Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN VENTILASI DAN KEPADATAN HUNIAN DENGAN

KEJADIAN TUBERKULOSIS PARU DI PUSKESMAS SUKAMERINDU


KOTA BENGKULU
Oleh :
Rini Pilta Saputri, Buyung Keraman, Suryani
Program Studi Kesehatan Masyarakat STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu
Email : Rhinifiltia@gmail.com
Dampak dan bahaya Kejadian TB Paru ialah menyebabkan Kematian. Tujuan
Penelitian ini Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat tentang kejadian TB Paru dan mengantisipasi dalam pencegahan
penyakit TB Paru. Jenis penelitian ini merupakan penelitian Survey Analitik
dengan metode pendekatan Case Control , Populasi di dalam penelitian ini terdiri
dari populasi kasus dan populasi kontrol. Teknik pengambilan sampel pada
penelitian ini menggunakan Purposive Sampling, yaitu sampel kasus dan sampel
kontrol masing-masing diambil 15 orang atau 1:1 , metode Analisis Data
menggunakan analisis univariat dan bivariat dengan uji pearson Chi-Square
untuk semua variabel. Hasil penelitian didapatkan: dari 30 orang yang menjadi
responden terdapat 15 orang responden (63,3%) yang mempunyai ventilasi tidak
memenuhi syarat, terdapat 15 orang responden (56,7%) mempunyai kepadatan
hunian tidak memenuhi syarat, terdapat hubungan yang signifikan antara
ventilasi dengan kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukamerindu Kota
Bengkulu dengan kategori sedang dan OR = 7,429, terdapat hubungan yang
signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian Tuberculosis Paru di
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu dengan kategori sedang dan OR = 8,000.
Penelitian ini diharapkan meningkatkan efektifitas pelayanan kesehatan
masyarakat terutama dalam penanggulangan penyakit TB Paru, petugas
hendaknya meningkatkan kegiatan penyuluhan, promosi, dan pengarahan bagi
masyarakat dan khususnya penderita TB Paru yang ada di Puskesmas
Sukamerindu kota bengkulu.
Kata Kunci : Ventilasi, Kepadatan Hunian dan kejadian TB paru.

A. Pendahuluan
Penyakit Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi yang menjadi
masalah kesehatan dalam masyarakat kita. Penyakit tuberkulosis paru dimulai dari
tuberkulosis, yang berarti suatu penyakit infeksi yang disebabkan bakteri
berbentuk batang (basil) yang dikenal dengan nama Mycobacterium Tuberculosis
(Naga, 2012).
Kejadian kasus tuberkulosis paru yang tinggi paling banyak terjadi pada
kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi lemah. Meningkatnya kasus
penyakit ini dari tahun ke tahun, dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi pada
manusia yang dengan tingkat pertahanannya lemah. Basil TB paru ini menyukai
lingkungan yang kotor, lingkungan masih buruk dan kotoran yang terdapat
disekitar rumah dan lantai, keadaan yang seperti ini lah kuman/basil TB paru bisa
subur, dengan demikian orang akan terkena penyakit TB paru (Naga, 2012).

Jika seseorang telah terjangkit bakteri penyebab tuberkulosis, akan berakibat


buruk, seperti menurunnya daya keija atau produk tivitaskeija, menularkan kepada
orang lain terutama pada keluarga yang bertempat tinggal serumah, dan dapat
menyebabkan kematian. Pada penyakit tuberkulosis, jaringan yang paling
diserang adalah paru-paru 95,9% (Naga, 2012).
Di Indonesia Jumlah kasus (BTA+) 2013 sebanyak 196.310 kasus, menurun
bila dibandingkan kasus baru yang ditemukan tahun 2012 sebesar 202.301 kasus
Jumlah kasus tertinggi yang dilaporkan terdapat di Provinsi dengan jumlah
penduduk yang besar yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus baru
BTA+ di tiga provinsi tersebut hampir sebesar 40% dari jumlah seluruh kasus
baru di Indonesia (Kemenkes RI, 2013).
Berdasarkan hasil laporan cakupan penemuan kasus penyakit TB paru di
Indonesia pada tahun 2014 dari 33 provinsi di Indonesia dimana kasus tertinggi
terletak di Provinsi Sulawesi Utara sebanyak 224,2 kasus TB paru, Sulawesi Utara
sebanyak 183,9 kasus TB paru, dan Gorontalo sebanyak 177,3 kasus TB paru.
Sedangkan kasus terendah yaitu di Yogyakarta sebanyak 35,2 kasus TB paru, Bali
sebanyak 40,1 kasus TB paru, dan Jawa Tengan sebanyak 60,6 kasus TB paru.
Provinsi Bengkulu mendapat urutan ke 13 terbesar yaitu sebanyak 96,5 kasus TB
paru (Kemenkes RI, 2014).
Laporan Global Report 2014, yang diterbitkan oleh badan kesehatan dunia
(WHO) mengatakan bahwa 9 juta orang telah terkena penyakit TB Paru pada
tahun 2013, pada tahun 2012 sebanyak 1,3 juta orang meninggal karena penyakit
TB paru dan meningkat pada tahun 2013 sebanyak 1,5 juta orang yang meninggal
karena TB paru termasuk 360.000 orang yang positif HIV dengan Case Fatality
Rate (CFR) akibat TB paru sebanyak 17%, terjadi di negara yang berpengahasilan
rendah dan menengah. Indonesia menduduki peringkat ke lima setelah India,
Cina, Afrika Selatan, dan Nigeria (WHO, 2014).
Menurut Achmadi (2008), faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
Tuberculosis Paru dibedakan atas dua kelompok yaitu faktor kependudukan (jenis
kelamin, umur, status gizi, dan kondisi sosial ekonomi), dan faktor lingkungan
(kepadatan hunian, lantai rumah, ventilasi, pencahayaan, kelembaban, dan
ketinggian).
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta
mengurangi kelembaban. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen di dalam rumah, dan juga menyebabkan kelembaban udara di dalam
ruangan meningkat karena kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri, patogen, bakteri penyebab penyakit misalnya penyakit TB
paru (Suyono dan Budiman, 2010).
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum
per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yag
tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m2/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni >2 orang,
kecuali untuk suami istri dan anak di bawah dua tahun (Lubis, 2009).
Dari hasil penelitian Mayangsari Komelia (2013) penelitian menunjukkan
rata-rata usia responden 40-45 tahun, responden laki-laki 38% dan perempuan
62%. Menunjukkan bahwa ada hubungan kepadatan hunian, ada hubungan

kepadatan kamar tidur, ada hubungan jendela kamar tidur, ada hubungan ventilasi
dengan kejadian TB paru. Berdasarkan survei pendahuluan peneliti menemukan
data dari rekamedis Puskesmas Ngemplak Boyolali jumlah pasien TB paru pada
awal Januari 2014 sampai dengan oktober 2014 memiliki 20 kasus TB paru
(Mayang sari dan Komelia, 2013).
Hasil penelitian lain mengemukakan bahwa 64,6% rumah memiliki ventilasi
yang tidak memenuhi syarat kesehatan mengalami kejadian tuberculosis
(Fitriyani, 2012). Penyakit tuberkulosis paru ditularkan melalui udara saat seorang
penderita TB paru batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri tersebut
terhirup oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk, bersin, atau berbicara
saat berhadapan dengan orang lain, basil tuberculosis tersembur dan terhisap
kedalam paru-paru orang sehat. Masa inkubasinya selama 3-6 bulan (Widoyono,
2008).
Menurut Data Dinas Kesehatan Kota Bengkulu 2014 bahwa kasus TB paru
tertinggi adalah Puskesmas Sidomulyo dengan prevalensi 0,64%, kasus TB paru
kedua di Puskesmas Pasar Ikan dengan prevalensi 0,51%, sedangkan Puskesmas
Sukamerindu urutan ketiga dengan prevalensi 0,18% (Dinkes kota Bengkulu,
2014). Menurut Data Dinas Kesehatan Kota Bengkulu 2014 bahwa prevalensi TB
paru tertinggi pertama adalah Puskesmas Sidomulyo dengan prevalensi 0,64%,
Prevalensi TB paru kedua di Puskesmas Pasar Ikan dengan prevalensi 0,51%,
sedangkan Puskesmas Sukamerindu urutan ketiga dengan prevalensi 0,18%
(Dinkes kota Bengkulu, 2014). Berdasarkan Laporan Data Puskesmas
Sukamerindu, memiliki kasus tertinggi urutan ke tiga dari 20 Puskesmas yang ada
di Kota Bengkulu dengan jumlah kasus TB paru pada tahun 2014 sebanyak 48
kasus TB paru, pada tahun 2015 terdapat 41 kasus TB paru, diantaranya terdapat
17 orang TB paru BTA (+) (Puskesmas Sukamerindu, 2015).
Berdasarkan survei awal yang peneliti lakukan pada tanggal 31 Maret-20
April 2016 terdapat 16 pasien yang berobat di wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu. Dari 16 pasien tersebut terdapat 8 pasien penderita
TB paru dan 8 pasien tidak menderita TB paru. Ada 12 rumah yang ventilasinya
tidak memenuhi syarat dan 4 rumah sudah memenuhi syarat.Ada juga 10 rumah
yang kepadatan hunian nya tidak memenuhi syarat dan 6 rumah yang telah
memenuhi syarat.
Rumusan masalah penelitian ini adalah Apakah terdapat hubungan
Ventilasi dan Kepadatan Hunian dengan kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas
Sukamerindukota Bengkulu?. Tujuan Penelitian ini adalah Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari hubungan ventilasi dan kepadatan hunian dengan
kejadian Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
B. Metode Penelitian
Penelitian ini Lokasi penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas
Sukamerindu Kota bengkulu. Penelitian dilakukan pada tanggal 4 bulan Juni
2016. Jenis penelitianini yaitu penelitian survei analitik. Desain dalam penelitian
ini dengan menggunakan perancangan Case Control. Populasi di dalam penelitian
ini terdiri dari populasi kasus yaitu seluruh pasien usia 19-59 tahun yang
menderita TB paru yang berobat ke Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu
tahun 2015 sebanyak 15 orang dan sampel kontrol yaitu seluruh pasien usia 19-59
tahun yang bukan menderita TB paru yang berobat di Puskesmas Sukamerindu

Kota Bengkulu tahun 2015 sebanyak 15 orang dari 786 orang pengunjung. Teknik
pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Purposive
Sampling. Data primer diperoleh dari kuesioner yang diberikan langsung kepada
responden. Data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan laporan tahunan
kunjungan pasien penderita TB paru dan tidak penderita TB paru di wilayah Kerja
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu. Analisis data dilakukan secara univariat
dan bivariat. Analisis Univariat ini digunakan untuk melihat gambaran distribusi
frekuensi dan proporsi dari variabel bebas (Jenis Kelamin dan Perokok) dengan
terikat (kejadian TB paru) di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu. Analisis
bivariat untuk mengetahui hubungan variabel bebas dan variabel terikat yang
menggunakan uji statistik Chi-Square (2). Untuk mengetahui keeratan
hubungannya digunakan uji Risk Estimate untuk melihat nilai Odd Ratio (OR).
C. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
Analisis ini digunakan untuk menggambarkan distribusi frekuensi dan
proporsi dari variabel kepadatan hunian dan kejadian TB Paru Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu. Dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Ventilasi pada Pasien yang Berobat di Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu.
No
1
2

Ventilasi
Tidak memenuhi syarat
Memenuhi syarat
Jumlah

Frekuensi
19
11

Persentase (%)
63,3
36,7

30

100,0

Dari tabel 1 di atas diketahui dari 30 ventilasi rumah responden yang ada di
Wilayah Kerja Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu, 19 responden(63,3%)
yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat dan 11 responden (36,7%) yang
memiliki ventilasi memenuhi syarat.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Kepadatan Hunian pada Pasien yang Berobat di Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu
No
1
2

Kepadatan Hunian
Frekuensi
Persentase (%)
Tidak memenuhi syarat
17
56,7
Memenuhi syarat
13
43,3
Jumlah
30
100,0
Dari tabel 3 di atas diketahui dari 30 yang ada di wilayah kerja Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu, terdapat 17 responden (56,7%) yang kepadatan
hunian tidak memenuhi syarat, 13 responden (43,3%) yang kepadatan hunian
memenuhi syarat.
Tabel 3

Distribusi Frekuenssi Kejadian TB Paru di Puskesmas Sukamerindu


Kota Bengkulu
No
1
2

Kejadian TB Paru
TB Paru
Tidak TB Paru
Jumlah

Frekuensi
15
15
30

Persentase (%)
50,0
50,0
100,0

Berdasarkan tabel 4 diketahuidari 30 respondendi Puskesmas Sukamerindu


Kota Bengkulu, 15 responden terkena TB Paru (50,0%), dan 15 responden yang
tidak terkena TB Paru(50,0%).
2. Analisis Bivariat
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas
(Ventilasi dan Kepadatan Hunian) dengan variabel terikat (Kejadian TB Paru) di
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu yang dapat dilihat pada tabel di berikut
ini:
Tabel 4
Hubungan Ventilasi dengan kejadian TB Paru pada Pasien yang Berobat ke
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu

Ventilasi
Tidak
memenuhi
syarat
Memenuhi syarat
Total

Kejadian TB Paru
Tidak TB
TB Paru
Paru

Total

13

19

2
15

9
15

11
30

OR

5,167

0,023

0,432

7,429

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa dari 15responden yang


menderita TB Paru, ada 13 responden yang memiliki ventilasi tidak memenuhi
syarat dan 2 responden yang memiliki ventilasi memenuhi syarat. Dari 15
responden yang tidak menderita TB Paru ada 6 responden yang memiliki ventilasi
tidak memenuhi syarat, dan 11 responden yang memiliki ventilasi memenuhi
syarat. Untuk mengetahui hubungan ventilasi dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu digunakan uji Chi-Square(). Dari hasil
uji Chi-Squarediperoleh nilai = 5,167 dan nilai p= 0,023. Karena nilai p<0,05
maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya terdapat hubungan yang signifikan
antara ventilasi dengan kejadian TB Paru. Hasil uji Contingency Coefficient di
dapat nilai C= 0,436 dengan p= 0,023<0,05 berarti signifikan. Nilai C= 0,436
tersebut dibandingkan dengan nilai Cmax= 0,707. Karena nilai C tidak jauh dengan
nilai Cmax= 0,707 maka kategori hubungan nya sedang.Hasil uji risk estimate
didapat nilai OR=7,429 yang artinya orang yang tinggal di rumah yang
mempunyai ventilasi tidak memenuhi syarat berisiko sebanyak 7,429 kali lipat
jika dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi yang memenuhi
syarat.

Tabel 5
Hubungan Kepadatan Hunian dengan kejadian TB Paru pada Pasien yang Berobat
ke Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu
Kejadian TB Paru
Kepadatan
OR

p
C
Tidak TB Total
TB Paru
Hunian
Paru
Tidak
memenuhi
12
5
17
syarat
4,887
0,027
0,426
8,000
Memenuhi
3
10
13
syarat
Total
15
15
30
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa dari 15 responden yang
menderita TB Paru, ada 12 responden yang memiliki kepadatan hunian tidak
memenuhi syarat dan 3 responden yang memiliki kepadatan hunian yang
memenuhi syarat. Dari 15 responden yang tidak menderita TB Paru ada 5
responden yang memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat, dan 10
responden yang memiliki kepadatan hunian memenuhi syarat.
Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan kejadian TB Parudi
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu digunakan uji Chi-Square(). Dari hasil
uji Chi-Squarediperoleh nilai Continuity Correction=4,887 dan nilai p= 0,027.
Karena p=0,027<0,005 maka Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya terdapat
hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru di
Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu. Hasil uji contingency coefficient di
dapat nilai C= 0,426 dengan p= 0,027<0,05 berarti signifikan. Nilai C= 0,426
tersebut dibandingkan dengan nilai Cmax= 0,707. Karena nilai C tidak jauh dengan
nilai Cmax= 0,707 maka kategori hubungan nya sedang.Hasil uji risk estimate
didapat nilai OR=8,000 yang artinya orang yang tinggal di rumah yang kepadatan
huniannya tidak memenuhi syarat berisiko sebanyak 8,000 kali lipat jika
dibandingkan dengan responden yang memiliki kepadatan hunian yang memenuhi
syarat.
D. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian dari 19 responden yang memiliki ventilasi yang
tidak memenuhi syarat, terdapat 6 responden tidak menderita kejadian TB Paru.
Hal ini dikarenakan tidak ada anggota keluarga yang merokok di dalam rumah
dan jumlah kepadatan hunian memenuhi syarat.
Dari 11 responden yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat terdapat 2
responden menderita kejadian TB paru. Hal ini dikarenakan jumlah penghuni
rumah tidak memenuhi syarat.
Dari hasil uji Chi-square menyatakan ada hubungan yang signifikan antara
Ventilasi dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
Artinya ventilasi rumah memenuhi syarat maka semakin rendah kejadian TB Paru
di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu. Dan sebaliknya ventilasi rumah yang
tidak memenuhi syarat maka semakin tinggi kejadian TB Paru di Puskesmas
Sukamerindu Kota Bengkulu

Dari hasil uji Contingency Coefficient dapat dianalisis kategori hubungan


sedang. Artinya ventilasi bukan merupakan faktor utama yang berhubungan
dengan kejadian TB Paru, tetapi ada faktor lain yang berhubungan dengan
kejadian TB Paru yaitu : pencahayaan, kelembaban, lingkungan dan kepadatan
hunian.
Hasil analisis menunjukkan ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian
TB Paru pada pasien yang berusia 19-59 tahun, berdasarkan hasil uji risk estimate
didapat nilai OR=7,429 yang artinya orang yang tinggal di rumah yang
mempunyai ventilasi tidak memenuhi syarat memiliki resiko sebanyak 7,429 kali
lipat jika dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi yang
memenuhi syarat.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mayang & Kornelia
(2013) menunjukkan bahwa ada hubungan ventilasi dengan kejadian TB paru.
Ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta
mengurangi kelembaban. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya
oksigen didalam rumah, dan juga menyebabkan kelembaban udara didalam
ruangan meningkat karena kelembaban ini akan menjadi media yang baik untuk
pertumbuhan bakteri, patogen, bakteri penyebab penyakit misalnya penyakit TB
paru. Ventilasi juga dapat merupakan tempat untuk memasukkan cahaya
ultraviolet. Hal ini akan semakin baik, jika kontruksi rumah menggunakan
genteng kaca, maka hal ini merupakan kombinasi yang baik. Untuk sirkulasi yang
baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai,
untuk luas ventilasi permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi
(insidentil) dapat dibuka dan ditutup (Suyono dan Budiman, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian dari 17 responden yang memiliki kepadatan
hunian tidak memenuhi syarat terdapat 5 responden yang tidak mengalami
kejadian TB Paru. Hal ini dikarenakan tidak ada anggota keluarga yang merokok
dan pencahayaan rumah yang bagus.
Dari 13 responden memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat
terdapat 3 responden yang mengalami kejadian TB Paru. Hal ini dikarenakan
kelembapan rumah yang tidak bagus, lingkungan kerja yang banyak perokok.
Berdasarkan uji Chi-Square menyatakan adanya hubungan yang signifikan
antara kepadatan hunian dengan kejadian TB Paru. Artinya semakin kepadatan
hunian rumah tidak memenuhi syarat maka semakin tinggi Kejadian TB paru, dan
sebaliknya jika kepadatan hunian rumah tidak memenuhi syarat maka semakin
rendah kejadian TB paru di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu.
Dari hasil uji Contingency Coefficient dapat dianalisa kategori hubungan
sedang, artinya kepadatan hunian bukan merupakan faktor utama yang
berhubungan dengan kejadian TB Paru, tetapi ada faktor lain yang berhubungan
dengan kejadian TB Paru yaitu : pencahayaan, kelembaban, lingkungan dan
kepemilikan ventilasi.
Hasil analisis menunjukkan ada hubungan antara kepadatan hunian dengan
kejadian TB Paru pada pasien yang berusia 19-59 tahun, berdasarkan hasil uji risk
estimate didapat nilai OR=8,000 yang artinya orang yang tinggal di rumah yang
mempunyai kepadatan hunian tidak memenuhi syarat memiliki resiko sebanyak
8,000 kali lipat jika dibandingkan dengan responden yang memiliki kepadatan
hunian yang memenuhi syarat.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Mayang &
Kornelia (2013) menunjukkan bahwa ada hubungan kepadatan hunian dengan
kejadian TB paru.
Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan
jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal. Persyaratan kepadatan hunian
untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m2 per orang. Luas minimum
per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yag
tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m/orang. Untuk kamar tidur
diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni >2 orang,
kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota
keluarga menjadi penderita tuberkulosis paru sebaiknya tidak tidur dengan
anggota keluarga lainnya (Lubis, 2009).
E. Kesimpulan
1. Dari 30 orang yang menjadi responden, terdapat 15 orang responden (63,3%)
yang mempunyai ventilasi tidak memenuhi syarat.
2. Dari 30 orang yang menjadi responden , terdapat 15 orang responden (56,7%)
mempunyai kepadatan hunian tidak memenuhi syarat.
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara ventilasi dengan kejadian
Tuberkulosis Paru di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu dengan
kategori sedang. Dan dengan nilai OR = 7,429.
4. Terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian
Tuberculosis Paru di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu dengan kategori
sedang. Dan dengan nilai OR = 8,000.
Daftar Pustaka
Dinkes Kota Bengkulu. (2014). Profil Kesehatan Kota Bengkulu Tahun 2014.
Bengkulu: Dinkes Kota Bengkulu.
Kemenkes RI. (2012). Pedoman Pelaksanaan Hari TB Sedunia. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
____________. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
____________. (2014). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI.
Lubis, P. (2009). Perumahan Sehat. Jakarta: Pusdiklat Depkes RI.
Mayangsari, AH & Kornelia, K. (2013). Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang
Berhubungan dengan Kejadian TB Paru. Jurnal Ilmu Kesehatan Universitas
Siliwangi Tasikmalaya.
Naga, S. S. (2012). Buku Panduan Lengkap Penyakit Dalam. Bangun Tapan
Jogjakarta: Driva Press.
Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Puskesmas Sukamerindu. (2014). Laporan Tahunan Puskesmas Sukamerindu.
Bengkulu: Puskesmas Sukamerindu.
Suyono & Budiman. (2010). Ilmu Kesehatan Masyarakat Dalam Konteks
Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC
WHO. (2014). Global Tuberkulosis Report. Geneva.

Anda mungkin juga menyukai