PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Di zaman modern seperti sekarang ini pada umumnya hampir semua negara
menyatakan dirinya sebagai negara bersistem Demokrasi, termasuk Republik Indonesia
yakni sistem pemerintahan yang bersumber pada Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan
Rakyat merupakan paham kenegaraan yang pengaturannya dituangkan dalam Konstitusi
atau Undang-Undang Dasar suatu negara, dan penerapan selanjutnya disesuaikan
dengan filsafat kehidupan rakyat negara yang bersangkutan. Semangat kerakyatan yang
menjadi watak negara Demokrasi merupakan syarat utama dalam format negara yang
berkedaulatan rakyat, karena kekuatan tertinggi terletak ditangan rakyat.
Demokrasi mempunyai arti penting bagi masyarakat yang menggunakannya
sebab dengan Demokrasi hak masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi
pemerintahan sesuai dengan kehendaknya dan dapat dijamin. Oleh sebab itu, hampir
semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi
penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai negara tidaklah
sama.
Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia
setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki
hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Namun,
apakah pelaksanaan demokrasi di Indonesia sudah dapat terlaksana dengan baik? Dan
apakah kaitan antar pasal 28 D ayat 1 dengan persamaan asasi di hadapan hukum?
Saat ini tidak mudah untuk memaparkan kondisi hukum di Indonesia tanpa
adanya keprihatinan yang mendalam mendengar ratapan masyarakat yang terluka oleh
hukum, dan kemarahan masyarakat pada mereka yang memanfaatkan hukum untuk
mencapai tujuan mereka tanpa menggunakan hati nurani. Dunia hukum di Indonesia
tengah mendapat sorotan yang amat tajam dari seluruh lapisan masyarakat, baik dari
dalam negeri maupun luar negeri. Dari sekian banyak bidang hukum, dapat dikatakan
bahwa hukum pidana menempati peringkat pertama yang bukan saja mendapat sorotan
tetapi juga celaan yang luar biasa dibandingkan dengan bidang hukum lainnya. Bidang
hukum pidana merupakan bidang hukum yang paling mudah untuk dijadikan indikator
apakah reformasi hukum yang dijalankan di Indonesia sudah berjalan dengan baik atau
belum. Hukum pidana bukan hanya berbicara tentang putusan pengadilan atas
penanganan perkara pidana, tetapi juga meliputi semua proses dan sistem peradilan
pidana. Proses peradilan berawal dari penyelidikan yang dilakukan pihak kepolisian dan
berpuncak pada penjatuhan pidana oleh hakim dan selanjutnya diakhiri dengan
pelaksanaan hukuman itu sendiri oleh lembaga pemasyarakatan. Semua proses pidana
itulah yang saat ini banyak mendapat sorotan dari masyarakat karena kinerjanya, atau
perilaku aparatnya yang jauh dari kebaikan.
Hukum di Indonesia yang bisa kita lihat saat ini bisa dikatakan sebagai hukum
yang carut marut, mengapa? Karena dengan adanya pemberitaan mengenai tindak
pidana di televisi, surat kabar, dan media elektronik lainnya, kita dapat mengambil
kesimpulan bahwa hukum di Indonesia carut marut. Banyak sekali kejadian yang
menggambarkannya, mulai dari tindak pidana yang diberikan oleh maling sandal hingga
maling uang rakyat. Sebenarnya permasalahan hukum di Indonesia dapat disebabkan
oleh beberapa hal diantaranya yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumnya,
inkonsistensi penegakan hukum, intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum.
Sesungguhnya Hukum Negara ialah aturan bagi negara itu sendiri, bagaimana
suatu negara menciptakan keadaan yang relevan, keadaan yang menentramkan
kehidupan sosial masyarakatnya, menghindarkan dari segala bentuk tindak pidana
maupun perdata. Namun tidak di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini,
pemberitaan di media masa sungguh tragis.
Sekarang ini, banyak kasus dimana rakyat kecil menjadi korban hukum. Kita
tentu sering menemukan kasus-kasus yang menimpa rakyat kecil, dimana hukum
menyalahkan mereka. Padahal hukum seharusnya tidak membedakan siapapun saat
hukum bertindak, tapi uang merubah semua itu. Bagi orang yang mempunyai uang
hukum bisa dibeli. Namun, bagi si miskin hukum dirasakan kaku dan kejam karena
aparat hukum bisa menindak mereka secara semena-mena. Seharusnya aparat hukum
menjadi pengayom masyarakatnya dan melindungi mereka semua. Dan hukum itu harus
ditegakan dengan tidak memilih-milih siapa yang harus dihukum.
UUD 1945 secara tegas dalam Pasal 27 ayat (1) telah memberikan jaminan
bahwa Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya. Pasal ini memberikan makna bahwa setiap warga negara tanpa harus
melihat apakah dia penduduk asli atau bukan, berasal dari golongan terdidik atau rakyat
jelata yang buta huruf, golongan menengah ke atas atau kaum yang bergumul dengan
kemiskinan harus dilayani sama di depan hukum.
Dengan landasan pemikiran ini, penulis akan mencoba memaparkan mengenai
Prinsip, kasus pelanggaran, problematika, dan pemecahan penegakan hukum di
Indonesia. Penulis berharap dengan makalah ini para pejabat dan aparat hukum bisa
memperbaiki diri, dimana hukum tidak bisa diperjual belikan. Seharusnya hukum
dijalankan sesuai Undang-Undang yang mengatur.
I.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dalam perkara ini adalah sebagai berikut :
1. Prinsip Equality before the law di dalam Negara Pancasila.
2. Kasus pelanggaran hukum di Indonesia.
3. Bantuan hukum bagi masyarakat.
4. Ketidakpuasan masyarakat terhadap penerapan hukum di Indonesia.
5. Solusi dan cara menghadapai permasalahan dalam penegakan hukum di Indonesia.
I.3 TUJUAN
Tujuan
dalam
pembahasan
ini
adalah
interpretasi
terhadap
rumusan
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Konsep Equality Before The Law di dalam Negara Pancasila
Equality before the law dalam arti sederhana bahwa semua orang sama di depan
hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law adalah salah satu asas
terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah satu sendi doktrin Rule of Law
yang juga menyebar pada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sejatinya, asas
persamaan dihadapan hukum bergerak dalam payung hukum yang berlaku umum dan
tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh diantara dimensi sosial lain
(misalkan terhadap ekonomi dan sosial). Persamaan hanya dihadapan hukum seakan
memberikan sinyal di dalamnya bahwa secara sosial dan ekonomi orang boleh tidak
mendapatkan persamaan. Perbedaan perlakuan persamaan antara di dalam wilayah
hukum, wilayah sosial dan wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas Persamaan
dihadapan hukum tergerus ditengah dinamika sosial dan ekonomi.
Kedudukan berarti menempatkan warga negara mendapatkan perlakuan yang
sama dihadapan hukum. Sehingga dengan kedudukan yang setara, maka warga negara
dalam berhadapan dengan hukum tidak ada yang berada diatas hukum. No man above
the law, artinya tidak ada keistimewaan yang diberikan oleh hukum pada subyek
hukum.
Begitu juga dengan negara hukum Indonesia yang telah menganut konsep dan
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia yang tertuang didalam Konstitusi dan semangat
Pancasilaisme. Instrumen Hak Asasi Manusia induk tercermin didalam UU No 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 Tentang Konvenan
Hak Ekonomi Sosial dan Budaya serta UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Konvenan Hak
Sipil Politik, dan kenvensi-konvensi maupun norma-norma PBB yang lainnya. Tetapi
Indonesia telah berubah dalam prilaku maupun penegakan hukum itu sendiri. Terlebih
lagi menyangkut tentang Equality Before The Law didalam aktivitas hukum Indonesia
pancasila.
kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
himkat
kebijaksanaan
dalam
Berbicara keadilan sosial, tidak ada pemisahan antara hak sipil politik dengan
hak ekonomi, sosial dan budaya. Kedua induk HAM ini harus berjalan beriringan. Tidak
ada yang diprioritaskan dalam pelaksanaannya. Tentang Equality Before The Law bukan
hanya dalam satu sisi diatas. Hak dibidang politik misalnya : hak dasar dibidang politik
tercermin dalam pasal 28 kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan tulisan maupun lisan ditetapan dalam Undang-undang. Selanjutnya
pasal 27 Ayat 1, segala warga negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan
pemerintah tidak ada kecualinya. Penjelasan pasal itu menegaskan prinsip penting
bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Persamaan di hadapan hukum yang diartikan secara dinamis ini dipercayai akan
memberikan jaminan adanya akses untuk memperoleh keadilan bagi semua orang tanpa
memperdulikan latar belakangnya. Menurut Aristoteles, keadilan harus dibagikan oleh
negara kepada semua orang, dan hukum yang mempunyai tugas menjaganya agar
keadilan sampai kepada semua orang tanpa kecuali. Apakah orang mampu atau fakir
miskin, mereka sama untuk memperoleh akses kepada keadilan.
Perlakuan berbeda berlaku pada para pejabat dan koruptor kelas kakap yang
terindikasi merugikan keuangan negara. Aparat penegak hukum sering terlihat salah
tingkah saat berhadapan dengan para pejabat dan pemilik akses ekonomi dan politik.
Hukum tiba-tiba menjadi rumit dan berliku ketika berhadapan dengan para pejabat atau
pengusaha. Gerakan penegak hukum pun terasa begitu lamban jika menghadapi
mereka.
Idealnya dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi
manusia setiap individu. Pengakuan negara terhadap hak individu ini tersirat di dalam
persamaan kedudukan di hadapan hukum bagi semua orang. Dalam suatu negara hukum
semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).
Persamaan di hadapan hukum harus diimbangi juga dengan persamaan perlakuan (equal
treatment)
Seperti kita ketahui banyak faktor di luar hukum yang turut menentukan
bagaimana hukum senyatanya dijalankan. Hukum yang dituliskan (law in abstracto)
tidak selalu sama dengan hukum dalam praktek (law in concreto). Hukum dalam
prakteknya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar hukum (extra-legal factors).
Hukum, meski dipercaya memiliki nilai-nilai dan makna yang Maha penting dalam
menata kehidupan sosial, ia tetap sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik
representasi
politik,
ekonomi
yang
memiliki
kekuasaan
tertentu
dalam
memengaruhinya.
Salah satu asas hukum acara pidana yang paling penting adalah bahwa setiap
orang yang berperkara dalam persidangan wajib diberikan bantuan hukum. Hal ini demi
menjamin hak-hak orang tersebut dalam melakukan pembelaan dipersidangan. Secara
umum ketentuan bantuan hukum sudah cukup baik. Namun dalam hal pelaksanaan
bantuan hukum kepada orang yang tidak mampu masih mengalami beberapa kendala.
Sebagai wujud kewajiban Negara dalam melindungi warga negaranya, maka sudah
seharusnya Negara juga memiliki kewajiban terhadap warga negaranya yang tersangkut
masalah dalam proses peradilan dan tidak memiliki kemampuan untuk membela
kepentingannya seorang diri. Negara Indonesia yang menganut paham sebagai Negara
kesejahteraan, yaitu Negara menjamin kesejahteraan setiap warga negaranya maka
sudah seharusnya Negara wajib menjamin hak-hak orang tidak mampu dalam
memenuhi kebutuhan hukumnya. Kewajiban Negara untuk memberikan bantuan hukum
khususnya kepada mereka yang tidak mampu merupakan bagian yang penting karena
hal tersebut telah diamanatkan oleh konstitusional.
Hak untuk dibela advokat atau pembela umum dikatakan sebagai hak
konstitusional mengingat ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan
bahwa Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Hal ini
secara ekstensif dapat ditafsirkan bahwa negara bertanggung jawab untuk memberikan
perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak fakir miskin. Hak-hak fakir miskin ini
meliputi hak ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan politik dari fakir miskin. Dengan
melihat kembali pada ketentuan dalam Pasal 27 ayat (1) yang dihubungkan dengan
Pasal 34 (1) UUD 1945, negara berkewajiban menjamin fakir miskin memperoleh
pembelaan baik dari advokat maupun pembela umum melalui suatu program bantuan
hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bantuan hukum merupakan hak
konstitusional bagi fakir miskin yang harus dijamin perolehannya oleh negara.
Bantuan hukum bukanlah semata-mata pro bono publico work tetapi merupakan
suatu kewajiban advokat . Yaitu adalah hak orang miskin untuk memperoleh pembelaan
dari advokat atau pembela umum yang bekerja untuk organisasi bantuan hukum.
Perolehan pembelaan dari seorang advokat atau pembela umum (access to legal
counsel) adalah hak asasi manusia yang sangat mendasar bagi setiap orang dan oleh
karena itu merupakan salah satu syarat untuk memperoleh keadilan bagi semua orang.
Makalah Hak Untuk Mendapatkan Perlakuan yang Sama di Depan Hukum
10
Kalau seorang yang mampu mempunyai masalah hukum, ia dapat menunjuk seorang
atau lebih advokat untuk membela kepentingannya. Sebaliknya seorang yang tergolong
tidak mampu juga harus memperoleh jaminan untuk meminta pembelaan dari seorang
atau lebih pembela umum (public defender) sebagai pekerja di lembaga bantuan hukum
(legal aid institute) untuk membela kepentingannya dalam suatu perkara hukum. Tidak
adil kiranya bilamana orang yang mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan oleh
advokat dalam menghadapi masalah hukum. Sedangkan fakir miskin tidak memperoleh
pembelaan hanya karena tidak sanggup membayar uang jasa (fee) seorang advokat yang
tidak terjangkau oleh mereka. Kalau ini sampai terjadi maka asas persamaan di hadapan
hukum tidak tercapai.
Selain itu fakir miskin yang frustrasi dan tidak puas karena tidak memperoleh
pembelaan dari organisasi bantuan hukum akan mudah terperangkap dalam suatu
gejolak sosial (social upheaval) antara lain melakukan kekerasan, huru-hara, dan
pelanggaran hukum.
Melihat kepada kondisi sekarang, fakir miskin belum dapat memperoleh bantuan
hukum secara memadai, walaupun pada tahun 2003 Undang-Undang Advokat telah
diundangkan. Undang-Undang Advokat ini memang mengakui bantuan hukum sebagai
suatu kewajiban advokat, namun tidak menguraikan lebih lanjut apa yang dimaksud
dengan bantuan hukum dan bagaimana memperolehnya. Yang terjadi selama ini adalah
adanya kesemrawutan dalam konsep bantuan hukum dalam bentuk ada kantor-kantor
advokat yang mengaku sebagai lembaga bantuan hukum tetapi sebenarnya berpraktik
komersial dan memungut fee, yang menyimpang dari konsep pro bono publico yang
sebenarnya merupakan kewajiban dari advokat. Selain kantor advokat mengaku sebagai
organisasi bantuan hukum juga ada organisasi bantuan hukum yang berpraktik
komersial dengan memungut fee untuk pemberian jasa kepada kliennya dan bukan
diberikan kepada fakir miskin secara pro bono publico.
Sebagai pengakuan hak individu maka prinsip persamaan di hadapan hukum
dijamin dalam sistem hukum Indonesia. Kalau tidak ada persamaan di hadapan hukum
maka sebenarnya hak individu itu sama sekali tidak ada. Persamaan di hadapan hukum
tidak mengenal pengecualian seperti jabatan, kedudukan, latar belakang, asal-usul,
11
12
Namun demikian, mereka yang tinggal di desa, berasal dari ekonomi bawah, dan
berpendidikan rendah lebih tak puas jika dibandingkan dengan mereka yang berada di
kota dan berpendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena mereka yang berada di desa
dan kelompok ekonomi bawah lebih sering menghadapi kenyataan merasa diperlakukan
tidak adil jika berhadapan dengan aparat hukum. Ketidakpuasaan responden terhadap
penegakan hukum di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun yaitu 37,4
persen (Survei LSI Januari 2010), sebesar 41,2 persen (Oktober 2010), sebesar 50,3
persen (September 2011), sebesar 50,3 persen (Oktober 2012), dan terakhir 56,6 persen
(April 2013).
Uraian di atas menunjukkan betapa rusaknya hukum di Indonesia. Mungkin
yang tidak mendapat sorotan adalah lembaga pemasyarakatan karena tidak banyak
orang yang mengamatinya. Tetapi lembaga ini sebenarnya juga tidak dapat dikatakan
sempurna. Lembaga yang seharusnya berperan dalam memulihkan sifat para warga
binaan (terpidana) ternyata tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Jumlah
narapidana yang melebihi dua kali lipat dari kapasitasnya menjadikan nasib narapidana
juga semakin buruk. Mereka tidak tambah sadar, tetapi justru belajar melakukan tindak
pidana baru setelah berkenalan dengan narapidana lainnya. Tentunya ini jauh dari
konsep pemidanaan yang sesungguhnya bertujuan untuk merehabilitasi terpidana.
Bahkan fakta yang ada hari ini, beberapa narapidana dengan leluasanya membuat
aturan sendiri dengan merubah hotel prodeo tersebut menjadi hotel bak bintang lima.
13
14
tingkat keefektifan program tersebut dalam membangun atau menguatkan mental anak
bangsa ditengah penurunan kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Namun perlu kita pupuk dulu agar nantinya
generasi-generasi penerus bangsa tidak salah langkah dalam mengambil setiap
keputusan. Program ini juga mempunyai implikasi positif terhadap penegakan hukum
yang dijalankan di Indonesia karena para penegak hukum telah dibekali pembangunan
karakter yang akan melahirkan atau menciptakan manusia Indonesia yang unggul.
Untuk cara keempat yakni adanya penghargaan bagi jaksa dan hakim berprestasi
yang memberikan terobosan-terobosan dalam penegakan hukum di Indonesia. Dengan
adanya penghargaan ini diharapkan setiap jaksa maupun hakim berlomba untuk
memberikan terobosan yang bermanfaat bagi penegakan hukum di Indonesia.
Meskipun saat ini kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum
masih sangat rendah. Keberanian lembaga-lembaga hukum bangsa ini akan menjadi
titik cerah bagi penegakan hukum. Namun selain itu kesadaran masyarakat dalam
menaati hukum akan menjadi hal yang mempengaruhi penegakkan hukum di Indonesia.
Karena lemahnya penegakan hukum selama ini juga akibat masyarakat yang kurang
menaati hukum.
15
BAB III
PENUTUP
III. 1 Kesimpulan
Masalah penegakan hukum di Indonesia merupakan masalah yang sangat serius
dan akan terus berkembang jika unsur di dalam sistem itu sendiri tidak ada perubahan,
tidak ada reformasi di bidang itu sendiri. Karakter bangsa Indonesia yang kurang baik
merupakan aktor utama dari segala ketidaksesuaian pelaksanaan hukum di negari ini.
Perlu ditekankan sekali lagi, walaupun tidak semua penegakan hukum di Indonesia
buruk, Namun keburukan penegakan ini seakan menutupi segala keselarasan hukum
yang berjalan di mata masyarakat. Perlu ada reformasi yang sebenarnya, karena
permasalahan hukum ini merupakan permasalahan dasar suatu negara, bagaimana
masyarakat bisa terjamin keamanannya atau bagaimana masyarakat bisa merasakan
keadilan yang sebenarnya, hukumlah yang mengatur semua itu. Sesungguhnya bahwa
hukum telah sesuai dengan kehidupan masyarakat, tetapi pihak-pihak yang ingin
mengambil keuntungan baik pribadi maupun kelompok merupakan penggagas segala
kebobrokan hukum di negeri ini.
Perlu
banyak
evaluasi-evaluasi
yang
harus
dilakukan,
harus
ada
penindaklanjutan yang jelas mengenai penyelewengan hukum yang kian hari kian
menjadi. Perlu ada ketegasan tersendiri dan kesadaran dari individu atau kelompok yang
terlibat di dalamnya. Perlu ditanamkan mental yang kuat, sikap malu dan pendirian
Iman dan Takwa yang sejak kecil harus diberikan kepada kader-kader pemimpin dan
pelaksana aparatur negara atau pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Jadi, penerapan dalam pasal 1 ayat (3) UUD 1945 perubahan ketiga yang
berbunyi Negara Indonesia adalah Negara hukum, harus dilaksanakan, karena sudah
demikian ketetapan itu berlaku. Merupakan karekteristik yang harus tertanam dalam diri
pribadi ataupun kelompok kepentingan. Kita harus malu dengan Undang-Undang
tersebut, harus malu dengan pendiri bangsa yang rela menumpahkan darah demi
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, kita harus menghargai semua perjuangan itu
dengan hal yang tidak dapat membuat negeri ini malu di mata masyarakat ini sendiri
16
bahkan dunia luar. Bangsa yang besar tidak hanya berdasarkan luasan wilayahnya
ataupun betapa banyaknya jumlah penduduk, tetapi dengan menghargai perjuangan para
pahlawan terdahulu dengan menjalankan ketentuan hukum yang berlaku demi
terciptanya keamanan, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.
Tujuan utama adanya Equality before the law adalah menegakkan keadilan
dimana persamaan kedudukan berarti hukum sebagai satu identitas tidak membedakan
siapapun yang meminta keadilan kepadanya. Diharapkan dengan adanya asas ini tidak
terjadi suatu diskriminasi dalam hukum di Indonesia dimana ada suatu pembeda antara
penguasa dengan rakyatnya.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin Ali. 2006. Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika
Asshiddiqie, Jimly. 2011. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta:
Sinar Grafika
Soekanto,Soerjono dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Press
Supriadi. 2008. Hukum Lingkungan di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada
18