NIM : 151000458
Kelas : E
Bambang Suwerda, Pendiri Bank Sampah Gemah Ripah
Aktif mengajar sebagai dosen di Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan di Yogyakarta tak membuat
Bambang Suwerda terjebak rutinitas. Ketika ide itu
muncul, langsung dia berusaha mewujudkannya. Maka,
lahirlah Bank Sampah Gemah Ripah yang kini sudah
diterapkan di 20 desa di Bantul, DI Yogyakarta.
Sebagai dosen tentang kesehatan masyarakat, dia menginginkan masyarakat di sekitar
rumahnya hidup sehat. Begitu demam berdarah dengue (DBD) menyerang kampungnya,
Bambang resah. Dia lantas menggagas pembentukan bengkel kesehatan lingkungan. Dalam
benak Bambang, dengan membentuk bengkel kesehatan lingkungan, ia bisa mengajak warga
untuk lebih peduli pada kebersihan lingkungan. Dengan kepedulian itu, kasus DBD otomatis
akan turun jumlahnya.
"Saya mulai dari hal sederhana, yakni membuang sampah, seperti kaleng bekas, pada
tempatnya agar tidak menampung air. Masyarakat saya ajak untuk mengumpulkan sampah
dan memilahnya. Awalnya respons masyarakat tidak terlalu bagus karena mereka menilai
sampah adalah urusan cetek yang tak perlu dibuat serius," kata Bambang.
Respons warga yang tidak menggembirakan itu membuat dia harus berpikir keras.
Sampai suatu saat ia melihat tayangan televisi yang menceritakan aktivitas sebuah komunitas
dalam membangun bank sampah.
"Namun, konsep mereka baru sebatas mengumpulkan, lalu mengolahnya menjadi
produk yang lebih bermanfaat," katanya.
Istilah bank sampah membuat dia langsung teringat pada aktivitas perbankan. Meski
latar belakang pendidikannya adalah teknik lingkungan, Bambang mencoba mengadopsi
konsep bank konvensional pada bank sampah yang digagasnya. "Waktu itu saya kepikiran
bagaimana mengelola sampah seperti mengelola uang di bank. Gagasan itu kemudian saya
lontarkan kepada anggota kelompok dan mereka menerima," katanya.
Butuh Proses
Setelah digagas cukup matang, momentum peringatan dua tahun gempa yang melanda
Yogyakarta pada 2008 dimanfaatkan untuk meluncurkan gerakan bank sampah. Pada masa
awal banyak warga yang masih bingung dengan konsep tersebut sehingga gerakan bank
sampah kurang berjalan efektif. Baru sekitar sebulan kemudian, masyarakat bisa
menerimanya.
Para peserta bank sampah disebut nasabah. Setiap nasabah datang dengan tiga
kantong sampah yang berbeda. Kantong pertama berisi sampah plastik; kantong kedua adalah
sampah kertas; dan kantong ketiga berisi sampah kaleng dan botol.
Setelah ditimbang, nasabah akan mendapatkan bukti setor dari petugas yang
diibaratkan sebagai teller bank. Bukti setoran itu menjadi dasar penghitungan nilai rupiah
sampah yang kemudian dicatat dalam buku tabungan nasabah.
Setelah sampah yang terkumpul cukup banyak, petugas bank sampah akan
menghubungi pengumpul barang bekas. Pengumpul barang bekas yang memberikan nilai
ekonomi setiap kantong sampah milik nasabah. Catatan nilai rupiah itu lalu dicocokkan
dengan bukti setoran, baru kemudian dibukukan.
Harga sampah dari warga itu bervariasi, tergantung klasifikasinya. Kertas karton,
misalnya, dihargai Rp 2.000 per kilogram dan kertas arsip Rp 1.500 per kg. Sedangkan
plastik, botol, dan kaleng harganya disesuaikan dengan ukuran.
Setiap nasabah memiliki karung ukuran besar yang ditempatkan di bank untuk
menyimpan sampah yang mereka tabung. Setiap karung diberi nama dan nomor rekening
masing-masing nasabah. Karung-karung sampah itu tersimpan di gudang bank yang terletak
tak jauh dari rumah Bambang.
Tak jauh berbeda dengan bank konvensional umumnya, bank sampah juga
menerapkan sistem bagi hasil dengan memotong 15 persen dari nilai sampah yang disetor
individu nasabah. Sedangkan sampah suatu kelompok dipotong 30 persen. Dana itu
digunakan untuk biaya operasional bank sampah.
Tak konsumtif
Jika nasabah bank konvensional bisa mengambil dananya setiap saat, nasabah bank
sampah hanya bisa menarik dana setiap tiga bulan sekali. Tujuannya agar dana yang
terkumpul bisa lebih banyak sehingga uang tersebut bisa dimanfaatkan sebagai modal kerja
atau keperluan yang sifatnya produktif.
"Kalau dibebaskan (nasabah bisa mengambil kapan saja), mereka bisa jadi konsumtif.
Dana baru terkumpul Rp 20.000-Rp 30.000, mereka sudah tergiur mengambilnya. Dengan
aturan sekali dalam tiga bulan, mereka bisa menarik dananya Rp 100.000-Rp 200.000,
tergantung banyaknya sampah yang ditabung," kata Bambang.
Tak semua sampah nasabah disetorkan kepada pengumpul barang bekas. Sebagian di
antaranya, seperti sampah plastik bekas pembungkus makanan dan gabus, diolah sendiri oleh
bank sampah. Plastik diolah menjadi aneka produk, seperti tas, dompet, dan rompi.
Kesuksesan Bank Sampah Gemah Ripah di Dusun Bandegan, Bantul, Yogyakarta, itu
menginspirasi daerah lain. Kini, bank sampah telah diterapkan di 20 desa di Bantul,
melibatkan sekitar 1.000 keluarga.
Dengan moto "menabung sampah, hidup lebih bersih dan hari esok lebih baik", bank
sampah menjadi solusi penanganan sampah yang selama ini menumpuk. Sebagai daerah yang
memiliki tempat pembuangan akhir (TPA), setiap hari Bantul menerima 350-400 ton sampah.
"Gerakan bank sampah ini seharusnya menjadi gerakan kolektif penanganan sampah.
Tak bisa masing-masing kita bergerak sendiri-sendiri," ujar Bambang yang tengah sibuk
menjadi relawan bagi para korban letusan Gunung Merapi.
Sumber: Kompas, 3 November 2010 | Penulis: Eny Prihtiani
ENSIKONESIA - ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/287-wiki-tokoh/2925-bank-sampahgemah-ripah
Copyright tokohindonesia.com