Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT atas limpahan
berkah dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Kasus
yang berjudul Sistemik Lupus Eritematus. Shalawat berpangkalkan salam
kepada Rasulullah Muhammad SAW yang telah membawa perubahan besar dalam
kehidupan manusia dari zaman yang penuh dengan kebodohan menuju zaman
yang penuh dengan ilmu pengetahuan.
Laporan Kasus ini ditulis untuk melengkapi tugas-tugas penulis dalam
menjalankan Kepaniteraan Klinik Senior Pada Bagian / SMF Ilmu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah Rumah Sakit Umum dr. Zainoel Abidin,
Banda Aceh.
Dalam penulisan dan penyusunan Laporan Kasus ini penulis telah
banyak mendapatkan bantuan dan bimbingan dari Dr.dr. Mulya Sapri,M.Kes,
Sp.A(K) selaku pembimbing penulisan Laporan Kasus ini. Oleh karena itu,
penulis menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan ucapan terima Dr.dr. Mulya
Sapri,M.Kes, Sp.A(K) karena telah membantu penulis menyelesaikan Laporan
Kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya Laporan Kasus ini masih sangat banyak
kekurangan maka untuk itu penulis harapkan kepada semua pihak agar dapat
memberikan kritik dan saran agar Laporan Kasus ini dapat menjadi lebih baik di
kemudian hari.
Penulis juga berharap penyusunan Laporan Kasus ini dapat bermanfaat
bagi penulis sendiri dan juga bagi para pembaca. Dengan disusunnya Laporan
Kasus ini diharapkan dapat menjadi bahan belajar untuk pengembangan ilmu,
serta menjadi inspirasi untuk menciptakan karya yang lebih baik lagi ke depannya.
Semoga Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih memberkati dan
melimpahkan rahmat serta karunianya kepada kita semua.
Banda Aceh, 2016
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................
BAB II
LAPORAN KASUS.......................................................................
1.1 Identitas Pasien...........................................................................
1.2 Identitas Keluarga .....................................................................
1.3 Anamnesis..................................................................................
1.4 Riwayat penyakit dahulu............................................................
1.5 Riwayat penyakit keluarga.........................................................
1.6 Riwayat pemakaian obat............................................................
1.7 Riwayat kehamilan dan persalinan.............................................
1.8 Riwayat Imunisasi......................................................................
1.9 Riwayat pemberian makanan.....................................................
1.10 Pemeriksaan Fisik ...................................................................
1.11 Pemeriksaan Penunjang ...........................................................
1.12 Diagnosis..................................................................................
1.7 Penatalaksanaan ........................................................................
1.8 Prognosis....................................................................................
1.9 Follow up...................................................................................
3
3
3
3
4
4
4
4
4
5
5
7
8
8
8
8
10
11
11
12
12
13
13
13
13
13
13
13
14
13
13
13
13
13
13
13
15
13
13
18
13
26
BAB I
PENDAHULUAN
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE atau Lupus), adalah penyakit
multiorgan yang berdasarkan kelainan imunologik. Organ yang sering terkena
yaitu sendi, kulit, ginjal, otak, hati, dan lesi dasar pada pada organ tersebut adalah
suatu vaskulitis yang terjadi oleh karena pembentukan dan pengendapan
kompleks antigen-antibodi. SLE ditandai dengan pembentukan bermacam-macam
antibodi yang ditujukan terhadap komponen inti sel, yaitu DNA, RNA, dan
nukleoprotein. Kadang-kadang awalnya hanya satu organ yang terkena selama
beberapa bulan atau tahun yang kemudian berkembang ke beberapa organ lain.1
SLE pada anak sangat beragam dalam tingkat keparahannya. Beberapa
anak dapat menderita penyakit yang ringan dengan gejala sedikit serta tidak ada
keterlibatan organ penting, sedangkan pada beberapa anak lain dapat tampak sakit
berat serta ada keterlibatan beberapa organ.2
Mendiagnosis SLE pada anak juga tidaklah mudah. Pada banyak kasus,
dapat muncul gejala seperti demam, nyeri sendi, arthritis, ruam kulit, nyeri otot,
lelah, dan kehilangan berat badan yang nyata. Semua gejala ini tentunya tidak
spesifik. Dibutuhkan beberapa pemeriksaan laboratorium untuk mendukung
maupun menyingkirkan diagnosisnya. Diagnosis dini sangat penting dalam
menentukan terapi yang tepat untuk meminimalkan kemungkinan komplikasi
yang dapat timbul. SLE pada anak biasanya lebih parah daripada pada orang
dewasa, dari segi onset dan perjalanan penyakit.2
Lupus adalah penyakit kronik yang tingkat penyebaran dan remisinya
tidak dapat diprediksi. Sekali anak didiagnosis dengan SLE maka ia
membutuhkan dukungan keluarganya dan penanganan multidisiplin ilmu dalam
menjalani kehidupan dengan penyakitnya tersebut. Walaupun beberapa literatur
mengatakan bahwa SLE tidak ada obatnya, namun hasil pengobatan jangka
panjang pada anak dengan SLE dapat memberi hasil yang baik apabila ditangani
oleh tim medis yang ahli dalam bidangnya masing-masing.2
Meskipun diagnosis dan terapi SLE sama untuk semua umur, namun ada
beberapa pertimbangan yang harus diperhitungkan dalam menangani anak dengan
BAB II
LAPORAN KASUS
1.1
1.2
1.3
Identitas Pasien
Nama
: Daratul Muna
Jenis Kelamin
: Perempuan
No. CM
: 1-09-86-28
Tanggal Lahir
: 07 Agustus 2005
Umur
: 11 tahun 19 hari
Suku
: Aceh
Agama
: Islam
Alamat
Tanggal Masuk RS
: 07 Agustus 2016
Tanggal Pemeriksaan
: 10 Agustus 2016
Identitas Keluarga
Nama ibu
Umur
Suku
Agama
: Tn. Mursal
: 45 Tahun
: Aceh
: Islam
Alamat
Anamnesis
Keluhan utama
: Penurunan Kesadaran
Keluhan tambahan : Kejang, sesak, kelemahan pada kaki, nyeri sendi, ruam di
muka dan luka pada daerah mulut.
Riwayat penyakit sekarang
Pasien masuk rumah sakit pada pukul 04.00 pagi dengan keluhan
penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran sudah berlangsung 2 jam SMRS
hingga hari rawatan kedua di rumah sakit. Sebelumnya pasien juga mengalami
kejang selama 5 menit dengan frekuensi 1 x, mata terbuka dan melihat kearah
atas dan keluar air liur. Pada paginya pasien mulai sadar tapi sesak dan gelisah.
Dari alloanamnesis dengan ibu pasien diketahui bahwa satu minggu
terakhir pasien malas bicara dan bicara hanya seperlunya saja. Pada satu minggu
SMRS, pasien sudah tidak mau bicara lagi. Pasien juga mengalami kelemahan
sendi sejak satu minggu SMRS, setiap kali pasien berjalan terjatuh. Pasien juga
mengalami ruam pada muka dan luka pada daerah mulut. Pasien juga sering
mengalami gatal apabila berkeringat.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien merupakan penderita penyakit sistemik lupus eritematus sejak 9
bulan yang lalu dan tegak dengan melakukan pemeriksaan ANA TEST (+) pada
bulan Mei 2016. Pasien juga dengan riwayat rambut rontok, pusing bila terkena
matahari dan nyeri ringan pada sendi.
Pasien dengan riwayat demam berdarah dengue berulang sebanyak 3 kali
dalam satu tahun terakhir.
Riwayat penyakit keluarga
Ada anggota keluarga dengan riwayat gangguan vaskular yaitu ayah
pasien dengan hipertensi, Kakek pasien merupakan penderita gangguan metabolik
yaitu penderita diabetes mellitus. Tidak ada anggota keluarga dengan riwayat
autoimun dan penyakit keganasan.
Riwayat pemakaian obat
Sebelum dirawat di RSUDZA pasien merupakan pasien yang rutin
mengontrol penyakitnya di poliklinik. Selama pengobatan pasien mendapatkan
Metilprednisolone
Cetirizine
Multivitamin
Triamsinolone
Natal
Pasien merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Pasien lahir cukup
bulan dibidan secara pervaginam dengan berat badan lahir 2800 gram. Bayi
menangis spontan setelah dilahirkan dan tidak terdapat kelainan pada saat bayi
lahir.
Postnatal
Riwayat imunisasi : Ibu pasien hanya ingat imunisasi BCG dan MMR, imunisasi
DPT ragu.
Riwayat pemberian makanan
0 6 bulan
Pemeriksaan fisik
Tanda Vital
Keadaan umum
: Sakit sedang-berat
Kesadaran
: CM/E4M6V5
Tekanan Darah
: 110/90
Denyut nadi
: 128 x/i
Frekuensi Napas
: 20 x/i
: 36,8 0C
Data Antropometri
Berat badan
: 39 kg
Panjang badan
: 150 cm
BBI
BB/U
: 50 %
TB/U
: 75 %
BMI/U
: 50 %
Status gizi
Kebutuhan cairan
: 1880 cc/hari
: (39-49) kalori x 39 kg = 1521 1911 kalori
Kebutuhan protein
Status General
Kepala
: Normocephali
Rambut
Wajah
Mata
Mulut
Leher
Toraks
Jantung
Abdomen
Genitalia
Anus
Ekstremitas
Penilaian
Ruam
Pucat
Edema
Tonus otot
Atrofi
Superior
Kanan
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif
Inferior
Kiri
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif
Status neurologis
GCS
Mata
: bulat isokor
TRM
Kanan
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif
Kiri
Positif
Negatif
Positif
Melemah
Negatif
Refleks fisiologis
Refleks patologis
: Babinski ()
Sensorik/Otonom
: tidak dilakukan
Pemeriksaan laboratorium
Jenis
7/08
Pemeriksaan /16
Darah rutin
Hemoglobin 8,7
Hematokrit
26
7/08/
11/08/
15/08/
19/08
20/08
22/08
23/08
16
16
16
/16
/16
/16
/16
8,3
25
6,7
20 %
6,1
20
7,8
25
10,2
31
2,7
12,4
2,2
17,2
2,1
14
2,7
12,2
3,4
8,2
192.
125.
112
238
246
227
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
0%
1%
0%
0%
0%
batang
Neutrofil
91
86 %
90 %
79 %
90 %
86 %
segmen
Limfosit
%
6%
9%
5%
8%
4%
7%
Monosit
3%
5%
5%
13 %
5%
7%
5,4
2,50
3,00
5,9
3,00
3,00
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
Diftell
Eosinofil
Basofil
Neutrofil
Protein total
Albumin
Globulin
Elektrolit
Natrium
Kalium
Klorida
Kalsium
Ginjal
Ureum
kreatinin
%
2,9
12,9
121
126
132
127
136
138
135
136
3,6
93
4,0
100
4,0
107
2,8
95
3,6
102
3,3
110
3,1
111
3,2
110
7,6
17
0,20
18
0,20
26
0,20
GDS
SGOT
92
459
10
SGPT
260
Diagnosis
1.6
1.7
Prognosis
Quo et vitam
: dubia et malam
Quo et functionam : dubia et malam
Quo et sanactionam : dubia et malam
Pemeriksaan fisik
Terapi
11
08/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
09/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
10/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
Th/
- O2 nasal kanul 2 L/i
- Diet TF 60-100 cc/3 jam
- Koreksi hiponatremia (137-126) x
39 x 0.6 = 257,4
IVFD NaCl 0.9% = 257,4/154 x
1000 = 1671 cc 1500 cc
60 cc/jam = 25 jam
- Inj. Metil prednisolon 10 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 400 mg/8 jam
- Transfusi PRC : (12-8.7) x 4 x 39
=514 cc
P/
Cek GDS / 6 jam
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 400 mg/8 jam
P/
Pindah ruangan
O/
GCS: 15
TD : 110/90 mmHg
HR : 128 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37,5oC
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
Ass/
Imbalance Elektrolit
(Hiponatremia) + SLE + Anemia
P/
Konsul endokrin
Konsul kardio
12
11/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
12/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
13/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
P/
Aff kateter
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
P/
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
P/
Rencana transfusi
Konsul hematologi
13
14/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
15/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
16/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Inj. Ondansetron 4 mg ekstra
P/
Cek urinalisis, MDT, feritin
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth
P/
Konsul mata
MDT,retikulosit, feritin, elektrolit
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth
14
17/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
18/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
19/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Eritromisin 3x1 cth stop
P/
Konsul ulang HOM
15
20/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
21/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
22/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
S/ meracau
O/
TD : 140/90 mmHg
HR : 144 x/menit
RR : 28 x/menit
T : 38,3oC
Ass/
SLE
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
- Valsartan 1x1/2 tab
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
- Valsartan 1x40 mg
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
- Valsartan 1x40 mg
16
23/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
S/ meracau
O/
TD : 140/90 mmHg
HR : 141 x/menit
RR : 34 x/menit
T : 38,4oC
Ass/
SLE + GMO + Abses
retroaurikular
24/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
PICU
25/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
PICU
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
- Lisinopril 1x5 mg
Valsartan 1x40 mg
Th/
- O2 nasal kanul 1-2 L/i
- Diet TF 60-100 cc (susu soya)
- IVFD NaCl 0.9% 60 cc/jam
- Inj. Metil prednisolon 13 mg/8
jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
-Valsartan 1x40 mg
Th/
- IVFD N5 62 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/12 jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam (k/p)
- Drip.phenitoin 100 mg + NaCl
0,9% 50 cc/24 jam
- Drip.metronodazole 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
-Valsartan 1x40 mg
17
26/08/2016
BB : 39 kg
TB : 150 cm
PICU
Th/
- IVFD N5 62 cc/jam
- Inj. Ceftriaxone 750 mg/12 jam
- Inj. Ranitidin 40 mg/8 jam
- Inj. Novalgin 500 mg/8 jam (k/p)
- Inj. Furosemide 30mg/12 jam
- Drip.phenitoin 100 mg + NaCl
0,9% 50 cc/24 jam
- Drip.metronodazole 500 mg/8 jam
- Piracetam 1x400 mg
- Cetirizine 1x1 cth
- Sucralfat 2x1 cth
- Gentamisin zalf oles di kepala
-Valsartan 1x40 mg
- CPA puls 650 mg/iv Prosedur
- Metilprednisolone 1 x 10 mg
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Definisi
18
19
samping dari salah satu dari obat2. Berikut obat-obatan yang dapat pasti dapat
menjadi pencetus lupus:
a. Obat yang dapat menjadi pencetus lupus:
Khlorporazine
Hidralazine
Isoniazid
Metildopa
Minosikline
Prokainamide
Quinidine
b. Obat yang mungkin dapat menjadi pencetus lupus :
Antikonvulsan
carbamazepine,
ethosuksimide,
penitoin,
20
21
22
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai
sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada
bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus.
Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif
dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada
adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan
dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan,
beberapa terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan
afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan
menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade
komplemen. Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan
makrofag sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam
deposit kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi
yang berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau
kelelahan sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh
penurunan reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal
mungkin terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus,
yaitu ikatan langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi
kompleks imun.
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+
yang mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat
perubahan (shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung
untuk membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi
pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan apoptosis
mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi peningkatan
23
apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis akibat defek
pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah pengambilan sel apoptosis
oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada CD8+
mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan SLE, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit. Penyakit
SLE terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti anak-anak
dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa menars yang
terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat SLE, yang menandakan bahwa
pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat SLE.
Adanya defisiensi relatif dari hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin
yang meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa
hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester ketiga
dan postpartum.
3.5.
Manifestasi Klinis
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam,
fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah
sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara
klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan
barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung
melibatkan multiorgan. 2,6
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam
malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya
sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat
memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan
tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata. Ruam
lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat sembuh
sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran mukosa.
24
Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai alopesia. Arthritis
seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi jari-jari tangan atau
kaki. 2,4,7
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus
25
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit
lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis
dengan suspect infeksi virus sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun
sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi
lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan
demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau penyakit
inflamasi kronis lain.2
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE5
Keadaan umum
Mudah lelah
Demam dan malaise
Penurunan berat badan
Limfadenopati
Kulit
Muskuloskeletal
Sistem Pencernaan
Kardiovaskuler
Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
26
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer
Sistem Pernapasan
Sistem Persarafan
Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular
Sistem Penglihatan
Ginjal
Glomerulonefritis
Hipertensi
Gagal ginjal
Hematologi
Endokrin
Hipo / hipertiroidism
Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat.
Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis.
American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk
Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2
Ruam malar (butterfly rash)
Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
27
Bentuk-Bentuk SLE
28
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi
anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu
glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau
hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu
sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif,
atau hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1
3.6.2
Lupus Diskoid
Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit
diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan
banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada
pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat
kambuh kembali jika pasien terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan
menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan
lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun presentasi lupus diskoid
pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter yang merawat.
Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis dan
laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk memantau
progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8
3.6.3
dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif.
Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan
adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun
penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan
bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena
serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
29
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan
CT Scan perlu dilakukan. 3,8
3.6.4
Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul
poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih
mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti
reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan pasien
tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi
pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan pada tulang
sendi.3
3.6.5
Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.
Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi
komplemen lokal.8
3.6.6
Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan
Penatalaksanaan
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir
ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan
obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada
pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka
terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau
obat anti inflamasi non steroid. 1
30
31
manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan
lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah
peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan dosis
tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa
mempertahankan densitas mineral tulang. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada 10-15%
pasien SLE anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. 8 Pada beberapa
anak, pola tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian anak menjadi
lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan
kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi kostikosteroid dosis
tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari sehingga sulit untuk
memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis kortikosteroid dapat
disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2
Efek samping
Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi
badan, moon face
Acne
Gangguan mood
yang
lain
dan
bahwa
angota
terkadang
ketinggalan
dalam
Osteopenia
Avaskular nekrosis (AVN)
pertumbuhannya
Suplemen kalsium dan vitamin D
Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan
Katarak
perlu
Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.
Konsultasikan kepada dokter spesialis mata
32
Cek
profil
lipid
sebelum
terapi
Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus
derajat sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada
beberapa studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko
kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat
menurunkan
resiko
komplikasi
kadriovaksular.
Pemakaian
jangka
panjang
Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi
dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan
azatioprin.
Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:
-
Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk mengontrol
penyakit
33
Biasanya obat sitostatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi yaitu
dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada hari
pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya komplikasi
sistitis hemoragik.
Lehman dkk melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid sekali
sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL proliferasi difus.
Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m2 pada bulan pertama, 750 mg/m2 pada bulan kedua
dan selanjutnya 1 gram/m2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada pasien dengan kelainan
fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m2. Bila jumlah leukosit <2000/m2
dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis diturunkan 125 mg/m2.1
3.7.5
Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada
Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar
untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal ini
meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella dan
pneumokokus.2
3.7.7
lebih efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi
dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan terakhir. 2
3.8
34
Mengevaluasi perjalanan penyakit SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang
harus diperatikan dan kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara
rutin. Pemeriksaan laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation
rate), C3, C4, anti ds-DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan
urinalisis. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai
terdiagnosis, sampai 2 bulan sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya
adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European
Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure
(SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada
perubahan perjalanan penyakit.2
3.8.1
UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala
sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama. Jadi,
untuk menghindari pajanan yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien atau
siapapun juga harus menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang menggunakan
krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki resiko lebih rendah
untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan lebih sedikit dosis
siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu menggunakan krim tabir surya
setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar matahari (kecuali telinga) tidak
hanya pada siang hari, karena awan tidak dapat menghilangkan sinar UV. 2,4
3.8.2
khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat penggunaan
obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan mengandung
tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan berat badan berlebih. Pasien
lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan
35
densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan
stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.
3.9
PROGNOSIS 8
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi
oleh fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan
diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang
memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang
kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit. Beberapa faktor telah
dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu
pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik
yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin,
dan antikonvulsan, serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya,
bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab
kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi
maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Dewasa ini, mortalitas
kematian pasien SLE semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis
lebih dini, dan kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan,
misalnya pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular
serebral iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat
pemakaian obat imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus.
Frekuensi kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus
lebih panjang.
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya
akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu
sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap
semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
36
BAB IV
ANALISA KASUS
Dari anamnesis, seorang perempuan berusia 11 tahun pada tanggal 10 agustus
2016. Pasien diantar ke IGD RSUDZA oleh ibunya. Pasien merupakan penderita penyakit
sistemik lupus eritematus sejak 8 bulan yang lalu dan tegak dengan melakukan
37
pemeriksaan ANA TEST (+) pada bulan mei 2016. Gejala awal pasien yaitu dengan
riwayat ruam pada kedua wajah, rambut rontok dan nyeri ringan pada sendi. Pasien
dengan riwayat demam berdarah dengue berulang. Pasien masuk rumah sakit pada pukul
04.00 pagi dengan keluhan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran sudah
berlangsung 2 jam SMRS hingga hari rawatan kedua di rumah sakit. Sebelumnya
pasien juga mengalami kejang selama 5 menit dengan frekuensi 1 x, mata terbuka dan
melihat kearah atas dan keluar air liur. Pada paginya pasien mulai sadar tapi sesak dan
gelisah. Dari alloanamnesis dengan ibu pasien, diketahui bahwa dua minggu terakhir
pasien malas bicara dan bicara hanya seperlunya saja. Pada satu minggu SMRS, pasien
sudah tidak mau bicara lagi. Pasien juga mengalami kelemahan dan nyeri sendi sejak
beberapa minggu SMRS, setiap kali pasien berjalan terjatuh. Pasien juga mengalami
ruam pada muka dan luka pada daerah mulut. Pasien juga sering mengalami gatal apabila
berkeringat.
Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun dimana
organ dan sel mengalami kerusakan yang disebabkan oleh tissue-binding autoantibodi
dan kompleks imun. Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ
yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan
perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut,
periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali
sebagai lupus eritematus sistemik. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinis penyakit
lupus eritematus sistemik ini seringkali tidak terjadi secara bersamaan. Pasien ini diawali
dengan gejalan munculnya bintik-bintik merah pada wajah dan dengan rambut rontok
kemudian beberapa bulan selanjutnya muncul keluhan kelemahan sendi, ulkus pada oral
dan kejang gejala terakhir yang dirasakan sebelum pasien dirawat inapkan.
Pemeriksaan yang telah dilakukan pada pasien saat dilakukan pemeriksaan selama
perawatan meliputi pemeriksaan laboratorium darah rutin, hitung jenis, fungsi ginjal, dan
pemeriksaan kimia klinik serta permeriksaan MDT. Dari pemeriksaan tersebut didapatkan
kondisi anemia normokromik normositer, penurunan eritrosit, trombositopenia,
limfositosis, hiponatremi, hipoalbuminemia, peningkatan SGOT dan SGPT, proteinuria
dan peningkatan GFR.
38
39
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
41
2. Lynn A, Denise R. 2015. Systemic Lupus Erythematous: An update on treat-totarget. From journal of The American Academy of Physician Assistants. New
York City.
3. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of Systemic
Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child Health.
Published by Elsevier Ltd.
4. Jessica J, Anisur R. 2006. . Systemic Lupus Erythemtous. From Orphanet Journal
of rare Disease. London. Publsihed by BioMed Central.
5. Sridaran S, Ansari MQ. 2015. Sensitivity and specificity of the Anti-Nuclear
Antibody (ANA) indirect immunofluorescent Assay (IIFA) at Varying Titers for
Diagnosing SLE: An Evidence Based Approach for Assessing the Utility of ANA
Tests in the Clinical Setting. From Austin Journal of Pathology & Laboratory
Medicine. USA. Published by Austin Publishing group.
6. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in Childhood.
From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by WBS.
7. Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta:
EGC.
8. Aru W,Sudoyo. 2011 . Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematus Sistemik.
Jakarta. Perhimpunan Reumatologi Indonesia.
42