Anda di halaman 1dari 24

Tinjauan Pustaka

TONSILITIS KRONIS

Oleh:
Widya Susanti

15710064

Eisa Mayestika Suprapto

15710101

Awalino Ardani S

15710107

Pembimbing:
dr. Puji Kurniawan, Sp.THT-KL

DEPARTEMEN SMF ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK


BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA RSUD SIDOARJO
SIDOARJO 2016

TONSILITIS KRONIS
Oleh:
Widya Susanti; Eisa Mayestika; Awalino Ardani
Departemen/SMF Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Bedah Kepala dan Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma RSUD Sidoarjo
Sidoarjo
PENDAHULUAN
Tonsilitis kronis merupakan peradangan pada tonsil yang berlangsung kronis.
Sakit tenggorokan merupakan kondisi umum yang berhubungan dengan infeksi saluran
pernafasan atas akut dan episode berulang, infeksi ini dapat menyebabkan tonsillitis
kronis. Faktor predisposisi lain tonsillitis kronis antara lain rangsangan menahun dari
rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan
fisik dan tonsillitis akut yang tidak diobati dengan adekuat. Proses radang yang berulang
ini akan menyebabkan perubahan pada mukosa tonsil1
Tonsil palatine dan tonsil nasofaring (adenoid) adalah jaringan limfoepitelial
terletak di area strategis dari faring dan nasofaring, masing-masing jaringan
imunokompeten merupakan garis pertahanan pertama terhadap tertelan atau terhirup
protein asing seperti bakteri, virus, atau antigen makanan. Pada saat ini belum ada cara
medikamentosa untuk menyembuhkan tonsillitis kronis. Sehingga terapi medikamentosa
pada tonsillitis kronis masih mengalami kontroversi1,2

Informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang rasional dalam


menyelesaikan kontroversi ini dapat diperoleh dengan pemahaman potensi imunologi
tonsil yang normal dan adenoid, membandingkan fungsi-fungsi ini dengan perubahan
yang terjadi pada tonsil kronis sakit dan adenoid1,2,3
Tujuan penulisan referat ini untuk mengetahui definisi, gejala, cara
penegakkan diagnosis, tatalaksana dan prognosis penyakit tonsilitis kronis.

1. Definisi
Tonsilitis kronis merupakan radang pada tonsila palatina yang sifatnya menahun.
Tonsilitis kronis dapat berasal dari tonsilitis akut yang dibiarkan saja atau karena
pengobatan yang tidak sempurna, dapat juga karena penyebaran infeksi dari tempat lain,
misalnya karena adanya sekret dari infeksi di sinus dan di hidung (sinusistis kronis dan
rhinitis kronik), atau karies gigi. Pada sinusitis kronik dan rhinitis kronik terdapat sekret
di hidung yang mengandung kuman penyakit. Sekret tersebut kontak dengan permukaan
tonsil. Sedangkan penyebaran infeksinya adalah secara hematogen maupun secara
limfogen ke tempat jaringan yang lain.2
Adapun yang dimaksud kronik adalah apabila terjadi perubahan histologik pada
tonsil, yaitu didapatkannya mikroabses yang diselimuti oleh dinding jaringan fibrotik
dan dikelilingi oleh zona sel radang.3 Mikroabses pada tonsilitis kronis maka tonsil
dapat menjadi fokal infeksi bagi organorgan lain, seperti sendi, ginjal, jantung dan
lainlain.1,3

2. Embriologi Tonsil
Bakal tonsil timbul pada awal kehidupan fetus. Tonsil terletak dalam sinus
tonsilaris di antara kedua pilar fausium dan berasal dari invaginasi hipoblas di tempat
ini. Selanjutnya cekungan yang terbentuk dibagi menjadi beberapa bagian, yang akan
menjadi kripta permanen pada tonsil. Permukaan dalam, atau permukaan yang terpapar,
termasuk cekungan pada kripta dilapisi oleh mukosa, sedangkan permukaan luar atau
permukaan yang tertutup dilapisi oleh selubung fibrosa yang disebut kapsul.3
3. Anatomi Tonsil
Orofaring terbuka ke rongga mulut pada pilar anterior faring. Palatum mole
terdiri dari otot yang ditunjang oleh jaringan fibrosa dan diluarnya dilapisi oleh mukosa.
Penonjolan di median membaginya menjadi 2 (dua) bagian. Bentuk seperti kerucut yang
terletak di bagian sentral yang kita kenal dengan uvula. Batas lateral palatum pada setiap
sisinya terbagi menjadi pilar anterior dan pilar posterior fausium. Pada pilar anterior
teradapat M. palatoglosus. Pilar posterior terdiri M. palatofaringeus. Diantara kedua
pilar terdapat celah, tempat kedudukan tonsil fausium.1,4 (Gambar 1)

Gambar 1 Anatomi Tonsil1,4

3.1 Tonsil fausium


Tonsil fausium, masingmasing sebuah pada tiap sisi orofaring, adalah jaringan
limfoid yang berbentuk seperti buah kenari dibungkus oleh kapsul fibrosa yang jelas.
Permukaan sebelah dalam atau permukaan yang bebas, tertutup oleh membran epitel
skuamosa berlapis yang sangat melekat. Epitel ini meluas dalam kantung atau kripta
yang membuka ke permukaan tonsil.1,4
Plika triangularis adalah lipatan mukosa yang tipis, terbentang kebelakang dari
pilar anterior dan menutupi sebagian permukaan anterior tonsil yang timbul dalam
kehidupan embrional. Plika semilunaris (supra tonsil) adalah lipatan sebelah atas dari
mukosa yang mempersatukan kedua pilar pada pertautannya. Fosa supra tonsilar
merupakan celah yang ukurannya bervariasi, bisa juga terletak diatas tonsil dan diantara
pilar anterior dan pilar posterior.4
3.2 Tonsil Lingual
Tonsil lingual merupakan bentuk yang tidak bertangkai, terletak pada dasar lidah
diantara kedua tonsil fausium dan meluas kearah anteroposterior dari papila
sirkumvalata ke epiglottis dipisahkan dari otot otot lidah oleh suatu lapisan jaringan
fibrosa. Tonsil terdiri dari sejumlah penonjolan yang bulat atau melingkar yang
mengandung jaringan limfoid dan di sekelilingnya terdapat jaringan ikat.1,4
3.3 Cincin Waldeyer
Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting cincin waldeyer dari limfoid,
yang mengelilingi faring. Unsur yang lain yaitu tonsil lingual, pita lateral faring dan
kelenjar-kelenjar limfoid yang tersebar dalam fossa rosenmuller dibawah mukosa
dinding posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.2,3,4

3.4 Kapsul Tonsil


Kapsul tonsil mempunyai trabekula yang berjalan ke dalam parenkim. Trabekula
ini mengandung pembuluh darah, saraf saraf dan pembuluh limfe eferen.4
3.5 Kripta Tonsil
Terdiri dari 8 sampai 20 kripta, biasanya tubular dan hampir selalu memanjang
dari dalam tonsil sampai ke kapsul pada permukaan luarnya. Kripta tersebut tidak
bercabang tetapi merupakan saluran yang sederhana.1,5
Jaringan ikat sub epitel yang terdapat dengan jelas dibawah permukaan epitel
segera hilang ketika epitel membentuk kripta. Hal ini menyebabkan sel epitel dapat
menempel pada struktur limfatik tonsil. Sering kali tidak mungkin untuk membuat garis
pemisah antara epitel kripta dengan jaringan interfolikuler. Epitel kripta tidak sama
dengan epitel asalnya yang menutupi permukaan tonsil, tidak membentuk sawar
pelindung yang kompak dan utuh.1,5
3.6 Fossa Tonsilaris
Pilar anterior berisi Muskulus palatoglosus dan membentuk batas anterior, pilar
posterior berisi Muskulus palatofaringeus dan membentuk batas posterior sinus.
Palatoglosus mempunyai origo berbentuk seperti kipas dipermukaan oral palatum mole
dan berakhir pada sisi lateral lidah. Palatofaringeus merupakan otot yang tersusun
verikal dan diatas melekat pada palatum mole, tuba Eustachius dan pada dasar
tenggorok. Otot ini meluas kebawah sampai ke dinding atas esophagus. Otot ini lebih
penting daripada otot palatoglosus.4,5
Kedua pilar bertemu diatas untuk bergabung dengan palatum mole. Di inferior
akan berpisah dan memasuki jaringan pada dasar lidah dan dinding lateral faring.

Dinding luar fosa tonsilaris terdiri dari Muskulus konstriktor faringeus superior.
Muskulus konstriktor superior mempunyai serabut melintang yang teratur, membentuk
otot sirkularfaring. Fowler dan Todd menggambarkan otot keempat yang dinamakan
Muskulus tonsilofaringeus yang dibentuk oleh serabutserabut lateral dari Muskulus
palatofaringeus. Otot ini melekat pada kapsul tonsil pada pertemuan lobus atas dan
bawah.4,5
3.7 Sistem Pembuluh Limfe Faring dan Tonsil
Kelenjar limfe menerima pembuluh aferen dari bagian bawah oksipital. Kelenjar
limfe ini dibagi oleh eferen yang berjalan menuju bagian atas kelenjar mastoid
substernal. Kelenjar mastoid atau kelenjar retroaurikular berpasangan terdapat di dekat
insersi Muskulus sternokleidomastoid, menerima pembuluh aferen dari bagian temporal
kepala, permukaan dalam telinga dan bagian posterior liang telinga.5
Aliran pembuluh limfe jaringan tonsil ini tidak mempunyai pembuluh aferen.
Aliran limfe dari parenkim tonsil ditampung pada ujung aferen yang terletak pada
trabekula. Dari sini menembus kapsula ke otot konstriktor superior pada dinding
belakang faring. Beberapa cabang didaerah ini berjalan ke belakang menembus fasia
bukofaringeal kemudian kelenjar pada daerah leher dan bermuara ke nodus limfatikus
leher bagian dalam dibawah otot sternokleidomasoideus. Salah satu dari nodus
limfatikus ini terletak disebelah mandibula yang sering juga disebut nodus limfatikus
tonsiler, karena sering mengalami pembesaran pada proses infeksi atau proses
keganasan tonsil.4,5

3.8 Sistem Aliran Darah


Aliran darah tonsil dan faring berdasarkan dari beberapa cabang sistem karotis
eksterna. Beberapa anastomosis tidak hanya dari satu sisi tetapi dari pembuluh darah sisi
lainnya.6
Ujung cabang arteri maksilaris interna, cabang tonsilar arteri fasialis, cabang
arteri lingualis bagian dorsal, cabang arteri tiroidea superior dan arteri faringeal yang
naik semuanya menambah jaringan anastomosis yang luas.6 (Gambar 2)

Gambar 2 Vaskularisasi Tonsil6

3.9 Persarafan Tonsil


Tonsil disarafi oleh N. Trigeminus dan Glossofaringeus. Nervus trigeminus
mempersarafi bagian atas tonsil melalui cabangnya yang melewati ganglion
sfenopalatina yaitu nervus palatine. Sedangkan nervus glossofaringeus selain

mempersarafi bagian tonsil, juga dapat mempersarafi lidah bagian belakang dan dinding
faring. 4,6 (Gambar 3)

Gambar 3 Inervasi Tonsil6

4. Fisiologi Tonsil
.

Tonsila palaitna adalah suatu jaringan limfoid yang terletak di fossa tonsilaris

dikedua sudut orofaring dan merupakan salah satu bagian dari cincin Waldeyer. Tonsila
palatina lebih padat dibandingkan jaringan limfoid lain. Permukaan lateralnya ditutupi
oleh kapsul tipis dan di permukaan medial terdapat kripta. Tonsila palatina merupakan
jaringan limfoepitel yang berperan penting sebagai sistem pertahanan tubuh terutama
terhadap protein asing yang masuk ke saluran makanan atau masuk ke saluran nafas.
Mekanisme pertahanan dapat bersifat spesifik atau non spesifik. Apabila patogen
menembus lapisan epitel maka selsel fagositik mononuklear pertamatama akan

mengenal dan mengeliminasi antigen.7 Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif dan sebagai organ produksi
antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.6 Tonsil merupakan
jaringan kelenjar limfa yang berbentuk oval yang terletak pada kedua sisi belakang
tenggorokan. Dalam keadaan normal tonsil membantu mencegah terjadinya infeksi.
Tonsil bertindak seperti filter untuk memperangkap bakteri dan virus yang masuk ke
tubuh melalui mulut dan sinus. Tonsil juga menstimulasi sistem imun untuk
memproduksi antibodi untuk melawan infeksi. Lokasi tonsil sangat memungkinkan
terpapar benda asing dan patogen, selanjutnya membawanya ke sel limfoid. Jika tonsil
tidak mampu melindungi tubuh, maka akan timbul inflamasi dan akhirnya terjadi infeksi
yaitu tonsilitis (tonsillolith). Aktivitas imunologi terbesar tonsil ditemukan pada usia 310 tahun.7
5. Patofisiologi
Terjadinya tonsilitis dimulai saat kuman masuk ke tonsil melalui kripte

kriptenya, sampai disitu secara aerogen (melalui hidung, droplet yang mengandung
kuman terhisap oleh hidung kemudian nasofaring terus ke tonsil), maupun secara
foodvorn yaitu melalui mulut bersama makanan6,7
.

Fungsi tonsil sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh baik

yang melalui hidung maupun mulut. Kuman yang masuk kesitu dihancurkan oleh
makrofag, sel-sel polimorfonuklear. Adanya infeksi berulang pada tonsil maka pada
suatu waktu tonsil tidak dapat membunuh semua kuman sehingga kuman kemudian
bersarang di tonsil. Pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil berubah

menjadi sarang infeksi (fokal infeksi) dan satu saat kuman dan toksin dapat menyebar ke
seluruh tubuh misalnya pada saat keadaan umum tubuh menurun 7
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel mukosa juga
jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid diganti
oleh jaringan parut yang akan mengalami pengerutan sehingga kripta melebar. Secara
klinik kripta ini tampak diisi oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus
kapsul tonsil dan akhirnya menimbulkan perlekatan dengan jaringan disekitar fossa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula8.
Tonsilitis Kronis terjadi akibat pengobatan yang tidak tepat sehingga
penyakit pasien menjadi Kronis. Faktor-faktor yang menyebabkan kronisitas antara lain:
terapi antibiotika yang tidak tepat dan adekuat, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah
sehingga terapi medikamentosa kurang optimal, dan jenis kuman yag tidak sama antara
permukaan tonsil dan jaringan tonsil8 .
6. Etiologi
Etiologi penyakit ini dapat disebabkan oleh serangan ulangan dari tonsilitis
akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada tonsil atau kerusakan ini dapat
terjadi bila fase resolusi tidak sempurna. Bakteri penyebab tonsilitis kronis pada
umumnya sama dengan tonsilitis akut, yang paling sering adalah kuman gram positif
(Kazzi AA, 2002 ; Arif Mansyoer dkk, 2001). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh para ahli, bakteri yang paling banyak ditemukan pada jaringan tonsil adalah
Streptococcus hemolyticus. Beberapa jenis bakteri lain yang dapat ditemukan adalah

Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus influenza, virus, jamur dan bakteri


anaerob. Pada hasil penelitian Suyitno S, Sadeli S, menemukan 9 jenis bakteri penyebab
tonsilofaringitis kronis yaitu Streptococcus alpha, Staphylococcus aurius, Streptococcus
hemolyticus group A, Enterobacter, Streptococcus pneumonie, Pseudomonas
aeroginosa, Klabsiela sp., Escherichea coli, Staphylococcus epidermidis (Suyitno S,
Sadeli S, 1995 dalam Farokah 2005). Meskipun tonsilitis kronis dapat disebabkan
berbagai bakteri namun streptococcus hemolyticus group A perlu mendapatkan
perhatian yang lebih besar karena dapat menyebabkan komplikasi yang serius
diantaranya demam rematik, penyakit jantung rematik, penyakit sendi rematik dan
glomerulonefritis. 7,8
Adapun faktor predisposisi dari Tonsilitis Kronis yaitu pengobatan tonsillitis
akut yang tidak adekuat, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cucaca, kelelahan fisik,
merokok, makanan.7,8
7. Diagnosis
7.1 Gejala Klinis
Pada umumnya penderita sering mengeluh oleh karena serangan tonsilitis
akut yang berulang-ulang, adanya rasa nyeri terus-menerus pada tenggorok/odinofagi,
ada sesuatu yang mengganjal di kerongkongan bila menelan, terasa kering dan
pernafasan berbau. Pada pemeriksaan, terdapat dua macam gambaran tonsil dari
Tonsilitis Kronik yang tampak, yakni :

Tampak pembesaran tonsil oleh karena hipertrofi dan perlengketan ke jaringan


sekitar, kripte yang melebar, tonsil ditutupi oleh eksudat yang purulen atau seperti
keju8

Mungkin juga dijumpai tonsil tetap kecil, mengeriput, kadang-kadang seperti


terpendam di dalam tonsil bed dengan tepi yang hiperemis, kripte yang melebar dan
ditutupi eksudat yang purulen7,8.
7.2 Pemeriksaan Fisik
Menurut Thane dan Cody menbagi pembesaran tonsil atas (Gambar 5)7:

Gambar 5 Pembesaran Tonsil7

T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula.
T2: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar
anterior-uvula.

T3: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar
anterior-uvula.

T4: batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau
lebih9.
Dari hasil penelitian yang melihat hubungan antara tanda klinis dengan hasil
pemeriksaan histopatologis dilaporkan bahwa tanda klinis pada Tonsilitis Kronis yang
sering muncul adalah kripta yang melebar, pembesaran kelenjar limfe submandibula dan
tonsil yang mengalami perlengketan. Tanda klinis tidak harus ada seluruhnya, minimal
ada kripta yang melebar dan pembesaran kelenjar limfe submandibula8.

Gambar 6 Tonsilitis Kronis

Disebutkan dalam penelitian lain bahwa adanya keluhan rasa tidak nyaman di
tenggorokan, kurangnya nafsu makan, berat badan yang menurun, palpitasi mungkin
dapat muncul. Bila keluhan-keluhan ini disertai dengan adanya hiperemi pada plika
anterior, pelebaran kripta tonsil dengan atau tanpa debris dan pembesaran kelenjar limfe
jugulodigastrik maka diagnosa Tonsilitis Kronis dapat ditegakkan Untuk menegakkan

diagnosa penyakit Tonsilitis Kronis terutama didapatkan berdasarkan hasil anamnesa dan
pemeriksaan fisik diagnostik yang didapatkan dari penderita 8,10,11 .
8. Diagnosis Banding
Terdapat beberapa diagnosa banding dari tonsilitis kronis adalah sebagai
berikut :
1. Penyakit-penyakit dengan pembentukan Pseudomembran atau adanya membran semu
yang menutupi tonsil (Tonsilitis Membranosa)
a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer antitoksin
dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi menjadi tiga golongan besar, umum,
lokal dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu
demam subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan
keluhan nyeri menelan. Gejala lokal yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan membentuk pseudomembran
yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala
akibat eksotoksin dapat menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf kranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan dan pada ginjal dapat
menimbulkan albuminuria.6

b. Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)


Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi dan
kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan hipersalivasi. Pada
pemeriksaan tampak membran putih keabuan di tonsil, uvula, dinding faring, gusi dan
prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan faring hiperemis. Mulut yang berbau (foetor ex
ore) dan kelenjar submandibula membesar.6
9. Penatalaksanaan
Terapi antibiotik pada tonsilitis kronis sering gagal dalam mengurangi dan
mencegah rekurensi infeksi, baik karena kegagalan penetrasi antibiotik ke dalam
parenkim tonsil ataupun ketidaktepatanantibiotik. Oleh sebab itu, penanganan yang
efektif bergantung pada identifikasi bakteri penyebab dalam parenkim tonsil.
Pemeriksaan apus permukaan tonsil tidak dapat menunjukkan bakteri pada parenkim
tonsil, walaupun sering digunakan sebagai acuan terapi, sedangkan pemeriksaan aspirasi
jarum

halus

(fine

needle

aspiration/FNA)

merupakan

tes

diagnostik

yang

menjanjikan.7,10
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotik sesuai kultur. Pemberian
antibiotika yang bermanfaat pada penderita tonsilitis kronis Cephaleksin ditambah
Metronidazole, klindamisin (terutama jika disebabkan mononucleosis atau absees),
amoksisilin dengan asam clavulanat (jika bukan disebabkan mononucleosis).7
Tonsilektomi dilakukan bila terjadi infeksi yang berulang atau kronik, gejala
sumbatan serta kecurigaan neoplasma.

9.1 Indikasi Tonsilektomi


Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum
dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk pengobatan
Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah randomized controlled trials
untuk panduan klinisi dalam memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa.
Tidak ditemukan studi Randomized Controlled Trial (RCT) yang mengkaji efektivitas
tonsilektomi pada dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT (Mawson 1967; McKee
1963; Roydhouse 1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi yang diikutkan dalam
review hanya 2 studi (Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3 studi lain tidak memenuhi
kriteria. Studi pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada anak yang dengan infeksi
tenggorok berat. Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan yang tegas tentang
tonsilektomi karena adanya keterbatasan metodologi yaitu adanya perbedaan kelompok
operasi dengan kelompok kontrol. Dalam hal riwayat episode infeksi sebelum mengikuti
studi (kelompok operasi meliputi anak dengan penyakit yang lebih berat) dan status
sosial ekonomi (kelompok nonoperasi memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi)
serta kelompok tonsilektomi dan tonsilo-adenoidektomi dilaporkan sebagai satu
kelompok operasi. Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak dengan infeksi
tenggorok berat, pada pemantauan, banyak kelompok kontrol yang memiliki episode
infeksi sedikit dan biasanya ringan. Studi kedua oleh Paradise tahun 1992 meliputi anak
dengan infeksi sedang tidak dapat dievaluasi karena saat review dilakukan tidak ada data
yang lebih detil dari desain dan bagaimana penelitian ini dilakukan (hasil penelitian baru
dalam bentuk abstrak). Untuk keadaan emergency seperti adanya obstruksi saluran
napas, indikasi tonsilektomi sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun,

indikasi relatif tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia
pada keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan bahwa
usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi. 7,10

Gambar 7 Tonsilektomi

Indikasi absolut:
a) Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat,
gangguan tidur dan komplikasi kardio-pulmoner.
b) Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase.
c)Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam.
d) Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi.

Indikasi Relatif:
a) Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat.
b) Halitosis akibat Tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi
medis.
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan
pemberian antibiotik -laktamase resisten.
9.2 Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun bila
sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap memperhitungkan
imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni: gangguan perdarahan, risiko
anestesi yang besar atau penyakit berat, anemia, dan infeksi akut yang berat.10
10. Komplikasi
a) Abses peritonsil. Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot
yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan
serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang
berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses7,10.
b) Abses parafaring. Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di
sekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring
sehingga menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal8,

c) Abses intratonsilar. Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai
nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika
diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi8,10.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil). Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila
kripta diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium
kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar
secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolitis lebih
sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body
sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan8.
e) Kista tonsilar. Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat dengan
mudah didrainasi12.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Dalam penelitiannya Xie
melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita
Glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan
faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa
terjadinya penyakit Glomerulonefritis8,12.

11. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristirahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala gejala yang timbul dapat membuat penderita
tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi, antibiotika
tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan yang lengkap, bahkan
bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu yang singkat. Gejala gejala
yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita mengalami infeksi saluran nafas
lainnya, infeksi yang paling sering terjadi yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada
kasus kasus yang jarang, tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti
demam rematik atau pneumonia. 9
12. Pencegahan
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari satu
penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan mencegah terpapar
dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan sakit menelan. Gelas minuman dan
perkakas rumah tangga untuk makan tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan
menggunakan air panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang
telah lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang orang yang
merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan mereka untuk mencegah
penyebaran infeksi pada orang lain. 2,9

RINGKASAN
Tonsilitis kronik merupakan keradangan kronik pada tonsil, sebagai kelanjutan dari
infeksi akut berulang atau infeksi subklinik pada tonsil.
Didapatkan pembesaran tonsil akibat hipertrofi folikel getah bening, dengan
gambaran klinik rasa mengganjal di tenggorok, pada pemeriksaan didapatkan tonsil
membesar, kripta melebar diisi detritus, arkus anterior dan posterior merah.
Pada serangan akut terapi seperti pada tonsillitis akut. Bila diperlukan dapat
dilakukan tonsilektomi atau adenotonsilektomi.
Indikasi tonsilektomi/adenotonsilektomi ialah bila tonsil/adenoid menjadi sumber
infeksi yang memberi resiko yang lebih besar daripada resiko operasi, atau memberikan
penyulit yang merugikan penderita.
Prognosis untuk penyakit ini adalah baik setelah dilakukan tonsilektomi dan sebelum
terjadinya komplikasi lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher,fakultas
kedokteran universitas indonesia edisi ke lima.Dr.H.Efiatyarsyad soepardi
SpTHT,Prof.Dr.H.Nurbuati iskandar SpTHT.

2.

Adams, G.L. (1997), Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring,dalam Harjanto,


E. dkk (ed) Boies Buku Ajar Penyakit THT, edisi ke6, Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Al-Abdulhadi, Khalid, 2007, Common throat infections: a review, ORL-HNS

3.

Department, Zain and Al-Sabah Hospital, Kuwait, Bull Kuwait Inst Med Spec
2007;6:63-67.
4

Efiaty, Soepardi, 2001, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher, Edisi 5, Jakarta, FK-UI

5.

Rusmarjono,efiaty AS. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Dalam;


Soepardi EA,iskandar NH(eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala Leher, Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2007

6.

Zhang, et al. 2002. Comparison of histology between recurrent tonsillitis and


tonsillar hypertrophy. www.medscape.com

7. Farokah (2005) Hubungan Tonsilittsi Kronik dengan Prestasi Belajar Pada Siswa
kelas II Sekolah Dasar di Kota semarang. Skripsi. Tidak diterbitkan Baigan IKTHT
-KL Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang
8. Rusmarjono, Soepardi, E.A., 2007. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid,
dalam Soepardi E.A., Iskandar H.N., edit or, Telinga Hidung Tenggorok
Kepala dan Leher. Jakarta: Balai PenerbitFKUI. Halaman 223-224.
9. Cody D, Thane R, Kern EB, Pearson BW. Penyakit Hidung, Telinga dan Tenggorok.
Petrus Andrianto, editor. Jakarta:ECG:1993
10.

11.

Shnayder Y, Lee KC, Bernstein JM, 2008. Management of Adenotonsilar Disease,


in:
Lalwani AK editors, Current Diagnosi & Treatment in Otolaryngology-Head & Neck
Surgery. Philadelphia: McGrow-Hill Companies, p.340-8.
Kurien M., Stanis A., Job A., Brahmadathan, Thomas K., 2000. Throat Swab in
the Chronic Tonsillitis: How Reliable and Valid is it. Singapore Med J,
Vol 41(7), p.324-326.

12.

Xie, Yuansheng., Relationship between tonsils and IgA nephropathy as well as


indications of tonsillectomy, 2004. Kidney International, Vol. 65 (2004), pp. 1135
1144

Anda mungkin juga menyukai