Anda di halaman 1dari 13

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER (UTS)

EPIDEMIOLOGI

NAMA : DEWI ASTUTI


NPM : 2016.000.0020

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN INDONESIA MAJU


PROGRAM STUDI PASCA SARJANA ILMU
KESEHATAN MASYARAKAT
JAKARTA 2017
TAHAPAN PENCEGAHAN PENYAKIT EKLAMPSIA

Tindakan pencegahan dapat dilakukan baik pada fase prepatogenesis yaitu


sebelum mulainya proses penyakit, maupun fase pathogenesis yaitu sesudah
memasuki proses penyakit mengikuti konsep proses Riwayat Alamiah Penyakit.
Terdapat empat tingkat utama dalam pencegahan penyakit eklampsia, yaitu :
1. Pencegahan Tingkat Awal (Primodial Prevention)
Dalam pencegahan tahap ini merupakan upaya awal terhadap
pencegahan suatu penyakit. Oleh sebab itu seluruh ibu yang sedang hamil
maupun tidak hamil diharapkan untuk selalu menjaga dan memelihara
kesehatan fisik dengan menjaga pola makan, membiasakan untuk
berolahraga agar selalu dapat mempertahankan kondisi kesehatan dari
berbagai macam penyakit.
2. Pencegahan Tingkat Pertama (Primary Prevention)
Pencegahan primer ini dilakukan dalam fase pre-patogenesis yaitu
pada keadaan dimana proses penyakit belum terjadi atau belum mulai.
Dalam fase ini meskipun proses penyakit belum mulai tapi ke 3 faktor
utama terjadinya penyakit agent, host dan environment membentuk konsep
segitiga epidemiologi yang selalu akan berinteraksi dan sewaktu-waktu
mencetuskan terjadinya stimulus yang memicu terjadinya proses penyakit
dan masuk kedalam fase pathogenesis.
Tahap pencegahan primer terbagi menjadi dua sub-tahap yaitu:
a. Tahap Health Promotion (Pembinaan Kesehatan/ Pencegahan Umum)
Dalam pencegahan penyakit eklamsia, pembinaan kesehatan atau
pencegahan umum yang dapat diberikan adalah dengan memberikan
penyuluhan kepada masyarakat untuk berperilaku sehat khususnya calon
ibu atau ibu hamil mengenai berbagai macam masalah dalam kehamilan,
seperti eklampsia yang merupakan salah satu faktor resiko berbahaya
pada kehamilan.
b. Tahap Specific Protection (Perlindungan Khusus)
Dalam tahap ini upaya pencegahan penyakit eklampsi sudah tertuju
pada ibu hamil yang beresiko mengalami penyakit eklampsia seperti ibu
primigravida, obesitas, hiperplasentosis, ibu hamil dengan usia

kehamilan diatas 20 minggu, riwayat hipertensi, ibu dengan penyakit


ginjal dan ibu yang mengalami hipertensi sebelum kehamilan
(Prawihardjo, 2009).
Pencegahan penyakit eklampsia dapat dilakukan dengan melakukan
pengkajian tekanan darah dan urinalisis. Pengkajian ini merupakan cara
pertama karena mudah untuk dikaji walaupun tidak memusatkan
patogenesis pre-eklampsia (Billington dan Stevenson, 2010).
Sedangkan menurut Bandiyah tahun 2009, pencegahan dapat
dilakukan dengan meningkatkan cakupan, kemudian kepada semua ibu
hamil diberikan perawatan dan skrining antenatal (ANC) untuk deteksi
dini secara proaktif yaitu mengenal masalah yang perlu diwaspadai dan
menemukan secara dini adanya tanda bahaya dan faktor risiko pada
kehamilan.
Dalam hal pencegahan penyakit eklampsia, ibu hamil harus
mengurangi makanan yang asin dan bergaram seperti ikan asin, ebi,
makanan kaleng, maupun makanan olahan lain yang menggunakan garam
tinggi, laukan pula relaksasi selama kehamilan karena dapat menurunkan
tekanan darah tinggi (Indiarti, 2009).
3. Pencegahan Tingkat Kedua (Secondary Prevention)
Pencegahan tingkat kedua ini untuk mencegah meluasnya penyakit
dengan mendiagnosa dini dan sudah ditemukannya tanda dan gejala
penyakit, seperti :
a. Pre-eklampsi Ringan
Pada usia kehamilan diatas 20 minggu tekanan darah meningkat
diatas 140/90 mmHg, dibawah 160/110 mmHg, adanya kandungan
protein dalam urine diketahui dari pemeriksaan laboratorium dengan
hasil +2 dan terdapat edema pada pretibia, dinding abdomen,
lumbosakral, wajah atau tangan (Wibisono, 2009).
b. Pre-eklamsia berat
Komplikasi kehamilan yang di tandai dengan timbulnya
hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai protein urine dengan hasil
+3 atau +4 serta oliguria yaitu jumlah urine <500 cc/24 jam, adanya

gangguan serebral, gangguan visus, dan rasa nyeri di epigastrium


terdapat edema paru dan sianosis, gangguan perkembangan intra uterin
dan trombosit < 100.000/mm3 pada kehamilan 20 minggu atau lebih
(Rukiyah, 2010).
c. Eklampsia
Kelainan pada masa kehamilan, dalam persalinan, atau masa nifas
yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul akibat kelainan
saraf) dan / atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan gejalagejala pre-eklampsia.
Dengan tanda dan gejala sebagai berikut : nyeri kepala hebat pada
bagian depan atau belakang kepala yang diikuti dengan peningkatan
tekanan darah yang abnormal. Sakit kepala tersebut terus menerus dan
tidak berkurang dengan pemberian aspirin atau obat sakit kepala lain,
gangguan penglihatan pasien akan melihat kilatan-kilatan cahaya,
pandangan kabur dan terkadang bisa terjadi kebutaan sementara, ibu
merasa gelisah dan tidak bisa bertoleransi dengan suara berisik atau
gangguan lainnya, nyeri perut pada bagian ulu hati yang kadang disertai
dengan muntah, tanda-tanda umum pre eklampsia (hipertensi, edema,
dan proteinuria), Kejang-kejang dan atau koma.
Usaha pencegahan preklampsia dan eklampsia seharusnya sudah
lama dilakukan. Diantaranya dengan diet rendah garam dan kaya
vitamin C. Selain itu, toxoperal (vitamin E), beta caroten, minyak ikan
(eicosapen tanoic acid), zink (seng), magnesium, diuretik, anti
hipertensi, aspirin dosis rendah dan kalium diyakini mampu mencegah
terjadinya preklampsia dan eklampsia.
Belakangan ini juga terdapat penelitian manfaat penggunaan antioksidan seperti N. Acetyl Cystein yang diberikan bersama dengan
vitamin A, B6, B12, C, E dan berbagai mineral lainnya. Upaya itu dapat
menurunkan angka kejadian pre-eklampsia pada kasus risiko tinggi.
4. Pencegahan Tingkat Ketiga (Tertiary Prevention)
Pencegahan tingkat ketiga ini agar penyakit tidak berlanjut dan
berkembang menjadi lebih parah, apabila penyakit tersebut sudah dalam

stadium lanjut / parah, maka tindakan pencegahan dapat diartikan agar tidak
menjadi menahun yang dapat berakibat cacat, dapat dikatakan juga sebagai
tindakan untuk mencegah kematian. Dalam pencegahan ini diberikan
pengobatan dan perawatan rehabilitas guna penyumbuhan fungsi fisik
seperti semula.
a. Penanganan Preeklampsia Ringan (140/90 mmHg)
1) Jika tekanan darah diastolik berkisar 80-90 mmHg atau naik
kurang dari 15 mmHg dan tidak ditemukan proteinuria, wanita
tersebut diizinkan untuk tinggal di rumah dan dianjurkan untuk
beristirahat sebanyak mungkin. Pada setiap kunjungan:
a) Memeriksa tekanan darah.
b) Memeriksa urine untuk menemukan adanya protein.
c) Menimbang berat badan pasien.
d) Memeriksa untuk menemukan adanya edema.
e) Meminimalkan gejala-gejala pre-ekalmpsia berat.
f) Memantau pertumbuhan janin, tanyakan pada ibu tentang
gerakan janin.
g) Memeriksa denyut jantung janin.

Perawatan dilakukan di rumah sakit bila :


1) Tekanan darah diastolik 90 mmHg atau lebih atau meningkat lebih
dari 15 mmHg, jika ada gejala preeklampsia berat, atau jika
ditemukan adanya pertumbuhan buruk pada janin, wanita tersebut
harus masuk ke rumah sakit untuk diobservasi dan diberikan
penatalaksanaan.
2) Di rumah sakit, dilakukan penanganan :
a) Wanita beristirahat di ruang yang tenang.
b) Memeriksa tekanan darah setiap 4 jam (setiap 2 jam bila
keadaannya sangat parah).
c) Melakukan pemeriksaan protein urine dua kali sehari
d) Memantau frekuensi jantung janin dua kali sehari.
e) Menimbang berat badan wanita tersebut dua kai seminggu jika
mungkin.

f) Memberikan sedasi (misanya: diazepam- dosis intravena 10


mg diazepam. Kemudian berikan dosis intravena ulangan 10
mg, setiap 4-6 jam, maksimum 100 mg per 24 jam)
g) Memerikan obat antihipertensi hanya jika tekanan diastoliknya
110

mmHg atau lebih dan harus sesuai dengan perintah

dokter.
b. Penanganan Preeklampsia Berat
Menurut Saifuddin (2007), penanganan preeklampsia berat dan
eklampsia (160/110 mmHg dan preeklampsia disertai kejang).
Penatalaksanaan pre-eklampsia berat sama dengan eklampsia. Dengan
tujuan utama menghentikan berulangnya serangan konvulsi dan
mengakhiri kehamilan secepatnnya digunakan cara yang aman setelah
keadaan ibu mengizinkan.
Penanganan kejang:
1) Memberikan obat antikonvulsan.
2) Perlengkapan untuk penanganan kejang (jalan nafas, sedotan,
masker oksigen, oksigen).
3) Melindungi pasien dari kemungkinan trauma.
4) Aspirasi mulut dan tenggorokan
5) Membaringkan pasien pada sisi kiri, posisi Trendelenburg untuk
mengurangi risiko aspirasi.
6) Memberikan O2 4-6 liter/ menit.
Menurut Saifuddin (2006) penanganan umum PreEklampsia Berat yaitu:
1) Jika tekanan darah diastolik > 110 mmHg, berikan antihipertensi,
sampai tekanan diastolik di antara 90-100 mmHg.
2) Memasang infus Ringer Laktat dengan jarum besar (16 gauge
atau lebih ).
3) Mengukur keseimbangan cairan, jangan sampai terjadi overload.
4) Kateterisasi urin untuk pengeluaran volume dan proteinuria.
5) Jika jumlah urin < 30ml per jam, infus cairan dipertahankan 1 1/8
jam, memantau kemungkinan edema paru, tidak meninggalkan
pasien sendirian. Kejang disertai aspirasi dapat mengakibatkan
kematian ibu dan janin.
6) Observasi tanda-tanda vital, refleks, dan denyut jantung janin
setiap jam.

7) Auskultasi paru untuk mencari tanda-tanda edema paru. Krepitasi


merupakan tanda edema paru. Jika ada edema paru, menghentikan
pemberian cairan, dan berikan diuretik misalnya furosemide 40
mg IV.
8) Nilai pembekuan darah dengan uji pembekuan

bedside. Jika

pembekuan tidak terjadi sesudah 7 menit, kemungkinan terdapat


koagulopati. Antikonvulsan: Magnesium sulfat merupakan obat
pilihan untuk mencegah dan mengatasi kejang pada preeklampsia.
Alternatif lain adalah diazepam, dengan terjadinya depresi
neonatal.

c. Pengobatan Pada Eklampsia


1) Pengobatan medikamentosa
Tujuan

utama

pengubatan

medikamentosa

eklampsia ialah mencegah dan menghentikan kejang,


mencegah

dan

mengatasi

penyulit,

khususnya

hipertensi krisis, mencapai stabilisasi ibu seoptimal


mungkin sehingga dapat melahirkan janin pada saat
dan dengan cara yang tepat.
a) Obat anti kejang
Anti kejang yang menjadi pilihan utama ialah
mangnesium sulfat. Bila dengan jenis obat ini
kejang masih sukar diatasi, dapat dipakai obat
jenis lain, misalnya thiopental. Diazepam dapat
dipakai

sebagai

alternative

pilihan,

namun

mengingat dosis yang diperlukan sangat tinggi,


pemberian diazepam hanya dilakukan oleh mereka
yang telah berpengalaman. Pemberian diuretikum

hendaknya

selalu

disertai

dengan

memonitor

plasma elektrolit. Obat kardiotonika ataupun obatobat antihipertensi hendaknya selalu disiapkan dan
diberikan benar-benar atas indikasi.
b) Magnesium sulfat (MgSO4)
Pemberian magnesium sulfat pada dasarnya
sama seperti pemberian magnesium sulfat pada
preeklampsia berat. Pengobatan suportif terutama
ditujukan

untuk

gangguan

penting,

misalnya

fungsi

organ-organ

tindakan-tindakan

untuk

memperbaiki asidosis, mempertahankan ventilasi


paru-paru, mengatur tekanan darah, mencegah
dekompensasi kordis.
Magnesium

sulfat

harus

dipertimbangkan

untuk ibu dengan preeklampsia berat karena dapat


mengurangi risiko kejang eklamatik sekitar 58%.
Jika berat, maka 63 ibu akan diterapi untuk
mencegah satu serangan eklampsia, sedangkan
jika ringan dan kemudian diterapi maka 109 ibu
akan diterapi untuk mencegah satu serangan.
Apabila

rencana

penatalaksanaan

konservatif

direkomendasikan, pemberian magnesium sulfat


dapat ditunda sampai pelahiran direncanakan;
harus dilanjutkan untuk 24 jam setelah pelahiran
pelahiran atau 24 jam setelah kejang. Magnesium
sulfat adalah terapi baris pertama: 4 gr dengan
infus IV lambat (dalam 5-10 menit) dan dilanjutkan
dengan infus 1 g/jam selama 24 jam. Apabila

kejang berulang berikan, berikan bolus sebanyak 2


gr atau tigkatkan laju infuse menjadi 1,5-2 gr/jam.
Toksisitas
hilangnya

magnesium
refleks

dapat

tendon

dideteksi
profunda.

dengan
Apabila

haluaran urin berkurang sampai kurang dari 20


ml/jam, terapi magnesium serum perlu diukur
untuk memantau toksisitas.
Pada penderita yang mengalami kejang dan
koma, nursing

care sangat

penting,

misalnya

meliputi cara-cara perawatan penderita dalam


suatu kamar isolasi, mencegah aspirasi, mengatur
infuse penderita, dan monitoring produksi urine.

2) Pengobatan obstetric
Sikap terhadap kehamilahn ialah semua kehamilan dengan
eklampsia harus diakhiri, tanpa memandang umur kehamilan dan
keadaan janin. Persalinan diakhiri bila sudah mencapai stabilisasi
(pemulihan) hemodinamika dan metabolisme ibu. Pada perawatan
pasca persalinan, bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring
tanda-tanda vital dilakukan sebagimana lazimnya.
Prognosis:
Bila penderita tidak terlambat dalam pemberian pengobatan,
maka gejala perbaikan akan tampak jelas setelah kehamilannya
diakhiri. Segera setelah persalinan berakhir perubahan patofisiologik
akan segera pula mengalami perbaikan. Dieresis terjadi 12 jam
kemudian setelah persalinan. Keadaan ini merupakan tanda
prognosis yang baik, karena hal ini merupakan gejala pertama

penyembuhan. Tekanan darah kembali normal dalam beberapa jam


kemudian.
Eklampsia tidak mempengaruhi kehamilan berikutnya, kecuali
pada janin dari ibu yang sudah mempunyai hipertensi kronik.
Prognosis janin pada penderita eklampsia juga tergolong buruk.
Seringkali janin mati intrauterine atau mati pada fase neonatal karena
memang kondisi bayi sudah sangat inferior.
d. Perawatan Eklampsia
Perawatan

eklampsia

yang

utama

ialah

terapi

suportif untuk stabilasi fungsi vital, yang harus selalu


diingat airway,
dan

mencegah

breathing,
kejang,

circulation (ABC),
mengatasi

mengatasi

hipoksemia

dan

asidemia mencegah trauma pada pasien pada waktu


kejang, mengendalikan tekanan darah, khususnya pada
waktu krisis hipertensi, melahirkan janin pada waktu yan
tepat dan dengan cara yang tepat.
1) Perawatan pada waktu kejang
Pada penderita yang mengalami kejang, tujuan
pertama

pertolongan

ialah

mencegah

penderita

mengalami trauma akibat kejang-kejang tersebut.


Dirawat

dikamar

isolasi

cukup

terang,

tidak

dikamar gelap, agar bila terjadi sianosis segera dapat


diketahui. Penderita dibaringkan ditempat tidur yang
lebar,dengan railtempat

tidurharus

dipasang

dan

dikunci dengan kuat. Selanjutnya masukkan sudap lidah


kedalam mulut penderita dan jangan mencoba sudap
lidah yang sedang tergigit karena dapat mematahkan

gigi. Kepala direndahkan dan daerah orofaring dihisap.


Hendaknya

dijaga

agar

kepala

dan

ekstremitas

penderita yang kejang tidak terlalu kuat menghentakhentak benda keras disekitarnya. Fiksasi badan pada
tempat tidur harus cukup kendor, guna menghindari
fraktur. Bila penderita selesai kejang-kejang, segera beri
oksigen.
2) Perawatan koma
Perlu diingat bahwa penderita koma tidak dapat bereaksi atau
mempertahankan diri terhadap suhu yang ekstrem, posisi tubuh yang
menimbulkan nyeri dan aspirasi, karena hilangnya efek muntah.
Bahaya terbesar yang mengancam penderita koma, ialah terbuntunya
jalan nafas atas. Setiap penderita eklampsia yang jatuh koma harus
dianggap bahwa jalan nafas atas terbuntu, kecuali dibuktikan lain.
Oleh karena itu, tindakan pertama-tama pada penderita yang
jatuh koma (tidak sadar), ialah menjaga dan mengusahakan jalan nafas
atas tetap terbuka. Untuk menghindari terbuntunya jalan nafas atas
oleh pangkal lidah dan epiglottis dilakukan tindakan sebagai berikut.
Cara sederhana cukup efektif dalam menjaga terbukanya jalan nafas
atas, ialah

dengan maneuver head tilt-neck-lift, yaitu kepala

direndahkan dan leher dalam posisi ekstensi kebelakan atau head tiltchainlift, yaitu dengan kepala direndahkan dan dagu ditari keatas,
tau jaw-trust, yaitu mandibula kiri kanan diekstensikan keatas sambil
mengangkat kepala kebelakang. Tindakan ini kemudian dapat
dilanjutkan dengan pemasangan oropharyngealairway.
Hal penting kedua yang perlu diperhatikan ialah bahwa
penderita koma akan kehilanga refleks muntah sehingga kemungkinan
terjadinya aspirasi bahan lambung sangat besar. Lambung ibu hamil
harus selalu dianggap sebagai lambung penuh. Oleh karena itu, semua
benda yang ada dalam rongga mulut dan tenggorokan, baik berupa
lender maupun sisa maupun sisa makanan, harus segera diisap secara

intermiten. Penderita ditidurkan dalam posisi stabil untuk drainase


lendir.
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow
coma scale. Pada perawatan koma perlu diperhatikan pencegahan
dekubitus dan makanan penderita. Pada koma yang lama, bila nutrisi
tidak mungkin; dapat diberikan melalui Naso Gastric Tube (NGT).
3) Perawatan edema paru
Bila terjadi edema paru sebaiknya penderita dirawat di ICU
karena membutuhkan perawatan animasi dengan respirator.
e. Penanganan Kasus Eklampsi Dikomunitas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di BPS
maupun dipuskesmas, secara prinsip pasien dengan PEB
dan eklampsia harus sirujuk ke tempat pelayanan kesehatan
dengan fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yangperlu
dilakukan dalam merujuk pasien PEB atau eklampsia adalah
sebagai berikut :
1) Pada pasien PEB/eklampsia sebelum berangkat, pasang infuse RD5,
berikan SM 20% 4 IV pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang
ulangan berikan injeksi diazepam 10 mg IV secara pelan-pelan selama 2
menit, bila timbul kejang ulangan, ulangi dosis yang sama.
2) Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah
initialdose diatas dengan cara: injeksi SM 40% masing-masng 5 g IM.
3) Pasang oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4) Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-oat yang
sudah diberikan.
5) Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6) Menyiapkan obat-obatan: injeksi SM 20%, injeksi diazepam, cairan
infuse, dan tabung oksigen.
7) Antacid untuk menetralisirkan asam lambung sehingga bila mendadak
kejang dapat mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.

DAFTAR PUSTAKA
S.Elizabeth Robson And Jason Waugh.(2013).Patologi Pada Kehamilan:
Manajemen Dan Asuhan Kebidanan.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC
Prawirohardjo, Sarwono.(2010).Ilmu Kebidanan (Edisi Keempat).Jakarta : P.T.
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Syafarudin, Hamidah.(2012).Kebidanan Komunitas.Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
http://www.idmedis.com/2014/12/preeklampsia-pada-ibu-hamil-penyebab-gejaladan-faktor-resiko.html
http://elfallife.blogspot.co.id/2015/02/pencegahan-penyakit-yang-berkaitan.html
http://syafaatphunsoed.blogspot.co.id/2015/11/konsep-dasar-pencegahanpenyakit.html

Anda mungkin juga menyukai