Anda di halaman 1dari 51

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Peritonitis didefinisikan sebagai suatu proses inflamasi membran serosa

yang membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya.


Peritonitis menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen. Akut
abdomen adalah suatu kegawatan abdomen yang dapat terjadi karena masalah
bedah dan non bedah. Peritonitis merupakan penyebab kegawatan abdomen yang
disebabkan oleh bedah.1
Peritonitis dapat bersifat lokal maupun generalisata, bakterial maupun
kimiawi. Peradangan peritoneum dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur,
bahan kimia iritan, dan benda asing. Kemudian disebutkan juga bahwa peritonitis
merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada penderita bedah dengan
mortalitas sebesar 10-40%. Peritonitis difus sekunder yang merupakan 90%
penderita peritonitis dalam praktek bedah dan biasanya disebabkan oleh suatu
perforasi gastrointestinal ataupun kebocoran.2
Suatu perforasi dapat terjadi akibat trauma dan non trauma. Non trauma
misalnya akibat volvulus spontan pada bayi baru lahir, ingesti obat-obatan, tukak,
malignansi, dan benda asing. Sedangkan trauma dapat berupa trauma tajam
maupun trauma tumpul, misalnya iatrogenic akibat pemasangan pipa nasogastrik.
Sementara itu beberapa contoh lokasi kebocoran atau perforasi gastrointestinal
yang menyebabkan peritonitis sekunder adalah kebocoran pada lambung maupun
kebocoran pada usus (duodenum, jejunum, ileum, kolon, maupun appendik).
Kebocoran lambung dapat disebabkan oleh ulkus gaster atau yang biasanya
disebut tukak lambung. Tukak lambung umunya terjadi pada pria, orang tua dan
kelompok social ekonomi rendah. Sementara itu tukak duodenum lebih sering
terjadi dua kali dari pada tukak lambung.2
Walaupun tukak duodenum lebih sering terjadi dari pada tukak lambung,
tetapi tukak lambung yang perforasi memiliki mortalitas yang lebih tinggi
daripada tukak duodenum yang perforasi. Pada kebanyakan kasus tingkat

kematiannya mencapai 15-20% dan kebanyakan perforasi lambung tersebut


terjadi pada daerah antrum atau prepilorik.3
Di Indonesia tukak lambung ditemukan antara 6-15% pada usia 20-50
tahun. Terutama pada lesi yang hilang timbul dan paling sering didiagnosis pada
orang dewasa usia pertengahan sampai usia lanjut, tetapi lesi ini mungkin sudah
muncul sejak usia muda.3
Peritonitis dapat mengancam jiwa karena sering bersamaan dengan kondisi
bakteremia dan sindroma sepsis. Manifestasi sistemik dari sepsis yaitu SIRS
(Systemic Inflammation response Syndrome) dapat terjadi pada pasien peritonitis
sekunder yaitu melalui pelepasan endotoksin liposakarida dari dinding bakteri
gram negatif (contohnya E. coli).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan bagaimana tatalaksana yang
tepat pada kasus peritonitis.
1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tatalaksana yang tepat pada kasus peritonitis
1.3.2. Tujuan Khusus
1

Mengetahui etiologi yang berperan terhadap kasus peritonitis

Mengetahui penyakit yang dapat menyebabkan peritonitis

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi

aseptik pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Lokasi
peritonitis bisa terlokalisir atau difus dan riwayat akut atau kronik.5
2.2

Etiologi
Etiologi infeksi pada abdomen tergantung dari lokasi perforasi. Lambung,

duodenum dan usus halus lainnya mengandung sedikit mikroorganisme. Hal ini
dikarenakan adanya asam lambung yang berfungsi sebagai barier pertama
melawan bakteri. Berbeda dengan kolon yang mengandung 1011 bakteri dalam
satu gram tinja. Jumlah bakteri anaerob meningkat pada saluran cerna bagian
distal. Ileum mengandung jumlah bakteri aerob dan anaerob yang sama dan
bagian terbawah usus ini mengandung proporsi bakteri aerob dan anaerob 1:10
000. Infeksi saluran cerna bagian proksimal dan system bilier seringnya
disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negative. Penyebab yang sering
ditemukan adalah Eschericia coli (60%), Klebsiella pneumonia (26%), Proteus
spp. (22%), Enterococcus spp. (17%), Enterobacter spp, staphylococcus aureus
(7%) dan Streptococcus spp. (28%). Sebagai tambahan , sejumlah bakteri anaerob
yang sering menyebabkan peritonitis adalah Bacteroides fragilis, Clostridium
spp., Peptostreptococcus spp., dan Prevotella spp.2
Penyebab infeksi intraabdominal secara signifikan berbeda untuk pasien
rawat jalan dan pasien rawat inap yang mengalami infeksi nosokomial. Eschericia
coli dan Bacteroides fragilis adalah penyebab tersering pada pasien rawat jalan
sedangkan Staphylococcus epidermidis, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter
spp., enterococcus spp., Proteus spp., dan morganella spp. Dalah bakteri tersering
penyebab infeksi intraabdomen pada pasien yang mengalami infeksi nosokomial.2

2.3

Patogenesis
Berdasarkan sumber dan terjadinya kontaminasi microbial, peritonitis

diklasifikasikan menjadi primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis primer


disebabkan

oleh

infeksi

monomikrobial.

Sumber

infeksi

umumnya

ekstraperitoneal yang menyebar secara hematogen. Ditemukan pada penderita


sirosis hepatis yang disertai ascites, sindroma nefrotik, metastasis keganasan, dan
pasien dengan peritoneal dialysis. Kejadian peritonitis primer kurang dari 5%
kasus bedah. Peritonitis sekunder merupakan infeksi yang berasal dari
intraabdomen yang umumnya berasal dari perforasi organ berongga. Peritonitis
sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling umum, lebih dari 90% kasus
bedah. Peritonitis tersier dapat terjadi akibat peritonitis sekunder yang telah
dilakukan intervensi pembedahan ataupun medikamentosa. Kejadian peritonitis
tersier kurang dari 1% kasus bedah.4
2.4

Diagnosis
Diagnosis peritonitis didasarkan pada gejala klinis, umunya dari anamnesa

dan pemeriksaan fisik. Gejala utama dari semua kasus peritonitis adalah nyeri
perut. Nyeri dapat bersifat tajam atau tersembunyi, sering nyeri bersifat konstan
dan intens dan diperberat oleh gerakan. Umumnya pasien berbaring dengan posisi
lutut tertekuk dan kepala naik ke atas karena gerakan ini akan mengurangi tekanan
dindinng abdomen dan mengurangi nyeri. Gejala yang sering dijumpai adalah
anoreksia, nausea dan vomit. Mayoritas pasien mengalami kondisi umum yang
buruk seperti demam dengan suhundiatas 38 derajat tetapi pasien yang mengalami
sepsis syok dapat mengalami hipotermia. Takikardia dan lemahnya denyut nadi
menunjukkan hipovolemia. Nyeri pada saat palpasi merupakan peritonitis, baik
nyeri saat palpasi ringan dan dalam dan dinding mengalami spasme. Pada perkusi
dinding perut bertujuan untuk menunjukkan luas lokasi peritonitis. Pada
auskultasi suara peristaltik normal atau mungkin menghilang. Pada pemeriksaan
laboratorium terjadi peningkatan jumlah leukosit lebih dari 11.000 sel/ml.
Leukopenia menunjukkan terjadinya sepsis dan menunjukkan prognosis yang
buruk. Pemeriksaan kimia darah normal tetapi pada kasus berat terjadi dehidrasi

yang parah yang ditunjuukan oleh peningkatan nilai blood ureal nitrogen (BUN)
dan hipernatremia. Adanya metabolic asidosis dapat membantu penegakan
diagnose.4
Dari gambaran radiologi foto polos abdomen 3 posisi didapatkan :2
1

Posisi supine didapatkan preperitoneal fat menghilang, psoas line


menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.

Posisi duduk atau berdiri didapatkan free air subdiafragma yang berbentuk
bulan sabit (semilunar shadow)

Pada posisi left lateral decubitus didapatkan free air intraperitoneal pada
daerah perut yang paling tinggi

2.5. Penanganan Awal Pasien Peritonitis


Nyeri akut abdomen atau akut abdomen adalah suatu kegawatan abdomen.
Kegawatan abdomen yang datang ke rumah sakit bisa berupa kegawatan bedah
atau kegawatan non bedah. Kegawatan non bedah antara lain pankreatitis akut,
ileus paralitik, kolik abdomen. Kegawatan yang disebabkan oleh bedah antara lain
peritonitis akibat suatu proses dari luar maupun dalam abdomen. Proses dari luar
misalnya karena suatu trauma, sedangkan proses dari dalam misalnya karena
apendisitis perforasi.6
Penatalaksanaan peritonitis harus mencakup resusitasi cairan, koreksi
elektrolit dan faktor pembekuan darah, serta pemberian terapi empiris antibiotik
spektrum luas.7
2.6. Primary Survey
Pada beberapa pasien dengan akut abdomen perlu dilakukan resusitasi dan
tindakan segera maka pasien dengan nyeri abdomen yang berlangsung akut harus
ditangani dengan segera.6
Fungsi vital pasien harus dinilai secara cepat dan efisien. Manajemennya
terdiri dari primary survey, resusitasi, secondary survey, dan inisiasi terapi
definitif.8
Proses primary survey mencakup ABCDE, yaitu airway, breathing.
circulation, disability,dan exposure. Airway untuk menilai jalan nafas, apakah

terdapat sumbatan jalan nafas. Breathing untuk menilai pernafasan melalui look,
listen, feel dan bila perlu diberikan oksigen untuk mrmbantu pernafasan.
Circulation untuk melihat dan mengatasi perdarahan, volume darah dan cardiac
output harus diperhatikan. Disability untuk menilai kesadaran melalui respon
pupil dan derajat kesadaran. Exposure untuk pemeriksaan menyeluruh.8
Pada pasien peritonitis, dapat terjadi takikardi, pulse yang lemah, kulit
ekstremitas dingin dan pucat yang menandakan adanya syok. Untuk itu resusitasi
cairan diberikan. Bila disertai dengan demam kemungkinan terjadi sepsis.
Pemberian oksigen harus diberikan jika terjadi hipoksemia. Analgetik sebaiknya
disediakan dalam kondisi akut seperti morfin dan fentanil.9
2.7. Secondary Survey
Secondary survey meliputi pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki,
anamnesis yang lengkap dan penilaian kembali semua tanda vital. Anamnesis
harus mencakup AMPLE, yaitu allergies, medications currently used past
illnesses/pregnancy, last meal, dan events/environment.8
Pada peritonitis, dari anamnesis pasien cenderung untuk imobilitas dan terus
menerus kesakitan, perubahan posisi akan merangsang peritoneumnya dan
meningkatkan nyeri abdomennya. Dari riwayat pemgobatan, sering ditemukan
adanya riwayat penggunan obat anti nyeri seperti NSAID dan aspirin. Pemakaian
NSAID dan aspirin bukan hanya menyebabkan kerusakan struktural pada
gastroduodenal namun juga pada usus halus dan usus nesar berupa inflamasi,
ulserasi, dan perforasi.6

2.8. Indikasi Pembedahan10


Terapi pembedahan merupakan dasar utama pada penatalaksaan peritonitis.
Pembedahan yang dilakukan harus memegang prinsip pengobatan infeksi
intraperitoneal yaitu:
a

Terapi definitif yang cepat pada sumber infeksi

Eliminasi bakteri dan toksin dari kavitas abdomen


Pendekatan terhadap terapi pembedahan ditujukan berdasarkan proses
penyakit yang mendasari serta jenis dan tingkat keparaham infeksi intraabdomen.
Pada banyak kasus, indikasi pembedahan adalah:
a Kolitis iskemik
b Ruptur apendiks
c Divertikula kolon
d Sepsis abdomen
Persiapan operasi yang harus dilakukan harus diarahakan pada resusitasi
volume dan pencegahan kerusakan sekunder organ. Persiapan meliputi:

Pemasangan kateter untuk memantau urin output

Monitor untuk memantau hemodinamik


c

Gangguan elektrolit dan faktor pembekuan darah harus diatasi terlebih


dahulu

2.9. Kegawatdaruratan pada Pasien Geriatri


Pada usia lanjut (usila) terjadi proses menua, dimana secara struktur anatomi
maupun fungsional terjadi kemunduran, yaitu terjadi proses degenerasi.
Pada usila berusia 80-90 an tahun terjadi penurunan fungsi pada banyak
organ dan sistem, sehingga yang tersisa adalah sebagai berikut:
a

Kecepatan konduksi saraf tinggal 85%\

Laju basal metabolit menjadi 80%

Volume cairan tubuh menjadi 80% sehingga mudah terjadi dehidrasi

Kapasitas paru menurun

Laju filtrasi glomerulus tutun

Indeks kardiak menurun, sehingga mudah terjadi sesak bila beraktivitas

Pada kegawatan akut abdomen, pasien datang dengan keluhan sakit perut
yang hebat dimana penyebabnya dapat berupa obstruksi, inflamasi, vaskular.
Pasien sering dengan riwayat penggunaan obat NSAID dan aspirin. Pada usia
lanjut (>60 tahun), penggunaan NSAID atau aspirin dapat meningkatkan kematian
akibat komplikasi berupa perdarahan atau perforasi.6
Pasien usia tua membutuhkan monitoring kardiak yang lebih agresif. Pasien
juga membutuhkan monitoring tekanan intraabdomen untuk mencegah dan
mengidentifikasi abdominal compartment syndrome.9

2.10. Persiapan Pra Anastesi


Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor penyumbang
sebab-sebab terjadinya kecelakaan anestesia. Dokter spesialis anestesiologi
seyogyanya mengunjungi pasien sebelum pasien dibedah, agar ia dapat
menyiapkan pasien, sehingga pada waktu pasien dibedah dalam keadaan bugar.
Kadang kadang dokter spesialis anestesiologi mempunyai waktu terbatas untuk
menyiapkan pasien, sehingga persiapan kurang sempurna. Penundaan jadwal
operasi akan merugikan semua pihak, terutama pasien dan keluarganya. Tujuan
utama kunjungan pra anestesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatan kualitas pelayanan kesehatan.11
A. Anamnesis
Anamnesis merupakan komponen yang paling penting dari evaluasi pra
operasi, meliputi:12
1. Riwayat sekarang dan masa lalu
Indikasi untuk menentukan operasi sangat penting dan berpengaruh
terhadap aspek manajemen anestesi. Terdapat banyak kondisi bedah yang
memiliki efek sistemik dan ini harus diperhitungkan, misalnya kanker usus
mungkin

berhubungan

dengan

kekurangan

gizi,

anemia

dan

ketidakseimbangan elektrolit. Riwayat penyakit terdahulu juga harus


diidentifikasi, bersama-sama dengan penilaian dari sejauh apa keterbatasan
yang terkait dengan aktivitas normal. Yang paling relevan cenderung
berhubungan dengan penyakit jantung dan pernapasan karena efek pada

manajemen perioperatif. Pertanyaan spesifik harus memastikan tingkat


dispnea saat aktivitas, paroksismal nocturnal dispnea, ortopnu, nyeri dada
saat beraktivitas dan lain-lain.13
2. Riwayat anestesi
Rincian penggunaan obat dan hasil dari obat anastesi sebelumnya harus
didokumentasikan, terutama jika terdapat masalah yang dihadapi.
Masalah-masalah serius seperti kesulitan dengan intubasi trakea juga harus
didoumentasikan. Penggunaan obat anestesi inhalasi seperti halotan harus
dihindari dalam jangka waktu 3 bulan untuk menghindari efek
hepatotoksik, suksinilkolin yang menimbulkan apnea berkepanjangan juga
jangan diulang. Beberapa gejala sisa seperti sakit tenggorokan, sakit
kepala, atau mual pasca operasi mungkin tidak tampak sangat penting
untuk anestesi tetapi mungkin menjadi dasar pra operasi yang cukup
mengenai kecemasan bagi pasien.11,13
3. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga sangat penting bagi pasien yang belum pernah menjalani
operasi dan anestesi sebelumnya. Terdapat beberapa kondisi keturunan
yang mempengaruhi manajemen anesthesia, seperti malignant hipertermia,
abnormalitas enzim kolinesterase, porfiria, hemoglobinopati dan distrofia
miotonika.13
4. Riwayat penggunaan obat
Riwayat penggunaan obat sebelumya harus didokumentasikan secara hatihati. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.1, banyak obat yang
berinteraksi dengan agen atau teknik yang digunakan selama anestesi,
masalah dapat terjadi jika obat ditarik tiba-tiba selama periode
perioperatif. Pengetahuan tentang farmakologi sangat penting untuk
menyesuaikan dosis anestesi yang tepat dan untuk menghindari interaksi
yang berbahaya.

10

11

Gambar 2.1. Obat-obat yang Berinteraksi dengan Agen Anestesi

12

Gambar 2.2. Guideline Penggunaan Obat Pre Operatif


5. Riwayat alergi
Riwayat alergi terhadap zat-zat tertentu harus dicari apakah terhadap obatobatan, makanan serta gejala dan tanda-tanda yang ditimbulkan. Alergi
lateks merupakan masalah yang banyak dijumpai dan memerlukan
peralatan khusus yang akan digunakan perioperatif. Individo atopic tidak
memiliki risiko anafilaksis, tetapi mungkin menunjukkan peningkatan
kardiovaskular atau reaktivitas pernafasan.13
6. Riwayat merokok

13

Telah disarankan bahwa ada alasan teoritis yang baik untuk menasihati
semua pasien untuk menghentikan rokok. Kebiasaan merokok sebaiknya
dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk mengeliminasi nikotin yang akan
mempengaruhi sistem kardiovaskular. Efek nikotin pada system saraf
simpatik

yaitu

takikardi

dan

hipertensi.

Selanjutnya,

merokok

menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah coroner dan


pengehntian merokok meningkatkan gejala angina. Asap rokok yang
mengandung karbon monoksida akan mengobah hemoglobin menjadi
carboxyhemoglobin. Pada perokok berat akan mengakibatkan penurunan
oksigen sebanyak 25%. Efek merokok terhadap saluran pernafasan akan
menyebabkan peningkatan enam kali lipat morbiditas pernafasan pasca
operasi. Berhenti merokok selama 6 minggu akan menyebabkan
berkurangnya bronkokontriksi dan berkurangnya secret lendir.11,13
7. Konsumsi alkohol
Dapat dijumpai intoksiasi akut alcohol atau gejala sisa dari konsumsi
kronis.

Dapat

dijumpai

juga

kerusakan

organ

sekunder

seperti

kardiomiopati, pankreatitis, gastritis dan hepatitis.13


8. Riwayat kelahiran
Pada anak-anak, anamnesis juga harus mencakup riwayat kelahiran,
dengan fokus pada faktor-faktor risiko seperti prematuritas saat lahir,
komplikasi perinatal dan kongenital kromosom atau malformasi anatomi
dan riwayat infeksi baru-baru ini, terutama atas dan bawah infeksi saluran
pernapasan.12
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dapat menilai kelainan yang tidak jelas dari anamnesis dan
anamnesis dapat membantu memfokuskan pemeriksaan fisik. Pemeriksan pasien
sehat asimptomatik meliputi tanda-tanda vital, pemeriksaan jalan napas, jantung,
paru-paru, system musculoskeletal menggunakan standar pemeriksaan inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi.14 Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka
mulut, ukuran lidah penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi
intubasi.11

14

Gambar 2.3. Dental Chart15


Secara keseluruhan dilakukan pemeriksaan 6B yaitu : Breath, Blood, Brain,
Bowel. Bladder, dan Bone.16,17,18
1. Breath (jalan nafas, pola nafas, suara nafas, anatomi dan fungsi paru)
Perhatikan

jalan

nafas

terutama

bagian

atas

dan

rencanakan

penatalaksanaan selama anestesi. Evaluasi apakah jalan nafas tersumbat,


apakah ada penyulit dalam intubasi seperti panjang leher, gangguan membuka
mulut (jarak minimal 4 cm), kekakuan otot leher, masalah gigi (ompong, gigi
palsu, gigi goyah), atau lidah yang relatif besar. Hal tersebut dapat menjadi
penyulit dalam pelaksanaan laringoskopi intubasi.
Leher yang pendek maupun panjang akan mempersulit intubasi, untuk
mengetahui apakah panjang leher cukup untuk melakukan intubasi dengan
cara mengukur jarak mentohyoid, yaitu jarak antara mento dengan os. hyoid
dibelakang Adams apple. Jarak ideal mentohyoid adalah 7 cm.

15

Untuk memeriksa rongga mulut biasanya digunakan pemeriksaan


Mallampati, yaitu dengan mulut terbuka maksimal dan lidah dijulurkan.
Pemeriksaan Mallampati ini dibagi menjadi beberapa derajat, antara lain:

Derajat I

Uvula terlihat semua

Derajat II

Uvula terlihat sebagian

Derajat III

Uvula tidak terlihat tetapi palatum molle terlihat

Derajat IV

Hanya terlihat palatum durum

Gambar 2.4. Klasifikasi Mallampati dan Samsoon.13


A. Pembukaan Mulut; B. Laringeal

16

Periksa juga sistem pernafasan, perhatikan frekuensi nafas, irkan suara


nafas, apakah ada suara nafas tambahan seperti ronk iatau wheezing.
perhatikan gerakan dada saat bernafas simetris atau dan apakah pasien sesak
atau nyeri saat bernafas.

2. Blood (tensi. suara jantung, kelainan anatomis dan fungsi jantung)


Periksalah apakah pasien memiliki masalah dengan jantung dan pembuluh
darah, khususnya penyakit katup jantung, hipertensi dan gagal jantung baik
kiri maupun kanan. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat adanya
peningkatan tekanan vena, oedem pada ekstremitas bawah maupun
pembesaran hepar. Dengarkan suara jantung apakah ada suara tambahan atau
tidak.
3. Brain (GCS, kelainan saraf pusat atau perifer)
Periksa apakah pasien ada gangguan kesadaran atau tidak, adakah
gangguan pada saraf perifer atau pusat. Hal mi penting untuk ngelo1aan
anestesi baik sebelum, selama dan sesudah anestesi dan bedah.
4. Bowel (makan minum terakhir, bising usus, gangguan peristaltik,
gangguan lambung, kehamilan)
Pada abdomen banyak yang harus diperhatikan, pembesaran hepar akibat
konsumsi alkohol atau penyakit lain akan berpengaruh terhadap obat anestesi
yang akan digunakan. Makan minum terakhir hams diperhatikan oleh karena
dapat menimbulkan efek muntah, yang dapat mengakibatkan aspirasi
muntahan ke dalam paru.
Jika pasien dalam keadaan hamil harus diperhatikan obat-obat yang akan
diberikan karena dapat berpengaruh pada kehamilan dan janin.

17

5. Blader (produksi urine)


Periksa fungsi ginjal apakah ada gangguan atau tidak, misalnya gagal
ginjal akut. Secara umum urine dapat menggambarkan :

Fungsi ginjal dan salurannya

Kemodinamik penderita

Hidrasi

Hormonal

Pemeriksaan dilakukan dengan memeriksa :

Produksi urine

Harus dinilai produksi urine apakah normal atau tidak

Normal 0,5-1 ml/kg BB/jam

Anuri : 20m1/24jam

Oliguri : 25m1/jam atau400ml/24jam

Poliuri 2500 ml/24 jm

Serum kreatinin

Sedimen urine

6. Bone (kelainan postur tubuh, kelainan neuro muskuler, patah tulang)


Kelainan postur tubuh dapat mempengaruhi fungsi tubuh dan menjadi
penyulit saat anestesi. Bentuk tulang belakang yang abnormal dapat

18

mempengaruhi anatomi tubuh, misalnya trakhea menjadi tertarik ke lateral


sehingga mempersulit intubasi.

C. Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan
penyakit

yang

sedang

dicurigai.

Banyak

fasilitas

kesehatan

yang

mengharuskan uji laboratorium secara rutin walaupun pada pasien sehat untuk
bedah minor, misalnya pemeriksaan darah (hb, leukosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 30 tahun ada anjuran
pemeriksaan EKG dan foto thoraks. Praktek-praktek semacam ini harus dikaji
ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji
semacam ini.12

19

Gambar 2.5. Pemeriksaan Laboratorium Pre Operatif15


D. Kebugaran Untuk Anestesia
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar
pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak
perlu harus dihindari.13
E. Klasifikasi Status Fisik
Sistem klasifikasi ASA/American Society of Anesthesiologists diperkenalkan
awalnya sebagai deskripsi sederhana dari keadaan fisik pasien, seperti Tabel 2.1.
Meskipun sederhana, namun merupakan salah satu yang dapat mendeskripsikan

20

kesehatan umum pasien yang berkorelasi dengan risiko anestesi dan


pembedahan.11 Namun, tidak mencakup semua aspek risiko anestesi karena tidak
adanya kriteria seperti usia, kesultan di intubasi, tidak memperhitungkan beratnya
penyakit atau operasi yang diusulkan dan juga tidak mengidentifikasi faktor-faktor
yang dapat ditingkatkan sebelum operasi. Hal ini sangat berguna dan harus
diterapkan untuk semua pasien yang akan dioperasi. Operasi darurat
meningkatkan risiko terutama pada pasien ASA kelas 4 dan 5.15
Tabel 2.1. Klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiologists)19
Klasifikas
i ASA
ASA I
ASA II

Contoh, termasuk, namun

Definisi
Pasien normal dan sehat
Pasien

dengan

sistemik ringan

tidak terbatas pada:


Sehat, tidak merokok, tidak atau

minimal dalam konsumsi alcohol


penyakit Penyakit ringan saja tanpa
batasan

fungsional

Contohnya

substantif.

termasuk

(namun

tidak terbatas pada): perokok


baru, peminum alkohol sosial,
kehamilan, obesitas (30 <BMI
<40), DM/HTN yang terkendali,
ASA III

Pasien

dengan

sistemik berat

penyakit paru-paru ringan


penyakit Keterbatasan
fungsional
substantif;
Satu atau lebih penyakit sedangberat.

Contohnya

termasuk

(namun tidak terbatas pada): DM


tidak

terkontrol

atau

HTN,

PPOK, morbid obesitas (BMI


40),

hepatitis

ketergantungan

aktif,
atau

penyalahgunaan alkohol, implan


alat pacu jantung, pengurangan

21

sedang fraksi ejeksi, ESRD yang


menjalani cuci darah rutin, bayi
prematur

PCA

<60

minggu,

riwayat (> 3 bulan) dari MI,


ASA IV

Pasien

dengan

sistemik

CVA, TIA atau CAD/stent.


penyakit Contohnya termasuk (namun

berat

yang tidak terbatas pada): baru-baru ini

mengancam hidup

(<3 bulan) MI, CVA, TIA, atau


CAD

stent,

yang

sedang

berlangsung iskemia jantung atau


disfungsi

katup

yang

berat,

penurunan berat fraksi ejeksi,


sepsis, DIC, ARD atau ESRD
yang tidak menjalani dialisis
ASA V

Pasien

yang

tidak

secara teratur.
dapat Contohnya termasuk

bertahan tanpa operasi.

tidak

terbatas

pada):

(namun
ruptur

abdominal / aneurisma dada,


trauma

berat,

perdarahan

intrakranial dengan efek luas,


usus iskemik yang mengarah
pada

kelainan

jantung

yang

signifikan atau disfungsi banyak


organ/sistem.
ASA VI

Pasien mati batang otak yang

organ tubuhnya dapat diambil


*Penambahan "E" menunjukkan operasi darurat: (darurat didefinisikan sebagai
yang ada saat keterlambatan dalam pengobatan pasien akan menyebabkan
peningkatan yang signifikan dalam ancaman terhadap kehidupan atau bagian
tubuh)
F. Puasa

22

Pasien harus diberitahukan untuk tidak mendapatkan asupan oral untuk


mengurangi risiko aspirasi. Di negara-negara Eropa saat ini, pasien diizinkan
untuk makan sarapan ringan jika operasi dijadwalkan untuk siang. Namun,
praktik ini belum di adopsi secara luas di Amerika Serikat. ASA
merekomendasikan bahwa pasien sehat yang akan menjalani prosedur elektif
diizinkan untuk minum cairan jernih (misal, air, jus tanpa ampas, kopi atau teh
tanpa krim atau susu) sampai 2 jam sebelum anestesi; ASI sampai 4 jam sebelum
anestesi; dan susu formula, susu sapi atau sarapan ringan sampai 6 jam sebelum
prosedur dilakukan anestesi, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 2.6.17

Gambar 2.6. Panduan Makan dan Minum Sebelum Operasi Elektif17


G. Pre-Medikasi
Premedikasi adalah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia. Hal
ini tidak lagi bagian rutin dari persiapan pra operasi, namun kebutuhan untuk

23

premedikasi harus dipertimbangkan setelah semua faktor yang relevan telah


diidentifikasi. Tujuan premedikasi adalah untuk:11,13
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi refleks yang membahayakan

Obat-obat yang sering digunakan untuk premedikasi adalah benzodiazepine,


analgesic opioid, butyrophenone, phenothiazine, agen antikolinergik, -bloker,
clonidine dan dexmedetomidine.12
H. Persiapan Induksi
Induksi anestesia adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi
tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi anestesia dapat dilakukan dengan cara intravena, inhalasi, intramuskular
atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum
memulai induksi anestesia sebaiknya dipersiapkan peralatan dan obat-oatan yang
diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih
cepat dan baik.11
Untuk persiapan induksi anestesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:11
S = Scope
-

Stetoskop, untuk mendengarkan suara paru dan jantung


Laringoskop, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lamu harus cukup terang

T = Tubes
-

Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon dan usia > 5 tahun
dengan balon (cuffed)

A = Airway

24

Pipa mulut-faring (guedel, orotreacheal airway) atau pipa hidung-faring


(nasotracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar
untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas

T = Tape
-

Plester, untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut

I = Introducer
-

Mandarin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan

C = Connector
-

Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S = Suction
-

Penyedot lendir, ludah dan lain-lain

I. Kondisi khusus pada pasien geriatri


Penuaan adalah fenomena fisiologis yang universal dan progresif yang secara
klinis ditandai dengan perubahan degeneratif struktur dan kapasitas fungsional
dari organ dan jaringan.19
Secara umum, pasien geriatri (65 tahun) lebih sensitif terhadap obat anestesi.
Dosis obat diperlukan biasanya lebih sedikit untuk mencapai efek klinis yang
diinginkan, dan durasi efek obat lebih panjang. Outcome yang paling penting dan
tujuan keseluruhan dari perawatan perioperatif dari populasi geriatri adalah untuk
mempercepat pemulihan dan menghindari penurunan fungsional.19
Usia bukan merupakan kontraindikasi untuk tindakan anestesi dan bedah;
Namun, morbiditas perioperatif dan mortalitas lebih besar pada usia lanjut
dibandingkan pasien bedah dengan usia muda.13
Seperti pasien anak, manajemen anestesi yang optimal pada pasien geriatri
tergantung pada pemahaman tentang perubahan normal dalam fisiologi, anatomi,
dan respon terhadap agen farmakologis yang menyertai penuaan. Bahkan, ada
banyak kesamaan antara pasien usia lanjut dan anak.13

25

Gambar 2.7. Perubahan fisiologis pada geriatri13


Umur mengubah farmakokinetik dan farmakodinamik aspek manajemen
anestesi. Kapasitas fungsional organ menurun dan penyakit penyerta berkontribusi
lebih lanjut terhadap penurunan ini. Dalam hal fungsi jantung, pasien geriatri
mengalami penurunan responsivitas beta-adrenergik dan mengalami peningkatan
angka kejadian kelainan konduksi, bradiaritmia dan hipertensi. infiltrasi fibrosis
jalur konduksi jantung membuat pasien dengan usia tua rentan terhadap konduksi
delay dan atrium dan ventrikel ektopi. pasien usia lanjut juga meningkat
ketergantungan pada mekanisme Frank-Starling untuk output jantung. Oleh
karena itu penting untuk mempertimbangkan pemberian cairan dengan hati-hati.
Pada jantung usia tua yang non compliant, perubahan kecil pada aliran balik vena
akan menghasilkan perubahan besar terhadap preload ventrikel dan curah jantung.
Karena disfungsi diastolik dan penurunan compliance vaskular, pasien lanjut usia
memiliki kompensasi yang buruk untuk kondisi hipovolemia. Demikian pula,
transfusi yang berlebihan juga ditoleransi dengan tidak baik.19
PPOK, pneumonia, sleep apnea sangat umum di kalangan lanjut tua.
Closing volume meningkat dengan usia, dan FEV1 menurun 8-10% per dekade
karena compliance paru yang berkurang. PaO2 menurun secara progresif
terhada[ usia karena V/Q mismatch dan anatomical shunt. Dengan demikian,
disarankan bahwa pasien geriatri ditransfer ke PACU dengan oksigen via nasal
kanul. komplikasi pernapasan pasca operasi merupakan yang paling umum pada
pasien geriatri. Prediktor klinis yang paling signifikan terhadap outcome
merugikan paru merugikan adalah lokasi operasi, dengan operasi thoraks dan
operasi perut bagian atas yang memiliki tingkat komplikasi paru tertinggi.19
Renal blood flow dan massa ginjal menurun dengan bertambahnya usia.
kadar serum kreatinin tetap stabil karena penurunan jaringan otot. Penurunan
pengaturan kadar natrium, kemampuan konsentrasi dan kapasitas dilusi
merupakan predisposisi pasien lanjut usia untuk mengalami dehidrasi dan

26

kelebihan cairan. Berkurangnya aliran darah ginjal dan penurunan massa nefron
meningkatkan risiko gagal ginjal akut pada periode pasca operasi.19
Sistem saraf adalah target untuk hampir setiap obat bius, perubahan terkait
usia dalam fungsi sistem saraf memiliki implikasi kuat untuk manajemen anestesi.
Penuaan berpengaruh terhadap penurunan massa jaringan saraf, kepadatan
neuronal dan konsentrasi neurotransmiter, serta reseptor norepinefrin dan
dopamin. Kebutuhan dosis untuk anestesi lokal dan anestesi umum pada pasien
geriatri berkurang. Selain itu, pasien geriatri memebutuhkan lebih banyak waktu
untuk pulih dari anestesi umum.19
Massa hepar dan aliran darah hepar menurun dengan penuaan. fungsi hati
menurun sebanding dengan penurunan massa hepar. Dengan demikian, tingkat
biotransformasi dan produksi albumin menurun. Kadar cholinesterase plasma juga
berkurang pada pria lanjut usia.13
J. Persiapan Pra Operasi pada pasien akut abdomen
Pasien dengan akut abdomen, seperti peritoitis, memiliki kondisi kesehatan
yang bervariasi secara keseluruhan pada saat keputusan untuk operasi dibuat.
Terlepas dari keparahan penyakit, semua pasien memerlukan beberapa persiapan
pra operasi, yaitu sebagai berikut:13,20,21,22
a) Semua pasien harus dianggap tidak puasa.
b) Akses intravena harus diperoleh untuk pemberian cairan. Bolus cairan
kristaloid 500 mL-1000mL. Durante operasi cairan maintenance diberikan
sebanyak {4 mL/kg/jam (untuk 0-10kg) + 2 mL/kg/jam (untuk 10-20kg) + 1
mL/kg/jam (untuk >20kg) + 10 mL/kg/jam}.
c) Pemberian antibiotik harus segera dilakukan ketika sangkaan diagnosis telah
dibuat. Bakteri yang umum dalam keadaan akut abdomen adalah organisme
gram-negatif enterik dan anaerob.
d) Pemasangan NGT diperlukan untuk dekompresi saluran pencernaan sehingga
dapat mencegah aspirasi.
e) Foley kateter diperlukan untuk menilai urin output dan kecukupan resusitasi
cairan. Pra operasi, urin output 0,5 mL / kg / jam, tekanan darah sistolik >100
mm Hg, dan denyut nadi <100 x/ menit adalah indikasi dari volume
intravaskular yang memadai.
K. Kondisi khusus pada pasien sepsis

27

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan manifestasi


sistemik dari sepsis. Sekitar 40% pasien yang memerlukan tindakan bedah
abdomen mayor emergensi mengalami sepsis. Peritonitis dapat menyebabkan
SIRS melalui pelepasan lipopolysaccharide endotoxin dari dinding basil Gramnegative (terutama Escherichia coli) atau bakteri lain atau jamur. Toksin ini dan
lainnya menstimulasi pelepasan sitokin-sitokin oleh makrofag.20,23
Berdasarkan Surviving Sepsis Campaign tahun 2012, apabila sepsis telah
ditegakkan, maka antibiotik broadspectrum intravena harus diberikan dalam 1 jam
pertama. Surviving Sepsis Campaign Juga menjelaskan bahwa pengukuran kadar
laktat, kultur darah, pemberian antibiotik broad spectrum, pemberian cairan
kristaloid sebanyak 30 mL/kgBB pada kasus hipotensi (SBP<90 mmHg atau MAP
< 65 mmHg) harus diselesaikan dalam 3 jam pertama. Apabila hipotensi tidak
respon dengan pemberian resusitasi cairan, dapat diberikan vasopresor untuk
mempertahankan MAP > 65 mmHg. Dan Source control, seperti pada kasus
peritonitis, kolangitis, infark intestinal, harus dilakukan dalam 12 jam pertama.24
2.11 Perawatan Post-Operatif
Ruang pemulihan atau Recovery Room (RR) disebut juga unit perawatan pasca
anestesi atau Post Anesthesia Care Unit ( PACU ). Setelah operasi selesai pasien
dibawa ke ruang pemulihan atau ke ruang rawat intensif bila ada indikasi. Di
ruang pemulihan dilakukan pemantauan atau monitor sampai pasien sadar betul.
Yang harus di monitor antara lain, keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi,
pernapasan, suhu, sensibilitas nyeri, perdarahan dari drain, dll.
Awasi keadaan tanda vital penderita secara saksama, periksa tekanan darah,
frekuensi nadi dan frekuensi pernafasan dilakukan paling tidak setiap 5 menit
dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu dilakukan setiap 15 menit.
Perbaiki defisit yang masih ada (cairan, darah, nyeri, mualmuntah,menggigil
karena hipotermia,dll). Seluruh pasien yang sedang dalam pemulihan dari anestesi
umum harus mendapat oksigen 30-40% selama pemulihan.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruangan dengan pemberian intruksi postoperatif menilai

28

keadaan umum sebelum pasien dipindahkan ke ruang perawatan, dapat dipakai


aldrete score untuk orang dewasa dan steward Score untuk anak dengan berbagai
kriteria penilaian. Nilai score yang normal 8 -10, pasien dapat dipindahkan ke
ruang perawatan ataupun pulang bila pasien rawat jalan, tetapi atas ijin dokter
anestesi yang bertugas.16,17
A. Monitoring Post-Operatif
Monitoring setelah operasi perlu dilakukan setelah pasien menjalani operasi
pembedahan. Pada saat penderita berada diruang pemulihan perlu dicegah dan
ditanggulangi keadaan-keadaan yang ada sehubungan dengan tindakan anestesi,
antara lain :

Hipoksia disebabkan tersumbatnya jalan nafas. Terapi dengan O2 3-4


L/menit, bebaskan jalan nafas, bila perlu pernafasan buatan.

Irama jantung dan nadi cepat, hipertensi, sering disebabkan karena kesakitan,
permulaan hipoksia atau memang penyakit dasarnya. Terapi dengan O2,
analgetik, posisi fowler.

Hipotensi biasanya karena perdarahan, kurang cairan, spesial anestesi. Terapi


dengan posisi datar, infus RL dipercepat sampai tensi normal.

Gaduh gelisah biasanya karena kesakitan atau sehabis pembiusan dengan


ketamin, pasien telah sadar tapi masih terpasang ganjal lidah/airway. Terapi
dengan O2, analgetik, ganjal dilepas, atau kadang perlu bantal.

Muntah, bahaya berupa aspirasi paru. Terapi miringkan kepala dan badan
sampai setengah tengkurap, posisi trendelenberg, hisap muntah sampai bersih.

Menggigil karena kedinginan, kesakitan atau alergi. Terapi dengan O2,


selimuti, bila perlu beri analgetika.
Alergi sampai syok oleh karena kesalahan tranfusi atau obat-obatan. Terapi

dengan stop tranfusi, ganti NaCl.


B. Nutrisi Post-Operatif
Nutrisi yang tepat menjadi kunci yang penting dalam menentukan outcome
pada pasien- pasien penyakit kritis, terutama pasien yang mengalami pembedahan.

29

Kondisi malnutrisi yang berat menyebabkan disfungsi organ yang luas serta
meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas. Nutrisi pengganti dapat
meningkatkan penyembuhan luka, meningkatkan imunitas, serta mengurangi
angka morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit kritis.13
Asupan nutrisi yng diberikan terdiri atas makronutrien, karbohidrat, lemak,
dan protein. Total kalori (REE = Resting Energy Expenditue) yang dibutuhkan
pada pasien dengan tingkat kebutuhan yang normal atau sedang adalah 25-30
kkal/kg BB per hari, sangat jarang pasien yang membutuhkan energi yang
melebihi 2000 kkal per hari. Level yang terbaik untuk memulai pemberian nutrisi
pada pasien sakit kritis adalah 25 kkal/kgbb per hari. Pemberian nutrisi yang
kurang atau lebih dari kebutuhan, akan merugikan buat pasien. REE dapat
bervariasi antara meningkat sampai 40% dan menurun sampai 30%, tergantung
dari kondisi pasien.
Perhitungan Basal Energy Expenditure (BEE) Persamaan Harris-Benedict:
Laki-laki: 66,47 + (13,75 x BB) + (5 x TB) - (6,76 x Umur)
Wanita : 655,1 + (9,56 x BB) + 1,85 x TB) (4,67 x Umur)
Faktor

Stres

Koreksi

terhadap

perhitungan

kebutuhan

energi

derajat

hipermetabolisme :
* Postoperasi (tanpa komplikasi) 1,00 1,30
* Kanker 1,10 1,30
* Peritonitis / sepsis 1,20 1,40
* Sindroma kegagalan organ multiple 1,20 1,40
* Luka bakar 1,20 2,00 (perkiraan BEE + % luas permukaan tubuh yang
terbakar)
Koreksi kebutuhan energi(kkal/hari)=BEE x faktor stres
Pemberian nutrisi dapat melalui enteral maupun parenteral.
1. Enteral
Pada pemberian nutrisi enteral, pipa nasal lebih dianjurkan daripada oral,
kecuali pada keadaan fraktur basis cranii dimana bisa terjadi resiko penetrasi ke
intrakranial. Pipa naso jejunal dapat digunakan jika terjadi kelainan pengosongan
lambung yang menetap dengan pemberian obat prokinetik atau pada pankreatitis.

30

Alternatif lain untuk akses nutrisi enteral jangka panjang adalah dengan
gastrostomi dan jejunum perkutaneus. 6 Larutan nutrisi enteral yang tersedia
dipasaran memiliki komposisi yang bervariasi. Nutrisi polimer mengandung
protein utuh (berasal dari whey, daging, isolat kedelai dan kasein), karbohidrat
dalam bentuk oligosakarida atau polisakarida. Formula demikian memerlukan
enzim pankreas saat absorbsinya. Nutrisi elemental dengan sumber nitrogen (asam
amino maupun peptida) tidaklah menguntungkan bila digunakan secara rutin,
namun dapat membantu bila absorbsi usus halus terganggu, contohnya pada
insufisiensi pankreas atau setelah kelaparan dalam jangka panjang. Lipid biasanya
berasal dari minyak nabati yang mengandung banyak trigliserida rantai panjang,
tapi juga berisi trigliserida rantai sedang yang lebih mudah diserap. Proporsi
kalori dari non protein seperti karbohidrat biasanya dua pertiga dari total
kebutuhan kalori. 6 Serat diberikan untuk menurunkan insiden diare. Serat
dimetabolisme oleh bakteri menjadi asam lemak rantai pendek, yang digunakan
oleh koloni untuk pengambilan air dan elektrolit. Elektrolit, vitamin dan trace
mineral ditambahkan sampai volume yang mengandung 2000 kkal.

Keuntungan
Fisiologis
Menyediakan fungsi fungsi kekebalan
Menyediakan fungsi pertahanan usus
Tidak mahal dibandingkan TPN

2.

Kerugian
Membutuhkan waktu untuk mencapai
sokongan yang utuh
Tergantung fungsi cerna
Kontraindikasi pada obstruksi intestinal

Parenteral
Tunjangan nutrisi parenteral diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat

dipenuhi dengan baik. Terdapat kecenderungan untuk tetap memberikan nutrisi


enteral walaupun parsial dan tidak adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral.

31

Pemberian nutrisi parenteral pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan untuk
dapat beralih ke nutrisi enteral secepat mungkin. Pada pasien ICU, kebutuhan
dalam sehari diberikan lewat infus secara kontinu dalam 24 jam. Monitoring
terhadap faktor biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat.
Total Parenteral Nutrition (TPN) diberikan pada pasien yang tdak dapat
menyerap melalui enteral, contohnya small bowel obstruction dan short gut
syndrome. Partial Parenteral Nutrition dapat diindikasikan sebagai pelengkap
nutrisi enteral.
2.12. Jenis-Jenis Anestesi
A. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat
konduksi saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang
spesifik. Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya
kesadaran penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan
dengan analgesia lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang
hilang bersifat lokal. Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk
banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial
seperti sirkumsisi, mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka
yang disertai tindakan penjahitan.
Anestesi lokal bersifat ringan dan biasanya digunakan untuk tindakan yang
hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek mati rasa yang didapat hanya
mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30 menit seusai injeksi, bila
lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk melanjutkan
tindakan tanpa rasa nyeri.13,25
B. Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang
pasiennya perlu dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping
operasi yang lebih besar, bila pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan
Caesar, operasi usus buntu, operasi pada lengan dan tungkai. Caranya dengan

32

menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian utama pengantar register rasa


nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang belakang, sehingga
obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu. Sensasi nyeri
yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat dan tak
dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak dan sifat anestesi atau efek mati
rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa
membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak
mempengaruhi hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang
sudah di anestesi regional masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi,
walaupun tidak merasakan nyeri di daerah yang sedang dioperasi.26
C. Anestesi Umum
Anestesi umum (general anesthesia) adalah meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel. Anestesi umum
biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan
ketenangan pasien dan waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus
bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan
lain-lain. Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,
menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh
otot. Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas,
selain deteksi jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan
fungsinya selama operasi dilakukan.26,27
2.13. Teknik Anestesi
A. Anestesi Lokal
Luasnya daerah anestesi tergantung tempat pemberian larutan anestesi,
volume yang diberikan, kadar zat dan daya tembusnya. Obat bius lokal
mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf. Tempat kerjanya terutama
di selaput lendir. Di samping itu, anestesi lokal menggangu fungsi semua
organ dimana terjadi konduksi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal

33

mempunyai efek yang penting terhadap susunan saraf pusat, ganglia otonom,
cabangcabang neuromuskular dan semua jaringan otot.27
Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk suatu jenis obat yang
digunakan sebagai anestesi lokal, antara lain: tidak merangsang jaringan, tidak
mengakibatkan kerusakan permanen terhadap susunan saraf, toksisitas
sistemik yang rendah, efektif dengan jalan injeksi atau penggunaan setempat
pada selaput lendir, mula kerjanya sesingkat mungkin dan bertahan untuk
jangka waktu yang cukup lama, dapat larut dalam air dan menghasilkan
larutan yang stabil, juga tahan terhadap pemanasan/sterilisasi.25,26
Struktur dasar obat anestesi lokal pada umumnya terdiri dari suatu gugusamino hidrofil (sekunder atau tersier) yang dihubungkan oleh suatu ikatan
ester (alkohol) atau amida dengan suatu gugus aromatis lipofil. Adanya ikatan
ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan
inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu
golongan ester umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme
dibandingkan golongan amida. Contohnya: Tetrakin, Benzokain, Kokain, dan
Prokain. Senyawa amida contohnya adalah Dibukain, Lidokain, Mepivakain
dan Prilokain. Senyawa lainnya contohnya fenol, Benzilalkohol, Etilalkohol,
Etilklorida, dan Cryofluoran.13
Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obatobatan
anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obatobatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang
ada di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke
otak.26,27
B. Anestesi Regional
Metode pemberian anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok
sentral dan blok perifer.
1. Blok Sentral (Blok Neuroaksial).
Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu anestesi spinal,
epidural dan kaudal.27
a. Anestesi Spinal

34

Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional


ke dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi
spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek
vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen,
lengkung tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan
penyebaran obat.
b. Anestesi Epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat
pada ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis
vertebralis pada ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi
pernapasan yang bersangkutan dan di bawahnya teranestesi sesuai
dengan teori dermatom kulit. Ruang epidural berada di antara
durameter dan ligamentun flavum. Bagian atas berbatasan dengan
foramen magnum dan dibawah dengan selaput sakrogliseal.27
Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan
penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan,
penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak
perdarahan, dan tambahan pada anestesia umum ringan karena
penyakit tertentu pasien.26
c. Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena
ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat
ditempatkan di ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis
ditutupi oleh ligamentum sakrogsigeal tanpa tulang yang analog
dengan ligamentum supraspinosum dan ligamentum interspinosum.
Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus, felum terminale dan
kantong dura.27
2. Blok Perifer (Blok Saraf)
Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer.
Salah satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional
intravena. Anestesi regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah
singkat sekitar 45 menit. Melalui cara ini saraf yang dituju langsung
saraf bagian proksimal, sehingga daerah yang dipersarafi akan

35

teranestesi misalnya pada tindakan operasi di lengan bawah memblok


saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer harus dipahami
anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan.25,27
C. Anestesi Umum
Agar anestesi umum dapat berjalan dengan sebaik mungkin, pertimbangan
utamanya adalah memilih anestetika ideal. Pemilihan ini didasarkan pada
beberapa pertimbangan yaitu keadaan penderita, sifat anestetika, jenis operasi
yang dilakukan, dan peralatan serta obat yang tersedia. Sifat anestetika yang
ideal antara lain mudah didapat, murah, tidak menimbulkan efek samping
terhadap organ vital seperti saluran pernapasan atau jantung, tidak mudah
terbakar, stabil, cepat dieliminasi, menghasilkan relaksasi otot yang cukup
baik, kesadaran cepat kembali, tanpa efek yang tidak diinginkan. Obat-obatan
anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N2O, halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran.27
2.14. Manajemen Nyeri Post-operatif
Pada midline laparotomi elektif, penggunaan thoracic epidural analgesia
(TEA) memberikan keuntungan dari segi analgesia, seperti penggunaan opioid
yang berkurang, komplikasi paru yang berkurang, risiko tromboemboli yang
berkurang,

pengurangan

kejadian

ileus,

dan

penurunan

stres

respons.

Bagaimanapun, pada prosedur emergensi TEA lebih sulit untuk dilakukan. Pasien
dapat menjadi terlalu tidak stabil untuk insersi epidural sebelum pembedahan atau
mungkin memiliki kontraindikasi seperti sepsis atau gangguan koagulasi.
Pemberian morphine intravena cukup efektif, tetapi memiliki kerugian, yaitu
meningkatkan PONV (postoperative nausea and vomiting), risiko ileus,
somnolens, dan gangguan pola tidur.20

36

Gambar 2.8. Efek samping opioid pada saluran pencernaan


Untuk mengontrol faktor-faktor patofisiologi perioperatif yang dapat
menyebabkan nyeri post-operatif dan sequelaenya, multimodal analgesia
mengkombinasi kelas medikasi yang berbeda, yang memiliki mekanisme
farmakologis yang berbeda dalam hal memberikan efek additif ataupun sinergis,
sehingga pendekatan seperti ini dapat mencapai efek analgesik yang diinginkan
dengan mengurangi dosis obat analgesik dan efek sampingnya.13
Asetaminofen (parasetamol) telah digunakan selama lebih dari 125 tahun
di seluruh dunia dan memiliki keamanan yang baik. Isu yang berhubungan
dengan bioavaibilitas yang bervariasi (khususnya ketika diberikan per rectal)
telah diselesaikan dengan penggunaan yang luas secara intraavena, terutama
pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi obat per oral. Pemberian
parasetamol telah dilakukan secara reguler pada bedah terbuka dan
laparoskopi dalam 48 jam dan memiliki efek opioid sparing yang baik. Dosis
maksimum adalah 4 x 1 gram per hari pada pasien dengan berat badan diatas
50kg. Ada beberapa bukti yang mendukung loading dose dengan 2 gram,
memberikan efek penghilang rasa nyeri yang lebih baik dan tidak
meningkatkan efek toksisitas.13,20

37

BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1

Anamnesa
PD, 35 tahun, 60 kg, 165cm, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji

Adam Malik dengan keluhan utama nyeri pada seluruh lapangan perut. Hal ini
dialami pasien sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Awalnya nyeri dirasakan
pada perut kanan bawah lalu menjalar ke seluruh lapangan perut. Riwayat mual
dijumpai, riwayat muntah dijumpai. Riwayat buang air besar tidak dijumpai dua
hari terakhir. Buang air kecil tidak dijumpai. Sebelumnya os dirawat di rumah
sakit luat dengan keluhan yang sama.
RPT

: Tidak Jelas

RPO

: Tidak jelas

Time Sequence
Pasien datang ke IGD RS HAM ke red

01 Oktober 2016

17.40 WIB

01 Oktober 2016

18.10 WIB

01 Oktober 2016

19.30 WIB

atau blue line


Konsul anestesi untuk tindakan anestesi
Acc untuk dilakukan tindakan anestesi,

01 Oktober 2016

20.00 WIB

namun terlebih dahulu dilakukan resusitasi

01 Oktober 2016

21.10 WIB

02 Oktober 2016
02 Oktober 2016

04.00 WIB
04.20 WIB

3.2

line
Pasien dimasukkan ke ruang resusitasi

cairan pada pasien ini.


Pemasangan CVC dilakukan oleh bagian
Bedah
Pasien didorong ke Kamar Operasi/ COT
Operasi

Primary Survey

Tanda dan Gejala

Kesimpulan

Penanganan

Hasil

38

A (airway)
Airway clear
Snoring (-)
Gargling (-)
Crowing (-)
C- Spine : stabil
Fraktur Maxillofacial

Pertahakan
airway

tetap

Airway clear
c-spine stabil

clear

(-)
B (breathing)
via RR : 16x/menit
Dalam
batas Oksigen
Inspeksi
nasal kanul 2 SaO2: 99%
normal
Thorax simetris tidak
l/min
ada bagian yang
ketinggalan
Perkusi:
Sonor

kedua

lapangan paru
Auskultasi
SP/ST: vesikule(+/
+)/rhonchi

(-/-),

wheezing (-/-)
SaO2: 99%
RR : 16 x/menit
C (circulation)
Adequate
Capillary Refill Time

line

2 IV TD:

130/80mmHg

HR:
84x/i
tangan kanan

< 2 detik
Akral hangat, merah,
kering
T/V : kuat/cukup
TD: 130/80mmHg
HR: 84 x/menit,

Pasang

18G

di

dan tangan kiri


Pemberian
cairan Ringer
Lactate

20

regular
gtt/menit
Perdarahan : D (disability)
Pasien
dalam Mempertahankan
Kesadaran:
apatis, keadaan
A-B-C
tetap
GCS 15 (E4M6V5) Compos Mentis lancar
pupil : 3 mm/ 3

39

mm, isokor
Rc : +/+
E (exposure)
Oedema (-)
Fraktur (-)

Cegah
hipothermia

3.3. Secondary Survey

3.4

B1 : airway clear, RR : 20x/menit, SP : vesikuler, ST : - , S/G/C = -/-/-,

Riwayat asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/B2 : akral : H/M/K, TD : 130/80, HR : 84x/menit, T/V : kuat/cukup , CRT:

< 2 detik, T : 37.0C


B3 : Sens : CM ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm/ kanan 3mm; RC: +/+
B4 : BAK (+) vol : 300cc, warna : kuning jernih (terpasang catheter)
B5 :abdomen : simetris, rigid (defens muscularae), timpani,

hipoperistaltik, jejas luka (+)


B6 : oedem (-), fraktur maxillofacial (-)

Penanganan di IGD

Beri oksigen via nasal kanul 2-4 L/menit


Pasang iv line dengan abocath 18 G (2 line)
Pasang NGT
Pasang kateter
IVFD Ringer Lactate 20 gtt/menit
Pasang kateter urine
Beri antibiotik injeksi Ceftriaxone 1 g/12 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
Foto Abdomen 3 Posisi

3.5. Pemeriksaan Penunjang


3.5.1. Laboratorium IGD

40

Jenis pemeriksaan

Hasil

Rujukan

Hemoglobin (HGB)

21,8 g/dl

1318

Eritrosit

7,32 x 106 /L

4.50-6.50

Leukosit (WBC)

5.490 /L

411x103

Hematokrit

66%

3954%

Trombosit (PLT)

363x103/L

150450x103

HEMATOLOGI

FAAL HEMOSTASIS
WAKTU PROTOMBIN

Pasien

42,6 detik

Kontrol

14,00 detik

INR

2,97

APTT

Pasien

55,5 detik

Kontrol

35,8 detik

WAKTU TROMBIN

Pasien

17,2 detik

Kontrol

18,9 detik

GINJAL
Blood Urea Nitrogen

22 mg/dL

9-21 mg/dL

Ureum

47 mg/dL

19-44 mg/dL

Kreatinin

1,05 mg/dL

0.71.3 mg/dL

Natrium (Na)

136 mEq/L

135155 mEq/L

Kalium (K)

4,3 mEq/L

3,65,5 mEq/L

Klorida (Cl)

102 mEq/L

96106 mEq/L

ELEKTROLIT

METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (sewaktu)

104 mg/dL

<200 mg/dL

41

3.5.2 Pemeriksaan Radiologi


Hasil Foto Thorax :

Diagnosa pra bedah : Diffuse peritonitis d/t Hollow Organ Perforation + septic
shock
3.6 Persiapan pre-operasi
3.6.1 Persiapan pasien
- SIA
- Pasien operasi puasa sejak direncanakan operasi

42

3.6.2

Pasang IV line transfuse set, threeway, venocath bore besar nomor 18

G di tangan kanan dan tangan kiri


- Pasang kateter urine pantau UOP
- IVFD Ringer Lactate 30 gtt/menit
- Oral & personal hygiene
- Persiapan darah
Persiapan alat (STATICS)
- Mesin anastesi + sungkup sesuai ukuran + corrugated tube
- Mesin monitor hemodinamik + elektroda
- Mesin suction + cathether suction
- Stetoskop + precordial +laryngoscope-blade
- ETT + LMA + OPA + NPA
- Plester, connector, stylet, bantal intubasi, donat, boh, papan tangan,
magil forceps, pack mulut, hand gloves, kasa, jelly, salep mata,

betadine, alkohol
3.6.3 Persiapan Obat
a. Premedikasi
- Midazolam 0.05-0.1 mg/kg/iv
- Fentanil 2-5 mcg/kg/iv
b. Induksi
- Propofol 2,-2.5 mg/kg/iv
-

Rocuronium 0.06-1.2 mg/kg/iv

c. Rumatan
- Fentanil 1-2 mg/kg/iv
- Rocuronium 1-2 mg/30 menit
3.7 Durante Operasi
- Vital Sign:
TD 70-100/50-60 mmHg
RR 16 x/i
HR 100-110 x/i
SpO2: 96%
- Sulfas Atropin 0,5 mg
- Ketamin 100 mg
- Roculax
- N2O:O2=2:2
- Sevofluran
- RL 1000 mL, Koloid 500 mL
- Urine Output 100 mL
- Perdarahan 200 mL

43

- Lama operasi 2 jam


3.8. Perawatan di ICU
- Bed rest
- Head up 30
- Diet TPN selama 3-5 hari
- IVFD asering 20 gtt/i
- Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
- Inj. Metronidazole 500 mg/ 8 jam
- Inj. Ranitidine 50 mg/8 jam
- Inj. Ketorolac 30 mg/8jam
3.9. Diagnosis: Post Laparotomi eksplorasi a/i diffuse peritonitis d/t gaster
perforation
3.10. Follow Up Pasien
02 Oktober 2016
S
-

O
A
B1: Airway clear terintubasi Post

P
Bed rest

MODE : CMV/TV 400/ RR 14/ Laparotomi


PEEP

+/100%,

SP:Vesikuler, eksplorasi

ST:-, RR: 16x/i, SpO2: 96%

diffuse

B2: Akral: H/M/K, CRT<2, peritonitis


T/V: Cukup

gaster

TD:92/54 mmHg, HR: 145x/i

perforation

B3: Sens: Dibawah pengaruh


obat. Pupil: isokor (3mm/3mm),
RC: +/+
B4: UOP (+), kateter terpasang,

- Head up 30
a/i

-Diet TPN Ivelip


1 fls/12 jam

d/t Aminofusin 1 fls/ 24


jam
IVFD RL 30 gtt/i
Inj. Meropenem 1 gr/
8 jam
Inj.
Metronidazole
500 mg/ 8 jam
Inj. Fentanyl 300 mcg

volume : 50 cc/jam

+ midazolam 15 mg

B5: abdomen : luka bekas

dalam 50 cc NaCl

operasi tertutup perban

0,9%: 6 cc/ jam via

44

B6: Oedem (-)

syringe pump
Inj. Parasetamol 1000
mg/ 8 jam
Inj. Omeprazole 40
mg/ 8 jam
Albumin 25% 1 fls
100cc

22 September 2016
S
-

O
A
B1: Airway clear, SP:Vesikuler, ST:-, Post

P
Bed rest
RR: 20x/i, SpO2:98%
Laparotomi + Diet TPN H-2
Ivelip 1 fls/12 jam
B2: Akral: H/M/K, CRT<2, T/V: Primary Suture
Clinimix 14 gtt/i
Cukup
+
Omental Aminofusin 1 fls/
TD:120/70 mmHg, HR: 70x/i
B3:

Sens:

CM,

Pupil:

Patch
isokor Gaster

d/t

stop
+ IVFD RL 20 gtt/i

(3mm/3mm), RC: +/+

Perforation

B4: UOP (+), kateter terpasang

Appendectom

B5: Distensi (-), soepel, tympani, y


peristaltik (+) lemah

appendisitis

B6: Oedem (-)

akut

24 jam-> habis,

d/t

+ D5% 10 gtt/i
Inj. Meropenem 1
gr/ 8 jam
Inj. Metronidazole
500 mg/ 8 jam
Inj. Parasetamol
1000 mg/ 8 jam
Inj. Omeprazole
40 mg/ 8 jam

23 September 2016
S
-

O
A
B1: Airway clear, SP:Vesikuler, Post
ST:-, RR: 18x/i, SpO2:98%

P
Bed rest
Laparotomi + Diet TPN H-3

45

B2: Akral: H/M/K, CRT<2, Primary Suture IVFD RL 20 gtt/i +


T/V: Cukup

TD:130/70 mmHg, HR: 70x/i

Patch

Omental

D5% 10 gtt/i
d/t Inj. Meropenem 1 gr/

B3: Sens: CM, Pupil: isokor Gaster


(3mm/3mm), RC: +/+

Perforation

B4: UOP (+), kateter terpasang

Appendectomy

B5:

Distensi

(-),

tympani, peristaltik (+)


B6: Oedem (-)

soepel, d/t appendisitis


akut

8 jam
Inj.
Metronidazole
500 mg/ 8 jam
Inj. Parasetamol 1000
mg/ 8 jam
Inj. Omeprazole 40
mg/ 8 jam
Ivelip 1 fls/12 jam
Clinimix 14 gtt/I
Acc pindah ke
ruang rawat inap

46

BAB 4
DISKUSI
Teori
Etiologi
Peritonitis

Kasus
diklasifikasikan

menjadi Setelah laparatomi, ditemukan adanya

primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis perforasi lambung. Hal ini berarti
primer

disebabkan

monomikrobial.
umumnya

oleh

infeksi peritonitis disebabkan oleh karena

Sumber

infeksi infeksi yang berasal dari perforasi

ekstraperitoneal

yang organ (peritonitis sekunder).

menyebar secara hematogen. Peritonitis


sekunder
berasal

merupakan
dari

infeksi

intraabdomen

yang
yang

umumnya berasal dari perforasi organ


berongga..

Peritonitis

tersier

dapat

terjadi akibat peritonitis sekunder yang


telah dilakukan intervensi pembedahan
ataupun medikamentosa.
Penanganan pasien di IGD
1. Primary Survey
Airway untuk menilai jalan nafas,
apakah terdapat sumbatan jalan nafas.

Pemberian oksigen mealui nasal

kanul 2-4 L/menit


Pasang iv line dengan abocath 18 G

Breathing untuk menilai pernafasan


melalui look, listen, feel dan bila perlu
diberikan oksigen untuk mrmbantu

pernafasan.

Circulation
untuk
melihat
dan
mengatasi perdarahan, menilai derajat
dehidrasi dan pemberian cairan serta
pemantauan urn output.
2.

Analgetik

sebaiknya

disediakan

(2 line)
Pasang NGT
Pasang kateter
IVFD Ringer Lactate 20 gtt/menit
Pasang kateter urine
Beri antibiotik injeksi Ceftriaxone 1
g/12 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam

47

dalam kondisi akut seperti morfin dan


fentanil.
Persiapan Pra Operasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Anamnesis
1.Persiapan pasien
Pemeriksaan fisik
- SIA
Pemeriksaan laboratorium
- Puasa sejak direncanakan operasi
Klasifikasi ASA
- Pemasangan IV line transfuse set,
Puasa
Persiapan alat
threeway, venocath bore besar
Persiapan
obat
:Pre-medikasi,
nomor 18 G di tangan kanan dan
induksi dan obat emergensi
tangan kiri IVFD Ringer
-

Lactate 30 gtt/menit
Pemasangan kateter urine

pantau UOP
Oral & personal hygiene
Persiapan darah

2. Persiapan alat (STATICS)


-

Mesin anastesi + sungkup sesuai

ukuran + corrugated tube


Mesin monitor hemodinamik +

elektroda
Mesin suction + cathether suction
Stetoskop
+
precordial

+laryngoscope-blade
ETT + LMA + OPA + NPA
Plester, connector, stylet, bantal
intubasi,
tangan,

donat,
magil

boh,

papan

forceps,

pack

mulut, hand gloves, kasa, jelly,


salep mata, betadine, alkohol
3. Persiapan Obat
a. Premedikasi
-

Midazolam 0.07-0.15 mg/kg/iv


Fentanyl 2-4 mcg/kg/iv

b. Induksi
-

Propofol 2-2.5 mg/kg/iv

48

Rocuronium 0.6-1.2 mg/kg/iv

Pemilihan Teknik Anestesi


Anestesi umum biasanya dimanfaatkan Teknik anestesi pada pasien ini adalah
untuk tindakan operasi besar yang GA ETT dan dipasang ventilator dan
memerlukan ketenangan pasien dan elektroda untuk memonitor detak
waktu pengerjaan lebih panjang. Maka, jantung pasien.
selama

penggunaan

anestesi

juga

diperlukan alat bantu nafas, selain


deteksi jantung untuk meminimalisasi
kegagalan

organ

vital

melakukan

fungsinya selama operasi dilakukan.


Permberian
Obat-Obatan
PostOperasi

Pada pasien, diberikan fentanyl dan

Obat-obatan narkotika seperti morfin, midazolam dalam 50cc NaCl 0,9% via
fentanyl, dan remifentanil menjadi obat syringe

pump

(titrasi)

dan

Inj.

pilihan utama karena memberikan efek parasetamol 1 gram/8 jam (drips)


analgetik, sedasi, dan depresi refleks
batuk. Pemberian obat-obatan ini dapat
diberikan secara titrasi terus menerus
maupun bolus intermiten. Multi modal
analgesia

dapat

menurunkan

efek

samping yang dapat disebabkan oleh


pemberian analgetik golongan opioid.
Pemilihan Cairan Post-Operasi

- Pada pasien ini tetap dilanjutkan

Pemberian cairan dilanjutkan dengan

pemberian kristaloid dengan IVFD

pemberian cairan kristaloid 2-3 L pada

RL 30 gtt/i selama post-operasi.

hari pertama operasi.

49

BAB 5
KESIMPULAN
Laki-laki, usia 66 tahun, datang ke RSUP HAM pada pukul 08.00 WIB
dengan keluhan nyeri pada seluruh lapangan perut yang dialami 4 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien didiagnosis dengan Diffuse peritonitis d/t Hollow
Organ Perforation kemudian dilakukan eksplorasi laparatomi. Setelah laparatomi,
ditemukan adanya perforasi gaster sehingga diagnosa menjadi Post Laparotomi +
Primary Suture + Omental Patch d/t Gaster Perforation + Appendectomy d/t
appendisitis akut.

50

DAFTAR PUSTAKA
1. Silen W. Acute Appendicitis and Peritonitis in Harrisons Principle of Internal
Medicine. 2012. Mc Graw Hill Companies: p.2518-19
2. Ahmetagic A, et al. Etiology of Peritonitis. 2013. Med Arh: 67(4)
3. Gupta S, Kaushik R. Peritonitis- The Eastern Experience. 2010. World journal
of Emergency Surgery: 1(13)
4. Ordonez C, Puyana JC. Management of Peritonitis in the Critically Ill
Patient.2011. Surg Clin North Am:86(6)
5. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis
Akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.2016. Jurnal Kesehatan
Andalas:5(1)
6. Daldiyono, Syam AF. Nyeri Abdomen Akut. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Edisi V. Jakarta: InternaPublishing. 2009.
7. Peritonitis

and

Abdominal

Sepsis.

2015.

Available

at

http://www.emedicine.medscape.com/article/180234.
8. Rotondo MF, et al. Advanced Trauma Life Support ATLS Student Course
Manual 9th Ed. United State of America: American College of Surgeons,
2012.
9. Ordonez CA, et al. Management of Peritonitis in the Critically Ill Patient.
Desember ; 86(6): 13231349. JSurg Clin North Am.. 2006.
10.

Surgical

Approach

to

Perotonitis.

2015.

Available

at

http://www.emedicine.medscape.com/article/1952823.
11. Zambouri A. Preoperative evaluation and preparation for anesthesia and
surgery. Hippokratia. 2007;11(1):13-21.
12. Baxendale B dan Smith G. Preoperative assessment and premedication.
Dalam: Aitkenhead AR, Rowbotham DJ dan Smith G, eds. Textbook of
Anesthesia. 4th edition. Spain: Elsevier, Inc; 2001. hlm. 417-29.
13. Butterworth JF, Mackey DC dan Wasnick JD. Morgan & Mikhails Clinical
Anesthesiology. Chapter 18. 5th edition. New York: Mc Graw Hill; 2013.

51

14. Sweitzer BJ. Overview of Preoperative Assessment and Management. Dalam:


Longnecker A, Brown DL, Newman MF dan Zapol WM. Anesthesiology.
New York: Mc Graw Hill; 2008. hlm. 40-68.
15. Bickley LS. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan Bates. Edisi
delapan. Jakarta: EGC; 2009. hlm. 90-8.
16. Sjamsuhidajat R dan de Jong W. Buku ajar ilmu bedah Sabiston. Edisi kedua.
Jakarta: EGC; 2004.
17. Hambly PR dan Sainsbury MC. Manajemen perioperative: penatalaksanaan
pasien bedah di bangsal. Jakarta: EGC; 2007.
18. American Society of Anethesiologists. ASA Physical Status Classification
System. 2014.
19. Kanonidou Z, Karystianou G. Anesthesia for the elderly. Hippokratia. 2007;
4: 175-177.
20. Miller TE, Scott MJ. Anesthetic Care for Abdominal Surgery. Elsevier.
2015;3(11).
21. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Sabiston Textbook
of Surgery: The Biological Basis of Modern Surgical Practice. Elsevier. Edisi
ke-20.
22. Doherty GM. Current Diagnosis & Treatment Surgery. McGraw-Hill. 2015.
Edisi ke-14.
23. Williams NS, Bulstrode CJK, O'Connell PR. Bailey & Love's: Short Practice
of Surgery. CRC Press. 2013. Edisi ke-26.
24. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Society of Critical Care Medicine and
the European Society of Intensive Care Medicine. 2013; 41(2): 580-637.
25. Aitkenhead AR, Rowbotham DJ, Smith G. Textbook of Anesthesia. 4th edition.
Amsterdam: Elsevier; 2013.
26. Longnecker DE, Brown DL, Newman MF, Zapol WM. Anesthesiology. New
York: McGraw Hill; 2012. Edisi ke-2.
27. Miller RD. Millers Anesthesia. Edisi ke-8. Philadelpia: Elsevier; 2015.

Anda mungkin juga menyukai