Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Di Indonesia jumlah penyalah guna narkoba diperkirakan ada sebanyak 3,8


juta sampai 4,1 juta orang dalam setahun terakhir (current users) pada kelompok
usia 10-59 tahun di tahun 2014.1 Hasil proyeksi angka prevalensi penyalahguna
narkoba akan meningkat setiap tahun. Fakta tersebut di dukung oleh adanya
kecenderungan peningkatan angka sitaan dan pengungkapan kasus narkoba.

Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya


(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA
(Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) merupakan masalah yang sangat
kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat
secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan
konsisten. Meskipun dalam Kedokteran, sebagian besar golongan Narkotika,
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih bermanfaat bagi
pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi
medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran di jalur ilegal,
akan berakibat sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas
khususnya generasi muda.

Fenomena penyalahgunaan zat mempunyai banyak implikasi untuk penelitian


otak, psikiatri klinis, dan masyarakat pada umumnya. Dinyatakan dengan
sederhana, beberapa zat dapat mempengaruhi keadaan mental yang dirasakan dari
dalam (sebagai contohnya, mood) maupun aktivitas yang dapat diobservasi dari
luar (yaitu, perilaku). 1

Relaps merupakan perilaku penggunaan kembali narkoba setelah menjalani


penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya pemikiran, perilaku
dan perasaan adiktif setelah periode putus zat. Secara garis besar ada dua faktor
yang mempengaruhi terbentuknya relaps yaitu faktor internal dan faktor eksternal
1
dari individu. Intervensi yang dapat diberikan pada kasus relaps narkoba harus
meliputi terapi perilaku (konseling, terapi kognitif, terapi sosial), terapi medis, dan
terapi keagamaan.

Data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan pada tahun 2006 di
lembaga Balai Kasih Sayang Pamardi Siwi BNN menunjukkan bahwa terdapat 38
kasus relaps berkali-kali dan masuk kembali ke lembaga rehabilitasi yang sama.
Tahun 2007 tingkat relaps sebesar 95% bahkan ada residen yang masuk untuk ke
empat kalinya ke lembaga rehabilitasi tersebut. Tahun 2008 menunjukkan data
relaps di indonesia mencapai 90%.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut WHO, ketergantungan adalah keadaan dimana telah terjadi
ketergantungan fisik dan psikis, sehingga tubuh memerlukan jumlah zat/obat yang
makin bertambah (toleransi), dan apabila pemakaiannya dikurangi atau
diberhentikan akan timbul gejala putus zat (withdrawal syamptom). Sedangkan
penyalahgunaan zat adalah pemakaian terus-menerus atau jarang tetapi berlebihan
terhadap suatu zat atau obat yag sama sekali tidak ada kaitannya dengan terapi
medis. Zat yang dimaksud adalalah zat psikoaktif yang berpengaruh pada sistem
saraf pusat (otak) dan dapat mempengaruhi kesadaran, perilaku, pikiran, dan
perasaan.1
Ketergantungan secara perilaku adalah menekankan pada aktivitas mencari
zat dan bukti terkait tentang pola penggunaan patologis. Sedangkan
ketergantungan fisik adalah merujuk pada efek fisik (fisiologis) dari episode
multiple penggunaan zat. Selain itu ketergantungan juga berhubungan dengan kata
kecanduan dan pecandu.1
Ketergantungan psikologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai
dengan stimulasi kognitif dan efektif yang mendorong kognitif (perilaku)
seseorang untuk selalu mengonsumsi narkoba. Stimulasi kognitif tampak pada
individu yang selalu membayangkan, memikirkan, dan merencanakan untuk dapat
menikmati narkoba. Sementara itu, stimulasi afektif adalah rangsangan emosi
yang mengarahkan individu untuk merasakan kepuasan yang pernah dialami
sebelumnya. Orang yang memiliki stimulasi afektif cenderung akan mengulang-
ulang kenikmatan dari pengonsumsian narkoba sebelumnya. Sementara itu,
kondisi konatif merupakan hasil kombinasi dari stimulasi kognitif ataupun
stimulasi afektif, berupa perilaku nyata (real behavior) dalam bentuk penggunaan
narkoba yang sesunguhnya. Dengan demikian, ketergantungan psikologis ditandai
dengan ketergantungan pada aspek-aspek pemikiran (kognitif), emosi-perasaan

3
(afektif) untuk selalu tertuju pada narkoba, dan berusaha sungguh-sungguh untuk
mengonsumsinya.
Ketergantungan fisiologis adalah kondisi ketergantungan yang ditandai
dengan kecenderungan sakaw (lapar/haus akan narkoba). Sensasi rasa lapar atau
haus mendorong individu untuk segera mengonsumsi narkoba. Kondisi sakaw
sering kali tak mampu dihambat atau dihalangi pecandu. Karena itu, mau tak mau
ia harus memenuhinya. Tidak terpenuhinya rasa sakaw akan menyebabkan suatu
penderitaan (kelaparan/kehausan). Dengan demikian, orang yang mengalami
ketergantungan secara fisiologis terhadap narkoba, akan sulit dihentikan atau
dilarang untuk mengonsumsi. Semakin keras dilarang, semakin keras pula ia
berupaya bagaimana memperoleh dan dapat mengonsumsi narkoba tersebut.
Apakah dengan cara halal atau tidak, seseorang tidak memedulikan lagi norma-
norma etika yang ada dalam lingkungan sosial.

2.2 Epidemiologi
Dewasa ini diperkirakan di Indonesia terdapat lebih dari 3,5 juta pengguna zat
psikoaktif (Badan Narkotika Nasional, 2006). Dalam jumlah tersebut, hanya
kurang dari 10 ribu orang yang tersentuh layanan terapi: 1000 orang dalam
terapi substitusi metadon, 500 orang terapi substitusi buprenorfin, kurang dari
1000 orang dalam rehabilitasi (pesantren, theraupetic communities, kelompok
bantu diri/self-help group), 2000 orang dalam layanan medis lain dan sekitar 4000
orang menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan dan tahanan polisi. Sedangkan
hasil penelitian BNN bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia (puslitkes-UI) pada tahun 2008 menunjukkan angka prevalensi pecandu
narkoba di Indonesia sebesar 1,9% atau sekitar 3,1-3,5 juta jiwa. Di tahun 2011
angka prevalensi itu naik menjadi 2,2% atau sekitar 3,7-4,7 juta orang.2,3

2.3 Etiologi
a. Faktor Psikodinamik (teori psikososial dan psikodinamika)
Pendekatan psikodinamika untuk seseorang dengan penyalahgunaan zat
diterima dan dinilai secara lebih luas, daripada dalam pengobatan pasien
alkoholik. Berbeda dengan pasien alkoholik, mereka dengan penyalahgunaan

4
banyak zat disebabkan lebih mungkin memiliki masa anak-anak yang tidak
stabil, lebih mungkin mengobati diri sendiri dengan zat, dan lebih mungkin
mendapatkan manfaat dari psikoterapi. Penelitian yang cukup banyak
menghubungkan gangguan kepribadian dengan perkembangan ketergantungan
zat.
Teori psikososial lain menjelaskan hubungan dengan keluarga dan dengan
masyarakat pada umumnya. Terdapat banyak alasan untuk mencurigai suatu
peranan masyarakat dalam perkembangan pola penyalahgunaan dan
ketergantungan zat. Tetapi, dalam tekanan sosial tersebut, tidak semua anak
mendapatkan diagnosis penyalahgunaan atau ketergantungan zat, jadi
mengarahkan kemungkinan adanya keterlibatan faktor penyebab lainnya.
b. Teori Perilaku
Beberapa model perilaku penyalahgunaan zat memfokuskan pada perilaku
mencari zat dibanding pada gejala ketergantungan fisik. Sebagian besar
penyalahgunaan zat menimbulkan pengalaman positif setelah penggunaan
pertama, dan oleh karena itu zat tersebut bertindak sebagai penguat positif
perilaku mencari zat.1
Prinsip pertama dan kedua adalah kualitas pendorong positif dan efek
merugikan dari beberapa zat. Sebagian besar zat yang disalahgunakan disertai
dengan suatu pengalaman positif setelah digunakan untuk pertama kalinya.
Jadi, zat bertindak sebagai suatu pendorong postitif untuk perilaku mencari zat
lagi. Banyak zat juga disertai dengan efek merugikan, yang bertindak
menurunkan perilaku dalam mencari zat lagi. Ketiga, orang harus mampu
membedakan zat yang disalahgunakan dari zat lainnya. Keempat, hampir
semua perilaku mencari zat disertai dengan petunjuk lain yang menjadi
berhubungan dengan pengalaman menggunakan zat.
c. Faktor Genetik
Bukti-bukti kuat dari penelitian pada anak kembar, anak angkat, dan
saudara kandung telah menimbulkan indikasi yang jelas bahwa
penyalahgunaan alkohol mempunyai suatu komponen genetika dalam
penyebabnya. Terdapat banyak data yang kurang meyakinkan dimana jenis
lain penyalahgunaan atau ketergantungan zat memiliki pola genetika dalam
perkembangannya. Tetapi, beberapa penelitian telah menemukan suatu dasar

5
genetika untuk ketergantungan dan penyalahgunaan zat non alkohol. Baru-
baru ini, peneliti telah menggunakan teknologi RFLP (Restriction Fragment
Length Polumorphism) dalam meneliti penyalahgunaan zat dan
ketergantungan zat, dan beberapa laporan hubungan RFLP telah diterbitkan.
d. Faktor Neurokimiawi
Dengan pengecualian alcohol, para peneliti telah mengidentifikasi
neurotransmitter atau reseptor neurotransmitter tertentu yang terlibat dengan
sebagian besar zat yang disalahgunakan. Sejumlah peneliti mendasarkan studi
mereka pada hipotesis tersebut. Sebagai contoh, opioid bekerja sebagai resptor
opioid. Seseorang dengan aktivitas opioid endogen yang terlalu sedikit
(contohnya konsentrasi endorfinyang rendah) atau dengan aktivitas antagonis
opioid endogen yang terlalu banyak mungkin beresiko mengalami
ketergantungan opioid. Bahkan pada orang dengan fungsi resptor endogen dan
konsentrasi neurotransmitter yang benar-benar normal, penyalahgunaan
jangka panjang suatu zat tertentu pada akhirnya mungkin akan memodulasi
sistem resptor di otak sehingga zat eksogen dibutuhkan untuk
mempertahankan homeostatis. Proses pada tingkat reseptor semacam itu
mungkin menjadi mekanisme untuk membentuk toleransi di dalam SSP.
Namun, untuk menunjukkan adanya modulasi pelepasan neurotransmitter dan
fungsi reseptor neurotransmitter terbukti sulit, dan penelitian terkini
memfokuskan efek zat pada sistem duta kedua dan pada regulasi gen.1
e. Jaras dan Neurotransmitter
Neurotransmitter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan
penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat adalah sistem opiat, katekolamin
(khususnya dopamine), dan GABA. Dan yang memiliki kepentingan khusus
adalah neuron di daerah tegmental ventral yang berjalan ke daerah kortikal
dan limbic, khususnya nucleus akumbens. Jalur khusus tersebut diperkirakan
terlibat dalam sensasi menyenangkan (reward sensation) dan diperkirakan
merupakan mediator utama untuk efek dari zat tertentu seperti amfetamin dan
kokain. Lokus sereleus, kelompok terbesar neuron adrenergik, diperkirakan
terlibat dalam perantara efek opiat dan opioid.1
2.4 FaktorFaktor yang Mempengaruhi Penggunaan Zat

6
1) Faktor diri/pribadi seseorang
Penyalahgunaan obat dipengaruhi oleh keadaan mental, kondisi fisik dan
psikologis seseorang. Kondisi mental seperti gangguan kepribadian, depresi, dapat
memperbesar kecenderungan seseorang untuk menyalahgunakan narkoba. Faktor
individu pada umumnya ditentukan oleh dua aspek :
a. Aspek biologis
Secara biologis, seseorang dapat masuk ke dalam penyalahgunaan narkoba
disebabkan antara lain karena ingin menghilangkan rasa sakit atau keletihan.
b. Faktor psikologis
Sebagian besar penyalahgunaan obat dimulai pada masa remaja. Seseorang
dapat terjerumus dalam pemakaian narkoba karena beberapa alasan antara
lain:
a) Ingin meningkatkan semangat dan gairah kerja atau juga ingin
meningkatkan keperkasaan atau percaya diri.
b) Ingin melepaskan diri dari berbagai beban hidup yang menimpanya.
c) Ingin melepaskan diri dari kesunyian, kehampaan, atau ingin mencari
hiburan.
d) Ingin diterima sebagai anggota suatu kelompok karena menganggap
bahwa kelompok yang ingin dimasukinya mempunyai trend yang patut
diikuti.
e) Ingin coba-coba atau ingin mencari pengalaman baru.
f) Merasa dijauhkan atau diasingkan atau tidak dicintai atau merasa tidak
dihargai.

2) Faktor Lingkungan
a) Keluarga yang kurang komunikatif, kurang perhatian, kurang membagi
kasih sayang dan kurangnya penghargaan terhadap sesama anggota
keluarga.
b) Keluarga yang kurang pengawasannya terhadap sesama anggota keluarga .
c) Lingkungan sosial yang tidak harmonis dan tidak terikat dengan berbagai
norma seperti norma hukum, agama, susila, dan lain-lain.
d) Lingkungan yang kurang disiplin, tidak mempunyai tata tertib, tidak
mempunyai sistem pengawasan yang memadai, dan kurangnya sistem
pengamanan lingkungan baik lingkungan pendidikan, lilngkungan kerja,
atau tempat tinggal.
e) Pergaulan sebaya yang tidak sehat.

7
f) Peraturan atau undang-undang yang tidak tegas sehingga tidak membuat
jera para pelaku peredaran narkoba.
g) Lemahnya penegakan hukum oleh para penegak hukum seperti polisi,
hakim, jaksa, bea cukai, dan lain-lain.
h) Pandangan yang keliru tentang masalah penanggulangan narkoba bahwa
masalah narkoba adalah urusan pemerintah saja.
i) Fasilitas pelayanan dan rehabilitasi yang mahal bagi korban narkoba.

3) Faktor Keberadaan Narkoba


a) Harga narkoba yang semakin murah dan semakin dijangkau oleh
masyarakat. Hal ini terjadi juga karena adanya paket hemat dari kemasan
narkoba itu sendiri.
b) Narkoba semakin banyak baik jenis, cara pemakaian, atau pun bentuk
kemasannya.
c) Modus operasi para pelaku tindak pidana narkoba semakin jeli dan licik
sehingga sulit diungkap oleh aparat penegak hokum.
d) Semakin mudahnya akses internet yang menginformasikan tentang
keberadaan, pembuatan atau peredaran narkoba.
e) Perdagangan narkoba dikendalikan oleh sindikat yang kuat dan
profesional

2.5 Tahapan-tahapan yang dialami oleh Penyalahguaan zat

Oleh U.S National Comission On Marihuana and Drug Abuse berusaha


mengklasifikasikan tahapan penyalah-guna zat menjadi beberapa tahap

1) Experimental Users
Mereka yang menggunakan zat tadi tanpa mempunyai motivasi tertentu.
Mereka hanya terdorong oleh rasa ingin tahu,. Pemakaian biasanya sesekali
dengan dosis yang relatif kecil. Hal ini dapat disamakan seesorang yang
mulai mengenal rokok.
2) Recreational Users/ casual Users
Kelompok ini biasanya menggunakan zat/ obat tertentu dalam
pertemuan/pesta atau dalam kebersamaan (menikmati rekreasi). Mereka
biasanya mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kelompoknya.
Interaksi sosial masih dirasakan wajar-wajar saja hanya sewaktu mereka

8
berkumpul biasanya mereka terbawa dan terhanyut dalam kecenderungan
untuk memakai obat/ zat tadi secara berlebihan.
3) Situational Users
Umumnya orang yang tergolong tahap ketiga ini, mulai menggunakan obat/
zat secara sadar kalau mereka menghadapi masa masa sulit. Mereka percaya
bahwa hanya dengan menggunakan/mengkonsumsi obat tadi, mereka lebih
sanggup mengatasi persoalan hidup yang sulit tadi. Penggunaan obat pada
golongan ini dapat merupakan satu pola tingkah laku tertentu sehingga
mendorong individu tadi untuk mengulangi perbuatannya sehingga resiko
menjadi addict/ kecanduan akan menjadi jauh lebih besar dibandingkkan
kelompok I dan II diatas.
4) Intensified Users
Kelompok yang sudah secara kronis menggunakan obat/ zat tertentu.
Kelompok ini merasa butuh memakai obat tadi untuk memperoleh kenikmatan
atau mencari pelarian dari tekanan hidup. Walau penggunaannya sudah lebih
banyak, tapi individu semacam ini masih sangggup ber-interaksi dengan
masyarakta secara baik. Hanya mereka bertendensi untuk mengkonsumsikan
pemakaian obat tadi secara berlebihan.
5) Compulsive Dependence Users
Pengguna dengan jumlah dan frekuensi yang lebih banyak dengan jumlah dan
frekuensi yang lebih banyak lagi melepaskan kebiasaannya tanpa merasakan
guncanngan psikis/ fisik. Apabila mereka tidak menggunakan zat tadi, mereka
sudah mengalami withdrawl symptoms/sindroma putus obat yang cukup berat.
Mereka memang sudah tergantung hidupnya dari pemakaian obat/zat tadi.

2.6 Kriteria Ketergantungan dan Penyalahgunaan zat


Ketergantungan dan penyalahgunaan NAPZA adalah istilah kedokteran.
Seseorang disebut ketergantungan dan mengalami penyalahgunaan NAPZA, bila
memenuhi kriteria diagnostik tertentu. Menurut PPDGJ-III, Gangguan
Penggunaan NAPZA terdiri atas 2 bentuk:2
1. Penyalahgunaan, yaitu yang mempunyai harmful effects terhadap kehidupan
orang, menimbulkan problem kerja, mengganggu hubungan dengan orang lain
(relationship) serta mempunyai aspek legal

9
2. Adiksi atau ketergantungan, yaitu yang mengalami toleransi, putus zat, tidak
mampu menghentikan kebiasaan menggunakan, menggunakan dosis NAPZA
lebih dari yang diinginkan.

Kriteria berdasarkan DSM-IV-TR yaitu :

a. Kriteria DSM-IV-TR untuk Intoksikasi Zat1


A. Berkembangnya sindrom spesifik zat yang reversible akibat baru saja
mengkonsumsi (atau terpajan pada) suatu zat.
B. Terdapat perubahan perilaku atau psikologis yang maladaptive dan signifikan
yang disebabkan oleh efek zat tersebut pada sistem saraf pusat (agresif, modd
labil, hendaya kognitif, daya nilai terganggu, fungsi social atau okupasional
terganggu) dan timbul selama atau segera setelah penggunaan zat.
C. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
b. Kriteria DSM-IV-TR untuk Ketergantungan Zat1
Suatu pola maladaptif penggunaan zat, yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, yang dimanifestasikan oleh tiga (atau
lebih) hal berikut, terjadi dalam periode 12 bulan yang sama:
1. Toleransi, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
a. Kebutuhan untuk terus meningkatkan jumlah zat untuk mencapai
intoksikasi atau efek yang diinginkan.
b. Penurunan efek yang sangat nyata dengan berlanjutnya penggunaan zat
dalam jumlah yang sama.
2. Putus zat, seperti didefenisikan salah satu di bawah ini:
a. Karakteristik sindrom putus zat untuk zat tersebut (mengacu kriteria A dan B
untuk keadaan purus zat dari suatu zat spesifik)
b. Zat yang sama (atau berkaitan erat) dikonsumsi untuk meredakan atau
menghindari gejala putus zat
3. Zat sering dikonsumsi dalam jumlah lebih besar atau dalam periode yang lebih
lama dari seharusnya
4. Terdapat keinginan persisten atau ketidakberhasilan upaya untuk mengurangi
atau mengendalikan aktivitas penggunaan zat
5. Menghabiskan banyak waktu melakukan aktivitas yang diperlukan untuk
memperoleh zat (cth., mengunjungi banyak dokter atau berkendara jarak

10
jauh), menggunakan zat (cth., merokok seperti kereta api), atau untuk pulih
dari efeknya
6. Mengorbankan atau mengurangi aktivitas reaksional, pekerjaan, atau sosial
yang penting karena penggunaan zat
7. Penggunaan zat berlanjut meski menyadari masalah fisik atau psikologis
rekuren yang dialami mungkin disebabkan atau dieksaserbasi zat tersebut
(cth., saat ini menggunakan kokain walau menyadari adanya depresi
terinduksi kokain atau minum berkelanjutan meski mengetahui bahwa ulkus
akan menjadi lebih parah dengan mengonsumsi alkohol).
c.
Kriteria DSM-IV-TR untuk Penyalahgunaan Zat1
A. Suatu pola maladaptif penggunaan zat yang menimbulkan hendaya atau
penderitaan yang secara klinis signifikan, seperti dimanifestasikan oleh satu
(atau lebih) hal berikut yang terjadi dalam periode 12 bulan:
1. Penggunaan zat berulang mengakibatkan kegagalan memenuhi kewajiban
peran utama dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah (cth., absen berulang
atau kinerja buruk dalam pekerjaan yang berhubungan dengan
penggunaan zat; absen, skors, atau dikeluarkan dari sekolah terkait zat;
penelantaran anak atau rumah tangga)
2. Penggunaan zat berulang pada situasi yang secara fisik berbahaya (cth.,
mengendarai mobil atau mengoperasikan mesin saat sedang mengalami
hendaya akibat penggunaan zat)
3. Masalah hukum berulang terkait zat (cth., penahanan karena perilaku
kacau terkait zat)
4. Penggunaan zat berlanjut meski memiliki masalah sosial atau
interpersonal yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau
dieksaserbasi oleh efek zat (cth., berselisih dengan pasangan tentang
konsekuensi intoksikasi, perkelahian fisik)
B. Gejala tidak memenuhi kriteria ketergantungan Zat untuk kelas zat ini.

d. Kriteria DSM-IV-TR untuk Keadaan Putus Zat1


A. Berkembangnya sindrom spesifik zat akibat penghentian penggunaan zat yang
telah berlangsung lama dan berat.
B. Sindrom spesifik zat menyebabkan penderitaan atau hendaya yang secara
klinis signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi penting
lain.

11
C. Gejala tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.

Kriteria berdasarkan PPDGJ-III yaitu :

a.
Kriteria PPDGJ-III untuk Sindrom ketegantungan2
a)
Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi) untuk
menggunakan zat psikoaktif.
b)
Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk sejak
mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat sedang menggunakan.
c)
Keadaan putus zat secara fisiologis ketika penghentian penggunaan zat atau
pengurangan, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas atau orang
tersebut menggunakan zat atau golongan zat yang sejenis dengan tujuan untuk
menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat.
d)
Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang
diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan
dosis lebih rendah (contoh yang jelas dapat ditemukan pada individu yang
ketergantungan alkohol dan opiad yang dosis hariannya dapat mencapai taraf
yang dapat membuat tak berdaya atau mematikan bagi pengguna pemula).
e)
Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minta lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih dari
akibatnya.
f)
Tetap menggunakan zat meskipun ia menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya, seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol
yang berlebihan, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode
penggunaan zat yang berta, atau hendaya fungsi kognitif berkaitan dengan
penggunaan zat; upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna zat
sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan besarnya
bahaya.

12
b. Kriteria PPDGJ-III untuk Keadaan Putus Zat
a) Keadaan putus zat merupakan salah satu indikator dari sindrom
ketergantungan dan diagnosis sindrom ketergantungan zat harus turut
dipertimbangkan.
b) Keadaan putus zat hendaknya dicatat sebagai diagnosis utama, bila hal ini
merupakan alasan rujukan dan cukup parah sampai memerlukan perhatian
medis secara khusus.
c) Gejala fisik bervariasi sesuai dengan zat yang digunakan. Gangguan
psikologis (misalnya anxietas, depresi, dan gangguan tidur) merupakan
gambaran umum dari keadaan putus zat ini.
Yang khas ialah pasien akan melaporkan bahwa gejala putus zat akan mereda
dengan meneruskan penggunaan zat.

Dalam konsep kedokteran, ketergantungan NAPZA merupakan gangguan


yang menunjukkan adanya perubahan dalam proses kimiawi otak sehingga
memberikan efek ketergantungan (craving, withdrawal, tolerance). Sedang
penyalahgunaan dikaitkan dengan tingkah laku bereksperimentasi, mengalamsi
rasa kecewa, perilaku membangkang, masalah keuangan dan self medication.
Dalam masyarakat, kedua istilah tersebut sering disalahtafsirkan. Pada umumnya
seseorang mengalami penyalahgunaan NAPZA, belum tentu menderita
ketergantungan.2

2.7 Jenis-jenis NAPZA dan Efeknya


Karena potensi ketergantungan yang sangat besar, opioid selalu dianggap
sebagai tolok ukur dalam pembicaraan masalah NAPZA menyangkut terapi,
prevalensi dan lain-lainnya.
1. Alkohol
Umumnya digunakan dalam bentuk minuman beralkohol. Di indonesia,
terutama di daerah Indoneisa Timur dan beberapa tempat di daerah Sumatera,
terdapat antara 2-3 juta orang yang menggunakan minuman alkohol dari ringan
sampai berat. Di Amerika Serikat terdapat 12-18 juta orang mengalami
ketergantungan alkohol dan problem drinkers. Penyalahgunaan alkohol di
kalangan remaja sukar dicegah karena kurang sempurnanya pengawasan. Di

13
banyak negara berkembang, pemerintah umumnya dirasakan bersifat ambivalen,
sebab sebagian besar anggaran belanjanya diambil dari pajak industri minuman
beralkohol. Sebagian remaja sampai usia dewasa cukup bebas dan
berkesempatan menggunakan minuman beralkohol, laki-laki lebih banyak dari
perempuan tetapi populasi peminum perempuan meningkat dan menggunakan
alcohol, usia dewasa lebih stabil menggunakannya secara berkelanjutan.
Jenis-jenis minuman beralkohol di Indonesia sangat bervariasi (dari tradisional
sampai fermentasi buatan, dari berkadar tinggi hingga rendah). Minuman
beralkohol memberikan berbagai gambaran klinis, antara lain :
a) Intoksikasi berupa euforia, cadel, nistagmus, bradikardia, hipotensi, kejang,
koma. Pada keadaan intoksikasi berat, reflek menjadi negatif.
b) Keadaan Putus Alkohol berupa halusinasi, ilusi (bad dream), kejang, delirium
Tremens, gemetar, keluhan gastrointestinal, muka merah, mata merah dan
hipertensi.
c) Gangguan fisik berupa mulai dari radang hati sampai kanker hati, gastritis,
ulkus peptikum, pneumonia, gangguan vaskuler dan jantung, defeisiensi
vitamin, fetal alcohol syndrom.
d) Gangguan mental berupa depresi hingga skizofrenia.
e) Gangguan lain berupa kecelakaan lalu lintas, perkelahian, problem domestik
dan tindak kekerasan.

2. Opioid
Merupakan salah satu golongan NAPZA yang sangat kuat potensi
ketergantungannya, sehingga disebut dengan julukan horor drug. Yang termasuk
golongan opioid adalah morfin, petidin, heroin, metadon, kodein. Golongan
opioid yang paling sering disalahgunakan adalah heroin.
Heroin di Indonesia disebut: putaw (atau pete, hero atau petewe). Heroin
merupakan opioid semisintetik yang yang berasal dari morfin. Bentuk heroin yaitu
kristal putih yang larut dalam air. Bila heroin berwarna berarti berasal dari
kontaminannya.
Di Indonesia, sekurangnya terdapat 300-500 ribu orang dengan
ketergantungan heroin (di AS, sekurangnya 810.000 orang menjadi
ketergantungan heroin ). Studi menunjukkan bahwa jumlah pengguna lama agak

14
menurun selama setahun terakhir, tetapi pengguna pemula terutama remaja terus
bertambah meski tidak bermakna, purity makin rendah (paket murah) dengan
sasaran populasi sosial ekonomi rendah, komplikasi makin marah (HIV/AIDS,
hepatits, TB). Heroin dapat popular disebabkan karena awitan cepat, euforia kuat,
dengan penggunaan dragon dapat terjadi rush (atau abadi) atau penggunaan
secara intra-venous merupakan pilihan utama adiksi.Akibat penyalahgunaan
opioid yaitu :
a) Masalah fisik berupa abses pada kulit sampai septickemia, infeksi karena
emboli, dapat sampai stroke, endokarditis, hepatitis (B dan C), HIV/AIDS,
injeksi menyebabkan trauma pada jaringan saraf lokal, Opiate neonatal
abstinence syndrome.
b) Masalah psikiatri yaitu berupa gejala withdrawal menyebabkan perilaku
agresif, suicide, depresi berat sampai skozofrenia.
c) Masalah sosial yaitu berupa gangguan interaksi di rumah tangga sampai
lingkungan masyarakat, traffic accidents, perilaku kriminal sampai tindak
kekerasan, gangguan perilaku sampai antisosial (mencuri, mengancam,
menodong, membohong, menipu sampai membunuh).
d) Penyebab kematian yaitu reaksi heroin akut menyebabkan kolaps-nya
kardiovaskular dan akhirnya meninggal, overdose karena heroin menekan
susunan saraf pusat, sukar bernafas dan menyebabkan kematian, adanya indak
kekerasan, bronkhopneumonia, endokarditis.

3. Ganja
Daun ganja (juga kembangnya) berasal dari tanaman perdu Cannabis sativa.
Bahan aktifnya berasal dari tanaman ganja yang bersifat adiktif, disebut delta tetra
hidrokannabinol (THK) yang hanya larut dalam lemak. Karena tidak dapat larut
dalam air, THK tinggal lama didalam lemak jaringan (termasuk jaringan lemak
otak, sehingga menyebabkan brain damage).
Gambaran klinis disebakan ganja tergolongan kombinasi antara CNS-
depresant, stimulansia dan halusinogenik. Di Indonesia, ganja disebut dengan
cimek, gelek, maribuana, hashish. Bentuk umumnya yaitu serpihan daun atau
kembang ganja yang diperjual belikan dalam bentuk lintingan, gram-graman, kilo-

15
kiloan hingga berton-ton. Dikenal juga bentuk lain yaitu budha stick dan minyak
ganja.

4. Kokain
Kokain adalah sejenis stimulansi yang di Indonesia saat ini belum begitu
populer. Namun bertambahnya sitaan kokain secara ilegal dan meningkatnya
kasus-kasus penggunaan kokain akhir-akhir ini, bukan tidak mungkin epidemi
akan merajai pasaran peredaran NAPZA dalam masa-masa mendatang. Kokain
dihasilkan dari daun tumbuhan yang disebut Erythroxylon coca. Tanaman tersebut
tumbuh subur di sebelah timur pegunungan Andes di Amerika Selatan.
Bentuk kokain yang diperjualbelikan di Indonesia dalam bentuk bubuk putih.
Harga 1 gram sekitar sejuta dua ratus ribu rupiah (lebih mahal dari heroin).
Umumnya pengguna kokain memulai kebiasaannya dengan cara snorting dan
berakhir dengan menyuntik intravenous atau dengan cara merokok. Akibat
penyalahgunaan kokain adalah:
a) Masalah fisik (dengan penggunaan snorting) berupa pilek terus menerus,
sinusitis, epistaksis, luka-luka pada rongga hidung, perforasi septum nasi.
(dengan suntikan) berupa infeksi lokal pada kulit sampai sistemik (virus,
bakteri, parasit atau jamur), abses daerah kulit, endokarditis bakteri, hepatitis
(B dan C), HIV/AIDS. Inhalasi melalui merokok juga dapat menyebabkan
radang tenggorokan, melanoptysis atau sputum bercak-bercak darah,
bronkhitis kronik sampai pneumonia. Cocain baby (retardasi pertumbuhan
intra-uterine, bayi lahir lebih kecil sampai prematur yang diikuti kelainan
mental berupa irritable, gangguan tidur, kesukaran makan).
b) Masalah psikiatri berupa toleransi dan ketergantungan yaitu sifat toleransi
tubuh terhadap kokain sangat cepat, kendati pengguna tidak menyadari dosis
yang digunakan kian meningkat. Akibatnya, ia tidak mampu mengendalikan
diri, dan untuk mencukupi kebutuhannya ia mengonsumsi kokain dengan
mencampurinya dengan zat adiktif lain (speedball) untuk mendapatkan efek
yang diinginkan.Gejala fisik putus zat kurang dikenal. Namun secara mental
sangat merugikan, berupa agitasi, depresi, fatigue, high craving, cemas,

16
marah meledak-ledak, gangguan tidur, mimpi aneh, makan berlebihan, mudah
tersinggung, mual, otot-otot pegal hingga lethargy.
c) Masalah sosial brupa separasi perkawinan sampai perceraian, pertengkaran
dalam rumah tangga, toleransi karena penggunaan kokain menyebabkan
besarnya biaya penyediaan kokain, terbatasnya penghasilan menyebabkan
hutang yang menumpuk, kehilangan pekerjaan karena hilangnya produktivitas
diri, angka absen yang meningkat, kehilangan proffesional licence atau
certificate, ditahan, dihukum hingga pidana.
d) Penyebab kematian, umumnya karena overdosis (lebih dari 1,2 sampai 1,5
gram bubuk kokain asli) berupa kelumpuhan alat pernapasan, aritmia kordis,
kejang berulang kali, mati lemas karena merasa seperti dicekik, reaksi alergi,
stroke (karena naiknya tekanan darah secara mendadak), kehamilan
(pendarahan antepartum, aborsi). Pada bayi dapat terjadi Sudden Infant Death
Syndrome.

5. Amfetamin
Adalah senyawa kimia yang bersifat stimulansia (lebih sering dikenal dengan
Amphetamine Type Stimulants atau ATS). Dewasa ini oleh sindikat psikotropik
ilegal, derivat amfetamin dipasarkan di Indonesia dalam bentuk ecstasy dan
shabu. Akibat penyalahgunaan amfetamin (termasuk ecstasy dan shabu) adalah:
a) Masalah fisik berupa malnutrisi akibat defisiensi vitamin, kehilangan nafsu
makan, denyut jantung meninggi sehingga menbahayakan bagi mereka yang
pernah mempunyai riwayat penyakit jantung, gangguan ginjal, emboli paru
dan stroke, hepatitis, HIV/AIDS bagi mereka yang menggunakan suntikan
amfetamin.
b) Masalah psikiatri berupa Perilaku agresif, psikosis paranoid sampai
skizofrenia, kondisi putus zat yang menyebabkan lethargy, fatigue, exausted,
serangan panik, gangguan tidur, depresi berat, halusinasi (terutama ecstacy
dan shabu.
c) Masalah social berupa tindak kekerasan (berkelahi), kecelakaan lalu
lintas,aktivitas kriminal.

6. Benzodiazepin

17
Derivat benzodiazepin dikenal dalam bentuk tablet dan suntikan. Dalam
bentuk suntikan umumnya menggunakan injeksi diazepam. Sedang dalam bentuk
tablet cukup bervariasi: nitrazepam, flunitrazepam, flurazepam, bromazepam, dan
diazepam. Akibat penyalahgunaan benzodiazepin menimbulkan:
a) Masalah fisik berupa penggunaan suntikan dapat menyebabkan abses, infeksi
sitemik dan hepatitis, HIV/AIDS, gangguan gastrointestinal, gangguan
neurologic, malnutrisi.
b) Masalah psikiatri berupa perilaku agresif terutama dalam keadaan intoksikasi,
ansietas, panik, withdrawal state menimbulkan perilaku agresif dan violence.
c) Masalah social berupa mengganggu interaksi dalam rumah tangga dan
lingkungan masyarakat, tindak pidana dan terlibat hokum, dan enggunaan
finansial terganggu (boros dan tidak menentu).

2.8 Gejala Klinis Penyalahguna Zat

a. Perubahan Fisik
Gejala fisik yang terjadi tergantung jenis zat yang digunakan, tapi secara
umum dapat digolongkan sebagai berikut :
1. Pada saat menggunakan NAPZA
berjalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh),
mengantuk, agresif,curiga.
2. Bila kelebihan disis (overdosis)
Nafas sesak,denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, nafas
lambat/berhenti, meninggal.
3. Bila sedang ketagihan (putus zat/sakau)
Mata dan hidung berair,menguap terus menerus, diare, rasa sakit
diseluruh tubuh, takut air sehingga malas mandi, kejang, kesadaran
menurun.
4. Pengaruh jangka panjang
Penampilan tidak sehat,tidak peduli terhadap kesehatan dan kebersihan,
gigi tidak terawat dan kropos, terdapat bekas suntikan pada lengan atau
bagian tubuh lain (pada pengguna dengan jarum suntik).

b. Perubahan Sikap dan Perilaku


1. Prestasi sekolah menurun,sering tidak mengerjakan tugas sekolah,sering
membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab.

18
2. Pola tidur berubah,begadang,sulit dibangunkan pagi hari,mengantuk
dikelas atau tampat kerja.
3. Sering berpegian sampai larut malam,kadang tidak pulang tanpa memberi
tahu lebih dulu.
4. Sering mengurung diri, berlama-lama dikamar mandi, menghindar
bertemu dengan anggota keluarga lain dirumah.
5. Sering mendapat telepon dan didatangi orang tidak dikenal oleh keluarga,
kemudian menghilang.
6. Sering berbohong dan minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tak
jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik
sendiri atau milik keluarga, mencuri, mengompas, terlibat tindak
kekerasan atau berurusan dengan polisi.
7. Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, marah, kasar sikap
bermusuhan, pencuriga, tertutup dan penuh rahasia.

2.9 Gambaran kekambuhan Penyalahguna Zat


Kekambuhan (relaps) merupakan perilaku penggunaan kembali narkoba
setelah menjalani penanganan secara rehabilitasi yang ditandai dengan adanya
pemikiran, perilaku, dan perasaan adiktif setelah periode putus zat. Relaps dapat
terjadi apabila individu bergaul kembali dengan teman-teman pemakai narkoba
atau bandarnya, Individu tidak mampu menahan keinginan atau sugesti untuk
memakai kembali narkoba dan individu mengalami stres atau frustasi. Oleh
karena itu terapi detoksifikasi seringkali dilakukan dengan tujuan untuk dapat
menghentikan kecanduan. Namun demikian pada intinya, kesadaran dan niat
penuh dari dalam hati merupakan senjata yang paling ampuh untuk memerangi
keinginan.3,4
Secara umum dampak akibat penggunaan narkotika terbagi menjadi dua
yaitu dampak secara psikis dan dampak secara sosial. Untuk dampak psikis akibat
yang sering muncul adalah pengguna menjadi sangat menurun produktivitasnya,
kehilangan rasa percaya diri, memiliki sifat apatis serta mudah curiga kepada
orang lain bahkan kepada orang terdekatnya seperti orang tuan atau saudara
kandungnya sendiri. Sedangkan untuk dampak sosial akibat yang sering muncul

19
adalah pengguna dikucilkan oleh masyarakat karena dianggap merupakan orang
yang berperilaku kurang baik dan merugikan. Dan untuk para pengguna yang
relaps efek yang ditimbulkan adalah dosis pemakaian yang semakin meningkat
dari sebelumnya.4
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekambuhan penyalahgunaan zat
terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal yang diketahui
memiliki pengaruh terhadap terjadinya relaps yakni motivasi dari dalam diri,
keadaan emosi, depresi dan gangguan kecemasan, gangguan mood. Sedangkan
Faktor eksternal yang memiliki pengaruh terhadap relaps yaitu konflik
interpersonal dan tekanan sosial, dukungan sosial dan riwayat keluarga sbg
pengguna, ekonomi keluarga yang memadai.

Rehabilitasi jangka panjang dalam hal ini yang digunakan adalah


Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku.
Direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan napza
dalam waktu lama dan berulang kali relaps atau sulit untuk berada dalam kondisi
abstinen atau bebas dari napza. Therapeutic Community (TC) dapat digambarkan
sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang membutuhkan
lingkungan yang mendukung dan lingkungan lain yang bermakna dalam
mempertahankan kondisi bebas napza atau abstinen.

Pencegahan relaps dapat dilakukan melalui pendekatan perilaku kognitif


untuk manajemen diri yang berfokus pada pengajaran individu untuk
mendapatkan alternatif terhadap situasi yang memiliki resiko tinggi akan
terbentuknya kembali perilaku relaps, ada tiga kondisi yang beresiko tinggi akan
membentuk perilaku relaps kembali yaitu emosi negatif, konflik interpersonal,
dan tekanan sosial. Program yang dapat dilaksanakan untuk pencegahan relaps
yaitu aftercare program. Program yang bertujuan agar individu mempunyai tempat
atau kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta memiliki lingkungan
hidup yang positif.

2.10 Penanganan dan Rehabilitasi

20
Beberapa orang yang mengalami masalah terkait zat dapat sembuh tanpa
penanganan formal, terutama seiring dengan bertambahnya usia mereka. Untuk
pasien dengan gangguan yang tidak begitu parah, seperti kecanduan nikotin,
intervensi yang relative singkat sering kali sama efektifnya dengan
penanganganan yang lebih intensif. Oleh karena intervensi singkat ini tidak
mengubah lingkungan, mengubah perubahan otak terinduksi zat, atau member
keterampilan baru, perubahan motivasi pasien (perubahan kognitif) mungkin
paling dapat menjelaskan dampaknya pada perilaku menggunakan obat. Untuk
individu yang tidak merespons atau ketergantungannya lebih parah, berbagai
intervensi tampaknya efektif.1
Membedakan prosedur dan teknik yang spesifik (terapi individu, terapi
keluarga, terapi kelompok, pencegahan relaps, dan farmakoterapi) dengan
program penanganan, sangat membantu. Sebagian besar program menggunakan
sejumlah prosedur spesifik dan melibatkan bebrapa disiplin professional dan juga
nonprofessional yang memiliki keterampilan khusus atau pengalaman pribadi
dengan masalah zat yang sedang ditangani. Program penanganan terbaik
menggabungkan prosedur dan disiplin yang spesifik untuk memenuhi kebutuhan
pasien secara individual setelah dilakukan pengkajian yang cermat.1
Program seringkali dikelompokkan secara luas berdasarkan satu atau lebih
karakteristik yang menonjol, apakah program hanya bertujuan mengontrol
keadaan putus zat akut atau konsekuensi penggunaan obat saat ini atau difokuskan
pada perubahan perilaku jangka panjang.
Pendekatan penanganan untuk zat yang tercakup dalam bagian ini bervariasi
menurut zatnya, pola penyalahgunaan, ketersediaan sistem pendukung
psikososial, dan gambaran individu pasien. Dua tujuan utama penanganan
penyalahgunaan zat telah ditentukan oleh, yang pertama adalah abstinensi zat dan
yang kedua adalah kesejahteraan fisik, psikiatri, serta psikososial pasien. Pada
beberapa kasus, mungkin perlu memulai terapi di unit rawat inap. Meski situasi
rawat jalan lebih disukai dibanding situasi rawat inap, godaan yang tersedia bagi
pasien rawat jalan untuk menggunakan secara berulang mungkin menjadi
rintangan yang terlalu berat untuk memulai terapi. Penanganan rawat inap juga

21
diindikasikan pada kasus gejala medis atau psikiatri berat, riwayat gagalnya
penanganan rawat jalan, kurangnya dukungan psikososial, atau riwayat
penyalahgunaan zat jangka panjang atau sangat berat. Setelah periode awal
detoksifikasi, pasien memerlukan periode rehabilitas terus-menerus. Sepanjang
penanganan, terapi individu, kelompok, atau keluarga bisa jadi efektif. Edukasi
tentang penyalahgunaan zat serta dukungan terhadap upaya pasien adalah faktor
eksternal dalam penanganan.1

22
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Penyalahgunaan zat merupakan suatu pola pemakaian zat yang


maladaptive yang menimbulkan gejala-gejala gangguan kognitif, perilaku, dan
fisiologik. Banyak hal yang meneyebabkan penyalahgunaan zat antara lain adalah
faktor individu dan lingkungan serta faktor zat itu sendiri. Penyalahgunaan zat,
selain memberikan gejala fisik, menimbulkan gejala pada fungsi mental,misalnya
gangguan pada suasana perasaan atau bahkan gejala psikotik, sehingga
menimbulkan hendaya atau distress dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan fungsi
penting lainnya.

Dalam sudut pandang psikologis salah satu motif utama penggunaan


ketergantungan zat adalah untuk meningkatkan mood, sehingga zat bernilai positif
yaitu dapat meningkatkan mood positif dan mengurangi mood negatif serta dapat
mengurangi stres dan ketegangan. Sosiokultural menekankan pentingnya peran
kelompok, orang tua, serta media dalam menentukan perilaku yang dapat diterima
dan yang tidak, antara lain bagaimana contoh yang diberikan keluarga berperan
dalam pembentukan penyalahgunaan zat dan penting juga untuk diperhatikan
adalah ketersediaan zat di lingkungan jika banyak zat diperjualbelikan akan
menimbulkan kecendrungan ke arah penyalah-gunaan zat.

3.1 Saran
1. Meningkatkan pengetahuan mengenai penggunaan zat dan dampaknya
bagi semua kalangan (remaja, dewasa).
2. Meningkatkan Perhatian terhadap Program Terapi dan Rehabilitasi
NAPZA.
3. Meningkatkan program-program pencegahan penyalahgunaan,
ketergantungan, dan relaps sehingga bisa mengurangi penggunaan zat di
Indonesia .

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Sadock BJ, Sadock VA, Gangguan Terkait Zat edited by Muttaqin H,
Sihombing Retna NE. in Kaplan&Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2 nd
ed. ECG: Jakarta. 2012, p. 86-146.
2. Maslim R, ed. Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat. in
PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kesehatan Jiwa FK-Unika Atmajawa: Jakarta.
2001, p. 36-43.
3. Husain AB, Gangguan Penggunaan Zat. in Buku Ajar Psikiatrik edited by
Elvira SD, Hadisukanto G. Badan Penerbit FKUI: Jakarta. 2010, p. 138-69
4. Humas BNN. Rehabilitasi Adiksi Berbasis Masyarakat Dalam Rangka
Dukungan Penguatan Lembaga Rehabilitasi Komponen Masyarakat.
Cited. 2013 Augs.26. Available from URL:www.bnn.go.id

24

Anda mungkin juga menyukai