Anda di halaman 1dari 4

BAB III

PUTUSNYA PERKAWINAN

Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai matinya
salah soerang suami-istri. Inilah sebenarnya yang dikehendaki agama Islam.
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putus
perkawinan itu dalam arti apabila hubungan perkawinan tetap dilanjutkan, maka
kemudharatan akan terjadi. Dalam hal ini Islam membenarkan putusnya
perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga.
Putusnya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik. 1
Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa
sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada
4 kemungkinan :
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah swt., sendiri melalui matinya
salah soerang suami istri. Dengan kematian ini dengan sendirinya berakhir
pula hubungan perkawinan.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak suami oleh alasan tertentu dan
dinyatakannya kehendak itu dengan ucapan tertentu. Perceraian ini
disebut talak.
c. Putusnya perkawinan atas kehendak istri karena melihat sesuatu yang
menghendaki putusnya perkawinan sedangkan suami tidak berkehendak
untuk itu. Kehendak untuk putusnya perkawinan yang disampaikan istri
dengan membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dilanjutkan
dengan ucapannya untuk memutus perkawinan itu. Putusnya perkawinan
dengan cara ini disebut khulu.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah
melihat adanya sesuatu pada suami dan/atau pada istri yang menandakan
tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya
perkawinan ini disebut fasakh.2

Talak
Sesuaikan dengan lbm
Hikmah adanya talak
Walaupun talak itu dibenci terjadinya dalam suatu rumah tangga, namun sebagai
jalan terakhir bagi kehidupan rumah tangga dalam keadaan tertentu boleh
dilakukan. hikmah dibolehkannya talak itu adalah karena dinamika kehidupan
1Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2003), h. 124.
2Ibid.

rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan


dengan tujuan pembentukan rumah tangga itu. Dalam keadaan begini kalau
dilanjutkan juga, rumah tangga akan menimbulkan mudharat kepada kedua
belah pihak dan orang di sekitarnya. Untuk menolak terjadinya mudharat yang
lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak. Dengan demikian
talak dalam Islam hanya untuk suatu tujuan mashlahat.

Rukun dan syarat talak


Ada beberapa unsur yang berperan padanya dan masing-masing unsur mesti
pula memenuhi persyaratan tertentu, di antaranya :
a. Suami yang mentalak istrinya mestilah sesorang yang telah dewasa dan
sehat akalnya serta ucapan talak yang dikemukakannya itu adalah atas
dasar kesadaran dan kesengajaan. Dengan demikian talak yang dilakukan
anak-anak, orang gila, orang terpaksa dan orang yang tersalah ucapannya
tidak sah talak yang diucapkannya.
b. Perempuan yang ditalak adalah istrinya atau orang yang secara hukum
masih terikat perkawinan dengannya.
c. Shighat atau ucapan talak yang dilakukan oleh si suami menggunakan
lafadz talak, sarah atau lafadz yang semakna dengan itu. Atau ucapan
yang memutus hubungan pernikahan seperti cerai. Shighat ini bisa sharih
bisa kinayah namun untuk kejelasannya dipersyaratkan niat dari suami
yang mengucapkannya. Ucapan talak dapat dilakukan dengan lisan secara
langsung, dapat dengan tulisan yang dapat dipahami, dengan perantaraan
orang lain; bahkan dapat pula dengan isyarat orang bisu yang dapat
dipahami oleh orang yang melihat dan mendengarnya. 3

2. Khulu
Bila seorang istri melihat pada suaminya sesuatu yang tidak diridhai Allah swt.,
untuk melanjutkan hubungan perkawinan, sedangkan si suami tidak merasa
perlu untuk menceraikannya, maka istri dapat meminta perceraian dari
suaminya dengan kompensasi ganti rugi yang diberikannya kepada suami. Bila
suami menerima dan menceraikan istri atas dasar ganti rugi itu, maka putuslah
perkawinan antara keduanya. Putusnya perkawinan ini disebut khulu.
Khulu secara harfiyah berarti lepas atau copot. Ulama mendefinisikan
dengan :

Perceraian dengan tebusan (dari pihak istri kepada pihak suami) dengan
menggunakan lafadz talak atau khulu.
3Ibid, h. 128-129.

Khulu itu perceraian dengan kehendak istri. Hukumny adalah boleh atau mubah.
Dasar kebolehannya dari QS Al-Baqarah ayat 229 :

Artinya : jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan
hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya.

Hikmah dari kebolehan khulu itu adalah terhindarnya istri dari kesulitan
yang dirasakannya, tanpa merugikan pihak suami karena mahar yang
diberikan kepada istri dikembalikan kepada suami. 4
Ada beberapa unsur yang merupakan karakteristik dari khulu dan di
dalam unsur terdapat beberapa syarat, yaitu :
a. Suami yang menceraikan adalah seseorang yang ucapannya telah
dapat diperhitungkan secara syara, yaitu akil, baligh dan berbuat
atas kehendaknya sendiri dan dengan kesengajaan.
b. Istri yang dikhulu adalah sesorang yang berada dalam wilayah si
suami dalam arti istrinya atau orang yang telah diceraikan, namun
masih dalam berada iddah raji.
c. Adanya uang ganti dalam bentuk suatu yang berharga dan dapat
dinilai, yang nilanya sebanding dengan mahar yang diterimanya
waktu akad nikah. Ganti rugi ini diberikan oleh istri sendiri atau oleh
pihak ketiga atas persetujuan suami istri.
d. Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami yang
dalam ungkapan tersebut dinyatakanuang ganti atau iwadh.
Tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi talak biasa.5

Fasakh
Salah satu bentuk terjadinya fasakh ini adalah karena adanya
pertengkaran antara suami-istri yang tidak mungkin didamaikan. Bentuk
ini disebut syiqaq. Ketentuan ini dapat ditemukan dalam firman Allah swt.,
QS An-Nisa ayat 35 :




4 Ibid, h. 131-132.
5 Ibid.

Artinya : Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika
kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Putusnya hubungan perkawinan dalam bentuk fasakh dapat terjadi karena


adanya kesalahan yang terjadi waktu akad atau adanya sesuatu yang
terjadi kemudian yang mencegah kelangsungan hubungan perkawinan itu.
Bentuk kesalahan yang terjadi waktu akad di antaranya :
a. Ketahuan kemudian bahwa suami istri itu ternyata punya hubungan
nasab atau sepersusuan.
b. Waktu dikawinkan masih kecil dan atau tidak punya hak pilih, tetapi
setelah besar dia menyatakan pilihan untuk membatalkan
perkawinan.
c. Waktu akad nikah berlangsung suatu kewajaran, kemudian ternyata
ada penipuan, baik dari segi mahar atau pihak yang melangsungkan
perkawinan.
Bentuk kesalahan yang terjadi setelah berlangsung akad perkawinan di
antaranya :
a. Salah seorang murtad dan tidak mau kembali kepada Islam.
b. Salah seorang mengalami cacat fisik yang tidak memungkinkan
melakukan hubungan suami istri.
c. Suami terputus sumber nafkahnya dan si istri tidak sabar menunggu
pulihnya kehidupan ekonomi si suami.

Putusnya perkawinan disebabkan fasakh, berbeda dengan talak, yang


berlangsung hanyalah talak bain shugra; dalam arti suami tidak boleh
kembali kepada istrinya dalam bentuk rujuk, namun dapat mengawini
bekas istrinya itu tanpa muhallil. Beda lainnya dari talak adalah bahwa
fasakh tidak mengurangi bilangan talak yang dimiliki suami dalam arti
dapat dilakukan berulang kali tanpa perlu memerlukan muhallil.

Anda mungkin juga menyukai