Case Demensia
Case Demensia
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi
Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah
mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak
organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk
gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran
konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif. Demensia merupakan
kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran.
Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif
serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple) yaitu ; daya ingat , daya fikir ,
daya orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa , kemampuan
menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif , dan ada
kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial
atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan
pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak.
Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi
demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas
65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada
kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen. Dari seluruh
pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita jenis demensia
yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimersdiseases). Prevalensi
demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang
berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada
usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer
membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed). Jenis demensia
yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif
dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan faktor predisposisi bagi
seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari
seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang
berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10
hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut.
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan
menghasilkan lesi parenkhim multipel yang menyebar luas pada otak. Penyebab infark
berupa oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat
lain( misalnya katup jantung). Pada pemeriksaan akan ditemukan bruit karotis, hasil
funduskopi yang tidak normal atau pembesaran jantung.
Patofisiologi
Penelitian akhir-akhir ini juga membuktikan adanya hubungan antara suatu faktor
genetik apolipoprotein E4 dengan kerusakan vaskuler dan juga penyakit serebrovaskuler.
DeCarli et. al menemukan bahwa peningkatan ApoE4 pada pasien-pasien kardiovaskuler dan
juga pada pasien-pasien stroke. ApoE4 akan menyebabkan perubahan level kolesterol serum
dan LDL. ApoE4 ini juga memainkan peran dalam pembentukan arterosklerosis7. ApoE4
akan membantu hemostasis dari kolesterol, dan ini merupakan komponen dari kilomikron,
VLDL, dan produk degradasi mereka. Beberapa reseptor di hati mengenali ApoE, termasuk
reseptor LDL, Reseptor LDL yang terikat protein , dan reseptor VLDL8. Penelitian yang
dilakukan oleh DeLeewu et. al menyimpulkan bahwa pasien dengan ApoE4 adalah beresiko
tinggi terhadap lesi di substansia alba apabila ia juga menderita hipertensi9. Dalam penelitian
terbaru yang dilakukan Kokobu et al, melaporkan adanya hubungan antara ApoE4 dengan
perdarahan subarachnoid. Hal ini membuat dugaan bahwa ApoE4 memainkan peran dalam
respon terhadap trauma sistem saraf pusat 3,4.
Patologi dari penyakit vaskuler dan perubahan-perubahan kognisi telah diteliti.
Berbagai perubahan makroskopik dan mikroskopik diobservasi. Beberapa penelitian telah
berhasil menunjukkan lokasi dari kecenderungan lesi patologis, yaitu bilateral dan melibatkan
pembuluh-pembuluh darah besar ( arteri serebri anterior dan arteri serebri posterior).
Penelitian-penelitian lain mendemonstrasikan keberadaan lakuna-lakuna di otak misalnya di
bagian anterolateral dan medial thalamus, yang dihubungkan dengan defisit neuropsikologi
yang berat. Beberapa lokasi strategis termasuk substansia alba bagian frontal atau basal dari
forebrain, basal ganglia, genu dari kapsula interna hippocampus, mamillary bodies, otak
tengah dan pons.Pada analisis mikroskopik perubahan - perubahan tipe Alzheimer
(neurofibrillary tangles dan plak senile) didapatkan juga sehingga akan merumitkan
gambaran. Istilah demensia campuran digunakan ketika baik perubahan vaskuler dan
degenerasi memberikan kontribusi pada penurunan kognisi3.
juga dihubungkan dengan proses perbaikan pada sistem saraf. Frison et. al menghipotesiskan
bahwa APOE memainkan peran pada metabolisme otak normal, dan terdapatnya alel 4
dalam jumlah besar menandakan adanya kerusakan pada otak baik degeneratif atau vaskuler.
Bagaimanapun juga, semenjak diagnosis VaD ditetapkan dengan menggunakan kriteria
NINDS-AIREN, maka konkurensi dengan Alzheimer Disease adalah mungkin dan
menjelaskan hubungan dengan APOE24.
Resiko yang berhubungan dengan paparan pestisida dan pupuk telah dikonfirmasikan
pada berbagai penelitian terdahulu, dan menjelaskan hubungan dengan daerah rural.
Tingginya insidensi VaD di daerah rural juga dilaporkan Liu et.al, dan. hubungan antara zat
ini juga terdapat pada Alzheimer Disease dan Parkinson4.
Demensia Vaskuler (VaD) merupakan suatu kelompok kondisi heterogen yang
meliputi semua sindroma demensia akibat iskemik, perdarahan, anoksik atau hipoksik otak
dengan penurunan kognisi mulai dari yang ringan sampai paling berat dan meliputi semua
domain, tidak harus dengan gangguan memori yang menonjol6
.Secara garis besar VaD terdiri dari tiga subtipe yaitu :
1. VaD paska stroke yang mencakup demensia infark strategis, demensia multi-infark, dan
stroke perdarahan. Biasanya mempunyai korelasi waktu yang jelas antara stroke dengan
terjadinya demensia.
2. VaD subkortikal, yang meliputi infark lakuner dan penyakit Binswanger dengan kejadian
TIA atau stroke yang sering tidak terdeteksi namun memiliki faktor resiko vaskuler.
3. Demensia tipe campuran, yaitu demensia dengan patologi vaskuler dalam kombinasi
dengan demensia Alzheimer (AD).
Sedangkan pembagian VaD secara klinis adalah sebagai berikut :
1. VaD pasca stroke
Demensia infark strategis : lesi di girus angularis, thalamus, basal forebrain, teritori arteri
serebri posterior, dan arteri serebri anterior.
Multiple Infark Dementia (MID)
Perdarahan intraserebral
2. VaD subkortikal
-Lesi iskemik substansia alba
-Infark lakuner subkortikal
-Infark non-lakuner subkortikal
3. VaD tipe campuran Alzheimer Disease dan Cerebrovascular Disease.
Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan saat ini adalah NINDS-AIREN( National Institute
of Neurological Disorders and Stroke, and LAssociation Internationale pour la Recherche et
LEnseignmement en Neurosciences ).1. Diagnosis klinis probable VaD meliputi semua hal
dibawah ini :a) Demensia b) Penyakit serebrovaskuler (CVD) yang ditandai dengan adanya
defisit neurologik fokal pada pemeriksaan fisik seperti hemiparese, kelumpuhan otot wajah
bawah, refleks Babinski, defisit sensorik, hemianopsia, disartria, dll. Yang konsisten dengan
stroke ( dengan atau tanpa riwayat stroke ), dan bukti yang relevan adanya CVD dengan
pemeriksaan pencitraan otak (CT-scan atau MRI) meliputi stroke multipel pembuluh darah
besar atau infark tunggal tempat strategis ( girus angularis, talamus, basal forebrain, teritori
arteri serebri posterio dan anterior ), atau infark lakuner multipel di basal ganglia dan
substantia alba atau lesi substantia alba periventrikuler luas atau kombinasi dari kelainankelainan di atas.c) Terdapat hubungan antara kedua gangguan diatas dengan satu atau lebih
keadaan dibawah ini : Awitan demensia berada dalam kurun waktu 3 bulan pasca stroke.Deteriorasi fungsi kognisi yang mendadak atau berfluktuasi, defisit kognisi yang progresif..
2. Kriteria diagnosis probable VaD subkortikal :
A. Sindroma kognisi yang meliputi kedua-duanya :
Sindroma disexecution : gangguan formulasi
tujuan,
inisiasi,
perencanaan,
1.
Pemeriksaan
fisik
umum.
Meliputi
observasi
penampilan,
tanda-tanda
vital,
A. Terapi farmakologik.
Penderita dengan faktor resiko penyakit serebrovaskuler misalnya hipertensi, diabetes
melitus, penyakit jantung, arterosklerosis, arteriosklerosis, dislipidemia dan merokok, harus
mengontrol penyakitnya dengan baik dan memperbaiki gaya hidup. Kontrol teratur terhadap
penyakit primer dapat memperbaiki fungsi kognisinya. Terapi simptomatik pada demensia
vaskuler kolinergik sehinggaadalah pemberian kolinesterase inhibitor karena terjadi
penurunan neurotransmiter. Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan obat golongan ini
dapat menstabilkan fiungsi kognisi dan memperbaiki aktivitas harian pada penderita
demensia vaskuler ringan dan sedang. Efek samping kolinergik yang perlu diperhatikan
adalah mual, muntah, diare, bradikardi dan gangguan konduksi supraventrikuler. Terapi nonfarmakologis bertujuan untuk memaksimalkan/mempertahankan fungsi kognisi yang masih
ada.
Program harus dibuat secara individual mencakup intervensi terhadap pasien sendiri,
pengasuh dan lingkungan, sesuai dengan tahapan penyakit dan sarana yang tersedia.
Intervensi terhadap pasien meliputi :
1. Perilaku hidup sehat
2. Terapi rehabilitasi, dilakukan orientasi realitas, stimulasi kognisi, reminiscent, gerak dan
latih otak serta olahraga lain, edukasi, konseling, terapi musik, terapi wicara dan okupasi.
3. Intervensi lingkungan, dilakukan melalui tata ruang, fasilitasi aktivitas, penyediaan fasilitas
perawatan, day care center, nursing home.
Gangguan mood dan perilaku yang ditemukan pada pasien demensia vaskuler dapat
bervariasi sesuai dengan lokasi fungsi otak yang rusak. Gejala yang sering muncul adalah
depresi, agitasi, halusinasi, delusi, ansietas, perilaku kekerasan, kesulitan tidur dan wandering
( berjalan ke sana kemari). Sebelum memulai terapi farmakologis, terapi non-farmakologis
harus dilakukan dulu untuk mengontrol gangguan ini namun dalam prakteknya sering
diperlukan kombinasi kedua metode terapi ini. Penting untuk selalu menganalisa dengan
seksama setiap gejala yang timbul, adakah hubungan gejala perilaku atau psikiatrik dengan
kondisi fisik (nyeri), situasi (ramai, dipaksa, dll) atau semata-mata akibat penyakitnya. Pasien
demensia vaskuler dengan depresi memperlihatkan gangguan fungsional yang labih berat
dibanding pasien demensia Alzheimer tanpa depresi. Obat antidepresan dapat memperbaiki
gejala depresi, mengurangi disabilitas tetapi tidak memperbaiki gangguan kognisi.
Penanganan non-farmakologis;
1. Memberi dorongan aktivitas.
2.Menghindari tugas yang kompleks.
3.Bersosialisasi untuk mengurangi depresi.
4.Konseling dengan psikiater.
Manajemen terapi farmakologis :
1.Semua antidepresan mampunyai efektivitas yang sama dan onset of action dalam jangka
waktu tertentu ( sekitar 2 minggu ) dalam terapi depresi.
2.Pemilihan obat yang tepat berdasarkan riwayat respon obat sebelumnya, efek samping obat
dan interaksi obat .
3. Antidepresan yang dapat dipakai pada pasien demensia vaskuler antara lain
a. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitors ( SSRI ).golongan ini mempunyai
tolerabilitas tinggi pada pasien lansia karena tanpa efek antikolinergik dan kardiotoksik, efek
hipotensi ortostatik yang minimal
b. Golongan Reversible MAO-A Inhibitor (RIMA)
c.Golongan trisiklik. Tidak dianjurkan untuk lanjut usia karena efek sampingnya.Ansietas dan
agitasi.Sebagian pasien demensia vaskuler dapat hipersensitif terhadap peristiwa sekitarnya.
Manajemen terapi non-farmakologi:
1.Usahakan lingkungan rumah yang tenang dan stabil.
2.Tanggapi pasien dengan sabar dan penuh kasih
3.Buatlah aktivitas konstruktif untuk penyaluran gelisahnya.
4.Hindari minuman berkafein untuk membantu mengurangi gejala cemas dan gelisah.
Manajemen terapi farmakologis:
1. Ansiolitik terutama bezodiazepin berguna terutama untuk terapi jangka pendek ansietas
yang tidak terlalu berat atau agitasi.
2. Neuroleptik diindikasikan pada agitasi yang berat, sama sekali tidak dapat tidur,
kegelisahan yang hebat, halusinasi atau delusi.
3. Antidepresan terutama SSRI dan trazadone juga efektif untuk mengobati agitasi.
BAB 2
ILUSTRASI KASUS
Identitas Pasien
Nama
: Ny. S
: 70 tahun
Alamat
Pekerjaan
: tidak bekerja
mudah pelupa sejak 3 bulan yang lalu, awalnya pasien lupa tangga dan hari,
kemudian kesulitan mengingat orang yang baru dikenal maupun teman yang
sudah lama dikenal dan sering mengulang pertanyaan yang sama dan
pekerjaan yang sudah dilakukan. Pasien tidak betah di rumah dan sering
bepergian tanpa tujuan yang jelas. Kemudian pasien kadang-kadang tersesat di
jalan yang sering dilalui. Pasien juga cenderung mudah marah, tersinggung,
cemas. Kehidupan sehari-hari dan sosial juga terganggu. Tidak ada riwayat
Pasien dirawat dengan stroke sejak 4 bulan yang lalu, dirawat selama 15 hari dengan
lemah anggoota gerak kanan secara tiba-tiba tetapi masih sadar. Selain itu diketahui
Kontrol teratur.
Riwayat diabetes melitus, jantung disangkal pasien.
Pemeriksaan Fisik :
Keadaan umum
: Sedang
Frekuensi nadi
: 88 x/menit
Kesadaran
: CMC
Frekuensi nafas
: 20 x/menit
GCS
: 15 (E4,M6,V5)
Suhu
: 36,5o C
Tekanan darah
: 160/100 mmHg
Status gizi
: sedang
Tinggi badan
: 160 cm
Berat badan
: 50 Kg
Status Internus :
Rambut
: tidak membesar
Thorak
Abdomen
Corpus Vertebralis
: deformitas (-)
Genitalia
: tidak diperiksa
Status Neurologis :
1
: (-)
Brudzinsky I : (-)
Kernig
: (-)
Brudzinsky II : (-)
Nervus Kranialis
N. I
: Penciuman baik.
N. II
N. VII
N. VIII
: mendengar suara berbisik dan detik arloji (+/+), tes garpu tala tidak
dilakukan
N. IX
N. X
N. XI
N. XII
: (-)
Finger to nose
: tidak terganggu
Stepping test
: tidak dilakukan
Motorik
Ektermitas Superior
Kanan : aktif, 4/4/4, eutonus, eutrofi
Kiri
Ektremitas Inferior
Kanan : aktif, 4/4/4, eutonus, eutrofi
Kiri
Reflek fisiologis
: +/+
Reflek Patologis
:-/-
Tanda dementia
Fungsi otonom
Miksi
Defekasi
Sekresi keringat
Fungsi Luhur
terganggu
Pemeriksaan laboratorium
Darah : Hb
: 12,3
Leukosit
: 7.800
Trombosit
: 179.000
Hematokrit
: 38%
Na/K/Cl
Ur/kr
: 16/ 0,6
Pemeriksaan Penunjang
Skor MMSE : 16
Kesan
Diagnosis :
1. Diagnosis Klinik
: demensia vaskuler
2. Diagnosis topik
3. Diagnosis etiologi
Aspilet 2x80 mg PO
Doneprezil 1x10 mg PO
Amitriptilin 1x25 mg PO
Neurodex 2x1 tab
BAB 3
DISKUSI
Telah diperiksa seorang permepuan berumur 70 tahun di poliklinik saraf RSUD Solok
pada tanggal 18 Desember 2013 dengan diagnosa klinik demensia vaskular, diagnosa topik
subkorteks serebri hemisfer sinistra, diagnosa etiologi post stroke.
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Demensia
ditegakkan berdasarkan anamnesis bahwa pasien berusia 70 tahun, pasien mempunyai
riwayat stroke yang merupakan penyebab demensia vaskular. Pasien sering dan mudah lupa
dan semakin sering dirasakan keluarga 3 bulan ini pasien sering mengulang pembicaraan,
pertanyaan dan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya. Ada perubahan suasana hati
namun tidak didapatkan perubahan perilaku. Pasien juga memiliki riwayat stroke sejak 4
bulan yang lalu yang ditandai dengan adanya kelemahan anggota gerak kanan.
Dari pemeriksaan fisik ditemukan refleks glabella, snout dan menghisap yang
menunjukkan adanya regresi, serta gangguan kognitif definitif melalui pemeriksaan mini
mental state examination (MMSE) dengan skor 16.
Pada kasus ini, demensia kemungkinan disebabkan oleh proses degenerasi otak dan
hipertensi yang merupakan faktor-faktor resiko demensia karena menimbulkan kerusakan
pada pembuluh darah otak. Setelah pasien mengalami stroke, tidak menutup kemungkinan
bahwa gejala yang dialami menjadi bertambah berat sesuai dengan teori bahwa demensia
berhubungan dengan infark pembuluh darah otak. Demensia juga terjadi kurang dari 3 bulan
setelah pasien mengalami gangguan pembuluh darah otak yang merupakan kriteria untuk
demensia vaskular.
Penatalaksanaan pada pasien ini diberikan anti kolinesterase (doneprezil 1x10 mg),
anti agregasi trombosit (aspilet 2x80 mg po), dimana agregasi trombosit juga merupakan
agent modifying disease pada demensia, antidepresan (amitriptilin 1x25 mg po) karena
penderita mulai tampak depresi dan neurodex 2x1 tablet. Penatalaksanaan non farmakologis
pada penderita demensia antara lain program aktivitas harian penderita (kegiatan harian yang
teratur dan sistematis misalnya aktivitas fisik yang baik , melaksanakan LUPA (latih, ulang,
perhatikan dan asosiasi) serta orientasi realitas (penderita diingatkan akan waktu dan tempat,
beri tanda khusus untuk suatu tempat tertentu).
DAFTAR PUSTAKA
1. Dikot Y, Ong PA, 2007. Diagnosis dini dan penatalaksanaan demensia. Jakarta:
PERDOSSI.
2 Mardjono M, Sidharta P, 2004. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat, hal 211-214
3. Herbert R et al, Incidence and Risk Factors in the Canadian Study of Health and Aging.
American Heart Association, 2000; 3: 1487-933.
4.Geldmacher D, Whitehouse P, Evaluation of Dementia. The New England Journal of
Medicine. 1996; (8);330-364.
5. Taternichi TK, Desmond DW, Mayeux R, et al. Dementia after stroke: baseline frequency,
risks, and clinical features in hospitalized cohort. Neurology.1992; 42(6): 1185-936.
6. Rocca WA, Hoffman Apendiks, Brayne C, et.al. The prevalence of vascular dementia in
Europe: facts and fragments from 1980-1990 studies. EURODEM-Prevalence Research
Group. Ann Neurol. 1991; 30(6): 817-247.
7. DeCarli C, Reed T, Miller BL, et.al.Impact of Apolipprotein E 4 and Vascular Disease om
Brain Morphology in Men from the NHLBI Twin Study. American Heart Association 1999;
(5):1548-538.
8. Beilby JP, Hunt OCJ, et.al. Apolipoprotein E Gene Polymorphism are associated with
Carotid Plaque Formation but not With Intima-media Wall Thickening. American Heart
Association. 2003;(10):869-739.
9. De Leeuw FE, Richard F, De Groot JC, et.al. Interaction Between Hypertension, ApoE,
and Cerebral White Matter Lesions. American Heart Associatiom. 2004;(1): 11057-6210.
10 Leung CHS, Poon WS, et.al. Apolipoprotein E Genotype and Outcome in Aneurysmal
Subarachnoid Hemorrhage. 2002; (10): 548-5