Anda di halaman 1dari 16

L I M FAD EN I T I S TB

Pembimbing
dr. Farhaan ABD, Sp. THT-KL

Oleh :
Dian C. Hutapea
210210094

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS METHODIST INDONESIA
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR
ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
RUMAH SAKIT TK II PUTRI HIJAU MEDAN
2015

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada saya sehingga dapat menyelesaikan paper yang
berjudul Limfadenitis TB untuk melengkapi Tugas Kepaniteraan KlinikSenior
(KKS) di bagian Telinga, Hidung dan Tenggorok Rumah Sakit TK-II Kesdam I
Bukit Barisan Medan.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr.
Farhaan ABD, Sp, THT-KL, dr. M. Siddik Rauf, Sp. THT-KL, dr. Darma Malem,
Sp. THT-KL, dan dr. Patar Lumbanraja, Sp.THT-KL atas bimbingan dan
arahannya selama mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Telinga, Hidung
dan Tenggorok Rumah Sakit TK-II Kesdam I Bukit Barisan Medan.
Penulis menerima kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
meningkatkan manfaat yang dapat diperoleh dari paper ini.
Medan,

Maret 2015

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................
i
DAFTAR ISI....................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................
1
BAB II. PEMBAHASAN................................................................................
2

A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Limfe......................................................


2
B. Limfadenitis TB.........................................................................................
4
1. Defenisi..................................................................................................
4
2. Etiologi..................................................................................................
4
3. Patogenesis ...........................................................................................
4
4. Gejala klinis...........................................................................................
6
5. Diagnosis...............................................................................................
7
6. Diagnosis banding.................................................................................
8
7. Penatalaksanaan.....................................................................................
8
8. Komplikasi.............................................................................................
12
9. Prognosis...............................................................................................
12
BAB III. KESIMPULAN...............................................................................
13
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
14

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuberkulosis masih merupakan masalah terbesar di Indonesia. Prevalensi
mencapai 0,29% dan merupakan penyebab kematian ketiga. Indonesia merupakan
penyumbang kasus TB nomor tiga terbesar di dunia.
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel yang
tersebar di seluruh tubuh. Mempunyai fungsi penting berupa barier atau filter
terhadap kuman-kuman yang masuk ke dalam dan barier pula untuk sel-sel tumor
ganas (kanker). Disamping itu bertugas pula untuk membentuk sel-sel limfosit
darah tepi.
Terdapat sekitar 9 juta kasus baru dan 2 juta kematian akibat tuberkulosis
di seluruh dunia setiap tahun. Insiden limfadenitis TB telah meningkat secara
bersamaan dengan peningkatan kejadian infeksi mikobakteri di seluruh dunia.
Limfadenitis TB terlihat di hampir 35% dari TB Paru, dan sekitar 15-20% dari
semua kasus TB. Kelenjar getah bening di leher merupakan tempat yang paling
sering terjadi, angka kejadian sekitar 60-90% dengan atau tanpa keterlibatan
jaringan limfoid lainnya.
Limfadenitis merupakan manifestasi dari penyakit tuberkulosis. Pada
sebagian besar penelitian, insiden kejadian sering pada perempuan (2:1), juga ada
peningkatan frekuensi limfadenitis TB di benua asia. Infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) dikaitkan dengan peningkatan frekuensi TB Paru
dan luar paru terutama limfadenitis.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Limfe
Sistem saluran limfe berhubungan erat dengan sistem sirkulasi darah.
Darah meninggalkan jantung melalui arteri dan dikembalikan melalui vena.
Sebagian cairan yang meninggalkan sirkulasi dikembalikan melalui saluran limfe,
yang merembes dalam ruang-ruang jaringan. Hampir seluruh jaringan tubuh
mempunyai saluran limfatik kecuali: permukaan kulit, sistem saraf pusat, bagian
dalam saraf perifer, endomisium otot, dan tulang (Pearce, 2012).
Fungsi kelenjar limfe:
-

Mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi darah.


Mengangkut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah.
Untuk membawa lemak yang sudah dibuat emulsi dari usus ke sirkulasi

darah. Saluran limfe yang melaksanakan fungsi ini ialah saluran lakteal.
Kelenjar limfe menyaring dan menghancurkan mikroorganisme untuk
menghindarkan penyebaran organisme itu dari tempat masuknya ke dalam

jaringan, ke bagian lain tubuh.


Apabila ada infeksi, kelenjar limfe menghasilkan zat antibodi untuk
melindungi tubuh terhadap kelanjutan infeksi (Pearce, 2012).
Limfonodi berbentuk kecil lonjong atau seperti kacang dan terdapat di

sepanjang pembuluh limfe. Kelompok-kelompok utama terdapat di dalam leher,


axial, thorax, abdomen, dan lipat paha, namun hanya di daerah submandibular
(rahang bawah), ketiak dan lipat paha yang teraba normal pada orang sehat
(Bonaditya, 2014).
Sistem aliran limfa leher
Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada sisi leher, kebanyakan pada
rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius yang terbentang antara klavikula
sampai dasar tengkorak.
Letak kelenjar limfa leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center
Classification dibagi dalam 5 daerah penyebaran, yaitu:
1. Kelenjar yang terletak di segitiga sub-mental dan submandibula.
2. Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugular
superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior.

3. Kelenjar limfa jugularis diantara buficartio karotis dan persilangan


m.omohioid

dengan

m.sternokleidomastoid

dan

batas

posterior

m.sternokleiomastoid.
4. Grup kelenjar di daerah juguaris inferior dan supraklavikula.
5. Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal (Soepardi, 2007).

Gambar 2.1 Daerah aliran limfa leher


B. Limfadenitis TB
1. Definisi
Limfadenitis TB merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah
bening yang disebabkan oleh M. tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut scrofula (Dorland, 2000),
Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang biasanya paling sering
terjadi (Kumar, 2011). Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang berarti
pembengkakan kelenjar. Infeksi M. tuberkulosis pada kulit oleh karena perluasan

langsung tuberkulosis ke kulit atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis


disebut scrofuloderma (Dorland, 2000).
2. Etiologi
Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini berbentuk
batang, berukuran 1-4 mikron dan tebal 0,3-0,6 mikron, mempunyai sifat khusus
yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan. Maka disebut pula sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Bakteri ini terdiri dari asam lemak dan lipid yang membuat
lebih tahan asam. Bisa bertahan hidup bertahun-tahun. Sifat lain adalah aerob,
lebih menyukai jaringan kaya oksigen terutama pada daerah apikal posterior.
Secara khas kuman membentuk granula dalam paru menimbulkan nekrosis atau
kerusakan jaringan. Kuman TB dapat mati pada paparan sinar matahari langsung
dan dapat hidup dalam beberapa jam di tempat gelap dan lembab. Dalam jaringan
tubuh dapat dormant (tertidur) selama bertahun-tahun.
3. Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasi menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB Pulmoner diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB primer sering
terjadi pada anak-anak, sedangkan TB Pulmoner post-primer (sekunder) sering
terjadi pada dewasa, walaupun faktanya TB primer dapat terjadi pada orang
dewasa (Raviglione, 2010).
M. tuberkulosis juga dapat menyerang organ lain selain paru yang disebut
sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010) organ ekstrapulmoner
yang sering diinfeksi oleh M. tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura,
saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan perikardium.
Limfadenitis TB dapat terjadi selama infeksi TB primer atau sebagai
akibat dari reaktivasi fokus aktif. Infeksi primer terjadi pada paparan awal basil
tuberkel. Droplet nuklei terhirup cukup kecil untuk melewati mucosilia
pertahanan pada bronki sampai ke terminal alveoli paru-paru. Basil berkembang
biak di paru-paru yang disebut fokus Gohn.
Limfatik membawa basil ke kelenjar getah bening hilus. Fokus Gohn dan
limfadenopati membentuk kompleks primer. Infeksi menyebar dari fokus utama
ke KGB regional. Dari nodus regional, organisme dapat terus menyebar melalui

sistem limfatik ke nodus lain atau mungkin melewati nodus untuk mencapai aliran
darah sehingga dapat menyebar hampir ke semua organ tubuh.
Limfadenitis TB pada leher biasanya disebabkan oleh penyebaran dari
fokus utama seperti infeksi di amandel, kelenjar gondok atau osteomielitis sinosial
tulang etmoid. Bakteri dapat masuk melalui makanan ke rongga mulut dan
melalui tonsil mencapai kelenjar limfe di leher. Sering tanpa tanda TB Paru.
Kelenjar yang sakit akan membengkak dan mungkin sedikit nyeri. Mungkin
secara berangsur kelenjar didekatnya satu demi satu terkena radang yang khas.
Selain itu dapat juga terjadi perilimfadenitis sehingga beberapa kelenjar dapat
melekat satu sama lain berbentuk massa.
Bila mengenai kulit, kulit akan meradang, merah, bengkak, dan mungkin
sedikit nyeri. Kulit akhirnya menipis dan pecah mengeluarkan cairan seperti keju.
Tukak yang terbentuk akan berwarna pucat dengan tepi membiru disertai sekret
jernih yang jika sembuh akan meninggalkan jaringan parut yang tipis atau
berbintil-bintil. Suatu saat tukak meradang lagi dan mengeluarkan cairan seperti
keju lagi. Kulit seperti ini disebut skrofuloderma.

Gambar 2.3 Limfadenitis tuberkulosis

Gambar 2.4 Skrofuloderma


4. Gejala Klinis
Limfadenitis adalah persentasi klinis yang umum dari TB ekstra paru.
Limfadenitis TB juga bisa merupakan manifestasi lokal dari penyakit sistemik.

Limfadenitis TB paling sering terjadi pada kelenjar getah bening leher,


mediastinum, ketiak, mesenterika, hepar, dan kelenjar getah bening inguinalis.
Durasi gejala sebelum ada diagnosis pasti dapat berkisar dari beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Mungkin akan muncul massa yang akan tumbuh lambat
beberapa minggu sampai beberapa bulan. Sebagian besar berada di servikal
posterior dan jarang di daerah supraklavikula. Ada riwayat kontak TB.
Pembentukan fistula terlihat dihampir 10% dari limfadeni tis servikalis. Nodus
servikalis di wilayah submandibula yang paling sering terkena pada anak-anak.
Pada anak-anak lesi yang timbul biasanya hanya satu dan sering dicurigai sebagai
neoplasma.
Pada limfadenitis TB pasien sering datang dengan demam ringan, penurunan berat
badan dan kelelahan, sering juga dengan keringat malam. Batuk bukan merupakan
gejala yang menonjol dari limfadenitis TB.
Jones dan Campbell mengklasifikasi limfadenitis TB menjadi 5 stadium:
1. Stadium 1 : pembesaran kelenjar berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2 : pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksir ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3 : perlunakan di bagian tengah karena pembentukan abses.
4. Stadium 4 : pembentukan abses pada leher
5. Stadium 5 : pembentuk saluran (sinus).
Gambaran klinis tergantung pada tahap penyakit. Kelenjar getah bening biasanya
tidak nyeri tekan kecuali:
-

Infeksi bakteri sekunder


Nodul yang cepat membesar
Ada bukti pengidap HIV.

Secara umum, abses pada limfadenitis menunjukkan sinus tuberkulosis telah tipis,
kebiruan dan mengandung cairan yang jika pecah menimbulkan tukak yang
disebut skrofuloderma.
5. Diagnosis
a. Anamnese :
-

Riwayat kontak TB
Riwayat batuk dan demam.
Status gizi.

b. Pemeriksaan fisik: Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran


kelenjar getah bening yang tidak nyeri (pada umumnya di servikalis posterior dan
supraklavikular).

Pemeriksaan kelenjar limfa leher


Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba dengan kedua belah tangan
seluruh daerah leher dari atas ke bawah. Bila terdapat pembesaran kelenjar limfa,
tentukan ukuran, bentuk, konsistensi, perlekatan dengan jaringan sekitarnya dan
lokasinya.

c. Laboratorium:
-

FNAB (Fine Needle Aspiration Biopsy): Gold standart.


Dengan cara menyuntikkan sebuah jarum yang halus (lebih kecil dari
jarum suntik biasa) ke bagian yang membenjol lalu melakukan aspirasi
(penyedotan) untuk mengambil isi bagian itu kemudian di periksa oleh
dokter ahli patologi. Akan menunjukkan gambaran granuloma (berupa
perkijuan) yang terbentuk dari agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh

limfosit.
Pemeriksaan sputum 3 kali (Sewaktu, Pagi, Sewaktu)
Cairan pleura
Cairan serebrospinal

d. Fotothoraks
Lesi TB aktif :
-

Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru.


Kavitas (seperti lubang).

e. Test Tuberkulin cara Mantoux:


Menyuntikkan 0,1 ml PPD RT 23 2TU atau PPD 5 TU secara intrakutan di bagian
volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.
Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul bukan hiperemis atau
eritemanya. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi

indurasi dan hasilnya dinyatakan dalam milimeter. Secara umum diameter


indurasi 10 mm dinyatakan positif.
6. Diagnosis banding.
-

Parotitis epidemika
Kanker nasofaring

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan limfadenitis dibagi menjadi dua bagian, yakni secara
farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan
pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obat
yang sama dengan tuberkulosis paru.
A. Terapi Non Farmakologis
Pembedahan bukan pilihan terapi yang utama. Prosedur pembedahan yang dapat
dilakukan adalah dengan:

Biopsi eksisional

Aspirasi
Indikasi pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat radang tuberkulosis
sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa. Adanya jaringan
nekrosis akan menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga
pembasmian kuman tidak efektif, oleh karena itu sering di berbagai organ
misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah
menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis.
B. Terapi Farmakologis
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasi
limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) Kategori 1. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu
tahap intensif dan tahap lanjutan. Pada tahap intensif penderita mendapat obat
setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.
Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan.
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk mmbunuh
kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
8

Regimen

pengobatan

yang

digunakan

pada

Limfadenitis

TB

(2RHZE/4H3R3): Pada tahap intensif Rifamfisin, Isoniazid, Pirazinamid dan


Etambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan
tahap lanjutan yang terdiri dari Rifamfisin dan Isoniazid diberikan tiga kali dalam
seminggu selama 4 bulan.
Kemajuan bidang farmakologik telah memungkinkan untuk membuat
tablet kombinasi dari berbagai macam obat anti TBC (dikenal FDC : fixed dose
combination) sehingga penderita lebih nyaman menelan tablet dalam jumlah
sedikit.
Jenis tablet FDC untuk dewasa:
1. Tablet yang mengandung 4 macam obat (4FDC) yang dalam setiap tablet
mengandung: 75 mg Isoniazid (INH), 150 mg Rifamfisin, 400 mg
Pirazinamid dan 275 mg Etambutol.
Pada tahap intensif tablet ini diminum setiap hari dan jumlah tablet
disesuaikan dengan berat badan penderita.
2. Tablet yang mengandung 2 macam obat (2FDC) yang dalam setiap tablet
mengandung: 150 mg Isoniazid (INH) dan 150 mg Rifamfisin.
Pada tahap lanjutan tablet ini digunakan 3 kali seminggu dan jumlah tablet
disesuaikan dengan berat badan penderita.
Selain itu, obat lain untuk melengkapi pada kategori 2:
- Tablet Etambutol @ 400 mg
- Streptomisin injeksi, vial @ 750 mg atau vial @ 1 gr
- Aquabidest.
Jenis tablet FDC pada anak:
1. Tablet yang mengandung 3 macam obat (3 FDC) yang setiap tablet
mengandung: 30 mg Isoniazid, 60 mg Rifamfisin dan 150 mg Pirazinamid.
Pada tahap intensif tablet ini diminum setiap hari dan jumlah tablet
disesuaikan dengan berat badan penderita.
2. Tablet yang mengandung 2 macam obat (2 FDC) yang setiap tablet
mengandung 30 mg Isoniazid dan 600 mg Rifamfisin.
Pada tahap lanjutan tablet ini diminum setiap hari dan jumlah tablet
disesuaikan dengan berat badan penderita.
Pengobatan limfadenitis TB masuk Kategori 1.
a. Pada dewasa :
- Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.
- Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 3 kali = 48 dosis.
b. Pada anak:

- Tahap intensif: 2 bulan x 4 minggu x 7 hari = 56 dosis.


- Tahap lanjutan: 4 bulan x 4 minggu x 7 hari = 112 dosis.
Tabel 2.1 Dosis panduan OAT Dewasa

Berat badan

Tahap intensif tiap hari

Tahap lanjutan 3 kali seminggu

selama 56 hari

selama 16 minggu

30-37 kg

2 tablet 4FDC

2 tablet FDC

38-54 kg

3 tablet 4FDC

3 tablet 4FDC

55.70 Kg

4 tablet 4FDC

> 71 kg

4 tablet 4FDC

5 tablet 4FDC

5 tablet 4FDC

Tabel 2.2 Dosis OAT pada Anak


Berat badan (kg)
7
89
10 14
15 19
20 24
25 29

2 bulan tiap hari


1 tablet 3FDC
1,5 tablet 3FDC
2 tablet 3FDC
3 tablet 3FDC
4 tablet 3FDC
5 tablet 3FDC

4 bulan tiap hari


1 tablet 3FDC
1,5 tablet 3FDC
2 tablet 3FDC
3 tablet 3FDC
4 tablet 3FDC
5 tablet 3FDC

Tabel 2.5 Efek samping ringan Obat Anti Tuberkulosis


Efek samping
Tidak nafsu makan,

Penyebab
Rifamfisin

Penatalaksanaan
Semua OAT diminum malam sebelum

mual, sakit perut


Nyeri sendi
Kesemutan s/d rasa

Pirazinamid
INH

tidur
Beri aspirin
Beri vitamin B6 (piridoxin) 100 mg per

terbakar di kaki
Urine kemerahan

Rifamfisin

hari
Hanya beri penjelasan kepada pasien

Tabel 2.6 Efek samping berat OAT


Efek samping
Gatal, kemerahan kulit
Tuli

Penyebab
Semua jenis OAT
Streptomisin

Penatalaksanaan
Evaluasi penyebab, Beri antihistamin
Streptomisin hentikan, ganti

Gangguan

Streptomisin

Etambutol
Streptomisin hentikan ganti Etambutol

keseimbangan
Ikterus tanpa penyebab

Hampir semua OAT

Hentikan semua OAT sampai ikterik


10

lain
Bingung dan muntahmuntah
Gangguan penglihatan
Purpura dan syok

Hampir semua OAT

menghilang
Hentikan semua OAT segera lakukan

Etambutol
Rifamfisin

test fungsi hati


Hentikan etambutol
Hentikan rifamfisin

Tabel 2.7 Kontrainfikasi OAT


Obat
Rifamfisin
Etambutol
Pirazinamid
Isoniazid
Streptomisin

Kontraindikasi
Hipersensitivitas, Ikterus
Neuritis optik, Anak < 13 tahun
Kerusakan hati berat
Penyakit hati yang diinduksi obat
Gangguan pendengaran, Kehamilan, Myastenia gravis

8. Komplikasi
Abses pada limfadenitis menunjukkan sinus tuberkulosis telah tipis,
kebiruan dan mengandung cairan yang jika pecah menimbulkan tukak

yang disebut skrofuloderma.


Sepsis : denyut jantung 90x/menit. Suhu tubuh > 38 C atau rendah < 36 C,
frekuensi pernapasan > 20x/menit PaCO2 < 32 mmHg, dan Jumlah sel
darah putih tidak normal (> 12.000 atau < 4000)

9. Prognosis
Tergantung pada keadaan sosial ekonomi pasien, kebiasaan hidup sehat serta
ketekunan berobat. Bila diagnosa dapat ditegakkan pada stadium dini maka
prognosis baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuberkulosis ekstrapulmonal yang paling umum terjadi adalah kelenjar
getah bening tuberkulosis atau dikenal dengan limfadenitis TB.
Limfadenitis tuberkulosis dicirikan dengan pembesaran kelenjar getah
bening yang tidak nyeri (pada umumnya di servikalis posterior dan
supraklavikular).
Penatalaksanaan limfadenitis dibagi menjadi dua bagian, yakni secara
farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis adalah dengan

11

pembedahan, sedangkan terapi farmakologis memiliki prinsip dan regimen obat


yang sama dengan tuberkulosis paru.

B. Saran
Diharapkan makalah selanjutnya dapat membahas lebih mendetail
mengenai limfadenitis tuberkulosis sehingga menjadi bermanfaat bagi semua.

12

DAFTAR PUSTAKA
1. Amalia. 2013. Pendekatan diagnosis limfadenopati. Jakarta: cermin dunia
2.
3.
4.
5.

kedokteran.
Bagian Farmakologi FK UGM. 2008. Farmakoterapi Antiinfeksi/Antibiotika.
Bonaditya. 2014. Kelenjar getah bening. Wikipedia.
Brooks. 2012. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 23. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman nasional

penanganan tuberkulosis. Jakarta: Depkes RI.


6. Kumar. 2011. Limfadenitis tuberkulosis. Dalam: Buku ajar patologi. Edisi 2.
Vol 2. Jakarta: EGC.
7. PDPI. 2011. Pedoman nasional penanggulangan tuberkulosis. Jakarta:
Kemenkes RI direktorat jendral pengendalian penyakit dan penyehat
lingkungan.
8. Pearce E. 2012. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta: PT.Gramedia
9. Sharma. 2011. Extrapulmonary tuberculosis. Indian: journal of medicine
microbiology Res.
10. Soepardi. 2007. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
dan leher. Edisi keenam. Jakarta: FKUI.
11. Spelman.
2013.
Tuberculosis
lympadenitis.

Available

from:

www.uptodate.com
12. World Health Organisation. 2013. Global tuberculosis control. Geneva: WHO.

13

Anda mungkin juga menyukai