Anda di halaman 1dari 42

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan
berkah dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus
yang berjudul Sistemik Lupus Eritematus. Shalawat berpangkalkan salam
kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa perubahan besar dalam
kehidupan manusia dari zaman yang penuh dengan kebodohan menuju zaman
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan Kasus ini ditulis untuk melengkapi tugas-tugas penulis dalam
menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin,
Banda Aceh.
Dalam penulisan dan penyusunan Laporan Kasus ini penulis telah
banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari Dr.dr. Mulya Sapri,M.Kes,
Sp.A(K) selaku pembimbing penulisan Laporan Kasus ini. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan ucapan terima Dr.dr. Mulya
Sapri,M.Kes, Sp.A(K) karena telah membantu penulis menyelesaikan Laporan
Kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya Laporan Kasus ini masih sangat banyak
kekurangan maka untuk itu penulis harapkan kepada semua pihak agar dapat
memberikan kritik dan saran agar Laporan Kasus ini dapat menjadi lebih baik di
kemudian hari.
Penulis juga berharap penyusunan Laporan Kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan juga bagi para pembaca. Dengan disusunnya Laporan
Kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk pengembangan ilmu,
serta menjadi inspirasi untuk menciptakan karya yang lebih baik lagi ke depannya.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih memberkati dan
melimpahkan rahmat serta karunianya kepada kita semua.
Banda Aceh, 2016
Penulis

DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN .........................................................................

BAB II

LAPORAN KASUS.......................................................................
1.1 Identitas Pasien...........................................................................
1.2 Identitas Keluarga .....................................................................
1.3 Anamnesis..................................................................................
1.4 Riwayat penyakit dahulu............................................................
1.5 Riwayat penyakit keluarga.........................................................
1.6 Riwayat pemakaian obat............................................................
1.7 Riwayat kehamilan dan persalinan.............................................
1.8 Riwayat Imunisasi......................................................................
1.9 Riwayat pemberian makanan.....................................................
1.10 Pemeriksaan Fisik ...................................................................
1.11 Pemeriksaan Penunjang ...........................................................
1.12 Diagnosis..................................................................................
1.7 Penatalaksanaan ........................................................................
1.8 Prognosis....................................................................................
1.9 Follow up...................................................................................

3
3
3
3
4
4
4
4
4
5
5
7
8
8
8
8

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.................................................................


3.1 Definisi .....................................................................................
3.2 Etiologi .....................................................................................
3.3 Epidemiologi.............................................................................
3.4 Patogenesis................................................................................
3.5 Manifestasi Klinis......................................................................
3.6 Bentuk-bentuk SLE...................................................................
3.6.1 Nefritis Lupus.................................................................
3.6.2 Lupus Diskoid.................................................................
3.6.3 Enselopati.......................................................................
3.6.4 Artritis Lupus..................................................................
3.6.5 Fenomena Raynaud........................................................
3.6.6 Gangguan darah..............................................................
3.7 Penatalaksanaan........................................................................
3.7.1 Kortikosteroid...................................................................
3.7.2 Hidroklorokuin.................................................................
3.7.3 Asam Asetilsalisilat..........................................................
3.7.4 Imunosupresif...................................................................
3.7.5 Plasmapharesis.................................................................
3.7.6 Splenektomi......................................................................
3.7.7 Transplantasi Sumsum Tulang Belakang.........................
3.8 Evaluasi Perjalanan Penyakit....................................................
3.8.1 Proteksi Terhadap Matahari..............................................
3.8.2 Diet dan Olahraga.............................................................
3.9 Prognosis ..................................................................................

10
11
11
12
12
13
13
13
13
13
13
13
14
13
13
13
13
13
13
13
15
13
13
18

BAB IV ANALISA KASUS..........................................................................


DAFTAR PUSTAKA......................................................................................

13
26

BAB I
PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit
multiorgan yang berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena
yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah
suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan
kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai dengan pembentukan bermacam-macam
antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan
nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya hanya satu organ yang terkena selama
beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke beberapa organ lain.1
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa
anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada
keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit
berat serta ada keterlibatan beberapa organ.2
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus,
dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot,
lelah, dan kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak
spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung
maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam
menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi
yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah daripada pada orang
dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2
Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya
tidak dapat diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia
membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan multidisiplin ilmu dalam
menjalani kehidupan dengan penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa literatur
mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka
panjang pada anak dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani
oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masing-masing.2
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada
beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan

SLE. Diantaranya keparahan penyakit, presentase penyakit, pemeriksaan lab yang


menunjang, imunisasi, faktor psikososial dari pasien tersebut. Hal terpenting
dalam menangani anak dengan SLE adalah bagaimana terapi terbaik untuk pasien
dengan mempertimbangkan keadaan fisik, intelektual dan emosinya yang sedang
berkembang. Pasien harus diinformasikan mengenai perjalanan penyakitnya,
pengobatan dan efek-efek sampingnya, serta hasil pengobatan yang mungkin
terjadi. Semua informasi ini sebaiknya disampaikan kepada pasien dan
keluarganya, tentunya disesuaikan dengan usia pasien dan kemampuannya dalam
mengerti tentang pertumbuhannya, keadaan penyakitnya, serta kemampuan dalam
mengambil keputusan.3

BAB II
LAPORAN KASUS
1.1

1.2

1.3

Identitas Pasien
Nama

: Daratul Muna

Jenis Kelamin

: Perempuan

No. CM

: 1-09-86-28

Tanggal Lahir

: 07 Agustus 2005

Umur

: 11 tahun 19 hari

Suku

: Aceh

Agama

: Islam

Alamat

: Seulimum, Aceh besar

Tanggal Masuk RS

: 07 Agustus 2016

Tanggal Pemeriksaan

: 10 Agustus 2016

Identitas Keluarga
Nama ibu
Umur
Suku
Agama

: Tn. Mursal
: 45 Tahun
: Aceh
: Islam

Alamat

: Seulimum, Aceh besar

Anamnesis

Keluhan utama

: Penurunan Kesadaran

Keluhan tambahan : Kejang, sesak, kelemahan pada kaki, nyeri sendi, ruam di
muka dan luka pada daerah mulut.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien masuk rumah sakit pada pukul 04.00 pagi dengan keluhan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran sudah berlangsung 2 jam SMRS
hingga hari rawatan kedua di rumah sakit. Sebelumnya pasien juga mengalami
kejang selama 5 menit dengan frekuensi 1 x, mata terbuka dan melihat kearah
atas dan keluar air liur. Pada paginya pasien mulai sadar tapi sesak dan gelisah.
Dari alloanamnesis dengan ibu pasien diketahui bahwa satu minggu
terakhir pasien malas bicara dan bicara hanya seperlunya saja. Pada satu minggu

SMRS, pasien sudah tidak mau bicara lagi. Pasien juga mengalami kelemahan
sendi sejak satu minggu SMRS, setiap kali pasien berjalan terjatuh. Pasien juga
mengalami ruam pada muka dan luka pada daerah mulut. Pasien juga sering
mengalami gatal apabila berkeringat.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien merupakan penderita penyakit sistemik lupus eritematus sejak 9
bulan yang lalu dan tegak dengan melakukan pemeriksaan ANA TEST (+) pada
bulan Mei 2016. Pasien juga dengan riwayat rambut rontok, pusing bila terkena
matahari dan nyeri ringan pada sendi.
Pasien dengan riwayat demam berdarah dengue berulang sebanyak 3 kali
dalam satu tahun terakhir.
Riwayat penyakit keluarga
Ada anggota keluarga dengan riwayat gangguan vaskular yaitu ayah
pasien dengan hipertensi, Kakek pasien merupakan penderita gangguan metabolik
yaitu penderita diabetes mellitus. Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat
autoimun dan penyakit keganasan.
Riwayat pemakaian obat
Sebelum dirawat di RSUDZA pasien merupakan pasien yang rutin
mengontrol penyakitnya di poliklinik. Selama pengobatan pasien mendapatkan

Metilprednisolone
Cetirizine
Multivitamin
Triamsinolone

Riwayat kehamilan dan persalinan


Prenatal
Selama hamil ibu melakukan ANC teratur pada bidan di Puskesmas
kurang lebih sebanyak 6 kali selama kehamilan. Selama kehamilan tidak ada
gangguan dan penyakit yang dialami ibu. Ibu tidak memiliki riwayat hipertensi
dan kelainan metabolik lainnya.

Natal
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien lahir cukup
bulan dibidan secara pervaginam dengan berat badan lahir 2800 gram. Bayi
menangis spontan setelah dilahirkan dan tidak terdapat kelainan pada saat bayi
lahir.
Postnatal
Riwayat imunisasi : Ibu pasien hanya ingat imunisasi BCG dan MMR, imunisasi
DPT ragu.
Riwayat pemberian makanan
0 6 bulan

6 bulan sampai dengan 18 bulan :


2 tahun sampai sekarang
1.4

Pemeriksaan fisik

Tanda Vital
Keadaan umum

: Sakit sedang-berat

Kesadaran

: CM/E4M6V5

Tekanan Darah

: 110/90

Denyut nadi

: 128 x/i

Frekuensi Napas

: 20 x/i

Suhu tubuh (aksila)

: 36,8 0C

Data Antropometri
Berat badan

: 39 kg

Panjang badan

: 150 cm

BBI

BB/U

: 50 %

TB/U

: 75 %

BMI/U

: 50 %

Status gizi

: Status Gizi Kurang

Kebutuhan cairan

: 10 kg x 100 cc = 1000 cc/hari


: 10 kg x 50 cc = 500 cc/hari
: 19 kg x 20 cc = 380 cc/hari

Total kebutuhan cairan


Kebutuhan kalori

: 1880 cc/hari
: (39-49) kalori x 39 kg = 1521 1911 kalori

Kebutuhan protein

: (39-49) kalori x 39 kg x 0,08 = 30,42 38,22 gram


4

Status General
Kepala

: Normocephali

Rambut

: Hitam, mudah dicabut

Wajah

: Simetris, tampak ruam malar pada wajah, scar (+)

Mata

: Konj. palp. inf pucat (+/+), sklera ikterik (-/-),


mata cekung (-/-), pupil isokor (+), RCL (+/+), RTCL (+/+)

Telinga: Normotia, tidak tampak deformitas, Abses preaurikular sinistra(+)


Hidung

: Tidak tampak deformitas, NCH (-), sekret (-)

Mulut

: Mulut kering (+), ulkus oral (+)

Leher

: Pembesaran KGB (-), tidak ada pembesaran tiroid.

Toraks

: Simetris, vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-), stridor (-/-),


retraksi (-)

Jantung

: BJ I > BJ II, reguler (+), bising (-)

Abdomen

: Soepel, distensi(-), organomegali (-),


nyeri tekan (-), timpani, peristaltik (+).

Genitalia

: Perempuan, tidak ada kelainan.

Anus

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas
Penilaian
Ruam
Pucat
Edema
Tonus otot
Atrofi

Superior
Kanan
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif

Inferior

Kiri
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif

Status neurologis

GCS

Mata

: bulat isokor

TRM

: kaku kuduk (-)


8

Kanan
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif

Kiri
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif

Refleks fisiologis

: Superior +/+, Inferior +/+

Refleks patologis

: Babinski ()

Sensorik/Otonom

: tidak dilakukan

1.5 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium

Jenis

7/08

Pemeriksaan /16
Darah rutin
Hemoglobin 8,7
Hematokrit
26

7/08/

11/08/

15/08/

19/08

20/08

22/08

23/08

16

16

16

/16

/16

/16

/16

8,3
25

6,7
20 %

6,1
20

7,8
25

10,2
31

2,7
12,4

2,2
17,2

2,1
14

2,7
12,2

3,4
8,2

192.

125.

112

238

246

227

0%
0%
0%

0%
0%
0%

0%
0%
0%

0%
0%
0%

0%
0%
1%

0%
0%
0%

batang
Neutrofil

91

86 %

90 %

79 %

90 %

86 %

segmen
Limfosit

%
6%

9%

5%

8%

4%

7%

Monosit

3%

5%

5%

13 %

5%

7%

5,4
2,50
3,00

5,9
3,00
3,00

Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Diftell
Eosinofil
Basofil
Neutrofil

Protein total
Albumin
Globulin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Kalsium
Ginjal
Ureum
kreatinin

%
2,9
12,9

121

126

132

127

136

138

135

136

3,6
93

4,0
100

4,0
107

2,8
95

3,6
102

3,3
110

3,1
111

3,2
110
7,6

17
0,20

18
0,20

26
0,20

GDS
SGOT

92
459

10

SGPT

260

Laju fitrasi Glomerulus (GFR) = 4,99 mL/ menit/ 1,73 m


Proteinuria (+1) (19/08/2016)
MDT (22/08/2016) : kesimpulan : anemia normokrom normositer + neutrofilia
1.5

Diagnosis

1.6

Sistemik Lupus Eritematus


Penatalaksanaan

1.7

Prognosis
Quo et vitam
: dubia et malam
Quo et functionam : dubia et malam
Quo et sanactionam : dubia et malam

1.8 Follow Up Harian


tanggal

Pemeriksaan fisik

Terapi

11

08/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ kesadaran mulai membaik,


sendi-sendi terasa lemah
O/
GCS: 14
TD : 120/72 mmHg
HR : 142 x/menit
RR : 26 x/menit
T : 36,5oC
Ass/
Penurunan Kesadaran +
Imbalance Elektrolit
(Hiponatremia) + SLE + Anemia

09/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ sesak napas berkurang, ruam


pada wajah dan badan
O/
GCS: 15
TD : 117/64 mmHg
HR : 130 x/menit
RR : 25 x/menit
T : 36,8oC
Ass/
Imbalance Elektrolit
(Hiponatremia) + SLE + Anemia

10/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ sulit tidur, sendi-seni terasa


sakit, ruam pada wajah

Th/
- O2 nasal kanul 2 L/i
- Diet TF 60-100 cc/3 jam
- Koreksi hiponatremia (137-126) x
39 x 0.6 = 257,4
IVFD NaCl 0.9% = 257,4/154 x
1000 = 1671 cc 1500 cc
60 cc/jam = 25 jam
- Inj. Metil prednisolon 10 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 400 mg/8 jam
- Transfusi PRC : (12-8.7) x 4 x 39
=514 cc
P/
Cek GDS / 6 jam
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 400 mg/8 jam
P/
Pindah ruangan

O/
GCS: 15
TD : 110/90 mmHg
HR : 128 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37,5oC

Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg

Ass/
Imbalance Elektrolit
(Hiponatremia) + SLE + Anemia

P/
Konsul endokrin
Konsul kardio

12

11/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ ruam pada wajah


O/
TD : 120/80 mmHg
HR : 128 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37,2oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

12/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ lemas dan ruam pada wajah


O/
TD : 110/90 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37,0oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

13/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ ruam pada wajah, tidak


sanggup mengangkat lengan
O/
TD : 110/60 mmHg
HR : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,7oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
P/
Aff kateter
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
P/
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
P/
Rencana transfusi
Konsul hematologi

13

14/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ ruam pada wajah, lemas


O/
TD : 110/60 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 23 x/menit
T : 37,1oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

15/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ ruam pada wajah, lemas


O/
TD : 110/80 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 37,5oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

16/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ ruam pada wajah


O/
TD : 110/80 mmHg
HR : 112 x/menit
RR : 23 x/menit
T : 38,1oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Inj. Ondansetron 4 mg ekstra
P/
Cek urinalisis, MDT, feritin
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth
P/
Konsul mata
MDT,retikulosit, feritin, elektrolit
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth

14

17/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ ruam pada wajah


O/
TD : 100/60 mmHg
HR : 117 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 37,4oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

18/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ meracau, ruam pada wajah


O/
TD : 130/80 mmHg
HR : 110 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37,7oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

19/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ meracau, ruam pada wajah


O/
TD : 130/80 mmHg
HR : 134 x/menit
RR : 26 x/menit
T : 38,0oC
Ass/
Hiponatremia + SLE

Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth stop
P/
Konsul ulang HOM

15

20/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ meracau, ruam pada wajah


O/
TD : 132/90 mmHg
HR : 132 x/menit
RR : 28 x/menit
T : 37,0oC
Ass/
SLE

21/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ meracau, ruam pada wajah


O/
TD : 140/90 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 40 x/menit
T : 38,0oC
Ass/
SLE

22/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ meracau
O/
TD : 140/90 mmHg
HR : 144 x/menit
RR : 28 x/menit
T : 38,3oC
Ass/
SLE

Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
- Valsartan 1x1/2 tab
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
- Valsartan 1x40 mg
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
- Valsartan 1x40 mg

16

23/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm

S/ meracau
O/
TD : 140/90 mmHg
HR : 141 x/menit
RR : 34 x/menit
T : 38,4oC
Ass/
SLE + GMO + Abses
retroaurikular

24/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
PICU

S/ meracau (+), kejang (+)


O/
TD : 140/90 mmHg
HR : 164 x/menit
RR : 22 x/menit
T : 37,4oC
Ass/
SLE + GMO + Abses
retroaurikular

25/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
PICU

S/ meracau (+), kejang (-),


demam (-), Poliuri (+)
O/
TD : 110/60 mmHg
HR : 106 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37,4oC
Ass/
SLE + GMO + Abses
retroaurikular

Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
Valsartan 1x40 mg
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
-Valsartan 1x40 mg
Th/
- IVFD N5 62 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/12 jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam (k/p)
- Drip.phenitoin 100 mg + NaCl
0,9% 50 cc/24 jam
- Drip.metronodazole 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
-Valsartan 1x40 mg

17

26/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
PICU

S/ apatis(+), kejang (-), demam


(+) naik turun
O/
TD : 115/57 mmHg
HR : 163 x/menit
RR : 33 x/menit
T : 37,9oC
Ass/
Nefritis Lupus + Sepsis + gagal
hati + Anemia + Hipokalemia +
Abses Periauricular + F06.8
GMO + Krisis Hipertensi +
oedem retina + Oedem pupil

Th/
- IVFD N5 62 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/12 jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam (k/p)
- Inj. Furosemide 30mg/12 jam
- Drip.phenitoin 100 mg + NaCl
0,9% 50 cc/24 jam
- Drip.metronodazole 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
-Valsartan 1x40 mg
- CPA puls 650 mg/iv Prosedur
- Metilprednisolone 1 x 10 mg

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1

Definisi

18

Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang


berbagai jaringan dan organ tubuh. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu
penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya proses
inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya
antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk
double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan
karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit
seribu wajah (masquerader, The Great Imitators). 2,4,5
3.2. Etiologi
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara
genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. SLE merupakan penyakit autoimun.
Penyebab dari berbagai kelainan imunologi yang ditemukan pada SLE yaitu disfungsi sel
T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun, hipokomplementemia yang
akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini belum dapat dipastikan.
Beberapa penelitian telah dilakukan tetapi belum menemukan suatu hipotesis yang
mencakup semua etiologi dari SLE. Etiologi SLE merupakan multifaktor.1
Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7
1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:
- SLE ditemukan pada 70% kembar identik
- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat
2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan pasca
pubertas
- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE. Bila
pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik.
Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah jelek.
3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah stress
fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Banyak obat2 telah
dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya terjadi sebagai efek

19

samping dari salah satu dari obat2. Berikut obat-obatan yang dapat pasti dapat
menjadi pencetus lupus:
a. Obat yang dapat menjadi pencetus lupus:
Khlorporazine
Hidralazine
Isoniazid
Metildopa
Minosikline
Prokainamide
Quinidine
b. Obat yang mungkin dapat menjadi pencetus lupus :
Antikonvulsan

carbamazepine,

ethosuksimide,

penitoin,

diphenylhidantoin, valproate dan zonasamide.


Antitiroid : propiltiourasil, methimazole dan thiamazole.
Betabloker : acebutolol, labetalol, propanolol, pindolol, atenolol,
metoprolol dan timolol.
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena ditemukan
struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel miksovirus. Tetapi
ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap dianggap tidak ada
bukti nyata virus sebagai etiologi.
3.3. Epidemiologi
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang
pada anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja. SLE terjadi pada 6
dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang dengan SLE muncul
gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai pada usia kurang dari
10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73% didiagnosis SLE pada umur lebih
dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan sebagai penyakit pada usia remaja. SLE
dapat muncul pada pria maupun wanita, dari etnis manapun, berapapun usianya. Namun
diagnosis SLE 4 atau 3 kali lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan laki-

20

laki, beberapa penelitian menunjukkan perbandingan perempuan : laki-laki sebanyak 10:1


pada akhir usia remaja. Dalam hal etnis, lupus lebih sering muncul pada penduduk
Afrika, penduduk asli Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan ras Kaukasia.
2,3,4

3.4. Patogenesis 1,8


SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang,
yang menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus,
tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan
terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan.
Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA
tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single
stranded (ss-DNA).
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang
bersifat autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen
membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya
akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi
di tempat tersebut.
Faktor keturunan menunjukkan resiko yang signifikan pada penderita SLE.
Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga
menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda
penyakit genetik seperti defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan
C2) dan imunoglobulin (IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3).
Faktor imunopatogenik yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan
interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan
peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang memproduksi
IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B poliklonal
disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B atau
abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi juga
merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi sel B
poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.

21

Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen


dan respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan
gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip.
Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang
disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip.
Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk antiidiotip
yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai dengan
jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip mempunyai
sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip dapat timbul
aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks imun juga
disebabkan oleh pembersihan yang kurang optimal dari sistem retikuloendotelial. Hal ini
disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial dalam membersihkan
kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu banyak. Dengan adanya
kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang terganggu dan mekanisme
pembersihan kompleks imun yang terganggu akan menyebabkan kerusakan jaringan oleh
kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering
dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA,
RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah
destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun.
Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi
dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi terhadap
glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun
yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.

22

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai
sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada
bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus.
Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif
dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada
adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan
dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan
afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan
menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan
makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam
deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi
yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau
kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh
penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal
mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus,
yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi
kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+
yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat
perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung
untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi
pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis
mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan

23

apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek
pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah pengambilan sel apoptosis
oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+
mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan SLE, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit
SLE terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak
dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang
terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat SLE, yang menandakan bahwa
pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat SLE.
Adanya defisiensi relatif dari hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin
yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa
hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga
dan postpartum.
3.5.

Manifestasi Klinis
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam,

fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah
sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara
klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan
barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung
melibatkan multiorgan. 2,6
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam
malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya
sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat
memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan
tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam
lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh
sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa.

24

Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis
seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau
kaki. 2,4,7

Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat


menyebabkan parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus
diskoid sering ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan
mempunyai tepi lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi
parutnya dapat menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan
lupus diskoid bisa menjadi SLE. 7

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia.


Pada anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis
sebagai Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula
ditemukan pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik.
Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena Raynaud sering
ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan krioglobulin. 2,4

25

Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit
lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis
dengan suspect infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun
sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi
lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan
demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit
inflamasi kronis lain.2
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE5

Keadaan umum

Mudah lelah
Demam dan malaise
Penurunan berat badan
Limfadenopati

Kulit

Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas


Alopesia
Lesi diskoid
Lesi pada kuku
Lupus tumidus
Lupus kutaneus subakut
Purpura vaskulitis

Muskuloskeletal

Arthritis / arthralgia non-erosif


Tenosinovitis
Miopati
Nekrosis avaskular

Sistem Pencernaan

Ulserasi oral dan nasal


Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus
Dismotilitas esofagus
Kolitis
Hepato-splenomegali
Pankreatitis
Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi

Kardiovaskuler

Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis

26

Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer

Sistem Pernapasan

Pleuritis, efusi pleura


Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)
Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis
Perdarahan
Paru menyusut (disfungsi diafragma)
Pneumotoraks

Sistem Persarafan

Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular

Sistem Penglihatan

Retinopati, cotton wool spots


Papiloedema

Ginjal

Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal

Hematologi

Anemia hemolitik dengan Coombs positif


Trombositopenia
Sindrom antifosfolipid

Endokrin

Hipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat.
Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis.
American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk
Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2
Ruam malar (butterfly rash)
Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif

27

Ulkus pada oral atau nasal


Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati
Kejang
Psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
Tes antinuklear antibodi (ANA) positif
Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit,
diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%.
3.6

Bentuk-Bentuk SLE

3.6.1. Nefritis Lupus


Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada
suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan
pemeriksaan biopsi ginjal dan diperiksa dengan mikroskop imunofloresensi akan
ditemukan kelainan pada hampir semua kasus meskipun pada pemeriksaan urinalisisnya
belum ada kelainan (silent NL). 5,8

28

Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi
anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu
glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau
hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu
sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif,
atau hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1
3.6.2

Lupus Diskoid
Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit

diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan
banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada
pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat
kambuh kembali jika pasien terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan
menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan
lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun presentasi lupus diskoid
pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat.
Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan
laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk memantau
progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8
3.6.3

Sistem Saraf Pusat (Enselopati)


Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan

dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif.
Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan
adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun
penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan
bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena
serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan

29

antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan
CT Scan perlu dilakukan. 3,8
3.6.4

Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri

tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul
poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih
mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti
reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan pasien
tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi
pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan pada tulang
sendi.3
3.6.5

Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.

Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi
komplemen lokal.8
3.6.6

Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan

retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia <


1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm 3 tanpa adanya
intervensi obat.8
3.7

Penatalaksanaan
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir

ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan
obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada
pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka
terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau
obat anti inflamasi non steroid. 1

30

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis


gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ
yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan
serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang
dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps.
Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting
dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling
memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada
anak dan remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan
psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang
optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan
nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan sejak
remaja.2,3
3.7.1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun
efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik untuk
nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak, bahwa efek
samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal
ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 1,2
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah
muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit
anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada pertengahan,
dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan. 2
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari
atau 60 mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat
perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan
penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis
prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan
dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah

31

manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan
lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah
peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis
tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa
mempertahankan densitas mineral tulang. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15%
pasien SLE anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. 8 Pada beberapa
anak, pola tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi
lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan
kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis
tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk
memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat
disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2
Efek samping
Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi
badan, moon face

gizi bila perlu

Acne
Gangguan mood

Krim anti-acne topikal


Diskusikan dengan anak
keluarga

Pertumbuhan lebih lambat

yang

lain

dan

bahwa

angota

terkadang

perubahan mood ini sulit untuk dikontrol.


Beri pengertian tentang kearusan anak
mengejar

ketinggalan

dalam

Osteopenia
Avaskular nekrosis (AVN)

pertumbuhannya
Suplemen kalsium dan vitamin D
Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan

Mudah terkena infeksi

kepada dokter ahli ortopedi


Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak

Tekanan darah meningkat

tidak sedang menderita cacar


Monitor berkala, obat antihipertensi bila

Katarak

perlu
Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.
Konsultasikan kepada dokter spesialis mata

32

Peningkatan resiko atherosklerosis

Cek

profil

lipid

sebelum

terapi

kortikosteroid maupun hidroklorokuin.


3.7.2

Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus

derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada
beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko
kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat
menurunkan

resiko

komplikasi

kadriovaksular.

Pemakaian

jangka

panjang

Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi


dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2
3.7.3

Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS


Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai

profilaksis episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi


antifosfolipid yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.
Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada
muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi
kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis. 2
3.7.4

Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi

dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan
azatioprin.
Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:
-

Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol
penyakit

Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya hipertensi

Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi


kortikosteroid dan sitostatik.

33

Biasanya obat sitostatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu
dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari
pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi
sistitis hemoragik.
Lehman dkk melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali
sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus.
Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua
dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan
fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2
dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis diturunkan 125 mg/m2.1
3.7.5

Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada

manfaatnya terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tinggi dan


siklofosfamid. Namun ini bukanlah terapi yang efektif.2
3.7.6

Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar

untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal ini
meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella dan
pneumokokus.2

3.7.7

Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca


Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik

lebih efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi
dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan terakhir. 2
3.8

Evaluasi Perjalanan Penyakit

34

Mengevaluasi perjalanan penyakit SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang
harus diperatikan dan kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara
rutin. Pemeriksaan laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation
rate), C3, C4, anti ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan
urinalisis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai
terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya
adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European
Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure
(SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada
perubahan perjalanan penyakit.2
3.8.1

Proteksi Terhadap Matahari


Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama

UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala
sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi,
untuk menghindari pajanan yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau
siapapun juga harus menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan
krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih rendah
untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih sedikit dosis
siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya
setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak
hanya pada siang hari, karena awan tidak dapat menghilangkan sinar UV. 2,4
3.8.2

Diet dan Olahraga 2,6,8


Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet

khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan
obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung
tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien
lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan

35

densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan
stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
3.9

PROGNOSIS 8
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi

oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan
diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang
memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang
kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit. Beberapa faktor telah
dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu
pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik
yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin,
dan antikonvulsan, serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya,
bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Dewasa ini, mortalitas
kematian pasien SLE semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis
lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular
serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat
pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus.
Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus
lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya
akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu
sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap
semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.

36

Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian


kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan
satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88% dari
pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka
panjang dan menetap.

BAB IV
ANALISA KASUS
Dari anamnesis, seorang perempuan berusia 11 tahun pada tanggal 10 agustus
2016. Pasien diantar ke IGD RSUDZA oleh ibunya. Pasien merupakan penderita penyakit
sistemik lupus eritematus sejak 8 bulan yang lalu dan tegak dengan melakukan

37

pemeriksaan ANA TEST (+) pada bulan mei 2016. Gejala awal pasien yaitu dengan
riwayat ruam pada kedua wajah, rambut rontok dan nyeri ringan pada sendi. Pasien
dengan riwayat demam berdarah dengue berulang. Pasien masuk rumah sakit pada pukul
04.00 pagi dengan keluhan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran sudah
berlangsung 2 jam SMRS hingga hari rawatan kedua di rumah sakit. Sebelumnya
pasien juga mengalami kejang selama 5 menit dengan frekuensi 1 x, mata terbuka dan
melihat kearah atas dan keluar air liur. Pada paginya pasien mulai sadar tapi sesak dan
gelisah. Dari alloanamnesis dengan ibu pasien, diketahui bahwa dua minggu terakhir
pasien malas bicara dan bicara hanya seperlunya saja. Pada satu minggu SMRS, pasien
sudah tidak mau bicara lagi. Pasien juga mengalami kelemahan dan nyeri sendi sejak
beberapa minggu SMRS, setiap kali pasien berjalan terjatuh. Pasien juga mengalami
ruam pada muka dan luka pada daerah mulut. Pasien juga sering mengalami gatal apabila
berkeringat.
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana
organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibodi
dan kompleks imun. Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ
yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut,
periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali
sebagai lupus eritematus sistemik. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit
lupus eritematus sistemik ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Pasien ini diawali
dengan gejalan munculnya bintik-bintik merah pada wajah dan dengan rambut rontok
kemudian beberapa bulan selanjutnya muncul keluhan kelemahan sendi, ulkus pada oral
dan kejang gejala terakhir yang dirasakan sebelum pasien dirawat inapkan.
Pemeriksaan yang telah dilakukan pada pasien saat dilakukan pemeriksaan selama
perawatan meliputi pemeriksaan laboratorium darah rutin, hitung jenis, fungsi ginjal, dan
pemeriksaan kimia klinik serta permeriksaan MDT. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan
kondisi anemia normokromik normositer, penurunan eritrosit, trombositopenia,
limfositosis, hiponatremi, hipoalbuminemia, peningkatan SGOT dan SGPT, proteinuria
dan peningkatan GFR.

38

Didapatkan Hemoglobin pasien semakin menurun sampai hari rawatan ke 12.


Anemia normokromik mikrosister pada pasien diduga terjadi akibat adanya hemolysis.
Ketidaknormalan sel darah dan faktor-faktor pembekuan pada penderita lupus eritematus
sistemik banyak ditemukan. Manifestasi klinis yang utama adalah anemia, Lekopenia,
trombositopenia dan sindroma antifosfolipid. Pada 50% penderita lupus eritematus
sistemik, ditemukan adanya anemia. Pada lupus eritematus sistemik dapat ditemukan 3
jenis anemia yaitu berupa anemia karena peradangan atau penyakit kronis, anemia
hemolitik imun yaitu anemia karena penghancuran sel darah merah yang berlebihan,
anemia karena kekurangan zat besi dan anemia karena berkurangnya fungsi sumsum
tulang.
Dari hasil elektrolit pasien ini terdapat imbalans cairan yaitu terjadi hiponatremi.
Kelainan osmolalitas dan kadar natrium mengakibatkan depresi neural susuna saraf pusat,
dengan ensefalopati sebagai manifestasi klinis utama. Ketidakseimbangan elektrolit pada
pasien ini juga menjelaskan keluhan kejang pasien. Kejang biasa terjadi pada pasien
dengan kelainan kadar natrium. Keseimbangan elektrolit pada susunan saraf pusat sangat
penting bagi otak untuk dapat berfungsi dengan baik. Regulasi keseimbangan ion
merupakan proses penting yang melibatkan susunan molekul kompleks yang akan
menggerakkan ion-ion ke dalam dan ke luar otak serta melibatkan fungsi barrier darahotak sebagaimana mekanisme yang juga terjadi pada pada kedua membrane neuron dan
glia. Perubahan gradien yang melewati membrane sel dan menyebabkan efek langsung
maupun tak langsung pada pelepasan neuron dan dapat mengakibatkan aktivitas
epileptik. Gangguan hiponatremia pada pasien ini menunjukkan sudah terjadinya
gangguan pada sistem saraf pusat.
Proteinuria, hematuria dan peningkatan laju filtrasi glomerulus (GFR) pada SLE
menunjukan terjadinya kerusakan pada ginjal terutama pada bagian glomelorus. Pada
pasien ini sudah terjadi kerusakan ginjal yang ditunjukkan oleh adanya proteinuria +1 dan
peningkatan laju filtrasi glomerulus. Adanya kerusakan organ ginjal pada SLE disebut
sebagai nefiritis Lupus. Nefritis lupus merupakan salah satu dari kriteria dari American
College of Rheumatology (ACR). Adanya kerusakan jaringan pada organ dalam
ditunjukan dengan peningkatan SGOT dan SGPT.

39

Diagnosis lupus eritematosus sistemik dapat diperkuat dengan pemeriksaan


spesifik untuk menilai kadar autoimun pada pasien. Untuk pemeriksaan gangguan
imunologis dapat dilakukan Tes Coombs dan Tes Antinuclear Antibody (ANAs). Pada
Tes Coombs akan ditemukan antiphospholipid antibodi (anticardiolipin immunoglobulin
G [IgG] atau immunoglobulin M [IgM] atau lupus antikoagulan) yang positif. Hal ini
menandakan adanya antibodi pada sel tubuh yang normal yang menyebabkan limfosit
menganggap sel tubuh normal sebagai antigen. Antinuclear antibodies (ANAs) dianggap
positif pada pasien dengan SLE apabila ditemukan titer tinggi yang diperiksakan pada
kondisi tidak sedang menggunakan obat-obatan yang menginduksi lupus. Tujuan dari
pemeriksaan ANA adalah untuk mencari autoantibodi yang positif pada pasien. Hasil titer
IgG yang tinggi terhadap double stranded DNA (dsDNA) adalah spesifik untuk pasien
sistemik lupus eritematus. Pada pasien ditemukan adanya autoimun antibodi dengan
pemeriksaan Antinuclear antibodies (ANAs) positif.
Oleh karena itu pasien dapat ditegakkan diagnosis sebagai lupus eritematosus
sistemik karena memenuhi lebih dari 4 dari kriteria ACR dengan pemeriksaan
Antinuclear antibodies (ANAs) yang positif pada pasien ini.
Tujuan penatalaksaan SLE adalah untuk mengurangi gejala dan melindungi organ.
Pasien SLE dengan keterlibatan organ biasanya diberikan kortikosteroid untuk menekan
inflamasi sehingga tidak terdapat kerusakan organ lebih lanjut. Kortikosteroid lebih baik
dari NSAID dalam mengurangkan peradangan terutama jika melibatkan organ dalam.
Kortikosteroid dapat diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau intravena.
Meskipun efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang
terbaik untuk nefritis lupus dan SLE pada umumnya.
Pada anak harus menggunakan kortikosteroid lebih hati-hati karena efek samping
kortikosteroid itu sendiri. Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus
dikurangi segera setelah muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium.
Pada permulaan penyakit anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali
sehari. Pada pertengahan, dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan. Penatalaksanaan
untuk gejala yang muncul juga harus dilakukan dan monitoring ketat pada pasien untuk
menghindari terjadinya perburukan.

40

DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

41

2. Lynn A, Denise R. 2015. Systemic Lupus Erythematous: An update on treat-totarget. From journal of The American Academy of Physician Assistants. New
York City.
3. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic
Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health.
Published by Elsevier Ltd.
4. Jessica J, Anisur R. 2006. . Systemic Lupus Erythemtous. From Orphanet Journal
of rare Disease. London. Publsihed by BioMed Central.
5. Sridaran S, Ansari MQ. 2015. Sensitivity and specificity of the Anti-Nuclear
Antibody (ANA) indirect immunofluorescent Assay (IIFA) at Varying Titers for
Diagnosing SLE: An Evidence Based Approach for Assessing the Utility of ANA
Tests in the Clinical Setting. From Austin Journal of Pathology & Laboratory
Medicine. USA. Published by Austin Publishing group.
6. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in Childhood.
From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by WBS.
7. Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta:
EGC.
8. Aru W,Sudoyo. 2011 . Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematus Sistemik.
Jakarta. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.

42

Anda mungkin juga menyukai

  • Application Form
    Application Form
    Dokumen2 halaman
    Application Form
    EVY
    Belum ada peringkat
  • 837 2667 1 PB
    837 2667 1 PB
    Dokumen93 halaman
    837 2667 1 PB
    Herzan Marjawan
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus
    Laporan Kasus
    Dokumen22 halaman
    Laporan Kasus
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Tips & Trik Menaklukan Ielts PDF
    Tips & Trik Menaklukan Ielts PDF
    Dokumen132 halaman
    Tips & Trik Menaklukan Ielts PDF
    Husni Muhamad Rifqi
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen7 halaman
    Bab Iv
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Gagal Jantung
    Gagal Jantung
    Dokumen21 halaman
    Gagal Jantung
    ariftrisaktiadinugroho
    Belum ada peringkat
  • Kepustakaan BPRN
    Kepustakaan BPRN
    Dokumen10 halaman
    Kepustakaan BPRN
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Gagal Jantung
    Gagal Jantung
    Dokumen20 halaman
    Gagal Jantung
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Gagal Jantung Kongestif
    Gagal Jantung Kongestif
    Dokumen8 halaman
    Gagal Jantung Kongestif
    amalia
    100% (1)
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen2 halaman
    Bab I
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Penyuluhan Pola Makan Sehat
    Penyuluhan Pola Makan Sehat
    Dokumen6 halaman
    Penyuluhan Pola Makan Sehat
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen8 halaman
    Bab Iii
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Artikel PPM Toga
    Artikel PPM Toga
    Dokumen15 halaman
    Artikel PPM Toga
    Budi Moko
    Belum ada peringkat
  • Peningkatan Program UKS lewat Kader Tiwisada SDN 01 Klakah
    Peningkatan Program UKS lewat Kader Tiwisada SDN 01 Klakah
    Dokumen1 halaman
    Peningkatan Program UKS lewat Kader Tiwisada SDN 01 Klakah
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Gagal Jantung
    Gagal Jantung
    Dokumen1 halaman
    Gagal Jantung
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Portofolio Vertigo Post Traumatik
    Portofolio Vertigo Post Traumatik
    Dokumen6 halaman
    Portofolio Vertigo Post Traumatik
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Gagal Jantung
    Gagal Jantung
    Dokumen21 halaman
    Gagal Jantung
    ariftrisaktiadinugroho
    Belum ada peringkat
  • Eritrasma 4
    Eritrasma 4
    Dokumen2 halaman
    Eritrasma 4
    Olid Doang
    Belum ada peringkat
  • Phbs
    Phbs
    Dokumen5 halaman
    Phbs
    Repiyanto Tarigan
    Belum ada peringkat
  • Telaah Jurnal
    Telaah Jurnal
    Dokumen24 halaman
    Telaah Jurnal
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • India
    India
    Dokumen3 halaman
    India
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Telaah Jurnal
    Telaah Jurnal
    Dokumen24 halaman
    Telaah Jurnal
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Penyakit Akibat Kerja..
    Penyakit Akibat Kerja..
    Dokumen14 halaman
    Penyakit Akibat Kerja..
    citrasafitri
    100% (2)
  • Sap PHBS
    Sap PHBS
    Dokumen8 halaman
    Sap PHBS
    I-it
    Belum ada peringkat
  • Kulit
    Kulit
    Dokumen4 halaman
    Kulit
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Lapkas
    Lapkas
    Dokumen19 halaman
    Lapkas
    Tiikaa Etecjeroh
    Belum ada peringkat
  • Sap PHBS
    Sap PHBS
    Dokumen8 halaman
    Sap PHBS
    I-it
    Belum ada peringkat