Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

MANIFESTASI ORAL PADA PASIEN


PEMFIGUS BULOSA

Disusun oleh:
Clara Adelia Wijaya, S.Ked

04054821517018

Lismya Wahyu Ningrum, S.Ked

04054821517021

Kepaniteraan Klinik Bagian/Departemen Gigi dan Mulut


Periode 29 September 17 Oktober 2016
Pembimbing:
drg. Emilia Ch. Prasetyanti, Sp.Ort, MM.Kes

BAGIAN/ DEPARTEMEN GIGI DAN MULUT


RUMAH SAKIT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2016
i

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus
Manifestasi Oral pada Pasien Pemfigus Bulosa

Oleh :
Clara Adelia Wijaya, S.Ked

04054821517018

Lismya Wahyu Ningrum, S.Ked

04054821517021

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Gigi dan Mulut Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 29 September
17 Oktober 2016

Palembang,

Oktober 2016

drg. Emilia Ch. Prasetyanti, Sp.Ort, MM.Kes

ii

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Manifestasi Oral pada Pasien
Pemfigus Bulosa.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Gigi dan Mulut RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada drg. Emilia Ch. Prasetyanti,
Sp.Ort, MM.Kes selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama
penulisan dan penyusunan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporan ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang,

Oktober 2016

Penulis

iii

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iv
BAB I

LAPORAN KASUS...............................................................................1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi Gigi ........................................................................................7
Gangren Radix.....................................................................................16
Mukositis Oral.....................................................................................18
Pemfigus Bulosa...................................................................................23

BAB III ANALISIS MASALAH.......................................................................30


DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................33

BAB I
LAPORAN KASUS

I.

IDENTIFIKASI
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
Agama
Bangsa
Pekerjaan
Pendidikan
Ruangan
MRS

II.

: Tn.Marzuki Ahmad
: 57 tahun (12 Desember 1958)
: Laki-laki
: Dusun IV RT 01 Kel.Tebing Gerinting Selatan,
Kec.Indralaya Selatan, Kab.Ogan Ilir
: Islam
: Indonesia
: Petani
: SLTP
: Aster G (Saraf Bawah)
: 21-09-2016

ANAMNESA (Autoanamnesis, tanggal 3 Oktober 2016 pukul

13.30)
a. Keluhan Utama
Pasien dikonsulkan dari bagian Kulit dan Kelamin RSMH untuk
dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut karena pasien mengeluh sariawan
di bibir bawah dan kedua sudut mulut sejak 1 minggu yang lalu.
b. Keluhan Tambahan
Gigi kiri atas dan bawah banyak berlubang.
c. Riwayat Perjalanan Penyakit:
Sejak 1 bulan SMRS timbul bercak merah dan bentol yang
berubah menjadi lepuh tegang seukuran biji jagung beberapa buah di
kedua lengan bawah. Lepuh melebar ke wajah, leher, dan badan. Sejak 2
minggu SMRS lepuh tegang pecah menjadi lecet.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh sariawan pada bibir.
Awalnya sariawan berukuran kecil lalu kemudian membesar dan melebar.
Gigi pasien juga banyak yang rusak dan berlubang di rahang kiri atas dan
bawah. Pasien juga mengeluh sulit makan akibat sariawan.
Pasien dirawat di Bagian Kulit dan Kelamin RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang dengan diagnosis Pemfigus Bulosa. Pasien dikonsulkan

ke Bagian Gigi dan Mulut agar dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut
untuk mengevaluasi dan tatalaksana kelainan.
d. Riwayat Penyakit atau Kelainan Sistemik
Penyakit atau Kelainan Sistemik
Alergi : debu, dingin
Penyakit Jantung
Penyakit Tekanan Darah Tinggi
Penyakit Diabetes Melitus
Penyakit Kelainan Darah
Penyakit Hepatitis A/B/C/D/E/F/G/H
Kelainan Hati Lainnya
HIV/ AIDS
Penyakit Pernafasan/paru
Kelainan Pencernaan
Penyakit Ginjal
Penyakit / Kelainan Kelenjar ludah
Epilepsy
e.

f.

Ada Disangkal

Riwayat Perawatan Gigi dan Mulut Sebelumnya


- Riwayat cabut gigi tidak pernah
- Riwayat tambal gigi tidak pernah
- Riwayat trauma tidak pernah
- Riwayat membersihkan karang gigi tidak pernah
Riwayat Kebiasaan Buruk
- Kebiasaan menggosok gigi: tidak teratur dan kadang sama sekali
tidak gosok gigi.
Riwayat perawatan/kontrol gigi tidak pernah.
Kebiasaan merokok sejak umur 20 tahun, 2 bungkus/hari.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a.

Status Umum Pasien


1.
Keadaan Umum Pasien
2.
Sensorium
3.
Berat Badan
4.
Tinggi Badan
5.
Vital Sign
Nadi
-

cukup
Respiratory Rate
Temperatur

: Tampak sakit sedang


: Compos Mentis
: 63 kg
: 165 cm
: 88x/menit, isi dan tegangan
: 20x/menit
: 36,5 0C
6

Tekanan Darah

: 130/70 mmHg

b. Pemeriksaan Ekstra Oral:


-

Wajah
Bibir
KGB

bening
TMJ

: simetris kanan = kiri


: ulserasi eritema pada kedua sudut mulut
: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah
: tidak ada kelainan

c. Pemeriksaan Intra Oral:


-

Debris
Plak
Kalkulus
Perdarahan Papilla Interdental
Gingiva
Mukosa bukal

: ada, di semua regio


: ada, di semua regio
: ada, di semua regio
: ada
: calculus gingivitis
:

ulserasi/pseudomembran
Mukosa palatum
Mukosa labial

: ulserasi eritema
:

ulserasi/pseudomembran di
-

regio labial bawah


: tidak ada kelainan
: kotor
: tidak ada kelainan
: ortognatia
: lihat status lokalis

Palatum
Lidah
Dasar Mulut
Hubungan Rahang
Kelainan Gigi Geligi

d. Status Lokalis
Gigi

Lesi

Sondase

CE

Perkusi

Palpasi

23

Radix

Td

Td

24

Pulpa

Td

Td

25

Pulpa

Td

27

Radix

28

Diagnosis/

Terapi

ICD
Gangren Radix

Pro extraksi

Gangren Pulpa

Pro extraksi

Td

Gangren Pulpa

Pro extraksi

Td

Td

Gangren Radix

Pro extraksi

Radix

Td

Td

Gangren Radix

Pro extraksi

36

Radix

Td

Td

Gangren Radix

Pro extraksi

37

Radix

Td

Td

Gangren Radix

Pro extraksi
7

38

Radix

Td

Td

Gangren Radix

Pro extraksi

48

Radix

Td

Td

Gangren Radix

Pro extraksi

Gambar 1. Tampak ulserasi pada kedua sudut mulut

Gambar 2. Tampak gangren radix pada 36, 37, 38, 48 dan missing teeth pada 46
dan 47

Gambar 3. Tampak gangren radix pada 23, 27, 28 dan missing teeth pada 18

e. Odontogram

18

48

17

47

16

46

15

14

13

12

11

21

22

23

24

25

IV

III

II

II

III

IV

IV

III

II

II

III

IV

45

44

43

42

41

31

32

33

34

35

26

27

28

36

37

38

IV. TEMUAN MASALAH


- Susp. mukositis oral pada regio labial bawah
- Susp. angular cheilitis pada kedua sudut mulut
- Calculus gingivitis pada semua regio
- Gangren radix 23, 27, 28, 36, 37, 38, 48
- Gangren pulpa 24, 25
9

V. RENCANA TERAPI
- Susp. mukositis oral dan susp. angular cheilitis :
o Tantum lozenges (Benzydamine HCl) 3x1 dihisap perlahan-lahan
selama 10 menit sebelum makan
o Chlorhexidin gargle 3x1 dikompres pada lesi selama 20 menit setelah
-

makan
Calculus gingivitis
Gangren radiks
Gangren pulpa
Dental Health Education

: Pro scalling
: Pro ekstraksi
: Pro ekstraksi

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Anatomi Gigi

2.1.1 Bagian Gigi


Gigi mempunyai beberapa bagian, yaitu:
a. Bagian akar gigi adalah bagian dari gigi yang tertanam di dalam tulang rahang
dikelilingi atau dilindungi oleh jaringan periodontal.
b. Mahkota gigi adalah bagian dari gigi yang dapat dilihat.
c. Cusp adalah tonjolan runcing atau tumpul yang terdapat pada mahkota.

Gambar 2.1 Bagian Gigi


10

2.1.2 Bentuk Gigi Permanen


Orang dewasa biasanya mempunyai 32 gigi permanen, 16 di tiap rahang. Di
tiap rahang terdapat:
a. Empat gigi depan (gigi insisivus). Bentuknya seperti sekop dengan tepi yang
lebar untuk menggigit, hanya mempunyai satu akar. Gigi insisivus atas lebih besar
daripada gigi yang bawah.
b. Dua gigi kaninus yang serupa di rahang atas dan rahang bawah. Gigi ini kuat
dan menonjol di sudut mulut. Hanya mempunyai satu akar.
c. Empat gigi pre-molar/gigi molar kecil. Mahkotanya bulat hampir seperti
bentuk kaleng tipis, mempunyai dua tonjolan, satu di sebelah pipi dan satu di
sebelah lidah. Kebanyakan gigi pre-molar mempunyai satu akar, bebrapa
mempunyai dua akar.
d. Enam gigi molar. Merupakan gigi-gigi besar di sebelah belakang di dalam
mulut
digunakan untuk menggiling makanan. Semua gigi molar mempunyai mahkota
persegi, seperti blok-blok bangunan. Ada yang mempunyai tiga, empat, atau lima
tonjolan. Gigi molar di rahang atas mempunyai tiga akar dan gigi molar di rahang
bawah mempunyai dua akar.

11

Gambar 2.2 Bentuk Gigi Permanen

Gambar 2.3 Gigi Primer dan Permanen


2.1.3 Permukaan-Permukaan Gigi
12

Nama-nama yang dipakai untuk menunjukkan permukaan gigi adalah:


1

Permukaan oklusal: permukaan pengunyahan gigi molar dan gigi

2
3

pre-molar.
Permukaan mesial: permukaan paling dekat garis tengah tubuh.
Permukaan lingual: permukaan paling dekat lidah di rahang bawah,

4
5
6

di rahang atas disebut permukaan palatal.


Permukaan distal: permukaan paling jauh dari garis tengah.
Permukaan bukal: permukaan paling dekat bibir dan pipi.
Tepi insisal: gigi-gigi insisivus dan gigi-gigi kaninus mempunyai tepi

potong sebagai pengganti permukaan oklusal.


Permukaan proksimal: permukaan-permukaan yang berdekatan
letaknya, misalnya: permukaan mesial gigi tertentu dapat menyentuh
permukaan distal gigi sampingnya. Kedua permukaan itu disebut
permukaan proksimal.

Gambar 2.4 Permukaan-Permukaan Gigi


2.1.4 Jaringan Gigi
Gigi terdiri dari beberapa jaringan, yaitu:
1

Enamel
Enamel merupakan bahan yang tidak ada selnya dan juga merupakan

satu-satunya komponen dalam tubuh manusia yang tidak mempunyai


13

kekuatan reparatif karena itu regenerasi enamel tidak mungkin terjadi.


Struktur enamel gigi merupakan susunan kimia kompleks, sebagian besar
terdiri dari 97% mineral (kalsium, fosfat, karbonat, dan fluor), air 1% dan
bahan organik 2%, yang terletak dalam suatu pola kristalin. Karena susunan
enamel yang demikian maka ion-ion dalam cairan rongga mulut dapat
masuk ke enamel bagian dalam dan hal ini memungkinkan terjadinya
transport ion-ion melalui permukaan dalam enamel ke permukaan luar
sehingga akan terjadi perubahan enamel.
2

Dentin
Seperti halnya enamel, dentin terdiri dari kalsium dan fospor tetapi

dengan proporsi protein yang lebih tinggi (terutama collagen). Dentin


adalah suatu jaringan vital yang tubulus dentinnya berisi perpanjangan
sitoplasma odontoblas. Sel-sel odontoblas mengelilingi ruang pulpa dan
kelangsungan hidupnya bergantung kepada penyediaan darah dan drainase
limfatik jaringan pulpa. Oleh karena itu dentin peka terhadap berbagai
macam rangsangan, misal: panas dan dingin serta kerusakan fisik termasuk
kerusakan yang disebabkan oleh bor gigi.
3

Cementum
Cementum adalah penutup luar tipis pada akar yang mirip strukturnya

dengan tulang.
4

Pulpa
Pulpa terdapat dalam gigi dan terbentuk dari jaringan ikat yang

berisikan urat-urat syaraf dan pembuluh-pembuluh darah yang mensuplai


dentin. Urat-urat syaraf ini mengirimkan rangsangan, seperti panas dan
dingin dari gigi ke otak, di mana hal ini dialami sebagai rasa sakit.
Rangsangan yang membangkitkan reaksi pertahanan adalah rangsangan dari
bakteri (pada karies), rangsangan mekanis (pada trauma, fraktur gigi,
preparasi kavitas, dan keausan gigi), serta bisa juga disebabkan oleh
rangsangan khemis misalnya asam dari makanan, bahan kedokteran gigi

14

yang toksik, atau dehidrasi dentin yang mungkin terjadi pada saat preparasi
kavitas/pengeboran gigi.
2.1.5 Persarafan Gigi
Nervus sensori pada rahang dan gigi berasal dari cabang nervus
kranial ke-V atau nervus trigeminal pada maksila dan mandibula. Persarafan
pada daerah orofasial, selain saraf trigeminal meliputi saraf kranial lainnya,
seperti saraf kranial ke-VII, ke-XI, ke-XII.

Nervus Maksila
Cabang maksila nervus trigeminus mempersarafi gigi-gigi pada maksila,
palatum, dan gingiva di maksila. Selanjutnya cabang maksila nervus trigeminus
ini akan bercabang lagi menjadi nervus alveolaris superior. Nervus alveolaris
superior ini kemudian akan bercabang lagi menjadi tiga, yaitu nervus alveolaris
superior anterior, nervus alveolaris superior medii, dan nervus alveolaris superior
posterior. Nervus alveolaris superior anterior mempersarafi gingiva dan gigi
anterior, nervus alveolaris superior medii mempersarafi gingiva dan gigi premolar
serta gigi molar I bagian mesial, nervus alveolaris superior posterior mempersarafi
gingiva dan gigi molar I bagian distal serta molar II dan molar III.
Nervus Mandibula
Cabang awal yang menuju ke mandibula adalah nervus alveolar inferior.
Nervus alveolaris inferior terus berjalan melalui rongga pada mandibula di bawah
akar gigi molar sampai ke tingkat foramen mental. Cabang pada gigi ini tidaklah
merupakan sebuah cabang besar, tapi merupakan dua atau tiga cabang yang lebih
besar yang membentuk plexus dimana cabang pada inferior ini memasuki tiap
akar gigi.
Selain cabang tersebut, ada juga cabang lain yang berkonstribusi pada
persarafan mandibula. Nervus buccal, meskipun distribusi utamanya pada
mukosa pipi, saraf ini juga memiliki cabang yang biasanya didistribusikan ke area
15

kecil pada gingiva buccal di area molar pertama. Namun, dalam beberapa kasus,
distribusi ini memanjang dari caninus sampai ke molar ketiga. Nervus lingualis,
karena terletak di dasar mulut, dan memiliki cabang mukosa pada beberapa area
mukosa lidah dan gingiva. Nervus mylohyoid, terkadang dapat melanjutkan
perjalanannya pada permukaan bawah otot mylohyoid dan memasuki mandibula
melalui foramen kecil pada kedua sisi midline. Pada beberapa individu, nervus ini
berkontribusi pada persarafan dari insisivus sentral dan ligamentum periodontal.

Cabang-cabang n. Trigeminus yang mensarafi bagian-bagian gingiva adalah :


1. N. Infraorbitalis, mensarafi gingiva pada sisi labial insisivus, kaninus dan
premolar rahang atas.
2. N. Alveolaris superior posterior, mensarafi gingiva pada sisi bukal gigi
molar rahang atas.
3. N. Palatinalis mayor, mensarafi gingiva pada sisi palatal semua gigi rahang
atas kecuali insisivus.
4. N. Spenopalatinus panjang, mensarafi gingiva pada sisi palatal insisivus
rahang atas.
5. N. Sublingualis, mensarafi gingiva pada sisi lingual rahang bawah.
6. N. Mentalis , mensarafi gingiva pada sisi labial insisivus dan kaninus
rahang bawah.
7. N. Bukalis, mensarafi gingiva pada sisi bukal molar rahang bawah.
INCLUDEPICTURE "http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
16

"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716
034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET INCLUDEPICTURE
"http://4.bp.blogspot.com/L_V8MyJC09I/T6SLbRgWi9I/AAAAAAAAABY/cchOx_xtM14/s320/13268716

17

034e66a5_l.gif" \* MERGEFORMATINET

Gambar 2.5 Inervasi Gigi

Cabang Maxillaris Mempersarafi :


PALATUM
Membentuk atap mulut dan lantai cavum nasi, Terdiri dari :
Palatum durum (langit keras)
Palatum mole (langit lunak)
PALATUM DURUM
Terdapat tiga foramen:

foramen incisivum pada bidang median ke arah anterior


18

foramina palatina major di bagian posterior dan


foramina palatina minor ke arah posterior
Bagian depan palatum: N. Nasopalatinus (keluar dari foramen incisivum),

mempersarafi gigi anterior rahang atasBagian belakang palatum: N. Palatinus


Majus (keluar dari foramen palatina mayor), mempersarafi gigi premolar dan
molar rahang atas.
PALATUM MOLE
N. Palatinus Minus (keluardari foramen palatina minus), mempersarafi
seluruh palatina mole.

Gambar 2.6 Cabang Nervus Maksilaris


Persarafan Dentis Dan Gingiva Rahang Atas
a. Permukaan labia dan buccal : N. alveolaris superior posterior, medius dan
anterior
Nervus alveolaris superior anterior, mempersarfi gingiva dan gigi

anterior.
Nervus alveolaris superior media, mempersarafi gingiva dan gigi
premolar dan molar I bagian mesial.
19

Nervus alveolaris superior posterior, mempersarafi gingiva dan gigi

molar I bagian distal, molar II dan molar III.


b. Permukaan palatal : N. palatinus major dan nasopalatinus
Bagian depan palatum: N. Nasopalatinus (keluar dari foramen

incisivum), mempersarafi gingiva dan gigi anterior rahang atas.


Bagian belakang palatum: N. Palatinus Majus (keluar dari foramen
palatina mayor), mempersarafi gingiva dan gigi premolar dan molar
rahang atas.

CABANG MANDIBULARIS
Persarafan
mempersarafi

Dentis;
gigi

Dipersyarafi

anterior

dan

oleh

Nervus

posterior

gigi

Alveolaris
rahang

Inferior,
bawah

PERSARAFAN GINGIVA
a. Permukaan labia dan buccal :
N. Buccalis, mempersarafi bagian buccal gigi posterior rahang bawah
N. Mentalis, merupakan N.Alveolaris Inferior yang keluar dari
foramen Mentale
b. Permukaan lingual :
N. Lingualis, mempersarafi 2/3 anterior lidah, gingiva dan gigi
anterior dan posterior rahang bawah

Gambar 2.7 Nervus Mandibularis

20

2.2

Gangren Radix (Lix et al, 2000; Peterson, 2009; Sonis, 1995)

2.2.1 Definisi
Gangren radiks adalah tertinggalnya sebagian akar gigi. Jaringan akar gigi
yang tertinggal merupakan jaringan mati yang merupakan tempat subur bagi
perkembangbiakan bakteri.
2.2.2 Etiologi
Gangren radiks dapat disebabkan oleh karies, trauma, atau ekstraksi yang
tidak sempurna.
2.2.3 Patogenesis
Karies dapat terjadi akibat pertumbuhan bakteri di dalam mulut yang
mengubah karbohidrat yang menempel pada gigi menjadi suatu zat bersifat asam
yang mengakibatkan demineralisasi email. Umumnya, proses remineralisasi dapat
dilakukan oleh air liur, namun jika terjadi ketidakseimbangan antara
demineralisasi dan remineralisasi, maka akan terbentuk karies (lubang) pada gigi.
Karies kemudian dapat meluas dan menembus lapisan dentin. Pada tahap ini, jika
tidak ada perawatan, dapat mengenai daerah pulpa gigi yang banyak berisi
pembuluh darah, limfe dan syaraf. Pada akhirnya, akan terjadi nekrosis pulpa,
meninggalkan jaringan mati dan gigi akan keropos perlahan hingga tertinggal sisa
akar gigi.
Mahkota gigi dapat patah akibat trauma pada gigi, seperti terbentur benda
keras saat terjatuh, berkelahi, atau sebab lainnya. Seringkali mahkota gigi yang
patah menyisakan akar gigi yang masih tertanam dalam gusi, dengan pulpa gigi
yang telah mati.
Pencabutan tidak sempurna juga sering menyebabkan gangren radiks. Hal
ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain struktur gigi yang rapuh, akar gigi
yang bengkok, akar gigi yang menyebar, kalsifikasi gigi, aplikasi forceps yang
kurang tepat dan tekanan yang berlebihan pada waktu tindakan pencabutan.
Sisa akar gigi atau gangren radiks yang hanya dibiarkan saja dapat muncul
keluar gusi setelah beberapa waktu, hilang sendiri karena teresorbsi oleh tubuh,
atau dapat berkembang menjadi abses, kista dan neoplasma. Setiap sisa akar gigi
juga berpotensi untuk mencetuskan infeksi pada akar gigi dan jaringan penyangga
21

gigi. Infeksi ini menimbulkan rasa sakit dari ringan sampai hebat, terjadi
pernanahan, pembengkak pada gusi atau wajah hingga sukar membuka mulut
(trismus). Pasien terkadang menjadi lemas karena susah makan. Pembengkakan
yang terjadi di bawah rahang dapat menginfeksi kulit, menyebabkan selulitis atau
flegmon, dengan kulit memerah, teraba keras bagaikan kayu, lidah terangkat ke
atas dan rasa sakit yang menghebat. Perluasan infeksi ini sangat berbahaya,
bahkan penanganan yang terlambat dapat merenggut jiwa, seperti pada angina
Ludwig.
Infeksi

pada

akar

gigi

maupun

jaringan

penyangga

gigi

dapat

mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah.


Teori ini dikenal dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan
pembentukan pus (nanah) adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang
berasal dari infeksi gigi dapat meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit,
mata, saraf, atau organ berjauhan seperti otot jantung, ginjal, lambung,
persendian, dan lain sebagainya.
Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun
antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi
yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang
sedang sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal.
Sisa akar gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar
gigi sampai sebatas permukaan gusi.
Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses
pengunyahan

yang

sempurna.

Gangguan

pengunyahan

menjadi

alasan

masyararakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak


yang masih membuat gigi tiruan di atas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu
infeksi lebih berat.
2.2.4 Tatalaksana
Infeksi

pada

akar

gigi

maupun

jaringan

penyangga

gigi

dapat

mengakibatkan migrasinya bakteri ke organ yang lain melalui pembuluh darah.


Teori ini dikenal dengan fokal infeksi. Keluhan seperti nyeri, bengkak dan
22

pembentukan pus (nanah) adalah reaksi tubuh terhadap infeksi gigi. Bakteri yang
berasal dari infeksi gigi dapat meluas ke jaringan sekitar rongga mulut, kulit,
mata, saraf, atau organ berjauhan seperti otot jantung, ginjal, lambung,
persendian, dan lain sebagainya.
Gigi atau sisa akar seperti ini sebaiknya segera dicabut (ekstraksi), namun
antibiotik umumnya diberikan beberapa hari sebelumnya untuk menekan infeksi
yang telah terjadi. Pencabutan tidak dapat dilakukan dalam keadaan gigi yang
sedang sakit, karena pembiusan lokal (anestesi lokal) seringkali tidak maksimal.
Sisa akar gigi yang tertinggal ukurannya bervariasi mulai dari kurang dari 1/3 akar
gigi sampai sebatas permukaan gusi.
Gigi yang tinggal sisa akar tidak dapat digunakan untuk proses
pengunyahan

yang

sempurna.

Gangguan

pengunyahan

menjadi

alasan

masyararakat untuk membuat gigi tiruan. Masalahnya, sampai sekarang banyak


yang masih membuat gigi tiruan di atas sisa akar gigi. Keadaan ini bisa memicu
infeksi lebih berat.
2.3 Mukositis
Lapisan mukosa pada saluran pencernaan, pernapasan, dan urogenital
merupakan garis pertama dari pertahanan host terhadap berbagai patogen. Selain
penghalang fisik, sel-sel epitel mukosa mensekresi berbagai peptida antimikroba,
termasuk laktoferin, lisozim, fosfolipase A2, dan defensin (DeVita, 2008).
Kemoterapi dan radiasi merusak kekebalan mukosa pada beberapa tingkat
yang berbeda. Mukositis adalah inflamasi dari mukosa yang terjadi akibat
pengobatan kanker yang memecah sel-sel epitel, meninggalkan jaringan mukosa
terbuka untuk ulserasi dan infeksi. Bagian mukosa mulut adalah salah satu bagian
yang paling sensitif dari tubuh dan merupakan lokasi yang sering untuk terjadi
mukositis (Oral Cancer Foundation, 2012).
Mukositis eritema biasanya muncul 7-10 hari setelah fase inisiasi dari
kemoterapi dosis tinggi. Potensi untuk meningkatnya toksisitas apabila menambah
dosis atau durasi terapi harus diperhatikan karena pada percubaan klinis didapati
munculnya toksisitas dari mukosa gastrointestinal. Mukositis adalah self-limited
23

jika tidak dikomplikasi oleh infeksi dan dapat membaik dalam 2 hingga 4 minggu
setelah penghentian kemoterapi sitotoksik (National Cancer Institute, 2013).
2.3.1 Etiologi Mukositis
Etiologi

mukositis

dapat

dibagi

pada

mukotosisitas

direk

dan

mukotoksisitas indirek. Efek inhibitori direk dari kemoterapi atau radioterapi pada
replikasi DNA dan prliferasi sel mukosa menyebabkan menurunnya kemampuan
pembaharuan sel epitel basal. Akhirnya, ini menyebabkan atropi mukosa,
kerusakan kolagen dan ulserasi. Kadar replikasi seluler yang tinggi ini
memudahkan sitotoksisitas dari mukosa oral dan gastrointestinal.

Pada

mukotoksisitas indirek, mielosuppresi dan inflamasi yang menyebabkan


kerusakan dinding mukosa, memudahkan kemasukan patogen dan akhirnya
mengakibatkan infeksi bakteria, virus, dan jamur. Infeksi sekunder yang sering
muncul adalah infeksi dari herpes simplex virus (HSV) dan infeksi jamur
superfisial dari Candida albicans (Pico, 1998).
2.3.2 Faktor Resiko Mukositis
Faktor resiko mukositis dapat dibagi dua, yaitu faktor terkait pasien, dan
faktor terkait terapi. Bagi faktor terkait pasien, pertama adalah jenis keganasan.
Keganasan hematologi menimbulkan resiko lebih besar dari tumor padat. Pasien
yang berumur kurang dari 20 tahun berada pada risiko yang lebih besar. Selain itu,
kesehatan mulut yang buruk (misalnya penyakit periodontal yang sudah ada)
menempatkan pasien pada risiko yang lebih besar. Status gizi pasien juga menjadi
faktor resiko mukositis. Seterusnya, faktor terkait terapi adalah agen kemoterapi
yang digunakan (misalnya, antimetabolit), dosis obat atau radiasi, terapi seiring,
dan terapi radiasi melibatkan kepala dan leher (National Cancer Institute, 2013).
2.3.3 Patogenesis Mukositis
Sebelum ini, proses cedera pada epitel memainkan peranan penting dalam
patogenesis mukositis, dan peranan sitokin pro-anflamasi adalah sangat sedikit
(Moutasim, 2008). Perkembangan pehamaman tentang patogenesis mukositis
24

yang baru mendapati bahwa ia merupakan proses yang kompleks dan multistep.
Satu model untuk menggambarkan langkah yang utama dalam perkembangan dan
resolusi dari mukositis telah diusulkan. Lima fase mukositis menurut Sonis et al.
(2004) adalah inisiasi, upregulasi, amplifikasi sinyal, ulserasi, dan penyembuhan.
Pada fase inisiasi, kemoterapi atau radioterapi merusak DNA di epitel basal secara
direk dan menyebabkan terlepasnya spesies oksigen reaktif (ROS), akhirnya
merusak sel secara langsung dan menyebabkan kematian sel klonogenik.
Seterusnya, kerusakan jaringan dan apoptosis berlaku akibat produksi dari sitokin
pro- inflamasi (TNF-, IL-1, dan IL-6). Nuklear faktor-B menghasilkan
upregulasi dari sitokin tersebut dan memainkan peranan penting dalam jalur
apoptosis pada mukositis (Rubenstein et al., 2004).
Spesies

oksigen

reaktif

(ROS)

juga

menstimulasi

formasi

dari

sphingomyelinase dan seramide sintase yang mengaktivasi jalur seramide hingga


menyebabkan apoptosis. Seterusnya, sitokin pro-inflamasi amplifikasi kerusakan
akibat kemoterapi dan radioterapi melalui mekanisme feedback positif. Hasil
akhir bagi aktivitas metabolik ini adalah ulserasi jaringan. Pada fase ini, pasien
mengeluhkan nyeri yang amat hebat (Sonis et al., 2004).
Kolonisasi

mikroorganisme

seterusnya

menyerang

submukosa,

mengaktifkan makrofag, dan mempromosikan pelepasan lanjut dari sitokin proinflamasi. Akhirnya, matriks ekstraseluler memberikan sinyal untuk pembaharuan,
proliferasi epitel, dan diferensiasi epitel. Ini bertepatan dengan kembalinya
neutrofil ke tingkat normal dalam sirkulasi perifer, kira-kira dua minggu setelah
inisiasi (Sonis et al., 2004).
2.3.4 Tanda dan Gejala Mukositis Oral
Terdapat beberapa tanda dan gejala bagi mukositis. Antaranya adalah
mulut atau gusi merah, mengkilap, dan bengkak. Selain itu, pada mulut, gusi atau
lidah didapati luka dan bisa berdarah. Nyeri di mulut atau tenggorokan dan
kesulitan menelan atau berbicara adalah antara gejala mukositis yang paling
sering. Di samping itu, tanda mukositis adalah adanya bercak putih, lunak atau
nanah di mulut atau lidah. Ketika makan makanan, pasien akan rasa kekeringan,
25

rasa terbakar ringan, atau sakit. Peningkatan lendir atau air liur lebih tebal di
mulut juga merupakan gejala mukositis (Oral Cancer Foundation, 2012).
2.3.5 Skala Penilaian Mukositis Oral
Skala Penilaian Mukositis Oral Menurut World Health Organisation
(WHO) dan National Cancer Institute (NCI)

2.3.6 Konsekuensi Mukositis Oral


Mukositis menyebabkan nyeri dan seterusnya dapat membatasi asupan
oral. Mual, nyeri, muntah, diare, mulut kering atau sakit dapat membuat makan
sulit. Pengurangan asupan kalori dapat menyebabkan penurunan berat badan,
penurunan kekuatan massa otot dan komplikasi lain, termasuk penurunan
kekebalan tubuh dan waktu penyembuhan lebih lama dari perawatan. Seterusnya,
mukositis dapat meningkatkan penggunaan antibiotik dan narkotika. Hal- hal
tersebut dapat menurunkan kualitas hidup pasien, meningkatkan jumlah waktu
rawat inap dan seterusnya meningkatkan keseluruhan biaya pengobatan. Selain
itu, ia juga dapat kontribusi untuk penghentian terapi (Silverman, 2006).
Kejadian mukositis bertindak sebagai portal masuk bagi organisme
sehingga mukosa oral yang rusak dan imunitas yang berkurang rentan terhadap
26

infeksi mulut. Pasien dengan mukositis oral dan neutropenia memiliki risiko
relatif septikemia lebih dari 4 kali lipat dari pasien dengan neutropenia saja.
Mukositis bertambah rumit oleh mual dan muntah yang sering terjadi dengan
pengobatan. Kemoterapi dan terapi radiasi dapat mempengaruhi kemampuan sel
untuk mereproduksi, memperlambat penyembuhan mukosa mulut, dan sering
memperpanjang durasi mukositis ( Oral Cancer Foundation, 2012).
2.3.7 Penatalaksanaan Mukositis Oral
Mukositis oral (OM) adalah self-limited, hingga manajemen lesinya dibagi
menjadi 5 pendekatan utama, termasuk debridement oral, dekontaminasi oral,
manajemen nyeri topikal dan sistemik, profilaksis atau pencegahan, dan
pengendalian pendarahan (Treister, 2013).
Pasien dengan lesi mukositis oral sering neutropenia dan trombositopenia,
hingga debridement oral harus dilakukan dengan hati-hati karena menyikat gigi
bisa menyebabkan perdarahan gingiva dan juga menghasilkan bakteremia
transien. Sekresi kering dapat menjadi berlapis pada permukaan mukosa (dan
sering salah didiagnosis sebagai kandidiasis). Agen mukolitik, seperti alkalol,
membantu untuk menghilangkannya (Treister, 2013).
Rejimen dekontaminasi oral terdiri dari bilasan antijamur dan antibakteri.
Fluorida dan gel digunakan dalam beberapa rejimen perawatan mulut terutama
untuk aktivitas antibakteri terhadap plak gingiva. Candida profilaksis biasanya
mencakup bilasan nistatin atau troches clotrimazole. Flukonazol dapat digunakan
untuk profilaksis candida atau untuk pengobatan kandidiasis (Treister, 2013).
Bagi manajemen nyeri topikal dan sistemik, bilasan lokal (misalnya, 2%
lidokain kental, obat kumur, dan solusi morfin topikal) dan analgesik sistemik
digunakan untuk mengontrol rasa sakit. Solusi topikal harus disimpan dalam
mulut 2-5 menit. Kumur dengan larutan natrium klorida membantu menjaga
kelembapan mukosa, mengurangi penggumpalan sekresi, dan mengurangkan
radang/ ulserasi mukosa (Treister, 2013).
Pada profilaksis atau pencegahan, cryotherapy telah terbukti efektif dalam
pencegahan onset dan keparahan mukositis pada pasien yang menjalani
27

kemoterapi bolus dengan 5-fluorouracil dan melfalan (Moustism, 2008).


Penjagaan kebersihan oral yang agresif dan koreksi kondisi oral sebelum
diberikan terapi dapat mengurangkan insiden dan keparahan mukositis. Makanan
pedas dan asam harus dielakkan oleh pasien (Pico, 1998).
Pengendalian perdarahan dilakukan hingga trombosit dipertahankan pada
20.000 sel / uL. Paket trombin topikal dan agen antifibrinolitik topikal, seperti
asam traneksamat dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan dari ulkus
(Treister, 2013).
2.4 Pemfigoid Bullosa
2.4.1. Definisi
Pemfigoid bulosa (P.B) adalah penyakit autoimun kronik yang ditandai
oleh adanya bula subepidermal yang besar dan berdinding tegang diatas kulit yang
eritematosa, atau disebut juga dengan penyakit berlepuh autoimun (Wiryadi,
2007; Daili dkk, 2005; Siregar, 1996).
2.4.2. Etiologi
Etiologinya ialah belum jelas, diduga autoimun. Produksi autoantibodi
yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum diketahui (Wiryadi, 2007).
2.4.3. Epidemiologi
Pertama kali penyakit ini dilaporkan oleh Lever pada tahun 1953
(Kariosentono, 2000;). Pemfigoid bulosa dapat terjadi pada semua umur, terutama
pada orang tua diatas 60 tahun dan banyak mendapatkan obat (Goldstein, 2001).
Frekuensi kejadian berdasarkan jenis kelamin adalah sama pada pria maupun
wanita, dan tidak dipengaruhi ras atau bangsa maupun hubungannya dengan
fenotipe HLA (Kariosentono, 2000; Siregar, 1996).
2.4.4. Patogenesis
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya bahwa produksi autoantibodi
yang menginduksi pemfigoid bulosa masih belum diketahui, namun pada
pemeriksaan antibodi ditemukan deposit autoantibodi IgG dan komplemen dengan
pola linier pada perbatasan dermis dan epidermis (Basal Membrane Zone).
28

Deposit antigen ini diperkirakan yang menyebabkan pelepasan berbagai enzim


proteolitik yang kemudian menyebabkan pembentukan bula dan pemisahan
epidermis-dermis (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001; Kariosentono, 2000).
Antigen P.B merupakan protein yang terdapat pada hemidesmosom sel
basal, diproduksi oleh sel basal dan merupakan bagian B.M.Z (Basal Membrane
Zone) epitel gepeng berlapis. Fungsi hemidesmosom ialah melekatkan sel-sel
basal dengan membrana basalis, strukturnya berbeda dengan desmosom. Terdapat
dua jenis antigen P.B berdasarkan ukuran berat molekul yaitu PBAg1 atau PB230
(berat molekul 230 kD), dan PBAg2 atau PB180. PB230 lebih banyak ditemukan
daripada PB180. Autoantibodi pada P.B terutama IgG1 dan terkadang disertai juga
IgA. Isotipe IgG utama adalah IgG1 dan IgG4. Autoantibodi yang melekat pada
komplemen hanya IgG1 (Wiryadi, 2007, Goldstein, 2001).
2.4.5. Gejala Klinik
Keadaan umum pada P.B baik, perjalanan penyakit biasanya ringan, sering
disertai rasa gatal. Kelainan kulit terutama berupa bula besar (numular-plakat)
berdinding tegang berisi cairan jernih, dapat bercampur dengan vesikel yang
terkadang hemoragik, daerah sekitar berwarna kemerahan atau eritem. Lesi awal
dapat berupa urtika (Daili dkk, 2005; Kariosentono, 2000).
Lesi paling sering ditemukan pada perut bagian bawah, paha bagian
medial atau anterior, dan fleksor lengan bawah. Membran mukosa jarang terkena,
mulut hanya ditemukan 20% kasus saja. Tanda Nikolsly (Nicholsky sign) negatif
karena tidak ada proses akantolisis (Wiryadi, 2007; Daili dkk, 2005;
Kariosentono,2000)
Perjalanan

penyakit

akan

menyembuh

sendiri

atau self

limited

disease, namun beberapa tahun kemudian lesi biasanya akan timbul kembali
secara sporadis general atau regional. Bula yang pecah menimbulkan erosi yang
luas dengan bentuk tidak teratur, namun tidak bertambah seperti pada Pemfigus
Vulgaris. Erosi kemudian akan mengalami penyembuhan spontan sehingga dapat
dijadikan sebagai tanda penyembuhan. Lesi P.B yang menyembuh tidak

29

meninggalkan jaringan parut, tetapi dapat menimbulkan hiperpigmentasi


(Kariosentono, 2000; Siregar, 1996).
2.4.6. Diagnosis
Diagnosis P.B dapat dilakukan dengan pemeriksaan biopsi kulit dengan
pewarnaan rutin dan imunofluoresens. Hasil pemeriksaan dapat membantu
mengetahui gangguan yang mendasari. Pada pengambilan sample untuk
pemeriksaan biopsi dengan mikroskop cahaya harus dilakukan dengan cara biopsi
plong 4mm atau biopsi cukur dalam dari bula utuh. Tujuan cara ini adalah untuk
memastikan bula terletak subepidermal. Sel infiltrat yang utama ditemukan adalah
eosinofil (Stanley JR, 2008; Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001; Siregar, 1996).
Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan imunofluoresens langsung
terhadap sample biopsi yang diambil dari kulit normal yang terletak beberapa
milimeter dari daerah yang terkena. Pada pemeriksaan imunofluoresensi dapat
ditemukan endapan IgG dan C3 tersusun seperti pita atau linier di B.M.Z (Stanley
JR, 2008; Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001; Kariosentono, 2000).
Perbedaan autoantibodi antara P.B dan Pemfigus yaitu pada penderita P.B
hampir 70% memiliki autoantibodi terhadap B.M.Z dalam serum dengan kadar
titer yang tidak sesuai dengan keaktifan penyakit (Stanley JR, 2008; Wiryadi,
2007; Goldstein, 2001).
2.4.7. Diagnosis Banding
Penyakit ini dapat dibedakan dengan Pemfigus Vulgaris, Erupsi Obat
Bulosa, Lupus Eritematosus tipe Bulosa, Dermatitis Herpetiformis, Eritema
Multiforme Tipe Bulosa, dan penyakit-penyakit bulosa yang lebih jarang lainnya
seperti: Dermatosis IgA linier, serta Epidermolisis Bulosa Akuisita.
1. Pemfigus Vulgaris
Pada pemfigus Vulgaris keadaan umumnya buruk, membran mukosa
biasanya terkena, dinding bula kendur, generalisata, letak bula intraepidermal, dan
terdapat IgG dalam stratum spinosum (Wiryadi, 2007; Goldstein, 2001).
Tabel Perbedaan Pemfigus Vulgaris dan Pemfigoid Bulosa (Goldstein, 2001)
30

KARAKTERISTIK
UMUR:
PREDILEKSI:

PEMFIGUS VULGARIS
50 tahun
Mukosa mulut, wajah, dada, sela

TEMUAN PEMERIKSAAN:

paha
aksila, jarang di mulut
Bula lembek, dinding kendur, Bula utuh, dinding tegang, letak

PENGOBATAN :

letak

subepidermal, autoantibodi IgG

intraepidermal,autoantibodi IgG
Prednison 40-60 mg/hari, obat

dan komplemen
Prednison 1mg/kgBB/hari atau

imunosupresan,

PROGNOSIS:

PEMFIGOID BULOSA
60 tahun
Daerah lipatan, sela paha,

bila

kronik lebih

pada

fase initial,

sering ketergantungan steroid

kemudian tappering

90% berespon; efek samping

beberapa bulan sampai tahun


90% berespon; sering terjadi

steroid bermakna

remisi dan kekambuhan

2. Dermatitis Herpetiformis
Susunan lesi pada dermatitis herpetiformis adalah berkelompok dan
biasanya hanya ditemukan bentuk ekskoriasi, dengan distribusi lebih sering di
daerah ekstensor daripada fleksor, dirasakan sangat gatal, dan terdapat IgA
tersusun granular.
3. Erupsi Obat Bulosa
Awitan erupsi obat bulosa dapat berhubungan dengan penambahan obat
baru atau dengan obat yang telah lama digunakan, misalnya Furosemid,
Sulfonamida. Pemeriksaan rutin dan imunofluoresens dari sample biopsi kulit
biasanya dapat membedakan kelainan-kelainan ini.
4. Lupus Eritematosus Bulosa
Penyakit ini sangat jarang, dan disertai gejala khas lupus eritematosus
lainnya (ANA positif, anemia, dsb).
5. Eritema Multiforme Bulosa
Lesi-lesi pada eritema multiforme bulosa berbentuk seperti target,
imunofluoresensi IgG linier negatif, dan biasanya terdapat paparan infeksi
sebelumnya atau riwayat menelan obat-obatan. Eritema Multiforme Bulosa
contohnya Steven Johnson Syndromme.
2.4.8. Penatalaksanaan
31

offdalam

Pemfigoid Bulosa merupaka self limmiting disease tanpa pengobatan,


namun penyakit ini dapat menyebabkan kematian pada penderita yang sangat tua
dan dengan kesehatan yang rapuh. Pengobatan P.B adalah dengan kortikosteroid
diberikan sama seperti Pemfigus Vulgaris namun dengan dosis awal lebih rendah.
Prednison biasanya diberikan dengan dosis 40-60mg/hari kemudian pelan-pelan
diturunkan (tappering off) sampai dosis bertahan 10mg setiap hari (Wiryadi, 2007;
Goldstein, 2001).
Kombinasi kortikosteroid dengan imunosupresan atau sitostatik dapat
mengurangi dosis kortikosteroid. Cara dan pemberian sitostatik sama seperti pada
pengobatan Pemfigus. Obat lain yang dapat digunakan adalah DDS atau
Klorokuin dengan dosis 200-300mg/hari memberikan respon yang baik (Wiryadi,
2007; Siregar, 1996).
P.B merupakan penyakit autoimun oleh karena itu memerlukan
pengobatan yang lama. Sebagian penderita akan mengalami efek samping
kortikosteroid sistemik seperti peningkatan sel infiltrat daripada neutrofil.
Pencegahan efek samping tersebut adalah dapat dengan diberikan kombinasi
Tetrasiklin/Eritromisin (3x500mg/hari) dan Niasinamid (3x500mg/hari) setelah
P.B membaik (Wiryadi, 2007).
2.4.9. Prognosis
Prognosis quo ad vitam adalah ad bonam, jarang menyebabkan kematian.
Prognosis quo ad functionam adalah ad bonam, namun sebagian besar penderita
mengalami perjalan penyakit yang kronik dan residif. Prognosis quo ad
sanationam adalah dubia, karena dapat terjadi remisi spontan (Wiryadi, 2007;
Siregar, 1996).
2.5. Manifestasi Oral pada Pemfigoid Bullosa
Pemfigoid dibagi menjadi bula dan pemfigoid membran mukosa,
keduanya ditandai oleh pembentukan bula subepitelial dan lesi oral yang sama.
Keterlibatan mukosa yang dilaporkan (seringkali sebagai ulser) sangat bervariasi
mulai dari 8 hingga 58%. Dalam sebuah studi kasus terbaru yang terdiri dari 115
32

pasien, 24% memiliki keterlibatan mulut dan 7% memiliki lesi pada alat kelamin.
Keterlibatan oral umum pada pemfigoid bullosa, terjadi pada 30% sampai 50%
pasien.
Perubahan oral awal terdiri dari bula hemoragik. Karena lingkungan yang
lembab, pemecahan bula meninggalkan ulserasi yang tertutup fibrin. Lesi-lesi
ditemukan paling sering pada palatal, pipi, bibir dan lidah. Tempat-tempat lain
yang kurang umum terlibat mencakup mukosa hidung, faring, konjungtiva dan
terkadang urethra dan vulva. Berbeda dengan pemfigoid sikatrisial, keterlibatan
mukosa pada pemfigoid bulosa menyeluruh tidak terkait dengan scarring.
Pemfigoid mulut terlokalisasi merupakan sebuah varian gingivitis
deskuamatif yang baru-baru ini ditemukan. Ini mengenai gingiva marginal dan
gingiva yang melekat. Varian ini menunjukkan kecenderungan yang tinggi pada
perempuan (9:1) dan tampak paling sering pada orang-orang yang berusia paruhbaya. Gingivitis deskuamatif bisa menjadi manifestasi dari lichen planus,
pemfigoid sikatrisial dan pemfigus. Diagnosis pemfigoid mulut terlokalisasi
tergantung pada keberadaan berkas linear dari imunoreaktan pada daerah
membran dasar epithelial pada pemeriksaan imunofluoresensi langsung.
Gambaran klinis mencakup eritema, edema, erosi dan ulser. Lesi yang muncul
tidak menghasilkan scarring. Pemfigoid bulosa yang terkait dengan gingivitis
deskuamatif bisa tetap terbatas pada gingiva (tipe pemfigoid mulut terlokalisasi),
tetapi proporsi pasien yang hampir kurang lebih sama mengalami pemfigoid
sikatrisial lengkap.

33

BAB III
ANALISIS MASALAH
Tn. Marzuki Ahmad, 57 tahun, laki-laki, dirawat di Bagian Kulit dan
Kelamin RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang dengan diagnosis Pemfigoid
Bulosa. Pasien dikonsulkan dari bagian Kulit dan Kelamin RSMH untuk
dilakukan pemeriksaan gigi dan mulut karena pasien mengeluh sariawan di bibir
bawah dan kedua sudut mulut sejak 1 minggu yang lalu. Gigi pasien juga banyak
yang rusak dan berlubang di rahang kiri atas dan bawah. Pasien juga mengeluh
sulit makan akibat sariawan.
Dari riwayat kebiasaan, adanya kebiasaan oral hygne pasien yang buruk
berupa menyikat gigi tidak teratur dan tidak pernah melakukan perawatan/kontrol
gigi. Kebiasaan-kebiasaan ini merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
mukositis oral selain karena penyakit pemfigus bulosanya dan karies yang
berlanjut menjadi gangren radix.
34

Saat dikonsulkan ke bagian Gigi dan Mulut, keadaan umum pasien tampak
kompos mentis, nadi 84 x/m, pernafasan 20 x/m, suhu 36.40 C dan tekanan darah
130/70 mmHg.
Pada pemeriksaan ekstra oral, pada bibir ditemukan ulserasi eritema pada
kedua

sudut

mulut.

Pada

pemeriksaan

intra

oral

ditemukan

ulserasi/pseudomembran di regio labial bawah pada mukosa labial, ditemukan


debris, plak, dan kalkulus di semua regio. Debris disebabkan oleh sisa makanan
yang menempel dan indikasi kurangnya perlindungan kesehatan gigi dan mulut
(oral hygiene) pasien.
Pada status lokalis, ditemukan gangren radiks pada gigi 23, 27, 28, 36, 37,
38, 48 dan gangren pulpa 24, 25. Kemungkinan terjadinya gangren radix dan
gangren pulpa pada pasien ini adalah akibat dari karies yang tidak ditatalaksana
lanjut.
Mukositis oral yang parah menyebabkan rasa sakit, mengurangi
kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, dan berbicara, mengakibatkan
malnutrisi, dehidrasi, anoreksia, kaheksia, sehingga pasien makan melalui selang
nasogaster. Malnutrisi sendiri dapat meningkatkan risiko keparahan mukositis,
karena intake gula tinggi atau malnutrisi protein-kalori, sehingga menambah
dehidrasi yang dapat mengiritasi mukosa dan meningkatkan kerusakan gigi serta
penyembuhan mukosa oral yang lambat.
Pasien didiagnosis pemfigoid bullosa. Pada pemfigoid bullosa keterlibatan
oral jarang terjadi yaitu sekitar 30%. Awalnya selama beberapa minggu hingga
bulan terjadi fase non bullosa berupa lesi kulit terlebih dahulu, baru setelah itu
terjadi fase bullosa yang dapat mengenai mukosa oral. Ini seperti pada kasus yang
menyebutkan bahwa lesi kulit berawal dari 1 bulan SMRS, dan lepuh pada mulut
dimulai baru 1 minggu SMRS. Ini juga menjelaskan perbedaan pada pemphigus
vulgaris dimana keterlibatan mukosa mencapai 90% dan lesi dapat bermula pada
mukosa oral terlebih dahulu baru menyebar ke tempat lain.
Lesi-lesi pemfigoid oral ditemukan paling sering pada palatal, pipi, bibir
dan lidah. Predileksi ini sesuai pada kasus dimana terdapat lesi oral di bibir dan
lidah. Perubahan oral awal terdiri dari bula hemoragik. Karena lingkungan yang
35

lembab, pemecahan bula meninggalkan ulserasi yang tertutup fibrin. Pada pasien
pemfigoid bullosa juga dapat ditemukan gingivitis marginal
Rencana terapi yang diberikan pada pasien ini adalah scaling untuk
membersihkan calculus pada semua regio, pro ekstraksi gangren radiks dan
gangren pulpa, dan pemberian tantum lozenges (Benzydamine HCl) dan obat
kumur klorheksidin. Tantum lozenges dihisap perlahan-lahan selama 10 menit
sebelum makan. Benzydamine HCl dalam tantum lozenges bersifat sebagai
analgesik-antiinflamasi. Pemberian obat kumur klorheksidin dengan cara
dikompres ke seluruh lesi. Klorheksidin adalah obat kumur yang menunjukkan
aktivitas antimikroba dan antijamur sprektrum luas, efektif melawan bakteri gram
positif dan gram negatif, juga sel ragi dan jamur, dan terikat pada permukaan oral
secara

terus

menerus.

Hasil

penelitian

Rutkauskas

dkk.

menunjukkan

pengurangan keparahan mukositis yang signifikan pada kelompok klorheksidin


dibandingkan dengan kelompok plasebo.
Selain dilakukan beberapa rencana tindakan juga dilakukan perawatan
dengan menjaga oral hygiene pasien. Mengedukasikan kepada pasien mengenai
oral hygiene untuk mengatasi adanya komplikasi yang lebih lanjut. Pasien juga
diajarkan cara menyikat gigi yang benar, teratur, dan tidak terlalu kuat agar tidak
melukai mukosa bibir dan mulut sehingga dapat memperparah mukositisnya.
Serta pentingnya memberitahu kepada pasien mengenai kunjungan ke dokter gigi
setiap 6 bulan.

36

DAFTAR PUSTAKA
Daili ES., Menaldi SL., I Made Wisnu. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di
Indonesia: Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta: PT Medical Multimedia
Indonesia. h. 75-6
Gilchrest, AS Paller, DJ Leddel (Eds.): Fitzpatricks Dermatology in General
Medicine, 7th edition. New York: McGrawHill Medical. p. 475-80Goldstein
B., Goldstein A. 2001. Dalam: Melfiawaty S. (penerjemah), Brahm U. (Ed.):
Dermatology Praktis. Jakarta: Hipokrates. h. 81-3
J.J Pindorg. Atlas Penyakit Mukosa Mulut. Tangerang : Binarupa Aksara
Publisher; 2009, pp.238, 248, 246
Martin S. Greenberg, Michael Glick, Jonathan A. Ship. Burkets Oral Medicine
11th ed. India : BC Decker Inc; 2008, pp.42, 53-6, 66
Siregar RS. 1996. Atlas Berwarna: Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC. h. 22830
Stanley JR. 2008. Bullous Pemphigoid. In: K Wolff, LA Goldsmith, SI Katz, BA
Wiryadi B.E. Dermatosis Vesikobulosa Kronik. Dalam : Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin, edisi keempat, cetakan ketiga. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S.

37

(editor). Jakarta; Penerbit Fakultas Kedokteran Unversitas Indonesia, 2007:


204-17
Zeina, 2010. Pemphigus Vulgaris. Department of Dermatology, Milton Keynes
Hospital,

UK.http://emedicine.medscape.com/article/1064187-overview.

Feb 15st , 2011.

38

Anda mungkin juga menyukai