Anda di halaman 1dari 44

Laporan Kasus

Scald Burn
PEMBIMBING:
dr. Arya Tjipta Prananda, Sp.BP RE

PENYUSUN:
Carvin Herryanto

110100204

Kyna Troeman

110100115

Devandran Mahendran

110100403

Pieter Lumbanraja

110100366

Try Yudia Ramadhany

110100118

Choky Lumban Gaol

110100338

Angelia Sitanggang

110100277

Regina Tambunan

110100097

Puvana Subramaniam

110100503

Hemakanen Nair

110100413

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT RUJUKAN HAJI ADAM MALIK
DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan kasus yang berjudul Scald Burn.
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Arya
Tjipta Prananda Sp,BP RE selaku supervisor pembimbing dan dr. Krisna Murti
selaku dokter pembimbing yang telah meluangkan waktu dan memberi masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya
dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca demi perbaikan dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga
laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Desember 2016

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman Judul.............................................................................................

Kata Pengantar............................................................................................

Daftar Isi.......................................................................................................

Bab 1 Pendahuluan......................................................................................

1.1. Latar Belakang...................................................................................

1.2. Tujuan.................................................................................................

Bab 2 Tinjauan Pustaka..............................................................................

2.1. Definisi Luka Bakar.........................................................................

2.2. Klasifikasi Luka Bakar....................................................................

2.3. Berat dan Luas Luka Bakar..............................................................

10

2.4. Derajat Luka Bakar..........................................................................

12

2.5.

Patofisiologi Luka Bakar.................................................................

13

2.6. Fase Luka Bakar..............................................................................

16

2.7. Indikasi Rawat Inap Luka Bakar......................................................

17

2.8. Pemeriksaan Penunjang...................................................................

18

2.9. Penatalaksanaan...............................................................................

18

2.10 . Perawatan Luka Bakar.....................................................................

21

2.11 . Prognosis..........................................................................................

24

2.12 . Komplikasi.......................................................................................

25

Bab 3 Laporan Kasus..................................................................................

30

Bab 4 Diskusi................................................................................................

39

Bab 5 Kesimpulan........................................................................................

44

Daftar Pustaka.............................................................................................

45

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan kontak

dengan sumber panas seperti kobaran api di tubuh (flame), kilatan api ketubuh
(flash), terkena air panas (scald), tersentuh benda panas (kontak panas), akibat
sengatan listrik, akibat bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari (sunburn).
Luka bakar merupakan suatu kasus trauma yang banyak terjadi, yang
menyumbang angka morbiditas dan derajat cacat serta mortalitas yang tinggi
dibanding dengan cedera oleh sebab lain.
Luka bakar menyebabkan sekitar 1000 kematian per tahun dan sekitar
3000 kasus menjalani perawatan Rumah Sakit di AS. Sekitar 20% dari semua
cedera listrik terjadi pada anak-anak, dengan puncak kejadian bimodal tertinggi
pada remaja balita. Pada orang dewasa, kebanyakan cedera luka bakar terjadi di
tempat kerja dan merupakan penyebab ke empat tertinggi penyebab kematian
yang berhubungan dengan pekerjaan. Laki-laki rasio 9: 1 dibanding perempuan.
Penyebab tingginya angka kematian tersebut melibatkan banyak faktor,
Sepsis, trauma inhalasi, dan kegagalan multi organ merupakan penyebab kematian
yang paling sering. Beberapa penelitian menginvestigasi faktor-faktor mortalitas
dan morbiditas yang mempengaruhi pada luka bakar. Demografis, dan beberapa
variabel seperti umur, jenis kelamin, luas luka bakar, lama rawatan, etiologi luka
bakar, faktor-faktor komorbid lainnya (DM, Hipertensi, penyakit jantung dll),
adanya trauma inhalasi, kadar albumin yang rendah, kegagalan fungsi organ serta
sepsis digunakan sebagai faktor resiko terhadap tingginya mortalitas pada luka
bakar.
Memahami dengan baik karakteristik deskripsi faktor-faktor yang
berhubungan dengan mortalitas pasien luka bakar merupakan hal yang penting
dalam penanganan luka bakar, meningkatkan pelayanan dan kualitas hidup pasien
Tatalaksana penanganan luka bakar harus bersifat holistik yang mencakup
tatalaksana jalan napas dan oksigenasi, resusitasi cairan, pemberian antibiotik,
4

tatalaksana nutrisi, penanganan nyeri hingga perawatan luka untuk menurunkan


mortalitas.6
1.2.

Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi, klasifikasi, etiologi, faktor risiko, manifestasi klinis,
patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, teknik anestesi, dan komplikasi
luka bakar listrik.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Definisi Luka Bakar


Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang

disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia,
listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas
dan mortalitas tinggi yang memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase
syok) sampai fase lanjut.
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas yang banyak terjadi pada
kecelakaan rumah tangga. Selain itu, pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik
maupun bahan kimia juga dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar,
penyebab terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:
1. Paparan api
a. Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka,
dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat
membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat
alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
b. Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh
yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar
akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
2. Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan
semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan
berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya
menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit
sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan

keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang


menandai permukaan cairan.
3. Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan radiator
mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas panas yang
tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan tinggi. Apabila terjadi
inhalasi, uap panas dapat menyebabkan cedera hingga ke saluran napas
distal di paru.
4. Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
oklusi jalan nafas akibat edema.
5. Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan tubuh.
Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan
luka bakar tambahan.
6. Zat kimia (asam atau basa)
7. Radiasi
8. Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
2.2.

Klasifikasi Luka Bakar


Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya pajanan suhu

tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada luka. Selain api yang langsung
menjilat tubuh, baju yang ikut terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju
yang paling aman adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis
seperti nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh suhu
tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman luka bakar.
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar, yaitu luka
bakar derajat I, II, atau III:
1. Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya
sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya

tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau
hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.

2. Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi.
Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar
keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih sehat
tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar
berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh
darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.

3. Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau
jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel
yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk
menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada
dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak
intak.

2.3.

Berat dan Luas Luka Bakar


Berat luka bakar bergantung pada dalam, luas, dan letak luka. Usia dan

kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis. Adanya


trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.
Jaringan lunak tubuh akan terbakar bila terpapar pada suhu di atas 46 oC.
Luasnya kerusakan akan ditentukan oleh suhu permukaan dan lamanya kontak.
Luka bakar menyebabkan koagulasi jaringan lunak. Seiring dengan peningkatan
suhu jaringan lunak, permeabilitas kapiler juga meningkat, terjadi kehilangan
cairan, dan viskositas plasma meningkat dengan resultan pembentukan
mikrotrombus. Hilangnya cairan dapat menyebabkan hipovolemi dan syok,
tergantung banyaknya cairan yang hilang dan respon terhadap resusitasi. Luka
bakar juga menyebabkan peningkatan laju metabolik dan energi metabolisme.
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks. Luas luka bakar
dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat
untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
1. Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien.
Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas
luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
2. Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher, dada,
punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas
kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki
kiri masing-masing 9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini
membantu menaksir luasnya permukaan tubuh yang terbakar pada orang
dewasa.

10

Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

3. Metode Lund dan Browder

11

Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa tubuh


di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi besarnya luas
permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel tersebut, perkiraan luas
permukaan tubuh pada anak dapat menggunakan Rumus 9 dan
disesuaikan dengan usia:
o Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai
14%. Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
o Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.

Lund and Browder chart illustrating the method for calculating the percentage of
body surface area affected by burns in children.

2.4.

Derajat Luka Bakar


Derajat

I Derajat

IIa Derajat

IIb Derajat III (Full


12

(Superficial)

Patologi

(Partial

(Partial

Thickness

Thickness

Superficial

Deep dermal)

Hanya

dermal)
Seluruh

Seluruh

Seluruh

mengenai

epidermis

epidermis,

epidermis,

Epidermis

dan

lapisan lapisan

atas dermis

Thickness)

dermis seluruh

dermis,

lebih dalam lagi hingga

lapisan

(tidak

seluruh subkutan

Warna

Kemerahan

dermis
Merah Muda Merah Putih

Putih,

Bula
Capillary

+
+

Kemerahan
+/+

+/+

Kehitaman
-

Refill
Nyeri
Kekeringa

+
Kering

+
Lembab

+ (tumpul)
Lembab

Kering

n
Lainnya

Edema, Pucat

Tidak
pucat

2.5.

terlalu Hangus,

Coklat

disertai

eskar

Patofisiologi Luka Bakar


Akibat pertama luka bakar adalah syok karena kaget dan kesakitan.

Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas meninggi. Sel
darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat terjadi anemia.
Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan menimbulkan bula yang
mengandung banyak elektrolit. Hal itu menyebabkan berkurangnya volume cairan
intravaskuler. Kerusakan kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan
akibat penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk pada
luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng luka bakar derajat III.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,

13

nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang.
Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan
mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring
yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan
mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual
dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60%
hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran
napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial
ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan
eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam
invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau
pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng
yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.

14

Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah


terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan
keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mulamula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II
menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler
di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang
didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan
kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar
demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif,
seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran
kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus.
Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di
darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh
dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa
elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam
mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik
jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami
kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase
mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala
yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak
Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan
protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi,
metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga

15

memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama
didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita
menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian,
korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila
luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak
berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka
bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
2.6.

Fase Luka Bakar


Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase pada luka

bakar, yaitu:
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi pada
saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini dikarenakan
adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di rongga toraks; dan
gangguan

sirkulasi

seperti

keseimbangan

cairan

elektrolit,

syok

hipovolemia.
2. Fase setelah syok berakhir, fase sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction Syndrome (MODS)
dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau perkembangan masalah
yang timbul pada fase pertama dan masalah yang bermula dari kerusakan
jaringan (luka dan sepsis luka)
3. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya maturasi
jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka bakar seperti
parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi akibat
kerapuhan jaringan atau struktur tertentu akibat proses inflamasi yang
hebat dan berlangsung lama
Pembagian zona kerusakan jaringan:
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi
protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan jaringan

16

ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh karena itulah
disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona koagulasi.
Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan
trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguam perfusi (no flow
phenomena), diikuti perubahan permeabilitas kapilar dan respon inflamasi
lokal. Proses ini berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin
berakhir dengan nekrosis jaringan.
3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi berupa
vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular. Tergantung keadaan
umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga dapat mengalami
penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona kedua bahkan zona
pertama.
2.7.

Indikasi Rawat Inap pada Luka Bakar


Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan untuk

dirawat inap bila:


1. Luka bakar derajat III > 5%
2. Luka bakar derajat II > 10%
3. Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan,
kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan
untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi
4. Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
5. Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma
mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada
sebelumnya
6. Adanya trauma inhalasi
2.8.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
17

4. Analisis gas darah


5. Radiologi jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan
MODS
2.9.

Penatalaksanaan Luka Bakar


Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama

adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan
mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang
menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar
di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka
bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka
bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal
yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada
pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas tersembunyi. Oleh
karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas

berikutnya

adalah

mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang
mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma
terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu,
penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.
Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat
membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.
Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan
transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan,
melepas dari eskar yang mengkonstriksi.
Tatalaksana resusitasi luka bakar
1. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
a. Intubasi

18

Tindakan

intubasi

dikerjakan

sebelum

edema

mukosa

menimbulkan manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan


jalan nafas dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
b. Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu agresif
dan

menimbulkan

morbiditas

lebih

besar

dibanding

intubasi.

Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume,


lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat
berbicara jika dibanding dengan intubasi.
c. Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat
patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati
dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan
stress oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat
vasodilator dan modulator sepsis. Perawatan jalan nafas
1. Penghisapan sekret (secara berkala)
2. Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam
lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah
dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar natrium
klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu. Selain itu bias
ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti atropin sulfat
(menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat (mengatasi asidosis
seluler) dan steroid (masih kontroversial)
3. Bilasan bronkoalveolar
4. Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
5. Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki
kompliansi paru
2. Tatalaksana resusitasi cairan
Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi yang adekuat
dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular regional, sehingga iskemia
jaringan tidak terjadi pada setiap organ sistemik. Selain itu cairan diberikan agar
dapat meminimalisasi dan eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan,

19

optimalisasi status volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin


survival/maksimal dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan
hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari berbagai
macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan sebagainya pada waktu
yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan yang tepat, kita dapat mengupayakan
stabilisasi pasien secepat mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan
menghadapi intervensi bedah seawal mungkin.
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti. Ada
beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:
1. Cara Evans
a. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
b. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24 jam
c. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.
2. Cara Baxter - Parkland
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.
3. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya
dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak
sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi
yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat
dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan
fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah
terjadinya SIRS dan MODS.

20

2.10.

Perawatan Luka Bakar


Umumnya untuk menghilangkan rasa nyeri dari luka bakar digunakan

morfin dalam dosis kecil secara intravena (dosis dewasa awal : 0,1-0,2 mg/kg dan
maintenance 5-20 mg/70 kg setiap 4 jam, sedangkan dosis anak-anak 0,05-0,2
mg/kg setiap 4 jam). Tetapi ada juga yang menyatakan pemberian methadone (510 mg dosis dewasa) setiap 8 jam merupakan terapi penghilang nyeri kronik yang
bagus untuk semua pasien luka bakar dewasa. Jika pasien masih merasakan nyeri
walau dengan pemberian morfin atau methadone, dapat juga diberikan
benzodiazepine sebagai tambahan.
Terapi pembedahan pada luka bakar
1. Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari ke 57) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a.

Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan


dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak
akan berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia.
Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi edema, hal ini akan
menghambat aliran darah dari arteri yang dapat mengakibatkan terjadinya
iskemi pada jaringan tersebut ataupun menghambat proses penyembuhan
dari luka tersebut. Dengan semakin lama waktu terlepasnya eskar, semakin

b.

lama juga waktu yang diperlukan untuk penyembuhan.


Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi
komplikasi komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan atas
jaringan nekrosis yang melepaskan burn toxic (lipid protein complex)

yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator inflamasi.


c.
Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya proses
angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka. Hal ini
mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan tindakan operasi.
Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan resiko kolonisasi mikro

21

organisme patogen yang akan menghambat pemulihan graft dan juga eskar
yang melembut membuat tindakan eksisi semakin sulit.
Tindakan ini disertai anestesi baik lokal maupun general dan pemberian
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka bakar
derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis dan juga
skin grafting (dianjurkan split thickness skin grafting). Tindakan ini juga
tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas. Kriteria
penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kasus luka bakar dalam yang diperkirakan mengalami penyembuhan lebih
dari 3 minggu.
2. Kondisi fisik yang memungkinkan untuk menjalani operasi besar.
3. Tidak ada masalah dengan proses pembekuan darah.
4. Tersedia donor yang cukup untuk menutupi permukaan terbuka yang
timbul.
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang
terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah
(endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu pisau
Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas permukaan
luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang dapat memotong
jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka bakar yang luas.
Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh melebihi 25% dari
seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil perdarahan dapat dilakukan
hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum dilakukan eksisi atau pemberian
larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah yang dieksisi. Setelah dilakukan halhal tersebut, baru dilakukan skin graft. Keuntungan dari teknik ini adalah
didapatnya fungsi optimal dari kulit dan keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian
dari teknik adalah perdarahan dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah
yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai
lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan

22

penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam. Alat
yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong
electrocautery. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
1. Keuntungan : lebih mudah dikerjakan, cepat, perdarahan tidak banyak,
endpoint yang lebih mudah ditentukan
2. Kerugian : kerugian bidang kosmetik, peningkatan resiko cedera pada
saraf-saraf superfisial dan tendon sekitar, edema pada bagian distal dari
eksisi
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari
metode ini adalah:
a. Menghentikan evaporate heat loss
b. Mengupayakan agar proses penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
Skin grafting harus dilakukan secepatnya setelah dilakukan eksisi pada
luka bakar pasien. Kulit yang digunakan dapat berupa kulit produk sintesis, kulit
manusia yang berasal dari tubuh manusia lain yang telah diproses maupun berasal
dari permukaan tubuh lain dari pasien (autograft). Daerah tubuh yang biasa
digunakan sebagai daerah donor autograft adalah paha, bokong dan perut. Teknik
mendapatkan kulit pasien secara autograft dapat dilakukan secara split thickness
skin graft atau full thickness skin graft. Bedanya dari teknik teknik tersebut
adalah lapisan-lapisan kulit yang diambil sebagai donor. Untuk memaksimalkan
penggunaan kulit donor tersebut, kulit donor tersebut dapat direnggangkan dan
dibuat lubang lubang pada kulit donor (seperti jaring-jaring dengan
perbandingan tertentu, sekitar 1 : 1 sampai 1 : 6) dengan mesin. Metode ini
disebut mess grafting. Ketebalan dari kulit donor tergantung dari lokasi luka yang
akan dilakukan grafting, usia pasien, keparahan luka dan telah dilakukannya
pengambilan kulit donor sebelumnya. Pengambilan kulit donor ini dapat
dilakukan dengan mesin dermatome ataupun dengan manual dengan pisau
Humbly atau Goulian. Sebelum dilakukan pengambilan donor diberikan juga
vasokonstriktor (larutan epinefrin) dan juga anestesi.

23

Prosedur operasi skin grafting sering menjumpai masalah yang dihasilkan


dari eksisi luka bakar pasien, dimana terdapat perdarahan dan hematom setelah
dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh karenanya,
pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan jaringan yang mau
dilakukan grafting adalah:
1. Kulit donor setipis mungkin
2. Pastikan kontak antara kulit donor dengan bed (jaringan yang dilakukan
grafting), hal ini dapat dilakukan dengan cara :
a. Cegah gerakan geser, baik dengan pembalut elastik (balut tekan)
b. Drainase yang baik
c. Gunakan kasa adsorben
2.11.

Prognosis
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan

luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita
juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada
luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
serta parut hipertrofik dan kontraktur.

2.12.

Komplikasi
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS),dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap

berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma,
luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka,
namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus,
24

respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan


kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir
dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system
Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multisystem Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas
pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan
SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan
dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection,
injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury.
Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of
Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
1. Hipertermia (suhu > 38C) atau hipotermia (suhu < 36C)
2. Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
3. Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2 < 32 mmHg)
4. Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000
sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan
fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu
proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS
menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum
keadaan yang berawal dari SIRS.
Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone
dalam beberapa tahap.

25

Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka
bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai
mediator pro-inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon
inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel
retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi.
Molekul utamanya meliputi Tumor Necrotizing Factor (TNF), interleukin (IL1,
IL6), interferon, Colony Stimulating Factor (CSF), dan lain-lain. Efektor selular
respon inflamasi adalah sel-sel PMN, monosit, makrofag, dan sel-sel endotel. Selsel untuk sitokin dan mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin,
leukotrien, thromboxane, Platelet Activating Factor (PAF), radikal bebas, oksida
nitrit, dan protease. Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin
mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trombosis lokal. Hal ini
mengurangi kehilangan darah melalui luka, namun disamping itu timbul efek
pembatasan (walling off) jaringan cedera sehingga secara fisiologik daerah
inflamasi terisolasi.
Tahap II
Sejumlah kecil sitokin yang dilepaskan ke dalam sirkulasi justru
meningkatkan respon lokal. Terjadi pergerakan makrofag, trombosit dan stimulasi
produksi faktor pertumbuhan (Growth Factor/GF). Selanjutnya dimulailah respon
fase akut yang terkontrol secara simultan melalui penurunan kadar mediator
proinflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis reseptor IL1 dan
mediator-mediator anti-inflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor terlarut TNF
(Transforming Growth Factor/TGF). Dengan demikian mediator-mediator
tersebut menjaga respon inflamasi awal yang dikendalikan dengan baik oleh down
regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang telah
dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga homeostasis terjaga.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, berkembang tahap III (SIRS);
terjadi reaksi sistemik masif. Efek predominan dari sitokin berubah menjadi
destruktif. Sirkulasi dibanjiri mediator-mediator inflamasi sehingga integritas

26

dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan


mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi
peningkatan
akselerasi

vasodilatasi
trombosis

perifer,

gangguan

mikrovaskular,

aktivasi

permeabilitas
sel

mikrovaskular,

leukosit-endotel)

yang

mengakibatkan perubahan-perubahan patologik di berbagai organ. Jika reaksi


inflamasi

tidak

dapat

dikendalikan,

terjadi

syok

septik,

Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC), ARDS, MODS, dan kematian.


MODS merupakan bagian akhir dari spektrum klinis SIRS. Pada pasien
luka bakar dapat dijumpai secara kasar 30% kasus mengalami MODS. Ada 3 teori
yang menjelaskan timbulnya SIRS, MODS dan sepsis; yang mana ketiganya
terjadi secara simultan.
Teori pertama menyebutkan bahwa syok yang terjadi menyebabkan
penurunan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus, perfusi ke jaringan usus
terganggu menyebabkan disrupsi mukosa saluran cerna. Disrupsi mukosa
menyebakan fungsi mukosa sebagai barrier berkurang/hilang, dan mempermudah
terjadinya translokasi bakteri. Bakteri yang mengalami translokasi umumnya flora
normal usus yang bersifat komensal, berubah menjadi oportunistik; khususnya
akibat perubahan suasana di dalam lumen usus (puasa, pemberian antasida dan
beberapa jenis antibiotika). Selain kehilangan fungsi sebagai barrier terhadap
kuman, daya imunitas juga berkurang (kulit, mukosa), sehingga mudah dirusak
oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut
menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang
memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena
gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik
(ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal
khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir
dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang
meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator

27

sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama


gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi
barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang
sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis.
LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang
pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada
hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas
pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik
pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras
seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator proinflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak
hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan
kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka
bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8
jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa
usus, pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi
hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme
yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan
karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora
usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan
cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan
sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang,
hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan
dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai

28

masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss
yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses
inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak
menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan
memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin
dianggap tidak bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat
namun harus diingat saat pemberian serta efek sampingnya.
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan
menjinakkan leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi
lypoxygenase

pathway

pada

metabolisme

asam

arakhidonat,

sehingga

menghasilkan leukotrien yang lebih benigna. Pemberian Omega-6 memiliki efek


pada cyclo-oxygenase pathway asam arakhidonat, sehingga menghasilkan
tromboksan yang lebih benigna menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2)
yang bersifat maligna.
Komplikasi
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang
mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran
cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein
Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation
(DIC)
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
3.1.

Identitas Pasien
Nama

: Ramadhany Barus

Usia

: 26 Tahun

Alamat

: Desa Raya Kecamatan Berastagi

Agama

: Islam

29

3.2.

Pekerjaan

: Pedagang

Pendidikan

: Tamat SLTA

Status

: Menikah

Tgl Masuk

: Minggu, 06 November 2016

Anamnesa
Keluhan Utama

Luka bakar pada kepala, leher, dada, perut dan anggota gerak
Telaah

Hal ini dialami oleh pasien sejak 6 jam sebelum masuk Rumah Sakit Haji
Adam Malik Medan. Pasien dalam keadaan bertengkar dengan istri nya perihal
rumah tangga. Saat itu istri pasien sedang memasak air, dalam keadaan emosi,
sang istri menuangkan air panas yang mendidih tersebut ke seluruh badan pasien.
Pingsan (-), sesak nafas (-), mual (-), muntah (-).
Pasien kemudian dibawa ke Rumah Sakit Amanda dan diberi perawatan
infus, antibiotic dan antinyeri, kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Umum Pusat
Haji Adam Malik Medan.

3.3.

RPO

: Tidak ada

RPT

: Tidak ada

Primary Survey

Airway

: Clear, Snoring (-), Gargling (-), Crowing (-)

Breathing

: Nafas spontan, RR 20x/I, regular, SaO2 99%, kedalaman cukup

Circulation

: Akral hangat, CRT <2, TD 100/60 mmHg, HR 110 x/I, regular

Disability

: Sens CM, GCS E4M6V5, pupil isokor 3mm/3mm

Exposure

: Jejas (-), dijumpai luka bakar pada daerah kepala, leher, dada,

perut dan anggota gerak atas.

30

3.4.

Secondary Survey
Status Presens

Keadaan Umum
Sensorium
Tekanan Darah
MAP
Nadi
Pernapasan
Temperatur

: CM
: 100/60 mmHg
: 73
: 110/i, reg, t/v cukup
: 20 x/i
: 37C (axilla)

Keadaaan Penyakit
Pancaran Wajah
Sikap Paksa
Reflek Fisiologis
Reflek Patologis

: Nyeri
:+
:+
:-

Status Generalisata
Kepala
Mata
Leher
Dada

:
:
:
:

Deformitas (-), tampak luka bakar pada wajah kiri, bibir edema (-)
Kelopak mata edema (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-)
Luka bakar pada sebelah kiri, bula (-), merah muda
Simetris, luka bakar seluruh badan dan punggung, bula (+), luka
berwarna merah muda dan merah putih, lembab

Abdomen

Perkusi, palpasi dan auskultasi jantung dan paru sulit dinilai


: Simetris, luka bakar seluruh perut dan pinggang. bula (+), luka
berwarna merah muda dan merah putih. lembab

Ekstrimita

Perkusi, palpasi dan auskultasi abdomen sulit dinilai


: Luka bakar pada seluruh ekstrimitas atas dan sebagian bawah

Status Lokalisata

31

Kepala

: Luka bakar grade IIa IIb 5%

Leher

: Luka bakar grade IIa IIb 1%

Trunkus anterior

: Luka bakar grade IIa IIb 18%

Trunkus posterior

: Luka bakar grade IIa IIb 18%

Ekstrimitas superior

: Luka bakar grade IIa IIb 9%

Ekstrimitas inferior

: Luka bakar grade IIa IIb 4%

Total

: Luka bakar grade IIa IIb 55%

3.5.

Pemeriksaan Penunjang

32

1.

Pemeriksaan Laboratorium

Jenis pemeriksaan

Hasil

Rujukan

Hemoglobin (HGB)

13.7

1318

Eritrosit

4.58

4,50-6,50

Leukosit (WBC)

15.620

411x103

Hematokrit

40

3954%

Trombosit (PLT)

240.000

150450x103

PT

14.7/13.80

APTT

32.0/34.5

TT

21.5/18.5

HEMATOLOGI

GINJAL
Ureum

13

18-55 mg/dL

Kreatinin

0.57

0,71,3 mg/dL

Natrium (Na)

134

135155 mEq/L

Kalium (K)

3.9

3,65,5 mEq/L

Klorida (Cl)

105

96106 mEq/L

ELEKTROLIT

METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (puasa)

75

70-105 mg/dL

2. Pemeriksaan Radiologi (Foto Toraks)

33

Kesimpulan
3.6.

: Jantung dan paru dalam batas normal

Diagnosa Kerja

Luka bakar grade IIa IIb 55% ec air panas (Scald Burn)
3.7.

Penanganan :
1.
2.
3.
4.

Pemasangan IV line 18G, threeway, transfusion set, pastikan lancar


Beri oksigen 2 L/menit via Nasal Canule
Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
Resusitasi Cairan dengan metode Parkland
4 mL x persentase luas bakar x BB (kg) = 4 x 55 x 45 = 9900 cc
Dibagi dalam 2 kali pemberian, 50% 8 jam pertama, 50% 16 jam
kedua
8 jam pertama = 9900 cc/2/8 = 618 cc/jam = 200 gtt/I makro
16 jam kedua = 9900 cc/2/16 = 309 cc/jam = 100 gtt/I makro

5.
6.
7.
8.
9.
3.8.

Injeksi Tetagram bolus 250 IU


Injeksi Ceftriaxone 1 gram/12 jam
Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam
Injeksi Ketolorac 30 mg/8 jam
Pasang foley catheter untuk memantau urine output
Rencana

1. Pemasangan CVC
2. Debridement di KBE
3. Rencana Rawat HCU post Debridement

34

3.9.

Prognosis

Quo ad Vitam

: Dubia

Quo ad Functionam

: Dubia

Quo ad Sanationam

: Dubia

3.10.

Follow Up

S
O
A
07 November 2016 11 November 2016
Nyeri
Sens CM
Scald
Burn
HD stabil
pada
Grade IIa IIb
TD 120 130 /
luka
55% + Post
70 80 mmHg,
bakar
Debridement II
HR 76 82 x/I
RR 18 20 x/I
T 36,8 37,2

P
Bed Rest, Head Up 30o
IVFD RL 0.9% 30 gtt/i
Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj Ketolorac 30 mg/8 Jam
Diet MB TKTP
Debridement ke II dilakukan
tanggal 11 November 2016
Direncanakan ke ruangan RB3
karena keadaan umum stabil
Cek
Lab
(DL,
Albumin,
Elektrolit, KGD)

35

12 November 2016 16 November 2016


Nyeri
Sens CM
Scald
Burn
HD stabil
pada
Grade IIa IIb
TD 115 125 /
luka
55% + Post
65 75 mmHg,
bakar
Debridement
HR 74 80 x/I
RR 18 20 x/I
III
T 36,9 37,5
Hasil Lab
11/11/2016
Albumin 1,8
Natrium 125

17 November 21 November 2016


Nyeri
Sens CM
Scald
Burn
HD stabil
pada
Grade IIa IIb
TD 110 120 /
luka
55% + Post
60 - 70 mmHg,
bakar
Debridement
HR 70 76 x/I
RR 18 20 x/I
III + gangguan
T 36,5 37,4
penyesuaian
Hasil Lab
16/11/2016
Albumin 1,8
Natrium 119
Leukosit 12.050
22 November 2016 26 November
Nyeri
Sens CM
Scald
Burn
HD stabil
pada
Grade IIa IIb
TD 110 120 /
luka
55% + Post
70 - 80 mmHg,
bakar
Debridement
HR 70 74 x/I
RR 18 20 x/I
IV + gangguan
T 36,5 37,4
penyesuaian
Hasil Kultur
Sensitif dengan

Bed Rest, Head Up 30o


IVFD NaCl 0.9% 30 gtt/i
Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj Ketolorac 30 mg/8 Jam
Diet MB TKTP + 4 butir telur
Subtitusi Albumin
(2,5 -1,8) x 0.8 x 70 = 39,2 = 2 fls
albumin 20%, 1fls perhari
Debridement ke III dilakukan
tanggal 16 November 2016
Cek Lab Post Substitusi Albumin
Konsul Psikiatri
Bed Rest, Head Up 30o
IVFD NaCl 0.9% 30 gtt/i
Inj Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj Ketolorac 30 mg/8 Jam
Diet MB TKTP + 4 butir telur
Debridement ke IV dilakukan
tanggal 21 November 2016
Jawaban Konsul
Diagnosis Gangguan Penyesuaian
Sandepril 50 mg 1x1/2
Risperidon 2 mg 2x1/2
Kultur Darah
Bed Rest, Head Up 30o
IVFD NaCl 0.9% 30 gtt/i
Inj Meropenem 1 gr/8 jam
Inj Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj Ketolorac 30 mg/8 Jam
Diet MB TKTP + 4 butir telur
Debridement ke V dilakukan
tanggal 26 November 2016
Sandepril 50 mg 1x1/2
Risperidon 2 mg 2x1/2

Meropenem

36

27 November 2016 06 Desember 2016


Nyeri
Sens CM
Scald
Burn
HD stabil
pada
Grade IIa IIb
TD 110 120 /
luka
55% + Post
70 - 80 mmHg,
bakar
Debridement V
HR 70 74 x/I
RR 18 20 x/I
+
gangguan
T 36,5 37,4
penyesuaian

Bed Rest, Head Up 30o


IVFD NaCl 0.9% 30 gtt/i
Inj Meropenem 1 gr/8 jam
Inj Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj Ketolorac 30 mg/8 Jam
Diet MB TKTP + 4 butir telur
Debridement ke VI dilakukan
tanggal 08 Desember 2016
Sandepril 50 mg 1x1/2
Risperidon 2 mg 2x1/2

BAB 4
DISKUSI
Teori
Etiologi
Luka

bakar

Kasus
adalah

suatu

bentuk Pada kasus dijumpai mengalami luka

kerusakan atau kehilangan jaringan bakar


yang

disebabkan

kontak

akibat

disiram

air

panas

dengan mendidih

sumber panas seperti api, air panas,


bahan kimia, listrik, dan radiasi. Scald
37

Burn adalah terjadi akibat kontak


dengan air panas.
Diagnosis

Klasifikasi luka bakar berdasarkan Pasien ini mengalami luka bakar


kedalaman

(American

Burn

derajat II-III. Kulit pasien yang

Association)

terbakar

1.
2.
3.
4.

sampai putih dan pucat. Sensasi pada

Eritema (derajat pertama)


Superfisial parsial (derajat kedua)
Profunda partial (derajat kedua)
Full thickness (derajat ketiga)

berwarna

merah

muda

luka bakar pasien berkurang sesuai


dengan teori akibat ujungujung saraf

sensorik mengalami kerusakan.


Klasifikasi luka bakar berdasarkan Pasien ini mengalami luka bakar berat
derajat

ringan

(American

Burn

akibat luka termal (scald burn)

Association)
1. Luka bakar ringan
2. Luka bakar sedang
3. Luka bakar berat

Luka bakar derajat II 25% atau


lebih pada orang dewasa

Luka bakar derajat II 25% atau


lebih pada anak-anak

Luka bakar derajat III

10%

atau lebih

Luka bakar mengenai tangan,


38

telinga,

mata,

kaki,

dan

genitalia/perineum.

Luka

bakar

dengan

cedera

inhalasi, listrik, disertai trauma


lain

Luas luka bakar (American Burn

Kepala: Grade IIa IIb 5%

Association)

Leher: Grade IIa IIb 1%

Perhitungan

total

area

permukaan Trunkus ant: Grade IIa IIb 18%

tubuh yang terbakar (TBSA) dapat Trunkus post: Grade IIa IIb 18%
dihitung dengan Rule of 9.

Ekstrimitas sup: Grade IIa IIb 9%


Ekstrimitas inf: Grade IIa IIb 4%
Total: Grade IIa IIb 55%

Primary survey dan resusitasi


1. Airway: perhatikan tanda-tanda

1. Airway: Pada pasien ini tidak

obstruksi jalan napas dan trauma

dijumpai trauma inhalasi, airway

inhalasi serta resiko edema laring.


2. Breathing: penilaian ventilasi dan

clear
2. Breathing: Pasien ini bernapas

oksigenasi dengan cara look,

spontan, RR: 18 x/menit, SP/ST:

listen and feel.


3. Circulation: penilaian kesadaran,

vesikuler/-. SaO2: 97-99%. Pasien

nadi, warna kulit, waktu pengisian


kapiler

dan

suhu

ektermitas.

diberikan terapi O2 2L/I via nasal


kanul
3. Circulation:

Pasien

diberikan

Hitungan cairan resusitasi dengan

resusitasi cairan dengan Ringer

rumus Parkland, yaitu: luas luka

Laktat

bakar dalam persen x berat badan

parkland

dalam kg x 4 mL.

berdasarkan

rumus

Dibagi dalam 2 kali pemberian, 50%


8 jam pertama, 50% 16 jam kedua
8 jam pertama = 9900 cc/2/8 = 618
cc/jam = 200 gtt/I makro
16 jam kedua = 9900 cc/2/16 = 309

39

cc/jam = 100 gtt/I makro


Pasien
Kontrol infeksi dan penanganan nyeri

Antibiotik

dan

perfusinya dengan UOP


Kontrol infeksi pasien ini dilakukan
dengan pemberian antibiotik broad

direkomendasika pada terapi

spectrum: Inj. Ceftriakson 1gr/12

awal untuk kebanyakan pasien

jam.

bakar,

karena

bisa Penanganan

nyeri

pasien

ini

meningkatkan risiko kolonisasi

dilakukan dengan pemberian Inj

lebih banyak organisme jahat

Ketarolac 30 mg/8jam

dan

resisten.

imunisasi

sirkulasi

tidak

luka

intravena

dipantau

Tambahan

tetanus

bisa

disesuaikan.
Opioid dapat meredakan nyeri
dengan cepat dan dapat dititrasi
sampai

mencapai

tingkat

kenyamanan pada setiap pasien


Hati-hati

penggunaan

pada

pasien dengan hipoksemia dan


penurunan

kesadaran.

Sebaiknya

gunakan

parasetamol secara teratur dan,


jika tidak ada kontraindikasi,
gunakan

obat

anti-inflamasi

nonsteroid
Pemasukan

(NSAID).
ketamin

melalui

infus berguna jika analgesik


opioid tidak tersedia atau tidak

adekuat.
Pada stadium lanjut, opioid oral
dan
seperti

antidepressan
amitriptilin,

trisiklik,
bisa
40

digunakan
Perawatan luka bakar & tindakan

bedah

Pasien

dilakukan

debridement

Pada tahap awal setelah luka

luka bakar pada tanggal 06

bakar, pembedahan merupakan

november 2016 di KBE RS Haji

prioritas

Adam Malik Medan dan beberapa

untuk

melakukan

debridement dari jaringan yang

kali ulangan debridement

terkena. Pada saat yang sama,


ahli

bedah

biasanya

akan

mencoba untuk menutupi luka


bakar dengan satu atau lebih
cangkok kulit, dengan alasan
untuk

mengurangi

mengurangi

infeksi,

nyeri

dan

mempercepat penyembuhan.
Pada tahap lanjut, bekas luka
dan

kontrakturitas

dapat

menghalangi pembukaan mulut


atau terbatasnya gerakan leher
yang mencegah pemasangan
laringoskopi

konvensional.

Pertimbangan

yang

diberikan

adalah

dapat
dengan

intubasi fibreoptic sadar atau


trakeostomi saat sadar dibawah
pengaruh anastesi lokal. Setiap
pasien
berdasarkan

harus

dinilai
kebutuhan

individu masing-masing.

41

BAB 5
KESIMPULAN
RB, laki laki, 35 tahun, datang ke Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dengan keluhan luka bakar di seluruhh
tubuh. Pasien di diagnose dengan Scald Burn Grade IIa IIb 55%. Penanganan
awal di IGD pada pasien ini adalah:
1.
2.
3.
4.

Pemasangan IV line 18G, threeway, transfusion set, pastikan lancar


Beri oksigen 2 L/menit via Nasal Canule
Pasang monitor untuk memantau hemodinamik
Resusitasi Cairan dengan metode Parkland
4 mL x persentase luas bakar x BB (kg) = 4 x 55 x 45 = 9900 cc
Dibagi dalam 2 kali pemberian, 50% 8 jam pertama, 50% 16 jam
kedua
8 jam pertama = 9900 cc/2/8 = 618 cc/jam = 200 gtt/I makro
16 jam kedua = 9900 cc/2/16 = 309 cc/jam = 100 gtt/I makro

5. Injeksi Tetagram bolus 250 IU


6. Injeksi Ceftriaxone 1 gram/12 jam

42

7. Injeksi Ranitidine 50 mg/12 jam


8. Injeksi Ketolorac 30 mg/8 jam
9. Pasang foley catheter untuk memantau urine output
Kemudian pasien direncanakan Debridement di KBE

43

DAFTAR PUSTAKA

1.
2.
3.

4.
5.

Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat


R, de Jong W, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.
Moenadjat Y. Luka bakar. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2003.
Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC,
Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors.
Schwartzs principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill Companies;
2007.
Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns. Dalam: Slapper D,
Talavera F, Hirshon JM, Halamka J, Adler J, editors. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com. 06 desember 2016.
Split & Full Thickness Skin Grafting. Diunduh dari
http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html. 06 desember 2016.

44

Anda mungkin juga menyukai