Anda di halaman 1dari 10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Campak, measles atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus

campak. Penyakit ini sangat infeksius, dapat menular sejak awal masa prodormal sampai
lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam. Penyebaran infeksi terjadi dengan perantara
droplet. (Pudjiadi, A etc 2010)
2.2

Etiologi
Campak adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh RNA virus genus

Morbillivirus, famili Paramyxoviridae. Virus ini dari famili yang sama dengan virus
gondongan (mumps), virus parain_uenza, virus human metapneumovirus, dan RSV
(Respiratory Syncytial Virus). Virus campak berukuran 100-250 nm dan mengandung inti
untai RNA tunggal yang diselubungi dengan lapisan pelindung lipid. Virus campak memiliki
6 struktur protein utama. Protein H (Hemagglutinin) berperan penting dalam perlekatan virus
ke sel penderita. Protein F (Fusion) meningkatkan penyebaran virus dari sel ke sel. Protein M
(Matrix) di permukaan dalam lapisan pelindung virus berperan penting dalam penyatuan
virus. Di bagian dalam virus terdapat protein L (Large), NP (Nucleoprotein), dan P
(Polymerase phosphoprotein). Protein L dan P berperan dalam aktivitas polimerase RNA
virus, sedangkan protein NP berperan sebagai struktur protein nucleocapsid. Karena virus
campak dikelilingi lapisan pelindung lipid, maka mudah diinaktivasi oleh cairan yang
melarutkan lipid seperti eter dan kloroform. Selain itu, virus juga dapat diinaktivasi dengan
suhu panas (>370C), suhu dingin (<200C), sinar ultraviolet, serta kadar (pH) ekstrim (pH <5
dan >10).5,7 Virus ini jangka hidupnya pendek (short survival time), yaitu kurang dari 2 jam.
(Soedarmo, S etc 2010)

2.3

Epidemiologi
Di Indonesia, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) campak menduduki

tempat ke-5 dalam urutan dalam urutan 10 macam penyakit utama pada bayi (0,7%) dan
tempat ke-5 dalam urutan 10 macam penyatin utama pada anak usia 14 tahun (0,77%).
(Soedarmo, S etc 2010)
Campak merupakan penyakit endemis, terutama di negara sedang berkembang. Di
Indonesia penyakit campak sudah dikenal sejak lama. Di masa lampau campak dianggap
sebagai suatu hal yang harus dialami setiap anak, sehingga anak yang terkena campak tidak
perlu diobati, mereka beranggapan bahwa penyakit campak dapat sembuh sendiri bila ruam
sudah keluar. Ada anggapan bahwa semakin banyak ruam yang keluar semkin baik. Bahkan
ada usaha dari masyarakat untuk mempercepat keluarnya ruam. Ada kepercayaan bahwa
penyakit campak campak akan berbahaya bila ruam tidak keluar pada kulit sebab ruam akan
muncul di dalam rongga tubuh lain seperti dalam tenggorokan, paru, perut atau usus. Hal ini
diyakini akan diyakini akan menyebabkan anak sesak nafas atau diare, yang dapat
menyebabkan kematian. Dari penelitian retrospektif dilaporkan bahwa campak di Indonesia
ditemukan sepanjang tahun. Studi kasus campak yang rawat inap di rumah sakitselama kurun
waktu lima tahun (1984-1988), memperlihatkan peningkatan kasus pada bulan Maret dan
mencapai puncak pada bulan Mei, Agustus, September, dan Oktober. (Soedarmo, S etc 2010)
Menurut kelompok umur kasus campak yang rawat inap di rumah sakit selama kurun
waktu 5 tahun (1984-1988) menunjukkan proporsi yang terbesar dalam golongan umur balita
dengan perincian 17,6% berumur <1 tahun, 15,2% berumur 1 tahun, 20,3% berumur 2 tahun,
12,3% berumur 3 tahun dan 8,2% berumur 4 tahun. (Soedarmo, S etc 2010)

2.4

Patofisiologi
Penularannya sangat efektif, dengan sedikit virus yang infeksius sudah dapat

menimbulkan infeksi pada seseorang. Penularan campak terjadi secara droplet melalui udara,
sejak 1-2 hari sebelum timbul gejala klinis sampai 4 hari setelah timbul ruam. Di tempat awal
infeksi, penggandaan virus sangat mnimalis dan jarang dapat ditemukan virusnya. Virus
masuk ke dalam limfatik lokal, bebas maupun berhubungan dengan sel mononuklear,
kemudian mencapai kelenjar getah bening regional. Di sini virus memperbanyak diri dengan
sangat perlahan dan dimulailah penyebaran ke sel jaringan limforetikular seperti limfa. Sel
mononuklear yang terinfeksi menyebabkan terbentuknya sel raksasa berinti banyak (sel
Warthin), sedangkan limfosit-T (termasuk T-supressor dan T-Helper) yang rentan terhadap
infeksi, turut aktif membelah. (Soedarmo, S etc 2010)
Gambaran kejadian awal di jaringan limfoid masih belum diketahui secara lengkap,
tetapi 5-6 hari setelah infeksi awal, terbentulah fokus infeksi yaitu ketika virus masuk ke
dalam pembuluh darah dan menyebar ke permukaan epitel orofaring, konjungtiva, saluran
nafas, kulit, kandung kemih dan usus. (Soedarmo, S etc 2010)
Pada hari ke 9-10, fokus infeksi yang berada di epitel saluran nafas dan konjungtiva,
akan menyebabkan timbulnya nekrosis pada satu sampai dua lapis sel. Pada saat itu virus
dalam jumlah banyak masuk kembali ke pembuluh darah dan menimbulkan manifestasi klinis
dari sistem saluran nafas diawali dengan keluhan batuk pilek disertai selaput konjungtiva
yang tampak merah. Respon imun yang terjadi adalah proses peradangan epitel pada sistem
saluran pernafasan diikuti dengan manifestasi klinis berupa demam tinggi, anak tampak sakit
berat dan tampak suatu ulsera kecil pada mukosa pipi yang disebut bercak Koplik, yang dapat
tanda pasti untuk menegakkan diagnosis. (Soedarmo, S etc 2010)
Selanjutnya daya tahan tubuh menurun. Sebagai akibat respons

delayed

hipersensitivity terhadap antigen virus, muncul ruam makulopapular pada hari ke-14 sesudah
awal infeksi dan pada saat itu antibodi humoral dapat dideteksi pada kulit. Kejadian ini tidak
tampak pada kasus yang mengalami defisit sel-T. (Soedarmo, S etc 2010)

Fokus infeksi tidak menyebar jauh ke pembuluh darah. Vesikel tampak secara
mikroskopik di epidermis tetapi virus tidak berhasil tumbuh di kulit. Penelitian dengan
imunofluoresens dan histologik menunjukkan danya anigen campak dan diduga terjadi suatu
reaksi Arthus. Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan
kesempatan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lain-lain.
Dalam keadaan tertentu pneumonia juga dapat terjadi, selain itu campak dapat menyebabkan
gizi kurang. (Soedarmo, S etc 2010)

2.5

Diagnosis

2.5.1

Anamnesis
- Adanya demam tinggi terus menerus 38,5 C atau lebih disertai batuk, pilek, nyeri

menelan, mata merah dan silau bila terkena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti diare.
- Pada hari ke 4-5 demam timbul ruam kulit, didahului oleh suhu yang meningkat
lebih tinggi dari semula. Pada saat ini anak dapat mengalami kejang demam.

- Saat ruam timbul, batuk dan diare dapat bertambah parah sehingga anak mengalami
sesak nafas atau dehidrasi. Adanya kulit kehitaman dan bersisik (hiperpigmentasi) dapat
merupakan tanda penyembuhan. (Pudjiadi, A etc 2010)

2.5.2

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis terjadi setelah masa tunas 10-12 hari, terdiri dari 3 stadium:
- Stadium prodormal: berlangsung 2-4 hari, ditandai dengan demam yang diikuti

dengan batuk, pilek, faring merah, nyeri menelan, stomatitis, dan konjungtivitis. Tanda
patognomomik timbulnya enantema mukosa pipi di depan molar tiga disebut bercak Koplik.
- Stadium erupsi: ditandai dengan timbulnya ruam makulopapular yang bertahan
selama 5-6 hari. Timbulnya ruam dimulai dari batas rambut di belakang telinga, kemudian
menyebar ke wajah, leher dan akhirnya ke ekstremitas.
- Stadium penyembuhan (konvalesens): setelah 3 hari ruam berangsur-angsur
menghilang susuai urutan timbulnya. Ruam kulit menjadi kehitaman dan mengelupas yang
akan menghilang setelah 1-2 minggu. (Pudjiadi, A etc 2010)

2.7

Diagnosis Banding
Campak harus dibedakan dari beberapa penyakit yang klinisnya juga berupa ruam

makulopapular. Gejala klinis klasik campak adalah adanya stadium prodromal demam
disertai coryza, batuk, konjungtivitis, dan penyebaran ruam makulopapular. Penyakit lain
yang menimbulkan ruam yang sama antara lain:
- Rubella (Campak Jerman) dengan gejala lebih ringan dan tanpa disertai batuk. Rubella
merupakan suatu penyakit virus yang umum pada anak dan dewasa muda, yang ditandai oleh
suatu masa prodormal yang pendek, pembesaran kelenjar getah bening servikal, suboksipital
dan postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2-3 hari. (Soedarmo, S etc 2010)

- Roseola infantum dengan gejala batuk ringan dan demam yang mereda ketika ruam muncul.
- Parvovirus (fifth disease) dengan ruam makulopapular tanpa stadium prodromal.
- Demam scarlet ( scarlet fever) dengan gejala nyeri tenggorokan dan demam tanpa
konjungtivitis ataupun coryza.
- Penyakit Kawasaki dengan gejala demam tinggi, konjungtivitis, dan ruam, tetapi tidak
disertai batuk dan bercak Koplik. Biasanya timbul nyeri dan pembengkakan sendi yang tidak
ada pada campak. Secara klinis terdapat 6 kriteria diagnostik berdasarkan gejala pada fase
akut:
1. Demam remiten, dapat mencapai 41 C dan berlangsung 5 hari atau lebih
2. Injeksi konjungtiva bilateral dengan manifestasi mata merah, tanpa eksudat
3. Kelainan di mulut dan bibir: lidah stroberi, rongga merah dan faring merah difus, bibir
merah dan pecah
4. Kelainan tangan dan kaki: eritema telapak tangan dan kaki serta edema (fase akut),
pengelupasan kulit jari tangan dan kaki (fase subakut)
5. Eksantema polimorfik (berbagai bentuk)
6. Limfadenopati servikal unilateral (diameter>1,5 cm). (Pudjiadi, A etc 2010)

2.8

Penatalaksanaan
- Pengobatan bersifat supportif, terdiri dari pemberian cairan yang cukup, suplemen

nutrisi, antibitotik diberikan apabila terjadi infeksi sekunder, antikonvulsi apabila terjadi
kejang, dan pemberian vitamin A. (Pudjiadi, A etc 2010)
- Tanpa komplikasi:
- Tirah baring di tempat tidur
- Vitamin A 100.000 IU, apabila disertai malnutrisi dilanjutkan 1500 IU tiap hari

- Diet makanan cukup cairan, kalori yang memadai. Jenis makanan disesuaikan
dengan tingkat kesadaran pasien dan ada tidaknya komplikasi.
- Pengobatan dengan komplikasi :
- Ensefalopati
- Kloramfenikol dosis 75 mg/kgbb/hari dan ampisilin 100 mg/kgbb/hari
selama

7-10 hari.
- Kortikosteroid: deksamethason 1 mg/kgb/hari sebagai dosis awal dilanjutkan
0,5 gr/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis sampai kesadaran membaik (bila pemberian

lebih

dari 5 hari dilakukan tappering off).


- Bronkopneumonia
- Kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari dan ampisilin 100 mg/kgbb/hari selama 7-10
- Oksigen 2 liter/menit
- Fungsi Vitamin A:
Vitamin A merupakan mikronutrien penting yang diperlukan untuk fungsi
kekebalan tubuh spesifik maupun non spesifik. Defisiensi vitamin A dilaporkan dapat
menyebabkan gangguan kekebalan humoral serta selular. Efek antioksidan dari
karotenoid ini secara tidak langsung dapat meningkatkan fungsi kekebalan tubuh
dengan jalan menurunkan konsentrasi partikel bebas beserta produknya yang bersifat
imunosupresif. (Munasir, Z 2000)
Mencegah oksidasi leukosit sehingga dapat menurunkan kadar prostaglandin
yang bersifat imunosupresif. Peningkatan masukan diet antioksidan dibuktikan dapat
menurunkan konsentrasi peroksidase lipid, konsentrasi prostaglandin yang diproduksi
oleh makrofag yang selanjutnya meningkatkan respons hipersensitivitas tipe lambat
dan proliferasi limfosit. (Munasir, Z 2000)

2.8.1

Indikasi Rawat Inap


Pasien dirawat (di ruang isolasi) bila:
- Hiperpireksia (suhu>39.0 C)
- Dehidrasi
- Kejang
- Asupan oral sulit
- Adanya komplikasi. (Pudjiadi, A etc 2010)

2.9

Pencegahan
Pasien menampakkan virus campak dari 7 hari setelah terpapar 4-6 hari setelah

timbulnya ruam. Paparan dari individu yang rentan untuk pasien dengan campak harus
dihindari selama periode ini. Di rumah sakit, standar dan tindakan pencegahan udara harus
diamati untuk periode ini. pasien immunocompromised dengan campak akan menumpahkan
virus untuk durasi penyakit, sehingga isolasi harus dipertahankan selama penyakit. (Mason H.
2011)
Vaksinasi Campak dapat diberikan pada usia 9 bulan dan booster pada usia 18 bulan.
Vaksinasi bersama rubela dan mumps (MMR) pada usia 15 - 18 bulan dan ulangan pada usia
10-12 tahun atau 12-18 tahun.
Kegagalan vaksinasi perlu dibedakan antara kegagalan primer dan sekunder.
Dikatakan primer apabila tidak terjadi serokonversi setelah diimunisasi dan sekunder apabila
tidak ada proteksi setelah terjadi serokonversi. Berbagai kemungkinan yang menyebabkan
tidak terjadinya serokonversi ialah: (a) adanya antibodi yang dibawa sejak lahir yang dapat
mentralisir virus vaksin campak yang masuk, (b) Vaksinnya yang rusak, (c) Akibat pemberian
imunoglobulin yang diberikan bersama-sama. Kegagalan sekunder dapat terjadi karena
potensi vaksin yang kurang kuat sehingga respons imun yang terjadi tidak adekuat dan tidak

10

cukup untuk memberikan perlindungan pada bayi terhadap serangan campak secara alami.
(Soedarmo, S etc 2010)

2.10

Komplikasi

- Komplikasi umumnya terjadi pada anak risiko tinggi, yaitu:


- Usia muda, terutama di bawah 1 tahun
- Malnutrisi (marasmus atau kwasiorkor)
- Pemukiman padat penduduk yang lingkungannya kotor
- Anak dengan gangguan imunitas, contohnya pada anak terinfeksi HIV, malnutrisi,
atau keganasan
- Anak dengan defisiensi vitamin
- Komplikasi dapat terjadi pada berbagai organ tubuh, antara lain:
- Saluran pernapasan: bronkopneumonia, laringotrakeobronkitis (croup)
- Saluran pencernaan: diare yang dapat diikuti dengan dehidrasi
- Telinga: otitis media
- Susunan saraf pusat:
- Ensefalopati: timbul pada 0,01 0,1% kasus campak. Gejala berupa demam,
nyeri kepala, letargi, dan perubahan status mental yang biasanya muncul antara hari ke-2
sampai hari ke-6 setelah munculnya ruam. Umumnya self-limited (dapat sembuh sendiri),
tetapi pada sekitar 15% kasus terjadi perburukan yang cepat dalam 24 jam. Gejala sisa dapat
berupa kehilangan pendengaran, gangguan perkembangan, kelumpuhan, dan kejang berulang.
(Halim, R 2016)
- Subacute Sclerosing Panencephalitis (SSPE): suatu proses degeneratif
susunan saraf pusat yang disebabkan infeksi persisten virus campak, timbul beberapa tahun

11

setelah infeksi (umumnya 7 tahun). Penderita mengalami perubahan tingkah laku, retardasi
mental, kejang mioklonik, dan gangguan motorik. (Halim, R 2016)
- Mata: keratitis
- Sistemik: septikemia karena infeksi bakteri sekunder

2.11

Prognosis
Campak merupakan self limited disease, namun sangat infeksius. Mortalitas dan

morbiditas meningkat pada penderita dengan faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya
komplikasi. Di negara berkembang, kematian mencapai 1-3%, dapat meningkat sampai 515% saat terjadi KLB campak. (Halim, R 2016)
Di awal abad 20, kematian akibat campak bervariasi antara 2.000 dan 10.000, atau
sekitar 10 kematian per 1.000 kasus campak. Dengan perbaikan dalam perawatan kesehatan
dan terapi antimikroba, nutrisi yang lebih baik, dan penurunan berkerumun, rasio kematianto-kasus jatuh ke 1 / 1.000 kasus. Antara tahun 1982 dan 2002, CDC memperkirakan bahwa
ada 259 kematian akibat campak di Amerika Serikat, dengan rasio kematian-to-kasus 2,52,8 / 1.000 kasus campak. Pneumonia dan ensefalitis komplikasi di sebagian besar kasus yang
fatal, dan kondisi immunodefi efisiensi yang ed identifi di 14-16% dari kematian. (Mason H.
2011)

Anda mungkin juga menyukai