Anda di halaman 1dari 5

Jarak antara adzan dan iqamah

Tulisan ini adalah saran yang saya berikan kepada pengurus DKM Masjid Al-Hijri
Perumahan Ciomas Permai Bogor beberapa bulan yang lalu; terkait dengan pembahasan jarak
antara adzan dan iqamat. Beberapa jama'ah masjid mengeluhkan tentang cepatnya waktu iqamat
setelah adzan dikumandangkan sehingga beberapa diantara mereka masbuq shalat berjama'ah.
Oleh karena itu, diadakanlah rapat untuk membahas hal tersebut. Musyawarah terjadi antara
"golongan" yang menginginkan perubahan dengan "golongan" yang ingin tetap mempertahankan
tradisi (iqamat tidak terlalu lama). Waktu itu, saya sempat memberikan sedikit penjelasan singkat.
Beberapa jama'ah lain pun melengkapi dan saling memberikan informasi tambahan. Walhasil,
keputusan rapat pun "mengarah" kepada adanya perubahan (walau tidak tegas diputuskan, sebab
masih ada orang yang ngotot dengan kebiasaan lama). Sehari kemudian saya menuliskan risalah
ini yang kemudian ditempel dan diperbesar oleh seorang teman. Pengaturan waktu iqamat yang
lebih longgar pun dilakukan walau seringkali saya disindir dengan perkataan : "belum sepuluh
menit nih" (yang dikatakan berulang-ulang setiap menjelang iqamat). Saya dianggap sebagai
"biang kerok". Tata waktu iqamat yang lebih longgar dijalankan hanya beberapa pekan saja yang
kemudian kembali ke kebiasaan lama. Tapi tidak apalah,..... setidaknya dengan tulisan ini,
beberapa orang mengetahui kedudukan permasalahan sesuai dengan sunnah, walau saat ini belum
bisa dijalankan dengan sepenuhnya. Berikut isi tulisan dimaksud yang semoga memberi
kemanfaatan kepada Pembaca sekalian (dengan proses editing tentunya) :
Dalam rapat pengurus DKM akhir tahun yang dilaksanakan kemarin malam (31 Desember
2007 ; pukul 20.00 selesai) ada sebuah bahasan menarik tentang : Berapa Lama Jarak Antara
Adzan dan Iqamah ? Bahasan ini muncul di rapat karena ada kritik/saran dari sebagian jamaah
yang menganggap bahwa iqamat yang dilaksanakan di Masjid Al-Hijri terlalu cepat. Dengan
memohon pertolongan Allah - pada kesempatan ini - kami akan mencoba menuliskan secara
ringkas tentang bahasan tersebut yang semoga dapat bermanfaat bagi kita semua.
Akan kami sebutkan beberapa hadits yang disebutkan para ulama terkait dengan
permasalahan ini, yaitu :
Hadits Jabir radliyallaahuanhu [1] :




Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda kepada Bilal : Wahai


Bilal, apabila engkau mengumandangkan adzan, maka lakukanlah dengan tempo yang lambat.
Dan apabila engkau mengumandangkan iqamah, maka lakukanlah dengan tempo yang cepat.
Jadikanlah jarak antara adzanmu dan iqamahmu seukuran waktu yang dibutuhkan seseorang yang
sedang makan menyelesaikan makannya, orang yang sedang minum menyelesaikan minumnya,
dan orang yang sedang buang hajat bisa menyelesaikannya pula. Dan janganlah engkau beriqamat
hingga engkau melihatku [HR. Tirmidzi no. 195].
Dhahir sanad hadits ini adalah sangat lemah karena perawi yang bernama Abdul-Munim As-

Siqaa. Ia seorang perawi matruk ( = perawi yang ditinggalkan haditsnya) sebagaimana yang
dikatakan Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib (6/431-432). Adz-Dzahabi menukil perkataan Imam AlBukhari : Munkarul-Hadits (Mizaanul-Itidaal 2/669). Selain itu, guru Abdul-Munim,
yaitu Yahya bin Muslim Al-Baka juga seorang perawi dlaif (Tahdzibut-Tahdzib 11/279).
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (no. 732) [2], dengan sanad yang
lebih lemah daripada sanad Imam At-Tirmidzi karena ada penyelisihan (tambahan perawi), yaitu
Amr bin Faaid Al-Aswari, antara Abdul-Munim dan Yahya. Sementara Imam Ad-Daruquthni
berkata tentangnya : Matruk (Mizaanul-Itidaal 3/283).
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu anhu yang semakna dengan hadits nomor 1 [3]
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa. Hadits ini juga mempunyai
kelemahan adanya perawi yang bernama Shubaih bin Umar. Ia adalah majhul (tidak diketahui
identitasnya) (Lihat Lisaanul-Miizan 3/221). Imam Al-Baihaqi berkata mengenai hadits ini :
Tidak maruf (dikenal).
Hadits Ubay bin Kab radliyallaahu anhu [4]:


:

Telah bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam : Wahai Bilal, jadikanlah jarak
antara adzan dan iqamahmu seukuran waktu yang dibutuhkan oleh seseorang yang sedang makan
menghabiskan makanannya dengan tidak tergesa-gesa, dan orang yang hendak buang hajat
menyelesaikannya dengan tidak tergesa-gesa [HR. Ahmad no. 21323].
Sanadnya dlaif karena perawi yang bernama Abul-Jauzaa (Abdullah bin Al-Jauzaa). Ia
adalah perawi majhul ain karena tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Abdullah bin
Fadhl.
Hadits Salman radliyallaahu anhu sebagaimana disebutkan oleh As-Suyuthi dalam JamulJawaami (no. 616) dari Abusy-Syaikh yang disebutkan beliau tanpa sanad.
Secara keseluruhan (dengan penggabungan keempat hadits di atas), ada ulama yang
menyimpulkan bahwa hadits tersebut adalah hasan lighairihi [5]. Namun ada pula yang
mendlaifkan karena dianggap kedlaifan masing-masing hadits sangat parah sehingga tidak bisa
saling menguatkan [6].
Ada hadits lain yang dianggap secara eksplisit menunjukkan jarak waktu antara adzan dan iqamat,
yaitu :


Dari Abdillah bin Mughaffal A-Muzani : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
bersabda : Antara dua adzan (yaitu antara adzan dan iqamat Abul-Jauzaa') terdapat shalat
beliau mengucapkannya tiga kali bagi yang ingin mengerjakannya [HR. Bukhari no. 598 dan
Muslim no. 838].

Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam dan para shahabatnya kadang datang ke masjid
setelah adzan berkumandang [7]. Maksudnya, sebelum iqamat dikumandangkan beliau dan juga
para shahabat masih sempat mengerjakan beberapa sunnah masyruah seperti :
Shalat sunah tahiyyatul-masjid, sebab Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam pernah
bersabda :

Jika salah seorang di antara kalian masuk masjid, maka shalatlah dua raka at sebelum ia
duduk [HR. Muslim no. 714].[8]
Shalat sunnah rawatib dua atau empat rakaat (seperti telah ditulis sebelumnya tentang shalat
sunnah antara adzan dan iqamat), sebagaimana sabda beliau shallallaahu alaihi wasallam :



Barangsiapa yang shalat sehari semalam duabelas rakaat akan dibangunkan baginya rumah
di surga : Empat rakaat sebelum Dhuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat setelah
maghrib, dua rakaat setelah isya, dan dua rakaat sebelum shubuh [HR. Tirmidzi no.
415; shahih].
Berdoa. Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam bersabda :


Tidak akan ditolak doa yang dipanjatkan antara adzan dan iqamah [HR. Nasai dalam
Amalul-Yaum wal-Lailah no. 67-69, Ibnu Khuzaimah no. 425-427, dan At-Tirmidzi no. 3594;
shahih].
Tiga hal inilah yang hendaknya diperhatikan bagi seorang muadzin untuk mengatur
jarak waktu antara adzan dan iqamah. Sebuah waktu yang longgar bagi kaum muslimin untuk
melaksanakan hal-hal yang disunnahkan dalam syariat. Dikecualikan dalam hal ini adalah
waktu maghrib, sebab waktu ini adalah sempit. Imam An-Nawawi berkata : Para shahabat kami
(dari kalangan ulama Syafiiyyah) telah sepakat tentang disunnahkannya mengadakan jarak
waktu (antara adzan dan iqamat) ini seukuran masa bagi berkumpulnya orang-orang yang hendak
berjamaah shalat. Kecuali untuk shalat maghrib, maka tidak boleh menundanya (sampai orangorang berkumpul semua) karena waktunya sempit [Al-Majmu Syarhul-Muhadzdzab 3/127].
Walaupun sempit, setidaknya para jamaah yang telah hadir dapat tetap diberi kesempatan untuk
melakukan shalat rawatib dua rakaat [9].
Kesimpulan : Jarak waktu antara adzan dan iqamah hendaknya cukup longgar bagi kaum
muslimin untuk mempersiapkan dirinya datang ke masjid; mulai dia berwudlu, berpakaian,
berjalan menuju masjid, dan melakukan hal-hal yang disunnahkan sebagaimana telah dijelaskan.
Orang yang berhak memerintah untuk mengumandangkan iqamat adalah imam rawatib [10].

Seorang muadzin tidak boleh beriqamah kecuali mendapat ijin dari imam. Namun imam pun juga
harus memperhatikan kondisi jamaahnya. Jika jamaah telah berkumpul, maka hendaknya ia
memerintahkan muadzin untuk beriqamah. Sebaliknya, jika jamaah belum berkumpul, maka
imam hendaknya menunggu sampai jamaah berkumpul [11]. Inilah fungsi imam yang baik,
sebab imam adalah penanggung jawab pelaksanaan shalat berjamaah. Rasulullah shallallaahu
alaihi wasallam bersabda :



Imam adalah orang yang menanggung, dan muadzin adalah orang yang dapat dipercaya (oleh
imam dalam menjaga waktu-waktu shalat). Ya Allah, tunjukilah para imam dan ampunilah para
muadzin [HR. Abu Dawud no. 517,518; At-Tirmidzi no. 207; dan yang lainnya. Hadits ini
shahih].
Kira-kira jika hal ini dipraktekkan, jeda waktu antara adzan dan iqamah setidaknya 10 - 15
menit. Bisa disesuaikan melihat kondisi jamaah. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi perbaikan
shalat berjamaah di masjid kita tercinta. Wallaahu alam. [Abul-Jauzaa' D17 no. 15 Ciper
Abul.Jauzaa@gmail.com 081569812**].
Catatan kaki :
[1] Sanad hadits ini adalah : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hasan : Telah
menceritakan kepada kami Al-Mala bin Asad : Telah menceritakan kepada kami AbdulMunim, dia adalah Shahibus-Siqaa ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Muslim dari Al-Hasan dan Atha dari Jabir bin Abdillah : [selanjutnya disebutkanlah
haditsnya]
[2] Sanad hadits ini adalah : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Ishaq : Telah
memberitakan kepada kami Ali bin Abdil-Aziz : Telah menceritakan kepada kami Ali
bin Hammad bin Abi Thalib : Telah menceritakan kepada kami Abdul-Munim bin Nuaim
Ar-Riyahi : Telah menceritakan kepada kami Amru bin Faid Al-Aswari : Telah menceritakan
kepada kami Yahya bin Muslim, dari Al-Hasan dan Atha dari Jabir bin Abdillah :
[selanjutnya disebutkan haditsnya]
[3] Sanad hadits ini adalah : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sad, Ahmad bin
Muhammad Al-Malini : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Ahmad bin Adi Al-Hafidh :
Telah mengkhabarkan kepada kami Ibrahim bin Ali Al-Umari : Telah menceritakan kepada
kami Mualla bin Mahdi : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Bakr bin Harits : Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad bin Hayyan : Telah menceritakan kepada kami
Hamdan bin Haitsam bin Khalid Al-Baghdadi : Telah menceritakan kepada kami Shubaih bin
Umar As-Sirafi : Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Ubaidillah dari Al-Hasan
dan Atha, mereka berdua dari Abu Hurairah, ia berkata : [selanjutnya disebutkan
haditsnya]
[4] Sanad hadits ini adalah : Telah menceritakan kepada kami Abdullah : Telah menceritakan

kepadaku Zakariyyah bin Yahya bin Abdillah bin Abi Said Ar-Raqqaasyi Al-Khazaaz : Telah
menceritakan kepada kami Muslim bin Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Malik bin
Mighwal, dari Ibnul-Fadhl, dari Abu Al-Jauzaa dari Abu Bakr dari Kaab ia berkata :
[ selanjutnya disebutkan haditsnya]
[5] Sebagaimana dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah (jilid 2 no. 887).
[6] Sebagaimana dikatakan oleh Imam At-Tirmidzi, Imam Al-Baihaqi, dan Syaikh Usamah AlQuusi dalam Kitaabul-Adzan (hal. 262).
[7] Sebagaimana dijelaskan oleh hadits : { } Bahwasannya Nabi
shallallaahu alaihi wasallam pernah keluar menuju masjid setelah adzan dikumandangkan
[HR. Baihaqi dalam Al-Kubraa 2/19-20; shahih].
[8] Bahkan sebagian ulama menghukuminya wajib !
[9] Tidak langsung diiqamati begitu adzan selesai sebagaimana terjadi di sebagian masjid-masjid.
Anas bin Malik mengkhabarkan :



Kami biasa shalat dua rakaat setelah matahari tenggelam sebelum melaksanakan shalat
maghrib di masa Nabi shallallaahu alaihi wasallam [HR.Muslim no. 836].
[10] Sebagaimana hadits Jabir bin Samurah radliyallaahu anhu : {
} Adalah Bilal mengumandangkan adzan
apabila matahari telah tergelincir (yaitu waktu Dhuhur). Dan ia tidak mengumandangkan iqamah
sampai melihat Nabi shallallaahu alaihi wasallam. Apabila ia telah melihat beliau, maka ia pun
beriqamah [HR. Muslim no. 606].

[11] Sebagaimana hadits : {


.}Bahwasannya Nabi shallallaahu alaihi wasallam

pernah keluar menuju masjid setelah adzan dikumandangkan. Jika beliau melihat jamaah masjid
masih sedikit, maka beliau duduk terlebih dahulu hingga mereka berkumpul. Baru kemudian
menegakkan shalat berjamaah. Namun bila beliau keluar dan melihat jamaah masjid telah
berkumpul, maka beliau langsung menegakkan shalat [HR. Baihaqi dalam Al-Kubraa 2/19-20;
shahih]

Anda mungkin juga menyukai