Lapkas
Lapkas
PENDAHULUAN
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh cedera. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat
berupa trauma langsung, misalnya yang sering terjadi benturan pada ekstremitas
bawah yang menyebabkan fraktur pada femur, patella, maupun tibia dan fibula
dan juga dapat berupa trauma tidak langsung misalnya jatuh bertumpu pada
tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.1
Menurut Handayani (2010) trauma muskuloskeletal, khususnya fraktur
memerlukan pemberian perawatan yang komprehensif. Asuhan terutama ditujukan
untuk memenuhi kebutuhan dasar klien yang terganggu dan mencegah
mengurangi komplikasi terutama immobilisasi. Pendidikan kesehatan juga dapat
diberikan untuk mencegah cidera lebih lanjut sehingga klien secara bertahap dapat
mengoptimalkan fungsi bio-psikososio-spiritualnya.2
Traumatrauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja,
kecelakaan domestik, dan kecelakaan atau cedera olahraga. Kita harus dapat
membayangkan rekonstruksi terjadinya kecelakaan agar dapat menduga fraktur
apa yang dapat terjadi.2
Misalnya; penderita adalah pengemudi mobil yang menabrak pohon,
kemungkinan-kemungkinannya adalah; trauma kapitis, trauma toraks oleh
benturan dada dengan kemudi mobil, fraktur servikal, fraktur torakolumbal,
fraktur patella, fraktur femur, fraktur kolum femur, dislokasi panggul atau fraktur
asetabulum.2
Kejadian fraktur di Indonesia sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah
penduduk 238 juta, merupakan terbesar di Asia Tenggara (Wrongdignosis, 2011).
Manajemen fraktur memiliki tujuan reduksi, imobilisasi, dan pemulihan fungsi,
normal (Halstead, 2004). Reposisi, reduksi, dan retaining merupakan suatu
rangkaian tindakan yang tidak dapat dipisahkan. ORIF merupakan metode
penatalaksanaan bedah patah tulang yang paling banyak keunggulannya (Price &
Wilson, 2003). Permasalahan paska pembedahan ortopedi berkaitan dengan nyeri,
perfusi jaringan, promosi kesehatan, mobilitas fisik, dan konsep diri (Bare &
Smeltzer, 2006). Permasalahan yang terjadi secara keseluruhan mengakibatkan
perubahan status fungsional. Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai
tanda pertama dari penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011).
Fase rehabilitasi paska bedah ortopedi status fungsional berada dibawah level
minimal dan merupakan fase dimana kemampuan fungsional berada pada tahap
paling rendah dibandingkan prehabilitasi dan paska rehabilitasi dimana status
fungsional berada di bawah level minimal (Ditmyer et al (2002); dikutip dari Topp
et al, 2002). Perubahan status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari
penyakit atau kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011). Fase restoratif (fase
rehabilitasi) mendukung pasien dengan gangguan sebagai dampak suatu penyakit
untuk meningkatkan kemampuan melakukan perawatan diri sampai mampu
berfungsi dalam level maksimal yang memungkinkan (DeLaune & Ladner, 2002).
Tujuan utama pasien yang menjalani prosedur paska bedah ortopedi adalah
memfasilitasi untuk kembali berfungsi secara mandiri yang merupakan fokus
sentral program rehabilitasi ortopedi. Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan
status fungsional perlu diidentifikasi sebagai dasar melakukan perawatan pada
fase restoratif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan status fungsional paska
ORIF ekstremitas bawah diidentifikasi dari konsep mengenai faktor yang
mempengaruhi kemampuan beraktivitas fisik, status fungsional secara umum, dan
penelitian tentang status fungsional paska pembedahan ortopedi sebelumnya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status fungsional paska ORIF pada fraktur
ekstremitas bawah meliputi usia, lama menjalani perawatan paska operasi, jenis
fraktur, nyeri, kelelahan, motivasi, fall-efficacy, serta dukungan keluarga.5
TRAUMA LANGSUNG ATAU TIDAK LANGSUNG
Trauma tidak langsung bila mana titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan. Misalnya: seorang anak yang jatuh dan berusaha menahan
BAB II
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
II.
Nama
: Ny. S
Umur/Jenis Kelamin : 35 tahun / Perempuan
Alamat
: Labibia
Suku
: Tolaki
Masuk
: 2 Juli 2015 jam 21.40 WITA
Status
: umum
No. Rekam Medik : 44 42 05
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama : tidak dapat menggerakkan tungkai kanan
-
memakai helm.
Tidak ada riwayat pingsan sesaat setelah kejadian, tidak ada riwayat mual
dan muntah.
Keluhan lain : pasien merasakan sakit kepala sejak 1 jam sebelum masuk
rumah sakit.
III.
PEMERIKSAAN FISIS
PRIMARY SURVEY
Airway
: Bebas
4
Breathing
Circulation
SECONDARY SURVEY
Kepala
Mata
Mulut
Telinga
Leher
Thoraks
Abdomen
Inpeksi
Palpasi
ROM
NVD
Deformitas (+),
vulnus
Gambaran Klinis
IV.
RESUME
Perempuan, 35 tahun, masuk RS Umum Bahteramas dengan keluhan
utama tidak dapat menggerakkan tungkai kanan bawah akibat kecelakaan
lalu lintas.
Dari pemeriksaan fisis, ditemukan pada kepala tampak hematom
pada regio parietal dextra, pada regio cruris dextra ditemukan ada
deformitas, ada edema, ada hematoma, ada Vulnus Laseratum dengan
ukuran 14cmx5cmx3cm.
V.
VI.
DIAGNOSIS SEMENTARA
Trauma Capitis Ringan dengan GCS 15 dan Fraktur cruris dextra terbuka
grade III A
RENCANA TERAPI
1. Terapi Non Farmakologi
a. Atasi perdarahan : bebat tekan dan pemasangan elastic perban
b. Pasang spalak
c. Elevasikan tungkai
2. Terapi Farmakologi
a. Resusitasi Cairan
VII.
VIII.
DIAGNOSIS PASTI
Trauma Capitis Ringan GCS 15 dan Fraktur tibia pada 1/3 distal
dextra dan fibula pada 1/3 distal dextra terbuka grade IIIA.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menimbulkan
gerakan abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Fraktur tertutup maupun
terbuka biasanya disertai berbagai bentuk kerusakan jaringan lunak.1
Fraktur tidak Komplit : garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang
seperti:
1. Hairline fracture (patah retak rambut)
2. Buckle fracture atau Torus fracture (terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawah nya). Fraktur ini umumnya
terjadi pada distal radius anak-anak.
3. Greenstick (fraktur tangkai dahan muda). Mengenai satu korteks
dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang anak.
III.
1. Fraktur Kominutif.
Garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan
2. Fraktur segmental
Garis patah lebih dari satu tetapi tidak berhubungan. Bila dua garis patah
tersebut pula fraktur bifocal.
3. Fraktur multiple
Garis patah lebih dari satu, tetapi pada tulang yang berlainan tempatnya,
misalnya: fraktur femur, fraktur kruris, dan fraktur tulang belakang.
IV.Bergeser tidak bergeser
Dalam literature inggris: displaced undisplaced2
-
V Terbuka-Tertutup2
-
10
Misalnya: fraktur kruris 1/3 distal dengan luka di 1/3 proksimal yang
tidak berhubungan sama sekali dengan hematoma fraktur tersebut.2
D. TIPE FRAKTUR DARI TIBIA DAN FIBULA
odontoidservikal,
servikal,
acetabulum,
dan
lain-lain.
12
a. Deformitas:
o Misalnya: fraktur kondilus lateralis humerus
o Angulasi
o Rotasi
o Pemendekan
b. Fungsio Laesa:
o Hilangnya fungsi :Misalnya pada fraktur kruris tidak dapat berjalan
dan pada fraktur antebrakhii tidak dapat menggunakan lengan.
Feel
Terdapat nyeri tekan dan nyeri sumbu2
Move
a. Krepitasi:
Terasa krepitasi bila fraktur digerakkan, tetapi bukan cara yang baik
dan kurang halus, krepitasi timbul oleh pergeseran atau beradunya
ujung-ujung tulang kortikal. Pada tulang spongiosa atau tulang rawan
epifisis tidak terasa krepitasi.2
b. Nyeri bila digerakkan, baik pada gerakan aktif maupun pasif.2
c. Memeriksa seberapa jauh gangguan-gangguan fungsi, gerakan-gerakan
yang tidak mampu dilakukan, range of motion dan kekuatan.2
d. Gerakan yang tidak normal: gerakan yang terjadi tidak pada sendi,
misalnya: pertengahan femur dapat digerakkan. Ini adalah bukti paling
penting adanya fraktur yang membuktikan adanya putusnya
kontinuitas tulang sesuai definisi fraktur. Hal ini penting untuk
membuat visum, misalnya: bila tidak ada fasilitas pemeriksaan
rontgen.2
Pada look-feel and move ini juga dicari komplikasi local dan
keadaan neurovaskuler distal.
Pemeriksaan Neurovascular Distal (NVD) penting dilakukan.
Arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior harus diraba untuk
dievaluasi dan kita laporkan hasilnya, khususnya pada fraktur terbuka
13
14
Komplikasi dini2
a. Lokal
15
Trauma vaskuler
Komplikasi lanjut2
Malunion
Nonunion/infected nonunion
H. PENATALAKSANAAN FRAKTUR
Bila timbul fraktura, maka pendarahan local menimbulkan hematoma
yang membesar, menyelubungi tempat fraktura. Tekanan pada saraf dan
pembuluh darah local bisa terjadi akibat hematoma atau akibat pergeseran
fraktura oleh kontraksi otot yang menyilang tempat fraktura.diperlukan
evaluasi neurologi dan vascular yang cermat. Trauma saraf atau pembuluh
darah bisa terjadi akibat penetrasi oleh fragmen fraktura yang tajam.
Pendarahan ke dalam ruang anatomi seperti ruang anterior tungkai atau ruang
volar lengan bawah bisa juga menimbulkan deficit neurologi dan vascular akut
yang memerlukan fasiotomi dekompresif. Trauma organ berdekatan bisa
timbul pada fraktura tertentu. Trauma vesika urinaria dengan fraktura pelvis,
cedera hati, limpa atau paru dengan fraktura vertebra harus dipertimbangkan
semuanya. Pada fraktura pelvis dan femur atau pada fraktura majemuk, maka
pendarahan
pada
tempat
fraktura
cukup
untuk
menimbulkan
syok
hipovolemik.3
Pada sejumlah kecil pasien, biasanya yang telah mengalmi syok
hipovolemik, maka syndrom embolisasi lemak bisa timbul.komplikasi
pernapasan ini pertama dikenal dengan peninggian frekuensi PO 2 arteri.
Konfusi mental, petekia pada dada dan abdomen, partikel lemak bebas dalam
16
17
Reposisi anatomis
Indikasi ORIF:2
a. Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avaskulair nekrosis tinggi.
Misalnya:
o Fraktur talus
o Fraktur kolum femur
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup, misalnya:
o Fraktur avulsi
o Fraktur dislokasi
c. Fraktur yang dapat di reposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya:
o Fraktur Monteggia
o Fraktur Galeazzi
18
o Fraktur antebrachii
o Fraktur pergelangan kaki
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik
dengan operasi, misalnya: fraktur femur.
2. Excisional Arthroplasty
Membuang fragmen yang patah yang membentuk sendi, misalnya:
Pembidaian
20
10. Luka fraktur terbuka selalu dibiarkan terbuka dan bila perlu ditutup setelah
satu minggu setelah edema menghilang. Luka untuk reposisi terbuka
dijahit primer.
11. Fiksasi yang baik adalah fiksasi eksterna. Bagi yang sudah berpengalaman
dan dirumah sakit dengan perlengkapan yang baik, penggunaan fiksasi
interna dapat dibenarkan. Bila fasilitas tidak memadai, gips sirkuler
dengan jendela atau traksi dapat digunakan dan kemudian dapat
direncanakan untuk fiksasi interna setelah luka sembuh (deplayed internal
fixation). Pemakaian antibiotika diteruskan untuk tiga hari dan bila
diperlukan debridement harus diulang.2
Fraktur Distal Tibia
1. Fildes, John. Advanced Trauma Life Support for Doctors. Chicago : American
College of Surgeouns Committee on Trauma, 2008. Page : 228, 233, 235.
2. David C Sabiston, Jr., M.D. Buku Ajar Bedah bagian II. Jakarta : EGC, 2013.
3. Soelarto Rekso Podjo. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Tangerang : Bina Rupa
Aksara, 2010
4. Sugi, Hariana dan Yessi, Ariani. Respon Adaptasi Klien dengan Fraktur
Ekstremitas Bawah Selama Masa Rawatan di RSUP H. Adam Malik Medan
dan RSU DR. Pirngadi Medan. Jurnal Sumateras Utara Volume 2 Nomor 2
November 2007.
5. Ropyanto, CB, Sitorus R dan Eryando T. Jurnal Medikal Bedah : Analisis
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status Fungsional Paska Open
Reduction Internal Fixation (ORIF) Fraktur Ekstremitas. Volume 1, nomor 2
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, November 2013.
DAFTAR PUSTAKA
22
23