I.
PENDAHULUAN
Pada tahun 1720, seorang ahli anatomi berkebangsaan Jerman, Abraham Vater,
mendeskripsikan anatomi normal dan abnormal dari duktus biliaris (1,2). Pada tahun
1852, Douglas, pertama kali mempublikasikan deskirpsi klinis dari seorang pasien
dengan dilatasi dari duktus biliaris(1,2,3).
Kista duktus koledokus lebih sering ditemukan pada perempuan, dengan rasio
perempuan dibanding laki-laki yaitu 3:1 dan 4:1 (2,4). Kondisi ini jarang terjadi, dengan
insidensi terjadinya pada populasi di Barat yaitu 1 dalam 13.000 sampai 15.000
kelahiran hidup(2,3).
II.
retrogarde
cholangiography
(ERCP)
dan
pemeriksaan
dengan
terjadinya refluks dari enzim pankreas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kerusakan pada dinding duktus dan terjadinya dilatasi(1,2,3,4,5).
Gambar 1.
Konsentrasi yang tinggi dari enzim pankreas sering ditemukan pada bile didalam
kista. Hal ini ditunjang dengan meningkatnya kadar amilase yang diaspirasi dari kista
duktus koledokus(2,3). Long common channel tidak hanya disertai dengan komplikasi
pankreatitis, tetapi dapat juga disertai dengan komplikasi protein plugs, kalkulus, pada
anak dan dapat berkembang menjadi karsinoma kandung empedu(2).
Pancreaticobiliary ductal malunion (PBMU) yang mengakibatkan long
common pancreaticobilliary channel, dengan panjang lebih dari 10 mm, dimana
panjang yang normal pada anak yaitu lebih dari 5 mm (Guelrud et al.,1999)(2).
III.
PATOLOGI
Pada kista duktus koledokus, mukosa duktus biliaris menunjukkan adanya erosi,
deskuamasi epitel dan hiperplasia papilary dengan regenerasi atipik. Displasia mukosa
duktus biliaris tanpa karsinoma juga kerap ditemui. Perubahan metaplasia seperti sel
mucous, sel goblet dan sel Panet juga ditemui. Hiperplasia dan metaplasia meningkat
seiring usia dan dapat menjadi karsinoma pada usia dewasa. Perubahan ini dapat ditemui
pada semua tipe kista duktus koledokus.
Mukosa kandung empedu pada pasien dengan PBMU menunjukkan kolesistitis,
Gambar 2.
IV.
KELAINAN PENYERTA
malformasi
diluar
kandung
empedu
jarang
ditemukan.
Kemungkinan kelainan penyerta lain yang cukup sering ditemukan yaitu anomali
pada traktus urinarius (Dudin et al.,1995; Stringer et al., 1995; Samuel dan Splitz,
1996), dan duodenal atresia, annular pankreas dan abnormalitas pada jari (Dudin et
al., 1995)(2).
V.
KLASIFIKASI ANATOMIS
Klasifikasi Kista Duktus koledukus yang umum dipakai adalah klasifikasi menurut
menurut Alonzo-Todani (1977) yang didasarkan pada lokasi kista duktus billiaris (1) :
Tipe I : tipe ini merupakan tipe yang tersering (80-90% dari Kista Duktus
Koledokus). Tipe ini mencangkup dilatasi fusiform atau sacular dari duktus
koledokus dengan melibatkan sebagian hingga seluruh duktus.
o Tipe IA : berbentuk sacular dan melibatkan seluruh dari duktus ekstra
hepatik.
o Tipe IB : berbentuk sacular dan melibatkan sebagian segmen dari
duktus billiaris.
o Tipe IC : berbentuk fusiform dan melibatkan sebagian besar hingga
seluruhnya dari duktus ekstra hepatik
Tipe II: tampak seperti divertikulum yang menonjol pada dinding duktus
koledokus, sedangkan duktus billiaris intrahepatik dan ektrahepatik normal.
Tipe IV: untuk tipe IVA terjadi dilatasi multipel dari duktus intra dan
ekstrahepatik
sedangkan
untuk
tipe
IVB
hanya
melibatkan
ekstrahepatik saja.
duktus
Gambar 4.
VI.
PRENATAL DIAGNOSIS
Kista duktus koledokus dapat terdeteksi secara rutin dengan pemeriksaan prenatal
ultrasonografi yang dilakukan pada minggu ke 15 kehamilan (Schroeder et al., 1989;
Bancroft et al., 1994; Stringer et al., 1995; Redkar et al., 1998). Kista mungkin sulit
dibedakan dengan atresia duodenum, kista ovarium ataupun kelainan lain. Kista ini
dapat terlihat secara tipikal, tetapi tipe dari kista tidak dapat ditentukan(2).
Menurut Redkar, MacKenzie dan kolega, walaupun maternal ultrasonografi
berguna, tetapi tidak akurat dan tidak dapat diandalkan dalam membedakan kista
duktus koledokus dengan malformasi yang terjadi padi traktus biliaris. Tetapi
bagaimanapun juga, apabila terdapat kecurigaan akan diagnosis kista duktus
koledokus, harus dilakukan ultrasonografi postnatal. Apabila kecurigaan akan kista
duktus koledokus dapat dibuktikan, maka dilakukan penatalaksanaan sehubungan
dengan diagnosis(1).
VII.
PRESENTASI KLINIS
Kista duktus koledokus dapat terlihat pada semua usia, tetapi lebih dari setengahnya
pertama kali terlihat pada dekade pertama kehidupan(3). Manifestasi klinis akan
berbeda sesuai dengan usia pada saat permulaan gejala. Gejala pada pasien dengan
kista duktus koledokus dapat diklasifikasikan menjadi gejala pada anak bayi dan pada
anak yang lebih besar. Pada bayi, dengan rentang usia 1 sampai 3 bulan, gejala yang
muncul adalah obstruktif jaundice, feses yang akholis, dan hepatomegali. Tampilan
klinis pada kelompok ini tidak dapat dibedakan dari atresia biliaris. Kadang-kadang
disertai juga dengan fibrosis hati(1,2,3). Pasien pada kelompok ini tidak harus terdapat
gejala nyeri pada abdomen ataupun massa pada abdomen(1).
Pada kelompok umur yang lebih besar, biasanya manifestasi klinis akan
tampak pada anak setelah usia 2 tahun(1). Pada anak yang lebih besar, gejalanya dapat
dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu massa pada perut kanan atas dengan jaundice
intermittent karena obstruksi biliaris, yang umumnya dijumpai pada pasien dengan
kista duktus koledokus sakuler, dan nyeri perut akibat pankreatitis, yang biasanya
tampak pada bentuk yang fusiform(3). Pada kelompok umur ini, classic triad berupa
nyeri perut, terabanya massa, dan jaundice yang dikemukan oleh Alonso-Lej dan
kolega biasanya dijumpai. Karena obstruksi yang terjadi pada kelompok umur ini
hanya parsial, maka gejala bersifat intermiten(1).
Rekuren kolangitis dapat menjadi ciri dari gejala kista duktus koledokus pada
anak yang lebih besar. Bagaimanapun, sangat penting ditekankan bahwa gejala pada
anak yang lebih besar sering tidak ketara dan bersifat intermitan, sehingga sering
tidak terdiagnosis, yang mengakibatkan kerusakan hati yang terus berlanjut, sehingga
pasien biasanya datang dengan kondisi sirosis hati dan manifestasi hipertensi portal(1).
VIII.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak mampu untuk menegakkan diagnosis dari kista
duktus koledokus, tetapi dapat menggambarkan kondisi klinis dari pasien. Oleh
karena gejala tersering adalah jaundice, hasil laboratorium terpenting adalah
conjugated hiperbilirubinemia, peningkatan alkaline phosphatase, dan marker lain
untuk obstruktif jaundice. Apabila obstruksi biliaris sudah terjadi dalam jangka waktu
yang lama, maka dapat pula disertai profil koagulasi yang abnormal. Nilai amilase
plasma dapat menunjukkan peningkatan pada saat episode nyeri perut(1,2).
Pemeriksaan Radiologi
Bagaimanapun bentuk dari kelainan anatomi, pemeriksaan radiologis merupakan
kunci dalam menegakkan diagnosis. Computed tomography (CT) cholangiography,
dahulu digunakan sebagai alat penunjang dalam menegakkan diagnosis dari kista
duktus koledokus, saat ini digantikan oleh pemeriksaan yang lebih akurat(2).
Ultrasonografi merupakan pemeriksaan penunjang awal yang terpilih dan
dapat menggambarkan ukuran, bentuk, duktus proksimal, pembuluh darah dan bnetuk
dari hepar. Komplikasi seperti kolelitiasis, hipertensi portal dan biliary ascites dapat
pula terlihat(1,2).
Percutaneus
transhepatic
cholangiography
dan
endoscopic
retrograde
www.hpblondon.com/bile-duct-cancer/
Gambar 5.
www.medscape.com/viewarticle/418146_3
Gambar 6.
Gambar 7.
IX.
PENATALAKSANAAN
Eksisi kista merupakan terapi definitif yang terpilih untuk kista duktus koledokus
karena tingginya morbiditas dan tingginya resiko terjadinya karsinoma setelah
drainase interna(3). Bervariasi pendekatan telah diusahakan sejak dahulu untuk
penanganan pembedahan mulai dari aspirasi kista, marsupialisasi, serta drainage
eksternal tetapi angka mortalitas tetap tinggi. Hal ini mungkin dikarenakan
kebanyakan pasien yang datang dengan kondisi lanjut (1,2,3).
Pada tahun1924, McWhorter pertama kali mempublikasikan eksisi dari kista
koledokus dengan anastomosis dari duktus hepatikus ke duodenum. Prosedur ini
dirasakan sangat sulit, dengan angka kematian mencapai 30%. Pada tahun 1933,
Gross mempublikasikan dan menyimpulkan bahwa choledochocystoduodenostomy
sebagai prosedur pembedahan yang cukup aman dan efektif serta memiliki mortalitas
yang rendah. Pada tahun 1965, Fonkalsrud dan Boles mendukung hal tersebut,
sehingga sejak saat itu drainase interna tanpa eksisi kista merupkan tindakan yang
terpilih. Kemudian terhadap pasien tersebut dilakukan follow up selama 15 tahun, dan
didapatkan bahwa angka morbiditas meningkat dari 30% menjadi 50%, dan hal ini
berhubungan dengan morbiditas yang terjadi lanjut. Komplikasi yang terjadi antara
lain kronik kolangitis yang rekuren, kemungkinan akibat terjadinya refluks dari
duodenum ke traktus biliaris, yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi kronis dan
stenosis pada anastomosis. Hal memberikan gejala yang ringan sehingga diagnosis
tidak dapat dibuktikan dan pada akhirnya berkembang menjadi sirosis bilier dan
hipertensi portal(1).
Pada tahun 1970, Kasai dan kolega dan Ishida dan kolega, melaporkan hasil
yang memuaskan dengan dilakukannya eksisi kista dan Roux-en-Y jejunostomy.
Roux-en-Y cyst jejunostomy telah dikembangkan sebagai alternatif dari cyt
duodenostomy untuk menghindari terjadinya reflux isi dari duodenum ke dalam
percabangan traktus billiaris.
Gambar 9 : Tahapan dari Metode Lilly untuk reseksi intramural Kista Duktus
Koledokus
X.
TEKHNIK OPERASI
Posisi pasien supine diatas meja operasi. Dilakukan insisi subcostal kanan yang dapat
diperlebar kemudian. Bila dibandingkan dengan tipe kista yang fusiform, biasanya
terjadi adesi antara tipe kista yang kistik dengan struktur disekitarnya seperti vena
porta dan arteri hepatika, terutama pada anak yang lebih tua.
Dilakukan insisi transverse pada dinding anterior kista, akan tampak dinding
posterior kista dari dalam, sehingga kista dapat dibebaskan dari jaringan sekitarnya
termasuk vena porta dan arteri hepatika (gambar 8 dan 9).
Gambar 10.
Gambar 11.
Apabila adhesi kista cukup hebat, mukosektomi kista lebih baik dilakukan
daripada full-thickness (gambar 10)(1,8). Untuk menghindari terjadinya pankreatitis dan
atau pembentukan batu akibat dari kista residual, maka duktus biliaris distal harus
direseksi sedekat mungkin dengan pancreticobiliary junction (gambar 12). Setelah
dilakukan mukosektomi, ujung distal dari kista dijahitkan secara transfixed sebanyak
2 kali dengan benang absorbable. Stump distal bisa saja dibiarkan demikian atau
dibenamkan diantara dinding otot disekitar kista (gambar 13).
Gambar 12.
Gambar 13.
Gambar 14.
Gambar 15.
Eksisi kista dan Roux-en-Y hepatico-jejunostomy (RYH) merupakan tindakan
terpilih untuk kista duktus koledokus. Anastomosis jejunum diatas dari sisa CBD
direkomendasikan jika rasio antara CBD dan jejunum proksimal kurang atau sama
dengan 1 (common hepatic duct) sampai 2,5 (jejunum). Jika duktus biliaris terlalu
kecil, maka lebih disarankan melakukan end to side anastomosis. Anastomisis harus
dilakukan sedekat mungkin dengan ujung jejunal limb. End to side anastomosis harus
dilakukan jauh dari ujung buntu jejunum proksimal sehingga dapat terjadi blind
pouch saat anak semakin besar. Statis bile pada blind pouch dapat membentuk batu
intrahepatik, khususnya jika duktus intrahepatik berdilatasi (gambar 44-21). Kami
Gambar 16.
Gambar 17.
XI.
Gambar 18.
KOMPLIKASI
Dari beberapa literatur disebutkan dapat terjadi komplikasi pasca eksisi kista baik
awal maupun lanjut seperti cholangitis,