Anda di halaman 1dari 20

BERBAGAI PEMBENGKAKAN di RONGGA MULUT

MAKALAH
Diajukan guna melengkapi tugas pada PKL IKGM 4
di RSU dr. H. Koesnadi Bondowoso

Oleh
Ayu Nurfitria S
NIM. 111611101058

Pembimbing: drg. Eka W., Sp.BM

BAGIAN ILMU KESEHATAN GIGI MASYARAKAT


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2016

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia biasanya hidup berdampingan secara mutualistik dengan mikrobiota rongga
mulut. Gigi dan mukosa yang utuh merupakan pertahanan pertama yang hampir tidak
tertembus apabila sistem kekebalan hospes dan pertahanan selular berfungsi dengan baik.
Apabila sifat mikroba berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya, apabila sistem kekebalan
dan pertahanan seslular terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut di atas, maka infeksi
dapat terjadi (Pederson, 1996).
Dalam praktik sehari-hari dapat kita temukan infeksi yang dapat bersifat akut
maupun kronis. Infeksi akut biasanya ditandai dengan pembengkakan dan rasa sakit yang
hebat dengan manifestasi berupa malaise dan demam berkepanjangan. Infeksi kronis dapat
berkembang dari penyembuan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah, atau pertahanan
yang kuat. Infeksi kronis ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan
bukan berupa rasa sakit yang hebat.
Infeksi sendiri merupakan masuknya kuman patogen atau toksin ke dalam tubuh
manusia serta menimb ulkan gejala sakit. Infeksi odontogen adalah infeksi yang awalnya
bersumber dari kerusakan jaringan keras gigi atau jaringan penyangga gigi yang disebabkan
oleh bakteri sebagai flora normal rongga mulut yang berubah menjadi patogen.
Infeksi odontogen merupakan salah satu diantara beberapa infeksi yang paling sering
dijumpai pada manusia. Adapun gejala yang ditimbulkan dari infeksi yaitu berupa gejala
lokal dan sistemik. Gejala lokal seperti rubor, kalor, tumor, dolor, dan perubahan fungsi.
Adapun gejala sistemiknya seperti demam, malaise, hipotensi, takhikardi, takhipnea,
limpadenopati, dan perubahan laju endap darah
Melalui gejala-gejala infeksi kita dapat mengetahui tanda-tanda infeksi sehingga dapat
mencegah terjadinya infeksi odontogen secepat mungkin atau mengetahui sedini mungkin
terjadinya infeksi ini sehingga dapat dicegah atau diobati. Berdasarkan uraian latar belakang
di atas, penulis ingin membahas mengenai berbagai pembengkakan yang merupakan gejala
infeksi odontogen beserta pola penyebaran, macam-macam, dan penatalaksanaannya.

1.2 Rumusan Masalah


Jelaskan tentang berbagai pembengkakan yang terdapat di rongga mulut
1.3 Tujuan
Menjelaskan tentang macam pembengkakan yang terdapat di rongga mulut

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infeksi Odontogenik
Infeksi odontogen merupakan suatu proses infeksi primer atau sekunder yang terjadi
pada jaringan periodontal, perikoronal, karena traumatik atau infeksi pasca bedah. Tipikal
infeksi odontogenik adalah berasal dari karies gigi yang merupakan suatu proses dekalsifikasi
email. Sekali email larut, infeksi karies dapat langsung melewati bagian dentin yang
mikroporus dan langsung masuk ke dalam pulpa, kemudian berlanjut menjadi pulpitis dan
akhirnya terjadi nekrosis pulpa. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa
menembus masuk ruang pulpa sampai ke apikal gigi. Foramen apikalis pada pulpa tidak bisa
mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke
ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Al Hutami,
2012).

Fistula

Selulitis

Abses intra oral


Atau jaringan lunak-kutis

Bakteremie-Septikemie

Acute-Chronic

Infeksi Spasium

Periapikal Infection

yang dalam

Osteomielitis

Ke spasium yang lebih


tinggi infeksi serebral

Gambar 2.1 : Arah Penyebaran Infeksi odontogenik


Sumber : Oral and Maxillofacial Infection, Topazian Richard G, Morton H
Goldberg, James R hupp. 4th ed;Philadelphia, W.B.Saunder

Proses inflamasi selanjutnya terjadi pada jaringan periapikal gigi, yang disertai
pembentukan eksudat atau dinamakan abses apikalis akut. Abses ini disebabkan oleh

masuknya bakteri, serta produknya dari saluran akar gigi yang terinfeksi. Abses
apikalis akut ditandai dengan nyeri yang spontan, adanya pembentukan nanah, dan
pembengkakan. Pembengkakan biasanya terletak di vestibulum bukal, lingual atau
palatal tergantung lokasi apeks gigi yang terkena. Abses apikalis akut juga terkadang
disertai dengan manifestasi sistemik seperti meningkatnya suhu tubuh, dan malaise.
Tes perkusi abses apikalis akut akan menghasilkan respon yang sangat sensitif, tes
palpasi akan merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas tidak memberikan respon.
Secara histologi abses apikalis akut menunjukkan adanya lesi destruktif dari nekrosis
yang mengandung banyak leukosit PMN yang rusak, debris, dan sel serta eksudat
purulen. Gambaran radiografis abses apikalis akut, terlihat penebalan pada ligamen
periodontal dengan lesi pada jaringan periapikal (Fragiskos, 2007).
2.1.1 Faktor-faktor yang berperan terjadinya infeksi (Fragiskos, 2007):
1

Virulensi dan Quantity


Di rongga mulut terdapat bakteri yang bersifat komensalis. Apabila
lingkungan memungkinkan terjadinya invasi, baik oleh flora normal maupun
bakteri asing, maka akan terjadi perubahan dan bakteri bersifat patogen.
Patogenitas bakteri biasanya berkaitan dengan dua faktor yaitu virulensi dan
quantity. Virulensi berkaitan dengan kualitas dari bakteri seperti daya invasi,
toksisitas, enzim dan produk-produk lainnya. Sedangkan Quantity adalah jumlah
dari mikroorganisme yang dapat menginfeksi host dan juga berkaitan dengan
jumlah faktor-faktor yang bersifat virulen.

Pertahanan Tubuh Lokal


Pertahanan tubuh lokal memiliki dua komponen. Pertama barier anatomi,
berupa kulit dan mukosa yang utuh, menahan masuknya bakteri ke jaringan di
bawahnya. Pembukaan pada barier anatomi ini dengan cara insisi poket
periodontal yang dalam, jaringan pulpa yang nekrosis akan membuka jalan masuk
bakteri ke jaringan di bawahnya. Gigi-gigi dan mukosa yang sehat merupakan
pertahanan tubuh lokal terhadap infeksi. Adanya karies dan saku periodontal
memberikan jalan masuk untuk invasi bakteri serta

memberikan lingkungan yang mendukung perkembangbiakan jumlah bakteri.


Mekanisme pertahanan lokal yang kedua adalah populasi bakteri normal di
dalam mulut, bakteri ini biasanya hidup normal di dalam tubuh host dan tidak
menyebabkan penyakit. Jika kehadiran bateri tersebut berkurang akibat
penggunaan

antibiotik,

organisme

lainnya

dapat

menggantikannya

dan

bekerjasama dengan bakteri penyebab infeksi mengakibatkan infeksi yang lebih


berat.
3

Pertahanan Humoral
Mekanisme pertahanan humoral, terdapat pada plasma dan cairan tubuh
lainnya dan merupakan alat pertahanan terhadap bakteri. Dua komponen
utamanya adalah imunoglobulin dan komplemen. Imunoglobulin adalah antibodi
yang melawan bakteri yang menginvasi dan diikuti proses fagositosis aktif dari
leukosit.

Imunoglobulin

diproduksi

oleh

sel

plasma

yang

merupakan

perkembangan dari limfosit B.Terdapat lima tipe imunoglobulin, 75 % terdiri dari


Ig G merupakan pertahanan tubuh terhadap bakteri gram positif. Ig A sejumlah 12
% merupakan imunoglobulin pada kelenjar ludah karena dapat ditemukan pada
membran mukosa. Ig M merupakan 7 % dari imunoglobulin yang merupakan
pertahanan terhadap bakteri gram negatif. Ig E terutama berperan pada reaksi
hipersensitivitas. Fungsi dari Ig D sampai saat ini belum diketahui.
Komplemen adalah mekanisme pertahanan tubuh humoral lainnya,
merupakan sekelompok serum yang di produksi di hepar dan harus di aktifkan
untuk dapat berfungsi. Fungsi dari komplemen yang penting adalah yang pertama
dalam proses pengenalan bakteri, peran kedua adalah proses kemotaksis oleh
polimorfonuklear leukosit yang dari aliran darah ke daerah infeksi. Ketiga adalah
proses opsonisasi, untuk membantu mematikan bakteri. Keempat dilakukan
fagositosis. Terakhir membantu munculnya kemampuan dari sel darah putih
untuk merusak dinding sel bakteri.
4

Pertahanan Seluler
Mekanisme pertahanan seluler berupa sel fagosit dan limfosit. Sel fagosit
yang berperan dalam proses infeksi adalah leukosit polimorfonuklear. Sel-sel ini
keluar dari aliran darah dan bermigrasi e daerah invasi bakteri dengan proses
kemotaksis. Sel-sel ini melakukan respon dengan cepat, tetapi sel-sel ini siklus
hidupnya pendek, dan hanya dapat melakukan fagositosis pada sebagian kecil

bakteri. Fase ini diikuti oleh keluarnya monosit dari aliran darah ke jaringan dan
disebut sebagai makrofag. Makrofag berfungsi sebagai fagositosis, pembunuh dan
menghancurkan bakteri dan siklus hidupnya cukup lama dibandingkan leukosit
polimorfonuklear. Monosit biasanya terlihat pada infeksi lanjut atau infeksi
kronis.
Komponen yang kedua dari pertahanan seluler adalah populasi dari
limfosit, seperti telah di sebutkan sebelumnya limfosit B akan berdifernsiasi
menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang spesifik seperti Ig G.
Limfosit T berperan pada respon yang spesifik seperti pada rejeksi graft
(penolakan cangkok) dan tumor suveillance (pertahanan terhadap tumor).
2.1.3 Tahapan Infeksi
Infeksi odontogenik umumnya melewati tiga tahap sebelum mereka menjalani
resolusi:
1

Selama 1 sampai 3 hari - pembengkakan lunak, ringan, lembut, dan adonannya


konsisten.

Antara 5 sampai 7 hari tengahnya mulai melunak dan abses merusak kulit atau
mukosa sehingga membuatnya dapat di tekan. Pus mungkin dapat dilihat lewat
lapisan epitel, membuatnya berfluktuasi.

Akhirnya abses pecah, mungkin secara spontan atau setelah pembedahan secara
drainase. Selama fase pemecahan, regio yang terlibat kokoh/tegas saat dipalpasi
disebabkan oleh proses pemisahan jaringan dan jaringan bakteri.

2.1.4 Patogenesis
Penyebaran infeksi odontogenik akan melalui tiga tahap yaitu tahap abses
dentoalveolar, tahap yang menyangkut spasium dan tahap lebih lanjut yang merupakan
tahap komplikasi. Suatu abses akan terjadi bila bakteri dapat masuk ke jaringan melalui
suatu luka ataupun melalui folikel rambut. Pada abses rahang dapat melalui foramen
apikal atau marginal gingival.
Penyebaran infeksi melalui foramen apikal berawal dari kerusakan gigi atau
karies, kemudian terjadi proses inflamasi di sekitar periapikal di daerah membran
periodontal berupa suatu periodontitis apikalis. Rangsangan yang ringan dan kronis
menyebabkan membran periodontal di apikal mengadakan reaksi membentuk dinding

untuk mengisolasi penyebaran infeksi. Respon jaringan periapikal terhadap iritasi


tersebut dapat berupa periodontitis apikalis yang supuratif atau abses dentoalveolar.

2.1.5 Tanda dan Gejala


Gejala Klinis
Penderita biasanya datang dengan keluhan sulit untuk membuka mulut (trismus),
tidak bisa makan karena sulit menelan (disfagia), nafas yang pendek karena kesulitan
bernafas. Penting untuk ditanyakan riwayat sakit gigi sebelumnya, onset dari sakit
gigi tersebut apakah mendadak atau timbul lambat, durasi dari sakit gigi tersebut
apakah hilang timbul atau terus-menerus, disertai dengan demam atau tidak, apakah
sudah mendapat pengobatan antibiotik sebelumnya (Ariji et. al. 2002).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda infeksi yaitu ;
1. Rubor : permukaan kulit yang terlibat infeksi terlihat kemerahan akibat
vasodilatasi, efek dari inflamasi
2. Tumor : pembengkakan, terjadi karena akumulasi nanah atau cairan exudat
3. Kalor : teraba hangat pada palpasi karena peningkatan aliran darah ke area infeksi
4. Dolor : terasa sakit karena adanya penekanan ujung saraf sensorik oleh
jaringan yang bengkak akibat edema atau infeksi
5. Fungsiolaesa : terdapat masalah denagn proses mastikasi, trismus, disfagia, dan
gangguan pernafasan.
Infeksi yang fatal bisa menyebabkan gangguan pernafasan, disfagia, edema
palpebra, gangguan penglihatan, oftalmoplegia, suara serak, lemah lesu dan gangguan
susunan saraf pusat (penurunan kesadaran, iritasi meningeal, sakit kepala hebat,
muntah)
Pemeriksaan fisik dimulai dari ekstra oral, lalu berlanjut ke intra oral. Dilakukan
pemeriksaan integral (inspeksi, palpasi dan perkusi) kulit wajah, kepala, leher, apakah
ada pembengkakan, fluktuasi, eritema, pembentukan fistula, dan krepitasi
subkutaneus. Dilihat adakah limfadenopati leher, keterlibatan ruang fascia, trismus
dan derajat dari trismus. Kemudian diperiksa gigi, adakah gigi yang caries, kedalaman
caries, vitalitas gigi, lokalisasi pembengkakan, fistula dan mobilitas gigi.

2.3 Macam-macam Pembengkakan di Rongga Mulut


a. Abses
1. Abses periapikal
Abses periapikal sering juga disebut abses dentoalveolar, terjadi di daerah periapikal
gigi yang sudah mengalami kematian dan terjadi keadaan eksaserbasi akut. Mungkin terjadi
segera setelah kerusakan jaringan pulpa atau setelah periode laten yang tiba-tiba menjadi
infeksi akut dengan gejala inflamasi, pembengkakan dan demam. Mikroba penyebab infeksi
umumnya berasal dari pulpa, tetapi juga bisa berasal sistemik (bakteremia) (Al Hutami,
2012).

Gambar 2.8 Abses periapikal (http://www.dental-health-index.com/toothabscess.html, diakses 10


Januari 2016).

2. Abses subperiosteal
Gejala klinis abses subperiosteal ditandai dengan selulitis jaringan lunak mulut dan
daerah maksilofasial. Pembengkakan yang menyebar ke ekstra oral, warna kulit sedikit merah
pada daerah gigi penyebab. Penderita merasakan sakit yang hebat, berdenyut dan dalam serta
tidak terlokalisir. Pada rahang bawah bila berasal dari gigi premolar atau molar
pembengkakan dapat meluas dari pipi sampai pinggir mandibula, tetapi masih dapat diraba.
Gigi penyebab sensitif pada sentuhan atau tekanan.

Gambar 2.9 Ilustrasi gambar abses subperiosteal dengan lokalisasi di daerah


lingual (a) Tampakan Klinis (b) (Fragiskos, 2007).

3. Abses submukosa
Abses ini disebut juga abses spasium vestibular, merupaan kelanjutan abses
subperiosteal yang kemudian pus berkumpul dan sampai dibawah mukosa setelah periosteum
tertembus. Rasa sakit mendadak berkurang, sedangkan pembengkakan bertambah besar.
Gejala lain yaitu masih terdapat pembengkakan ekstra oral kadang-kadang disertai demam,
lipatan mukobukal terangkat, pada palpasi lunak dan fluktuasi podotip. Bila abses berasal
darigigi insisivus atas maka sulkus nasolabial mendatar, terangatnya sayap hidung dan
kadang-kadang pembengkakan pelupuk mata bawah. Kelenjar limfe submandibula membesar
dan sakit pada palpasi.

Gambar 2.10 Ilustrasi gambar abses submukosa dengan lokalisasi didaerah bukal (a) Tampak klinis
(b) (Fragiskos, 2007)

4. Abses fosa kanina


Fosa kanina sering merupakan tempat infeksi yang bersal dari gigi rahang atas pada
regio ini terdapat jaringan ikat dan lemak, serta memudahkan terjadinya akumulasi cairan
jaringan. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan pada muka, kehilangan sulkus
nasolabialis dan edema pelupuk mata bawah sehingga tampak tertutup. Bibir atas bengkak,
seluruh muka terasa sakit disertai kulit yang tegang berwarna merah.

Gambar 2.11 Ilustrasi abses fossa kanina (a) Tampak klinis (b) (Fragiskos, 2007).

5. Abses spasium bukal


Lokasi dimana abses ini berkembang adalah terletak diantara m. buccinator dan otot

masseter. Letak dari abses ini berada di superior pretygopalatine space yang mana berada di
inferior dari pterygomandibular space. Penyebaran pus pada buccal space tergantung pada
posisi apeks gigi yang memeiliki peranan penting terhadap perlekatan dengan otot buccinator.
Abses pada buccal ini mungkin berasal dari saluran akar gigi posterior yang terinfeksi pada
rahang atas maupun rahang bawah. Abses buccal space secara klinis ditandai dengan adanya
pembengkakan dari pipi yang memanjang dari lengkung zygomatic sejauh batas inferior
mandibula, dan dari perbatasan anterior ramus ke sudut mulut. Kulit tampak kencang dan
merah, dengan atau tanpa fluktuasi abses, yang jika diabaikan, dapat mengakibatkan drainase
spontan (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.12 Ilustrasi gambar penyebaran dari lateral abses ke daerah otot buccinators (a) Tampak
klinis (b) (Fragiskos, 2007).

6. Abses spasium submandibular

Spasium ini terletak dibagian bawah m.mylohioid yang memisahkannya dari spasium
sublingual. Lokasi ini di bawah dan medial bagian belakang mandibula. Dibatasi oleh
m.hiooglosus dan m.digastrikus dan bagian posterior oleh m.pterigoid eksternus. Berisi
kelenjar ludah submandibula yang meluas ke dalam spasium sublingual. Juga berisi kelenjar
limfe submaksila. Pada bagian luar ditutup oleh fasia superfisial yang tipis dan ditembus oleh
arteri submaksilaris eksterna. Infeksi pada spasium ini dapat berasal dari abses dentoalveolar,
abses periodontal dan perikoronitis yang berasal dari gigi premolar atau molar mandibula
(Fragiskos, 2007).

Gambar 2.13 Ilustrasi gambar penyebaran dari abses ke daerah submandibular


di bawah muskulus mylohyoid (a) Tampakan klinis (b) (Fragiskos, 2007)

7. Abses spasium submental


Spasium ini terletak diantara m.milohioid dan m.plastima. di depannya melintang
m.digastrikus, berisi elenjar limfe submental. Perjalanan abses kebelakang dapat meluas ke
spasium mandibula dan sebaliknya infesi dapat berasal dari spasium submandibula. Gigi
penyebab biasanya gigi anterior atau premolar. Gejala klinis ditandai dengan selulitis pada
regio submental. Tahap akhir akan terjadi supuratif dan pada perabaan fluktuatif positif. Pada
npemeriksaan intra oral tidak tampak adanya pembengkakan. Kadang-kadang gusi disekitar
gigi penyebab lebih merah dari jaringan sekitarnya. Pada tahap lanjut infeksi dapat menyebar
juga ke arah spasium yang terdekat terutama ke arah belakang (Fragiskos, 2007).

Gambar 2.14 Ilustrasi penyebaran abses ke daerah submental (a) Tampakan


klinis (b) (Fragiskos, 2007).

8. Abses spasium infratemporal


Abses ini jarang terjadi, tetapi bila terjadi sangat berbahaya dan sering menimbulkan
komplikasi yang fatal. Spasium infratemporal terletak di bawah dataran horisontal arkuszigomatikus dan bagian lateral di batasi oleh ramus mandibula dan bagian dalam oleh
m.pterigoid interna. Bagian atas dibatasi oleh m.pterigoid eksternus. Spasium ini dilalui
a.maksilaris interna dan n.mandibula,milohioid,lingual,businator dan n.chorda timpani. Berisi
pleksus venus pterigoid dan juga berdekatan dengan pleksus faringeal.

Gambar 2.15 Ilustrasi gambar penyebaran abses ke rongga infratemporal (kiri) Tampak klinis (kanan)
(Fragiskos, 2012).

9. Abses spasium submasseter


Spasium submasseter berjalan ke bawah dan ke depan diantara insersi otot masseter
bagian superfisialis dan bagian dalam. Spasium ini berupa suatu celah sempit yang berjalan
dari tepi depan ramus antara origo m.masseter bagian tengah dan permukaan tulang. Keatas
dan belakang antara origo m.masseter bagian tengah dan bagian dalam. Disebelah belakang
dipisahkan dari parotis oleh lapisan tipis lembar fibromuskular. Infeksi pada spasium ini
berasal dari gigi molar tiga rahang bawah, berjalan melalui permukaan lateral ramus ke atas
spasium ini. Gejala klinis dapat berupa sakit berdenyut diregio ramus mansibula bagian
dalam, pembengkakan jaringan lunak muka disertai trismus yang berjalan cepat, toksik dan
delirium. Bagian posterior ramus mempunyai daerah tegangan besar dan sakit pada
penekanan.

Gambar 2.16 Ilustrasi gambar menunjukkan penyebaran abses ke daerah submasseter (a) Tampak
klinis (b) (Fragiskos, 2012).

10. Abses sublingual


Spasium sublingual dari garis median oleh fasia yang tebal , teletek diatas
m.milohioid dan bagian medial dibatasi oleh m.genioglosus dan lateral oleh permukaan
lingual mandibula. Gejala klinis ditandai dengan pembengkakan daasarr mulut dan lidah
terangkat, bergerser ke sisi yang normal. Kelenjar sublingual aan tampak menonjol karena
terdesak oleh akumulasi pus di bawahnya. Penderita akan mengalami kesulitan menelen dan
terasa sakit.

Gambar 2.17 Perkembangan abses di daerah sublingual (kiri) Pembengkakan mukosa pada dasar
mulut dan elevasi lidah ke arah berlawanan (kanan) (Fragiskos, 2007).

11. Abses spasium parafaringeal


Spasium parafaringeal berbentuk konus dengan dasar kepala dan apeks bergabung
dengan selubung karotid. Bagian luar dibatasi oleh muskulus pterigoid interna dan sebelah
dalam oleh muskulus kostriktor. sebelah belakang oleh glandula parotis, muskulus
prevertebalis dan prosesus stiloideus serta struktur yang berasal dari prosesus ini. Kebelakang
dari spasium ini merupakan lokasi arteri karotis, vena jugularis dan nervus vagus, serta
sturktur saraf spinal, glosofaringeal, simpatik, hipoglosal dan kenjar limfe. Infeksi pada
spasium ini mudah menyebar keatas melalui berbagai foramina menuju bagian otak. Kejadian

tersebut dapat menimbulkan abses otak, meningitis atau trombosis sinus. Bila infeksi berjalan
ke bawah dapat melalui selubung karotis sampai mediastinuim.
Penatalaksanaan Abses Odontogenik
Perawatan abses odontogenik dapat dilakukan secara lokal/sitemik. Perawatan lokal
meliputi irigasi, aspirasi, insisi dan drainase, sedangkan perawatan sistemik terdiri atas
pengobatan untuk menghilangkan rasa sakit, terapi antibiotik, dan terapi pendukung.
Walaupun kelihatannya pasien memerlukan intervensi lokal dengan segera, tetapi lebih
bijaksana apabila diberikan antibiotik terlebih dahulu untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya bakterimia dan difusi lokal (inokulasi) sebagai akibat sekunder dari manipulasi
(perawatan) yang dilakukan.
Abses periodontal dan perikoronal sering disertai pernanahan (purulensi), yang bisa
dijadikan sampel untuk kultur sebelum dilakukan tindakan lokal. Apabila abses mempunyai
dinding yang tertutup, yang merupakan ciri khas dari lesi periapikal, maka palpasi digital
yang dilakukan perlahan-lahan terhadap lesi yang teranestesi bisa menunjukkan adanya
fluktuasi yang merupakan bukti adanya pernanahan.
Abses perikoronal dan periodontal superfisial yang teranestesi bisa diperiksa/dicari
dengan menggeser jaringan yang menutupinya yaitu papila interdental atau operkulum. Pada
daerah tersebut biasanya juga terdapat debris makanan, yang merupakan benda asing yang
dapat mendukung proses infeksi.
Alat dan Bahan
1. Jarum 18 atau 20 gauge
2. Spoit disposibel 3ml
Insisi dan Drainase
Abses fluktuan dengan dinding yang tertutup, baik abses periodontal maupun
periapikal, dirawat secara lokal yaitu insisi dan drainase, maka anestesi yang dilakukan
sebelumnya yaitu pada waktu sebelum aspirasi sudah dianggap cukup untuk melanjutkan
tindakan ini. Lokasi standar untuk melakukan insisi abses adalah daerah yang paling bebas,
yaitu daerah yang paling mudah terdrainase dengan memanfaatkan pengaruh gravitasi.
Seperti pada pembuatan flap, biasanya kesalahan yang sering dilakukan adalah membuat
insisi yang terlalu kecil. Insisi yang agak lebih besar mempermudah drainase dan
pembukaannya bisa bertahan lebih lama. Drain yang dipakai adalah suatu selang karet dan di
pertahankan pada posisinya dengan jahitan.
b) Pericoronitis

i) Definisi
Pericoronitis didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi di dalam rongga mulut dan
mengeluarkan simtom. Secara klinis, perikorontis seperti abses periodontal namun begitu,
etiologik nya berbeda. (Topazian et. al.,2002) "Peri-" berarti "di sekitar." perkataan "-coron-"
bagian dari istilah mengacu pada "mahkota" dari gigi. Akhiran "-itis" mengacu pada adanya
infeksi. Jadi, kata perikoronitis secara harfiah berarti "infeksi di sekitar bagian mahkota gigi."
(Peterson et. al.,2003)
ii)

Gambaran Klinis dan Diagnosa


Perikoronitis dapat memberi efek terhadap molar ketiga kerana kasus impaksi banyak

terjadi pada molar ketiga dan ia terletak pada pinggir anterior mandibular. Oleh karena itu,
kasus impaksi molar ketiga banyak terjadi pada usia dewasa muda. (Peterson et. al.,2003)
Perikoronitis akut mulanya terjadi sebagai kesakitan yang terjadi secara local dan
pembekakan gingiva. Kesakitan in dapat dirasai pada bahagian muka, telinga atau sudut pada
mandibular. Apabila dilakukan diagnosa secara visual dan palpasi, terdapat pembekakan,
inflamasi, dan bahagian lunak pada jaringan lunak yang terletak disekeliling koronal
termasuk oklusal. (Topazian et. al.,2002)
Inspeksi menunjukkan terdapt akumulasi plak dan debris pada porsi yang terdedah
pada gigi yang terinfeksi dan juga gigi tetangga karena jaringan lunak yang mengalami
infeksi tersebut menghalang sikat gigi untuk mencapai daerah tersebut. Pus dapat terlihat
dibawah margin jaringan perikoronal atau dapat dikeluarkan apabila dilakukan palpasi.
(Topazian et. al.,2002)
Massa retromolar terdiri dari campuran jaringan kolagenik yang cukup padat dan
pembengkakan jaringan granulasi, dengan moderat untuk sejumlah besar sel inflamasi kronis
campuran di seluruh daerah terinfeksi. Mukosa superior dapat ulserasi dengan tempat ulkus
debris nekrotik fibrinoid. Epitel berdekatan dengan gigi yang terinfeksi biasanya menyajikan
dengan kombinasi proses rete hiperplasia, degenerasi dan nekrosis, dan mungkin dengan
neutrofil. Koloni bakteri, plak gigi dan sisa-sisa makanan nekrotik mungkin melekat pada
epitel. Secara patologis harus membedakan lesi ini dari granuloma piogenik dan gingivitis
rutin, dan ini sering membutuhkan korelasi dengan gambaran klinis. (Malik,2011)

iii) Etilogi
Etiologi perikoronitis secara umum adalah infeksi. Namun beigtu, mikroorganisma
spesifik yang menyebabkan perikoronitis ini masih belum diketahui. Tetapi terdapat
penelitian yang menemukan S.viridans, campuran flora oral, spirochetes dan sobakteri
terlibat didalam kasus ini. Terdapat penelitian lain juga menemukan prevotella intermedia,
Peptostreptococcus micros, F. nucleatum, A. actinomycetemcomitans dan Veillonella di dalam
poket lesi akut perikoronal. (Topazian et. al.,2002)
Disamping itu, etiologi perikoronitis adalah trauma dari gigi tetangga dalam
terjadinya ekserbasi dan pembekakan jaringan. Faktor lainnya adalah stress emosi, rokok,
chronic fatigue, dan infeksi pada saluran respiratori di bahagian atas. (Topazian et. al.,2002)
iv) Klasifikasi
Perikoronitis diklasifikasikan menjadi kronis dan akut. Perikoronitis kronis dapat
hadir tanpa atau hanya gejala ringan dan remisi panjang antara setiap peninggian fase untuk
perikoronitis akut. Perikoronitis akut dikaitkan dengan berbagai gejala termasuk sakit parah,
pembengkakan dan demam. Kadang-kadang ada abses perikoronal terkait (akumulasi
nanah) . Infeksi ini dapat menyebar ke bagian lain dari wajah atau leher, dan kadang-kadang
dapat menyebabkan jalan nafas (misal Ludwig angina) yang membutuhkan perawatan rumah
sakit darurat. (Malik,2011)
v) Patogenesis
Umumnya, bakteri tidak dijumpai dalam jaringan. Namun, apabila terdapat port de
entre, bakteri tersebut dapat menginvasi jaringa. Pertahanan pertama yaitu PMN akan terjadi
pada daerah terinfeksi termasuk thrombosis yang memenuhi jaringan vaskuler dalam
mempertahankan homeostasis. Jumlah leukosit dan mikroorganisme meningkat seterusnya
menyebabkan terjadinya pus. Bakteri yang sering ditemukan adalah Stretococcus Viridians
pada tempat terjadinya abses. Penelitian dilakukan, eksudat pericoronitis terdapat 90.2%
oraganisme obligate anaerobes. (Malik,2011)

vi) Mekanisme Terjadinya Trismus akibat Perikoronitis


Infeksi pada daerah mastikator sering terjadi akibat infeksi dari gigi molar
terutamanya infeksi dari molar ketiga. perikoronitis dari daerah molar ketiga atau abses yang
terjadi akibat dari abses sering ditemukan dalam kasus ini dimana mikroorganisma yang
berasal dari molar ketiga dan menyebar ke 'masticator spaces'. (Topazian et.al., 2002)

Infeksi yang terjadi pada 'masticator spaces' menyebabkan otot mastikator juga
terlibat dan seterusnya terjadi keradangan dan pembekakan di sekitar sudut mandibular
apabila dilakukan pemeriksaan secara visual. Pasien yang mengalami ini akan berdepan
dengan kesulitan dalam membuka mulut atau sewaktu mengunyah. (Topazian et.al., 2002)
vii) Penatalaksanaan
Penatalaksanaan perikoronitis termasuklah control terhadap infeksi dan tergantung
terhadap uji awalnya. Tingkat keparahan infeksi dan penyebaran infeksi menentukan
penatalkasanaan perikoronitis. Infeksi yang sudah menyebar ke kelenjar limfe, ruangan fasial
akan menyebabkan demam yang parah dan memerluka perawatan yang lebih daripada
perikoronitis akut. Selain itu, amat penting untuk diketahui gigi yang ter infeksi dan prognosa
jaringan perikoronal sama ada bisa sembuh atau sebaliknya. (Malik,2011)
Pengobatan definitif segera perikoronitis akut dianjurkan karena perawatan bedah
telah terbukti untuk mengatasi penyebaran infeksi dan rasa sakit, dengan pengembalian lebih
cepat dari fungsi. Juga pengobatan langsung menghindari penggunaan antibiotic yang terlalu
sering (mencegah resistensi antibiotik ). (Peterson et. al.,2003)
Namun, operasi kadang-kadang tertunda di daerah infeksi akut, dengan bantuan nyeri
dan antibiotik , karena alasan (Peterson et. al.,2003) :

Mengurangi risiko yang menyebabkan situs bedah yang terinfeksi dengan tertunda
penyembuhan (misalnya osteomyelitis atau cellulitis).

Menghindari pengurangan efisiensi anestesi lokal yang disebabkan oleh lingkungan


asam jaringan yang terinfeksi.

Menyelesaikan pembukaan mulut yang terbatas, membuat bedah mulut lebih mudah.
Prognosa pasien lebih baik dengan perawatan gigi ketika bebas dari rasa sakit .

Memungkinkan untuk perencanaan yang memadai dengan waktu prosedur yang


dialokasikan dengan benar.

Pertama, area di bawah operkulum yang lembut diirigasi untuk menghilangkan kotoran
dan eksudat inflamasi. Seringkali garam hangat digunakan tetapi solusi lain dapat digunakan
yang mengandung hidrogen peroksida, chlorhexidine atau antiseptik lainnya. Irigasi dapat
dibantu dalam hubungannya dengan debridement (menghilangkan plak, kalkulus dan sisa-sisa
makanan) dengan instrumen periodontal. Irigasi mungkin cukup untuk meringankan setiap
abses perikoronal terkait, jika sayatan kecil dapat dibuat untuk memungkinkan drainase
Memendekkan gigi lawan yang menggigit ke dalam operkulum yang terkena untuk
menghilangkan sumber trauma. (Peterson et. al.,2003)
Setelah pengobatan, jika ada tanda-tanda sistemik dan gejala, seperti wajah atau leher
bengkak, limfadenitis serviks, demam atau malaise, antibiotik oral harus diberikan. Antibiotik
umum digunakan adalah dari kelompok penisilin, klindamisin dan metronidazol. (Peterson et.
al.,2003)
Jika ada disfagia atau sesak (kesulitan menelan atau bernapas), maka ini biasanya berarti
ada infeksi parah dan harus dihantar ke rumah sakit yang tepat sehingga obat dapat diberikan
secara intravena. Kadang-kadang operasi semi- darurat dapat diatur untuk menurunkan
pembengkakan yang mengancam jalan napas. (Peterson et. al.,2003)

24

DAFTAR PUSTAKA

Al Hutami Aziz, A. 2012. Hubungan Abses Dengan Demam Sebagai Gejala Infeksi
Odontogenik.http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/2263.

Ariji Y, Gotoh M, Kimura Y, Naitoh M, Kurita K, Natsume N, Ariji E. 2002. Odontogenic


Infection

Pathway

to

The

Submandibular

Space:

Imaging

Assessment.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/entrez/query.fcgi.
Fragiskos, F.D. 2007. Oral Surgery. Heidelberg : Springer.

Malik N. A., 2011. Textbook of Oral and Maxillofacial Surgery. 3


Pp/714-716

rd

edition. India. Jaypee.

Pederson, GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Jakarta: EGC.

Peterson L. J, Edward Ellis III, James R. Hupp, Myron R. Tucker. 2003. Contemporaray Oral
ad Maxillofacial Surgery. 4th edition. Missouri. Mosby. Pp/ 186-188
Topazian R.G., Morton H. Goldberg, James R. Hupp. 2002. Oral and Maxillofacial
Infections. 4th edition. Philadelphia. W.B. Saunders Company. Pp/ 171-173, 142144

25

Anda mungkin juga menyukai