Anda di halaman 1dari 26

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan
Karunia-nya serta salam dan shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW
beserta sahabat dan keluarganya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik di bagian radiologi.
Selama persiapan dan penyusunan refarat ini rampung, penulis mengalami
kesulitan mencari referensi. Namun berkat bantuan, saran dan kritik dari berbagai
pihak akhirnya referat ini dapat terselesaikan.
Semoga amal dan budi baik dari semua pihak mendapatkan pahala dan
rahmat yang melimpah dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan referat ini terdapat banyak kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran untuk
menyempurnakan penulisan yang serupa dimana yang akan datang. Saya
berharap sekiranya refarat ini dapat bermanfaat bagi kita semua Amin.

Makassar, Januari 2017


Hormat Saya

Penulis

ii
DAFTAR ISI

SAMPUL .................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................... ii

KATA PENGANTAR ............................................................................... iii

DAFTAR ISI .............................................................................................. iv

PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

ANATOMI DUKTUS KOLEDOKUS ....................................................... 1

FISIOLOGI................................................................................................... 3

DEFINISI...................................................................................................... 4

KLASIFIKASI.............................................................................................. 4

ETIOLOGI & PATOGENESIS.................................................................... 8

DIAGNOSIS................................................................................................. 8

PEMERIKSAAN KLINIS............................................................................ 8

ANAMNESIS............................................................................................... 8

PEMERIKSAAN FISIS................................................................................ 8

BAYI............................................................................................................. 9

ANAK-ANAK.............................................................................................. 9

DEWASA.................................................................................................... 10

PEMERIKSAAN RADIOLOGI................................................................... 10

USG............................................................................................................... 11

USG KAVUM ABDOMEN.......................................................................... 11

PENGGUNAAN USG DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS PRENA

TAL.............................................................................................................. 11

iii
CT KAVUM ABDOMEN........................................................................... 12

CHOLANGIOGRAPHY............................................................................. 13

ERCP............................................................................................................ 13

MRCP........................................................................................................... 14

PTC............................................................................................................... 15

PEMERIKSAAN HISTOLOGI.................................................................... 16

PEMERIKSAAN LABORATORIUM......................................................... 18

DIAGNOSIS BANDING............................................................................. 18

PENATALAKSANAAN............................................................................. 18

PROGNOSIS................................................................................................ 19

KAJIAN ISLAM........................................................................................... 19

KESIMPULAN.............................................................................................. 21

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 21

iv
KISTA KOLEDOKUS
(ADEK SULISTIONO & Prof.Dr.dr.BACHTIAR MURTALA, Sp.Rad (K))
PENDAHULUAN
Pada tahun 1723, Vater dan Elzer mempublikasikan deskripsi anatomi kista
koledokus. Douglas menulis laporan klinis berupa gadis 17 tahun dengan gejala
ikterus, demam, nyeri abdomen yang bersifat intermiten, dan massa di abdomen.1

Kista koledokus adalah dilatasi kistik dari saluran empedu baik intrahepatik
maupun ekstrahepatik. Walaupun terminologi ini sering dibatasi hanya pada dilatasi
kistik saluran empedu ekstrahepatik. Insiden bervariasi dari 1 dalam 13.000 sampai 1
dalam 2.000.000 kelahiran hidup.

Etiologi kista duktus koledokus belum dapat diketahui dengan pasti, mungkin
banyak faktor yang berperan. Diduga penyebab kongenital atau didapat. Gejala klinis
tergantung dari usia.2 Sekitar 75% kasus muncul selama masa anak. Bayi khas datang
dengan ikterus kolestatik; disfungsi hati berat termasuk asites dan koagulopati bisa
dengan cepat berkembang jika obstruksi biliaris tidak membaik. Massa di perut
jarang bisa dibaca. Pada anak yang lebih tua, tiga serangkai klasik, yaitu nyeri perut,
ikterus, dan massa terjadi pada kurang 33% penderita. Gambaran kolangitis akut
(demam, sakit tekan pada kuadran kanan atas, ikterus, leukositosis) mungkin
ditemukan. Diagnosis dibuat dengan ultrasonografi; kista koledokus telah
diidentifikasi secara prenatal dengan menggunakan cara ini. 3

ANATOMI DUKTUS KOLEDOKUS

Duktus biliaris (dahulu, duktus koledokus) terbentuk dalam tepi bebas


omentum minus melalui penyatuan ductus cysticus dan ductus hepaticus communis.
Panjang duktus biliaris bervariasi 5-15 cm, yang bergantung pada duktus sistikus
bergabung dengan ductus hepatikus kommunis. Duktus biliaris turun di sebelah
posterior dengan bagian superior duodenum dan terletak pada sulkus permukaan
posterior kaput pankreatis. Di sisi kiri bagian desendens, duktus biliaris berhubungan

1
dengan duktus pankreatikus. Duktus-duktus tersebut berjalan oblik melalui dinding
bagian duodenum tersebut, dimana semuanya menyatu membentuk ampulla duodeni
major. Otot sirkular di sekitar ujung distal duktus biliaris menebal untuk membentuk
M. Sphincter ductus biliaris. Bila otot sfingter tersebut berkontraksi, empedu tidak
dapat masuk ke dalam ampulla dan duodenum; oleh karena itu, empedu kembali dan
berjalan sepanjang ductus cysticus ke vesica biliaris untuk konsentrasi dan
penyimpanan. Arteri-arteri yang memperdarahi duktus biliaris meliputi :

1. Arteri cysticus : yang memperdarahi bagian proksimal ductus.

2. Arteri hepatica dextra : yang memperdarahi bagian tengah ductus.

3. Arteri pancreaticoduodenalis superior posterior dan arteri gastroduodenalis:


yang memperdarahi bagian retroduodenal ductus.

Vena-vena dari bagian proksimal ductus biliaris dan ductus hepaticus biasanya
langsung masuk ke hepar. Vena pancreaticoduodenalis superior posterior
mendrainase bagian distal ductus biliaris dan bermuara ke dalam vena porta atau
salah satu tributarinya.

Pembuluh limfatik dari ductus biliaris berjalan ke nodi coeliaci dekan collum
vesicae biliaris, nodus pada foramen omentalis, dan nodi hepatici. Pembuluh limfatik
eferen dari ductus biliaris berjalan ke nodi coeliaci. 4

2
(Gambar 1: Struktur anatomi duktus koledokus dan vesika biliaris)

FISIOLOGI SEKRESI EMPEDU

Empedu disekresikan dalam dua tahap oleh hati: (1) bagian awal disekresikan
oleh sel-sel fungsional utama hati, yaitu sel hepatosit; sekresi awal ini mengandung
sejumlah besar asam empedu, kolesterol, dan zat-zat organik lainnya. Kemudian
empedu disekresikan ke dalam canalikuli biliaris kecil yang terletak di antara sel-sel
hati (2) Kemudian, empedu mengalir di dalam kanalikuli mengeluarkan empedu ke
dalam duktus biliaris terminal dan kemudian secara progresif ke dalam ductus yang
lebih besar, akhirnya mencapai duktus hepatikus dan duktus biliaris komunis. Dari
sini empedu langsung dikeluarkan ke dalam duodenum atau dialihkan dalam hitungan
menit sampai beberapa jam melalui ductus sistikus ke dalam kandung empedu.

Dalam perjalanannya melalui duktus-duktus biliaris, bagian kedua dari sekresi


hati ditambahkan kedalam sekresi empedu yang pertama. Sekresi tambahan ini
berupa larutan ion-ion natrium dan bikarbonat encer yang disekresikan oleh sel-sel
epitel sekretoris yang mengelilingi duktulus dan duktus. Sekresi kedua ini kadang
meningkatkan jumlah empedu total sampai 100 persen. Sekresi kedua ini dirangsang
terutama oleh sekretin, yang menyebabkan pelepasan sejumlah ion bikarbonat

3
tambahan sehingga menambah jumlah ion bikarbonat dalam sekresi pankreas (untuk
menetralkan asam yang dikeluarkan dari lambung ke duodenum).5

Lubang duktus koledokus ke dalam duodenum dijaga oleh sfingter oddi, yang
mencegah empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu pencernaan makanan.
Ketika sfingter tertutup, sebagian besar empedu yang disekresikan oleh hati dialihkan
balik ke dalam kandung empedu, suatu struktur kecil berbentuk kantung yang terselip
di bawah tetapi tidak langsung berhubungan dengan hati. Karena itu, empedu tidak
diangkut langsung dari hati ke kandung empedu. Empedu kemudian disimpan dan
dipekatkan di kandung empedu di antara waktu makan. Setelah makan, empedu
masuk ke duodenum akibat efek kombinasi pengosongan kandung empedu dan
peningkatan sekresi empedu oleh hati. Jumlah empedu yang disekresikan per hari
berkisar dari 250 ml sampai 1 liter, tergantung pada derajat perangsangan.6

DEFINISI

Kista koledokus merupakan kelainan kongenital duktus biliaris. Dilatasi kista


pada saluran biliaris dapat berupa dilatasi pada ektrahepatik biliaris, dilatasi
intrahepatik biliaris atau keduanya.1

KLASIFIKASI

Pembagian kista koledokus yang banyak digunakan yaitu klasifikasi Todani,


yang merupakan modifikasi dari klasifikasi Alonso-Tej.7

Kista tipe I terdiri dari sakular atau dilatasi fusi duktus biliaris
ekstrahepatikus. Jenis tipe ini paling sering ditemui dan terdapat sekitar 80-90%
kasus. Kista tipe I kemudian dibagi menjadi kista tipe IA (difus), kista tipe IB (fokal),
dan kista tipe IC (fusiform). Subtipe IA memperlihatkan dilatasi sakular pada duktus
biliaris. Subtipe IB memperlihatkan dilatasi fokal, dan dilatasi segmental duktus
biliaris. Subtipe IC berupa dilatasi gabungan dari duktus hepatikus dan biliaris.

4
Kista tipe II merupakan bentuk divertikulum dari duktus biliaris. Kista
koledokus sangat jarang ditemui, sekitar 2-3% dari keseluruhan kasus kista
koledokus.

Kista tipe III merupakan koledokokel, yang memperlihatkan dilatasi porsion


intraduodenal duktus biliaris. Koledokokel merupakan pembagian dari dua jenis tipe
berdasarkan laporan dari Scholz dkk. Peneliti lain menglasifikasikan koledokokel
menjadi empat atau lima tipe.Kista tipe III atau koledokokel sebanyak 1,4%- 4,5%
dari keseluruhan kasus.

Kista tipe IV memperlihatkan dilatasi dari duktus biliaris intrahepatik dan


ektrahepatik maupun keduanya. Kista tipe IV dapat dibagi menjadi 2 subtipe: IV-A
berupa kista multipel pada intrahepatik dan ekstrahepatik, dan IV-B hanya berupa
dilatasi multipel duktus ekstrahepatik. Kista tipe IV merupakan jenis kista terbanyak
kedua yang ditemukan pada orang dewasa, dan sebanyak 10-15% dari kasus pada
pasien orang dewasa.

Kista tipe V (penyakit Caroli) memperlihatkan dilatasi segmental kista pada


duktus intrahepatik biliar. Penyakit Caroli merupakan gangguan resesif autosomal,
dan hasil dari malformasi dari duktal embrionik plate pada tingkatan yang berbeda di
duktus biliaris. Sebagian besar kista tipe I dan IV disertai anomali pankreas-biliar
junction. Sedangkan tipe kista yang lain tidak disertai oleh anomali pankres-biliar
junction. 8

5
(Gambar 2a. Kista koledokus tipe I)

(Gambar 2b. Kista koledokus tipe II)

6
(Gambar 2c. Kista koledokus tipe III)

(Gambar 2d. Kista koledokus tipe IV)

7
(Gambar 2e. Kista koledokus tipe V(penyakit Caroli))

(Gambar 2a-e sumber : http://emedicine.medscape.com/article/172099-overview#a6 )

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Banyak teori yang menjelaskan etiologi dan patofisiologi dari kista koledokus.
Pada tahun 1936, Yotsunagi menduga bahwa kista koledokus berasal dari proliferasi
sel duktus koledokus yang tidak sempurna saat masih janin. Teori Babbits (1969)
tentang “saluran umum” adalah teori yang banyak diterima dalam literatur. Menurut
teori ini, saluran umum terbentuk dari kelainan pankreas-biliar junction pankreas dan
duktus koledokus di luar dari ampulla Vater. Kondisi ini menyebabkan refluks
pankreatikobiliar dan tercampurnya getah pankreas dan biliar serta aktivasi enzim
pankreas, yang disebabkan tingginya tekanan di duktus pankreatikus sekitar dua
hingga tiga kali dari tekanan di duktus biliaris. Aktifnya enzim pankreas
menyebabkan inflamasi dan kerusakan pada dinding duktus biliaris yang
menyebabkan dilatasi pada duktus biliaris.9 Refluks pankreatikobiliar juga

8
menyebabkan inflamasi, kerusakan epitel, displasia mukosa, dan keganasan.
Beberapa peneliti juga melaporkan bahwa tingginya kadar trypsinogen dan
phospholipase A2 di kista koledokus, dapat meningkatkan inflamasi dan kerusukan
pada duktus biliaris.10 Pada tahun 2001, Matsumoto dkk, menemukan bahwa ujung
distal duktus biliaris berhubungan dengan duktus ventral pankreas yang dianalisa
melalui cholangiopancreatograms, dan mereka berspekulasi bahwa anomali
pankreatikolibiar junction dibentuk oleh penggabungan abnormal antara duktus
biliaris dengan duktus ventral pankreas.8

DIAGNOSIS

1. PEMERIKSAAN KLINIS

a. Anamnesis

Pada dasarnya anamnesis kelainan gastroinstestinal juga sama dengan


anamnesis pada umumnya. Dalam anamnesis, beberapa hal yang didapat adalah
keluhan utama, dan sejak kapan keluhan utama tersebut terjadi. Selanjutnya riwayat
penyakit sekarang dirinci lagi apakah keluhan utama tersebut bertambah buruk atau
tetap, apakah keluhan tersebut berulang untuk suatu periode tertentu, kenapa keluhan
tersebut bisa terjadi dan dicari berbagai faktor pencetus kenapa keluhan itu terjadi.
Perlu dilakukan deskripsi yang jelas mengenai keluhan yang disampaikan pasien,
misalnya nyeri abdomen, disebutkan di mana lokasinya, apakah nyeri tersebut
menjalar, apakah nyeri tersebut datang hilang timbul, apakah nyeri bertambah saat
makan, apakah nyeri nyaman setelah bersendawa atau setelah buang air besar, dan
bagaimana nyeri tersebut bisa berkurang. Selain keluhan utama yang disampaikan
juga ditanya keluhan lain yang bisa muncul dalam satu kesatuan penyakit dan juga
komplikasi akibat proses penyakit tersebut. 11

b. Pemeriksaan fisik

Kista koledokus paling sering ditemukan pada pasien anak-anak dan sekitar
25% pada pasien dewasa. Trias gejala klasik berupa nyeri abdomen, teraba massa di

9
abdomen, dan ikterus.10 Manifestasi klinis pada anak yang lebih tua dan pada orang
dewasa lebih beragam.1

 BAYI

Gejala yang sering pada bayi berupa ikterus dan berak dempul. Pada neonatus,
gejala tersebut mungkin didiagnosis sebagai atresia biliar. Selain itu, bayi dengan
kista koledokus sering teraba massa di kuadran kanan atas abdomen, dan disertai
dengan hepatomegali. 1

 ANAK - ANAK

Anak-anak didiagnosis bila ada gambaran klinis khas berupa obstruksi biliar
yang intermitten atau serangan pankreatitis yang berulang. Adanya obstruksi biliar
ditandai dengan terabanya massa di kuadran kanan atas dan ikterus.

Manifestasi primer pada anak-anak berupa pankreatitis dapat menimbulkan


kesulitan dalam menentukan diagnosis dengan benar. Pada pasien anak anak sering
mengalami serangan intermiten nyeri kolik abdomen. Tes biokimia memperlihatkan
peningkatan konsentrasi amilase dan lipase, yang dapat membantu dalam
menegakkan diagnosa.1

 DEWASA

Pada pasien dewasa dapat disertai satu atau beberapa komplikasi yang berat.
Biasanya pasien dewasa mengeluhkan nyeri epigastrik yang samar-samar atau nyeri
pada kuadaran kanan atas dan dapat berkembang menjadi ikterus dan kolangitis.

Gejala yang sering ditemukan pada orang dewasa berupa nyeri abdomen.
Trias gejala berupa nyeri abdomen, ikterus dan teraba massa di kuadran kanan atas
abdomen hanya ditemukan sekitar 10-20% pada pasien.1

2. PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Pemeriksaan pencitraan sangat menentukan dalam menegakkan diagnosa kista


koledokus. Berikut ini pemeriksaan radiologi yang digunakan untuk melihat dilatasi

10
pada duktus biliar: Ultrasonography (USG) abdomen, Computed Tomography (CT)
abdomen, dan Cholangiography.9 USG merupakan pemeriksaan yang bagus untuk
menilai dilatasi duktus biliar, terutama pada pasien anak-anak. CT banyak digunakan
secara luas untuk mencari penyebab dari dilatasi duktus biliaris. Namun, untuk
mengevaluasi optimal anatomi duktus biliaris, USG dan CT tidaklah cukup,
diperlukan pemeriksaan cholangiography. MRCP (Magnetic Resonance
Cholangiopancreatography) dianggap sebagai pemeriksan gold standar saat ini untuk
menilai dan mendiagnosis kista biliar. MRCP dapat secara akurat untuk menilai
anatomi duktus empedu intra dan ekstrahepatik, menilai pankreas-biliar junction dan
mencari komplikasi yang terkait. ERCP (Endoscopic Retrograde
Cholangiopancreatography) dan PTC (Percutaneous Transhepatic Cholangiography)
adalah bentuk cholangiography yang invasif yang mungkin masih dibutuhkan untuk
mengonfirmasi diagnosis dan melihat adanya pankreas-biliar junction yang
abnormal.12

a. USG

 USG abdomen

Pemeriksaan USG merupakan pemeriksaan awal dan mudah dilakukan.


Pemeriksaan USG memungkinkan untuk melihat pencitraan dari duktus intrahepatik
dan ekstrahepatik serta pengukuran diameter duktus biliaris atau duktus hepatik dan
kista biliaris. Pemeriksaan USG (dengan pengecualian, kista tipe III dan V)
menunjukkan adanya massa di kuadran kanan atas (biasanya berada di porta hepatis)
yang terpisah dari kantung empedu. 9

11
(Gambar 3: gambaran USG abdomen menunjukkan dilatasi multipel intra dan
ekstrahepatik duktus biliar (panah putih) Sumber:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3447264/pdf/WJG-18-4801.pdf)

 Penggunaan USG dalam menegakkan diagnosis prenatal

USG sangat bermanfaat dalam menegakkan diagnosis prenatal kista


koledokus. Pemeriksaan USG menunjukkan kista koledokus sebagai massa kista di
sekitar intraabdominal yang berlokasi di abdomen kuadran bagian atas. Diagnosis
banding massa kista pada USG prrenatal berupa kista hepatis, atresia biliaris,
ovarium, kista omentum atau kista mesenterika, duplikasi duodenum atau kantung
empedu, kista kelenjar adrenal, kista ginjal, dilatasi usus, hidronefrosis pelvis renalis,
dan inversus. Diagnosis banding awal yang tepat antara kista koledokus dengan
gangguan pada duktus koledokus seperti atresi biliaris sangatlah penting, karena
atresia biliaris memerlukan tindakan bedah yang segera. Bila penegakan diagnosis
banding massa kista di kuadran kanan atas sulit ditegakkan dengan USG
konvensional, aspirasi ultrasoundguided dapat berfungsi sebagai alternatif diangonsis
prenatal kista koledokus pada janin.9

b. CT abdomen

Pemeriksaan CT lebih baik ketimbang USG dalam hal visualisasi duktus


intrahepatik, distal duktus koledokus, dan kaput pankreas. Pada pasien dengan kista

12
koledokus tipe IV dan penyakit Caroli, pemeriksaan CT sangat bermanfaat dalam
melihat dilatasi duktus intrahepatik dan luasnya penyakit (difus ke hati atau
terlokalisir segmental). Hal ini sangat penting bagi dokter bedah sebelum melakukan
operasi, karena lokasi kista tipe IV dan Caroli dapat di lakukan pembedahan dengan
lobektomi segmental. 9

(Gambar 4: gambar kista koledokus di duktus intrahepatik

Sumber: http://emedicine.medscape.com/article/172099-overview#a1)

c. Cholangiography

Diagnosis yang tepat membutuhkan pengamatan kista dengan duktus biliar


secara terus menuerus, hal ini dikarenakan untuk membedakan diagnosis kista biliar
dengan kista intraabdominal lainnya seperti pseudokista pankreas, kista echinococcal
atau adenoma kista biliar. Untuk melihat perbedaannya, dibutuhkan pemeriksaan
cholangiography. Adapun metode cholangiography berupa:

13
 ERCP

ERCP merupakan pemeriksaan yang bersifat invasif, tapi punya kemungkinan


sebagai terapi. Secara akurat dapat memperlihatkan adanya patologi indtraduktal atau
pankreas-biliar junction yang abnormal. Pada kista biliaris tipe III, memungkinkan
untuk melakukan terapi papilotomi secara bersamaan.9

(Gambar 5: gambaran ERCP menunjukkan anomali pankreas-biliar junction dengan


dilatasi duktus biliaris intrahepatik dan ekstrahepatik

Sumber:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3447264/pdf/WJG-18-
4801.pdf)

 MRI/MRCP

14
MRCP merupakan pilihan utama pemeriksaan dan saat ini sebagai gold
standar.7 MRI abdomen dengan MRCP lebih disukai untuk mengevaluasi lebih lanjut
dari kelainan sonografi karena kurangnya radiasi dan resolusi kontras tinggi yang
menghasilkan pencitraan yang sangat baik dari anatomi saluran biliaris dan
sekitarnya.13 MRCP memiliki sensitivitas tinggi (70%-100%) dan spesifisitas (90%-
100%) untuk mendiagnosis dan menglasifikasi kista koledokus. Lebih lanjut, MRCP
dipercaya dapat mengidentifikasi anomali penyatuan duktus pankreaticobiliar
(terutama dengan penggunaan sekretin) sebaik kolangiosarkoma dan koledokolitiasis
yang bersamaan dengan kista koledokus. Meskipun MRCP biayanya lebih rendah dan
penurunan morboditas, MRCP memiliki keterbatasan kemampuan dalam mendeteksi
kelainan minor pada duktus atau koledokokel kecil. MRCP tidak bisa digunakan
untuk tujuan terapi; oleh karena itu MRCP hanya terbatas digunakan untuk
mendiagnosis.14

15
(Gambar 6: (A) Gambaran MRI abdomen T2-weighted potongan axial menunjukkan
dilatasi kista pada duktus biliaris intrahepatik. (B) Gambaran MRCP T2 potongan
coronal.

Sumber:https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3447264/pdf/WJG-18-
4801.pdf)

 PTC

Sebelum dilakukan operasi, PTC memungkinkan untuk menentukan sejauh


mana dilatasi biliar proksimal dan informsi ini digunakan dalam perencanaan reseksi
pra operasi. Menurut Lipset dkk, penempatan cincin kateter perkutaneus setelah
pemeriksaan cholangiography, sangat bermanfaat bagi dokter bedah selama proses
pembedahan dan dapat digunakan sebagai stent pada rekontruksi biliar.9

16
(Gambar 7: gambaran abnormal percutaneous cholecystocholangiography
menunjukkan kantung empedu tanpa pengisian duktus ekstrahepatik

sumber https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21786124 )

3. PEMERIKSAAN HISTOPATOLOGI

Fibrosis dinding kista dilapisi dengan epitel kolumnar dan infiltrasi limfositik
yang merupakan khas kista koledokus anak; kista koledokus dewasa berupa inflamasi
dan hiperplasia. Kebanyakan kista koledokus menunjukkan derajat perubahan
patologik di hepar berupa fibrosis portal, distensi vena central, inflamasi parenkim,
dan proliferasi duktus koledokus. Temuan lain yang terdapat pada semua jenis kista
koledokus berupa inflamasi mukosa akut dan kronik, displasia mukosal, dan
kurangnya bahkan tidak adanya kelenjar penghasil mukus.14

17
(Gambar 8: gambaran khas histologi dari kista duktus coledokus yang terdiri dari
epitel kolumnair papiler (segmen garis) pada jenis dinding fibrosa. Inflamasi kronik
(panah putih), metaplasia pylorik(*), dan epitelium atipikal yang reaktif (panah
hitam) nampak pada sampel ini.

Sumber https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4332770/)

Menariknya, terdapat perbedaan yang jelas pada gambaran histologi tipe kista
koledokus yang berbeda. Kista koledokus tipe I (dan terkadang tipe IV) kurangnya
mukosa pada biliar. Kista koledokus tipe II menyerupai duplikasi vesica fellea. Kista
koledokus tipe III dilapisi oleh mukosa duodenal, sementara kista tipe V dapat terjadi
fibrosis hepatik yang luas. Analisis imunohistokimia menunjukkan peningkatan
metaplasia epitel dan neoplasia intraepitel biliar didinding kista koledokus seiring
dengan penambahan usia. Sesuai dengan studi kasus yang berulang kali dilakukan
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan resiko berubah menjadi keganasan seiring

18
penambahan usia: setengah dari pasien kista koledokus yang berusia lebih dari 50
tahun terjadi invasif neoplasma biliar dibandingkan dengan kurang dari 1% sebelum
berusia 10 tahun.

Keganasan paling sering dikaitkan dengan kista tipe I dan IV, sementara kista
koledokus tipe II, III dan V memiliki resiko kecil menjadi neoplastik. Karsinogenesis
di duga terjadi di setiap tahap genetika yakni di awal K-ras dan mutasi p53 sering
ditemukan lebih dari 60% kasus kista koledokus yang berkaitan dengan karsinoma,
yang di ikuti oleh terjadinya inaktivasi gen DPC-4. Sebagian besar kasus yang
dilaporkan dari transformasi keganasan adalah kolangiokarsinoma; Namun,
karsinoma empedu telah di identifikasi pada 10% hingga 25% dari kista koledokus
yang berkaitan dengan keganasan. Lebih lanjut, peningkatan enzim amilase biliar
pada pasien kista koledokus berkaitan dengan tingginya ekspresi yang diinduksi
sintesis nitrik okidase, hal ini menyiratkan peran dari sintesis nitrik oksidase pada
hiperplasia mukosa kista koledokus dan karsinogenesis.14

4. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium mungkin memperlihatkan gangguan fungsi hati yang


minimal dan tes kolestasis (serum bilirubin, alkalin fosfatase, ɤ-
glutamiltranspeptidase, alanin dan aspartat aminotransferase) atau kadar amilase,
tetapi temuan-temuan tersebut tidak spesifik. 9

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding meliputi pankreatitis akut, tumor duktus biliar, obstruksi biliar,
dan kolangiosarkoma. 1

PENATALAKSANAAN

Prinsip pengobatan kista koledokus adalah reseksi kista, memperbaiki dan


menjamin penyaliran empedu sambil memperhatikan keutuhan saluran saluran

19
pankreas yang mungkin juga mengalami anomali. Untuk mencegah bahaya
perubahan keganasan, reseksi total kista koledokus dianggap tindakan terbaik.

Perbaikan penyaluran empedu dengan prosedur sistoenterostomi tidak


memuaskan karena timbul kolestasis dan refluks cairan usus, yang mengakibatkan
kolangitis berulang. Perubahan keganasan sering timbul di sisa dinding kista. Oleh
karena itu, bedah penyaliran sebagai tindakan sementara dilakukan pada bayi dengan
keadaan umum terlalu lemah untuk menjalani bedah definitif berupa reseksi kista.
Alternatif lain sebagai tindakan sementara adalah pemasangan pipa empedu secara
endoskopik.

Pada sebagian besar penderita, seluruh kista ekstrahepatik dapat direseksi,


diikuti rekonstruksi untuk menyalurkan empedu. Selalu dilakukan kolesistektomi
untuk mencegah kolesistitis dan menyingkirkan diagnosis kolesistitis bila keluhan
timbul lagi.

Apabila telah terjadi perlengketan antara kista dengan jaringan di belakangnya


sehingga sulit di bebaskan dan menimbulkan trauma vaskuler, bagian dinding
posterior kista dapat ditinggalkan, tetapi mukosanya diangkat dengan cara dikupas.

Kista di dalam sistem saluran empedu intrahepatik tidak mungkin direseksi,


kecuali kalau letaknya terbatas pada satu segmen atau satu lobus. Pada keadaan
demikian dianjurkan reseksi guna mencegah perubahan keganasan di kemudian hari.

Pada kista koledokus jenis IV, yaitu kombinasi dilatasi ekstrahepatik dan
intrahepatik, prosedur pembedahan yang dianjurkan adalah reseksi kista ekstrahepatik
diikuti anastomosis hepatikoenterostomi letak tinggi. Terapi kista saluran empedu
intraduodenal berupa sfingterotomi atau sistoduodenostomi yang lebar. 15

20
PROGNOSIS

Prognosis setelah eksisi kista koledokus biasanya sangat baik, namun pasien
diharuskan follow-up seumur hidup karena terjadi peningkatan resiko
kolangiosarkoma, bahkan setelah eksisi lengkap kista. 1

KAJIAN ISLAM

‫دَ َواء دَاء ِل ُك ِل‬، ‫اب فَإِذَا‬


َ ‫ص‬َ َ ‫الدَّا َء الد ََّوا ُء أ‬، َ ‫َو َج َّل َع َّز للاِ ِبإ ِ ْذ ِن َب َرأ‬
Terjemahan :

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya
maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala” (HR. Muslim)

Pada dasarnya berobat adalah disyariatkan, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an


dan As-Sunnah, baik sunnah qauliyah (ucapan) maupun fi'liyah (perbuatan). Dan juga
dengan berobat keselamatan jiwa yang merupakan salah satu dari lima perkara asasi
dapat terjaga. Hukum berobat itu sendiri berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan
orangnya. Hukum berobat wajib jika dengan meninggalkannya akan mengancam
keselamatan jiwanya atau dapat melumpuhkan salah satu anggota badannya atau
penyakit yang dideritanya itu dapat menular kepada orang lain, seperti orang yang
terkena penyakit menular misalnya. Hukum berobat adalah sunnat jika dengan
meninggalkannya akan melemahkan badan dan tidak menimbulkan efek seperti
tersebut pada kondisi yang pertama tadi. Hukum berobat adalah mubah (boleh) jika
dengan meninggalkannya tidak menimbulkan efek seperti yang tersebut pada dua
kondisi di atas tadi. Hukum berobat adalah makruh (ditinggalkan berpahala dan
dikerjakan tidak berdosa) apabila dengan berobat tersebut justru menimbulkan efek
samping yang lebih berbahaya daripada penyakit yang akan diobati.

Merupakan konsekuensi aqidah muslim adalah meyakini bahwa penyakit


berikut kesembuhannya mutlak berada di tangan Allah. Sementara berobat
merupakan salah satu bentuk usaha dan ikhtiar yang telah Allah anugrahkan di alam

21
jagad raya. Dan meyakini bahwa seorang muslim tidak boleh berputus asa dari
rahmat dan inayah (pertolongan) Allah Subhana wa Ta'ala. Bahkan sebaliknya
seorang muslim seyogyanya menaruh harapan kuat untuk sembuh dengan izin Allah.
Dan hendaknya para dokter dan keluarga si sakit terus memberi sugesti (semangat)
bagi si sakit. Terus memperhatikan kondisinya dan meringankan penyakit jasmani
maupun rohani yang tengah dideritanya, terlepas apakah si sakit bakal sembuh
ataupun tidak. 16

KESIMPULAN

Kista koledokus atau kista biliar hingga saat ini etiologinya belum diketahui.
Kista koledokus dibagi menjadi 5 jenis menurut klasifikasi Alonso-Tej. Trias gejala
klinis berupa nyeri abdomen, teraba massa di kuadran kanan atas perut dan ikterus.
Namun untuk menegakkan diagnosis kista koledokus, pemeriksaan radiologi berupa
USG, CT-scan dan Cholangiography (ERCP dan MRCP) sangatlah menentukan.
Penanganan dari kista koledokus berupa reseksi kista.

DAFTAR PUSTAKA
1

22

Anda mungkin juga menyukai