Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 F9. Gangguan Perilaku Dan Emosional Dengan Onset Biasanya Pada
Masa Kanak Dan Remaja.
F9.0. Gangguan Hiperkinetik
Ciri utama: berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan, harus nyata
pada lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, di kelas, di klinik).1
Tabel 2.1 Kriteria Hiperkinetik1
Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya tugas dan
ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai. Anak seringkali beralih dari
suatu kegiatan ke kegiatan lain, rupanya kehilangan minatnya terhadap tugas yang satu
karena perhatiannya tertarik pada kegiatan lainnya
Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya dalam situasi
yang menuntut keadaan relative tenang. Tolak ukur penilaiannya ialah bahwa suatu
aktivitas dinyatakan berlebihan dalam konteks apa yang diharapkan pada suatu situasi
dibandingkan dengan anak lain yang sama umur dan nilai IQ-nya.

F9.1. Gangguan Tingkah Laku


Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah laku
dissosial, agresif atau menentang yang berulang dan menetap. Penilaiannya
dengan memperhitungkan tingkat perkembangan anak. Temper tantrum
merupakan gejala normal pada perkembangan anak berusia 3 tahun dan adanya
gejala ini bukan merupakan dasar dari diagnosis. Begitu pula pelanggaran
terhadap hak orang lain tidak termasuk kemampuan anak berusia 7 tahun dan
dengan demikiian bukan merupakan criteria diagnosis bagi anak kelompok
tersebut. 1
Contoh perilaku yang menjadi dasar diagnosis: 1
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Perkelahian atau menggertak pada tingkat berlebihan


Kejam terhadap hewan/ sesama manusia
Perusakan yang hebat atas barang milik orang lain
Membolos dari sekolah dan lari rumah
Sangat seringg meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak biasa
Perilaku provokatif yang menyimpang
Sikap menantang yang berat serta menetap.

Masing-masing dari kategori tersebut, apabila ditemukan adalah cukupuntuk


menjadi alasan bagi diagnosis, namun demikian perbuatan dissosial yang
terisolasi bukan merupakan alsan yang kuat. 1
3

F9.2. Gangguan Campuran Tingkah Laku Dan Emosi


Ciri khas gangguan ini adalh adanya gabungan dari perilaku agresif,
dissoasial, atau menentang yang menetap dengan gejal yang nyata dari depresi,
anxietas atau gangguan emosional lainnya. Gangguan ini harus cukup berat untuk
dapat memenuhi criteria gangguan tingkah laku pada masa kanak dan gangguan
emosional pada masa kanaka tau bentuk gangguan neurotic pada masa dewasa
atau gangguan suasana perasaan/mood. 1
F9.3. Gangguan Emosional Dengan Onset Khas Pada Masa Kanak
Meliputi gangguan anxietas perpisahan masa kanak (F93.0), gangguan
anxietas fobik masa kanak (F93.1), gangguan anxietas social masa kanak (F93.2),
gangguan persimpangan antar saudara (F93.3). 1
F9.4. Gangguan Fungsi Sosial Dengan Onset Khas Pada Masa Kanak Dan
Remaja
Diagnosis ini merupakan kumpulan gangguan yang heterogen, yang
keseluruhannya sama sama mencakup gangguan fungsi social yang berada pada
kurun masa perkembangan, namun (berbeda dengan gangguan perkembangan
pervasive) terutama tidak ditandai oleh suatu ketidakmampuan atau deficit
konstitusi social yang nyata yang menyusup keseluruhan fungsi. 1
F9.5. Gangguan Tic
Tic adalah suatu gerkan motorik (yang lazimnya mencakup suatu
kelompok otot khas tertentu) yang tidak dibawah pengendalian, berlangsung cepat
dan berulang, tidak berirama ataupun suatu hasil vocal yang timbul mendadak dan
tidak ada tujuannya yang nyata. Tic jenis motorik dan jenis vocal mungkin dapat
dibagi dalam golongan yang sederhana dan yang kompleks, sekalipun penggarisan
batasannya kurang jelas. 1
Ciri khas terpenting yang membedakan Tic dari gangguan motorik lainnya
ialah gerakan yang mendadak, cepat, sekejab dan terbatasnya gerakan, tanpa bukti
gangguan neurologis yang mendasari, sifatnya berulang dan berhenti saat tidur,
dan mudahnya gejala itu ditimbulkan kembali atau ditekan dengan kemauan. 1

F9.8. Gangguan Perilaku Dan Emosional Lainnya Dengan Onset Biasanya


Pada Masa Kanak Dan Remaja
Merupakan sekelompok gangguan heterogen yang berciri onsetnya pada
masa kanak tetapi berbeda dalam banyak segi. Sebagian konsisinya merupakan
sindrom dengan batasannya jelas, namun ada pula sekedar kumpulan gejala yang
tidak memiliki keabsahan nosologis, tetapi dimasukkan hanya karena sering
ditemukan dan berhubungan dengan masalah psikososial, serta tidak dapat
dikelompokan dalam sindrom lain. 1
2.2 Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD)
2.2.1 Definisi ADHD
Diagnostic and Statistic Manual IV (American Psychiatric Association,
2005) menjelaskan bahwa ADHD merupakan gangguan yang ditandai dengan
adanya ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang
dihadapi, sehingga rentang waktu perhatian yang dimiliki sangat singkat
dibandingkan anak lain yang seusianya. Gangguan perilaku ini biasanya disertai
dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif. 1,2
DSM-IV menetapkan ada 3 tipe dari ADHD yaitu tipe yang dominan
hiperaktif, tipe dominan gangguan perhatian dan tipe kombinasi dari keduanya.
Anak yang mengalami gangguan ini sering mengalami masalah dalam
pendidikannya, hubungan interpersonal dengan anggota keluarga dan teman
sebaya, dan rasa harga diri yang rendah. ADHD juga sering bersamaan terjadinya
dengan gangguan emosional, gangguan tingkah laku, gangguan berbahasa, dan
gangguan belajar. 1,2

2.2.3 Epidemiologi ADHD


DSM IV memperkirakan prevalensi ADHD sebesar 3-5% di antara anakanak usia sekolah. Namun dari sampel anak-anak usia sekolah yang berasal dari
komunitas, diperkirakan bahwa prevalensi ADHD sebesar 4-12%. Di Amerika
Serikat rasio ADHD pada anak laki-laki: perempuan berkisar antara 3-5

berbanding 1. Sedangkan menurut penelitian Breton ADHD lebih banyak dialami


oleh anak laki-laki daripada anak perempuan dengan estimasi 2-4 % untuk anak
perempuan dan 6-9 % untuk anak laki-laki. Di kalangan usia remaja, angka
kejadian ADHD menjadi menurun, baik pada perempuan maupun laki-laki, tetapi
jumlah anak laki-laki tetap lebih banyak daripada perempuan dengan rasio
perbandingan 3:1. Rasio ini bahkan lebih tinggi lagi dalam sampel klinis dimana
perbandingannya mencapai 6:1 atau bahkan lebih. 1,2,3,4
Prevalensi ADHD di Indonesia belum ada data nasional yang pasti karena
belum banyak penelitian yang dilakukan. Menurut Judarwanto (2009) kejadian
kelainan ini adalah sekitar 3 10%, di Ameriksa serikat sekitar 3-7% sedangkan
di negara Jerman, Kanada dan Selandia Baru sekitar 5-10%. Diagnosis and
Statistic Manual (DSM IV) menyebutkan prevalensi kejadian ADHD pada anak
usia sekolah berkisar antara 3 hingga 5 persen. Penelitian Saputro (2001) di
sebuah sekolah dasar di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
menunjukkan prevalensi ADHD sebesar 9,5%.Sedangkan menurut Kiswarjanu
(dalam Rohmah,2009) prevalensi kejadian ADHD di Kotamadya Yogyakarta
sebesar 0,39%. 5,6
2.2.3 Etiologi ADHD
Terdapat faktor yang berpengaruh terhadap munculnya ADHD , yaitu:6,7
1) Faktor Genetika
Bukti penelitian menyatakan bahwa faktor genetika merupakan
faktor penting dalam memunculkan tingkah laku ADHD. Satu pertiga dari
anggota keluarga ADHD memiliki gangguan, yaitu jik orang tua
mengalami ADHD, maka anaknya beresiko ADHD sebesar 60 %. Pada
anak kembar, jika salah satu mengalami. ADHD, maka saudaranya 70-80
% juga beresiko mengalami ADHD. Pada studi gen khusus beberapa
penemuan menunjukkan bahwa molekul genetika gen-gen tertentu dapat
menyebabkan munculnya ADHD. Dengan demikian temuan-temun dari
aspek keluarga, anak kembar, dan gen-gen tertentu menyatakan bahwa
ADHD ada kaitannya dengan keturunan. 6,7
2) Faktor Neurobiologis

Beberapa dugaan dari penemuan tentang neurobiologis diantaranya


bahwa terdapat persamaan antara ciri-ciri yang muncul pada ADHD
dengan yang muncul pada kerusakan fungsi lobus prefrontl. Demikian
juga penurunan kemampuan pada anak ADHD pada tes neuropsikologis
yang dihubungkan dengan fungsi lobus prefrontal. Temuan melalui MRI
(pemeriksaan otak dengan teknologi tinggi) menunjukan ada
ketidaknormalan pada bagian otak depan. Bagian ini meliputi korteks
prefrontal yang saling berhubungan dengan bagian dalam bawah korteks
serebral secara kolektif dikenal sebagai basal ganglia. 6,7
3) Faktor Lingkungan
Aspek lingkungan baik lingkungan biologis maupun psikososial
telah banyak diteliti sebagai salah satu faktor resiko untuk ADHD. Ide
bahwa makanan tertentu dapat menyebabkan ADHD mendapat cukup
banyak perhatian. Beberapa peneliti mengklaim dapat menyembuhkan
ADHD dengan menghilangkan bahan-bahan aditif makanan dari diet.
Teori populer lainnya menyebutkan bahwa intake gula yang berlebihan
akan menuju pada simptomatologi ADHD. 6,7
4) Faktor Psikososial
Faktor resiko timbulnya ADHD adalah pendidikan ibu yang
rendah, kelas sosioekonomi yang rendah, dan orangtua tunggal (single
parenthood). Anak-anak yang tinggal di yayasan sosial sering
menunjukkan gejala hiperaktif dan rentang perhatian yang pendek. Gejala
ini disebabkan oleh terjadinya deprivasi emosional yang berlangsung lama
dan bila deprivasi emosional dihilangkan, misalnya ditempatkan pada
foster home atau dijadikan anak angkat oleh sebuah keluarga maka gejala
ADHD berkurang atau hilang. Faktor predisposisi terjadinya gejala ADHD
pada anak juga dapat terjadi karena faktor temperamen anak (highly active
child), faktor genetic, dan tuntutan masyarakat yang mengharapkan anak
berperilaku dan berprestasi dengan baik. 6,7
2.2.4 Patofisiologi ADHD
Penyebab pasti dari ADHD belum diketahui. Namun dikatakan bahwa area
kortek frontal, seperti frontrosubcortical pathways dan bagian frontal kortek itu

sendiri, merupakan area utama yang secara teori bertanggung jawab terhadap
patofisiologi ADHD. Mekanisme inhibitor di kortek, sistem limbik, serta sistem
aktivasi reticular juga dipengaruhi. ADHD dapat mempengaruhi satu, dua, tiga,
atau seluruh area ini sehingga muncul tipe dan profil yang berbeda dari ADHD.
Sebagaimana yang diketahui bahwa lobus frontal berfungsi untuk mengatur agar
pusat perhatian pada perintah, konsentrasi yang terfokus, membuat keputusan
yang baik, membuat suatu rencana, belajar dan mengingat apa yang telah kita
pelajari,serta dapat menyesuaikan diri dengan situasi yang tepat. Mekanisme
inhibisi di kortek befungsi untuk mencegah agar kita tidak hiperaktif, berbicara
sesuatu yang tidak terkontrol, serta marah pada keadaan yang tidak tepat. Dapat
dikatakan bahwa 70 % dari otak kita berfungsi untuk menghambat 30 % yang
lain. 6,7
Pada saat mekanisme inhibitor dari otak tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya maka hasilnya adalah apa yang disebut dengan disinhibitor disorder seperti perilaku impulsif, quick temper, membuat keputusan
yang buruk, hiperaktif, dan lain-lain. Sedangkan sistem limbik mengatur emosi
dan kewaspadaan seseorang. Bila sistem limbik teraktivasi secara berlebihan,
maka seseorang memiliki mood yang labil, temperamen yang meledak-ledak,
menjadi mudah terkejut, selalu menyentuh apapun yang ada di sekitarnya,
memiliki kewaspadaan berlebihan. Sistem limbik yang normal mengatur
perubahan emosional yang normal, level energi normal, rutinitas tidur normal, dan
level stress yang normal. Disfungsi dari sistem limbik mengakibatkan terjadinya
masalah pada hal tersebut. Beberapa data mendukung hal ini yaitu pemeriksaan
MRI pada kortek prefrontal mesial kanan penderita ADHD menunjukkan
penurunan aktivasi. Selama pemeriksaan juga terlihat hambatan respon motorik
yang berasal dari isyarat sensorik. MRI pada penderita ADHD juga menunjukkan
aktivitas yang melemah pada korteks prefrontal inferior kanan dan kaudatum
kiri.6,7
Neurotransmiter utama yang teridentifikasi lewat fungsi lobus frontal
adalah katekolamin. Neurotranmisi dopaminergik dan noradrenergik terlihat
sebagai fokus utama aktifitas pengobatan yang digunakan untuk penanganan
ADHD. Dopamin merupakan zat yang bertanggung jawab pada tingkah laku dan

hubungan sosial, serta mengontrol aktivitas fisik. Norepinefrin berkaitan dengan


konsentrasi, memusatkan perhatian, dan perasaan. Dukungan terhadap peranan
norepinefrin dalam menimbulkan ADHD juga ditunjukkan dari hasil penelitian
yang menyatakan adanya peningkatan kadar norepinefrin dengan penggunaan
stimulan dan obat lain seperti desipramine efektif dalam memperbaiki gejala dari
ADHD. Pengurangan gejala juga terlihat setelah penggunaan monoamine oxidase
inhibitor, yang mengurangi pemecahan terhadap norepinefrin sehingga kadar
norepinefrin tetap tinggi dan menyebabkan gejala ADHD berkurang. 6,7
2.2.5 Diagnosis ADHD
Berdasarkan gejala yang menonjol, ADHD dibedakan menjadi 3 tipe, yaitu: 6,7
1) Tipe yang dominant gangguan pemusatan perhatian
2) Tipe yng dominant hiperaktivitas dan impulsivitas
3) Tipe campuran (gejalanya campuran dari gangguan pemusatan
perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas)
Diagnosis ADHD dapat digunakan pedoman yang di keluarkan oleh
American Psychiatric Association, yang menerapkan kriteria untuk menentukan
gangguan pemusatan perhatian dengan mengacu kepada DSM IV (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder, 4th edition tahun 2005) sebagai berikut:5
1) Kurang Perhatian
Pada kriteria ini, anak ADHD paling sedikit mengalami enam atau
lebih dari gejala-gejala berikutnya, dan berlangsung selama paling sedikit
6 bulan sampai suatu tingkatan yang maladaptif dan tidak konsisten
dengan tingkat perkembangan. 5
a) Seringkali gagal memerhatikan baik-baik terhadap sesuatu yang
detail atau membuat kesalahan yang sembrono dalam pekerjaan
sekolah clan kegiatankegiatan lainnya,
b) Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian
terhadap tugas-tugas atau kegiatan bermain,
c) Seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara langsung,
d) Seringkali tidak mengikuti baik-baik instruksi clan gagal dalam
menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan,atau tugas di tempat

10

kerja (bukan disebabkan karena perilaku melawan atau kegagalan


untuk mengerti instruksi),
e) Seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan
kegiatan,
f) Seringkali kehilangan barangf benda penting untuk tugas-tugas
clan kegiatan, misalnya kehilangan permainan;kehilangan tugas
sekolah;kehilangan pensil, buku, dan alat tulis lain,
g) Seringkali menghindari, tidak menyukai atau enggan untuk
melaksanakan tugas-tugas yang membutuhkan usaha mental yang
didukung, seperti menyelesaikan pekerjaan sekolah atau pekerjaan
rumah,
h) Seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar, dan
i) Seringkali cepat lupa dalam menyelesaikan kegiatan sehari-hari.
2) Hiperaktivitas Impulsifitas
Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala hiperaktivitas
impulsifitas berikutnya bertahan selama paling sedikit 6 bulan sampai
dengan

tingkatan

yang

maladaptif

dan

tidak

dengan

tingkat

perkembangan.5
Hiperaktivitas
a) Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka, dan sering
menggeliat di kursi,
b) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas atau dalam
situasi lainnya di mana diharapkan agar anak tetap duduk,
c) Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan dalam situasi di
mana hal ini tidak tepat. (Pada masa remaja atau dewasa terbatas
pada perasaan gelisah yang subjektif),
d) Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau terlibat dalam
kegiatan senggang secara tenang,
e) Sering 'bergerak' atau bertindak seolah-olah 'dikendalikan oleh
motor', dan sering berbicara berlebihan.
Impulsivitas
a) Mereka sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesal.

11

b) Mereka sering mengalami kesulitan menanti giliran.


c) Mereka sering menginterupsi atau mengganggu orang lain,
misalnya rnemotong pembicaraan atau permainan.
3. Beberapa gejala hiperaktivitas impulsifitas atau kurang perhatian yang
menyebabkan gangguan muncul sebelum anak berusia 7 tahun.
4. Ada suatu gangguan di dua atau lebih seting/situasi.
5. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di dalam fungsi sosia!,
akademik, atau pekerjaan.
6. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya PDD, skizofrenia, atau
gangguan psikotik lainnya, dan tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh
gangguan mental lainnya.

Tabel 2.2 Alur Penegakan Diagnosis 5,6


Anamnesis
1. Riwayat penyakit sekarang sesuai dengan kriteria ADHD berdasarkan DSM IV.
2. Riwayat penyakit dahulu
a) obat-obatan: antikonvulsan, antihipertensi, obat yang mengandung kafein,
pseudoefedrin, monoamin oxidase inhibitors (MAOIs).
b) penyakit: penyakit arterial (mayor), glaukoma sudut sempit, trauma kepala,
penyakit jantung, palpitasi, penyakit hati, hipertensi, kehamilan, dan penyakit
ginjal.
c) kelainan psikiatrik karena 30-50% penderita ADHD disertai dengan kelainan
psikiatrik. Adapun kelainan psikiatrik yang dimaksud antara lain: gangguan
cemas, gangguan bipolar, gangguan perilaku, depresi, gangguan disosiasi,
gangguan makan, gangguan cemas menyeluruh, gangguan mood, gangguan
obsesif-kompulsif, gangguan panik atau tanpa agorafobia, gangguan
perkembangan perfasif, Posttraumatic stress disorder (PTSD), psikotik, fobia
sosial, gangguan tidur, penyalahgunaan zat, sindrom Tourettes atau gangguan
Tic, dan komorbiditas somatik (tidak ada komorbiditas somatik yang
berhubungan dengan ADHD).
3. Riwayat keluarga
4. Riwayat social Meliputi: interaksi antar anggota keluarga, masalah dengan
hukum, keadaan di sekolah, dan disfungsi keluarga.

12

\
Pemeriksaan fisik
Perlu observasi yang baik terhadap perilaku penderita ADHD karena pada
penderita ADHD menunjukkan gejala yang sedikit pada pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan meliputi : tanda vital, tinggi badan, berat badan,
tekanan darah dan nadi. Pemeriksaan fisik umum termasuk penglihatan, pendengaran
dan neurologis. Tidak ada pemeriksaan fisik dan laboratorium yang spesifik untuk
ADHD. Pemeriksaan fisik yang dilakukan secara seksama, mungkin dapat membantu
dalam menegakkan diagnosa, dan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
Pemeriksaan psikologis (mental)
Terdiri dari pemeriksaan terhadap kesan umum berupa refleksi menghisap, control
impuls, dan state of arousal. Pemeriksaan mental seperti: tes intelegensia, tes
visuomotorik, tes kemampuan bahasa, dan lain-lain.
Pemeriksaan Laboratorium
a. Liver Function Test
b. Complete blood cell counts
Pemeriksaan Imaging
a. MRI
b. PET (Positron Emision Tomography)

2.2.6 Gambaran ADHD


Gambaran ADHD dapat diterangkan lebih rinci sebagai berikut: 6,7
1. Perhatian yang pendek
Individu dengan gangguan ini mengalami kesulitan untuk
memusatkan perhatian dan cenderung melamun, kurang motivasi, sulit
mengikuti instruksi. Mereka sering menunda atau menangguhkan tugas
yang diberikan dan kesulitan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan
karena cepat berpindah ke topik lain. 6,7
2. Menurunnya daya ingat jangka pendek.
Individu ini mengalami kesulitan dalam mengingat informasi yang
baru didapat untuk jangka wakyu yang pendek. Keadaan ini dapat
mempengaruhi kegiatan belajar, karena anak cenderung tidak dapat

13

merespon dengan baik setiap instruksi. Dengan demikian mereka juga


mengalami kesulitan dalam mempelajari simbol-simbol, seperti warna dan
alphabet. 6,7
3. Gangguan motorik dan koordinasi.
Masalah perkembangan individu ini mempengaruhi keterampilan
motorik kasar dan halus atau koordinasi mata dan tangan. Dalam
keterampilan motorik kasar, mereka mengalami kesulitan dalam
keseimbangan melompat, berlari, atau naik sepeda. Dalam keterampilan
motorik halus, seperti mengancingkan baju, memakai tali sepatu,
menggunting, mewarnai, dan tulisannya sulit dibaca. Dalam koordinasi
mata-tangan seperti melempar bola, menangkap bola, menendang, maka
gerakan-gerakannya cenderung terburu-buru. Hal ini tampak juga ketika
mengikuti kegiatan olah raga, gerakan-gerakannya tampak kurang
terampil. 6,7
4. Gangguan dalam mengatur atau mengorganisir kegiatan.
Gangguan dalam hal ini seringkali nampak ketika anak mengatur
kamarnya. Mereka kelihatannya kesulitan, demikian juga dalam kegiatan
sehari-hari lainnya. Hal ini nampak juga ketika anak mengikuti ulangan
atau ujian. Mereka kurang dapat memperhatikan atau menimbang jawaban
yang tepat, sehingga seringkali memperoleh nilai yang kurang dari ratarata kelasnya. 6,7

5. Terdapat gangguan impulsivitas.


Individu dengan gangguan ini sering bertindak sebelum berpikir.
Mereka tidak memikirkan terlebih dahulu apa akibatnya bila melakukan
suatu perbuatan. Sebagai contoh ketika menyeberang jalan tanpa melihat
dulu ke kiri dan ke kanan. Sering memanjat. melompat dari ketinggian
yang berbahaya untuk ukurannya. menyalakan api, dan lain sebagainya..
Kecenderungannya, individu seakan-akan menempatkan dirinya dalam
suatu kondisi yang mempunyai resiko tinggi, bahkan seringkali berbahaya
bagi orang lain. Impulsivitas ini muncul pula dalam bentuk verbal. Mereka
berbicara tanpa berpikir lebih dahulu, tidak memperhitungkarn bagaimana

14

perasaan orang lain yang mendengarkan, apakah akar. menyinggung atau


menyakitkan hati. Bentuk lain dari impulsivita_ adalah anak seperti tidak
sabaran, kurang mampu untuk menuna: keinginan, menginterupsi
pembicaraan orang lain. Cepat marah jika orang lain melakukan sesuatu di
luar keinginannya. 6,7
6. Kesulitan untuk menyesuaikan diri.
Individu dengan gangguan ini sering mempunyai masalah dalam
penyesuaian diri terhadap semua hal yang baru, misalnya sekolah, guru,
rumah, baju baru. Mereka lebih menyukai lingkungan yang sudah dikenal
dengan baik, tidak mudah berubah, dan bersifat kekeluargaan. Keadaan ini
dapat menyebabkan mereka lebih cepat menjadi putus asa. Seringkali apa
yang sudah menjadi kebiasaan sejak kecil akan berlanjut terus sampai
dewasa. 6,7
7. Gangguan memiliki ketidakstabilan emosi, baik watak maupun suasana
hati.
Individu dengan gangguan ini menampakkan pula perilaku sangat
labil dalam menentukan derajat suasana hati dari sedih ke gembira.
Stimulus yang menyenangkan akan menyebabkan kegembiraan yang
berlebihan,

sedang

rangsang

yang

tidak

menyenangkan

akan

memunculkan kemarahan yang besar. Anak seringkali marah hanya


disebabkan oleh faktor pemicu yang sepele. Mereka juga cenderung
mengalami masalah untuk merasakan kegembiraan. Pada masa remaja
kurang merasakan perasaan kehilangan semangat atau tidak berdaya.
Selain itu pada gangguan ini konsep diri yang dimiliki sangat rendah.
Kebanyakan mereka menolak untuk bermain dengan teman seusianya,
mereka lebih suka bermain dengan yang lebih mudah usianya. Keadaan ini
menunjukkan pertanda awal dari harga diri yang rendah. Apabila
dikemudian hari mereka tidak menunjukkan kemajuan di sekolah atau
tidak dapat mengembangkan keterampilan sosial, akan menimbulkan
perasaan citra diri yang negatif yang membuat rasa harga dirinya semakin
menurun. 6,7

15

2.2.7 Dampak ADHD


Dampak gejala ADHD akan dirasakan oleh anak dan keluarga, juga
terhadap perkembangan anak sampai dewasa. 6,7
Tabel 2.3 Dampak ADHD 6,7
Anak

Keluarga

Perkembangan
Anak

a)Prestasi sekolah buruk a) Menimbulkan


b) Gangguan sosialisas,
c)Penyelesaian
stress dan depresi

Usia prasekolah (< 6 tahun)

pekerjaan lambat,
d) Risiko kecelakaan

pada keluarga
b) Keharmonisan

akan mengganggu ketenangan

meningkat
e)Risiko gangguan

keluarga terganggu
c) Perubahan status

Menimbulkan gangguan perilaku yang

keluarga.

penggunaan zat
meningkat.

pekerjaan.

Usia sekolah (6-12 tahun)


Menimbulkan gangguan perilaku,
prestasi sekolah menurun, kesulitan
interaksi social sehingga dapat
menimbulkan kurang percaya diri pada
anak.

Masa remaja (12-18 tahun)


Menimbulkan kesulitan dalam interaksi
sosial, problem akademik, tindakan
kriminal, gangguan penggunaan zat
dan mudah terjadi kecelakaan.

Masa dewasa awal (saat kuliah 18-25


tahun)
Menimbulkan kegagalan akademis,

16

kurang percaya diri, gangguan


penggunaan zat, sulit melaksanakan
pekerjaan dan mudah mengalami
kecelakaan.
Masa dewasa akhir (> 25 tahun)
Menimbulkan kurang percaya diri,
masalah hubungan interpersonal,
kegagalan melaksanakan pekerjaan,
gangguan penggunaan zat dan mudah
terjadi kecelakaan.

2.2.8 Penatalaksanaan ADHD


Penanganan holistik anak ADHD yang terbaik adalah: 6,7,8
1.
2.
3.
4.

Farmakoterapi (Medikamentosa)
Terapi perilaku
Kombinasi pengobatan medikamentosa dengan terapi perilaku
Edukasi pasien dan keluarga mengenai anak ADHD.

Terapi Medikamentosa
Penggunaan obat-obatan dalam terapi ADHD berperan sebagai CNS
stimulant, meliputi sediaan short dan sustained-release seperti methylphenidate,
dextroamphetamine, kombinasi dextroamphetamine dan amphetamine salt. Salah
satu keuntungan sediaan sustained-release untuk anak-anak adalah satu dosis di
pagi hari akan bertahan efeknya sepanjang hari sehingga anak-anak tidak perlu
minum dosis kedua maupun ketiga saat kegiatan di sekolah berlangsung.
Keuntungan lain adalah dipertahankannya obat ini pada level tertentu dalam tubuh
sepanjang hari sehingga fenomena rebound dan munculnya iritabilitas dapat
dihindari. FDA (The Food and Drug Administration) menyarankan penggunaan
dextroamphetamine pada anak-anak berusia 3 tahun atau lebih dan
methylphenidate pada anak-anak berusia 6 tahun atau lebih. Kedua obat inilah
yang paling sering dipakai untuk terapi ADHD. 6,7,8

17

Terapi second line meliputi antidepresan seperti bupropion, venlafaxine


dan juga terdiri dari Agonis reseptor -Adrenergik seperti clonidine dan
guanfacine. Obat antidepresan sebaiknya diberikan bila pemberian obat
psikostimulan tidak efektif hasilnya untuk anak ADHD. 6,7,8
Psikostimulan menstimuli area yang mengalami penurunan aktivasi hingga
dapat mencapai tingkat yang lebih tinggi. Ternyata efek methylphenidate sangat
baik terhadap anak ADHD dimana anak ADHD terjadi hipofungsi dopamin dan
adrenalin di sinaps, sedangkan methylphenidate bekerja untuk menghambat
reuptake dopamin dan noradrenalin kembali ke sel syaraf. Efek methylphenidate
menstimulasi korteks serebral dan struktur sub kortikal. Efek samping
psikostimulan yang tersering adalah insomnia, berkurangnya nafsu makan sampai
berat badan menurun, kadang-kadang sakit kepala. Bila sebelum dan saat
pengobatan anak ADHD menunjukkan gejala sukar makan, maka perlu diberikan
vitamin untuk nafsu makan. Bila timbul efek samping sukar tidur, sebaiknya
pemberian malam hari tak dilakukan, dilakukan membaca terlebih dahulu sebelum
tidur (bedtime reading), dapat diberikan obat tidur bila sangat diperlukan. 6,7,8
Tabel 2.4 Dosis Obat Psikoatimulan
Obat

Dosis

Methylphenidate

2,5-25 mg

a. Short acting (Ritalin)

0,3-0,7

Duration of
Action
2 3 jam

Regimen
Dose
2 x/hari
tab @ 10mg

mg/kg/hr
(tablet)
b. Intermediate acting (sustained
20 40 mg

3 8 jam

1 x/hari tab.

Release/ Ritalin SR)


@ 20 mg
c. Long acting * Concerta
18 mg, 36 mg
* Ritalin 1 A

8 12 jam

1 x/hari cap.

8 12 jam

1 x/hari cap.

20 mg

18

Terapi Perilaku
Berupa : 6,7
1) Intervensi pendidikan dan sekolah
Hal ini penting untuk membangun kemampuan belajar anak.
2) Psikoterapi: pelatihan ADHD, suport group, atau penggunaan
keduanya pada orang dewasa dapat membantu menormalisasi
gangguan dan membantu penderita agar focus pada informasi umum.
2.2.9 Prognosis ADHD
Prognosis pasien ADHD umumnya baik bila: 6,7
a) Tidak ada faktor komorbid utama
b) Pasien dan yang merawatnya memperoleh cukup edukasi mengenai
ADHD dan manajemen penanganannya
c) Taat dalam melaksanakan terapi
d) Learning disabilities yang menyertai didiagnosa dan ditinjau ulang dan
ditangani.
e) Beberapa dan semua masalah emosional diinvestigasi dan ditangani
dengan baik oleh dokter umum atau pasien dirujuk ke pusat kesehatan jiwa
yang profesional.
Sedikitnya 80% dari anak-anak yang menderita ADHD, gejalanya menetap
sampai remaja bahkan dewasa. Dengan peningkatan usia, maka gejala hiperaktif
akan berkurang tetapi gejala inatensi, impulsivitas, disorganisasi, dan kesulitan
dalam membangun hubungan dengan orang lain biasanya menetap dan semakin
menonjol. 6,7
2.3 Sindrom de la Tourette
2.3.1 Definisi Sindrom de la Tourette
Menurut revisi teks edisi keempat Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM-IV-TR), Tic pada gangguan Tourette merupakan Tic
motorik multipel dan satu atau lebih Tic vokal. Tic adalah suatu gerakan motorik
(yang lazimnya mencakup suatu kelompok otot khas tertentu) yang tidak dibawah
pengendalian, berlangsung cepat dan berulang, tidak berirama ataupun suatu hasil
vocal yang timbul mendadak dan tidak ada tujuannya yang nyata.1,2,5
Gangguan Tourette menimbulkan penderitaan atau hendaya yang
signifikan di dalam area fungsi yang penting. Gangguan ini memiliki onset

19

sebelum usia 18 tahun,dan tidak disebabkan olah suatu zat atau keadaan medis
umum. 1,2,5
2.3.2 Epidemiologi Sindrom de la Tourette
Prevelansi seumur hidup gangguan Tourette diperkirakan 4 hingga 5 per
10.000. Lebih banyak anak yang menunjukkan gangguan ini dibandingkan orang
dewasa. Onset komponen motorik gangguan ini umumnya terjadi pada usia 7
tahun; Tic vokal muncul rata-rata pada usia 11 tahun. Gangguan Tourette terjadi
kira-kira tiga kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan pada anak
perempuan. Gangguan ini juga lebih lazim pada anak kulit putih daripada ras yang
lain.9,10
2.3.3 Etiologi Sindrom de la Tourette
Faktor Genetik
Fakta bahwa gangguan Tourette dan gangguan tic vokal atau motorik
kronis lebih besar kemungkinannya untuk terjadi di keluarga yang sama
memberikan dukungan pada pandangan bahwa gangguan ini merupakan bagian
dari spektrum yang ditentukan secara genetik. Bukti ada beberapa keluarga
menunjukkan bahwa gangguan Tourette diturunkan dengan cara dominan
autosom. Hingga setengah dari pasien gangguan Tourette juga mengalami
gangguan defisit-atensi/hiperaktivitas (ADHD). Hingga 40 persen pasien dengan
gangguan Tourette juga memiliki gangguan obsesif-kompulsif (OCD). Di samping
itu, kerabat orang dengan gangguan Tourette memiliki risiko tinggi untuk
mengalami gangguan ini, gangguan tic vokal atau motorik kronis, dan gangguan
obsesif-kompulsif. Mengingat adanya gejala ADHD pada lebih dari setengah
pasien dengan gangguan Tourette, timbullah pertanyaan mengenai hubungan
genetik antara kedua gangguan ini. 10
Faktor Neurokimia dan Neuroanatomis
Bukti kuat adanya keterlibatan sistem dopamin di dalam gangguan tic
mencakup pengamatan bahwa agen farmakologis yang mengantagonisasi
dopamin-haloperidol (Haldol) menekan tic dan bahwa agen yang meningkatkan
aktivitas dopaminergik sentral (amfetamin) cenderung memperburuk tic.

20

Hubungan tic dengan sistem dopamin tidak sederhana, karena pada beberapa
kasus obat antipsikotik, seperti haloperidol, tidak efektif di dalam mengurangi tic,
dan efek stimulan pada gangguan tic dilaporkan beragam. Pada beberapa kasus,
gangguan Tourette muncul selama terapi dengan obat antipsikotik.10
Opiat endogen dapat terlibat di dalam gangguan tic dan gangguan obsesifkompulsif. Beberapa bukti menunjukkan bahwa agen farmakologis yang
mengantagonis opiat endogen. Kelainan di dalam sistem nonadrenergik terkait di
dalam beberapa kasus melalui pengurangan tic dengan clonidine (Catapres).
Agonis adrenergik ini mengurangi pelepasan norepinefrin di sistem saraf pusat
(SSP) sehingga dapat mengurangi aktivitas di dalam sistem dopaminergik.
Kelainan di ganglia basalis menimbulkan berbagai gangguan gerakan, seperti
pada penyakit Huntington, dan gangguan ganglia basalis juga mungkin terjadi
pada gangguan Tourette, gangguan obsesif-kompulsif, dan ADHD. 10
Faktor Imunologis dan Pascainfeksi
Proses autoimun akibat infeksi streptokokus diidentifikasi sebagai
mekanisme yang berpotensi menimbulkan gangguan Tourette. Proses ini dapat
bekerja secara sinergis dengan kerentanan genetik untuk gangguan ini. Sindrom
pascastreptokokus juga dikaitkan dengan satu faktor penyebab yang potensial di
dalam timbulnya OCD, yang terdapat pada hampir 40 persen orang dengan
ganggguan Tourette. 10
2.3.4 Diagnosis dan Gambaran Klinis Sindrom de la Tourette
Untuk menegakkan diagnosis gangguan Tourette, klinisi harus
mendapatkan riwayat tic motorik multipel dan munculnya sedikitnya satu tic
vokal pada suatu saat di dalam gangguan ini. Menurut DSM-IV-TR, tic harus
terjadi beberapa kali dalam sehari hampir setiap hari atau secara intermitten
selama lebih dari 1 tahun. Usia rerata onset tic adalah 7 tahun, tetapi tic dapat
muncul sedini usia 2 tahun. Onset harus terjadi sebelum usia 18 tahun. 1,2,5,10
Tabel 2.5 Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Gangguan Tourette 5
Tic motorik multipel dan satu atau lebih tic vokal telah ada pada suatu saat selama penyakit, meskipun
tidak harus bersamaan.
Tic terjadi beberapa kali dalam sehari (biasanya dalam serangan) hampir setiap hari atau secara

21

intermitten sepanjang suatu periode lebih dari 1 tahun, dan selama periode ini tidak pernah ada
periode bebas tic selama lebih dari 3 bulan berturut-turut.
Onsetnya sebelum usia 18 tahun.
Gangguan ini tidak disebabkan oleh efek fisiologis lansung dari suatu zat (misalnya stimulan) atau
keadaan medis umum (misalnya penyakit Huntington).

Tidak ada tes diagnostik laboratorium khusus untuk gangguan Tourette;


tetapi banyak pasien dengan gangguan Tourette memiliki temuan
elektroensefalogram (EEG) abnormal nonspesifik. Kira-kira 10 persen dari semua
pasien dengan gangguan Tourette menunjukkan beberapa kelainan khusus pada
pemindaian computed tomography (CT).10
2.3.5 Diagnosis Banding Sindrom de la Tourette
Tic harus dibedakan dengan gangguan gerakan lain (contoh, distonik,
koreiform, atetoid, mioklonik, dan gerakan hemibalismik) serta penyakit
neurologis dengan gangguan gerakan yang khas (contoh, penyakit Huntington,
parkinsonisme, korea Sydenham, dan penyakit Wilson). 10
Tremor, manerisme, dan gangguan gerakan stereotipik, mencakup gerakan
seperti mengguncang-guncang, menatap tangan, dan perilaku meransang diri,
tampak bersifat voluntar dan sering memberikan rasa nyaman, sebalinya dengan
gangguan Tic. Meskipun pada anak dan remaja bisa dirasakan dapat dikendalikan
atau juga tidak, Tic jarang menimbulkan rasa nyaman. Kompulsi kadang-kadang
sulit dibedakan dengan Tic kompleks dan mungkin secara biologis berada di
dalam rangkaian kesatuan yang sama. 10
Gangguan Tic juga dapat terdapat bersamaan dengan banyak gangguan
mood dan perilaku. Pada anak dengan gangguan Tourette dan ADHD, bahkan jika
gangguan Tic selalu ringan, frekuensi masalah perilaku mengacau yang tinggi
serta gangguan mood masih ada. Anak autistik dan anak dengan retardasi mental
dapat menunjukkan gejala yang serupa dengan gejala yang ditemukan pada
angguan tic, termasuk gangguan Tourette. 10
2.3.6 Penatalaksanaan Sindrom de la Tourette

22

Pertimbangan akan keseluruhan fungsi anak atau remaja adalah langkah


pertama di dalam menentukan terapi yang paling sesuai untuk gangguan Tic.
Memulai terapi dengan edukasi yang komprehensif untuk keluarga merupakan hal
yang penting, agar anak tidak sengaja dihukum untuk perilaku Ticnya. Penting
juga bagi keluarga untuk memahami sifat banyak gangguan Tic yang membaik
dan memburuk. 8,10
Teknik perilaku lain-termasuk massed (negative) practice, pengawasan
diri, pelatihan respons ayng tidak sesuai, presentasi dan menghilangkan dorongan
positif, serta terapi pembalikan kebiasaan. 8,10
Farmakoterapi
Antipsikotik konvensional, potensi tinggi, seperti haloperidol,
trifluoperazine (Stelazin), dan pimozide (Orap) menunjukkan memiliki efek
mengurangi tic yang signifikan. Penghentian obat ini sering didasari pada efek
merugikan obat, termasuk efek ekstrapiramidal dan disforia. Haloperidol tidak
disetujui untuk digunakan pada anak di bawah usia 3 tahun. 8,10
Klinisi harus lebih dahulu memperingatkan pasien dan keluarganya
mengenai kemungkinan terjadinya reaksi distonik akut dan gejala parkinson
ketika akan memulai terapi dengan obat antipsikotik konvensional atau
antipsikotik atipikal yang lebih baru. Antipsikotik atipikal yang lebih baru
dipasarkan saat ini, termasuk risperidone dan olanzapine (Zyprexa), sering dipilih
sebagai pilihan terapi dibandingkan antipsikotik konvensional dengan harapan
efek sampingnya akan lebih ringan. Bahkan dengan antipsikotik atipikal,
diphenhydramine (Benadryl) atau benztropine (Cogentin) sering diperlukan untuk
mengendalikan efek samping ekstrapiramidal. 8,10
Meskipun clonidine, suatu antagonis noradrenergik, saat ini tidak disetujui
untuk digunakan untuk gangguan Tourette, dilaporkan efektif di berbagai studi; 40
hingga 70 persen pasien mendapatkan keuntungan dari obat ini. Di samping
perbaikan gejala tic, pasien dapat mengalami lebih sedikit tegangan dan
meningkatnya rentang perhatian. Agonis -adrenergik lain, guanfacine (Tenex),
juga telah digunakan di dalam terapi gangguan tic. 8,10
Dalam hal seringnya komorbiditas perilaku tic dengan gejala obsesifkompulsif atau OCD, obat selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) telah

23

digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan antipsikotik di dalam terapi


gangguan Tourette. Beberapa data mengesankan bahwa SSRI, seperti fluoxetine
(prozac), dapat membantu. 8,10
Meskipun klinisi harus menimbang risiko dan keuntungan penggunaan
stimulan pada kasus hiperaktivitas berat dan tic yang ada bersamaan, studi barubaru ini melaporkan bahwa metilfenidat tidak meningkatkan angka atau intensitas
tic vokal atau motorik pada sebagian besar anak dengan gangguan tic dan
hiperaktivitas. 8,10
2.3.7 Prognosis Sindrom de la Tourette
Gangguan Tourette yang tidak diterapi bisanya adalah penyakit kronis dan
seumur hidup dengan perburukan dan pemulihan relatif. Gejala awal dapat
berkurang, tetap ada, atau meningkat, dan gejala lama dapat digantikan dengan
yang baru. Orang yang mengalami gangguan ini dengan berat bisa dapat memiliki
masalah emosional yang serius, mencakup gangguan depresif berat. Beberapa dari
kesulitan ini tampak terkait dengan gangguan Tourette, sedangkan yang lainnya
terjadi karena konsekuensi sosial, akademik, dan pekerjaan yang berat, yang
merupakan sekuele gangguan ini yang sering terjadi. 10

24

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
ADHD merupakan gangguan yang ditandai dengan adanya
ketidakmampuan anak untuk memusatkan perhatiannya pada sesuatu yang
dihadapi, sehingga rentang waktu perhatian yang dimiliki sangat singkat
dibandingkan anak lain yang seusianya. Gangguan perilaku ini biasanya disertai
dengan gejala hiperaktif dan tingkah laku yang impulsif. Penatalaksanaan ADHD
meliputi terapi farmakoterapi (medikamentosa), terapi perilaku, kombinasi
pengobatan medikamentosa dengan terapi perilaku dan edukasi pasien dan
keluarga mengenai anak ADHD. Sedangkan Tic adalah suatu gerakan motorik
(yang lazimnya mencakup suatu kelompok otot khas tertentu) yang tidak dibawah
pengendalian, berlangsung cepat dan berulang, tidak berirama ataupun suatu hasil
vocal yang timbul mendadak dan tidak ada tujuannya yang nyata. Tic pada
gangguan Tourette merupakan Tic motorik multipel dan satu atau lebih Tic vokal.
3.2 Saran
Perlunya informasi kepada masyarakat tentang gangguan yang bisa
muncul pada masa kanak dan remaja, sehingga dapat ditangani dengan tepat dan
mencegah dampak yang bisa muncul akibat gangguan tersebut secara cepat.
Pemberian informasi kepada masyarakat bisa melalui kontak langsung dengan
masyarakat atau dengan menggunakan media cetak/elektronik.

25

DAFTAR PUSTAKA
1. Maslim R. 2001.Diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: PT Nuh Jaya
2. Maramis W.F. 2005. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga
University Press. p. 63-9.
3. Mangindaaan L. 2010. Buku Ajar Psikiatri: Diagnosis Psikiatrik. Jakarta:
Penerbit FKUI. P. 71-83
4. N.B Moersintowati, Titi S. Sularyo, Soetjiningsih, Hariyono Suyitno dan
IG.N Gde Ranuh. 2008. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Nancy
Pardede. Masa remaja. Jakarta: CV Sagung Seto. p. 138-9, 159-63.
5. American Psychiatric Association. 2005. Diagnostic and statistical
manual of mental disorder (4th. ed) Washington DC: American Psychiatric
Association.
6. Wirawanni, A. 2007. Efek penerapan konsep sensori integrasi yang
dilakukan di rumah untuk menurunkan hiperaktivitas pada anak adhd.
(Tesis tidak diterbitkan). Universitas Katolik Soegija Pranata, Semarang.
7. Grskovic A. Janice. 2010. Understanding Adhd in Girls: Identification
and Social Characteristics. International Journal of Special Education 25,
(1): 172
8. Maslim, Rusdi. 2007. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik
(Psychotropic medication) Edisi 3. Jakarta: Bagian ilmu Kedokteran Jiwa
FK Unika Atma Jaya.
9. Sadocks and Kaplan. 2009. Comprehensive Textbook of psychiatry. In:
Dimsdale, I.R Michael, F.J Keefe & Murray B, editors. Stein. Stress and
Psychiatry. Volume II p. 2407, 2411-12.

26

10. Hawley J.S., Gray S.K. Pediatric Tourette Syndrome. Diunduh dari :

file:///C:/Users/acer/Desktop/PSIKIATRI/289457overview%20tourette
%27s%20disor
der.htm 8 November 2016

Anda mungkin juga menyukai