BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi
aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik.5
2.2
Etiologi
Etiologi infeksi pada abdomen tergantung dari lokasi perforasi. Lambung,
duodenum dan usus halus lainnya mengandung sedikit mikroorganisme. Hal ini
dikarenakan adanya asam lambung yang berfungsi sebagai barier pertama
melawan bakteri. Berbeda dengan kolon yang mengandung 1011 bakteri dalam
satu gram tinja. Jumlah bakteri anaerob meningkat pada saluran cerna bagian
distal. Ileum mengandung jumlah bakteri aerob dan anaerob yang sama dan
bagian terbawah usus ini mengandung proporsi bakteri aerob dan anaerob 1:10
000. Infeksi saluran cerna bagian proksimal dan system bilier seringnya
disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negative. Penyebab yang sering
ditemukan adalah Eschericia coli (60%), Klebsiella pneumonia (26%), Proteus
spp. (22%), Enterococcus spp. (17%), Enterobacter spp, staphylococcus aureus
(7%) dan Streptococcus spp. (28%). Sebagai tambahan , sejumlah bakteri anaerob
yang sering menyebabkan peritonitis adalah Bacteroides fragilis, Clostridium
spp., Peptostreptococcus spp., dan Prevotella spp.2
Penyebab infeksi intraabdominal secara signifikan berbeda untuk pasien
rawat jalan dan pasien rawat inap yang mengalami infeksi nosokomial. Eschericia
coli dan Bacteroides fragilis adalah penyebab tersering pada pasien rawat jalan
sedangkan Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter
spp., enterococcus spp., Proteus spp., dan morganella spp. Dalah bakteri tersering
penyebab infeksi intraabdomen pada pasien yang mengalami infeksi nosokomial.2
2.3
Patogenesis
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi microbial, peritonitis
oleh
infeksi
monomikrobial.
Sumber
infeksi
umumnya
Diagnosis
Diagnosis peritonitis didasarkan pada gejala klinis, umunya dari anamnesa
dan pemeriksaan fisik. Gejala utama dari semua kasus peritonitis adalah nyeri
perut. Nyeri dapat bersifat tajam atau tersembunyi, sering nyeri bersifat konstan
dan intens dan diperberat oleh gerakan. Umumnya pasien berbaring dengan posisi
lutut tertekuk dan kepala naik ke atas karena gerakan ini akan mengurangi tekanan
dindinng abdomen dan mengurangi nyeri. Gejala yang sering dijumpai adalah
anoreksia, nausea dan vomit. Mayoritas pasien mengalami kondisi umum yang
buruk seperti demam dengan suhundiatas 38 derajat tetapi pasien yang mengalami
sepsis syok dapat mengalami hipotermia. Takikardia dan lemahnya denyut nadi
menunjukkan hipovolemia. Nyeri pada saat palpasi merupakan peritonitis, baik
nyeri saat palpasi ringan dan dalam dan dinding mengalami spasme. Pada perkusi
dinding perut bertujuan untuk menunjukkan luas lokasi peritonitis. Pada
auskultasi suara peristaltik normal atau mungkin menghilang. Pada pemeriksaan
laboratorium terjadi peningkatan jumlah leukosit lebih dari 11.000 sel/ml.
Leukopenia menunjukkan terjadinya sepsis dan menunjukkan prognosis yang
buruk. Pemeriksaan kimia darah normal tetapi pada kasus berat terjadi dehidrasi
yang parah yang ditunjuukan oleh peningkatan nilai blood ureal nitrogen (BUN)
dan hipernatremia. Adanya metabolic asidosis dapat membantu penegakan
diagnose.4
Dari gambaran radiologi foto polos abdomen 3 posisi didapatkan :2
1
Posisi duduk atau berdiri didapatkan free air subdiafragma yang berbentuk
bulan sabit (semilunar shadow)
Pada posisi left lateral decubitus didapatkan free air intraperitoneal pada
daerah perut yang paling tinggi
terdapat sumbatan jalan nafas. Breathing untuk menilai pernafasan melalui look,
listen, feel dan bila perlu diberikan oksigen untuk mrmbantu pernafasan.
Circulation untuk melihat dan mengatasi perdarahan, volume darah dan cardiac
output harus diperhatikan. Disability untuk menilai kesadaran melalui respon
pupil dan derajat kesadaran. Exposure untuk pemeriksaan menyeluruh.8
Pada pasien peritonitis, dapat terjadi takikardi, pulse yang lemah, kulit
ekstremitas dingin dan pucat yang menandakan adanya syok. Untuk itu resusitasi
cairan diberikan. Bila disertai dengan demam kemungkinan terjadi sepsis.
Pemberian oksigen harus diberikan jika terjadi hipoksemia. Analgetik sebaiknya
disediakan dalam kondisi akut seperti morfin dan fentanil.9
2.7. Secondary Survey
Secondary survey meliputi pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki,
anamnesis yang lengkap dan penilaian kembali semua tanda vital. Anamnesis
harus mencakup AMPLE, yaitu allergies, medications currently used past
illnesses/pregnancy, last meal, dan events/environment.8
Pada peritonitis, dari anamnesis pasien cenderung untuk imobilitas dan terus
menerus kesakitan, perubahan posisi akan merangsang peritoneumnya dan
meningkatkan nyeri abdomennya. Dari riwayat pemgobatan, sering ditemukan
adanya riwayat penggunan obat anti nyeri seperti NSAID dan aspirin. Pemakaian
NSAID dan aspirin bukan hanya menyebabkan kerusakan struktural pada
gastroduodenal namun juga pada usus halus dan usus nesar berupa inflamasi,
ulserasi, dan perforasi.6
Pada kegawatan akut abdomen, pasien datang dengan keluhan sakit perut
yang hebat dimana penyebabnya dapat berupa obstruksi, inflamasi, vaskular.
Pasien sering dengan riwayat penggunaan obat NSAID dan aspirin. Pada usia
lanjut (>60 tahun), penggunaan NSAID atau aspirin dapat meningkatkan kematian
akibat komplikasi berupa perdarahan atau perforasi.6
Pasien usia tua membutuhkan monitoring kardiak yang lebih agresif. Pasien
juga membutuhkan monitoring tekanan intraabdomen untuk mencegah dan
mengidentifikasi abdominal compartment syndrome.9
berhubungan
dengan
kekurangan
gizi,
anemia
dan
10
11
12
13
Telah disarankan bahwa ada alasan teoritis yang baik untuk menasihati
semua pasien untuk menghentikan rokok. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk mengeliminasi nikotin yang akan
mempengaruhi sistem kardiovaskular. Efek nikotin pada system saraf
simpatik
yaitu
takikardi
dan
hipertensi.
Selanjutnya,
merokok
Dapat
dijumpai
juga
kerusakan
organ
sekunder
seperti
14
jalan
nafas
terutama
bagian
atas
dan
rencanakan
15
Derajat I
Derajat II
Derajat III
Derajat IV
16
17
Kemodinamik penderita
Hidrasi
Hormonal
Produksi urine
Anuri : 20m1/24jam
Serum kreatinin
Sedimen urine
18
C. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit
yang
sedang
dicurigai.
Banyak
fasilitas
kesehatan
yang
mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk
bedah minor, misalnya pemeriksaan darah (hb, leukosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 30 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji
ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini.12
19
20
Definisi
Pasien normal dan sehat
Pasien
dengan
sistemik ringan
fungsional
Contohnya
substantif.
termasuk
(namun
Pasien
dengan
sistemik berat
Contohnya
termasuk
terkontrol
atau
HTN,
hepatitis
ketergantungan
aktif,
atau
21
PCA
<60
minggu,
Pasien
dengan
sistemik
berat
mengancam hidup
stent,
yang
sedang
katup
yang
berat,
Pasien
yang
tidak
secara teratur.
dapat Contohnya termasuk
tidak
terbatas
pada):
(namun
ruptur
berat,
perdarahan
kelainan
jantung
yang
22
23
T = Tubes
-
Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon dan usia > 5 tahun
dengan balon (cuffed)
A = Airway
24
T = Tape
-
I = Introducer
-
Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan
C = Connector
-
S = Suction
-
25
26
kelebihan cairan. Berkurangnya aliran darah ginjal dan penurunan massa nefron
meningkatkan risiko gagal ginjal akut pada periode pasca operasi.19
Sistem saraf adalah target untuk hampir setiap obat bius, perubahan terkait
usia dalam fungsi sistem saraf memiliki implikasi kuat untuk manajemen anestesi.
Penuaan berpengaruh terhadap penurunan massa jaringan saraf, kepadatan
neuronal dan konsentrasi neurotransmiter, serta reseptor norepinefrin dan
dopamin. Kebutuhan dosis untuk anestesi lokal dan anestesi umum pada pasien
geriatri berkurang. Selain itu, pasien geriatri memebutuhkan lebih banyak waktu
untuk pulih dari anestesi umum.19
Massa hepar dan aliran darah hepar menurun dengan penuaan. fungsi hati
menurun sebanding dengan penurunan massa hepar. Dengan demikian, tingkat
biotransformasi dan produksi albumin menurun. Kadar cholinesterase plasma juga
berkurang pada pria lanjut usia.13
J. Persiapan Pra Operasi pada pasien akut abdomen
Pasien dengan akut abdomen, seperti peritoitis, memiliki kondisi kesehatan
yang bervariasi secara keseluruhan pada saat keputusan untuk operasi dibuat.
Terlepas dari keparahan penyakit, semua pasien memerlukan beberapa persiapan
pra operasi, yaitu sebagai berikut:13,20,21,22
a) Semua pasien harus dianggap tidak puasa.
b) Akses intravena harus diperoleh untuk pemberian cairan. Bolus cairan
kristaloid 500 mL-1000mL. Durante operasi cairan maintenance diberikan
sebanyak {4 mL/kg/jam (untuk 0-10kg) + 2 mL/kg/jam (untuk 10-20kg) + 1
mL/kg/jam (untuk >20kg) + 10 mL/kg/jam}.
c) Pemberian antibiotik harus segera dilakukan ketika sangkaan diagnosis telah
dibuat. Bakteri yang umum dalam keadaan akut abdomen adalah organisme
gram-negatif enterik dan anaerob.
d) Pemasangan NGT diperlukan untuk dekompresi saluran pencernaan sehingga
dapat mencegah aspirasi.
e) Foley kateter diperlukan untuk menilai urin output dan kecukupan resusitasi
cairan. Pra operasi, urin output 0,5 mL / kg / jam, tekanan darah sistolik >100
mm Hg, dan denyut nadi <100 x/ menit adalah indikasi dari volume
intravaskular yang memadai.
K. Kondisi khusus pada pasien sepsis
27
28
Irama jantung dan nadi cepat, hipertensi, sering disebabkan karena kesakitan,
permulaan hipoksia atau memang penyakit dasarnya. Terapi dengan O2,
analgetik, posisi fowler.
Muntah, bahaya berupa aspirasi paru. Terapi miringkan kepala dan badan
sampai setengah tengkurap, posisi trendelenberg, hisap muntah sampai bersih.
29
Kondisi malnutrisi yang berat menyebabkan disfungsi organ yang luas serta
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Nutrisi pengganti dapat
meningkatkan penyembuhan luka, meningkatkan imunitas, serta mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit kritis.13
Asupan nutrisi yng diberikan terdiri atas makronutrien, karbohidrat, lemak,
dan protein. Total kalori (REE = Resting Energy Expenditue) yang dibutuhkan
pada pasien dengan tingkat kebutuhan yang normal atau sedang adalah 25-30
kkal/kg BB per hari, sangat jarang pasien yang membutuhkan energi yang
melebihi 2000 kkal per hari. Level yang terbaik untuk memulai pemberian nutrisi
pada pasien sakit kritis adalah 25 kkal/kgbb per hari. Pemberian nutrisi yang
kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan buat pasien. REE dapat
bervariasi antara meningkat sampai 40% dan menurun sampai 30%, tergantung
dari kondisi pasien.
Perhitungan Basal Energy Expenditure (BEE) Persamaan Harris-Benedict:
Laki-laki: 66,47 + (13,75 x BB) + (5 x TB) - (6,76 x Umur)
Wanita : 655,1 + (9,56 x BB) + 1,85 x TB) (4,67 x Umur)
Faktor
Stres
Koreksi
terhadap
perhitungan
kebutuhan
energi
derajat
hipermetabolisme :
* Postoperasi (tanpa komplikasi) 1,00 1,30
* Kanker 1,10 1,30
* Peritonitis / sepsis 1,20 1,40
* Sindroma kegagalan organ multiple 1,20 1,40
* Luka bakar 1,20 2,00 (perkiraan BEE + % luas permukaan tubuh yang
terbakar)
Koreksi kebutuhan energi(kkal/hari)=BEE x faktor stres
Pemberian nutrisi dapat melalui enteral maupun parenteral.
1. Enteral
Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan daripada oral,
kecuali pada keadaan fraktur basis cranii dimana bisa terjadi resiko penetrasi ke
intrakranial. Pipa naso jejunal dapat digunakan jika terjadi kelainan pengosongan
lambung yang menetap dengan pemberian obat prokinetik atau pada pankreatitis.
30
Alternatif lain untuk akses nutrisi enteral jangka panjang adalah dengan
gastrostomi dan jejunum perkutaneus. 6 Larutan nutrisi enteral yang tersedia
dipasaran memiliki komposisi yang bervariasi. Nutrisi polimer mengandung
protein utuh (berasal dari whey, daging, isolat kedelai dan kasein), karbohidrat
dalam bentuk oligosakarida atau polisakarida. Formula demikian memerlukan
enzim pankreas saat absorbsinya. Nutrisi elemental dengan sumber nitrogen (asam
amino maupun peptida) tidaklah menguntungkan bila digunakan secara rutin,
namun dapat membantu bila absorbsi usus halus terganggu, contohnya pada
insufisiensi pankreas atau setelah kelaparan dalam jangka panjang. Lipid biasanya
berasal dari minyak nabati yang mengandung banyak trigliserida rantai panjang,
tapi juga berisi trigliserida rantai sedang yang lebih mudah diserap. Proporsi
kalori dari non protein seperti karbohidrat biasanya dua pertiga dari total
kebutuhan kalori. 6 Serat diberikan untuk menurunkan insiden diare. Serat
dimetabolisme oleh bakteri menjadi asam lemak rantai pendek, yang digunakan
oleh koloni untuk pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit, vitamin dan trace
mineral ditambahkan sampai volume yang mengandung 2000 kkal.
Keuntungan
Fisiologis
Menyediakan fungsi fungsi kekebalan
Menyediakan fungsi pertahanan usus
Tidak mahal dibandingkan TPN
2.
Kerugian
Membutuhkan waktu untuk mencapai
sokongan yang utuh
Tergantung fungsi cerna
Kontraindikasi pada obstruksi intestinal
Parenteral
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat
31
Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan untuk
dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada pasien ICU, kebutuhan
dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam. Monitoring
terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat.
Total Parenteral Nutrition (TPN) diberikan pada pasien yang tdak dapat
menyerap melalui enteral, contohnya small bowel obstruction dan short gut
syndrome. Partial Parenteral Nutrition dapat diindikasikan sebagai pelengkap
nutrisi enteral.
2.12. Jenis-Jenis Anestesi
A. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang
spesifik. Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya
kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan
dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang
hilang bersifat lokal. Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk
banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial
seperti sirkumsisi, mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka
yang disertai tindakan penjahitan.
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya
mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila
lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan tanpa rasa nyeri.13,25
B. Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping
operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan
Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan
32
33
mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom,
cabangcabang neuromuskular dan semua jaringan otot.27
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang
digunakan sebagai anestesi lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak
mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas
sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat
pada selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk
jangka waktu yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan
larutan yang stabil, juga tahan terhadap pemanasan/sterilisasi.25,26
Struktur dasar obat anestesi lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugusamino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil. Adanya ikatan
ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan
inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu
golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme
dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan
Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain
dan Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol,
Etilklorida, dan Cryofluoran.13
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obatobatan
anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obatobatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang
ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke
otak.26,27
B. Anestesi Regional
Metode pemberian anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok
sentral dan blok perifer.
1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi spinal,
epidural dan kaudal.27
a. Anestesi Spinal
34
35
pengurangan
kejadian
ileus,
dan
penurunan
stres
respons.
Bagaimanapun, pada prosedur emergensi TEA lebih sulit untuk dilakukan. Pasien
dapat menjadi terlalu tidak stabil untuk insersi epidural sebelum pembedahan atau
mungkin memiliki kontraindikasi seperti sepsis atau gangguan koagulasi.
Pemberian morphine intravena cukup efektif, tetapi memiliki kerugian, yaitu
meningkatkan PONV (postoperative nausea and vomiting), risiko ileus,
somnolens, dan gangguan pola tidur.20
36
37
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1
Anamnesa
PD, 35 tahun, 60 kg, 165cm, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik dengan keluhan utama nyeri pada seluruh lapangan perut. Hal ini
dialami pasien sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan
pada perut kanan bawah lalu menjalar ke seluruh lapangan perut. Riwayat mual
dijumpai, riwayat muntah dijumpai. Riwayat buang air besar tidak dijumpai dua
hari terakhir. Buang air kecil tidak dijumpai. Sebelumnya os dirawat di rumah
sakit luat dengan keluhan yang sama.
RPT
: Tidak Jelas
RPO
: Tidak jelas
Time Sequence
Pasien datang ke IGD RS HAM ke red
01 Oktober 2016
17.40 WIB
01 Oktober 2016
18.10 WIB
01 Oktober 2016
19.30 WIB
01 Oktober 2016
20.00 WIB
01 Oktober 2016
21.10 WIB
02 Oktober 2016
02 Oktober 2016
04.00 WIB
04.20 WIB
3.2
line
Pasien dimasukkan ke ruang resusitasi
Primary Survey
Kesimpulan
Penanganan
Hasil
38
A (airway)
Airway clear
Snoring (-)
Gargling (-)
Crowing (-)
C- Spine : stabil
Fraktur Maxillofacial
Pertahakan
airway
tetap
Airway clear
c-spine stabil
clear
(-)
B (breathing)
via RR : 16x/menit
Dalam
batas Oksigen
Inspeksi
nasal kanul 2 SaO2: 99%
normal
Thorax simetris tidak
l/min
ada bagian yang
ketinggalan
Perkusi:
Sonor
kedua
lapangan paru
Auskultasi
SP/ST: vesikule(+/
+)/rhonchi
(-/-),
wheezing (-/-)
SaO2: 99%
RR : 16 x/menit
C (circulation)
Adequate
Capillary Refill Time
line
2 IV TD:
130/80mmHg
HR:
84x/i
tangan kanan
< 2 detik
Akral hangat, merah,
kering
T/V : kuat/cukup
TD: 130/80mmHg
HR: 84 x/menit,
Pasang
18G
di
20
regular
gtt/menit
Perdarahan : D (disability)
Pasien
dalam Mempertahankan
Kesadaran:
apatis, keadaan
A-B-C
tetap
GCS 15 (E4M6V5) Compos Mentis lancar
pupil : 3 mm/ 3
39
mm, isokor
Rc : +/+
E (exposure)
Oedema (-)
Fraktur (-)
Cegah
hipothermia
3.4
Riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/B2 : akral : H/M/K, TD : 130/80, HR : 84x/menit, T/V : kuat/cukup , CRT:
Penanganan di IGD
40
Jenis pemeriksaan
Hasil
Rujukan
Hemoglobin (HGB)
21,8 g/dl
1318
Eritrosit
7,32 x 106 /L
4.50-6.50
Leukosit (WBC)
5.490 /L
411x103
Hematokrit
66%
3954%
Trombosit (PLT)
363x103/L
150450x103
HEMATOLOGI
FAAL HEMOSTASIS
WAKTU PROTOMBIN
Pasien
42,6 detik
Kontrol
14,00 detik
INR
2,97
APTT
Pasien
55,5 detik
Kontrol
35,8 detik
WAKTU TROMBIN
Pasien
17,2 detik
Kontrol
18,9 detik
GINJAL
Blood Urea Nitrogen
22 mg/dL
9-21 mg/dL
Ureum
47 mg/dL
19-44 mg/dL
Kreatinin
1,05 mg/dL
0.71.3 mg/dL
Natrium (Na)
136 mEq/L
135155 mEq/L
Kalium (K)
4,3 mEq/L
3,65,5 mEq/L
Klorida (Cl)
102 mEq/L
96106 mEq/L
ELEKTROLIT
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (sewaktu)
104 mg/dL
<200 mg/dL
41
Diagnosa pra bedah : Diffuse peritonitis d/t Hollow Organ Perforation + septic
shock
3.6 Persiapan pre-operasi
3.6.1 Persiapan pasien
- SIA
- Pasien operasi puasa sejak direncanakan operasi
42
3.6.2
betadine, alkohol
3.6.3 Persiapan Obat
a. Premedikasi
- Midazolam 0.05-0.1 mg/kg/iv
- Fentanil 2-5 mcg/kg/iv
b. Induksi
- Propofol 2,-2.5 mg/kg/iv
-
c. Rumatan
- Fentanil 1-2 mg/kg/iv
- Rocuronium 1-2 mg/30 menit
3.7 Durante Operasi
- Vital Sign:
TD 70-100/50-60 mmHg
RR 16 x/i
HR 100-110 x/i
SpO2: 96%
- Sulfas Atropin 0,5 mg
- Ketamin 100 mg
- Roculax
- N2O:O2=2:2
- Sevofluran
- RL 1000 mL, Koloid 500 mL
- Urine Output 100 mL
- Perdarahan 200 mL
43
O
A
B1: Airway clear terintubasi Post
P
Bed rest
+/100%,
SP:Vesikuler, eksplorasi
diffuse
gaster
perforation
- Head up 30
a/i
volume : 50 cc/jam
+ midazolam 15 mg
dalam 50 cc NaCl
44
syringe pump
Inj. Parasetamol 1000
mg/ 8 jam
Inj. Omeprazole 40
mg/ 8 jam
Albumin 25% 1 fls
100cc
22 September 2016
S
-
O
A
B1: Airway clear, SP:Vesikuler, ST:-, Post
P
Bed rest
RR: 20x/i, SpO2:98%
Laparotomi + Diet TPN H-2
Ivelip 1 fls/12 jam
B2: Akral: H/M/K, CRT<2, T/V: Primary Suture
Clinimix 14 gtt/i
Cukup
+
Omental Aminofusin 1 fls/
TD:120/70 mmHg, HR: 70x/i
B3:
Sens:
CM,
Pupil:
Patch
isokor Gaster
d/t
stop
+ IVFD RL 20 gtt/i
Perforation
Appendectom
appendisitis
akut
24 jam-> habis,
d/t
+ D5% 10 gtt/i
Inj. Meropenem 1
gr/ 8 jam
Inj. Metronidazole
500 mg/ 8 jam
Inj. Parasetamol
1000 mg/ 8 jam
Inj. Omeprazole
40 mg/ 8 jam
23 September 2016
S
-
O
A
B1: Airway clear, SP:Vesikuler, Post
ST:-, RR: 18x/i, SpO2:98%
P
Bed rest
Laparotomi + Diet TPN H-3
45
Patch
Omental
D5% 10 gtt/i
d/t Inj. Meropenem 1 gr/
Perforation
Appendectomy
B5:
Distensi
(-),
8 jam
Inj.
Metronidazole
500 mg/ 8 jam
Inj. Parasetamol 1000
mg/ 8 jam
Inj. Omeprazole 40
mg/ 8 jam
Ivelip 1 fls/12 jam
Clinimix 14 gtt/I
Acc pindah ke
ruang rawat inap
46
BAB 4
DISKUSI
Teori
Etiologi
Peritonitis
Kasus
diklasifikasikan
primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis perforasi lambung. Hal ini berarti
primer
disebabkan
monomikrobial.
umumnya
oleh
Sumber
ekstraperitoneal
merupakan
dari
infeksi
intraabdomen
yang
yang
Peritonitis
tersier
dapat
pernafasan.
Circulation
untuk
melihat
dan
mengatasi perdarahan, menilai derajat
dehidrasi dan pemberian cairan serta
pemantauan urn output.
2.
Analgetik
sebaiknya
disediakan
(2 line)
Pasang NGT
Pasang kateter
IVFD Ringer Lactate 20 gtt/menit
Pasang kateter urine
Beri antibiotik injeksi Ceftriaxone 1
g/12 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
47
Anamnesis
1.Persiapan pasien
Pemeriksaan fisik
- SIA
Pemeriksaan laboratorium
- Puasa sejak direncanakan operasi
Klasifikasi ASA
- Pemasangan IV line transfuse set,
Puasa
Persiapan alat
threeway, venocath bore besar
Persiapan
obat
:Pre-medikasi,
nomor 18 G di tangan kanan dan
induksi dan obat emergensi
tangan kiri IVFD Ringer
-
Lactate 30 gtt/menit
Pemasangan kateter urine
pantau UOP
Oral & personal hygiene
Persiapan darah
elektroda
Mesin suction + cathether suction
Stetoskop
+
precordial
+laryngoscope-blade
ETT + LMA + OPA + NPA
Plester, connector, stylet, bantal
intubasi,
tangan,
donat,
magil
boh,
papan
forceps,
pack
b. Induksi
-
48
penggunaan
anestesi
juga
organ
vital
melakukan
Obat-obatan narkotika seperti morfin, midazolam dalam 50cc NaCl 0,9% via
fentanyl, dan remifentanil menjadi obat syringe
pump
(titrasi)
dan
Inj.
dapat
menurunkan
efek
49
BAB 5
KESIMPULAN
Laki-laki, usia 66 tahun, datang ke RSUP HAM pada pukul 08.00 WIB
dengan keluhan nyeri pada seluruh lapangan perut yang dialami 4 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien didiagnosis dengan Diffuse peritonitis d/t Hollow
Organ Perforation kemudian dilakukan eksplorasi laparatomi. Setelah laparatomi,
ditemukan adanya perforasi gaster sehingga diagnosa menjadi Post Laparotomi +
Primary Suture + Omental Patch d/t Gaster Perforation + Appendectomy d/t
appendisitis akut.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Silen W. Acute Appendicitis and Peritonitis in Harrisons Principle of Internal
Medicine. 2012. Mc Graw Hill Companies: p.2518-19
2. Ahmetagic A, et al. Etiology of Peritonitis. 2013. Med Arh: 67(4)
3. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis- The Eastern Experience. 2010. World journal
of Emergency Surgery: 1(13)
4. Ordonez C, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient.2011. Surg Clin North Am:86(6)
5. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis
Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.2016. Jurnal Kesehatan
Andalas:5(1)
6. Daldiyono, Syam AF. Nyeri Abdomen Akut. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: InternaPublishing. 2009.
7. Peritonitis
and
Abdominal
Sepsis.
2015.
Available
at
http://www.emedicine.medscape.com/article/180234.
8. Rotondo MF, et al. Advanced Trauma Life Support ATLS Student Course
Manual 9th Ed. United State of America: American College of Surgeons,
2012.
9. Ordonez CA, et al. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient.
Desember ; 86(6): 13231349. JSurg Clin North Am.. 2006.
10.
Surgical
Approach
to
Perotonitis.
2015.
Available
at
http://www.emedicine.medscape.com/article/1952823.
11. Zambouri A. Preoperative evaluation and preparation for anesthesia and
surgery. Hippokratia. 2007;11(1):13-21.
12. Baxendale B dan Smith G. Preoperative assessment and premedication.
Dalam: Aitkenhead AR, Rowbotham DJ dan Smith G, eds. Textbook of
Anesthesia. 4th edition. Spain: Elsevier, Inc; 2001. hlm. 417-29.
13. Butterworth JF, Mackey DC dan Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. Chapter 18. 5th edition. New York: Mc Graw Hill; 2013.
51