Anda di halaman 1dari 6

Sikap Anti-Intelektual Pemain

Bola Inggris

Berbicara tentang asal muasal pemain bola di Inggris (Raya) ini ada
kekhasan yang susah diketemukan di negara-negara lain: latar belakang sosial
pemain yang relatif homogen (kelas pekerja ke bawah) dan orientasi intelektual
yang juga homogen --dalam pengertian rendah.
Hampir semua pemain sepakbola Inggris ini kalau ditanya megapa memilih
sepakbola dan bukan sekolah misalnya, jawabnya hampir seragam, "Ah, saya
tidak pernah tertarik dengan sekolah. Saya hanya bagus di mata pelajaran
olahraga dan hal-hal yang sifatnya ketrampilan. Sudah lumayan saya bisa
membaca dan tahu dua tambah dua sama dengan empat."
Atau kalau ditanya kira-kira akan berprofesi apa seandainya tidak menjadi
pesepakbola, kebanyakan akan menjawab: dari buruh bangunan, pabrik, toko
dan semacamnya. Puluhan kali saya menyaksikan atau membaca wawancara
seperti itu.
Sistem pendidikan di Inggris memang lazim memberi pilihan untuk tidak
meneruskan pendidikan setelah lulus kelas 11 (2 SMA) kalau memang tidak ingin
melanjutkan ke jenjang universitas dan masuk ke dunia lapangan kerja. Kalau
mau ke jenjang universitas maka masih ada dua tahun tambahan, kelas 12 dan
13.
Kalau pemain sepakbola di Inggris rata-rata mulai menjadi pemain profesional
penuh ketika menginjak usia 16 atau 17 tahun, usia menyelesaikan kelas 11,

adalah karena alasan ini. Mereka sudah tak tahan untuk segera keluar dari
sistem pendidikan formal.

Homogenitas latar belakang sosial dan tingkat pendidikan ini sungguh


mengejutkan bagi banyak pemain asing yang bermain di Inggris. Salah satunya
adalah Marcel Desailly, ia sendiri anak angkat seorang diplomat Prancis, ketika
mendarat di Chelsea.
"Di Italia atau Prancis saya bertemu dengan pemain yang lahir dari keluarga
miskin dan kaya, variasi ekstraksi sosialnya sangat luar biasa," kata Desailly
seperti dikutip dalam buku The Italian Job yang ditulis oleh Gianluca Vialli dan
Gabriele Marcotti. "Di Inggris tidak ada anak dokter atau pengacara atau bankir.
mereka semua dari kelas pekerja."
Lalu ia lanjutkan, "Saya kira karena sepakbola di Italia atau Prancis dilihat secara
berbeda. Di negara-negara itu kalau satu keluarga mempunyai anak pemain
sepakbola profesional, mereka bangga. Kalau di Inggris, kalau anak anda pemain
bola... Saya tidak ingin mengatakan mereka menerimanya sebagai hal yang
memalukan, tetapi ada anggapan bahwa dalam batas tertentu anda telah gagal
sebagai orang tua."
Bukan berarti pemain dari Inggris selalu kemudian bodoh atau mereka yang dari
kelas pekerja selalu bodoh. Tetapi perilaku banyak pemain Inggris tidak
menolong diri mereka sendiri dari stereotipe pencitraan yang demikian: bacaan
maksimal mereka adalah koran kuning lengkap dengan gosip dan gambargambar perempuan mengumbar dada, ugal-ugalan, dan foya-foya sebagai
cerminan gegar kelas sosial --banyak duit tetapi kurang berotak, atau hal-hal lain

yang dianggap dangkal.


Kernyit dahi, atau bahkan cemooh, juga sering ditunjukkan oleh kalangan pemain
bola bila diketahui ada di antara golongan mereka mempunyai kecenderungan
(untuk menjadi) intelektual.
Ketika kiper nasional Inggris David James masih aktif sekian tahun lampau,
mengaku suka lukisan dan puisi, Anda bisa mendengar suara tertawa nyinyir di
ruang ganti pemain di setiap stadion di Inggris.
Bisik-bisik homoseksual dan cibiran menyebar ketika bekas bek kiri dan juga
pemain timnas Inggris, Graham Le Saux, diketahui suka mengunjungi museum,
pembaca koran serius beraliran kiri The Guardian, dan pernah menjadi
mahasiswa studi lingkungan di sebuah universitas Inggris. Apalagi ia dikenal
sebagai orang rumahan dan jauh dari ingar-bingar kehidupan pemain sepakbola.
Atau bagaimana orang sulit menerima kengototan Gary Neville untuk menuliskan
sendiri kolom-kolomnya --yang bagus, tajam, dan informatif. Bekas bek kanan
Inggris ini menjungkirbalikkan pakem bahwa pemain/bekas pemain bola tidak
bisa bisa menulis dengan cerdas layaknya penulis (bola) profesional.
Sikap anti-intelektual yang ditunjukkan sebagian (besar) pemain bola Inggris,
seperti tiga contoh di atas, kadang memang keterlaluan. Tetapi toh ini bukan
dunia akademis. Pemain bola yang pintar itu pernik dan bukan norma.
Hans Meyer, bekas pelatih sepakbola yang malang melintang selama 30 tahun di
Jerman, pernah dengan yang lucu menyinggung hal ini. Saya tak lagi ingat persis
apakah di sebuah artikel, wawancara atau buku. Tapi saya selalu ingat garis
besarnya.
Kira-kira ia mengatakan begini, "Dari sekitar 25 anggota skuat sebuah tim
sepakbola, klub manapun di dunia, komposisinya selalu sama: satu atau dua
orang bisa mencapai derajat tertinggi di universitas, lima atau enam
kemungkinan bisalah lulus akademi, 10 hingga separuh skuat akan bisa hidup
layak mengerjakan pekerjaan buruh manual atau kantoran, tetapi jelas lima di
antaranya goblok total dan setidaknya satu orang atau malah lebih akan
berakhir menjadi gelandangan kalau saja mereka tidak menjadi pemain
profesional."
Kalau kemudian para pemain sepakbola ini bisa bekerja sama karena Hans
Meyer paham betul bahwa sepakbola, dan mungkin olahraga kolektif pada
umumnya, itu unik. Ia bisa menjadi great leveler (semacam alat pemerata yang
luar biasa). Persoalan kemampuan otak yang seringkali berperan penting dalam
menentukan nasib seseorang, relatif menjadi persoalan kesekian untuk tidak
mengatakan sama sekali diabaikan.
Gara-gara ucapan Hans Meyer ini, selalu tanpa kecuali, setiap melihat skuat tim

klub manapun saya punya kebiasaan buruk, membuat komposisi: "Oh, pemain
ini yang kira-kira layak menjadi professor, yang ini bisa sekolah lumayan, buruh
atau orang kantorannya mungkin yang ini, yang goblok total pastilah yang ini,
kalau yang satu ini pastilah yang layak gelandangan."
Bintang sepakbola? Jenius sepakbola? Terbukti tidak harus mereka yang
dianggap berotak encer. Kalau jujur, dengan tidak menyebut nama, banyak di
antara mereka kemungkinan masuk dalam kategori yang disebut Hans Meyer
goblok total dan calon gelandangan kalau saja tidak menemukan sepakbola.
Hanya saja ini tidak berlaku untuk kalangan manajer. Manajer sepakbola yang
sukses, di samping karena sekian macam kualitas lain dan keberuntungan yang
dimiliki, semuanya mempunyai kecerdasan yang lebih dari cukup.
Kalau tidak bagaimana mereka akan bisa mengelola para pemain, menyusun
konsep permainan, menjelaskan kepada pemain, menyusun taktik dan strategi,
berimajinasi, berabstraksi dan lain sebagainya. Semuanya menuntut keenceran
otak tersendiri.
Mereka tidak akan dan tidak bisa untuk bersikap anti-intelektual. Manajer
sepakbola harus terus menerus menyerap informasi dan inspirasi dari mana saja.
Bahkan yang di luar dunia sepakbola.
Misalnya, ingat kisah kelahiran catenaccio? Sistem grendel ini lahir karena Gipo
Viani yang sedang pusing memikirkan cara membentuk pertahanan yang kokoh
melihat seorang nelayan menggunakan jala rangkap untuk menangkap ikan,
sehingga kalau ada ikan lolos dari jala pertama akan terperangkap di jala kedua.
Ia pun kemudian meniru nelayan tadi dengan menarik satu pemain tengah untuk
ditaruh di belakang garis pemain bertahan menjadi penyapu bila ada bola atau
pemain lolos, dan lahirlah posisi libero.

Belum ada penelitian ilmiah yang mengaitkan antara semakin sedikitnya


manajer Inggris di panggung persepakbolaan Liga Primer, tidak usah bicara
Eropa apalagi dunia, dan sikap anti-intelektual di kalangan pemain sepakbola
Inggris. Tetapi tidak akan mengejutkan bila keduanya terkait.
Menjadi manajer adalah progresi alami bagi pemain bola. Sulit membayangkan
manajer yang bagus akan lahir dari sebuah lingkungan yang sikap umumnya
adalah anti-intelektual. Satu-dua, mungkin. Berombongan, tidak.
Boleh dilihat bagaimana sejak Liga Primer lahir 1992/93, belum pernah ada
manajer asli Inggris memenangkannya. Alex Ferguson dan Kenny Dalglish
memang bagian dari Inggris Raya, tetapi mereka orang Skotlandia, bukan
Inggris. Yang lain tentu saja adalah Arsene Wenger (Prancis), Jose Mourinho
(Portugal), Carlo Ancelotti (Italia), dan Roberto Mancini (Italia).
Melihat komposisi manajer dan klub besar yang ada di Liga Primer, kemungkinan
manajer asli Inggris menjadi juara masih akan sangat jauh. Tidak satupun
manajer Inggris memegang klub yang difavoritkan menjadi juara. Dari 20 klub
yang berlaga di Liga Primer hanya lima yang dipegang orang Inggris asli,
semuanya papan memengah bawah.
Begitu keringnya aliran manajer sepakbola yang bagus di Inggris ini hingga tim
nasionalnya sempat dua kali dipegang orang asing: Sven Goran Eriksson dan
Fabio Capello. Aib besar sebetulnya untuk negara yang mengaku sebagai ibu
permainan sepakbola.
Sekarang tim nasional Inggris kembali di pegang orang Inggris, Roy Hodgson. Ia
bukan pilihan popular, tetapi Inggris tidak punya pilihan. Sekarang saja FA akan

kebingungan apabila misalnya Hodgson mundur. Kecuali Inggris bersedia


dipegang oleh manajer medioker (yang penting Inggris). Tetapi selama ini
manajer yang hebat saja gagal, apalagi yang medioker.
Ah, bukan negara saya ini... Sebodolah!
====
* Akun Twitter penulis: @dalipin68
* Tentang 'Dalipin Story', baca di sini

Anda mungkin juga menyukai