Anda di halaman 1dari 10

Pasien geriatri akan lebih sering mengalami ADR dibandingkan pasien yang lebih muda.

Hal ini
dimungkinkan karena pasien lanjut usia lebih sering mendapatkan terapi obat. Di samping itu faktor
lain yang mempengaruhi terjadinya ADR pada geriatri adalah perubahan farmakokinetika yang
meliputi absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat, yang sangat tergantung pada kondisi
organ-organ tubuh penderita (Aslam, Tan, Prayitno, 2003).
Pada pasien geriatri sering mendapatkan peresepan dengan jumlah obat yang banyak (polifarmasi).
Hal tersebut disebabkan oleh penderita yang mengalami beberapa penyakit sekaligus. Khususnya
penderita yang mengalami gangguan fungsi ginjal dan hati memiliki risiko yang tinggi bagi kejadian
ADR (Aslam, et al., 2003).
Definisi Geriatri
Pembagian terhadap populasi berdasarkan usia lanjut meliputi tiga tingkatan (menurut WHO), yaitu :
a)

Lansia (elderly) dengan kisaran umur 60-75 tahun,

b)

Tua (old) dengan kisaran umur 75-90 tahun,

c)

Sangat tua (very old) dengan kisaran umur > dari 90 tahun (Walker and Edward, 2003).

Pasien geriatri (elderly) merupakan pasien dengan karakteristik khusus karena terjadinya penurunan
massa dan fungsi sel, jaringan, serta organ. Hal ini menimbulkan perlu adanya perubahan gaya
hidup, perbaikan kesehatan, serta pemantauan pengobatan baik dari segi dosis maupun efek
samping yang mungkin ditimbulkan (David, 2010).
Kimble, et al. (2008) menyatakan bahwa geriatri juga telah mengalami perubahan dalam hal
farmakokinetik dan farmakodinamik obat. Perubahan farmakokinetik yang terjadi karena adanya
penurunan kemampuan absorbsi yang disebabkan oleh perubahan dari saluran gastrointestinal,
perubahan distribusi terkait dengan penurunancardiac output dan ikatan protein-obat, perubahan
metabolisme karena penurunan fungsi hati dan atau ginjal, serta penurunan laju ekskresi karena
terjadinya penurunan fungsi ginjal.
Farmakokinetik
Obat harus berada pada tempat kerjanya dengan konsentrasi yang tepat untuk mencapai efek
terapetik yang didapatkan. Perubahan-perubahan farmakokinetik pada pasien lanjut usia memiliki
peranan penting dalam bioavailabilitas obat tersebut. Proses-proses farmakokinetik obat pada usia
lanjut dijelaskan pada uraian di bawah ini.
1.

Absorbsi

Penundaan pengosongan lambung, reduksi sekresi asam lambung dan aliran darah oragan absorbsi
secara teoritis berpengaruh pada absorbs itu sendiri. Namun pada kenyataannya perubahan yang
terkait pada usia ini tidak berpengaruh secara bermakna terhadap bioavailabilitas total obat yang

diabsorbsi. Beberapa pengecualian termasuk pada digoksin dan obat dan substansi lain (misal
thiamin, kalsium, besi dan beberapa jenis gula) (Aslam, et al., 2003).
1.

Distribusi

Farktor-faktor yang menentukan distribusi obat termasuk komposisi tubuh, ikatan plasma-protein dan
aliran darah organ dan lebih spesifik lagi menuju jaringan, semuanya akan mengalami perubahan
dengan bertambahnya usia, akibatnya konsentrasi obat akan berbeda pada pasien lanjut usia jika
dibandingkan dengan pasien yang lebih muda pada pemberian dosis obat yang sama (Aslam, et al.,
2003).
Tabel 1.Beberapa Perubahan yang Berhubungan dengan Umur yang Mempengaruhi
Farmakokinetik Obat

Variable

Young Adults (2030 Older Adults (60


years)
80 years)

Body water (% of body weight)

61

53

Lean body mass (% of body


weight)

19

12

Body fat (% of body weight)

2633 (women)

3845

1820 (men)

3638

Serum albumin (g/dL)

4.7

3.8

Kidney weight (% of young


adult)

(100)

80

Hepatic blood flow (% of young


adult)

(100)

5560

1.

Komposisi Tubuh

Pertambahan usia dapat menyebabkan penurunan total air. Hal ini menyebabkan terjadinya
penurunan volume distribusi obat yang larut air sehingga konsentrasi obat dalam plasma meningkat.
Pertambahan usia juga akan meningkatkan massa lemak tubuh. Hal ini akan menyebabkan volume
distribusi obat larut lemak meningkat dan konsentrasi obat dalam plasma turun namun terjadi
peningkatan durasi obat (missal golongan benzodiazepin) dari durasi normalnya (Aslam, et al., 2003).
1.

Ikatan Plasma Protein

Seiring dengan pertambahan usia, albumin manusia juga akan turun. Obat-obatan dengan sifat asam
akan berikatan dengan protein albumin sehingga menyebabkan obat bentuk bebas akan meningkat
pada pasien geriatric. Saat obat bentuk bebas berada dalam jumlah yang banyak maka akan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat dalam plasma meningkat. Hal ini menyebabkan kadar
obat tersebut dapat melampaui konsentrasi toksis minimum (terlebih untuk obat-obatan poten)
(Aslam, et al., 2003).

2.

Aliran Darah pada Organ

Penurunan aliran darah organ pada lansia akan mengakibatkan penurunan perfusi darah. Pada
pasien geriatri penurunan perfusi darah terjadi sampai dengan 45%. Hal ini akan menyebabkan
penurunan distribusi obat ke jaringan sehingga efek obat akan menurun (Aslam, et al., 2003).
1.

Eliminasi

Metabolisme hati dan eskresi ginjal adalah mekanisme penting yang terlibat dalam proses eliminasi.
Efek dosis obat tunggal akan diperpanjang dan pada keadaan steady state akan meningkat jika
kedua mekanisme menurun.
1.

Metabolisme hati

Substansi yang larut lemak akan dimetabolisme secara ekstensif di hati, sehingga mengakibatkan
adanya penurunan bioavaibilitas sistemik. Oleh karena itu adanya penurunan metabolism akan
meningkatkan bioavaibilitas obat. Pada pasien geriatri adanya gangguan first past metabolism akan
meningkatkan biovaibilitaas obat (Aslam, et al., 2003).
Tabel 2. Pengaruh Usia terhadap Klirens Hepatik pada Beberapa Obat

Age-Related Decrease in
Hepatic Clearance Found

No Age-Related Difference
Found

AlprazolamBarbiturates

EthanolIsoniazid

Carbenoxolone

Lidocaine

Chlordiazepoxide

Lorazepam

Chlormethiazole

Nitrazepam

Clobazam

Oxazepam

Desmethyldiazepam

Prazosin

Diazepam

Salicylate

Flurazepam

Warfarin

Imipramine
Meperidine
Nortriptyline
Phenylbutazone
Propranolol
Quinidine, quinine
Theophylline
Tolbutamide
1.

Eliminasi Ginjal

Penurunan aliran darah ginjal, ukuran organ, filtrasi glomerulus dan fungsi tubuler merupakan
perubahan yang terjadi dengan tingkat yang berbeda pada pasien geriatri. Kecepatan filtrasi
glomerolus menurun kurang lebih 1 % per tahun dimulai pada usia 40 tahun. perubahan tesebut

mengakibatkan beberapa obat dieliminasi lebih lambat pada lanjut usia. Beberapa kasus menunjukan
bahwa konsentrasi obat dalam jaringan akan meningkat sebanyak 50% akibat penurunan fungsi ginjal
(Aslam, et al., 2003). Penurunan klirens kreatinin terjadi pada dua pertiga populasi. Penting untuk
diketahui bahwa penuruna klirens kreatinin ini tidak dibarengi dengan peningkatan kadar kreatinin
yang setara dalam serum karena produksi kreatinin juga menurun seiring berkurangnya massa tubuh
dengan pertambahan usia. Akibat yang segera ditimbulkan oleh perubahan ini adalah pemanjangan
waktu-paruh banyak obat dan kemungkinan akumulasinya dalam kadar toksik jika dosis tidak
diturunkan dalam hal ukuran atau frekuensi. Rekomendasi pemberian obat untuk para lansia sering
kali mencakup batasan dosis untuk klirens ginjal yang menurun.
Paru berperan penting pada ekskresi obat volatile. Akibat berkurangnya kapasitas pernapasan dan
peningkatan insidens penyakit paru aktif pada lansia, anesthesia inhalasi menjadi lebih jarang
digunakan dan agen parenteral menjadi lebih sering digunakan pada kelompok usia ini.
FARMAKODINAMIK
Perubahan farmakodinamik pada pasien geriatri berpengaruh pada kemampuan tubuh menjaga
sistem homeostatik, perubahan pada reseptor-reseptor spesifik dan tempat sasaran akan sangat
mempengaruhi konsentrasi obat yang berefek.
1.

Pengaturan Temperatur

Hipotermia tidak diharapkan terjadi pada pasien geriatri yang mendapat beberapa macam obat. Obatobatan yang menyebabakan terjadinya hipotermia diantaranya, benzodiazepin, opioid, alkohol, dan
anti depresan trisiklik dapat menyebabkan sedasi gangguan kepekaan subjektif terhadap temperature
dan penuruna mobilitas maupun aktifitas (Aslam, et al., 2003).
1.

Fungsi Usus dan Kandung Kemih

Konstipasi sering muncul pada geriatri sebagai akibat penuruan motilitas saluran gastrointestinal.
Obat-obat anti-kolinergik dapat menyebabkan retensi urin pada pasien pria lanjut usia terutama
pasien dengan hipertropi prostat sedangkan pada wanita sering terjadi disfungsi uretra (Aslam, et al.,
2003).
1.

Pengaturan Tekanan Darah

Pada pasien geriatri terjadi penumpulan reflex takikardia sehingga hipotensi postural merupakan
masalah yang sering terjadi pada pasein geriatri. Hal ini mengakibatkan obat-obat dengan efek
antihipertensi cenderung menyebabkan masalah pada pasien geriatric (Aslam, et al., 2003).
1.

Keseimbangan Cairan atau Elektrolit

Pasien geriatri mengalami penuruan kemampuan ekskresi retensi air obat-obat yang mengakibatkan
retensi cairan ini diantaranya, kortikosteroid dan antiinflamasi non-steroid (Aslam, et al., 2003).
1.

Fungsi Kognitif

Pertambahan usia juga akan menurunkan fungsi sistem saraf pusat yang terjadi akibat perubahan
struktur dan kimiawi saraf. Aktifitas enzim kolinesterase menurun pada lansia dan berakibat pada

menurunnya transmisi kolinergik. Transmisi kolinergik sangat berperan dalam fungsi kognitif normal
sehingga obat-obatan antikolinergik, dan hipnotik dapat memperburuk efek tersebut. Lansia yang
mengkonsumsi obat-obat yang tersebut di atas akan mengalami kebingungan (Aslam, et al., 2003).
Adverse Drug Reaction (ADR) pada Geriatri
Definisi ADR
Menurut WHO, ADR didefinisikan sebagai respon terhadap suatu obat yang berbahaya dan tidak
diharapkan serta terjadi pada dosis lazim yang dipakai oleh manusia untuk tujuan profilaksis,
diagnosis, maupun terapi (Prest, Kristianto, and Tan, 2003).
PENGGOLONGAN ADR
ADR secara umum dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu :
1.

Reaksi Tipe A (augmented)

Adverse drug reaction tipe ini merupakan aksi farmakologis yang normal tetapi meningkat. Reaksi tipe
A berhubungan dengan dosis obat yang diminum. Reaksi ini dibagi lagi menjadi reaksi yang
dihasilkan dari aksi farmakologis primer atau sekunder. Contoh reaksi yang dihasilkan dari aksi
farmakologis primer adalah bradikardi karena pemakaian penghambat adrenoseptor beta (betablocker), sedangkan contoh reaksi yang dihasilkan dari aksi farmakologis sekunder adalah timbulnya
mulut kering karena pemakaian antidepresi trisiklik yangdisebabkan aktivitas antimuskarinik (Aslam,
et al., 2003).
2.

Reaksi Tipe B (bizarre)

Adverse drug reaction tipe B merupakan reaksi yang aneh dan tidak terkait sama sekali dengan dosis,
misalnya hemolisis dengan methyldopa atau trombositopenia dengan penghambat ACE(AngiotensinConverting Enzyme Inhibitors). Reaksi tipe ini berkaitan dengan sistem metabolisme obat dan sistem
imun tubuh penderita. Contoh yang umum terjadi adalah syok anafilaksis setelah pemakaian
antibiotik, hipertermia ganas setelah pemberian anestesi, anemia aplastik karena pemakaian
kloramfenikol (Aslam, et al., 2003).
Berikut merupakan perbedaan ciri-ciri antara ADR tipe A dan tipe B :

Tipe A

Tipe B

Dapat diprediksi (dari pengetahuan


farmakologinya)

Tidak dapat diprediksi (dari


pengetahuan farmakologinya)

Tergantung dosis

Jarang tergantung dosis

Morbiditas tinggi

Morbiditas rendah

Mortalitas rendah

Mortalitas tinggi

Dapat ditangani dengan pengurangan


dosis

Dapat ditangani dengan penghentian


pengobatan

Angka kejadian tinggi

Angka kejadian rendah

PENCEGAHAN ADR
Menurut British National Formulary beberapa cara untuk mencegah ADR yaitu :
1. Jangan menggunakan obat bila tidak diindikasikan dengan jelas. Jika pasien sedang hamil jangan
gunakan obat kecuali benar-benar diperlukan.
2. Alergi dan idiosinkrasi merupakan penyebab penting ADR. Tanyakan apakah pasien pernah
mengalami reaksi sebelumnya.
3. Tanyakan jika pasien sedang menggunakan obat-obatan lain termasuk obat yang dipakai sebagai
swamedikasi. Hal ini dapat menimbulkan interaksi obat.
4. Usia dan penyakit hati atau ginjal dapat mengubah metabolisme dan ekskresi obat, sehingga dosis
yang lebih kecil diperlukan.
5. Meresepkan obat sesedikit mungkin dan memberikan petunjuk yang jelas kepada pasien geriatri
dan pasien yang kurang memahami petunjuk yang rumit.
6. Jika memungkinkan gunakan obat yang sudah dikenal. Dengan menggunakan suatu obatbaru
perlu waspada akan timbulnya ADR.
7. Jika kemungkinan terjadinya ADR yang serius, pasien perlu diperingatkan.
Obat-Obatan yang Berisiko Terhadap Kejadian ADRs pada Geriatri
OBAT SISTEM SARAF PUSAT
Sedatif-Hipnotik
Waktu paruh obat benzodiazepin dan barbiturat meningkat 50-150% antara usia 30-70 tahun. Untuk
benzodiazepin, baik molekul induk maupun metabolitnya aktif secara farmakologis. Ginjal dapat
mengalami penurunan fungsi seiring dengan pertambahan usia sehingga berakibat pada penurunan
eliminasi senyawa-senyawa ini.
Analgesik
Penggunaan analgesik golongan opioid menunjukkan pengaruh pada fungsi pernapasan pada
kaum lansia.Olehsebab itu, kelompok ini harus digunakan dengan hati-hati dan perlu dilakukan
penyesuaian dosis untuk pasien agar tercapai efek maksimal.
Obat Antipsikotik dan Antidepresan
Agen psikotik (fenotiazin dan haloperidol) sudah banyak digunakan dalam tatalaksana berbagai
penyakit psikiatrik pada kaum lansia.Agen-agen ini memang tidak diragukan lagi bermanfaat dalam

tatalaksana skizofrenia pada orang tua serta mungkin pula bermanfaat dalam pengobatan beberapa
gejala yang terkait dengan delirium, dementia, agitasi, agresivitas, dan sindrom paranoid yang dialami
beberapa pasiengeriatrik.Namun, agen-agen ini tidak terlalu menunjukkan hasil yang memuaskan
ketika digunakan untuk mengobati penyakit geriatrik ini sehingga dosis agen tidak boleh ditingkatkan
berdasarkan asumsi bahwa hasil maksimal dapat tercapai dengan tindakan ini.Tidak terdapat bukti
bahwa obat-obat ini bermanfaat pada demensia Alzheimer, bahkan menurut teori, efek antimuskarinik
fenotiazin dapat memperburuk gangguan ingatan dan disfungsi intelektual.Banyak dari perbaikan
yang tampaknya dialami oleh pasien agitasi dan agresif sebenarnya hanya menunjukkan efek
sedatif obat.Bila suatu antipsikotik sedatif diperlukan, golongan fenotiazin seperti tioridazin lebih tepat
untuk digunakan.
Karena meningkatnya responsivitas terhadap obat jenis ini, besarnya dosis awal biasanya dimulai dari
sebagian dosis yang digunakan pada dosis orang dewasa.Waktu paruh fenotiazin meningkat pada
geriatrik.
OBAT KARDIOVASKULAR
Obat Antihipertensi
Tekanan darah khususnya tekanan sistolik meningkat seiring bertambahnya usia. Prinsip dasar terapi
hipertensi pada kelompok geriatrik tidak berbeda dengan prinsip terapi hipertensi pada orang
dewasa.Tiazid menjadi langkah pertama yang tepat dalam terapi obat.hipokalemia, hiperglikemia, dan
hiperurisemia yang disebabkan oleh agen-agen ini lebih bermakna pada kaum lansia karena tingginya
insidens aritmia, diabetes tipe 2, dan gout pada pasien-pasien ini. Jadi, penggunaan dosis
antihipertensif yang rendah ketimbang dosis diuretik maksimum sangatlah penting.
Agen Inotropik Positif
Gagal jantung merupakan suatu penyakit yang umum dan sangat mematikan pada kaum lansia.
Kondisi ini yang menjadi alasan dokter terlalu berlebihan dalam menggunakan glikosida jantung pada
kelompok usia ini. Efek toksik kelompok obat ini sangat berbahaya karena klirens dan volume
distribusi glikosida mengalami penurunan, waktu paruh obat ini dapat meningkat hingga 50% atau
lebih.Karena sebagian besar obat ini dibersihkan oleh ginjal, fungsi ginjal harus dipertimbangkan
dalam merencanakan suatu regimen dosis.
OBAT ANTIINFLAMASI
Obat antiinflamasi non steroid (OAINS) harus digunakan dengan hati-hati pada pasien geriatrik
karena obat-obat ini menyebabkan toksisitas, contoh aspirin toksisitas yang paling sering timbul
adalah iritasi saluran cerna.Selain itu, lebih lanjut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal
yang bersifat ireversibel.

Pada tahun 1991, Beers et al. mempublikasikan kriteria untuk mengevaluasi pengobatan yang tidak
cocok pada penggunaan di rumah perawatan. Daftarnya diturunkan berdasarkan opini konsensus
pada indikator peresepan dari suatu panel oleh 13 orang ahli, terdiri dari 19 pengobatan/kelas yang
dihindari pada rumah perawatan, seperti antihipertensif, psikotropik, agen hipoglikemik oral, NSAID
dan analgesik dari diagnosis, dosis dan frekuensi pemberian dosis.
Pada tahun 1997, berdasarkan opini konsensus dari suatu panel oleh 6 orang ahli, Beers
mempublikasikan revisi dari kriteria untuk penggunaan obat yang secara potensial tidak cocok yang
diasosiasikan dengan 28 pengobatan/kelas untuk menghindari pasien rawat jalan berusia 65 tahun
atau lebih tua di rumah perawatan.
Pada tahun 2001, Zhan et al. menggunakan suatu panel dari ahli untuk mengklasifikasikan kriteria
obat Beers menjadi 3 kategori:
a)

Obat yang harus selalu dihindari pada lansia

b)

Obat yang kemungkinan tidak cocok pada kondisi pelik

c)

Obat yang memiliki beberapa indikasi untuk digunakan pada populasi lansia tapi sering

disalahgunakan.
Obat yang tidak boleh diberikan pada lansia
Beberapa obat yang secara klinis dapat menyebabkan masalah untuk lansia :
1.
2.
3.
4.
5.

Meperidin : terkait dengan peningkatan delirium


Long-acting benzodiazepine : diazepam, flurazepam terakumulasi setiap hari, menyebabkan delirium
dan pingsan
Amitriptyline, imipramine : amina tersier lebih cocok sebagai antikolinergik daripada amina sekunder
nortriptyline dan desipramine
Metoclopramide, klorpromazin sering diperkirakan dapat menyebakan reaksi ektrapiramidal
Procyclidine, benztropine : berkontribusi untuk delirium bila dikaitkan dengan neuroleptik dalam
pengobatan delirium

Contoh Regimen Dosis pada beberapa Kelas Terapi:


1.

Start low, go slow


benzodiazepine
antidepresan
neuroleptik
antihipertensi agen

1.

Keep going
ACE Inhibitor
Antidepresan

1.

Stay low
Lithium

Antilonvulsan
Digoxin
Opioid
Benzodiazepine
Antibiotik (dosis yang lebih rendah diperlukan dan terbukti berkhasiat).

Banyak situasi tertentu yang ditemukan untuk menghentikan ketergantungan pasien pada
penggunaan obat dan menghentikan penggunaan obat tidak tepat. Diantaranya, berikut contohcontoh yang sering terjadi :
Sering terjadi kegagalan pengobatan jantung diastolik (yang diperlakukan sebagai sistolik)
Kejang diperlakukan sebagai epilepsy
Agen hipoglikemik oral tidak lagi dibutuhkan setelah penggunaan insulin jangka panjang, atau dalam

regimen yang dibuat tidak dengan hati-hati.


Melupakan penggunaan steroid dalam keadaan stabil (PPOK, rheumatoid, arthritis)
Agen penurun lipid sebagai pencegah primer dalam jangka lama.
Teofilin diresepkan sebagai monoterapi untuk kondisi kelainan pada paru.
Terapi paliatif dimana pengobatan pencegahan primer dan sekunder masih dilakukan.
Diagnosa terbaru yang memungkinkan adanya kejadian yang tidak diinginkan (e.g., delirium, hipotensi
ortostatik, SIADH (Syndrome of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone)).

Perubahan fisiologis dan patologis pada pasien yang menerima obat untuk beberapa tahun:
perkembangan dari gagal ginjal, demensia. Jangan mengikuti penggunaan obat-obatan yang tidak
sesuai karena sebelumnya keadaan tersebut dapat ditoleransi dulu oleh pasien.
KASUS
Seorang pria, 75 tahun yang hidup sendirian, berjalan tanpa bantuan, mengaku merasa linglung
selama 2 hari. Pria tersebut memiliki riwayat hipertensi dan riwayat pengobatan indapamide,
nifedipine dan propanolol. Pada pemeriksaan, pria tersebut sepenuhnya dikacaukan pada waktu,
tempat dan orang. Terdapat persamaan hypertonia dan hyper-reflexia yaitu pada grade 4/5. Tekanan
darah 170/100 mmHg. Pria tersebut terdapat febrile.
Hasil pemeriksaan darahnya menunjukkan:

Na: 111 mmol/l (normal 135-145)


K: 3,0 mmol/l (normal 3,5-5,3)
Urea: 9,2 mmol/l (normal 2,5-7,5)
Kreatinin 97 mol/l (normal 50-140)
Glukosa 7,5 mmol/l
Osmolalitas serum 257 mOsm/kg (normal 275-295)
Osmolalitas urin 456 mOsm/kg
White cell count: 11.109 per dL

Gas darah arteri saat bernapas:

pH 7,385 (normal 7,35-7,45)


pCO2: 2,85 kPa (normal 4,7-6)
pO2: 8,9 kPa (normal 10,0-13,0)
total HCO3: 12,9 mmol/l (normal 24-26)

Total T4: 113 nmol/l (normal 62-154) dan TSH 0,80 mIU/l (normal 0,29-4,0). Tingkat cortisol saat pukul
9 pagi: 2816 nmol/l (normal 133-690) dan saat pukul 9 malam: 3535 nmol/l (normal 69-345). ECG
pada sinus rhythm dengan laju ventrikel pada 100 detak/menit.
Diagnosis yang berbeda adalah stroke, gangguan elektrolit dan infeksi system saraf pusat. CT otak
segera menunjukkan penemuan yang normal dan penyebab infeksi negatif. Dugaan diagnosis:
encephalopathy metabolic. Indapamide yang menginduksi hiponatraemia dicurigai.
Semua pengobatan sekarang dihentikan segera jika diizinkan. Setelah perbaikan hyponatraemia
dengan normal saline dan suplemen potassium, perbaikan secara bertahap dari tingkat sodium dan
keadaan sadar terlihat. Tekanan darahnya stabil pada 150/80 mmHg tanpa obat antihipertensi. Pria
tersebut menginap di RS selama 2 minggu dan diperbolehkan pulang tanpa obat antihipertensi.

Anda mungkin juga menyukai