Anda di halaman 1dari 11

1.

Sejarah Pendidikan Indonesia Masa Kolonial

Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang
menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan
ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia
(Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua
kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk
anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan
kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk
menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.
Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas
yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.

Kesulitan keuangan dari Belanda akibat Perang Dipenogoro pada tahun 1825
sampai 1830 (Mestoko dkk,1985:11, Mubyarto,1987:26) serta perang Belanda
dan Belgia (1830-1839) mengeluarkan biaya yang mahal dan menelan banyak
korban. Belanda membuat siasat agar pengeluaran untuk peperangan dapat
ditutupi dari negara jajahan. Kerja paksa dianggap cara yang paling ampuh
untuk memperoleh keuntungan yang maksimal yang dikenal dengan
cultuurstelsel atau tanam paksa (Nasution, 1987:11). Kerja paksa dapat
dijalankan sebagai cara yang praktis untuk meraup keuntungan sebesar-
besarnya. Rakyat miskin selalu menjadi bagian yang dirugikan karena digunakan
sebagai tenaga kerja murah. Rakyat miskin yang sebagian bekerja sebagai
petani juga dimanfaatkan untuk menambah kas negara penguasa.

Untuk melancarkan misi pendidikan demi pemenuhan tenaga kerja murah,


pemerintah mengusahakan agar bahasa Belanda bisa diujarkan oleh masyarakat
untuk mempermudah komunikasi antara pribumi dan Belanda. Lalu, bahasa
Belanda menjadi syarat Klein Ambtenaarsexamen atau ujian pegawai rendah
pemerintah pada tahun 1864. (Nasution, 1987:7). Syarat tersebut harus dipenuhi
para calon pegawai yang akan digaji murah. Pegawai sedapat mungkin dipilih
dari anak-anak kaum ningrat yang telah mempunyai kekuasaan tradisional dan
berpendidikan untuk menjamin keberhasilan perusahaan (Nasution, 1987:12).
Jadi, anak dari kaum ningrat dianggap dapat membantu menjamin hasil tanam
paksa lebih efektif, karena masyarakat biasa mengukuti perintah para ningrat.
Suatu keadaan yang sangat ironis, kehidupan terdiri dari lapisan-lapisan sosial
yaitu golongan yang dipertuan (orang Belanda) dan golongan pribumi sendiri
terdapat golongan bangsawan dan orang kebanyakan.

Pemerintah Belanda lambat laun seolah-olah bertanggung jawab atas pendidikan


anak Indonesia melalui politik etis. Politik etis dijalankan berdasarkan faktor
ekonomi di dalam maupun di luar Indonesia, seperti kebangkitan Asia, timbulnya
Jepang sebagai Negara modern yang mampu menaklukkan Rusia, dan perang
dunia pertama (Nasution, 1987:17). Politik etis terutama sebagai alat
perusahaan raksasa yang bermotif ekonomis agar upah kerja serendah mungkin
untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Irigasi, transmigrasi, dan
pendidikan yang dicanangkan sebagai kedok untuk siasat meraup keuntungan.
Irigasi dibuat agar panen padi tidak terancam gagal dan memperoleh hasil yang
lebih memuaskan. Transmigrasi berfungsi untuk penyebaran tenaga kerja, salah
satunya untuk pekerja perkebunan. Politik etis menjadi program yang merugikan
rakyat.

Pendidikan dasar berkembang sampai tahun 1930 dan terhambat karena krisis
dunia, tidak terkecuali menerpa Hindia Belanda yang disebut mangalami malaise
(Mestoko dkk, 1985 :123). Masa krisis ekonomi merintangi perkembangan
lembaga pendidikan. Lalu, lembaga pendidikan dibuat dengan biaya yang lebih
murah. Kebijakan yang dibuat termasuk penyediaan tenaga pengajar yang terdiri
dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang tidak mempunyai latar belakang
pendidikan guru (Mestoko, 1985:158), bahkan lulusan sekolah kelas dua
dianggap layak menjadi guru. Masalah lain yang paling mendasar adalah
penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang
mampu merupakan beban yang berat. Jadi, pendidikan semakin sulit dijangkau
oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang
kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan
tenaga kerja yang murah.

Pendidikan dibuat oleh Belanda memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, gradualisme


yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda
membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu
mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan. Kedua,
dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukum
tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak
Indonesia berada pada tingkat bawah. Ketiga, kontrol yang sangat kuat.

Pemerintah Belanda berada dibawah kontrol Gubernur Jenderal yang


menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara
sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengeruh langsung politik
pendidikan. Keempat, Pendidikan beguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan
bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai
tenaga kerja yang murah. Kelima, prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah
di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah
di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda.
Keenam, tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-cri
tersebut diatas hanya merugikan anak-anak kurang mampu. Pemerintah Belanda
lebih mementingkan keuntungan ekonomi daripada perkembangan pengetahuan
anak-anak Indonesia.

Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa. Sekolah desa sebagai siasat
untuk mengeluarkan biaya yang murah. Sekolah desa diciptakan pada tahun
1907. Tipe sekolah desa yang dianggap paling cocok oleh Gubernur Jendral Van
Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris
(Nasution, 1987:78). Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas
dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Penduduk
diupayakan tetap menjadi tenaga kerja demi pengamankan hasil panen.

Sekolah desa dibuat dengan biaya serendah mungkin. Pesantren diubah menjadi
madrasah yang memiliki kurikulum bersifat umum. Pesatren dibumbui dengan
pengetahuan umum. Cara tersebut dianggap efektif, sehingga pemerintah tidak
usah membangun sekolah dan mengeluarkan biaya (Nasution, 1987:80). Guru
sekolah diambil dari lulusan sekolah kelas dua, dianggap sanggup menjadi guru
sekolah desa. Guru yang lebih baik akan digaji lebih mahal dan tidak bersedia
untuk mengajar di lingkungan desa.

Masa penjajahan Belanda berkaitan dengan pendidikan merupakan catatan


sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup
keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya yang
murah, agar tidak membebani kas pemerintah. Politik etis menjadi tidak etis
dalam pelaksanaannya, kepentingan biaya perang yang sangat mendesak dan
berbagai masalah lain menjadi kenyataan yang tercatat dalam sejarah
pendidikan masa Belanda.

Belanda digantikan oleh kekuasaan Jepang. Jepang membawa ide kebangkitan


Asia yang tidak kalah liciknya dari Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan
dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-cuma (romusha) dan kebutuhan
prajurit demi kepentingan perang Jepang (Mestoko, 1985 dkk:138). Sistem
penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang
untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki
landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia berkerjasama untuk
mencapai kemakmuran bersama Asia raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik,
latihan kemiliteran, dan indoktrinasi yang ketat.

Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau


pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat
dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah.
Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata
ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang
melalui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah. Pendidikan pula yang akan
dikembangkan untuk membangun negara Indonesia setelah merdeka.

Setelah kemerdekaan, perubahan bersifat sangat mendasar yaitu menyangkut


penyesuaian bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada
kementrian pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan supaya cepat untuk
menyediakan dan mengusahakan pembaharuan pendidikan dan pengajaran
sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan (Mestoko, 1985:145). Lalu,
pemerintah mengadakan program pemberantasan buta huruf. Program buta
huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya,
kendala gedung sekolah dan guru. Kementrian PP dan K juga mengadakan usaha
menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Kursus bahasa jawa, bahasa
Inggris, ilmu bumi, dan ilmu pasti(Mestoko dkk, 1985:161). Program tersebut
menunjukkan jumlah orang yang buta huruf seluruh Indonesia sekitar 32,21 juta
(kurang lebih 40%), buta huruf pada tahun 1971. Buta huruf yang dimaksud
adalah buta huruf latin (Mestoko dkk, 1985:327). Jadi, kegiatan pemberantasan
buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk
menanggulangi angka buta aksara di Indonesia dan buta pengetahuan dasar,
tetapi pendidikan kurang lebih tidak berdampak pada rumah tangga kurang
mampu.

Kemerdekaan Indonesia tidak membuat nasib orang tidak mampu terutama dari
sektor pertanian menjadi lebih baik. Pemaksaan atau perintah halus gampang
muncul kembali, contoh yang paling terkenal dengan akibat yang hampir serupa
seperti cara-cara dan praktek pada jaman Jepang, bimas gotong royong yang
diadakan pada tahun 1968-1969 disebut bimas gotong royong karena
merupakan usaha gotong royong antara pemerintah dan swasta (asing dan
nasional) untuk meyelenggarakan intensifikasi pertanian dengan menggunakan
metode Bimas (Fakih, 2002:277, Mubyarto, 1987:37). Adapun tujuannya adalah
untuk meningkatkan produksi beras dalam waktu sesingkat mungkin dengan
mengenalkan bibit padi unggul baru yaitu Peta Baru (PB) 5 dan PB 8.37. Pada
jaman penjajahan Belanda juga pernah dilakukan cultuurstelsel, Jepang
memaksakan penanaman bibit dari Taiwan. Jadi, rakyat dipaksakan mengikuti
kemauan dari pihak penguasa. Cara tersebut kurang lebih sama dengan yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia sebagai cara untuk menghasilkan panen
yang lebih maksimal. Muller (1979:73) menyatakan berdasarkan penelitian yang
dilakukan di Indonesia bahwa sebagaian besar masyarakat yang masih hidup
dalam kemiskinan, paling-paling hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup yang
paling minim, dan hampir tidak bisa beradaptasi aktif sedangkan golongan atas
hidup dalam kemewahan.

Pendidikan pada masa Belanda, Jepang dan setelah kemerdekaan sulit dicapai
oleh orang-orang dari rumah tangga kurang mampu. Mereka diajarkan dan diberi
pengetahuan untuk kepentingan pihak penguasa. Mereka dijadikan tenaga kerja
yang diandalkan untuk mencapai keuntungan yang maksimal. Setelah jaman
kemerdekaan, rakyat dari rumah tangga kurang mampu terus menjadi sumber
pemaksaan secara halus untuk pengembangan bibit padi unggul. Pendidikan
sebagai alat penguasa untuk mengembangkan program yang dianggap dapat
mendukung peningkatan pemasukan pemerintah.

2.Dua Aliran Pokok Pendidikan di Indonesia

Setelah kita pelajari berbagai aliran pendidikan secara umum baik aliran klasik,
aliran baru maupun aliram modern, yaitu merupakan pemikiran, pandangan,
atau gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya melakukan pendidikan
yang terjadi sebelum abad -19 (aliran baru), mereaksi gagasan-gagasan abad 19
(aliran modern), perlu juga dipelajari beberapa aliran pendidikan yang terjadi di
masa sendiri. Macam-macam aliran tersebut dapat diketahui dari pandangan-
pandangan dan lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh berbagai ahli
pendidikan di Indonesia. Macam dan jenis lembaga pendidikan tersebut adanya
ragam latar belakang dan kepentingan pendiriannya. Ada yang karena
kepentingan ras dan suku seperti sekolah serikat Ambon, karena kepentingan
memperjuangkan kaumsesamanya seperti sekolah Dewi Sartika dan sekolah
Kartini, karena kepentingan persatuan seperti sekolah Budi Utomo karena
kepentingan agama seperti sekolah-sekolah yang diadakan oleh lemabaga-
lembaga pendidikan yang dibawah naungan organisasi kemasyrakatan dan
keagamaan (NU, Muhammadyah, dsb) dan masih banyak lagi latar belakang dan
kepentingannya sehingga bermunculan berbagai lembaga pendidikan di
Indonesia. Walaupun demikian kesemuanya jenis lembaga yang bermunculan
tersebut bermaksud ingin mewujudkan yang berciri khas atau sesuai dengan
karakteristik sesuai dengan budaya bangsa Indonesia sendiri.

Dari berbagai aliran penddidikan di Indonesia ada dua aliran pokok yang perlu
kita pelajari yaitu pendidikan Taman Siswa dan Pendidikan INS. Hal ini antara lain
karena latar belakang dan kepentingan pendiriannya untuk semua bangsa
secara umum tanpa melihat ras, suku, daerah, wilayah , keyakinan, dan
keagamaan, atau golongan tertentu saja, sesuai dengan pandangan hidup
bangsa Indonesia. Disamping itu waktu pendiriannya terutama karena mereaksi
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintak colonial Belanda yang sangat
tidak menguntungkan kepentingan bangsa Indonesia , baik kesempatan yang
diberikan, diskriminasi bangsa dan golongan, maupun kepentingan hasil
pendidikan misalnya hanya untuk menyiapkan pegawai rendahan yang
dibutuhkan oleh Belanda. Juga oleh karena gagasan atau pemikiran-
pemikirannya dan realisasi pendidikannya telah diakui oleh tokoh-tokoh dari
aliran pendidikan dunia. Dan yang tidak kalah pentingnya bahwa gagasan atau
pemikiranya telah dilaksanakan dalam pendidikan nasional sekarang ini seperti
system among, pelaksanaan sekolah kejuruan dan sebagainya.uraian secara
mendalam akan diuraikan pada bahasan berikut ini.

PENDIDIKAN TAMAN SISWA

Riwayat Singkat Pendidikan Taman Siswa

Pendiri pendidikan Taman S atau lebih dikenal dengan perguruan taman siswa ini
adalah seorang bangsawan dari Yogyakarta bernama RM. Suwardi Suryaningrat.
Dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889dari ayah bernama K.P.H.
Suryaningrat .Setelah usia 39 tahun atau 40 tahun (tahun jawa), tepatnya pada
tanggal 23 pebruari 1928 berganti nama menjadi Kihajar Dewantara. Pendidikan
yang telah ditempuh dimulai dari Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere
School), kemudian melanjutkan pendidikan ke sekolah dokter di Stovia.
Berhubung kekurangan biaya, sekolah ini ditinggalkan, kemudian bekerja dan
memasuki dunia politik bersama sama lulusan Stovia yang lain
seperti Dr.Cipto Mangun Kusuma dan Dr. Danurdirjo Setyabudi(Dr. Douwes
Dekker).
pejuangan Sebelum Mendirikan Taman Siswa
Sebelum memasuki lapangan pendidikan, bersama dengan dua teman
lainnya Dr.Cipto Mangun Kusuma dan Dr. Danurdirjo Setyabudi, Kihajar
Dewantara mendirikan organisasi politik yang bersifat revolusioner, sehingga
terkenal dengan nama tiga serangkai pendiri Indische Partij (IP).

Dalam saat itu juga (1912) Kihajar Dewantara bersama dengan Dr. Cipto
Mangunkusuma mendrikan Komite Bumiputera yang bertujuan memprotes
adanya keharusan bagi rakyat Indonesia yang dijajah untuk merayakan
kemerdekaan Nederland dari penindasan Napoleon yang dengan paksa
mengumpulkan uang sampai kepelosok pelosok.Dengan brosur pertama yang
berjudul Seandainya aku orang Belandadari karyanya sendiri yang secara
singkat isinya tidak selayaknya bangsa Indonesia yang ditindas ikut merayakan
kemerdekaan dari bangsa Belanda yang menindasnya.

Karena dianggap bahaya, Kihajar Dewantara diinternir ke Bangka, kemudian


dieksternir ke negeri Belanda atas permintaannya sendiri.Pada massa ini dan
ditempat inilah ia mendapatkan kesempatan untuk mempelajari masalah
pendidikan dan pengajaran. Setelah 4 tahun, dengan tanpa diminta putusan
eksternir itu dicabut sehingga ia dapat pulang kembali ke tanah airnya.

Sekembali ketanah airnya ia meneruskan perjuangan politiknya, dimulai lagi dari


menulis di surat kabar yang berjudul Kembali ke Pertempuran . ia menjadi
sekretaris politik , dan menjadi redaktur tiga majalah dari partai politik (National
Indesche Partij) tersebut yaitu De Beweging, Persatuan India ,
dan Penggugah. Dengan aktifnya kedunia politik hidupnya hanya untuk masuk
dan keluar penjara.

Karena semakin kejam Pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia, lebih-


lebih terhadap pergerakan rakyat Indonesia dan agar perjuangan untuk
kepentingan bangsa lebih bermanfaat maka Kihajar Dewantara meninggalkan
medan politik yang nampak, memasuki medan pendidikan dan pengajaran
(1921) dimulai dari mengajar pada Sekolah Adhidarma kepunyaan kakaknya R.M
Suryopranoto di Yogyakarta.
Perjuangan Setelah Mendirikan Taman Siswa

Setlah satu tahun mengajar di Adhidarma Kihajar Dewntara mendirikan sekolah


yang sesuai dengan cita-citanya sendiri (3 Juli !922) dengan nama Natinal
Onderwisj Institut Taman Siswa yang kelak diubah menjadi Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa. Sekolah ini mula mula hanya meliputi bagian Taman
Anak dan Bagian Kursus Guru saja.

Perjuangannya mengalami banyak rintangan , tetapi semuanya dapat diatasi


berkat keberanian dan keuletan dari sifat yang dimilikinya, yang dapat dilihat
dari beberapa peristiwa berikut ini.

Dalam tahun 1924 ia dikenakan pajak rumah tangga, tetapi ia tidak suka
membayarnya , karena keluarganya hanya menempati dua kamar yang
dikelilingi kelas kelas di tengah perguruannya. Menurut taksirannya seharusnya
tidak kena pajak, dan barang-barang milik perguruan juga seharusnya bebas dari
pajak tersebut. Akhirnya barang-barang kepunyaan Taman Siswa dilelang di
depan umum. Tetapi kemudian pajak itu dikembalikan setelah Kihajar Dewantara
mengajukan protes. Dan atas kedermawanan pembeli, barang barang milik
Taman Siswa yang terlelang tersebut diserahkan kembali kepada Taman Siswa.

Rintangan berikutnya adanya ordonansi Sekolah partikelir yang dikeluarkan pada


tanggal 17 September 1932, dimana isinya : Sekolah Partikelir harus minta izin
dahulu; guru-guru sebelum memberi pelajaran harus memiliki izin mengjar ;dan
isi pelajaran tidak boleh melanggar peraturan negeri dan harus sesuai dengan
sekolah negeri.

Kihajar Dewantara menentangnya, karena ordonansi itu diangap melampaui


batas. Segera ia mengirim kawat protes kepada Gubernur Jendral. Sikap tersebut
mendapat sambutan dari partai-partai serta banyak harian dan diperjuangkan
pula di Volkraad. Akhirnya ordonansi itu dibatalkan (1933).

Tipu muslihat lain dengan dikeluarkan Larangan Mengajar. Selama 2 tahun


(1934-1936) Guru Taman Siswa yang terkena korban lebih dari 60 orang bahkan
ada cabang Taman Siswa yang ditutup selama satu tahun.

Mulai bulan Pebruari taun1935 Taman siswa terkena lagi peraturan tentang
tunjangan anak yang mulai tahun ini hanya diberikan kepada pegawai negeri
yang anaknya bersekolah pada sekolah negeri,sekolah partikelir mendapatkan
subsidi,sekolah-sekolah lain yang dapat hak memakai salah satu nama sekolah
negeri, misalnya HIS, Voolks Schooldan sebagainya. Oleh perjuangan Kihajar
Dewantara akhirnya mulai tahun 1938 tunjangan anak bagi semua pegawai
sama tanpa melihat sekolah yang dimasuki.

Perjuangan lainnya adalah menentang Pajak Upah yang diberlakukan tahun


1935. Kihajar Dewantara menentangnya karena dalam Taman Siswa tidak ada
majikan dan buruh ,tetapi atas dasar kekeluargaan. Tuntutannya berhasil tahun
1940 sehingga guru-guru Taman Siswa dibebaskan dari PajakUpah tersebut.

Pada jaman Jepang juga dikeluarkan peraturan tentang sekolah partikelir, yang
diperbolehkan hanya sekolah kejuruan saja (kecuali sekolah guru), misalnya
urusan rumah tangga, pertanian, perindustrian, dan lain-lainya. Karena itu
Taman Dewasa diubah menjadi Taman Tani, Taman Madya dan Taman Guru
dibubarkan. Pada tahun ini ia pindah ke Jakarta karena diangkat sebagai salah
seorang pemimpin Putera (Pusat Tenaga Rakyat).

Pada zaman kemerdekaan ia pernah berturut turut Mentri Pendidikan


Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama, Anggota dan Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung, Anggota Parlemen, serta mendapat gelar Doktor Honoris
Causa dalam Ilmu Kebudayaan dari Universitas Gajah Mada pada tanggal 19
Desember 1956. Dan pada tanggal 26 april 1959 Kihajar Dewantara meninggal
dalam usia 70 tahun.
3. Pendidikan di Indonesia Setelah Kemerdekaan (1945-1969)
Pendidikan dan pengajaran sampai tahun 1945 di selenggarakan oleh kentor
pengajaran yang terkenal dengan nama jepang Bunkyio Kyoku dan merupakan
bagian dari kantor penyelenggara urusan pamong praja yang disebut dengan
Naimubu. Setelah di proklamasikannya kemerdekaan, pemerintah Indonesia
yang baru di bentuk menunjuk Ki Hajar Dewantara, pendiri taman siswa, sebagai
menteri pendidikan dan pengajaran mulai 19 Agustus sampai 14 November
1945, kemudian diganti oleh Mr. Dr. T.G.S.G Mulia dari tanggal 14 November
1945 sampai dengan 12 Maret 1946. tidak lama kemudian Mr. Dr. T.G.S.G Mulia
dig anti oleh Mohamad Syafei dari 12 Maret 1946 sampai dengan 2 Oktober
1946. karena masa jabatan yang umumnya amat singkat, pada dasarnya tidak
bayak yang dapat diperbuat oleh para mentri tersebut.
1. Tujuan Dan Kurikulum Pendidikan
Dalam kurun waktu 1945-1969, tujuan pendidikan nasional Indonesia mengalami
lima kali perubahan. Sebagaimana tertuang dalam surat keputusan Menteri
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP & K), Mr. Suwandi, tanggal 1 Maret
1946, tujuan pendidikan nasional pada masa awal kemerdekaan amat
menekankan penanaman jiwa patriotosme. Hal ini dapat di pahami, karena pada
saat itu bangsa Indonesia baru saja lepas dari penjajah yang berlangsung
ratusan tahun, dan masih ada gelagat bahwa Belanda ingin kembali menjajah
Indonesia. Oleh karena itu penanaman jiwa patrionisme melalui pendidikan
dianggap merupakan jawaban guna mempertahankan negara yang baru
diproklamasikan.
Sejalan dengan perubahan suasana kehidupan kebangsaan, tujuan pendidikan
nasional Indonesia pun mengalami perluasan; tidak lagi semata menekan jiwa
patrionisme. Dalam Undang-Undang No. 4/1950 tentang dasar-dasar pendidikan
dan pengajaran di sekolah. Tujuan pendidikan dan pengajaran ialah membentuk
manusia yang cukup dan warga negara yang demokaratis secara bertanggung
jawab tentang kesejahtraan masyarakat dan tanah air.
Kurikulum sekolah pada masa-masa awal kemerdekaan dan tahun 1950-an di
tujukan untuk:
meningkatkan kesadaran bernegara dan bermasyarakat,
meningkatkan pendidikan jasmani,
meningkatkan pendidikan watak,
menberikan perhatian terhafap kesenian,
menghubungkan isi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, dan
mengurangi pendidikan pikiran.
Menyusul meletusnya G-30 S/PKI yang gagal, maka melalui TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966 tentang Agama, Pendidikan, dan kebudayaan di adakan
perubahan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional yaitu, Membentuk
manusia pancasilais sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan seperti yang
dikenhendaki oleh pembukaan UUD 1945.
2. Sistem Persekolahan
Sistem pendidikan di Indonesia pada awal kemerdekaan pada dasarnya
melanjutkan apa yang dikembangkan pada zaman pendudukan jepang. Sistem
dimaksud meliputi tiga tingkatan yaitu pendidikan rendah, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi.
Pendidikan rendah adalah Sekolah Rakyat (SR) 6 tahun. Pendidikan menengah
terdiri dari sekolah menengah pertama dan sekolah menengah tinggi. Sekolah
menengah pertama yang berlangsung tiga tahun mempunyai beberapa jenis,
yaitu sekolah menegah pertama (SMP) sebagai sekolah menengah pertama
umum; kemudian sekolah teknik pertama (STP), kursus kerajinan negeri (KKN),
sekolah dagang,sekolah kepandayan putrid (SKP) sebagai sekolah menengah
pertama kejuruan; serta sekolah guru B (SGB) dan sekolah guru C (SGC) sebagai
sekolah menengah pertama keguruan.
Sekolah menegah tinggi berlangsung tiga tahun, meliputi sekolah menengah
tinggi (SMT) sebagai sekolah menengah umum, dan sekolah kejuruan berupa
sekolah teknik menengah (STM), sekolah teknik (ST), sekolah guru kepandayan
putrid (SGKP), sekolah guru A (SGA) dan kursus guru.

4. Pedidikan di Indonesia Selama PJP I (1969-1993)


Pembangunan jangka panjang meliputi lima pelita, yaitu pelita I-V yang dimulai
pada tahun 1969/1970 hingga tahun 1993/1994, atau 25 tahun. Selama kurun
tersebut, pendidikan Indonesia Indonesia mengalami kemajuan. Hal ini terutama
di tandai oleh semakin luasnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan pada
semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan; meningkatnya jumblah sarana dan
prasarana pendidikan yang tersedia serta tenaga yang terlibat dalam
pendidikan; meningkatnya mutu pendidikan dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya; semakin mantapnya sistem pendidikan nasional dengan di sahkan
undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang system pendidikan nasional
beserta sejumblah peraturan pemerintah yang menyertainya.
Namun demikian, hingga berakhirnya pelita V, pendidikan nasional masi di
hadapkan dengan berbagai tantangan baik kuantitatif maupun kualitatif. Secara
kuantitatif, tantangan yang di hadapi menyangkut pemerataan kesempatan
untuk mamperoleh pendidikan khususnya pendidikan dasar, sementara secara
kualitatif tantangan yang di hadapi berkenan dengan upaya mutu pendidikan,
peningkatan relefansi pendidikan dengan penbangunan, efektifitas dan efisiensi
pendidikan.
5. Pendidikan di Indonesi Dewasa Ini
1. wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
Pada tanggal 2 mei 1994 wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun untuk tingkat
SLTP dicanangkan. Sepuluh tahun sabelumnya, tepatnya pada tanggal 2 mei
1984, Indonesia juga memulai wajib belajar 6 tahun untuk tingkat SD,
bersamaan dengan peresmian berdirinya Universitas terbuka. Wajib belajar
pendidikan dasar 9 tahun mempunyai 2tujuan utama yang berkaitan satu sama
lain. Pertama, meningkatkan pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan bagi setiap kelompok umur 7-15 tahun. Kedua untuk meningkatkan
mutu sumberdaya manusia Indonesia hingga mencapai SLTP. Dengan wajib
belajar, maka pendidikan minimal bangsa Indonesia semula 6 tahun ditingkatkan
menjadi 9 tahun.
Sasaran-sasaran wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun dalam pelita VI adalah,
pertama, meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) tingkat SLTP menjadi
66,19% dari keadaan padaawal pelita V yang mencapai 52,67%. Kedua,
meningkatkan jumblah lulusan SD/MI yang tertampung di SLTP dan MTs sebesar
5400.000, yaitu dari 2,56 juta pad tahun 1993/1994 menjadi 3,10 juta pada
tahun 1998/1999. Ketiga, tercapainya jumblah guru SD yang minimal
berkualifikasi D-II sebayak 80%, guru SLYP berkualifikasi D-III sekitar 70%.
Tantangan yang di hadapi oleh program wajip belajar pendidikan dasar 9 tahun
memang lebih besar jika dibandikan dengan wajib belajar 6 tahun. Alasnya
antara lain, pertama, pada saat dimulainya wajip belajar pendidikan dasar
sembilan tahun, baru skitar separuh dari kelompok umur 13-15 tahun yang
berada disekolah. Kedua, daya dukung berupa dana, sarana, dan tenaga yang
dimiliki oleh Indonesia untuk melaksanakan wajip belajar pendidikan dasar 9
tahun tidak lagi sebanyak pada saat dilaksanakan wajib belajar 6 tahun.
Misalnya, pembangunan SD dalam jumblah besar melalui inpres. Ketiga, guna
menampung 6,26 juta anak usia 13-15 tahun di SLTP diperlukan sarana, biaya,
dan tenaga yang tidak sedikit. Sejak di mulai pada tahun 1994, program wajip
belajar pendidikan dasar sembilan tahun mencapai banyak kemajuan. Indikator-
indikator kuantitatif yang di catat menunjukan bahwa angka partisipasi
meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya ruang belajar, jumblah guru,
dan fasilitas belajar lainnya .
2. pelaksanaan kurikulum 1994

Kurikulum 1994 di berlakukan secara bertahap mulai tahun ajaran 1994/1995.


kurikulum 1994 disusun dengan maksud agar proses pendidikan dapat selalu
menyesuakan diri dengan tantangan yang terus barkembang, sehingga mutu
pendidikan akan semakin meningkat. Kurikulum 1984 yang telah berjalan 10
tahun dipandang perlu untuk diperbaharui karena menurut hasil-hasil
pengkajian, ditemikan adanya materi kurikulum yang tmpang tindih dan
memerlukan penambahan. Misalnya tumpang tindih antara materi PMP, Sejarah
Nasional, dan PSPB yang dalam kurikulum 1994 strukturnya lebih di
sederhanakan. Disahkannya UU No 2/1989 tentang system Pendididkan Nasional
yang diikuti oleh berbagai peraturan pemerintah mempuyai implikasi pada
perlunya kurikulum pendidikan mengalami penyesuaian. Menyusul terjadinya
informasi, dilakukan kembali revisi atas kurikilum 1994 dengan menata kembali
struktur programnya yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1994 yang
disempurnakan.

Pustaka:
Ekadjati, Edi S. 1995. Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah). Pustaka
Jaya. Jakarta.

Munandar, Agus Aris. 1990. Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa
Timur Abad 1415. Tesis Magister Humaniora. Fakultas Sastra Universitas
Indonesia.

Santiko, Hariani. 1986. Mandala (Kedwaguruan) Pada Masyarakat Majapahit,


dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, buku IIb Aspek Sosial Budaya, Cipanas, 3
9 Maret 1986. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, halaman 30418.

www.google.com

Anda mungkin juga menyukai