Anda di halaman 1dari 8

REPUBLIKA.CO.

ID, Oleh Erik Purnama Putra-Wartawan Republika


Tidak ada yang meragukan ketangguhan Jepang dalam menghadapi bencana. Meski secara
beruntun dihantam tiga bencana besar, yakni gempa bumi, tsunami, dan radiasi nuklir,
masyarakat Negeri Sakura tetap tangguh dalam menghadapi bencana.
Peristiwa pada Maret 2011, bisa dijadikan pelajaran saat terjadi gempa tektonik berkekuatan
8,9 skala richter (SR) yang diikuti tsunami setinggi 10 meter.
Masyarakat internasional, termasuk Indonesia dibuat terbelalak oleh reaksi masyarakat
Jepang saat terjadi bencana. Meski diluluhlantakkan ujian mahadahsyat, rakyat Jepang tetap
tegar. Dunia semakin dibuat kagum dengan fenomena disiplin warga Negeri Matahari Terbit.
Mereka tetap hidup seperti biasanya, tiada ada warga yang berebut meminta-minta, apalagi
menjarah.
Usai bencana berlalu, proses evakuasi korban dilakukan dengan cepat. Distribusi bantuan
disalurkan dengan penuh tanggung jawab. Kemudian proses rekonstruksi berjalan sesuai
jadwal. Disiplin yang tinggi mampu ditunjukkan dengan sikap yang menguatkan Jepang
sebagai negara beradab.
Mereka menganggap peristiwa bencana sebagai hal wajar dan tidak ada kekhawatiran
berlebihan yang ditunjukkan. Ditunjang budaya yang tidak ingin menjadi beban pemerintah,
tidak perlu waktu lama bagi masyarakat untuk menjalani kehidupan normal.
Edukasi Bencana
Di sini, kita tidak sedang membandingkan perilaku masyarakat Indonesia dan Jepang. Tapi
tak perlu malu juga mengakui Jepang lebih siap dan tangguh dalam menghadapi bencana.
Negeri Samurai itu hampir setiap hari digoyang gempa dan tidak ada kepanikan berlebihan
dari masyarakat. Itu lantaran sejak dini, anak-anak di sekolah diperkenalkan untuk terbiasa
saat bencana datang. Alhasil ketika dewasa, mereka punya wawasan dan pengalaman dalam
bertindak.
Pesan moralnya adalah, seyogianya kita bisa hidup dengan normal dan perlu merasa takut
dengan bencana. Yang perlu dipersiapkan masyarakat adalah kewaspadaan. Karena dengan
menumbuhkan sikap sadar bencana, maka antisipasi sejak dini bisa dilakukan. Hal itu penting
dilakukan masyarakat kita supaya memungkinkan untuk meminimalisasi jumlah korban saat
bencana datang.
Karena patut disayangkan jika kita abai dengan nyawa sesama. Menjadi kenyataan memang
masih banyak masyarakat yang belum siap menghadapi bencana. Alhasil diperlukan
sosialisasi bencana secara masif untuk mengedukasi masyarakat. Luasnya wilayah geografis
Indonesia maka harus diimbangi dengan kesiapsiagaan dan mitigasi bencana sebagai kunci

dalam menghadapi bencana.


Semua tahu, proses edukasi di masyarakat tidak bisa berlangsung instan dan mulus. Butuh
waktu untuk menyerap berbagai pembelajaran yang selama ini tidak diketahui. Memang
bakal banyak kendala untuk mencapai target tersebut. Namun hal itu jangan sampai
menghalangi BNPB mengeluarkan kebijakan dan program untuk mengupayakan masyarakat
sadar bencana.
Itu semuanya harus dilakukan mulai sekarang. Semakin lama kita melakukan pembelajaran,
semakin merugilah kita. Itu tidak lain disebabkan tingkat kerentanan dan kemampuan
masyarakat dalam menghadapi bencana saling bertolak belakang. Jika ancaman bencana
sangat tinggi dan bisa sewaktu-waktu datang, malah kesiapan masyarakat dalam menghadapi
bencana sangat kurang.
Boro-boro ketidaksiapan masyarakat, kritikan tentang tidak pahamnya 33 ketua Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tingkat provinsi dan 367 tingkat kabupaten/kota
terkait skala prioritas dalam bertindak apabila terjadi bencana juga layak diperhatikan. Kabar
itu tidak perlu dibantah sebab kenyataannya banyak pejabat BNPB di daerah tidak paham
dalam menjalankan tupoksinya.
Bahkan peneliti kebencanaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Fidel Bustami
menilai upaya penanggulangan bencana alam di Indonesia masih amburadul. Itu terjadi
karena belum adanya standar operasional prosedur (SOP) nasional yang dimiliki Pemerintah.
Hal itu menyebabkan penanggulangan bencana tidak terarah dan kordinasi antarinstansi
terkait juga kacau.
Karenanya, timbul pertanyaan, bagaimana mungkin kita meminta rakyat siap hidup
berdampingan dengan risiko bencana jika pemangku kepentingan malah tidak tahu apa yang
harus dikerjakannya. Kalau mengacu penanganan bencana, maka diperlukan sebuah komando
khusus untuk bisa menggerakkan seluruh sumber daya manusia (SDM) yang ada. Jika orang
yang memegang kendali kurang tepat dalam mengambil kebijakan, bisa disangsikan
penanganan manajemen bencana bakal berlarut-larut.
Jangan sampai dana besar triliunan rupiah yang digelontorkan pemerintah habis hanya untuk
rekonstruksi rumah. Lebih baik dana itu digunakan untuk langkah preventif menghadapi
bencana agar kerugian nyawa dan finansial dapat ditekan.
Menanti aksi BNPB
Indonesia adalah negara yang multibencana, yang kondisinya mirip dengan Jepang.
Setidaknya 13 jenis bencana bisa terjadi kapan saja. Kalau tidak diantisipasi, lebih 200 juta
jiwa penduduk yang terpapar oleh rawan gempa bumi bisa terancam.
Begitu juga sekitar lima juta jiwa yang tinggal di daerah rawan tsunami. Ratusan gunung

berapi aktif yang sewaktu-waktu berpotensi meletus juga siap melahirkan korban jiwa.
Apalagi Indonesia berada dalam zona patahan lempeng tektonik yang dalam sejarahnya
sering berujung terjadinya gunung meletus.
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sebaiknya selalu meningkatkan kesadarannya sebab
hidup di kawasan yang rawan bencana. Di Indonesia itu, ada 129 gunung berapi aktif.
Negara kita juga rawan gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, dan konflik sosial. Jadi
masyarakat harus selalu dalam kewaspadaan, kata BNPB Syamsul Maarif kepada penulis
belum lama ini.
Menurut Syamsul, sebenarnya masyarakat Indonesia zaman dulu sudah terbiasa hidup dalam
ancaman bencana. Itu karena mereka memiliki kedekatan dengan alam sehingga bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya. Sayangnya, kata dia, akhir-akhir ini
rasa kepedulian dan kewaspadaan itu semakin berkurang.
Gaya hidup modern membuat masyarakat semakin lengah dan tidak peka dengan tanda alam.
Sehingga kalau terjadi bencana, masyarakat sekitar selalu kalang kabut.
"Mereka baru tersentak ketika terjadi tsunami atau bencana alam lainnya. Kalau ada bencana
mereka seharusnya bisa mencari tempat perlindungan aman, dan tidak perlu pindah. Prinsip
living in harmony bisa diterapkan," saran Syamsul.
Memang membutuhkan waktu tidak sebentar untuk membentuk masyarakat memiliki
karakter seperti itu. Namun tidak ada salahnya bagi BNPB pusat maupun daerah membuat
gerakan masif program pengenalan dan pemahaman kepada rakyat tentang pentingnya hidup
berdampingan dengan alam di kawasan rawan bencana. Perubahan pola pikir mesti dilakukan
sebab datangnya bencana tidak bisa dihindari, tapi bisa diantisipasi untuk mencegah atau
mengurangi korban jiwa dan finansial.
Sektor Penanggulangan Bencana
Membentuk Negara yang Tangguh Menghadapi Bencana Alam - Kerjasama Indonesia-Jepang
Dibidang Penanganan Bencana Alam
1. Indonesia Jepang, Negara yang Selalu Dirundung Bencana Alam
Indonesia, dari segi topografi, banyak sekali terjadi bencana alam, seperti gempa
bumi, tsunami, ledakan gunung, banjir, longsor, kekeringan kebakaran hutan, dan
lain-lain. Sejak tahun 1999 sampai 2008, selama 10 tahun, bencana alam telah
mencatat kerugian yang sangat besar seperti, 180 ribu orang meninggal, 8,4 juta orang
menjadi korban. Kerugian ekonomi mencapai US$.10 milyar.
Pertama, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah gempa bumi dengan
kekuatan diatas 4 pada skala Richter yang terbanyak, yaitu rata-rata lebih dari 400 kali
per tahun (Fig.1: catatan sejarah gempa). Terdapat 129 gunung berapi di Indonesia,
diantaranya ada 17 yang masih aktif seperti gunung Merapi (Fig.2: lokasi gunung

berapi). Belum lagi gempa dan letusan gunung berapi yang menyebabkan tsunamipun
sering kali terjadi. Konon, sejak tahun 1600, selama kurun waktu 400 tahun, telah
terjadi 100 kali tsunami yang menimbulkan korban lebih dari 340 ribu orang
meninggal (Fig.3: sejarah tsunami).

Fig.1: Catatan Sejarah Gempa

Fig.2: Lokasi Gunung Berapi

Fig.3: Sejarah Tsunami


Ada pula sebagian dari wilayah Indonesia yang termasuk dalam wilayah Monsoon
Asia. Karena pada musim hujan hujan turun dengan derasnya , maka setiap tahun
terjadi banjir yang menimbulkan korban banjir Misalnya, ketika tahun 2007, Jakarta
dilanda banjir yang menelan korban meninggal dan hanyut sebanyak 80 orang,
kerugian ekonomi sebesar 5,18 trilyun rupiah. Kemudian, karena banyaknya wilayah
yang memiliki gunung berapi serta yang struktur geologinya tidak kuat, maka banyak
sekali daerah-daerah seperti ini yang menimbulkan bencana longsor ketika turun
hujan atau ketika gempa bumi.
Jepang dan Indonesia sama-sama berada di garis Pasifik dan Monsoon Asia. Selain
dari topan dan badai salju yang hanya terjadi di Jepang, sejak jaman dahulu kala,
kedua negara seringkali menjadi korban bencana alam yang sama.
Oleh karena itu penting artinya jika kedua negara yang seringkali menjadi korban
bencana alam untuk saling bekerja sama. Dengan pengalaman dan tehnologi yang
dimiliki, Jepang akan membantu Indonesia didalam menyusun cara penanggulangan
bencana alam, sehingga Indonesia menjadi negara yang tangguh dalam menghadapi
bencana alam.
2. Bantuan Bencana Alam (Komite Gabungan Jepang-Indonesia Penanggulangan
Bencana Alam)
Pada tanggal 26 Desember 2004, terjadi gempa bumi besar dengan tsunami yang
dahsyat berkekuatan 9.0 pada skala Richter, dengan pusat gempa di selat pulau
Sumatra di Indonesia. Di Indonesia saja menimbulkan korban hilang dan meninggal
yang sangat besar, yaitu 166 ribu orang. Atas kejadian ini, pada tanggal 1 Januari

2005, Perdana Menteri Junichiro Koizumi mengumumkan akan memberikan bantuan


dana, kemanusiaan dan pengetahuan sedapat mungkin. Pemerintah Jepang telah
melaksanakan bantuan bagi rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh dan Nias senilai
US$.6,4 Milyar. Bantuan telah diberikan dalam bentuk pengiriman tim medis beserta
obat-obatan sesaat setelah bencana alam terjadi, kemudian pada tahap rekonstruksi,
diberikan bantuan dalam bentuk perbaikan infra struktur dasar seperti jalan, saluran
air, puskesmas, sekolah, pasar, dan lain-lain. Sebagai bantuan jangka panjang
diberikan juga bantuan pembangunan pembangkit tenaga listrik, jalan, fasilitas
drainase, pendidikan SDM untuk pemerintah daerah, dan lain-lain. Bantuan Jepang
yang cepat tanggap ini mendapat penghargaan yang tinggi dari berbagai pihak di
Indonesia.
Tidak ada yang tahu kapan datangnya bencana, maka usaha terus-menerus yang tak
kenal lelah akan dapat menekan jumlah korban saat bencana terjadi. Dari pengalaman
gempa bumi di Sumatra dan tsunami di lautan Hindia, Jepang berinisiatif untuk
membantu pemerintah Indonesia didalam membentuk negara yang tangguh terhadap
bencana alam Maka pada bulan Juni 2005, diumumkan, "Komunike Bersama Tentang
Bantuan Kerjasama Bilateral untuk Menekan Korban Bencana Alam", diantara
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Junichiro Koizumi. Maka
dibentuklah, "Komite Gabungan Jepang-Indonesia Penanggulangan Bencana Alam",
yang bertugas untuk memberikan bantuan didalam menata sistim penanggulangan
bencana dan menekan jumlah korban (Foto 1: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
beserta Perdana Menteri Junichiro Koizumi)

Foto 1: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Perdana Menteri Junichiro


Koizumi

Tanggal 24 Juli 2006, pada pertemuan ke 2 Komite, Utusan Khusus Kabinet (bidang
Bencana Alam) Tetsuo Kutsukake dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat
Aburizal Bakri membuat kesepakatan mengenai arah kebijakan penanganan bencana
alam di Indonesia yang dituangkan kedalam, "Building the Resilience of Indonesia
and its Communities to Disasters for the Next Generation", yang kemudian telah
dilaporkan kepada masing-masing Kepala Negara (http://www.bousai.go.jp/kyoryoku/

indonesia/report_e.pdf) (Foto 2: Menteri Kutsukake dan Menteri Aburizal Bakrie).


Saat ini, dengan berpedoman pada laporan ini, bantuan di realisasikan dalam bentuk
bantuan penataan Badan Penanggulangan Bencana, pemasangan sistim peringatan
dini tsunami, peningkatan standar kualifikasi tahan gempa, penanganan banjir,
longsor dan pasir.

Foto 2: Menteri Kutsukake dan Menteri Aburizal Bakrie

3. Bantuan "Sabo", Indonesia-Jepang


Pemerintah Jepang, dimulai sejak tahun 1962 telah mengirim tenaga akhlinya
dibidang perairan dalam kerangka OCTA (sebelum menjadi JICA) kepada pemerintah
Indonesia. Bantuan dibidang pengendalian bencana tersebut terus berlanjut sampai
saat ini. Khususnya diantara tahun1982 sampai 2008, sela,ma 36 tahun, telah
membantu Departemen Pekerjaan Umum didalam membangun "Pusat Tehnologi
Pengendalian Pasir Gunung Berapi, bantuan terhadap "Pusat Tehnik Pengendalian
Pasir" (di Jogjakarta) diberikan dalam bentuk pelatihan terhadap tenaga akhli, tehnik
menyusun kebijakan pengendalian bencana yang berguna untuk melindungi penduduk
desa disekitar gunung Merapi dari bahaya lahar panas, longsor, aliran lumpur, batu
dan pasir. Melalui bantuan ini pula akhirnya kata "SABO" yang berasal dari bahasa
Jepang ini dikenal luas di Indonesia. Disamping Gubernur Daerah Istimewa
Jogjakarta, Sultan Hamengku Buwono X dan para aparat dibawahnya, proyek bantuan
ini mendapat penghargaan yang tinggi diseluruh Indonesia. Bahkan, para alumni
proyek ini kemudian membentuk suatu organisasi persahabatan dengan nama
"Keluarga Sabo" di Jepang (diketuai oleh Tadayo Matsushita , mantan anggota
parlemen tinggi) dan Indonesia (diketuai oleh: Suyono Sosrodarsono, mantan Menteri
Pekerjaan Umum), mereka masih terus menjalin persahabatan sampai saat ini. Maka,
proyek yang berangkat dari bantuan di sektor pengendalian bencana ini, didalam
perjalanannya berhasil melewati tahap alih tehnologi hingga berhasil membangkitkan
semangat persahabatan keduabelah pihak.(Foto 3: Keluarga Sabo)

Foto 3: Keluarga Sabo

Kolom Menarik - Sejarah Perjalanan Penanggulangan Bencana


di Jepang

Tahukah anda kalau 40 tahun yang lalu jumlah korban meninggal


akibat bencana alam mencapai ribuan orang per tahun? Kemajuan
penanggulangan bencana yang dicapai Jepang saat ini adalah
berkat pengalaman pahit yang dirasakan di jaman dahulu. Dengan
meminjam kolom ini, akan kami jelaskan, "Sejarah Perjalanan
Penanggulangan Bencana di Jepang", yang juga seringkali di
tanyakan oleh mereka yang berhubungan dengan penanggulangan
bencana di Indonesia. (Fig.4: Perubahan jumlah korban bencana
alam)
Bagi yang ingin tahu lebih lanjut maupun memperbesar grafik,
silahkan klik disini

Fig.4: Perubahan
Jumlah Korban
Bencana Alam

Anda mungkin juga menyukai