Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh cedera. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat
berupa trauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada ekstremitas
bawah yang menyebabkan fraktur pada femur, patella, maupun tibia dan fibula
dan juga dapat berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada
tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.1
Menurut Handayani (2010) trauma muskuloskeletal, khususnya fraktur
memerlukan pemberian perawatan yang komprehensif. Asuhan terutama ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan dasar klien yang terganggu dan mencegah
mengurangi komplikasi terutama immobilisasi. Pendidikan kesehatan juga dapat
diberikan untuk mencegah cidera lebih lanjut sehingga klien secara bertahap dapat
mengoptimalkan fungsi bio-psikososio-spiritualnya.2
Traumatrauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja,
kecelakaan domestik, dan kecelakaan atau cedera olahraga. Kita harus dapat
membayangkan rekonstruksi terjadinya kecelakaan agar dapat menduga fraktur
apa yang dapat terjadi.2
Misalnya; penderita adalah pengemudi mobil yang menabrak pohon,
kemungkinan-kemungkinannya adalah; trauma kapitis, trauma toraks oleh
benturan dada dengan kemudi mobil, fraktur servikal, fraktur torakolumbal,
fraktur patella, fraktur femur, fraktur kolum femur, dislokasi panggul atau fraktur
asetabulum.2
Kejadian fraktur di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah
penduduk 238 juta, merupakan terbesar di Asia Tenggara (Wrongdignosis, 2011).
Manajemen fraktur memiliki tujuan reduksi, imobilisasi, dan pemulihan fungsi,
normal (Halstead, 2004). Reposisi, reduksi, dan retaining merupakan suatu
rangkaian tindakan yang tidak dapat dipisahkan. ORIF merupakan metode
penatalaksanaan bedah patah tulang yang paling banyak keunggulannya (Price &
Wilson, 2003). Permasalahan paska pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri,

perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare &
Smeltzer, 2006). Permasalahan yang terjadi secara keseluruhan mengakibatkan
perubahan status fungsional. Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai
tanda pertama dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011).
Fase rehabilitasi paska bedah ortopedi status fungsional berada dibawah level
minimal dan merupakan fase dimana kemampuan fungsional berada pada tahap
paling rendah dibandingkan prehabilitasi dan paska rehabilitasi dimana status
fungsional berada di bawah level minimal (Ditmyer et al (2002); dikutip dari Topp
et al, 2002). Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari
penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011). Fase restoratif (fase
rehabilitasi) mendukung pasien dengan gangguan sebagai dampak suatu penyakit
untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri sampai mampu
berfungsi dalam level maksimal yang memungkinkan (DeLaune & Ladner, 2002).
Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah
memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus
sentral program rehabilitasi ortopedi. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan
status fungsional perlu diidentifikasi sebagai dasar melakukan perawatan pada
fase restoratif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status fungsional paska
ORIF ekstremitas bawah diidentifikasi dari konsep mengenai faktor yang
mempengaruhi kemampuan beraktivitas fisik, status fungsional secara umum, dan
penelitian tentang status fungsional paska pembedahan ortopedi sebelumnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional paska ORIF pada fraktur
ekstremitas bawah meliputi usia, lama menjalani perawatan paska operasi, jenis
fraktur, nyeri, kelelahan, motivasi, fall-efficacy, serta dukungan keluarga.5
TRAUMA LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG

Trauma langsung berarti benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur


ditempat itu.

Trauma tidak langsung bila mana titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan. Misalnya: seorang anak yang jatuh dan berusaha menahan

dengan telapak tangan membentur lantai. Gaya benturan akan diteruskan ke


proksimal dan dapat mengakibatkan:2
1. Fraktur distal radius
2. Fraktur antebrachii
3. Fraktur kaput radius
4. Fraktur kondilus lateralis
5. Fraktur suprakondilair humerus
6. Fraktur klavikula
Trauma rotasi pada kaki dapat mebngakibatkan fraktur spiral pada tibia.
Seseorang yang melompat dari ketinggian dan mendarat pada kakinya dapat
menderita fraktur kompresi tulang belakang yang jaraknya amat berjauhan.2
Fraktur yang diakibatkan trauma yang minimal atau tanpa trauma adalah
fraktur patologis yaitu fraktur dari tulang yang patologik akibat suatu proses
misalnya, pada osteogenesis imperfecta, osteoporosis, penyakit metabolic atau
penyakit-penyakit lain seperti infeksi tulang dan tumor tulang.2
KERUSAKAN JARINGAN LUNAK
Setiap trauma yang dapat mengakibatkan fraktur juga dapat sekaligus
merusak jaringan lunak

disekitar fraktur mulai dari otot, fasia, kulit sampai

struktur neurovaskuler atau organ-organ penting lain.2


Misalnya: trauma medulla spinalis pada fraktur tulang belakang, trauma
pembuluh darah, besar dan saraf prifer pada fraktur disekitar siku dan lutut,
trauma paru-paru pada fraktur iga atau fraktur klavikula.2
Di samping itu pergeseran segmen fraktur pada saat kejadian atau pun
sesudahnya dapat merusak jaringan lunak disekitarnya. Pada luka tembak,
fragmen-fragmen tulang yang bersifat proyektil juga akan menambah kerusakan
jaringan lunak disekitarnya.2

BAB II
LAPORAN KASUS
I.

IDENTITAS PASIEN

II.

Nama
: Ny. S
Umur/Jenis Kelamin : 35 tahun / Perempuan
Alamat
: Labibia
Suku
: Tolaki
Masuk
: 2 Juli 2015 jam 21.40 WITA
Status
: umum
No. Rekam Medik : 44 42 05

RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama : tidak dapat menggerakkan tungkai kanan
-

Anamnesis : dialami sejak 1 jam sebelum dibawa ke Rumah Sakit

Bahteramas karena kecelakaan lalu lintas.


Mekanisme trauma : ketika pasien dibonceng, tiba-tiba motor tidak dapat
dikendalikan oleh kemudinya, sehingga pasien yang dibonceng terjatuh ke
arah kanan dan pasien terjatuh masuk di selokan. Pada saat itu pasien tidak

memakai helm.
Tidak ada riwayat pingsan sesaat setelah kejadian, tidak ada riwayat mual

dan muntah.
Keluhan lain : pasien merasakan sakit kepala sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit.

III.

PEMERIKSAAN FISIS
PRIMARY SURVEY

Airway

: Bebas
4

Breathing
Circulation

reguler, kuat angkat


Disability
: GCS 15 (E4M6V5), pupil isokor, 2.5 mm/2.5 mm,

refleks cahaya +/+


Environment : Suhu axilla = 36.8oC

: P= 21x/menit, reguler, spontan, tipe thorakoabdominal


: Tekanan darah=110/80 mmHg, Nadi=82x/menit,

SECONDARY SURVEY
Kepala

: tampak hematom pada regio parietal dextra

Mata

: tidak ada konjunctiva anemis

Mulut

: tidak ada kelainan

Telinga

: tidak ada kelainan

Leher

: tidak ada kelainan

Thoraks

: tidak ada kelainan

Abdomen

: tidak ada kelainan

Ekstremitas superior : tidak ada kelainan


Ekstremitas inferior : Regio Cruris Dextra

Inpeksi

Palpasi

laseratum dengan ukuran 14cmx5cmx3cm


: Nyeri tekan (+)

ROM

: Gerak aktif dan pasif dari sendi lutut dan pergelangan

NVD

kaki tidak dapat dievaluasi karena nyeri.


: Sensibilitas normal. Pulsasi dari arteri dorsalis pedis dan

Deformitas (+),

edema (+), hematoma (+),

vulnus

arteri tibialis posterior teraba. CRT < 2 detik.

Gambaran Klinis

IV.

RESUME
Perempuan, 35 tahun, masuk RS Umum Bahteramas dengan keluhan
utama tidak dapat menggerakkan tungkai kanan bawah akibat kecelakaan
lalu lintas.
Dari pemeriksaan fisis, ditemukan pada kepala tampak hematom
pada regio parietal dextra, pada regio cruris dextra ditemukan ada
deformitas, ada edema, ada hematoma, ada Vulnus Laseratum dengan
ukuran 14cmx5cmx3cm.

V.

VI.

DIAGNOSIS SEMENTARA
Trauma Capitis Ringan dengan GCS 15 dan Fraktur cruris dextra terbuka
grade III A
RENCANA TERAPI
1. Terapi Non Farmakologi
a. Atasi perdarahan : bebat tekan dan pemasangan elastic perban
b. Pasang spalak
c. Elevasikan tungkai
2. Terapi Farmakologi
a. Resusitasi Cairan

VII.

VIII.

b. Analgesik : injeksi ketorolac


c. Antibiotik : injeksi Ceftriaksone
d. Injeksi Tetanus Toxoid 0,5mg
e. Konsul ke dokter ahli tulang
RENCANA PEMERIKSAAN
1. Foto Cruris Ap/Lateral
2. Pemeriksaan Laboratorium darah rutin : Hemoglobin, Leukosit,
Trombosit, CT, BT
PEMERIKSAAN RADIOLOGI
X-Ray posisi AP/lateral (Cruris dextra)

Dari pemeriksaan radiologi, foto cruris dextra AP / Lateral, tampak fraktur


tibia 1/3 distal dextra dan fraktur fibula 1/3 distal dextra.
IX.

DIAGNOSIS PASTI
Trauma Capitis Ringan GCS 15 dan Fraktur tibia pada 1/3 distal
dextra dan fibula pada 1/3 distal dextra terbuka grade IIIA.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menimbulkan
gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Fraktur tertutup maupun
terbuka biasanya disertai berbagai bentuk kerusakan jaringan lunak.1

Fraktur adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau


tulang rawan sendi. Penyebab fraktur adalah trauma.2
Menurut definisi, fraktura adalah putusnya kesinambungan suatu
tulang. Tetapi trauma yang cukup untuk menyebabkan fraktura, hampir tak
dapat dielakkan menimbulkan cedera jaringan lunak. Sehingga untuk
penilaian fraktura akut dan rehabilitasi setelah fraktura,maka diperlukan
pengetahuan tentang komponen otot, vascular dan neurologi cedera. Lebih
lanjut, banyak fraktura akibat hebat, serta evakuasi neurologi, pernapasan,
sirkulasi, abdomen dan genitourinarius sering merupakan komponen
perawatan lengkap.3
B. EPIDEMIOLOGI
Dengan makin pesatnya kemajuan lalu-lintas di Indonesia baik dari
segi jumlah pemakai jalan, jumlah kendaraan, jumlah pemakai jasa angkutan
dan bertambahnya jaringan jalan dan kecepatan kendaraan, maka mayoritas
fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan lalu-lintas sering
mengakibatkan trauma kecepatan tinggi dan kita harus waspada terhadap
kemungkinan politrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ lain
seperti trauma kapitis, trauma toraks, trauma abdomen, trauma ginjal dan lainlain. Fraktur yang diakibatkan juga sering fraktur terbuka derajat tiga.2
C. KLASIFIKASI
Bila terjadi garis fraktura tunggal, maka terdapat fraktura sederhana.
Garis fraktura majemuk dan fragmen tulang membentuk fraktura kominuta.
Trauma ini bisa tidak tergeser (dalam posisi anatomi) atau tergeser.luka yang
berhubungan dengan fraktura bisa akibat trauma penetrasi luar atau akibat
fragmen tulang yang membelah kulit dalam perjalanan trauma. Sehingga
fraktura digambarkan sebagai sederhana atau komunitas, tergeser atau tidak
tergeser, serta terbuka atau tertutp. Pembedaan ini penting, karena
mempengaruhi terapi dan prognosis.3
Pola fraktura ditentukan dalam tingkat tertentu oleh sifat tenaga yang
diberikan. Gerakan membengkokkan yang diberikan ketulang panjang
menimbulkan fraktura oblik atatu transversa sederhana; pukulan langsung atau

tenaga meremukkan biasanya menimbulkan fraktura komunita; tenaga putaran


atau puntiran sering menimbulkan fraktura spiral; dan komprei sumbu bisa
menimbulkan fraktura jepit (implaksi).tenaga traksi pada titik perlekatan tendo
bisa menimbulkan fraktura avulsi dengan fragmen tergeser oleh kontraksi otot
yang hebat.3
Trauma berulang kronis bisa juga menyebabkan fraktura. Pada atlet
yang melakukan gerak badan berlebihan tiap hari. Fraktura kelekahan atau
stress dalam ekstremitas. Bawah bisa terjadi. Pada pasien tua dengan
osteoporosis, aktivitas harian rutin berulang (berjalan) atau mendadak
(mengangkat obyek) bisa menyebabkan fraktura insufisiensi. Fraktura
nontraumatik dengan adanya timbunan metastatic atau infeksi dinamakan
sebagai fraktura patologi.3
I.

Komplit dan tidak Komplit2


-

Fraktur Komplit : garis patah melalui seluruh penampang tulang atau


melalui kedua korteks tulang seperi terlihat pada foto.

Fraktur tidak Komplit : garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
1. Hairline fracture (patah retak rambut)
2. Buckle fracture atau Torus fracture (terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawah nya). Fraktur ini umumnya
terjadi pada distal radius anak-anak.
3. Greenstick (fraktur tangkai dahan muda). Mengenai satu korteks
dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak.

II. Bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma2


1. Garis patah melintang : trauma angulasi atau langsung
2. Garis patah oblique : trauma nagulasi
3. Garis patah spiral : trauma rotasi
4. Fraktur kompresi : trauma aksial-fleksi pada tulang spongiosa
5. Fraktur avulsi : trauma tarikan atau traksi otot pada tulang, misalnya:
fraktur pertela.

III.

Jumlah Garis Patah2

1. Fraktur Kominutif.
Garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2. Fraktur segmental
Garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah
tersebut pula fraktur bifocal.
3. Fraktur multiple
Garis patah lebih dari satu, tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya,
misalnya: fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang.
IV.Bergeser tidak bergeser
Dalam literature inggris: displaced undisplaced2
-

Fraktur undisplaced (tidak bergeser):


Garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser. Periosteumnya
masih utuh.

Fraktur Displaced (bergeser)


Terjadi pergeseran fragmen-fragmen fraktur yang disebut dislokasi
fragmen.
1. Dislokasi ad longitudinam cum contractonium (pergeseran serah sumbu
dan overlapping)
2. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
3. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmne saling menjauhi)

V Terbuka-Tertutup2
-

Fraktur terbuka : bila terdapat luka yang menghubungkan tulang yang


fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit.

Fraktur tertutup : bilamana tidak ada luka yang menghubungkan fraktur


dengan udara luar atau permukaan kulit.
Bila terdapat luka melalui kulit dan subkutis tetapi fasia masih utuh

disebut fraktur yang potensial terbuka.2


Bilamana fraktur dan luka berada pada regional berlainan atau
berjauhan tidak disebut fraktur terbuka.2

10

Misalnya: fraktur kruris 1/3 distal dengan luka di 1/3 proksimal yang
tidak berhubungan sama sekali dengan hematoma fraktur tersebut.2
D. TIPE FRAKTUR DARI TIBIA DAN FIBULA

Gambar 55Tipe fraktur dari Tibia dan Fibula


E. LANGKAH-LANGKAH DIAGNOSIS
Harus disebut jenis tulang atau bagian tulang yang mempunyai nama
sendiri, kiri atau kanan, bagian mana dari tulang 1/3 proksimal, tengah atau
distal, komplit atau tidak, bentuk garis patah, jumlah garis patah, bergeser
tidak bergeser, terbuka atau tertutup dan komplikasi bila ada, misalnya :2
1. Fraktur femoris dekstra 1/3 proksimal garis patah oblique dislocation ad
latus terbuka derajat satu neuro vaskuler distal baik.
2. Fraktur kondilus lateralis humerus sinistra, displace, tertutup dengan
paralysis n. radialis.2
Pemeriksaan ekstremitas didaptkan nyeri, pembengkakan, deformitas,
nyeri tekan, krepitasi dan gerakan abnormal ditempat fraktur kadang-kadang
dilakukan untuk memastikan diagnosis, tetapi sangat nyeri dan dapat
menambah kerusakan jaringan lunak. Pemeriksaan ini bukan pemeriksaan
rutin, apalagi bila dilakukan berulang-ulang. Pembengkakan, nyeri tekan dan
deformitas biasanya cukup untuk membuat diagnosis. Sangat penting untuk
memeriksa keadaan neurovascular ekstremitas berulang-ulang, terutama jika
bidai telah terpasang.1
11

Diagnosa fraktur ditegakkan berdasarkan:


1. Anamnesis: ada trauma
Bilamana tidak ada riwayat trauma berarti fraktur patologis. Trauma
harus diperinci jenisnya, besar ringannya trauma, arah trauma dan posisi
penderita atau ekstremitas yang bersangkutan (mekanisme trauma).2
Dari anamnesa dapat diduga:
a. Kemungkinan politrauma
b. Kemungkinan fraktur multiple
c. Kemungkiinan fraktur-fraktur tertentu misalnya: fraktur Colles,
fraktur suprakondilair humerus, fraktur kolum inkomplit..
d. Ada gangguan fungsi, misalnya: fraktur femur, penderita tidak dapat
berjalan. Kadang- kadang fungsi masih bertahan pada fraktur
inkomplit dan fraktur implacted (impaksi tulang kortikal ke dalam
tulang spongiosa).2
2. Pemeriksaan Umum
Dicari kemungkinan komplikasi umum, misalnya: syok pada fraktur
multiple, fraktur pelvis atau fraktur terbuka, tanda-tanda sepsis pada
fraktur terbuka terinfeksi.2
Riwayat dan pemeriksaan fisik dikonfirmasi dengan foto rontgen 2 view
yang saling tegak lurus.mempertimbangkan status hemodinamik pasien,
foto rontgen dapat ditunda sampai pasien stabil. Foto rontgen harus
mencakup sendi atas dan bawah tulang yang fraktur, untuk menyingkirkan
dislokasi dan trauma lain.1
3. Pemeriksaan status lokalis
Tanda-tanda fraktur yang klasik adalah untuk fraktur tulang panjang.
Fraktur tulang-tulang kecil misalnya: navikulare manus, fraktur avulsi,
fraktur intra artikuler, fraktur episifis, fraktur tulang-tulang yang dalam
misalnya:

odontoidservikal,

servikal,

acetabulum,

dan

lain-lain.

Mempunyai tanda-tanda tersendiri.2


Tanda-tanda fraktur yang klasik tersebut adalah:2
Look

12

a. Deformitas:
o Misalnya: fraktur kondilus lateralis humerus
o Angulasi
o Rotasi
o Pemendekan
b. Fungsio Laesa:
o Hilangnya fungsi :Misalnya pada fraktur kruris tidak dapat berjalan
dan pada fraktur antebrakhii tidak dapat menggunakan lengan.
Feel
Terdapat nyeri tekan dan nyeri sumbu2
Move
a. Krepitasi:
Terasa krepitasi bila fraktur digerakkan, tetapi bukan cara yang baik
dan kurang halus, krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya
ujung-ujung tulang kortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang rawan
epifisis tidak terasa krepitasi.2
b. Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif.2
c. Memeriksa seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan
yang tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan.2
d. Gerakan yang tidak normal: gerakan yang terjadi tidak pada sendi,
misalnya: pertengahan femur dapat digerakkan. Ini adalah bukti paling
penting adanya fraktur yang membuktikan adanya putusnya
kontinuitas tulang sesuai definisi fraktur. Hal ini penting untuk
membuat visum, misalnya: bila tidak ada fasilitas pemeriksaan
rontgen.2
Pada look-feel and move ini juga dicari komplikasi local dan
keadaan neurovaskuler distal.
Pemeriksaan Neurovascular Distal (NVD) penting dilakukan.
Arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior harus diraba untuk
dievaluasi dan kita laporkan hasilnya, khususnya pada fraktur terbuka

13

vascular biasanya mengalami gangguan. Nervus peroneal comunis dan


tibialis harus kita lakukan pemeriksaan.3
4. Pemeriksaan Radiologis
Untuk fraktur-fraktur dengan tanda-tanda klasik, diagnosis dapat dibuat
secara klinis sedangkan pemeriksaan radiologis tetap diperlukan untuk
melengkapi deskripsi fraktur dan dasar untuk tindakan selanjutnya.2
Untuk fraktur-fraktur yang tidak memberikan tanda-tanda klasik memang
diagnosanyaharus dibantu pemeriksaan radilogis, baik rontgen biasa, atau
pun pemeriksaan canggih seperti MRI, misalnya untuk fraktur tulang
belakang dengan komplikasi neurologis. Foto Rontgen minimal harus dua
proyeksi yaitu AP dan lateral. AP dan lateral harus benar-benar AP dan
lateral. Posisi yang salah akan memberi interpretasi yang salah. Untuk
pergelangan tangan atau sendi panggul diperlukan posisi aksial pengganti
lateral. Untuk asetabulum diperlukan proyeksi khusus dan obturator.2
F. PENYEMBUHAN FRAKTUR
Imobilisasi harus mencakup sendir diatas dan dibawah fraktur. Setelah
dipasang bidai, status neurology dan vascular harus diperiksa. 1Konsultasi
bedah diperlukan untuk pengobatan lebih lanjut.1
Tulang Kortikal:
Penyembuhan terutam oleh aktifitas periosteum yang membentuk
kalus oleh rangsangan hematoma fraktur. Ujung-ujung fragmen yang
avaskuler tidak berperan pada tahap awal penyembuhan, pada akhirnya
menyambung melalui endokhondral dan terjadilah konsolidasi.2
Pada anak-anak dengan periosteum yang tebal dan aktif dan pada
tulang-tulang dengan vaskularisasi yang baik dan terbungkus otot,
penyembuhan langsung lebih cepat.2
Tulang Spongiosa:

14

Penyembuhan terutama oleh aktiftas endosteum dalam trabekula


tulang spongiosa. Oleh vaskularisasi yang baik dan bilamana kontak anttara
fragmen cukup baik maka penyembuhan akan cepat.2
Lempeng Epifisis:
Oleh karena epifisis aktif dalam pembentukan tulang dalam proses
pertumbuhan panjang, fraktur episifis sangat cepat penyembuhannya.2
Tulang Rawan Sendi:
Oleh karena tulang rawan sendi vaskularisasinya tidak ada dan
nutrisinya dari cairan sendi maka penyembuhan fraktur tulang rawan sendi
adalah sulit. Bila ada celah fraktur akan diisi jaringan ikat.2
Penyembuhan kembali menjadi tulang rawan hyaline
dimungkinkan bila dilakukan reposisi anatomis dengan fiksasi interna khusus
dan gerakan sendi yang terus menerus setelah operasi dengan alat CPM
(Continous Passive Movement).2
G. KOMPLIKASI
Bila ada komplikasi harus disebut. Komplikasi dapa komplikasi dini
atau lambat. Local atau sistemik, oleh trauma atau akibat pengobatan.2
KOMPLIKASI PENYEMBUHAN FRAKTUR
1. Malunion: Fraktur sembuh dengan deformitas (angulasi,perpendekan atau
rotasi)
2. Delayed Union: Fraktur sembuh dalamjangka waktu yang lebih dari
normal.
3. Nonunion: Fraktur yang tidak menyambung yang juga disebut
psuedartrosis. Disebut nonunion bila tidak menyambung dalam 20
minggu. Pada fraktur dengan kehilangan fragmen sehingga ujung-ujung
tulang berjauhan, maka dari awal sudah potensial menjadi nonunion dan
boleh diberlakukan sebagai Nonunion (gap nonunion).2
KOMPLIKASI FRAKTUR YANG PENTING ADALAH
1.

Komplikasi dini2

a. Lokal

15

Vaskuler: - compartment syndrome (Volkmanns ischaemia)


-

Trauma vaskuler

Neurologis: lesi medulla spinalis atau saraf perifer

b. Sistemik: emboli lemak


2.

Komplikasi lanjut2

Lokal : - kelakuan sendi/kontraktur


-

Disuse atrofi otot-otot

Malunion

Nonunion/infected nonunion

Gangguan pertumbuhan (fraktur epifisis)

Osteoporosis post trauma

H. PENATALAKSANAAN FRAKTUR
Bila timbul fraktura, maka pendarahan local menimbulkan hematoma
yang membesar, menyelubungi tempat fraktura. Tekanan pada saraf dan
pembuluh darah local bisa terjadi akibat hematoma atau akibat pergeseran
fraktura oleh kontraksi otot yang menyilang tempat fraktura.diperlukan
evaluasi neurologi dan vascular yang cermat. Trauma saraf atau pembuluh
darah bisa terjadi akibat penetrasi oleh fragmen fraktura yang tajam.
Pendarahan ke dalam ruang anatomi seperti ruang anterior tungkai atau ruang
volar lengan bawah bisa juga menimbulkan deficit neurologi dan vascular akut
yang memerlukan fasiotomi dekompresif. Trauma organ berdekatan bisa
timbul pada fraktura tertentu. Trauma vesika urinaria dengan fraktura pelvis,
cedera hati, limpa atau paru dengan fraktura vertebra harus dipertimbangkan
semuanya. Pada fraktura pelvis dan femur atau pada fraktura majemuk, maka
pendarahan

pada

tempat

fraktura

cukup

untuk

menimbulkan

syok

hipovolemik.3
Pada sejumlah kecil pasien, biasanya yang telah mengalmi syok
hipovolemik, maka syndrom embolisasi lemak bisa timbul.komplikasi
pernapasan ini pertama dikenal dengan peninggian frekuensi PO 2 arteri.
Konfusi mental, petekia pada dada dan abdomen, partikel lemak bebas dalam
16

urin, serta infiltrate berbercak-bercak pada foto toraks melengkapi gambaran


klinis. Pengenalan diri penting untuk menghindari pemburukan cepat dan
kematian. Dosis besar kortikosteroid dan oksigen yang diberikan dengan
masker, inturbasi atau trakeostomi biasanya akan menimbulkan pembalikan
proses ini dalam 4 sampai 5 hari.3
Pengobatan Fraktur
Pilihan adalah terapi konservatif atau operatif, pilihan harus mengingat
tujuan pengobatan fraktur yaitu: mengembalikan fungsi tulang yang patah
dalam jangka waktu sesingkat mungkin.2
Terapi Konservatif
1. Proteksi saja : Misalnya Mitella untuk fraktur collum chirurgicum humeri
dengan kedudukan baik.2
2. Imobilisasi saja tanpa reposisi : Misalnya; pemasangan gips atau bidai
pada fraktur inkomplit dan fraktur dengan kedudukan baik2
3. Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips : Misalnya, pada fraktur supra
kondilair, fraktur calles, fraktur Smith. Reposisi dapat dengan anestesi
umum atau anestasi local dengan menyuntikkan obat anestesi dalam
hematoma fraktur. Fragmen distal dikembalikan pada kedudukan semula
terhadap fragmen proksimal dan dipertahankan dalam kedudukan yang
stabil dalam gips.. misalnya; fraktur distal radius, imobilisasi dalam
pronasi penuh dan fleksi pergelangan.2
4. Traksi : Traksi dapat untuk reposisi secara perlahan dan fiksasi hingga
sembuh atau dipasang gips setelah tidak sakit lagi. Pada anak-anak dipakai
traksi kulit (traksi Hamilton Russel/traksi Bryant).2
Traksi kulit terbatas untuk 4 minggu dan beban <5 kg, untuk anak-anak
waktu dan beban tersebutmencukupi untuk dipakai sebagai traksi
definitive, bilamana tidak maka diteruskan dengan imobilisasi gips.2
Untuk orang dewasa traksi definitive harus traksi skeletal berupa balanced
traction.2
Traksi Operatif

17

Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup dengan bimbingan


radiologis (image intensifier, C-arm):2
1. Reposisi tertutup- Fiksasi eksterna : Setelah response baik berdasarkan
control radiologis introperatif maka dipasang alat fiksasi eksterna. Fiksasi
eksterna dapat model sederhana seperti Rogert Anderson, Judet, Screw
dengan Bone cement atau ILizarov yang lebih canggih.
2. Reposisi tertutup dengan control radiologis diikuti fiksasi interna :
Misalnya: reposisi tertutp fraktur supra kondilair humerus pada anak
diikuti dengan pemasangan parelel pins. Reposisi tertutup fraktur kolum
pada anak diikuti pinning dan imobilisasi gips.
Cara ini sekarang terus dikembangkan menjadi Close nailing pada
fraktur femur dan tibia, yaitu: pemasangan fiksasi interna intrameduler
(pen) tanpa membuka frakturnya.
Terapi Operatif dengan membuka Frakturnya2
1. Reposisi terbuka dan Fiksasi interna2
-

ORIF (Open Reduction and Internal Fixation)


Keuntungan cara ini adalah:

Reposisi anatomis

Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar

Indikasi ORIF:2
a. Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avaskulair nekrosis tinggi.
Misalnya:
o Fraktur talus
o Fraktur kolum femur
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup, misalnya:
o Fraktur avulsi
o Fraktur dislokasi
c. Fraktur yang dapat di reposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya:
o Fraktur Monteggia
o Fraktur Galeazzi

18

o Fraktur antebrachii
o Fraktur pergelangan kaki
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya: fraktur femur.
2. Excisional Arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi, misalnya:

Fraktur caput radii pada orang dewasa

Fraktur collum femur yang dilakukan operasi Girdlestone

3. Eksisi fragmen dan pemasangan endoprostesis


Dilakukan eksisi kaput femur dan pemasangan endoprostesis Moore atau
yang lainnya.
Sesuai tujuan pengobatan fraktur yaitu untuk mengembalikan fungsi, maka
sejak awal sudah harus diperhatikan latihan-latihan untuk mencegah disuse
atrofi otot dan kekakuan sendi, disertai mobilisasi dini.2
Fraktur Terbuka
Fraktura terbuka merupakan suatu kedaruratan, debridemen luka
diperlukan dalam kamar operasi, sewaktu trauma lain dievakuasi serta pasien
stabil secara medis. Fraktura terbuka bisa ditentukan tingkatnya menurut
ukuran luka dan derajat kontaminasi. Semua jaringan mati disingkirkan
dengan perhatian khusus, diberikan pada otot yang tak dapat hidup. Tepi kulit
bermaserasi didebridasi secara tajam, pembuluh darah dan saraf dilindungi,
serta ujung tulang yang bisa mengandung kotoran, cat atau debris lain yang
tertanam dibersihkan dengan memotong. Biakan profunda diambil, serta luka
diirigasi menyeluruh dengan larutan antibiotika. Perbaikan dengan saraf atau
tendo tak diperlukan, serta dilakukan hanya dalam luka yang bersih. Perbaikan
arteri mungkin diperlukan jika ekstremitas dalam bahaya. Bila luka fraktura
kecil (kurang dari 1 cm) serta kontaminasi minimum, maka penutupan luka
mungkin tepat. Untuk luka yang lebih luas, maka luka dibalut terbuka,
fraktura dimobilisasi dengan gips, bidau atau dengan traksi, serta penutupan
primer tertunda dilakukan dalam 3 sampai 5 hari, jika tidak ada supurasi.
Umumnya pemasangan fiksasi interna dalam fraktura terbuka pada waktu
19

debridemen, tidak dianjurkan. Bila kehilangan kulit yang luas mencegah


penutupan, maka bidai kulit atay graft kulit berpedikel bisa diperlukan.3
Fraktur terbuka adalah suatu keadaan darurat yang memerlukan
penanganan segera. Tindakan sudah harus dimulai dari fase pra rumah sakit:2

Pembidaian

Menghentikan pendarahan dengan perban tekan

Menghentikan pendarahan besar dengan klem.


Tiba di UGD rumah sakit harus segera diperiksa menyeluruh oleh

karena 40% dari fraktur terbuka merupakan politrauma.2


Tindakan life-saving harus selalu didahulukan dalam kerangka kerja
terpadu (team work).2
Tindakan Debridement Dan Posisi Terbuka2
1. Penderita diberi Toksoid, ATS atau tetanus human globulin
2. Antiobotika untuk kuman gram positif dan negative dengan dosis tinggi
3. Kultur dan resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka
4. Tourniquet disiapkan tetapi tidak perlu dtiup
5. Setelah dalam narkose seluruh ekstremitas dicuci selama 5-10 menit dan
dicukur
6. Luka di irigasi dengan cairan NaCL steril atau air matang 5-10 liter, luka
derajat 3 harus disemprot hingga bebas dari kontaminasi (jet lavage).
7. Tindakan desinfeksi dan pemasangan duk (draping).
8. Eksisi luka lapis demi lapis, eksisi kulit, subkutis, fasia, otot. Otot yang
tidak vital diekisisi. Tulang tulang kecil yang tidak melekat pada
periosteum dibuang. Fragmen tulang besar yang perlu untuk Stabilitas
dipertahankan.
9. Bila letak luka tidak menguntungkan maka untuk reposisi terbuka dibuat
insisi baru yang biasa dipergunakan, misalnya fraktur femur dengan
fragmen distal menembus dekat lipat paha, untuk reposisi terbuka di pakai
approach posterolateral biasa.

20

10. Luka fraktur terbuka selalu dibiarkan terbuka dan bila perlu ditutup setelah
satu minggu setelah edema menghilang. Luka untuk reposisi terbuka
dijahit primer.
11. Fiksasi yang baik adalah fiksasi eksterna. Bagi yang sudah berpengalaman
dan dirumah sakit dengan perlengkapan yang baik, penggunaan fiksasi
interna dapat dibenarkan. Bila fasilitas tidak memadai, gips sirkuler
dengan jendela atau traksi dapat digunakan dan kemudian dapat
direncanakan untuk fiksasi interna setelah luka sembuh (deplayed internal
fixation). Pemakaian antibiotika diteruskan untuk tiga hari dan bila
diperlukan debridement harus diulang.2
Fraktur Distal Tibia

Resiko malalignment ada dengan menggunakan IM nail.

Dengan IM nailing, fibulaplating atau penggunaan blocking screws


sekrup dapat membantu untuk mencegahmalalignment.

Penggunaan plat yang dimasukkan secara perkuteneus sering


digunakan.

Fraktur Tibia dengan Fibula yang utuh

Jika fraktur tibia yang tidak mengalami pergeseran, pengobatan terdiri


dari long leg cast dengan early weight bearing. Observasi yang cermat
diindikasikan untuk mengenali kecenderungan terjadinya varus.

Beberapa penulis merekomendasikan IM nailing walaupun fraktur


tibia tidak mengalami pergeseran.

Sangat beresiko terjadinya harus jika ada malunion,terutama pada


pasien dengan usia >20tahun.
DAFTAR PUSTAKA
21

1. Fildes, John. Advanced Trauma Life Support for Doctors. Chicago : American
College of Surgeouns Committee on Trauma, 2008. Page : 228, 233, 235.
2. David C Sabiston, Jr., M.D. Buku Ajar Bedah bagian II. Jakarta : EGC, 2013.
3. Soelarto Rekso Podjo. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Tangerang : Bina Rupa
Aksara, 2010
4. Sugi, Hariana dan Yessi, Ariani. Respon Adaptasi Klien dengan Fraktur
Ekstremitas Bawah Selama Masa Rawatan di RSUP H. Adam Malik Medan
dan RSU DR. Pirngadi Medan. Jurnal Sumateras Utara Volume 2 Nomor 2
November 2007.
5. Ropyanto, CB, Sitorus R dan Eryando T. Jurnal Medikal Bedah : Analisis
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Fungsional Paska Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) Fraktur Ekstremitas. Volume 1, nomor 2
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, November 2013.

DAFTAR PUSTAKA

22

1. Nalyagam S. Principles of Fractures. In: Solomon L. Apleys System of


Orthopaedics and Fractures. Ninth edition. UK: 2010. p. 687-693.
2. Bucholz, Robert W.; Heckman, James D. Fractures of The Tibia and Fibula.
In: Court-Brown, Charles M. Rockwood & Green's Fractures in Adults, 7th
Edition. UK: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p. 1868-76.
3. Koval, Kenneth J.; Zuckerman, Joseph D.Handbook of Fractures, 4th Edition.
USA: Lippincott Williams & Wilkins. 2006.p. 464-75.
4. Agur AMR, Dalley AF. Grants Atlas of Anatomy 12th edition. New York:
Lippincott William Wilkins. 2009.p. 422-5.
5. Thompson, John C. Leg and Knee in: Netter's Concise Orthopaedic Anatomy.
2th Edition..Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010.p. 294, 316-9.
6. Snell RS. The Lower Limb. Clinically Anatomy by Regions. 8th Edition. New
York: Lippincott Williams & Wilkins; p. 595-6.
7. Mostofi SB. Fracture Classification in Clinical Practice. London: Springer.
2006. 59-60.
8. Miller MD, Thompson SR, Hart JA. Review of Orthopaedics 6th Edition.

Philadelphia; Saunder Elsevier. 2012. p. 315-6.

23

Anda mungkin juga menyukai