotif dan bahan-bahan berwarna lembut,
merah jambu, biru muda, atau kuning muda atau warna-warna lembut. Iromuji dengan
lambang keluarga di 5 tempat dapat dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan. Bila
menghadiri upacara minum teh, cukup dipakai iromuji dengan satu lambang keluarga.

Tsukesage

Tsukesage adalah kimono semiformal untuk wanita yang


sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitas, kedudukan tsukesage hanya
setingkat dibawah homongi. Kimono jenis ini tidak memiliki lambang keluarga. Tsukesage
dikenakan untuk menghadiri upacara minum teh yang tidak begitu resmi, pesta pernikahan,
pesta resmi, atau merayakan tahun baru.

Komon

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah.
Ciri khas kimono jenis ini adalah motif sederhana dan berukuran kecil- kecil yang
berulang.[3] Komon dikenakan untuk menghadiri pesta reuni, makan malam, bertemu
dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.
Tsumugi

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah


oleh wanita yang sudah atau belum menikah. Walaupun demikian, kimono jenis ini boleh
dikenakan untuk keluar rumah seperti ketika berbelanja dan berjalan-jalan. Bahan yang
dipakai adalah kain hasil tenunan sederhana dari benang katun atau benang sutra kelas
rendah yang tebal dan kasar. Kimono jenis ini tahan lama, dan dulunya dikenakan untuk
bekerja di ladang.

Yukata

Yukata (, baju sesudah mandi) adalah jeniskimono yang dibuat dari bahan kain katun
tipis tanpa pelapis. Dibuat dari kain yang mudah dilewati angin, yukata dipakai agar badan
menjadi sejuk di sore hari atau sesudahmandi malam berendam dengan air panas.
Menurut urutan tingkat formalitas, yukata adalah kimono nonformal yang dipakaipria dan
wanita pada kesempatan santai di musim panas, misalnya sewaktu melihat pesta kembang
api, matsuri (ennichi), atau menari pada perayaanobon. Yukata dapat dipakai siapa saja
tanpa mengenal status, wanita sudah menikah atau belum menikah.
Gerakan dasar yang harus dikuasai dalam nihon buyo selalu berkaitan dengan kimono.
Ketika berlatih tari, penari mengenakan yukata sebagai pengganti kimono agar kimono
berharga mahal tidak rusak karena keringat. Aktorkabuk i mengenakan yukata ketika

berdandan atau memerankan tokoh yang memakai yukata. Pegulatsumo memakai yukata
sebelum dan sesudah bertanding.
Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri di Jepang. Jika terlihat orang
memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau pesta kembang api.
Cara memakai
Hotel atauryokan di Jepang menyediakan yukata untuk dipakai tamu sebagai pakaian tidur.
Sebagai pakaian tidur, yukata bisa dikenakan begitu saja tanpa mengenakan pakaian dalam.
Ketika dipakai pria untuk keluar rumah, yukata biasanya dikenakan tanpa kaus dalam, dan
cukup memakai celana dalam atau celana pendek. Berbeda dengan kimono yang dikenakan
dengan dua lapis pakaian dalam (hadajuban danju ban), sewaktu mengenakan yukata,
wanita hanya perluhada juban (pakaian dalam lapis pertama). Alas kaki sewaktu memakai
yukata adalah geta.
Yukata dikencangkan ke tubuh pemakai dengan obi yang lebarnya setengah dari lebar obi
untuk kimono jenis lain. Di antara berbagai jenis simpul obi untuk yukata, bentuk simpul
yang paling populer adalah simpulbunko yang berbentuk kupu-kupu. Bila tidak bisa
membuat simpul, toko kimono menjual simpul obi yang sudah jadi dan tinggal disisipkan
pada obi.
Wanita mengenakan yukata yang pas dengan ukuran tubuh pemakai agar terlihat bagus
sewaktu dipakai. Seperti halnya kimono, panjang yukata selalu melebihi tinggi badan
pemakai. Perlengkapan memakai yukata wanita:
rok panjang (susoyoke) sebagai pakaian dalam, berwarna putih polos.
pakaian dalam (hadajuban)
tali pinggang (koshihimo) untuk mengencangkan kain berlebih di bagian pinggang yang
berasal dari kelebihan panjang kain pada bagian bawah
kain sabuk pengikat (datejime) untuk mengencangkan kain yang longgar di bagian perut
Obi untuk mengencangkan yukata ke badan
3. Kimono pria

Kimono pria dibuat dari bahan berwarna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan
hitam.

Kimono paling formal berupa setelan montsukihitam dengan hakama dan haori.
Bagian punggungmontsuki dihiasi lambang keluarga pemakai. Setelan montsuki yang
dikenakan bersama hakama dan haori merupakan busana pengantin pria tradisional.
Setelan ini hanya dikenakan sewaktu menghadiri upacara sangat resmi, misalnya resepsi
pemberian penghargaan dari kaisar/pemerintah atau seijin shiki.
Kimono santai ki nagashi

Pria mengenakankinagashi sebagai pakaian sehari-hari atau


ketika keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Aktor kabuki mengenakannya ketika
berlatih. Kimono jenis ini tidak dihiasi dengan lambang keluarga.
Tentang iklan-iklan ini

Anda mungkin juga menyukai