Anda di halaman 1dari 29

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmatNya kami

dapat menyelesaikan salah satu tugas kelompok untuk mata ajar

Keperawatan gawat darurat tentang sistem muskuloskeletal


Adapun tujuan penulis yaitu untuk menambah pengetahuan yang ada pada
mata ajar Keperawatan gawat darurat, kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak Leo Rulino selaku dosen pengajar dan temanteman kelas yag telah membantu kami dalam penyusunan materi ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan,
baik isi, maupun susunan bahasa. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan informasi dan manfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Jakarta, April 2016

Kelompok

A. FRAKTUR
1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan trauma, baik
trauma langsung maupun tidak langsung. Akibat dari suatu trauma
pada tulang dapat bervariasi tergantung pada jenis, kekuatan dan
arahnya trauma ( Apley & Solomon, 1995; Rasjad, 2007).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang

dan

ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang


dikenai stress yang lebih besar dari pada yang dapat diabsorpsinya.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak dan bahkan kontraksi otot ekstrem.
Meskipun tulang patah , jaringan di sekitarnya juga akan
terpengaruh mengakibatkan edema jaringang lunak, perdarahan ke
otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan
kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera
akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen
tulang (Burner & suddarath, 2001).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi
ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan
kepadanya.

Secara

umum

fraktur

dibagi menjadi

dua, yaitu

fraktur tertutup

dan

fraktur terbuka.

Fraktur tertutup jika kulit diatas tulang yang fraktur masih utuh,
tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur
terbuka.
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis
fraktur transversal dan kerusakan jaringan lunak. Benturan yang
2

lebih

keras

disertai

dengan

penghimpitan

tulang

akan

mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan


jaringan

lunak

yang

lebih

luas.

Trauma

tidak

langsung

mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan jaringan


sekitar

fraktur

tidak

mengalami

kerusakan

berat.

Pada

olahragawan, penari dan tentara dapat pula terjadi fraktur pada


tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh karena trauma
yang berulang. Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang
seperti. tumor atau pada penyakit Paget dengan energi yang
minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang
normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.
2. Anatomi Fisiologi

Sistem rangka
manusia adalah
suatu

sistem

organ

yang

memberikan
dukungan fisik pada makhluk hidup khususnya manusia. Sistem
rangka umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu eksternal,
internal, dan basis cairan (rangka hidrostatik), walaupun sistem
rangka hidrostatik dapat pula dikelompokkan secara terpisah dari
dua jenis lainnya karena tidak adanya struktur penunjang. Rangka
manusia

dibentuk

dari tulang tunggal

atau

gabungan

(seperti tengkorak) yang ditunjang oleh struktur lain seperti


ligamen, tendon, otot, dan organ lainnya.Rata-rata manusia dewasa

memiliki 206 tulang, walaupun jumlah ini dapat bervariasi antara


individu.
Kerangka tubuh manusia terdiri dari susunan berbagai macam
tulang yang satu sama lainnya saling berhubungan, terdiri dari 8
buah tulang kepala, 25 buah tulang kerangka dada, 14 buah tulang
wajah, 26 buah tulang belakang dan pinggul, 6 buah tulang telinga
dalam, 64 buah tulang lengan, 1 buah tulang lidah dan 62 tulang
kaki.
Fungsi kerangka bagi tubuh kita antara lain menahan seluruh
bagian-bagian tubuh agar tidak rubuh, melindungi alat tubuh yang
halus seperti otak, jantung, dan paru-paru, tempat melekatnya otototot, untuk pergerakan tubuh dengan perantaraan otot, tempat
pembuatan sel-sel darah terutama sel darah merah, memberikan
bentuk pada bangunan tubuh buah.
3. Klasifikasi
a. Menurut Penyebab terjadinya
1) Faktur Traumatik
2) Fraktur Fatik atau Stress

: direct atau indirect


: kerusakan tulang

karena kelemahan yang terjadi sudah berulang-ulang


ada tekanan berlebihan yang tidak lazim.
3) Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd
olahragawan
4) Fraktur patologis
penyakit local

karena

adanya

pada tulang, maka kekerasan yang

ringan saja pada bagian tersebut sudah dapat


menyebabkan fraktur. Contoh : osteoporosis dll.
b. Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya
1) Fraktur Tertutup/ Closed/ Fraktur Simplex : Bila tidak
terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, atau patahan tulang

tidak mempunyai

hubungan dengan udara terbuka.

2) Fraktur Terbuka/ Open : Bila terdapat hubungan


antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan di kulit. Kulit robek dapat berasal
dari dalam karena fragmen tulang yang menembus
kulit atau karena kekerasan yang berlangsung dari
luar.
3) Fraktur Komplikasi

: kerusakan pembuluh darah,

saraf, organ visera dan persendian juga ikut terkena.


Fraktur seperti ini dapat berbentuk fraktur tertutup
atau fraktur terbuka. Contoh : fraktur pelvis
tertutup+rupture vesica urinaria, fraktur costa+luka
pada paru-paru, fraktur corpus humerus+paralisis
nervus radialis

c. Menurut bentuk
1) Fraktur Komplet :Garis fraktur membagi tulang
menjadi 2 fragmen atau lebih. Garis fraktur bisa
transversal, oblique, spiral.
2) Fraktur Inkomplet
3) Fraktur Kominutif
4) Fraktur Kompresi / Crush fracture
4. Etiologi
Fraktur
mengenai

terjadi

bila

tulang,

ada

suatu

dimana

trauma

trauma

yang

tersebut

kekuatannya melebihi kekuatan tulang.

2 faktor

mempengaruhi terjadinya fraktur


a. Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi
trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
b. Intrinsik

meliputi

mengasorbsi

energi

kapasitas
trauma,

tulang

kelenturan,

kekuatan, dan densitas tulang.


5

5. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai
kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan .
Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya
atau

terputusnya

kontinuitas

tulang

(Carpenito,

Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum


dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak

yang membungkus

tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan


tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke
bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami
nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi
yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian
inilah

yang

merupakan

dasar

dari

proses

penyembuhan tulang nantinya.


6. Manifestasi Klinis
a.
b.
c.
d.
e.

Nyeri lokal
Pembengkakan
Eritema
Peningkatan suhu
Pergerakan abnormal
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen

tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur

merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk


meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada
fraktur lengan dan eksremitas. Deformitas dapat di ketahui

dengan membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas


tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya obat.
Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling
melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm.
Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan
tangan, teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat
gesekan antar fragmen satu dengan lainnya. Pembengkakan dan
perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah
beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
7. Klasifikasi
a. Fraktur komplet : Fraktur / patah pada seluruh garis tengah
tulang dan biasanya mengalami pergeseran dari posisi
normal.
b. Fraktur tidak komplet : Fraktur / patah yang hanya terjadi
pada sebagian dari garis tengah tulang.
c. Fraktur tertutup : Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya
kulit, jadi fragmen frakturnya tidak menembus jaringan kulit.
d. Fraktur terbuka : Fraktur yang disertai kerusakan kulit pada
tempat fraktur (Fragmen frakturnya menembus kulit), dimana
bakteri dari luar bisa menimbulkan infeksi pada tempat
fraktur (terkontaminasi oleh benda asing)
1) Grade I
: Luka bersih, panjang
2) Grade II : Luka lebih besar / luas tanpa kerusakan
jaringan lunak yang ekstensif
3) Grade III : Sangat terkontaminasi dan mengalami
kerusakan jaringanlunak yang ekstensif, merupakan
yang paling berat.
8. Jenis Khusus Fraktur

a. Greenstick : Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah,


sedang sisi lainnya membengkok.
b. Tranversal : Fraktur sepanjang garis tengah tulang.
c. Oblik : Fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
d. Spiral : Fraktur memuntir seputar batang tulang
e. Kominutif : Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa
fragmen
f. Depresi : Fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam
(sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)
g. Kompresi : Fraktur dimana tulang mengalami kompresi
(terjadi pada tulang belakang)
h. Patologik : Fraktur yang terjadi pada daerah tulang
berpenyakit (kista tulang, penyakit pegel, tumor)
i. Avulsi : Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau
tendon pada perlekatannya
j. Epifiseal : Fraktur melalui epifisis
k. Impaksi : Fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke
fragmen tulang lainnya.
9. Proses Penyembuhan Tulang
a. Stadium Pembentukan Hematoma
Hematoma terbentuk dari darah yang mengalir dari
pembuluh darah yang rusak, hematoma dibungkus jaringan
lunak sekitar (periostcum dan otot) terjadi 1 2 x 24 jam.
b. Stadium Proliferasi
Sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periostcum,
disekitar lokasi fraktur sel-sel ini menjadi precursor osteoblast
dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proliferasi juga terjadi
dijaringan

sumsum

tulang,

terjadi

setelah

hari

kedua

kecelakaan terjadi.

c. Stadium Pembentukan Kallus


Osteoblast membentuk tulang lunak / kallus memberikan
regiditas pada fraktur, massa kalus terlihat pada x-ray yang
menunjukkan fraktur telah menyatu. Terjadi setelah 6 10 hari
setelah kecelakaan terjadi.
d. Stadium Konsolidasi
Kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur
teraba telah menyatu, secara bertahap-tahap menjadi tulang
matur. Terjadi pada minggu ke 3 10 setelah kecelakaan.
e. Stadium Remodelling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada
kondisi lokasi eks fraktur. Tulang yang berlebihan dibuang oleh
osteoklas. Terjadi pada 6 -8 bulan.
10.

Pemeriksaan Diagnostik

a. Rekognisi
Rekognisi dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian
fraktur. Prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan,
derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan
deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri.
b. Reduksi
Reduksi adalah usaha / tindakan manipulasi fragmenfragmen seperti letak asalnya. Tindakan ini dapat dilaksanakan
secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai
gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat
diberi narkotika IV, sedative atau blok saraf lokal.
c. Retensi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan

fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi


gips, bidai, traksi dan teknik fiksator eksterna.
d. Rehabilitasi
Merupakan proses mengembalikan ke fungsi dan struktur
semula dengan cara melakukan ROM aktif dan pasif seoptimal
mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometric
dan setting otot. Diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse
dan meningkatkan peredaran darah.
11.

Komplikasi

Komplikasi fraktur dapat dibagi menjadi :


a. Komplikasi Dini
1) Nekrosis kulit
2) Osteomielitis
3) Kompartement sindrom
4) Emboli lemak
5) Tetanus
b. Komplikasi Lanjut
1) Kelakuan sendi
2) Penyembuhan fraktur yang abnormal : delayed union,
mal union dan non union.
3) Osteomielitis kronis
4) Osteoporosis pasca trauma
5) Ruptur tendon
c. Komplikasi umun
1) Shock
2) Kerusakan organ
3) Kerusakan saraf
4) Emboli lemak
12.

Pemeriksaan Penunjang Fraktur

a. Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb,
hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah
(LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas.
Pada masa penyembuhan Ca dan P meengikat di dalam darah.
b. Radiologi

10

X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan


metalikment.

Venogram/anterogram

menggambarkan

arus

vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang


kompleks
13.

Pengkajian
a. Pengkajian primer
1) Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
2) Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas,
timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara
napas terdengar rochi/aspirasi.
3) Circulation
TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi
pada tahap lanjut, takikardia, bunyi jantung normal pada
tahap dini, disritmia, kulit dan membrane mukosa pucat,
dingin, sianosis pada tahap lanjut.
b. Pengkajian sekunder
1) Aktivitas/istirahat
a) Kehilangan fungsi pad bagian yang terkena
b) Keterbatasan mobilitas
2) Sirkulasi
a) Hipertensi
(kadang
terlihat
sebgai

respon

nyeri/ansietas)
b) Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
c) Tachikardia
d) Penurunan nadi pada bagian distal yang cedera
e) Capillary refill melambat
f) Pucat pada bagian yang terkena
g) Masa hematoma pada sisi cedera
3) Neurosensori
a) Kesemutan
b) Deformitas, krepitasi, pemendekan
c) Kelemahan
4) Kenyamanan
a) Nyeri tiba-tiba saat cedera
b) Spasme/kram otot
5) Keamanan
a) Laserasi kulit
b) Perdarahan

11

c) Perubahan warna
d) Pembengkakan lokal
14.

Diagnosa Keperawatan
Diagnosa

keperawatan

adalah

suatu

pernyataan yang menjelaskan respon manusia dari


individu atau kelompok dimana perawat secara
akuntabilitas dapat mengidentifikasi dan memberikan
informasi

secara

pasti

untuk

menjaga

status

kesehatan, menurunkan, membatasi, mencegah dan


merubah. Dikutip dari Carpenito, 2000 (Nursalam,
2001, h. 35).
Diagnosa

keperawatan

adalah

masalah

kesehatan aktual dan potensial di mana berdasarkan


pendidikan

dan

mempunyai

pengalaman

kewenangan

dia

mampu

memberikan

dan

tindakan

keperawatan. Dikutip dari Gordon, 1976 (Nursalam,


2001, h. 35).
Menurut

Doenges

(2000,

h.

242

248),

diagnosa keperawatan yang muncul pada

klien

dengan Fraktur adalah :


a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,
cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi
tulang).
c. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya
informasi yang ada. (Doengoes, 2005)
15.

Perencanaan Keperawatan

12

a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema,


cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Intervensi :
1) Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah
baring, gips, bebat dan atau traksi
R : Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.
2) Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.
R : Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi
edema/nyeri.
3) Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.
R : Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan
sirkulasi vaskuler
4) Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan
(masase, perubahan posisi)
R : Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area
tekanan lokal dan kelelahan otot.
5) Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan
napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)
R : Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan
kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.
6) Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam
pertama) sesuai keperluan.
R :

Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.

Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan


rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.
7) Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.
R : Menilai perkembangan masalah klien.
b. Dx : Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer
(kerusakan kulit, taruma

jaringan lunak, prosedur

invasif/traksi tulang.
Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu,
bebas drainase purulen atau eritema dan demam
13

Intervensi :
1) Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai
protokol
R : Mencegah infeksi sekunder dan mempercepat
penyembuhan luka.
2) Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen.
R : Meminimalkan kontaminasi
3) Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus
sesuai indikasi.
R : Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat
digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi
infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
4) Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah
lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)
R : Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi,
anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada
osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme
penyebab infeksi
5) Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan
lokal pada luka.
R : Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

c. DX

: Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan

kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah


interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang
akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat
dengan kriteria klien mengerti dan memahami tentang
penyakitnya
Intervensi :
1) Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.

14

R : . Efektivitas proses pembelajaran dipengaruhi oleh


kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program
pembelajaran.
2) Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program
terapi fisik.
R :

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien

dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik


3) Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi
medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal
cedera)
R : Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali
tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut
4) Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila
diperlukan..
R : Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk
mengatasi maslaha sesuai kondisi klien

15

B. DISLOKASI

1. Definisi

Dislokasi adalah keadaan dimana tulang-tulang yang


membentuk sendi tidak lagi berhubungan secara anatomis (tulang
lepas dari sendi). Atau dislokasi adalah suatu keadaan keluarnya
(bercerainya) kepala sendi dari mangkuknya. Dislokasi merupakan
suatu kedaruratan yang membutuhkan pertolongan segera. Bila
terjadi patah tulang di dekat sendi atau mengenai sendi disertai
luksasi sendi yang disebut fraktur dislokasi.

Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari


kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat hanya komponen tulangnya saja
yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari
tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi).
2. Anatomi Sendi
Sendi

merupakan

hubungan

antar

tulang

sehingga tulang dapat digerakkan.


Dimana
persendian

hubungan
(artikulasi).

dua

tulang

Beberapa

disebut
komponen

penunjang sendi:
a. Kapsula sendi adalah lapisan berserabut yang melapisi
sendi. Di bagian dalamnya terdapat rongga.
b. Ligamen (ligamentum) adalah jaringan pengikat yang
mengikat luar ujung tulang yang saling membentuk
persendian.

Ligamentum

juga

berfungsi

mencegah

dislokasi.

16

c. Tulang rawan hialin (kartilago hialin) adalah jaringan


tulang rawan yang menutupi kedua ujung tulang. Berguna
untuk menjaga benturan.
d. Cairan sinovial adalah cairan pelumas pada kapsula sendi.

Gambar 1. Persendian normal


Ada 5 macam sendi berdasarkan karakteristik masingmasing:
1) Sindesmosis : adalah sendi dimana dua tulang
ditutupi oleh jaringan fibrosa. Misalnya sutura
pada tulang tengkorak.
2) Sinkondrosis : adalah sendi dimana kedua tulang
ditutupi oleh tulang rawan. Misalnya lempeng
epifisis yang merupakan suatu sinkondrosis yang
bersifat sementara yang menghubungkan antara
epifisis

dan

kemungkinan

metafisis
pertumbuhan

dan

memberikan

memanjang

pada

tulang.
3) Sinostosis : adalah bila sendi mengalami obliterasi
dan

terjadi

penyambungan

antara

keduanya.

Beberapa sindesmosis dan semua sinkondrosis


bergabung, menjadi sinostosis.
4) Simfisis : adalah suatu jenis persendian dimana
kedua permukaannya ditutupi oleh tulang rawan
hialin dan dihubungkan oleh fibrokartilago dan

17

jaringan fibrosa yang kuat. Misalnya pada simfisis


pubis dan sendi intervertebra.
5) Sendi

sinovial

adalah

sendi

dimana

permukaannya ditutupi oleh tulang rawan hialin


dan pinggirnya ditutupi oleh kapsul sendi berupa
jaringan fibrosa dan di dalamnya mengandung
cairan sinovial. (Salter Robert bruce. 1999)
3. Penyebab dislokasi
a. Dislokasi disebabkan oleh :
1) Trauma: jika disertai fraktur, keadaan ini disebut fraktur
dislokasi.
2) Cedera olahraga
Olah raga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah
sepak bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh
misalnya : terperosok akibat bermain ski, senam, volley.
Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering
mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena
secara tidak sengaja menangkap bola dari pemain lain.
3) Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga.
Benturan keras pada sendi saat kecelakaan motor biasanya
menyebabkan dislokasi.
4) Terjatuh
Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas
lantai yang licin

b. Kongenital
Sebagian anak dilahirkan dengan dislokasi, misalnya dislokasi
pangkal paha. Pada keadaan ini anak dilahirkan dengan
dislokasi sendi pangkal paha secara klinik tungkai yang satu
lebih pendek dibanding tungkai yang lainnya dan pantat bagian
kiri serta kanan tidak simetris. Dislokasi congenital ini dapat

18

bilateral (dua sisi). Adanya kecurigaan yang paling kecil pun


terhadap kelainan congenital ini mengeluarkan pemeriksaan
klinik yang cermat dan sianak diperiksa dengan sinar X, karena
tindakan dini memberikan hasil yang sangat baik. Tindakan
dengan reposisi dan pemasangan bidai selama beberapa bulan,
jika kelainan ini tidak ditemukan secara dini, tindakannya akan
jauh sulit dan diperlukan pembedahan.
c. Patologis
Akibatnya destruksi tulang, misalnya tuberkolosis tulang
belakang.
4. Patofisiologi
Dislokasi biasanya disebabkan karena faktor fisik yang
memaksa sendi untuk bergerak lebih dari jangkauan normalnya,
yang menyebabkan kegagalan tekanan, baik pada komponen tulang
sendi, ligamen dan kapsula fibrous, atau pada tulang maupun
jaringan lunak. Struktur-struktur tersebut lebih mudah terkena bila
yang mengontrol sendi tersebut kurang kuat. (Salter Robert bruce.
1999).
5. Manifestasi klinis
a. Nyeri akut
b. Perubahan kontur sendi
c. Perubahan panjang ekstremitas
d. Kehilangan mobilitas normal
e. Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi

6. Klasifikasi

19

Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


a. Dislokasi kongenital : Terjadi sejak lahir akibat kesalahan
pertumbuhan.
b. Dislokasi patologik : Akibat penyakit sendi dan atau
jaringan sekitar sendi, misalnya tumor, infeksi, atau
osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang
yang berkurang.
c. Dislokasi traumatik : merupakan kedaruratan ortopedi
(pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress
berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema
(karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang
kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan
disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi,
ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi
pada orang dewasa.
Berdasarkan tipe kliniknya dibagi:
a. Dislokasi Akut : Umumnya terjadi pada bahu,siku dan
pinggul Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar
sendi.
b. Dislokasi Kronik
c. Dislokasi Berulang : Jika suatu trauma dislokasi pada sendi
diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan
trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang.
7. Diagnosis
a. Anamnesis : perlu ditanyakan tentang :
1) Rasa nyeri
2) Adanya riwayat trauma
3) Mekanisme trauma
4) Ada rasa sendi yang keluar
5) Bila trauma minimal dan kejadian yang berulang, hal ini
dapat terjadi pada dislokasi rekurrens (Wim de Jong,
Syamsuhidajat, R. 2003)

20

b. Pemeriksaan klinis
1) Deformitas
a) Hilangnya penonjolan tulang yang normal
b) Pemendekan
c) Kedudukan yang khas untuk dislokasi tertentu
2) Bengkak
3) Terbatasnya gerakan atau gerakan yang abnormal (Wim de
Jong, Syamsuhidajat, R. 2003)
b. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan radiologi untuk memastikan arah dislokasi dan
apakah disertai fraktur.Pemeriksaan diagnostik dengan cara
pemeriksaan sinar X (pemeriksaan XRays).
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat menyertai dislokasi antara lain :.
a. Komplikasi Dini :
1) Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat
mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah
kecil yang mati rasa pada otot tesebut
2) Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak
3) Fraktur dislokasi
b. Komplikasi lanjut :
1) Kekakuan sendi bahu: Immobilisasi yang lama dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien
yang berumur 40 tahun. Terjadinya kehilangan rotasi lateral,
yang secara otomatis membatasi abduksi
2) Dislokasi yang berulang: terjadi kalau labrum glenoid robek
atau kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
3) Kelemahan otot
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dislokasi sebagai berikut :

21

a. Lakukan reposisi segera.


b. Dislokasi sendi kecil dapat direposisi di tempat kejadian
tanpa anestesi, misalnya : dislokasi siku, dislokasi bahu,
dislokasi jari pada fase syok), sislokasi bahu, siku atau jari
dapat direposisi dengan anestesi loca; dan obat penenang
misalnya valium.
c. Dislokasi sendi besar, misalnya panggul memerlukan anestesi
umum.
d. Dislokasi reduksi: dikembalikan ketempat semula dengan
menggunakan anastesi jika dislokasi berat.
e. Kaput tulang yang mengalami dislokasi dimanipulasi dan
dikembalikan ke rongga sendi.
f. Sendi kemudian diimobilisasi dengan pembalut, bidai, gips
atau traksi dan dijaga agar tetap dalam posisi stabil. Beberapa
hari sampai minggu setelah reduksi dilakukan mobilisasi
halus 3-4x sehari yang berguna untuk mengembalikan kisaran
sendi
g. Memberikan kenyamanan dan melindungi sendi selama masa
penyembuhan.
10. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan untuk
mengumpulkan

data

pasien

dengan

menggunakan

tehnik

wawancara, observasi, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang tetapi pada pasien dislokasi difokuskan pada :
a. Keluhan Utama
Keluhan utama pada pasien dislokasi adalah psien
mengeluhkan adanya nyeri. Kaji penyebab, kualitas, skala
nyeri dan saat kapan nyeri meningkat dan saat kapan
nyeri dirasakan menurun.

22

b. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien biasanya mengeluhkan nyeri pada bagian
yang terjadi dislokasi, pergerakan terbatas, pasien
melaporkan penyebab terjadinya cedera.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada

pengkajian

ini

ditemukan

kemungkinan

penyebab dislokasi, serta penyakit yang pernah diderita


klien sebelumnya yang dapat memperparah keadaan klien
dan menghambat proses penyembuhan.
d. Pemeriksaan Fisik
1) Tampak adanya perubahan kontur sendi pada
ekstremitas yang mengalami dislokasi
2) Tampak perubahan panjang ekstremitas pada daerah
yang mengalami dislokasi
3) Adanya nyeri tekan pada daerah dislokasi
4) Tampak adanya lebam pada dislokasi sendi
e. Kaji 14 kebutuhan dasar Henderson. Untuk dislokasi
dapat

difokuskan

kebutuhan

dasar

manusia

yang

terganggu adalah:
1) Rasa nyaman (nyeri) : pasien dengan dislokasi
biasanya mengeluhkan nyeri pada bagian dislokasi
yang dapat mengganggu kenyamanan klien.
2) Gerak dan aktivitas: pasien dengan dislokasi dimana
sendi tidak berada pada tempatnya semula harus
diimobilisasi.

Klien

dengan

dislokasi

pada

23

ekstremitas dapat mengganggu gerak dan aktivitas


klien.
3) Makan minum: pasien yang mengalami dislokasi
terutama pada rahang sehingga klien mengalami
kesulitan mengunyah dan menelan. Efeknya bagi
tubuh yaitu ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.
4) Rasa

aman(ansietas):

klien

dengan

dislokasi

tentunya mengalami gangguan rasa aman atau


cemas(ansietas) dengan kondisinya.
f. Pemeriksaan diagnostik
1) Pemeriksaan rontgen untuk melihat lokasi dari
dislokasi.
2) Pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk melihat
ukuran dan lokasi tumor dengan gambar 3 dimensi.
3) Pemeriksaan MRI untuk pemeriksaan persendian
dengan menggunakan gelombang magnet dan
gelombang frekuensi radio sehingga didapatkan
gambar yang lebih detail.
11. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cedera (fisik)


b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan
muskuloskletal

24

c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan kesulitan mengunyah atau menelan.

12. Intervensi Keperawatan


Nursing Care Plan Pasien Dislokasi
Dx.1 Nyeri Akut
No Diagnosa
Keperawatan
1 Nyeri akut
berhubungan
dengan agen
penyebab cederaFisik(trauma
kecelakaan dan
cedera olahraga)DS: klien
melaporkan
adanya nyeri.
DO: klien tampak
berperilaku
distraksi (mondar
mandir, aktivitas
berulang,
memegang daerah
nyeri), perilaku
ekspresif(gelisah,
meringis,
menangis,

(Nanda NIC NOC hal:530)


Tujuan dan Kriteria
Hasil
Setelah diberikan
asuhan keperawatan
selama x24 jam,
diharapkan dengan
kriteria hasil :

Rencana Tindakan

1.

1. Memperlihatka
n pengendalian
nyeri.

2.

2. Melaporkan
tidak adanya
nyeri

3.

3. Tidak
menunjukan
adanya nyeri
meningkat.
(tidak ada
ekspresi nyeri

4.

Rasional

1. Mengetahui keadaan
Observasi keadaan umum pasien dan
umum
tingkat nyeri pasien
pasien(tingkat nyeri
2. Posisi semi fowler
dan TTV)
dapat meminimalkan
nyeri pada dislokasi
Beri posisi
nyaman(semi
3. Kompres hangat
fowler)
berperan dalam
Berikan kompres vasodilatasi pembuluh
hangat pada lokasi darah.
dislokasi
4. Teknik distraksi dan
relaksasi berfungsi
Ajarkan teknik
dalam mengalihkan
distraksi dan
fokus nyeri pasien
relaksasi

5. Kolaborasi dalam
pemberian

5. Analgetik dapat
mengurangi rasa nyeri

25

menghela napas
panjang)

pada dislokasi.
pada
wajah,tidak
gelisah atau
ketegangan
otot,tidak
merintih atau
menangis.)

Dx 2: Hambatan mobilitas fisik


hal:472)
No Diagnosa
Keperawatan
2 Hambatan
mobilitas fisik
berhubungan
dengan gangguan
muskuloskletal
DS: pasien
mengeluh sulit
dalam bergerak
DO: tidak dapat
melakukan
aktivitas secara
mandiri, gerakan
tidak teratur atau
tidak
terkoordinasi

analgetik

(Nanda NIC NOC

Tujuan dan Kriteria


Rencana Tindakan
Hasil
Setelah diberikan
1. Observasi keadaan
asuhan keperawatan
umum(tingkat
selama x24 jam,
mobilitas dan
diharapkan klien dapat
kekuatan otot)
melakukan mobilisasi
2. Ajarkan ROM
dengan teratur dengan 3. Pengaturan posisi
kriteria hasil :
4. Berikan bantuan
perawatan diri:
berpindah
1. Klien
5. Kolaborasi dengan
mengatakan
ahli fisioterapi dalam
dapat
memberikan terapi
melakukan
yang tepat
pergerakan
dengan bebas
2. Gerakan pasien
terkoordinir

Rasional
1. Menunjukkan
tingkat mobilisasi
pasien dan
menentukan
intervensi
selanjutnya
2. Mempertahankan
atau meningkatkan
kekuatan dan
ketahanan otot
3. Meningkatkan
kesejahteraan
fisiologis dan
psikologi
4. Membantu individu
mengubah posisi
tubuhnya
5. Mengembalikan

26

3. Pasien dapat
melakukan
aktivitas secara
mandiri

posisi tubuh
autonom dan
volunter selama
pengobatan dan
pemulihan dari
posisi sakit atau
cedera

Dx 3: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh (Nanda NIC NOC


Hal: 503)
N Diagnosa
Tujuan dan Kriteria Rencana Tindakan
Rasional
o Keperawatan
Hasil
3 Ketidakseimban Setelah diberikan
gan nutrisi
asuhan
Kaji faktor
1. Mengetahui
kurang dari
keperawatan
penyabab kesulitan
faktor
kebutuhan
selama x24 jam, mengunyah
penyebab
tubuh
diharapkan
kesulitan
berhubungan
kebutuhan nutrisi
mengunyah
Letakkan
dengan
klien dapat
dan
makanan pada bagian
kesulitan
terpenuhi secara mulut yang tidak
menentukan
mengunyah atau adekuat dengan
intervensi
mengalami masalah
menelan.kriteria hasil:1)
selanjutnya
DS: pasien
Pasien tidak
Atur posisi
mengeluh susah melaporkan
2. Mengurangi
pasien(semi fowler)
mengunyah,
kesulitan
aktivitas pada
pasien
mengunyah2)
rahang yang
Kolaborasi
mengatakan
Nafsu makan
sakit
dalam pemasangan alat
nafsu makan
pasien kembali
invasif(NGT)
menurunbaik3)
Keadaan
3. Posisi semi
DO: pasien
umum pasien
fowler dapat
tampak lemas, kembali normal
mencegah
mukosa bibir
aspirasi
kering, tampak
kurang berminat
4. Mempertahan
terhadap
kan asupan
makanan
nutrisi pasien

27

DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. et.al.

(1993). Medical Surgical Nursing, (5th Edition).

Philadelphia, W.B. Saunder Company.


Brunner & Suddarth, Edisi 8 (Volume 1), Terjemahan dari: Brunner and
Suddarths Textbook of Medical-Surgical Nursing, 8/e (1996), Alih
Bahasa: Waluyo, Agung et.al (2001). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Carpenito, L.J (1995). Rencana Asuhan Keperawatan Documentasi dan Masalah
Kolaborasi (edisi 2). Terjemahan dari : Nursing Care plans and
Documentation: Nursing Diagnosis and Colaborative Problems. Alih
Bahasa : Ester, Monica dan setiawan, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran,
EGC

28

Doenges, M.E.et.al (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Perencanaan


dan Pendokumentasian Perawat Pasien (Edisi 3). Terjemahan dari :
Nursing Care Plants Guidelines for Planning and Documenting Patient
Care (1993) Alih bahasa : Kariasa, I Made; Sumarwati Ni Made, Jakarta :
Penerbit buku Kedokteran EGC.
Nursalam, (2001) Proses dan Dokumentasi Keperawatan Konsep dan Praktik.
Jakarta: Salemba Medica.
Salter Robert bruce. 1999. Textbook of Disorder and Injuries of the
Musculoskeletal
Wim de Jong, Syamsuhidajat, R. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi dua. Penerbit
Buku

29

Anda mungkin juga menyukai