Anda di halaman 1dari 4

Lembar Tugas Mandiri

Modul Gastrointestinal
Nama

: Matheus Nathanael

NPM

: 1506739085

Kelompok

: KD - 16

Judul

: Etiologi, Patofisiologi dan Diagnosis Penunjang Halitosis

I
II

Pendahuluan
Pembahasan

1. Diagnosis Urin
1.1.Definisi
Spesific gravity mengukur kemampuan ata kinerja ginjal dalam mengkonsentrasikan atau
mengatur keenceran urin dalam kaitannya dengan plasma dengan membandingkan berat partikel
urin dengan berat partikel air suling (1.000)/ Karena urin mengandung berbaga zat, seperti
mineral dan garam, nilai specific gravity urin akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan air,
biasanya erkisar 1.005 1.025, namun berat jenis ini dapat meningkat dengan peningkatan zat
lain, seperti protein dalam urin, atau juga apabila konten cairannya jatuh, seperti apabila
seseorang mengalami kondisi dehidrasi
Pewarna, seperti bahan kontras radiopaque, dieksresikan dalam urin dan kehadirannya dapat
meningkatkan berat jenis. Saat urin menjadi lebih pekat, berat jenis atau nilai specific gravity
akan meningkat. Pada bayi, karena ginjalnya masih bekerja dengan kurang efisien untuk
mengkonsentrasikan urin dibandingkan orang dewasa, berat jenis urin pada bayi cenderung akan
lebih rendah.
Jika zat-zat abnormal dalam urin (protein, glukosa, pewarna) tidak hadir dalam urin namun
ginjal menghasilkan urin pekat dengan peningkatan berat jenis maka penyebab utamanya dapat
meliputi dehidrasi dan peningkatan sekresi hormone anti-diuretik (ADH). ADH dapat
meningkatkan reabsorbsi air tubular sehingga volume urin akan berkurang dan menjadi lebih
pekat. Faktor-faktor seperti trauma, stress, operasi, dan pengobatan dapat berdampak pada
naiknya sekresi ADH.
Penurunan berat jenis terjadi ketika urin menjadi lebih encer.

Pada pasien dengan diabetes insipidus, terdapat kondisi dimana hormone ADH tidak
ada atau mengalami penurunan akibat kelainan pada kelenjar pituitary. Karena ADH

dapt mengatr konsentrasi urin, akibatnya ginjal menghasilkan urin dalam jumlah yang
banyak (15 sampai 20 liter per hari) dengan nilai berat jenis yang menurun.
Penyakit ginjal, seperti glomerulonephritis atau pyelonephritis, dapat mengganggu
kemempuan ginjal untuk menyaring dan menyerap cairan, sehingga urin dapat
memiliki berat jenis yang rendah
Kondisi gagal ginjal biasanya akan menghasikan berat jenis yang tetap, antara 1.007
dan 1.010 karena nefron fungsional mengalami hipertrofi untuk mengkompensasi.
Reaksi kompensasi pada ginjal akan menghasilkan urin yang pada dasarnya isotonic
dengan plasma, terlepas dari waktu atau hari atau asupan cairan.

1.2.pH
Pemeriksaan pH urin digunakan untuk mengukur tingkat keasaman urin untuk menentukan
apakah urin tersebut bersifat acidic atau alkaline dan berfungsi juga sebagai tes skrining untuk
ginjal, pernapasan, dan gangguan metabolism bersama dengan tes lainnya. Urin netral bernilai
pH 7, sehingga urin dengan pH dibawah ini dapat dikatakan sebagai acidic, dan apabila lebih
tinggi maka disebut dengan alkaline. Ginjal dalam prosesnya dapat mengasamkan filrat
glomerular dari pH sekitar 7,4 sampai menjadi pH 6 ketika diekskresikan sebagai urin.
Ginjal berusaha untuk menjaga keseimbangan asam-basa melalui reabsorpsi natrium dan
sekresu tubular ion hydrogen dan ammonium. Retensi dari hasil natrium dalam urin berdampak
pada urin yang akan semakin asam.
pH memiliki peran penting dalam pengembangan batu ginjal. Urin dengan sifat asam dapat
mengakibatkan xanthine, cysteine uric acid, dan batu kalsium oksalat. Sementara urin basa dapat
menghasilkan kalsium karbonat, kalsium fosfat, dan batu magnesium fosfat. Jika batu
berhubungan dengan urin asam, maka diet sebaiknya dimodifikasi untuk menjaga urin alkali, dan
sebaliknya.
1.3.Pemeriksaan Glukosa
Glikosuria, adalah nama lain dati kondisi ditemukannya glukosa dalam urin, dan merupakan
indikasi dari adanya kelainan. Biasanya, kurang dari 0.1% glukosa yang disaring oleh glomeruli
dilewatkan ke dalam urin (<130 mg/24 jam). Ambang ginjal untuk glukosa adalah sekitar 160190mg/dL. Dibawah tingkat ini, ginjal dapat secara efektif menyerap kembali glukosa, tetapi
ketika tingkat glukosa pada darah melebihi tingkat ini maka ginjal tidak dapat menjaga dan
glukosa mulai tumpah ke dalam urin. Dengan demikian, peningkatan glukosa dalam urin dapat
menunjukkan keadaan hiperglikemia atau pengurangan ambang ginjal terhadap glukosa.
Penyebab paling umum dari glikosuria adalah diabetes, ambang ginjal mungkin dapat
menurun selama kehamilan sehingga dapat menyebabkan peningkatan glukosa dalam urin. Selain
it, mengkonsumsi makanan yang sangat tinggi karbohidrat atau menerima infus karbohidrat
dengan hiperalimentasi cepat dibandingkan dengan kinerja pancreas dalan memproduksi insulin
dapat mengakibatkan kondisi glikosuria sementara. Beberapa orang memiliki ambang ginjal yang

lebih rendah dan memungkinkan adanya glukosa dalam urin meskipun kadar glukosa darah
mereka normal.

1.4.Pemeriksaan Keton
U

1.5.Diagnosis Penunjang
a. Organoleptic measurement
Diagnosis dengan menilai bau udara yang dihasilkan dari mulut seseorang dengan langsung
mencium nafas yang dihembuskan pasien. Dengan cara pasien menghembuskan nafas melalui
mulut via pipet, kemudian penguji mencium bau udara yang dihasilkan dengan jarak 20 cm dari
pipet yang digunakan pasien. Skala pengukuran bau terdiri dari 1-5. Metode ini dinilai tidak
mengeluarkan biaya, praktis, dan simple, namun terdapat banyak kesulitan, diantaranya kalibrasi
penguji yang sulit, dan persiapan sebelum melakukan tes. 2
b. Gas chromatography
Pengukuran dengan metode ini lebih dapat diandalkan karena dengan kromatografi gas kita
dapat mengukur VSCs, memisahkan dan menganalisis setiap senyawa yang dapat menguap.
Sampel dikumpulkan dari air liur, lapisan lidah, atau napas yang dihembuskan dan diukur dengan
detector fotometri. Caranya pasien diharuskan menutup mulut dan menahan napas selama 30
detik kemudian udaranya di aspirasi dengan menggunakan jarum suntik khusus, yang nanti akan
diteruskan pada alat cromatograph pada suhu 70C. Hasilnya tepat dan reliable, hanya saja
memakan waktu yang lama, mahal, dan membutuhkan operator yang andal. 2
c. Sulfide monitoring
Pengukuran dengan teknik ini hamper mirip dengan gas chromatography, hanya saja lebih
simple dan tidak mahal, karena pengukuran menggunakan alat portabel. Pasien diharuskan untuk
tidak mengonsumsi makanan 5 menit sebelum dilakukannya pengukuran. Pengukuran dilakukan
dengan memasukkan tube ke dalam mulut pasien, lalu pasien menghembuskan napasnya ke
dalam tube yang langsung terhubung dengan portabel. Senyawa sulfur yang dihasilkan pasien
dapat memicu reaksi elektrokimia yang dapat terbaca oleh alat dan ditampilkan dengan monitor. 2
d. BANA test
Metode deteksi halitosis dengan menggunakan cotton swab, kemudian sampelnya ditaruh
diatas BANA test strip kemudian dimasukkan kedalam slot incubator. Inkubator secara ototmatis
akan menghangatkan sampel ke suhu 55C selama 5 menit. Apabila didapatkan bakteri penghasil
VSC, maka strip akan berubah warna menjadi kebiruan. Semakin pekat warna biru
menggambarkan banyaknya jumlah organisme yang terdapat pada lidah pasien. Strip yang
digunakan pada metode ini mengandung benzoyl-DL-arginine-a-anphthylamide yang dapat

mendeteksi asam lemak rantai pendek dan bakteri gram negative proteolitik obligat anaerob,
yang dapat menghidrolisis substrat tripsin dan menghasilkan halitosis. 2

III

Penutup

Halitosis atau bau mulut dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, penyakit mulut,
pernapasan, pencernaan dapat menyebabkan halitosis. Proses pembusukan sisa-sisa makanan
oleh bakteri yang dibantu enzim dapat menghasilkan senyawa sulfur volatile VSCs yang dapat
menimbulkan bau tak sedap dari mulut dan diekspresikan melalui hembusan napas seseorang.
Menjaga kesehatan mulut, pernapasan dan pencernaan dapat mencegah halitosis, disamping
menjaga kebersihan atau higienitas mulut dan juga menjaga asupan makanan.

Daftar Pustaka
1

2
3
4

Madhushankari GS, Yamunadevi A, Selvamani M, Mohan K, Basandi PS. Halitosis-an


overview: part-1-classification, etiology, and pathophysiology of halitosis. Journal of
Pharmacy&BioAllied Sciences. 2015 Aug; 7(Suppl): S339-43.
Aylikci BU, Colak H. Halitosis: from diagnosis to management. Journal of Natural Science,
Biology and Medicine. 2013 Jun; 4(1): 14-23.
Aydin M, Woodworth CH. Halitosis: a new definition and classification. British Dental
Journal. 2014 Feb; 217: E1. Doi: 10.1038/sj.bdj.2014.552.
Struch F, Schwann C, Wallaschofski H, Grabe HJ, Volzke H, Lerch MM, et al. Self-reported
halitosis and gastroesophageal reflux disease in the general population. Journal of General
Internal Medicine. 2008 Mar; 23(3): 260-266.

Anda mungkin juga menyukai