Anda di halaman 1dari 21

PADANGAN ISLAM ABAD PERTENGAHAN TENTANG ILMU

AL-QUR‟AN DAN FILSAFATNYA MENGENAI ILMU

Makalah
Diajukan untuk memenuhi Tugas dalam
Matakuliah Filasat Ilmu

Dosen Pengampu

Dr. RIKI SAPUTRA, MA

Oleh

SOVIA MARLINA (190600286108006)


VINI NUR ZIKRA (190600286108079)

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
2020
PANDANGAN ISLAM ABAD PERTENGAHAN
TENTANG ILMU AL-QUR’AN DAN FILSAFATNYA MENGENAI ILMU
Oleh: Sovia Marlina, Vini Nur Zikra

A. Pendahuluan
Perbincangan mengenai wahyu, filsafat dan ilmu atau yang
dikenal dengan istilah rekonsiliasi filsafat dan agama, bukan saja
perbincangan yang muncul pada abad pertengahan, tetapi pada Masa
klasik pun sudah lama terjadi. Hal ini lah yang menyebabkan Islam
pada Masa Klasik mencapai puncak kejayaannya. Pada masa ini
banyak lahir para filsuf muslim, antara lain: al-Kindi, Al-Gazali, Ibn
Miskawai, dll.
Perbincangan tentang rekonsiliasi filsafat dan agama terus ber-
lanjut pada abad pertengan. Para filsuf yang hidup pada abad perte-
ngahan, meneruskan pemikiran-pemikiran para pendahulu mereka. Di
antara mereka adalah Ibnu Sina dan Ibnu Rushd, yang dalam makalah ini
akan dikemukakan pemikiran-pemikiran keduanya rekonsiliasi filsafat dan
agama.

B. Pandangan Islam Abad Pertengahan tentang Ilmu al-Qur’an dan


Filsafatnya Mengenai Ilmu
1. Islam pada Abad Pertengahan
a. Masa Abad Pertengahan dan Cirinya
Dalam sejarah eropa, abad pertengahan berlangsung
tahun 500-1500 M. Abad pertengahan bermula sejak runtuhnya
Kekaisaran Romawi Barat dan masih berlanjut manakala eropa
mulai memasuki abad pembaharuan dan abad penjelajahan.
Sejarah dunia barat secara tradisional dibagi menjadi tiga kurun
waktu, yakni abad kuno, abad pertengahan, dan zaman
modern. Abad pertengahan masih terbagi lagi menjadi tiga
kurun waktu, yakni awal abad pertengahan, puncak abad
pertengahan, dan akhir abad pertengahan.
Sedangkan dalam sejarah perkembangan peradaban
Islam dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: periode klasik (650-1250
M), periode pertengahan (1250-1800 M) dan periode modern
(1800-sekarang). Yang dimaksud abad pertengahan ialah
tahapan sejarah umat Islam yang diawali sejak tahun-tahun
terakhir keruntuhan Daulah Abbasiyah (1250 M) sampai
timbulnya benih-benih kebangkitan (pembaharuan) Islam yang
diperkirakan terjadi sekitar tahun 1800 M. Periode pertengahan
ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu: masa kemunduran I (1250-
1500 M) dan masa tiga kerajaan besar (1500-1800 M).
Adapun ciri abad pertengahan dalam dunia Islam adalah
sebagai berikut:
1) Era penyebaran global masyarakat Islam. Islam menjadi
agama masyarakat Asia Tengah dan Balkan.
2) Interkasi nilai-nilai agama Islam dengan nilai-nilai masyara-
kat yang ada di sekitarnya, maupun masyarakat setempat.
b. Perkembangan Politik dan Geografis pada Abad
Pertengahan
Perkembangan Islam mengalami dua fase yaitu fase
kemajuan dan fase kemunduran. Pertama, Fase kemajuan
terjadi pada tahun 650-1250 M yang ditandai dengan sangat
luasnya kekuasaan Islam, ilmu dan sain mengalami kemajuan
dan penyatuan antar wilayah Islam. Kedua, fase kemunduran
terjadi pada tahun 1250-1500 M, yang ditandai dengan
kekuasaan Islam terpecah-pecah dan menjadi kerajaan-
kerajaan yang terpisah pisah.
Kemunduran Islam pada abad pertengahan diantara
penyebabnya adalah: 1) Tidak menjaga dengan baik wilayah
kekuasaan yang luas, 2) Penduduknya sangat heterogen sehi-
ngga mengalami kendala dalam penyatuan, 3) Para penguasa-
nya lemah dalam kepemimpinannya, 4) Krisis ekonomi, 5)
Dekadensi moral yang tidak terkendali, 6) Apatis dan stagnasi
dalam dunia iptek, 7) Konflik antar kerajaan Islam.
Terlebih lagi setelah pasukan Mughal yang dipimpin oleh
Hulagu Khan berhasil membumi hanguskan Baghdad yang
merupakan pusat kebudayaan dan peradaban Islam yang kaya
dengan ilmu pengetahuan, hal ini terjadi pada tahun 1258 M.
Saat itu kekhalifahannya dipimpin oleh khalifah Al Mu‟tashim,
penguasa terakhir Bani Abbas di Baghdad.
Setelah Baghdad ditaklukkan Hulagu, umat Islam dikua-
sai oleh Hulagu Khan yang beragama Syamanism, kekuatan
politik Islam mengalami kemunduran yang sangat luar biasa.
Wilayah kekuasaannya terpecah-pecah dalam beberapa
kerajaan kecil yang tidak bisa bersatu, satu dan lainnya saling
memerangi. Warisan budaya dan peradaban Islam hancur,
ditambah lagi kehancurannya setelah diserang oleh pasukan
yang dipimpin oleh Timur Lenk.
Kondisi politik Islam mulai berkembang kembali dan
mulai menunjukan kemajuan setelah munculnya tiga kerajaan
besar Islam (1500-1800 M) yang letaknya saling berjauhan.
Ketiga kerajaaan besar tersebut, Kerajaan Usmani di Turki,
Kerajaan Syafawi di Persia. dan Kerajaan Mughal di India.
1) Kerajaan Usmani
Kerajaan Utsmani didirikan oleh bangsa Turki dari
kabilah Oghuz yang mendiami daerah Mongol dan daerah
utara negeri Cina yang bernama Usmani atau Usmani I dan
memproklamirkan diri sebagai Padisyah al Usman atau raja
besar keluarga Usman tahun 1300 M (699 H). Kerajaan yang
didirikan oleh Usmani ini selanjutnya memperluas wilayah-
nya ke bagian Benua Eropa. Ia menyerang daerah perba-
tasan Bizantium dan menaklukkan kota Broessa tahun 1317
M sehingga tahun 1326M dijadikan sebagai Ibukota Negara.
Pada masa pemerintahan Orkhan, kerajaan Usmani
menaklukkan Azmir tahun 1327 M, Thawasyannly tahun
1330 M, Uskandar tahun 1338 M, Ankara 1354 M dan
Gallipoli tahun 1356 M. Daerah-daerah tersebut adalah
bagian benua Eropa yang pertama kali diduduki kerajaan
Usmani.
Kerajaan Usmani untuk masa beberapa abad masih
dipandang sebagai negara yang kuat terutama dalam bidang
militer. Kemajuan-kemajuan kerajaan Usmani yaitu dalam
bidang pemerintahan dan kemiliteran, bidang ilmu pengeta-
huan dan budaya misalnya kebudayaan Persia, Bizantium
dan Arab, pembangunan Masjid-Masjid Agung, sekolah-
sekolah, rumah sakit, gedung, jembatan, saluran air, villa
dan pemandian umum dan dibidang keagamaan misalnya
seperti fatwa ulama yang menjadi hukum yang berlaku.
Kerajaan Usmani sepeninggal Sultan Al-Qanuni,
mengalami kemunduran yang disebabkan oleh berbagai
problema, antara lain: a) Penduduknya sangat heterogen, b)
Tidak dapat menguasai wilayah yang luas, c) Kepemimpin-
annya lemah, d) Terjadinya dekadensi moral, e) Krisis
ekonomi, dan f) Ilmu dan tekhnologi stagnan.
2) Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan Syafawi, mulanya adalah sebuah gerakan
tarekat yang berdiri di Ardabil (Azerbaijan). Tarekatnya ber-
nama tarekat Safawiyah, nama ini diambil dari nama pendi-
rinya yang bernama Safi Al Din dan nama Syafawi dilestari-
kan setelah gerakannya berhasil mendirikan kerajaan.
Jalan hidup yang ditempuh Al Din adalah jalan sufi
dan mengembangkan tasawuf Safawiyah menjadi gerakan
keagamaan yang sangat berpengaruh di Persia, Syiria dan
Anatolia. Yang semula bertujuan memerangi orang-orang
yang ingkar dan memerangi orang-orang yang ahli bid‟ah.
Lama kelamaan pengikut tarekat Syafawiyah berubah men-
jadi tentara dan fanatik dalam kepercayaan dan menentang
keras terhadap orang selain Syiah.
Dalam perkembangannya, kerajaan Syafawi selanjut-
nya dipimpin oleh Ismail yang baru berusia tujuh tahun.
Ismail beserta pasukannya yang bermarkas di Gilan selama
lima belas tahun mempersiapkan kekuatannya dan menga-
dakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbeijan,
Syiria dan Anatolia dan pasukan tersebut dinamai Qizilbash
atau Baret Merah.
Saat kepemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M,
pasukannya dapat mengalahkan AK Koyunlu di Sharur dan
Tabriz sehingga Ismail memproklamirkan dirinya menjadi
raja pertama dinasti Syafawi dan berkuasa selama 23 tahun.
Masa keemasan kerajaan Syafawi terjadi pada masa
kepemimpinan Abbas I yaitu di bidang pilitik, ekonomi, ilmu
pengetahuan dan bidang pembangunan fisik dan seni. Ke-
majuan yang dicapainya membuat kerajaan Syafawi menjadi
salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang diperhitung-
kan oleh lawan-lawannya terutama dibidang politik dan
militer.
Setelah mengalami kejayaan, kerajaan Safawi kemu-
dian mengalami kemunduran diantara penyebabnya adalah:
a) Kemerosotan moral para pemimpin kerajaan, b) Konflik
yang berkepanjangan dengan kerajaan Usmani, dan c)
Pasukan yang dibentuk Raja Abbas I yaitu pasukan Ghulam
tidak memiliki jiwa patriotik.
3) Kerajaan Mughal di India
Kerajaan Mughal adalah kerajaan yang termuda dian-
tara tiga kerajaan besar Islam. Kerajaan ini didirikan oleh
Zahiruddin Babur (1482-1530). Babur dengan bantuan Raja
Safawi dapat menaklukkan Samarkhad tahun 1494 M.
Tahun 1504 M dapat menduduki Kabul ibukota Afganistan.
Setelah itu, Raja Babur mengadakan ekspansi terus-
menerus.
Kerajaan Mughal mencapai jaman keemasan semasa
Raja Akbar, persoalan-persoalan dalam negeri dapat diatasi
dengan baik dan mengadakan ekspansi sehingga dapat
menguasai Chudar, Ghond, Chitor, Ranthabar, kalinjar,
Gujarat, surat, Bihar, Bengal Orissa, Kashmir, Gawilgarth,
Ahmadnagar, Narhala dan Ashirgah. Semua yang dikuasai
kerajaan tersebut diperintah dalam suatu pemerintah
militeristik.
Kemajuan-kemajuan kerajaan mughal diantaranya:
Pertama, di bidang ekonomi, mengembangkan program per-
tanian, pertambangan, dan perdagangan. Masalah sumber
keuangan negara lebih banyak bertumpu pada sektor per-
tanian. Kedua, Di bidang seni dan budaya misalnya karya
sastra gubahan penyair istana, penyair yang terkenal yaitu
Malik Muhammad Jayazi dengan karyanya padmavat (karya
yang mengandung pesan kebajikan jiwa manusia), karya-
karya arsitektur seperti: Istana Fatpur Sikri di Sikri, vila dan
masjid-masjid.
Pada tahun 1858 M kerajaan Mughal juga mengalami
kemerosotan, penyebabnya antara lain: a) Kemerosotan
moral dan para pejabatnya bermewah-mewahan, b) Pewaris
kerajaan dalam kepemimpinannya sangat lemah, dan c)
Kekuatan mililernya juga lemah
c. Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada abad Pertengahan
Ilmu pengetahuan dan kebudayaan mengalami perkem-
bangan di beberapa wilayah kekuasaan Islam pada abad per-
tengahan, misalnya pada masa pemerintahan kerajaan Mongol
di bangun sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu pengeta-
huan dan kebudayaan, filsafat, logika, geometri sejarah, geog-
rafi, matematika dan politik.
Di Mesir terjadi perkembangan ilmu pengetahuan seperti
sejarah, astronomi, kedokteran, matematik dan ilmu-ilmu
agama. Dalam ilmu sejarah tercatat nama-nama besar seperti
Ibn Khalikan, Ibn Khaldun dan Ibn Taghribardi. Dibidang
astronomi dikenal nama Nasir Al Din Al Tusi. Dibidang
Matematika Abu Faraj Al „Ibry. Dibidang kedokteran ada Abu Al
Hasan, Ali Al Nafis yaitu penemu susunan dan peredaran darah
dalam paru-paru manusia. Abd. Al Mun‟im Al Dimyatthi dokter
hewan dan Al Razi psikoterapi. Dalam bidang opthamologi
dikenal nama Salah Al Din ibn Yusuf dan yang terkenal sebagai
pemikir dalam bidang keagamaan yaitu Ibn Taimiyah.
Pada masa pemerintahan Mamud Ghazan, raja ke tujuh
Dinasti Ilkhania membangun perguruan tinggi untuk madzhab
Syafi‟i dan Hanafi, sebuah perpustakaan, observatorium dan
gedung-gedung umum lainnya.
Pada masa kerajaan syafawi ilmu pengetahuan juga
berkembang, ada beberapa ilmuan yang muncul diantaranya: 1)
Baha Al din Al Syaerazi yaitu generalis ilmu pengetahuan, 2)
Sadar Al Din Al Syaerazi seorang filosof, dan 3) Muhammad
Baqir Ibn Muhammad Damad ahli filosof, sejarah, teolog dan
observer kehidupan lebah-lebah.
Pada abad pertengahan juga terdapat cendekiawan
muslim seperti An Nuwairy, Ibnu Fadlullah, dan Jallaudiin As-
Suyuti yang berhasil membuat buku yang berjudul Mausu’at
yang berisi tentang kumpulan berbagai ilmu pengetahuan.
Selain itu dalam hal keagamaan, di abad pertengahan
terdapat karya yang dibuat oleh sekelompok ulama India berupa
buku atau kitab yang berjudul Al Fatawa Al Hindiyyah yang
memuat tentang kumpulan fatwa Madzhab Hanafi. Buku atau
kitab ini dibuat atas permintaan dari Sultan Abu Al Muzaffar
Muhyiddin Aurangzeb sehingga kitabnya dikenal dengan
sebutan Al Fatawa Al Alamgariyah.
Beberapa ulama besar di Mesir pada masa pemerintahan
Mamluk terdapat ulama yang bernama Ibnu Hajar Al Asqalani
dan Ibnu Khaldun. Ibnu Hajar memiliki hasil karya berupa buku
yang berjudul Fath Al Bari fi Syarh Al Bukhari yaitu ulasan
tentang hadits-hadits Riwayat Al bukhari dan buku yang berjudul
Bulughul Maram Min Adillah Al Ahkam yaitu kumpulan hadits
hukum. Sedangkan Ibnu Khaldun tersohor dengan sejarawan
dan sosiolog Islam, hasil karyanya yang terbesar adalah Al Ibar
yaitu sejarah umum.
Ulama besar lainnya di abad pertengahan seperti Ibnu
Katsir dengan tafsirnya Tafsir Al Qur‟anul Adzim, Imam Nawawi
dengan kitab haditsnya “Riyadus Shalihin” dan Jalaluddin Al
Mahalli beserta Jalaluddin As-Suyuti dengan tafsir Jalalainnya.
d. Perkembangan Kebudayaan Islam pada Abad Pertengahan
Perkembangan kebudayaan Islam timbul setelah diawali
sederetan kebudayaan manusia dan seiring dengan sederetan
kebudayaan setelahnya. Kebudayaan-kebudayaan Islam pada
abad pertengahan yang menonjol diantaranya:
1) Dalam perkembangan arsitektur Islam berupa bangunan-
bangunan masjid yang indah seperti Masjid Al Muhammadi,
Masjid Agung Sulaiman dan Masjid Abi Ayyub Al Anshari
dengan hiasan-hiasan kaligrafi yang indah. Selain itu
terdapat 235 bangunan, dibangun dan dikoordinasi oleh
Sinan, arsitek yang berasal dari Anatolia. Perkembangan
kebudayaan Islam tersebut terjadi pada masa kerajaan
Usmani.
2) Pada masa kerajaan Safawi telah berhasil membuat Isfahan
menjadi ibukota dan kota yang indah yang terdiri dari
bangunan-bangunan seperti masjid, rumah-rumah sakit,
sekolah-sekolah, jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan
Istana Chihil Sutun, taman-taman wisata yang ditata dengan
indah. Di Isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802
penginapan dan 273 pemandian umum. Dalam bidang seni,
gaya arsitek bangunan-bangunannya sangat kentara,
misalnya masjid Shah (1611 M) dan masjid Syaikh Lutf Allah
(1603 M). Unsur seni lainnya seperti kerajinan tangan,
karpet, permadani, pakaian, keramik, tenunan, mode,
tembikar, dan seni lukis.
3) Selain yang tersebut, perkembangan budaya Islam juga
berkembang di kerajaan Mongol misalnya karya seni yang
menonjol adalah karya sastra gubahan penyair istana, baik
yang berbahasa Persia maupun India. Malik Muhammad
Jayazi adalah penyair India yang terkenal dan menghasilkan
karya besar “Padmavat”, Abu Fadl dengan karyanya Akhbar
nama dan Aini Akhbari yang memaparkan sejarah kerajaan
Mongol dengan figure kepemimpinannya. Dalam hal seni
terdapat karya-karya arsitektur yang indah seperti Istana
Fatpur Sikri di Sikri, vila dan masjid-masjid yang megah nan
indah seperti masjid yang berlapiskan mutiara dan Taj Mahal
di Agra, Masjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore.
Pada abad pertengahan muncul nama-nama sastrawan
terkenal, diantaranya:
1) Fuzuli dengan karyanya yang berjudul Shikeyetname atau
pengasuan. Ia tinggal di Irak dan wafat tahun 1556.
2) Jalaluddin Ar Rumi yang mendapat gelar Maulana atau tuan
kami dengan karyanya Diwan Syamsi Tabriz yaitu kumpulan
puisi yang terdiri dari 33.000 bait dan Masnawi yang terdiri
dari 26.660 bait dan dibuat dalam waktu 10 tahun. Ia lahir di
Afganistan tahun 1207 M dan wafat di Turki tahun 1273 M
3) Sa‟adi Syiraj yaitu sastrawan dari Persia dengan karyanya
yang berjudul Bustan atau kebun buah dan Gulistan yang
berisi tentang kata-kata mutiara, kisah-kisah, nasehat-
nasehat, renungan dan humor.
4) Fariduddin Al Attar dengan karyanya Mantiq At Tair atau
musyawarah bunga, Tadzkiratul Auliya dan Pend Namah
atau kitab nasihat.
5) Hamzah Fansuri, Nuruddin Ar Raniri dan Syamsudin Pasai,
sunan Bonang dan Kiageng Selo. Karya-karya mereka berisi
tentang nasehat-nasehat agama.
2. Pandangan Islam Abad Pertengahan tentang al-Qur’an (wahyu)
Untuk memahami pandangan Islam abad pertengahan
tentang al-Qur‟an (wahyu), dalam istilah filsafat disebut dengan
rekonsiliasi filsafat dan agama. Dimana para filsuf membicarakan
kedudukan akal dan wahyu. Maraknya klaim-klaim kebenaran atas
nama agama dan Tuhan, dan paksaan atas satu tafsir kebenaran,
menunjukkan bahwa kedewasaan berakal dan bernalar masih jauh
dari yang semestinya.
Ketidakdewasaan ini membuat lupa, bahwa pemahaman
keagamaan, apapun bentuknya, dari siapapun ia disandarkan, dan
dari manapun ia berasal, hanyalah tafsir atas wahyu Tuhan.
Akhirnya, ini membuat lupa bahwa sebenarnya kebenaran tidak
hanya dapat diakses dengan satu tafsir, satu cara, satu bahasa,
dan satu pemahaman. Di antara manusia, kemampuan bernalar
tidak sama dan tidak dapat disamakan. Bahwa kebenaran dapat
diraih dengan berbagai bahasanya ini juga ditunjukkan oleh ragam
bahasa al-Qur‟an yang dapat sesuai dengan berjenjangnya ragam
kecerdasan manusia.
Dalam pandangan filsafat, akal banyak dipakai dan dianggap
lebih besar dayanya dari apa yang telah diungkapkan teolog, sebab
ini sesuai dengan pengertian filsafat ialah memikirkan sesuatu
sedalam-dalamnya tentang wujud. Bagi filsuf, hubungan akal dan
wahyu, antara filsafat dan agama tidak ada pertentangan. Walau
pun telah terjadi berbagai hujatan bahwa filsafat bertentangan
dengan agama, namun para filsuf berusaha dengan sekeras
mungkin untuk menunjukan bahwa filsafat pada prinsipnya tidak
bertentangan dengan agama. (Kartanegara: 2006, 139).
Hampir setiap filsuf Islam berbicara mengenai akal dan
wahyu, terutama al-Kindi yang pertama kali berpendapat bahwa
antara akal dan wahyu atau filsafat dan agama tidak ada perten-
tangan. Dasar pemikirannya ialah bahwa keduanya mengandung
kebenaran yang sama. Dalam pandangan al-Kindi filsafat ialah
pembahasan tentang kebenaran tidak hanya di ketahui tetapi
diamalkan.
Dengan demikian antara agama dan filsafat ada penye-
suaian, yang mana keduanya membahas kebenaran dan kebaikan
dengan membawa argumen-argumen yang kuat. Agama dan
filsafat membahas subyek yang sama dan memakai metode yang
sama, sehingga yang menjadi perbedaan hanya cara memperoleh
kebenaran yakni filsafat dengan cara menggunakan akal sedang-
kan agama dengan wahyu. (Dahlan: 2007, 179).
Sejatinya argumen-argumen yang dibawa al-Qur‟an lebih
meyakinkan daripada argumen-argumen yang diajukan filsafat,
tetapi hal ini bukan menjadi salah satu masalah dalam mencapai
pengetahuan sebab diantara keduanya memiliki tujuan yang sama
yakni kebenaran. Kebenaran yang diberitakan wahyu tidak berla-
wanan dengan kebenaran dibawa filsafat, sehingga mempelajari
filsafat bukanlah hal yang dilarang Tuhan, sebab teologi merupa-
kan bagian dari filsafat serta umat Islam diharuskan belajar tauhid.
(Nasution: 1987, 82).
Al-Kindi juga mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu tentang
kebenaran atau ilmu yang termulia atau tertinggi martabatnya,
agama juga mengenai ilmu tentang kebenaran daripada kebenaran
itu sendiri, orang yang mengingkari kebenaran, dan oleh karenanya
ia menjadi kafir. Dalam risalahnya yang ditunjukan kepada Al-
Muktasin ia menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu yang termulia
serta terbaik dan yang tidak bisa ditinggalkan oleh setiap orang
yang berfikir. Kata-katanya ini ditunjukan kepada mereka yang
menentang filsafat dan mengingkarinya, karena dianggap sebagai
ilmu kafir dan menyiakan jalan kepada kekafiran. Sikap mereka
inilah yang selalu menjadi rintangan bagi filosof Islam. (Sudarsono:
2010, 24). Jadi disini jelas bahwa menurut Al-Kindi antara akal
dan wahyu atau dalam bahasa lain antara filsafat dan agama itu
tidak ada pertentangan.
Selanjutnya, Al-Farabi juga memiliki keyakinan bahwa antara
agama dan filsafat tidak ada pertentangan, sebab baginya
kebenaran yang dibawa wahyu dan kebenaran filsafat hakikatnya
satu, walaupun bentuknya berbeda. Dua dasar yang dipakai Al-
Farabi dalam mengusahakan keharmonisan antara agama dan
filsafat, yakni: Pertama mengadakan keharmonisan antara filsafat
Aristoteles dan Plato sehingga sesuai dengan dasar-dasar Islam,
dan kedua, pemberian tafsiran rasional terhadap ajaran-ajaran
Islam (Madkour: 2004, 457).
Penafisiran rasional yang dipakai Al-Farabi dimaksudkan
untuk meyakinkan orang-orang yang tidak percaya akan kebenaran
ajaran-ajaran agama. Dalam penjelasan rasional tentang adanya
wahyu al-Farabi menggunakan konsep komunkasi manusia dengan
akal kesepuluh. Di sini Tuhan menurunkan wahyu kepada Nabi
melalui akal aktif, lalu dari akal aktif menuju akal pasif melalui akal
perolehan setelah itu diteruskan dengan daya penggerak. Bagi
orang yang akal pasifnya menerima pancaran disebut filsuf,
sedangkan orang yang daya penggeraknya menerima pancaran
adalah nabi yang membawa berita tentang masa depan. Hal
i nipun menuai penjelasan bahwa komunikasi filsuf dengan akal
kesepuluh terjadi melalui perolehan, sedangkan komunikasi nabi
hanya cukup dengan daya penggerak (Nasution: Ibid., 83).
Filsuf Islam lain yang juga memiliki pandangan bahwa antara
akal dan wahyu atau antara filsafat dan agama tidak bertentangan
yaitu Ibn Sina, menurutnya nabi dan filsuf menerima kebenaran-
kebenaran dari sumber yang sama yakni Jibril, biasa disebut
sebagai akal aktif. Perbedaan hanyalah terdapat pada hubungan
Nabi dan Jibril melalui akal materi, sedangkan filsuf melalui akal
perolehan. Para filsuf dalam mencapai akal perolehan harus
dengan usaha yang keras dan latihan yang berat, adapun Nabi
memperoleh akal materi yang dayanya jauh lebih kuat dari akal
perolehan. Karena daya yang kuat inilah oleh karena itu Tuhan
hanya memberi daya tersebut kepada orang-orang pilihan-Nya
(Nasution: 1986, 84).
Ibn Tufayl juga berpendapat bahwasanya akal dan wahyu itu
tidak bertentangan, dengan konsep harmonisasinya, ia menunjukan
kalau akal dan wahyu itu tidak bertentangan. Dalam pencapaian
pengetahuan tentang Tuhan terdapat dua jalan untuk mengenal-
Nya, yakni, dengan jalan akal atau dengan jalan syari‟at. Kedua
jalan tidaklah bertentangan, karena akhir dari falsafat adalah
pencapaian pada pengetahuan tentang Allah.
Harmonisasi filsafat Ibn Thufayl menggambarkan kepada
manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari
fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang
sehat dengan memerhatikan dan merenungkan alam sektarnya
tentu akan sampai kepada Tuhan.
3. Pandangan Islam Abad Pertengahan Tentang Filsafat dan Ilmu
Filsafat abad pertengahan diwarnai pengaruh tiga emperium
besar, yaitu Romawi di awalnya (dengan Latin sebagai bahasa
pengantar), emperium Yunani/Athena dengan bahasa Yunani seba-
gai pengantar, dan empirium Islam dengan pengantar bahasa Arab.
Emperium Romawi yang disebut juga Romawi Barat berpusat di
Roma dipengaruhi oleh filsafat Neo-Platonisme, emperium Yunani
(dikenal dengan Romawi Timur) berpusat di Konstantinopel (dulu
Bizantium)/Instambul dipengaruhi ajaran Platon, dan emperium
Islam berpusat di jazirah Arabia dan Damskus (Umayyah)
kemudian Istambul Turki (Utsmani/Otoman) dipengaruhi ajaran
Aristoteles.
Sebagaimana diketahui bahwa akhir tahun 400-an Romawi
Barat diserang bangsa Barbar (suku Vandal) tahun 455 dilanjutkan
dengan pemberontakan pemimpin Jermanik Odoacer tahun 476
dan menggulingkan Kaisar Romulus Augustulus. Jatuhnya
Romulus lalu dianggap sebagai tahun berakhirnya Kekaisaran
Romawi Barat.
Maka, penguasa dunia berpindah ke Bizantium yang berkua-
sa hingga abad ke 14 M (tahun 1453) sebelum dikalahkan kekai-
saran Utsmani. Tahun 632 setelah nabi Muhammad SAW wafat,
khilafah-khilafah penggantinya tidak saja berhasil mempertahan-
kan wilayah kekuasaan Islam dari pemberontakan-pemberontakan,
melainkan berhasil memperluasnya. Emperium Islam berekspansi
hingga Afrika Utara (Alexandria, Aljasair/Algaire, Marokko), ke
Eropa (Spanyol dan Perancis), juga Asia Kecil (Siria, Turki, Persia,
dan lainnya). Termasuk diantaranya, tahun 637 (5 tahun setelah
kematian nabi Muhammad SAW) Khilafah Umar berhasil menge-
pung kota Yerusalem dan menguasainya.
Prinsipnya, dari ketiga emperium itu kelak emperium Islam
menaklukan Binzantium, dan mengalami masa kejayaan. Perang
Salib sempat merebut Yerusalem, namun ditahun 1187 pasukan
Islam dibawah kepemimpinan Salahudin Al-Ayubi berhasil merebut
kembali kota Yerusalem dari pasukan Salib.
Dua filsuf Islam yang sangat berpengaruh pada abad
pertengahan adalah Ibnu Sina dan Ibnu Rushd (Rusyd). Keduanya
lahir dalam periode filsafat abad pertengahan yang berbeda. Ibnu
Sina lahir dan berperan dalam periode kedua, sementara Ibnu
Rushd berada pada puncak filsafat abad pertengahan. Tentang
peran keduanya, patut dikutib pernyataan Roger Bacon, seorang
filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan, yang
dinyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume: "Sebagian
besar filsafat Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di
Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan sekiranya
ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami
dan digemari orang karena pepera-ngan-peperangan yang mera-
jalela di sebelah Timur, sampai saat-nya Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd
dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah
Aristoteles disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas."
a. Ibnu Sina dan Ajarannya
Ibnu Sina sesungguhnya seorang dokter dengan talenta
luar biasa. Ia belajar ilmu kedokteran sejak usia remaja dari Isa
bin Yahya, seorang Kristen. Namun, karena kecerdasannya, ia
segera menjadi populer. Tidak hanya itu. Ia terutama menjadi
ahli agama (Islam) pada usianya yang masih belia, disamping
menjadi pemikir filsafat yang berpengaruh bahkan hingga
Eropa.
Ibnu Sina diketahui sebagai orang pertama yang mene-
mukan peredaran darah manusia, dimana enam ratus tahun
kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Juga, dia yang
pertama kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam
kandungan mengambil makanannya lewat tali pusar. Praktek
membedah penyakit-penyakit bengkak ganas dan menjahitnya
juga dirintis oleh Ibnu Sina. Itu hanya beberapa dari temuannya
di bidang kedokteran.
Lahir tahun 980 dengan nama lengkap Abu Ali Husain
Ibn Abdillah Ibn Sina. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada
pemerintahan Dinasti Saman. Ia mempelajari pemikiran filsafat
Platon dan Aristoteles. Bahkan, dikatakannya ia telah membaca
karya Aristoteles sebanyak 40 kali, namun tetap tidak mengerti.
Ungkapan ini bisa juga menjelaskan kerendah-hatiannya, tetapi
juga ketertarikannya yang kuat dan penuh antusiaisme pada
pemikiran Aristoteles.
Ajarannya tentang jiwa nampak dipegaruhi Plotinus, yaitu
emanasi (pancaran). Menurutnya Tuhan memancar akal
pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan
langit pertama, demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke
sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala apa
yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal
pertama adalah malaikat tertinggi dan akal kesepuluh adalah
Jibril.
Jiwa (al-Nafs) memiliki daya-daya sebagai derivatnya dan
atas dasar tingkatan daya-daya tersebut, pada diri manusia
terdapat tiga jiwa (al-nufus al-tsalatsah), yaitu: Pertama, jiwa
tumbuhan (al-nafs al-nabatiyah) merupakan tingkatan jiwa yang
paling rendah dan memiliki tiga daya: 1) daya nutrisi, 2) daya
tumbuhdan 3) daya reproduksi. Dengan ketiga daya ini manusia
berpotensi makan, tumbuh dan berkembang biak seperti halnya
tumbuh-tumbuhan.
Kedua, jiwa hewani/sensitive (al-nafs al-hayawaniyah)
yang memiliki dua daya, yaitu daya penggerak dan daya
persepsi. Pada penggerak terdapat dua daya lagi yaitu daya
pendorong (al-baitsah) dan 2) daya berbuat (al-fa'ilah).
Hubungan antara daya pertama dengan daya kedua
sebagaimana hubungan daya potensi dan aktus, tetapi
keduanya bersifat potensial sebelum mencapai aktualisasinya.
Yang pertama merupakan kemauan dan yang kedua
merupakan kemampuan. Dengan jelas pemikirannya ini
bersumber dari Aristoteles, yang sebelumnya juga telah
dikembangkan filsuf Islam pendahulunya yaitu Al Ghazali.
Ketiga, jiwa rasional (al-nafs al-natiqah). Mempunyai dua
daya yakni daya praktis (al-'amilah) dan daya teoritis (al-
alimah). Daya praktis berfungsi menggerakkan tubuh melalui
daya--daya jiwa sensitive/hewani sesuai dengan tuntutan
pengetahuan yang dicapai oleh akal teorities. Akal praktis
merupakan saluran yang menyampaikan gagasan akal teoritis
kepada daya penggerak Tuhan adalah "a necessary existence
in itself," sementara alam adalah “a necessary existence”
karena Tuhan. Yang pertama lebih mulia dari pada yang kedua.
Artinya, derajad alam lebih rendah dari Tuhan. Alasannya,
karena waktu tidak ada sehingga kalau berbicara eksistensi
maka hanya dibedakan oleh derajad perwujudannya saja.
b. Ibnu Rushd dan Ajarannya
Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd
nama lengkapnya, dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus
(Vandalus) tahun 1126, dan meninggal 1198. Popular dengan
nama Ibnu Rushd, yang di Barat ia dikenal dalam nama Latin
Averroes. Ia hidup pada periode puncak abad pertengahan.
Kalau pada periode ini Aristoteles diakui sebagai filsuf utama,
maka Ibnu Rushd disebut sebagai komentator utamanya.
Proyek filsafatnya berpusat pada upaya untuk mengharmo-
nisasi ajaran Islam dan Filsafat.
Ajaran tentang akal budi. Dengan merujuk Aristoteles,
Rushd mengajarkan bahwa akal budi adalah “the first intellect.”
Ungkapan terkenal untuk menggambarkan pemikiran Ibnu
Rushd adalah, "al-Qur‟an memuat wahyu yang oleh Allah
sendiri disampaikan kepada manusia, sedangkan filsafat
Aristoteles adalah kebenaran tertinggi." Dalam ungkapannya
sendiri terlihat lebih menukik, "berkat penyelenggaraan ilahi,
Sang Filsuf Agung Aristoteles tampil dalam panggung sejarah
umat manusia untuk membantu manusia mengetahui apa yang
perlu diketahuinya. Filsafat adalah sahabat putri dari agama dan
saudarinya sesusu."
Apabila al-Qur‟an mengajarkan sesuatu yang sama
dengan akal budi (sesuai ajaran Aristoteles) maka itu mutlak
benar. Tetapi, apabila yang diajarkan itu bertentangan dengan
akal budi, maka ayat-ayat al-Qur‟an itu harus ditafsirkan
menurut makna yang dapat diterima oleh akal budi Aristotelian.
Bagi Ibnu Rushd, Allahnya Aristoteles, yaitu "the first
unmove mover," adalah juga Allah sebagaimana diajarkan al-
Qur‟an, yaitu: Allah Maharahim. Keduanya merupakan satu
prinsip abadi yang dengan kehendak Allah menggerakkan
segala sesuatu di dalam dunia materi dari kekal hingga kekal.
Namun, sebagai penggerak utama, Tuhan hanya pencipta
gerakan awal, kemudian gerak-gerak selanjutnya diciptakan
oleh akal-akal selanjutnya.
Mengikuti pandangan Aristoteles Ibnu Rushd mengajar-
kan bahwa Tuhan hanya mengetahui keberadaan-Nya sendiri.
Ini merupakan keniscayaan agar Tuhan tetap terjaga keesaan-
Nya, sebab bila Tuhan mengetahui keberagaman segala
sesuatu akan berarti Tuhan juga mempunyai keberagaman
dalam diri-Nya. Dengan demikian ajaran ini meletakkan Tuhan
semata-mata berada dalam zat-Nya sendiri dan tidak ada yang
lain. Ini dapat dibandingkan dengan ajaran Arsitoteles bahwa
"Tuhan" adalah actus murni yang tidak tergantung, termasuk
tidak menyebabkan, apa pun di luar dirinya.
Tentang muasal Alam, Ibnu Rushd berpandangan bahwa
alam berlangsung tanpa permulaan. Dengan demikian bagi Ibnu
Rusyd ada dua hal yang bersifat azali, yaitu Tuhan dan alam.
Hanya saja keazalian Tuhan berbeda dari keazalian alam dari
segi kederajadannya. Keazalian Tuhan lebih utama atau lebih
tinggi derajadnya dari keazalian alam. Ibnu Rusyd berargumen
sebagai berikut: Seandainya alam ini tidak azali, ada permula-
annya maka mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadi-
kannya itu harus ada pula yang menjadikannya lagi, demikian-
lah seterusnya tanpa ada habis-habisnya. Padahal keadaan
berantai seperti itu tidak ada putusnya sehingga tidak dapat
diterima akal pikiran.
Mengikuti tradisi berpikir Yunani, Ibnu Rushd mengin-
dentifikasi lima hal yang perlu dimiliki seseorang yang ingin
mendalami filsafat: Pertama, bakat alam. Orang yang ingin
mendalami filsafat harus punya bekal awal yaitu nalar. Ingat,
Platon misalnya mempersyaratkan kemampuan matematika
sebagai dasar mempelajari filsafat.
Kedua, tertib. Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf
harus mempelajari filsafat secara sistematis dan berurutan, agar
tidak ada kerancuan-kerancuan.
Ketiga, objektivitas, yaitu kejujuran mengatakan benar
dan tidak pada sebuah pemikiran. Ketika mendapatkan satu
kebenaran dalam suatu pemikiran katakanlah itu kebenaran,
tanpa mengurangi atau melebihkan.
Keempat, keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf
mendapatkan kepastian dalam pemikirannya, maka sikap yang
patut adalah mempertahankan pemikirannya itu dengan
sungguh. Dalam kamus seorang filsuf tidak ada yang namanya
kemunafikan pemikiran. Ketika ia menyatakan kebenaran satu
hal maka ia harus mempertahankannya mati-matian.
Kelima, keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin
menda-lami filsafat harus benar-benar meniatkan dirinya untuk
fokus hanya pada pengetahuan dan kebaikan.

C. Penutup
Demikian ulasan berhubungan dengan pandangan Islam abad
pertengahan berkaitan dengan rekonsiliasi filsafat dan agama, yang
tentunya kami sebagai penulis menyadari banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini. Untuk itu dengan segala kerendahan hati kami
mohon masukan yang konstruktif dari peserta diskusi dalam mata kuliah
Filsafat Ilmu ini.

D. Daftar Bacaan
Dahlan, Abdul Aziz. 2007. “Filsuf”. Dalam Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam Pemikiran dan Peradaban. Jakarta: Ikhtiar Baru Van
Hoeve.
Gaarder, Jostein. 2016. Dunia Sophie Sebuah Novel Filsafat, (Alih
bahasa oleh Rahmani Astuti). Jakarta: Mizan
Kartanegara, Mulyadi. 2004. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Lentera Hati.
Madkour, Ibrahim. 2004. Aliran dan Teori Filsafat Islam, terj. Yudian W.
Asmin. Jakarta: Bumi Aksar.
Nasution, Harun. 1978. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
--------------. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press.
Tjahjadi, Simon P.L.. 2004. Petualangan Intelektual Konfrontasi
dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman
Modern, Jakarta: Kanisius.
Sudarsono. 2010. Filsafat Islam. Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai