Anda di halaman 1dari 19

KEDAULATAN ALLAH DAN GENERASI ZAMAN

KEDAULATAN ALLAH DAN GENERASI ZAMAN


(Perspektif dan Panggilan Iman Kristen Menyoroti Generasi Tua dan Generasi Muda)

oleh: Denny Teguh Sutandio

Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai
dengan firman-Mu.
(Mzm. 119:9)

Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.


(1Tes. 5:21)

I. PENDAHULUAN
Di dunia yang kita hidupi sekarang ini, kita mendapati dua generasi yang sedang eksis, yaitu generasi
tua dan muda. Masing-masing memiliki ciri khas sendiri dan biasanya mereka saling berbenturan,
entah karena alasan primer maupun sekunder. Hal ini juga terjadi pada orang-orang Kristen.
Biasanya ada generasi tua terlalu memaksakan beberapa pandangan kaku kepada generasi muda
yang mengakibatkan generasi muda tertekan, namun di sisi lain, banyak generasi muda yang
menghina generasi tua dan hidup semaunya sendiri. Semua generasi tersebut tidak bisa dilepaskan
dari apa yang membentuk sikap mereka yaitu presuposisi mereka. Mari kita menyelidiki apa
presuposisinya, lalu presuposisi ini membentuk ciri khas mereka, dan bagaimana kedaulatan Allah
menjembatani gap antara kedua generasi ini.

II. GENERASI ZAMAN DAN PRESUPOSISINYA


Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa setiap zaman memiliki roh/spirit zaman (Inggris:
spirit of the age; Jerman: zeitgeist). Bagi saya, spirit zaman inilah yang menjadi presuposisi dasar
setiap kepercayaan, pemikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang hidup di zaman tersebut.
Meskipun demikian, tidak berarti orang yang hidup di zaman tertentu pasti mengadopsi spirit zaman
tersebut. Ada kasus di mana orang yang hidup di zaman tertentu mengadopsi spirit zaman
sesudahnya atau sebelumnya. Namun, kali ini kita akan melihat dengan jelas akibat dari aplikasi spirit
zaman ini. Jika seseorang hidup di zaman pramodern, orang itu akan mementingkan iman dan
kepercayaan (baik yang benar maupun yang salah). Orang di zaman pramodern menganggap banjir
dan bencana alam lainnya adalah kutukan dari Tuhan. Jika seseorang hidup di zaman modern,
banyak orang sudah tidak lagi mementingkan iman, namun memberhalakan pengetahuan rasio. Hal
ini dimulai di abad Renaissance dan memuncak pada abad Pencerahan, di mana iman kepercayaan
diragukan dan rasio yang dijunjung tinggi. Rasionalisme dan isme-isme lainnya berkembang bukan
mulai di zaman pramodern, namun di zaman modern. Kemudian, jika seseorang hidup di zaman
postmodern dan New Age, banyak orang mulai meninggalkan penekanan rasio dan beralih kepada
perasaan (dan aspek-aspek lain dalam diri manusia) dan pengalaman kepercayaan di luar Tuhan.
Tidak heran, kepercayaan-kepercayaan yang dahulu dianggap takhayul, sekarang diminati oleh
banyak orang. Bahkan di zaman postmodern, beragam kepercayaan yang aneh-aneh muncul dan
bahkan berkembang dengan pesat. Kepercayaan yang lagi ngetren di zaman ini adalah New Age
Movement (Gerakan Zaman Baru) yang HAMPIR tidak bisa dibedakan dengan Buddhisme dan
Hinduisme, karena Gerakan Zaman Baru diimpor dari kedua agama ini ditambah filsafat dunia Barat.

Pertanyaan lebih lanjut, mengapa setiap zaman memiliki spirit zaman? Jawaban dasarnya adalah
karena dosa manusia. Dosa mengakibatkan manusia kehilangan arah dan tujuan hidup, sehingga
manusia di setiap zaman selalu berubah-ubah dalam menentukan pandangan hidupnya. Adalah
suatu kekonyolan jika ada orang Kristen yang hidup di suatu zaman lalu mengikuti arus zamannya.
Pdt. Dr. Stephen Tong pernah mengutip perkataan seorang hamba Tuhan yang mengatakan bahwa
ikan yang selalu ikut arus adalah ikan yang mati. Demikian juga orang Kristen yang selalu ikut arus
zaman adalah orang Kristen yang mati. Mengapa demikian? Karena orang Kristen demikian
TIDAK memiliki arah dan tujuan hidup yang jelas. Kita akan mencoba melihat aplikasi praktis dari
konsep kesimpangsiuran arah dan tujuan hidup manusia yang merupakan akibat dosa di dalam dua
generasi yang ada: tua dan muda. Sebelum kita masuk ke dalam pembahasan mengenai generasi-
generasi ini, kita harus mengerti presuposisi dosa terlebih dahulu bahwa baik generasi tua dan muda
sama-sama berdosa (meskipun secara respons terhadap wahyu umum Allah masih terdapat sedikit
hal yang benar), sehingga kita nantinya bisa menyorotinya dari perspektif Alkitab.

III. CIRI KHAS GENERASI TUA dan TINJAUAN ALKITABIAH


Tadi kita sudah membahas bahwa dosa mengakibatkan manusia kehilangan arah dan tujuan hidup,
sehingga di setiap zaman, manusia selalu mengubah pandangan hidupnya. Nah, kali ini kita akan
mencoba menelusuri pandangan hidup dari generasi tua, karena generasi ini yang lebih dahulu ada,
lalu kita akan menyoroti dari perspektif Alkitab. Ciri khas generasi tua ini saya bedakan menjadi dua:
positif dan negatif. Meneladani Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. di dalam menyoroti sesuatu hal/gejala,
maka saya akan memulai dari ciri khas positifnya terlebih dahulu, baru nanti disusul dengan ciri khas
negatif.
A. Ciri Khas Positif
1. Lebih Bijaksana
Harus diakui bahwa dalam banyak hal, banyak generasi tua yang lebih berumur itu bijaksana
daripada generasi muda. Jika dibandingkan dengan banyak generasi muda (bahkan yang Kristen)
yang semaunya sendiri dalam memutuskan banyak hal, maka banyak generasi tua lebih bijaksana
dalam memikirkan dan memutuskan sesuatu. Mengapa? Karena biasanya mereka lebih matang
dalam memikirkan dan memutuskan sesuatu hal. Mengapa mereka matang? Karena mereka sudah
berpengalaman. Istilahnya, sudah banyak makan asam garam. Biasanya mereka tidak akan
terkaget-kaget dengan gejala yang terjadi di sekitarnya pada zaman di mana dia hidup (zaman
postmodern), karena gejala-gejala tersebut adalah gejala yang sudah pernah terjadi di zamannya.
Biasanya juga mereka lebih peka melihat sesuatu ketimbang generasi muda. Oleh karena itu, tidaklah
salah jika kita sebagai para generasi muda meminta nasihat bijak dari para generasi tua, meskipun
sebagai orang Kristen yang beres, kita tetap harus menguji nasihat-nasihat tersebut di bawah terang
Alkitab. Namun apakah berarti makin tua seseorang makin bijaksana? TIDAK juga. Karena fakta
membuktikan bahwa ada juga generasi tua yang makin tua bukan makin matang dan bijaksana dalam
memutuskan segala sesuatu, namun menjadi paranoid dan masih berorientasi pada hal-hal
fenomenal.

2. Lebih Memikirkan Jangka Panjang


Lebih bijaksananya banyak generasi tua ditandai dengan pikiran dan sikap mereka yang lebih
memikirkan jangka panjang. Mereka bisa memikirkan jangka panjang karena banyak dari mereka
tidak terfokus pada pemenuhan kebutuhan lahiriah yang bersifat sesaat. Misalnya, dalam
mempergunakan uang, banyak generasi tua yang beres yang mendidik anak-anaknya untuk hemat
dalam mempergunakan uang (meskipun dalam beberapa hal, hemat HAMPIR tidak bisa dibedakan
dengan pelit, hehehe). Lebih bijaksana lagi jika para generasi tua Kristen yang beres mendidik para
generasi muda untuk mempergunakan uang secara bertanggung jawab demi kemuliaan Tuhan
(bukan hanya sekadar hemat saja).

Di satu sisi, memikirkan jangka panjang tidaklah salah, namun harus diingat, di sisi lain, terlalu
berfokus memikirkan jangka panjang itu juga memiliki kelemahan dan tentunya bagi orang Kristen
berbahaya dan tidak beres. Apa kelemahannya? Kelemahannya adalah inkonsisten diri. Banyak
generasi tua (non-Kristen) yang selalu mengajar generasi muda untuk hemat dalam mempergunakan
uang, namun di sisi lain, ketika ada generasi muda Kristen yang memberitakan Injil kepada generasi
tua yang non-Kristen, apa reaksi generasi tua ini? Kebanyakan menolak, mengapa? Selain alasan
primernya adalah karena anugerah Allah belum tiba pada orang itu, alasan lainnya adalah karena
mereka setia pada tradisi leluhur yang tidak menyelamatkan. Dengan kata lain, filosofi jangka panjang
menurut generasi tua ini adalah tetap bersifat sementara, karena tidak memikirkan jangka panjang
yang sejati yaitu kekekalan. Bagaimana dengan beberapa (atau mungkin banyak) generasi tua
Kristen? Sama saja. Mereka selalu memikirkan jangka panjang yang tetap bersifat sementara,
bukan ditinjau dari perspektif kekekalan.

Apa bahayanya? Pertama, hidupnya berpusat pada diri dan menjadi sombong. Karena terlalu
menekankan sikap memikirkan jangka panjang bisa mengakibatkan hidup generasi muda berpusat
kepada diri sendiri dan bukan kepada Allah. Jika para generasi tua terlalu menekankan sikap hemat
kepada generasi muda, akibatnya tidak heran, semakin banyak generasi muda yang sukses bukan
bersyukur atas anugerah-Nya, tetapi menjadi sombong, karena mereka berpikir bahwa
kesuksesannya diraih karena kerja kerasnya yang hemat mempergunakan uang, dll (jika contoh
kasusnya: para generasi tua yang mengajari generasi muda untuk hidup hemat). Bahaya kedua
adalah kuatir. Orang yang terlalu menekankan sikap memikirkan jangka panjang mengakibatkan
orang itu makin kuatir. Mengapa? Karena orang yang terlalu menekankan sikap memikirkan jangka
panjang mengakibatkan hidupnya untuk diri sendiri dan tidak usah heran, nantinya orang ini menjadi
kuatir. Kekuatiran ini muncul karena orang muda ini terlalu berfokus pada uang. Bahaya ketiga adalah
penuh perhitungan. Banyak generasi tua yang mengindoktrinasi generasi muda untuk hemat dalam
menggunakan uang. Artinya, di dalam mengeluarkan uang untuk membeli atau memberi sesuatu, kita
harus mempertimbangkan apakah sesuatu itu penting atau tidak. Sepintas hal ini ada benarnya,
karena jika kita terlalu boros membeli dan memberi sesuatu yang tidak ada nilainya, itu juga sia-sia,
namun di sisi lain, kita melihat konsep ini berakibat pada sikap penuh perhitungan. Jangan heran,
kalau ada orang Kristen yang disuruh memberi persembahan dan persepuluhan pun penuh
perhitungan. Saya akan memberikan contohnya. Di dalam Seminar Keluarga: How to Handle Money?
pada tanggal 27 Februari 2010 di Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya, Pdt.
Prof. Joseph Tong, Ph.D. memberikan contoh bahwa ada salah satu jemaat gereja yang memiliki dua
uang dengan jumlah yang berbeda (kecil dan besar; misalnya: US$1 dan US$100), lalu jemaat ini
berencana memberikan US$1 untuk persembahan, namun ternyata dia salah memasukkan uangnya,
sehingga yang dimasukkan ke kantong persembahan adalah US$100. Setelah kebaktian selesai, ia
memberanikan diri mendatangi pendetanya untuk meminta balik uang kembalian dari uang
persembahan yang telah dimasukkannya ke kantong persembahan, karena ia telah salah
memasukkan uangnya tersebut.

3. Lebih Beretika
Hal terakhir yang bisa kita pelajari dari banyak generasi tua, yaitu lebih beretika. Dibandingkan
dengan banyak generasi muda hari-hari ini, kita harus mengakui bahwa banyak generasi tua yang
lebih beretika. Artinya, mereka lebih memiliki etika sopan santun, dll di dalam bersikap dan bertingkah
laku. Tentu, hal ini tidaklah salah dari perspektif Alkitab, karena Alkitab juga mengajar pentingnya
etika sebagai warga negara Kerajaan Sorga. Para generasi muda harus banyak belajar tentang etika
selain dari Alkitab, juga dari banyak generasi tua.

Namun, di sisi lain, etika tetap harus ada batasannya, yaitu Alkitab. Menjadi manusia yang beretika itu
baik dan benar, tetapi jangan menjadi ekstrem. Ada generasi tua yang terlalu menekankan etika
sampai-sampai akhirnya dia menjadi seorang legalis yang kaku. Karena terlalu menekankan etika
berlebihan (dan tentunya sikap sungkan), maka tidak heran, mengutip perkataan Pdt. Erastus
Sabdono, D.Th., banyak orang dari tradisi Timur enggan mengkritik dan menegur orang. Mengkritik
dan menegur orang dianggap tidak beretika, padahal Alkitab sendiri mengajar kita untuk menegur
orang yang salah baik ajaran maupun sikapnya (bdk. 2Tim. 4:2).

B. Ciri Khas Negatif


Di samping ketiga ciri khas positif dari generasi tua, saatnya kita menyoroti ciri khas negatifnya.
1. Generasi Tua = Tuhan
Ciri khas negatif dari banyak generasi tua adalah dilandasi oleh presuposisi dasar yang ditekankan
baik secara eksplisit maupun implisit yaitu: generasi tua = Tuhan. Karena terlalu yakin bahwa dirinya
sebagai generasi tua sudah banyak makan asam garam (sampai darah tinggi, kolesterol, dll, hahaha),
maka banyak generasi tua menjadi orang yang sombong dan ada yang sampai berani secara
eksplisit maupun implisit menganggap dirinya identik dengan Tuhan yang harus ditaati mutlak
(tanpa argumentasi). Begitu generasi muda mengeluarkan pendapat dan keputusan yang berbeda
(dalam hal sekunder), maka biasanya generasi tua langsung mencap generasi muda ini sebagai
orang yang membangkang. Atau meskipun mereka tidak mengklaim diri sebagai Tuhan, mereka
mengindoktrinasi anaknya untuk percaya bahwa kehendak Tuhan bagi seorang anak hanya melalui
orangtuanya saja. Konsep-konsep ini jika dimutlakkan secara berlebihan, bisa berbahaya, bahkan
saya bisa mengatakan bahwa hal itu adalah DOSA. Mengapa? Karena dosa bukan dilihat secara
fenomenal, namun secara esensial, yaitu melawan Allah atau menurut Rev. Prof. Cornelius Van Til,
Ph.D., dosa adalah mengganti standar Allah dengan standar manusia berdosa.

2. Kaku, Kolot, Keras Kepala, dan Sok Tahu


Karena dilandasi oleh presuposisi bahwa generasi tua = Tuhan, maka muncullah akibatnya, yaitu:
Pertama, kaku dan kolot. Karena menganggap bahwa generasi tua = Tuhan, maka beberapa (atau
mungkin banyak) generasi tua mengindoktrinasi dan menerapkan konsepnya secara kaku dan kolot
(tanpa mau mendiskusikan kepada anaknya tentang konsep-konsep yang telah diindoktrinasikannya
itu). Misalnya, tradisi makan bersama. Tentu tidak salah jika satu keluarga memiliki tradisi makan
bersama di satu meja makan, namun hal ini jangan menjadi tradisi yang diekstremkan dan
dimutlakkan, lalu mengajar bahwa anaknya tidak boleh makan terlebih dahulu sebelum orangtuanya
bersiap untuk makan. Ambil contoh, jika orangtuanya ada urusan mendadak yang mengakibatkan
mereka pulang kerja sampai larut malam (di atas Pkl. 21.00), apakah si anak tidak boleh makan
terlebih dahulu sebelum orangtuanya pulang rumah? Jika hal ini menjadi kebiasaan mutlak, maka si
anak lama-kelamaan akan menderita sakit maag.

Kedua, keras kepala. Karena beriman bahwa generasi tua = Tuhan, maka beberapa (atau
mungkin banyak) generasi tua menjadi keras kepala. Mengapa saya mengatakan bahwa mereka
keras kepala? Karena mereka kebanyakan bersikukuh HANYA pada pandangan mereka sendiri
(dengan dasar argumentasi bahwa pandangan orang yang sudah banyak makan asam garamlah
yang paling benar) dan tidak mau berdiskusi secara objektif dengan para generasi muda atau
anaknya. Kalaupun secara perkataan, ada generasi tua yang mengatakan bahwa dirinya mau
berdiskusi dengan generasi muda/anaknya, biasanya mereka berdiskusi dengan menggunakan
pendekatan pokoke (pokoknya; Pdt. Sutjipto Subeno mengatakan bahwa jika orang sudah
mengatakan pokoke, itu berarti modal dasarnya sudah dikeluarkan dan semua pembicaraan/diskusi
berhenti) alias pendekatan subjektif di dalam berdiskusi. Ambil contoh, ada masalah X.
Orangtua/generasi tua menafsirkan masalah/hal X sebagai A, namun anak/generasi muda
menafsirkannya sebagai B, lalu karena merasa paling berotoritas, maka orangtua/generasi tua
memaksakan tafsiran A terhadap masalah X, padahal jika mau diteliti secara objektif, X bisa
ditafsirkan sebagai A maupun B (hal ini TIDAK berarti saya mendukung penafsiran yang TIDAK setia
pada sumber). Saya belajar hal ini dari seorang rekan gereja saya di GRII Andhika, Surabaya (Sdri.
Ruth Winarto) yang mengajar saya bahwa satu masalah/hal JANGAN ditafsirkan/dimengerti dari satu
sudut, namun dari berbagai sudut. Hai orang Kristen bertobatlah dan belajarlah dewasa, belajarlah
untuk TIDAK berpikir sempit menyoroti satu masalah. Terlalu sering saya mengamati beberapa (atau
mungkin banyak) generasi tua/orangtua Kristen yang terlalu pede mengatakan bahwa dirinya paling
bijaksana ternyata tidak sungguh-sungguh bijaksana, karena terlalu berpikir sempit di dalam
menyoroti suatu hal.

Ketiga, sok tahu. Karena terlalu yakin bahwa generasi tua = Tuhan, maka selain keras kepala,
banyak generasi tua menjadi orang yang sok tahu. Artinya, mereka menjadi orang yang merasa diri
paling mengetahui segala sesuatu apalagi anak-anak mereka. Bukan menjadi rahasia umum,
orangtua paling mudah mengeluarkan pernyataan, Orangtua paling mengerti anak. Benarkah
orangtua paling mengerti anaknya? Jika demikian, mengapa ada kasus di mana anak bisa kabur dari
rumah, karena tidak tahan ditekan/disiksa orangtuanya? Biasanya para generasi tua berargumentasi
bahwa itu orangtua yang ngawur. Apakah orangtua yang tidak ngawur 100% bisa mengerti anaknya?
Hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, pernyataan ini ada benarnya, mengapa? Karena orangtua
yang melahirkan anaknya, maka jika dibandingkan dengan teman atau saudara dari anaknya, tentu
orangtua yang lebih mengerti anaknya. Namun, di sisi lain, konsep ini juga salah. Karena yang paling
mengerti anak tentu Tuhan, Pencipta anak. Kedua, teman bisa lebih mengerti anak, karena mungkin
sekali anak kurang terbuka pada orangtuanya, namun terbuka pada teman-temannya. Mengapa anak
bisa lebih terbuka pada teman-temannya dan bukan pada orangtuanya? Jika kasusnya demikian,
kesalahan 100% tidak selalu terletak pada si anak, namun orangtua tetap harus mengintrospeksi diri.
Apa yang dilakukan orangtua sehingga anaknya sendiri kurang terbuka kepada mereka, namun lebih
terbuka pada teman-temannya? Mengapa anaknya bisa dengan mudah curhat kepada temannya,
namun tidak kepada orangtuanya? Mungkin sekali orangtuanya terlalu otoriter, cerewet, lebay,
paranoid, dan terlalu mengurusi anaknya untuk hal-hal sekunder. Terkadang anak merindukan
orangtua yang bisa diajak diskusi objektif, namun apa daya, orangtua (yang lebih parah mengaku diri
Kristen bahkan Reformed lagi) yang otoriter, lebay, dan paranoid menginginkan anaknya untuk taat
mutlak tanpa argumentasi. Sehingga jangan salahkan anaknya jika ia lebih senang curhat dengan
teman sebayanya ketimbang dengan orangtuanya yang selalu mengomel untuk BANYAK alasan
yang tidak jelas. Jika alasannya karena ini, para generasi tua/orangtua harus bertobat. Namun kalau
alasannya adalah karena anak itu memang lebih cocok dengan temannya karena sama-sama
bejatnya, maka yang perlu bertobat adalah anaknya!

Kesok tahuan generasi tua ditandai dengan kesewenangan mereka menafsirkan maksud generasi
muda dengan perspektif generasi tua. Meskipun dalam beberapa hal, tafsiran para generasi tua ada
benarnya, namun TIDAK berarti 100% tafsiran mereka pasti benar dan cocok. Teman saya dari
Gereja Kebangunan Kalam Allah (GKKA) Tenggilis, Surabaya mengatakan bahwa orangtuanya
pernah memberi tahu dia untuk berhati-hati dengan lawan jenis yang sedang mendekatinya itu,
namun rekan saya ini tidak percaya. Alhasil, fakta membuktikan bahwa lawan jenis ini akhirnya
meninggalkan teman saya ini demi mengejar cewek pujaan hatinya. Dari situ, kita bisa menyimpulkan
bahwa TERKADANG nasihat orangtua/generasi tua ada benarnya, namun perlu diingat: kasus
khusus TIDAK boleh dijadikan hal umum, lalu menyimpulkan bahwa nasihat orangtua HARUS ditaati
secara mutlak, karena itu adalah kehendak Tuhan. Ingat, titah ketiga dari Dasa Titah adalah jangan
menyebut nama Tuhan Allahmu dengan sembarangan! Jangan berani menyebut sesuatu itu dari
Tuhan, jika itu memang bukan dari Tuhan!
3. Cerewet untuk Hal-hal yang Sekunder
Ev. Yakub Tri Handoko, Th.M. pernah mengutip perkataan seorang jemaatnya bahwa kalau orang
masih muda terlalu menekankan hal-hal detail, namun kalau sudah tua biasa menekankan hal-hal
praktis. Di satu sisi, konsep ini ada benarnya, namun di sisi lain, fakta berkata lain. Tidak jarang,
semakin tua seseorang, semakin cerewet orang itu, bahkan untuk hal-hal yang tidak terlalu penting.
Berbicara tentang filsafat cerewet, saya membagikan cerewet menjadi dua hal: cerewet untuk hal-
hal penting/primer dan untuk hal-hal yang kurang bahkan tidak penting (sekunder atau mungkin
tersier). Kalau untuk hal-hal yang penting/primer, misalnya, masalah iman dan tingkah laku yang tidak
beres dari segi etika Alkitabiah, maka generasi tua diperbolehkan cerewet, namun cerewet ini harus
disertai teguran dan nasihat yang membangun bukan menjatuhkan dan menuduh secara
membabibuta dengan mengekstremkan apa yang tidak dilakukan oleh generasi muda. Cerewet ini
saya sebut sebagai cerewet yang bernilai/berguna/bermutu (valuable/useful talkative). Sedangkan
cerewet model kedua adalah untuk hal-hal sekunder bahkan tersier, misalnya masalah kriteria
sekunder di dalam memilih pasangan hidup, penilaian terhadap seseorang dari sisi sekunder (wajah,
dll), pemilihan baju, dll. Cerewet model kedua ini saya sebut sebagai cerewet yang sia-sia bahkan
sampah (useless/hoax talkative). Yang membuat saya heran, justru kebanyakan generasi tua cerewet
untuk hal-hal sekunder dan jarang untuk hal-hal primer (kecuali generasi tua itu benar-benar anak
Tuhan sejati yang hidupnya untuk Tuhan saja).

Mengapa banyak generasi tua cerewet untuk hal-hal yang sekunder? Karena: Pertama, tidak memiliki
presuposisi iman yang beres. Generasi tua Kristen yang iman dan aplikasi imannya sudah tidak beres
biasanya dengan mudah (tanpa berpikir kritis dan objektif) menelan mentah-mentah konsep dunia
yang diimpor oleh sesama generasi tua Kristen. Mereka bisa mengimpor konsep dunia dari sesama
generasi tua Kristen ini karena mereka terlalu banyak bergaul bukan dengan firman Tuhan, namun
dengan kumpulan generasi tua yang terlalu menekankan hal-hal fenomenal. Ini bukan sekadar teori
saja, saya sudah memiliki realitas akan hal ini. Ada orangtua Kristen yang memutuskan siapa
pasangan hidup bagi anaknya (memang perlu diketahui, mungkin sekali, si anak ini belum dewasa
secara iman dan penilaian). Orangtua yang menentukan secara mutlak siapa pasangan hidup bagi
anaknya merupakan dampak/akibat praktis dari konsep jodoh di tangan manusia! Nah, yang lebih
celaka, konsep ini diimpor oleh orangtua Kristen lainnya di mana anaknya cukup dewasa dalam
iman dan penilaian. Entah mengapa ya generasi tua yang selalu mengklaim diri paling bijaksana
dan berpikir panjang, tetapi herannya di sisi lain juga tetap tidak bisa bijaksana berdasarkan firman
Tuhan dan berpikir panjang dari sudut pandang kekekalan? Apakah mereka sudah terlalu diikat oleh
belenggu tradisi, sehingga mata iman mereka telah dibutakan oleh ilah tradisi? Biarlah para generasi
tua Kristen khususnya Reformed benar-benar bertobat dan tidak ikut arus! Jangan berani mengklaim
diri Kristen bahkan Reformed jika masih tradition-centered atau parent-centered! Kedua, faktor
pribadi. Orang yang dari kecil sudah dimanja (otoriter/bos kecil), di mana kalau keinginannya dalam
hal sekunder TIDAK dituruti, ia akan marah, tidak usah heran, sikap kekanak-kanakan ini akan
terbawa sampai tua. Orang ini akan cerewetnya bukan main, marah, ngomel, dan ngambek jika
keinginannya dalam hal sekunder TIDAK dipatuhi secara mutlak tanpa argumentasi sama sekali!
Ingatlah, kedewasaan TIDAK hanya diukur dari faktor usia! Atau tidak menutup kemungkinan latar
belakang pekerjaan dahulu membuat dia akhirnya menjadi seorang yang luar biasa cerewet untuk
hal-hal sekunder. Ada orang yang dahulu berprofesi sebagai manager atau direktur sebuah
perusahaan, kemudian menjadi pendeta dan bahkan gembala sidang, namun latar belakang
manager/direkturnya itu masih melekat. Akibatnya, meskipun dia adalah pendeta dan bahkan
gembala sidang, jiwa penggembalaannya tidak ada, malahan yang ada jiwa BOS yang membungkam
semua pendapat jemaatnya (dengan asumsi: jemaat disamakan dengan pegawai/karyawannya).
Ketiga, faktor usia. Ada suatu dalil sekuler bahwa semakin tua seseorang, ia akan kembali seperti
anak-anak. Artinya, orang tersebut akan semakin cerewet kalau keinginannya tidak dipenuhi seperti
bayi yang menangis kalau lapar atau haus. Orang tersebut minta diperhatikan seperti bayi yang minta
dibuatkan susu atau digendong. Jika kasusnya demikian, maka semakin tua seseorang, seharusnya
orang itu TIDAK boleh sombong karena merasa diri paling bijaksana dan banyak makan asam
garam. Tuhan memberikan kebijaksanaan kepada seseorang dengan tujuan agar kebijaksanaan itu
dipakai untuk menjadi berkat bagi orang lain, bukan untuk memamerkan diri bahwa dirinya lebih
bijaksana dari orang lain lalu dengan mudahnya mengkritik orang lain, tetapi tidak mau mengkritik
diri sendiri!

IV. CIRI KHAS GENERASI MUDA dan TINJAUAN ALKITABIAH


Setelah menyelidiki ciri khas generasi tua, maka kita sekarang menyelidiki ciri khas generasi muda.
Saya sebagai seorang generasi muda akan mencoba menyoroti dunia saya sendiri. Seperti di atas,
saya juga akan menyoroti ciri khas generasi muda dari sisi positif dan negatif.
A. Ciri Khas Positif
1. Gaul
Ciri khas positif pertama dari generasi muda adalah gaul. Komunitas anak muda dapat disebut
komunitas gaul. Memang benar apa yang dikatakan Ev. Ivan Kristiono, M.Div. bahwa komunitas gaul
adalah komunitas yang tidak mau bergaul dengan dunia lain di luar komunitas tersebut, namun justru
merupakan komunitas yang menciptakan sebuah peraturan dan ciri khas/keunikan sendiri yang
menandakan masyarakat/komunitas gaul. Dari komunitas gaul, muncullah bahasa gaul. Bahasa gaul,
misalnya: sekolah skul, kuliah kul, teman dekat gebetan (belum jadian), berlebihan lebay,
saudara bro (istilah yang dipakai oleh seorang anak muda cowok memanggil temannya sesama
cowok), istilah bete, dll. Ada juga bahasa gaul di dalam sms, misalnya: aku aq atau q, kamu km,
kok koq, dll. Bagaimana dengan generasi muda Kristen? Apakah mereka tidak boleh gaul? Adalah
suatu kekonyolan, kekakuan, dan kekolotan, jika generasi muda Kristen dilarang menjadi komunitas
gaul dengan dasar argumentasi Roma 12:2. Mengutip Ev. Ivan Kristiono, orang Kristen harus gaul.
Artinya, tentu, generasi muda Kristen adalah generasi muda yang gaul, namun tetap harus ada
batasan-batasan yang jelas yaitu Alkitab. Orang Kristen yang gaul berarti kita mengikuti
perkembangan zaman, namun TIDAK mengikuti arus zaman. Jika demikian, bolehkah generasi muda
Kristen hang out bersama dengan teman-teman di mal, nonton bioskop, dll? Tentu saja boleh, karena
itu hal-hal fun, namun perlu diingat, jangan sampai kita hang out di mal pada Sabtu malam, lalu kita
pulang terlalu malam, sampai-sampai tidak bisa pergi ke gereja besok Minggunya.

Nah, yang celaka, ada beberapa generasi muda Kristen yang terlampau kaku dan jadul (jaman
dahulu). Hal ini terlihat dari cara berpakaiannya yang seperti om-om di zaman purbakala dahulu
(hehehe), juga terlihat dari keengganannya hang out di mal, karena takut berdosa, dll. Mengapa ada
perilaku jadul seperti itu? Mungkin karena pengekangan ekstrem dari para sesepuh (generasi
tua/orangtua) atau mungkin juga karena sifatnya memang demikian: pendiam dan pemalu. Di satu
sisi, anak muda seperti ini seolah-olah kelihatan baik dan alim, namun jika kebiasaan ini dipelihara,
maka hal ini bisa berbahaya. Bahaya ini saya sebut sebagai bahaya imun. Artinya, anak muda ini
terimun dari budaya-budaya luar, sehingga suatu saat ketika tumbuh menjadi seorang dewasa
menjadi seorang yang mudah terkaget-kaget dengan budaya luar, karena selama dia muda, dia
hanya mendekam di rumah dan gereja doang. Orangtua yang memproteksi terlalu ketat anak-
anaknya akan mengakibatkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang takut terhadap budaya luar.
Saya akan memberikan contoh langsung dari Pdt. Dr. Stephen Tong. Pdt. Dr. Stephen Tong di dalam
salah satu khotbahnya pernah menceritakan kasus di mana orangtua yang terlalu mengimun
anaknya. Pada suatu kali, dulu waktu Pdt. Stephen Tong masih muda, beliau bertemu dengan
pendeta yang sudah berumur/tua, kemudian si pendeta tua ini mengajar Pdt. Stephen Tong bahwa
karena surat kabar di Hong Kong isinya selalu hal-hal buruk, seperti: pembunuhan, pemerkosaan, dll,
maka setelah membaca surat kabar tersebut, si pendeta tua langsung menggunting-gunting berita
yang berisi hal-hal negatif di surat kabar tersebut, kemudian menyerahkan surat kabar tersebut
kepada anak-anaknya untuk dibaca. Kemudian, Pdt. Stephen Tong berpikir dan berkata kepada si
pendeta tua, jika si pendeta tua melakukan hal tersebut, maka anak-anaknya malah semakin
penasaran dengan isi dari surat kabar yang sudah digunting-gunting tersebut dan bukan sesuatu
yang mustahil jika anak ini bisa meminjam surat kabar tetangganya khusus untuk melihat berita apa
yang digunting-gunting oleh ayahnya itu. Bukankah ini lebih gawat? Kemudian, Pdt. Stephen Tong
bersenda gurau di dalam khotbahnya menyebut koran yang bolong-bolong (setelah digunting oleh
pendeta tua) itu sebagai holy newspaper, bukan surat kabar/koran yang kudus, tetapi koran yang
banyak lubangnya, maka disebut holy (hole: lubang), hehehe

Pada upacara Sakramen Pernikahan saudara sepupu saya di Gereja Katedral Keluarga Kudus,
Banjarmasin pada tanggal 31 Januari 2010, Romo Simon Edy Kabul Teguh Santoso, Pr.
mengungkapkan hal yang cukup bijak bagi saya. Beliau mengatakan bahwa anak SMA/remaja jangan
terlalu ditekan dan juga jangan terlalu dilepaskan (bebas) oleh orangtuanya. Anak remaja yang terlalu
ditekan oleh orangtuanya justru malahan mengakibatkan anak remaja tersebut pada suatu saat
memberontak. Dan yang nanti bermasalah tentu orangtuanya sendiri. Inilah yang katanya generasi
tua paling bijaksana, namun akibatnya kebijaksanaannya berakibat fatal. Oleh karena itu, para
generasi tua, belajarlah untuk TIDAK menyombongkan diri sebagai pribadi yang paling bijaksana,
karena Pribadi yang paling bijaksana hanyalah TUHAN ALLAH sendiri yang adalah Sumber
Kebijaksanaan.

2. Kreatif dan Inovatif


Selain gaul, generasi muda juga tergolong generasi yang kreatif dan inovatif. Ambil contoh, Facebook
(FB). FB sampai saat ini tergolong salah satu situs jejaring sosial yang diminati bukan hanya oleh
generasi muda, namun juga generasi tua, termasuk pendeta, penginjil, dan para hamba Tuhan.
Tahukah Anda siapa yang menciptakan FB? Yang menciptakan FB adalah seorang anak muda.
Sumber Wikipedia menyebutkan informasi mengenai FB bahwa: FB pertama kali bernama Facemash
ditemukan oleh Mark Zuckerberg pada tanggal 28 Oktober 2003 bersama dengan teman kosnya,
Eduardo Saverin, Dustin Moskovitz, dan Chris Hughes ketika mereka menjadi mahasiswa di Harvard
University. Facemash sebenarnya merupakan situs jejaring sosial yang hanya diperuntukkan untuk
mahasiswa Harvard, namun telah meluas sampai ke kampus-kampus lain di daerah Boston area, Ivy
League, dan Stanford University. Kemudian, situs ini meluas keanggotaannya mulai dari siswa/i SMU
sampai mahasiswa/i, dan semua orang yang berusia di atas 13 tahun. Wikipedia mencatat, anggota
FB yang aktif sekarang adalah 350 juta. Ya, pencipta FB adalah seorang anak muda. Bukan hanya
masalah FB, banyak generasi muda juga terbukti kreatif dan inovatif, misalnya dalam mendesain
baju, ruangan, dll.

Meskipun kreatif dan inovatif, generasi muda Kristen juga harus berhati-hati, karena kreatif dan
inovatifnya anak muda zaman sekarang sering kali dipengaruhi oleh ide-ide postmodernisme yang
anti keteraturan, dll. Kreativitas itu tentu tidak salah, namun harus dibatasi oleh prinsip-prinsip Alkitab,
sehingga tidak mengakibatkan kreativitas yang liar.

3. Menguasai Teknologi
Terakhir, karena kreatif dan inovatif, maka tentu saja banyak generasi muda adalah mereka yang
cukup menguasai teknologi, yaitu: minimal mengoperasikan program Microsoft Word, Microsoft
Power Point, internet: Facebook, google, e-mail, dll, mampu mengoperasikan HP, dll. Penguasaan
teknologi diperlukan baik untuk kuliah, bekerja, fun, maupun untuk mencari sesuatu yang penting di
google (www.google.co.id). Rupa-rupanya hampir tidak ada generasi muda yang gaptek (gagap
teknologi), meskipun ada juga anak muda Kristen yang sampai sekarang tidak memiliki HP dengan
alasan tidak suka HP sungguh suatu keanehan, hehehe
Kemajuan teknologi memang harus dikuasai oleh banyak generasi muda Kristen, namun di sisi lain,
kita harus waspada terhadap berbagai isi yang ditawarkan di dalam teknologi, khususnya internet.
Gara-gara FB, sudah ada kasus 2-3 kasus remaja cewek melarikan diri dari rumah untuk bertemu
cowok yang baru dikenalnya di FB. Pada hari Sabtu, 27 Februari 2010, sebuah stasiun TV swasta
menayangkan berita bahwa bisnis prostitusi sudah berkeliaran di FB. Hendaklah para generasi muda
Kristen berwaspada dalam menggunakan teknologi. Namun, sekali lagi saya tekankan, berwaspada
JANGAN diekstremkan menjadi tindakan paranoid atau ketakutan berlebihan. Berhentilah menjadi
seorang Kristen yang paranoid terhadap hal-hal luar, karena itu bukan menolong, tetapi berbahaya.
Perhatikan, orang yang selalu paranoid biasanya mengakibatkan tindakan berlebihan (lebay) yang
luar biasa cerewet untuk hal-hal sekunder.

B. Ciri Khas Negatif


Ciri khas negatif banyak generasi muda yang saya soroti bisa diringkas menjadi tiga
1. Anti-Tuhan
Generasi muda zaman sekarang ditandai dengan paradigma dasar yaitu: anti-Tuhan. Di titik pertama,
banyak generasi muda benar-benar cuek dengan keTuhanan. Ciri khasnya adalah mereka cuek
dengan Alkitab, gereja, khotbah pendeta/hamba Tuhan yang bertanggung jawab, dll. Kecuekan
mereka ditandai dengan menyerap khotbah mimbar yang mengenakkan di telinga mereka dan
setelah itu melupakannya lagi. Istilahnya: masuk melalui telinga kiri, keluar melalui telinga kiri juga
(alias tidak pernah nyantol). Atau yang lebih parah lagi, mereka sudah tidak menghargai sakralnya
hari Minggu. Hal ini ditandai dengan anak muda ini jarang pergi ke gereja atau kalau pergi ke gereja
pas dia melayani sebagai usher/kolektan. Mengapa dia jarang pergi ke gereja? Karena dia malas dan
hari Sabtu malamnya diisi dengan hang out bersama teman-temannya sampai larut malam, sehingga
besok Minggunya tidak bisa bangun pagi untuk pergi ke gereja. Atau yang paling parah adalah benar-
benar masa bodoh dengan gereja dan iman Kristen. Seorang teman gereja saya, Bob Setio bercerita
kepada saya bahwa sebelum acara KKR Natal 2009 Pdt. Dr. Stephen Tong di Supermal Surabaya
Convention Center (SSCC), PTC, Surabaya, dia melewati food court dan dia mendengar sekumpulan
anak muda yang lagi makan di food court menertawai dirinya yang sedang membawa Alkitab dengan
sindiran, Hari gini masih ke gereja? Ya, inilah ciri khas banyak generasi muda zaman sekarang.

Mengapa bisa demikian? Faktor penentu utamanya adalah karena faktor dekrit pertama (mengutip
istilah dari Pdt. Sutjipto Subeno) yang ditanamkan oleh orangtua mereka. Anak yang sejak kecil
TIDAK dididik untuk takut akan Tuhan mengakibatkan anak itu tumbuh menjadi anak yang atheis.
Meskipun Roh Kudus bisa mengubah anak ini ketika ia beranjak dewasa, namun peran dekrit
pertama pendidikan Kristen TIDAK boleh dihilangkan atau dihapuskan. Sudah terlalu banyak kasus di
mana anak makin dewasa bukan makin cinta dan takut akan Tuhan, malahan menjadi atheis.
Ataupun kalau anak muda ini kelihatan aktif ke gereja, ceklah prinsip hidupnya, kebanyakan dari
mereka atheis praktis. Jangan heran, anak seorang aktivis gereja bisa dengan mudahnya
mempermainkan istilah bergumul untuk memuaskan hawa nafsunya mencari pasangan hidup yang
berbeda iman. Ini semua karena dari kecil, anak ini tidak dididik dengan iman Kristen yang beres.
Faktor kedua adalah faktor lingkungan. Ketika seorang anak muda terlalu banyak bergaul dengan
teman-teman yang tidak beres, bisa dipastikan anak muda ini akan diracuni oleh pengaruh buruk dari
teman-temannya itu. Terlalu banyak kasus anak muda, yang karena pengaruh teman-temannya yang
tidak beres, akhirnya dia menjadi atheis. Dulu ia seorang yang aktif pelayanan di gereja, tetapi
lingkungan mengakibatkan dia menjadi atheis. Saya tidak perlu jauh-jauh memberikan contoh nyata,
karena saudara sepupu saya dari pihak ayah saya sudah mengalami hal ini. Waktu kecil, koko
sepupu saya ini aktif pelayanan di gereja, kemudian setelah lulus SMP, dia pindah sekolah ke
Australia. Pada waktu di Australia, ayahnya gelisah dan sempat bermimpi bahwa koko sepupu saya
ini membanting Alkitab. Kemudian ayahnya menelpon dia dan menanyakan apakah dia pergi ke
gereja. Koko sepupu saya menjawab TIDAK. Setelah itu, ayahnya memerintahkan dia untuk pulang
kembali ke Indonesia. Sekembalinya ke Indonesia, koko sepupu tingkahnya agak kebanci-bancian
(lembeng) dan saat ini dia masih tetap seorang atheis. Benarlah apa yang dikatakan oleh Rasul
Paulus di dalam 1 Korintus 15:33, Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan
kebiasaan yang baik. Hal ini TIDAK berarti kita tidak boleh memiliki teman yang tidak beres. Namun,
yang perlu diperhatikan adalah teman seperti apa yang dengannya kita bergaul. Jika kita lebih banyak
bergaul dengan teman-teman yang non-Kristen dan di luar gereja, percayalah, seberapa teguh pun
iman kita, kita akan jebol. Biasakanlah selektif di dalam memilih teman. Perbanyaklah berteman
dengan orang-orang Kristen yang beres dan kurangilah berteman dengan mereka yang belum atau
tidak di dalam Kristus. Mengapa? Semakin banyak kita berteman dengan saudara seiman di dalam
Kristus, kita semakin dikuatkan, ditegur, diajar, dihibur satu sama lain, sehingga kita makin hidup
serupa Kristus.

2. Anti-Konsep
Karena didasarkan pada anti-Tuhan, maka banyak generasi muda zaman sekarang pun juga anti-
konsep. Artinya, mereka tidak lagi mempermasalahkan konsep, mengapa? Karena konsep itu hal
yang kuno, kaku, dll, istilah mereka: jadul. Tetapi herannya, sambil mengatakan bahwa mereka tidak
memiliki konsep, sebenarnya mereka sendiri sudah berkonsep yaitu berkonsep bahwa mereka tidak
memiliki konsep. Memang, logika yang aneh, wakakakaka. Tidak usah heran, karena tidak
mementingkan konsep, maka banyak generasi muda zaman sekarang seenaknya sendiri di dalam
menjalani hidup dan khususnya dalam memilih pasangan hidup. Apa yang sebenarnya merupakan
hal mutlak eh malah direlatifkan dan hal yang relatif justru dimutlakkan. Dewasa ini, istilah cocok
sedang ngetren di banyak kawula muda di seluruh aspek kehidupan. Di dalam memilih gereja, apa
yang dipentingkan oleh banyak generasi muda Kristen hari-hari ini? Khotbah dan pengajaran yang
bagus dan bertanggung jawab? BUKAN. Yang mereka pentingkan adalah apa yang COCOK dengan
selera mereka. Mereka akan lebih mementingkan corak ibadah yang wah, mengasyikkan, dan kalau
bisa pendetanya tampan dan gaul. Meskipun khotbah/ajaran yang disampaikan di gereja tersebut
ngaco, itu tidak menjadi masalah, asalkan musiknya pas dengan selera anak muda.

Di dalam menjalin hubungan lawan jenis, istilah COCOK juga laris. Saya pernah menyaksikan sebuah
infotainment yang menceritakan seorang artis cowok Kristen yang namanya cukup terkenal di dalam
dunia Kekristenan melalui album lagu rohaninya ternyata menikahi seorang artis cewek Islam. Ketika
ditanya alasan mereka menikah meskipun beda agama, jawaban mereka adalah: MEREKA COCOK.
Filosofi cocok di kalangan artis ini ternyata meracuni secara implisit seorang anak aktivis sebuah
gereja. Sudah jelas-jelas calon pasangan hidupnya seorang yang berbeda iman, masih saja anak
aktivis ini menjalin hubungan, ya, lagi-lagi, alasan yang dikemukannya: COCOK kalau mengobrol
dengannya. Hal ini TIDAK berarti kita mencari pasangan hidup yang tidak cocok dengan kita.
Kecocokan tetap perlu, tetapi bukan kriteria mutlak! Alangkah konyolnya kita jika kita mengorbankan
iman demi sebuah kecocokan, itu pun suatu ketidakcocokan (ketidakcocokan iman, hati, dan cara
berpikir)! Mengapa kecocokan fenomenal dan sekunder lebih dipentingkan ketimbang kecocokan
esensial dan primer? Itulah keanehan yang terjadi di dunia anak muda zaman sekarang. Atas nama
kecocokan, beda agama/iman: tidak menjadi masalah, kan bisa diinjili? begitulah argumentasi
konyol mereka yang belum tentu mereka jalankan, hehehe. Meskipun anak aktivis ini telah
mendengar khotbah gembala sidangnya yang mengajar bahwa carilah pasangan hidup yang seiman
dan rohani, tetapi dasar orang keras kepala, dia tetap lebih memilih nafsunya sendiri ketimbang
khotbah yang didengarnya, lalu dengan mudahnya dia mengatakan bahwa dia lagi bergumul.
Bergumul dari sebelah mana tuh? Bergumul atau sebenarnya bernafsu??? Saya paling takut jika
sebuah istilah agung dipermainkan untuk nafsu yang menjijikkan.

3. Anti-Komitmen
Seorang yang tidak beriman kepada Tuhan dan tidak menghargai pentingnya konsep, maka dapat
dipastikan orang yang sama juga tidak menghargai komitmen. Mengapa? Karena komitmen dibangun
di atas prinsip yang beres dan prinsip itu dibangun di atas iman yang beres. Seorang yang beriman
beres tentu memiliki konsep iman yang beres dan tentu aplikasinya serta ia juga mau berkomitmen
untuk taat dan setia menjalankan apa yang telah imani dan ketahui tersebut. Namun sayangnya, hal
ini TIDAK bisa kita jumpai lagi pada mayoritas generasi muda zaman sekarang. Seorang teman
gereja saya yang cukup saya hormati dan darinya saya belajar banyak hal, yaitu Sdr. Jimmy
Sumendap, M.T. pernah berkata kepada saya bahwa banyak generasi muda zaman sekarang adalah
generasi yang anti-komitmen. Mereka tidak mau berkomitmen dengan serius, karena komitmen
menuntut sebuah ikatan. Banyak generasi muda zaman sekarang tidak menyukai ikatan, karena
mereka mau BEBAS. Tidak heran, istilah-istilah yang lagi ngetren di kalangan kawula muda zaman
sekarang di dalam menjalin hubungan lawan jenis adalah HTS (hubungan tanpa status) atau TTM
(teman tapi mesra) atau gebetan atau teman dekat. Saya tidak mempermasalahkan istilah ini, karena
jika istilah ini dipahami secara bertanggung jawab, maka istilah ini sah-sah saja. Rev. Joshua Eugene
Harris (pendeta senior di Covenant Life Church, U.S.A.) yang menulis buku Boy Meets Girl (Saat
Cowok Ketemu Cewek) juga mengungkapkan istilah yang sama (lebih dari teman biasa, namun
belum pacaran/jadian), namun istilah ini tentu berarti sebuah proses hubungan yang menuju ke arah
yang lebih serius (ada komitmen). Namun istilah yang sama dipakai oleh banyak generasi muda
zaman sekarang bukan dengan maksud/tujuan yang sama agungnya, namun lebih tidak beres.
Seorang anak muda bisa dengan mudahnya menganggap lawan jenisnya itu TTM atau gebetan
tanpa serius memikirkan hubungan mereka di masa depan. Mayoritas mereka mengidentikkan
hubungan lawan jenis itu fun, yaitu: bisa jalan berdua, nonton berdua, dll. Mereka hampir tidak pernah
memikirkan bagaimana bisa saling share prinsip hidup, share konsep iman, share segala sesuatu,
apalagi hubungan saling (saling belajar dan berbagi). Tidak usah heran, karena kaburnya makna
hubungan lawan jenis yang seharusnya dilandasi komitmen yang jelas, maka kita melihat banyak
generasi muda yang baru saja jadian, lalu beberapa bulan lagi putus, bahkan putus dengan alasan
yang konyol. Teman saya dari GKKA Tenggilis menceritakan bahwa teman sekolahnya bisa jadian
dengan saudara sepupunya di mana sepupunya ini juga sudah punya pacar. Lucu bukan? Bahkan
yang lebih parah lagi, ada anak muda cewek yang sudah pernah pacaran sampai 4-6x, padahal
usianya dua tahun di bawah saya (25 tahun), bahkan ada yang sudah 4x putus nyambung dengan
cowoknya (gara-gara mengikuti lagu Putus Nyambung sich, jadi ya begini ini jadinya, hahahaha). Luar
biasa aneh. Inilah citra generasi muda yang anti-komitmen. Anak muda yang makin melarikan diri dari
iman yang beres, mereka makin hidup tanpa tujuan dan seenaknya sendiri, dan sebenarnya hidup
mereka makin hampa.

4. Pemberontakan
Seorang yang sudah anti-komitmen mengakibatkan pelan namun pasti orang itu pasti akan
memberontak terhadap tatanan yang ada. Hal ini sudah terlihat jelas pada diri banyak generasi muda
zaman sekarang. Anak muda yang sudah anti-komitmen mengakibatkan mereka bertindak semaunya
sendiri. Mereka ingin memberontak terhadap tatanan yang ada. Di dalam gereja, mereka ingin gereja
tidak ada liturgi, mereka ingin memuji Tuhan tanpa aturan. Tidak heran, di dunia Kekristenan, muncul
sebuah aliran musik: Christian Housemusic, ada grup band rock Kristen, dll. Mereka membuang
semua lagu-lagu klasik dan himne yang agung dan menggantinya dengan lagu dan musik yang
menyenangkan telinga mereka. Hal ini tidak berarti lagu-lagu klasik dan himne benar semua dan
lagu-lagu rohani kontemporer salah semua. Yang sedang saya soroti adalah semangat
pemberontakannya. Semakin mereka memberontak, mereka bukan makin tambah beres, justru
mereka semakin menemukan kehampaan di dalam hidup. Perhatikanlah gaya hidup para artis.
Semakin mereka hidup glamour dan memberontak terhadap iman yang beres, mereka semakin hidup
tidak karuan dan di akhir hidupnya, tidak sedikit mereka yang bunuh diri.

Mengapa mereka suka memberontak? Faktor utamanya adalah karena orangtua tidak mendidik
mereka sejak kecil untuk takut akan Tuhan. Anak yang tidak dididik takut akan Tuhan dan mencintai-
Nya, maka anak itu tumbuh menjadi anak yang terus dikuasai oleh iblis yang gemar memberontak.
Kedua, karena faktor salah didik dari orangtua. Orangtua yang terlalu ekstrem memproteksi anaknya
juga mengakibatkan anaknya memberontak. Saya telah mengemukakan hal ini di atas dengan
mengutip perkataan seorang pastor Katolik yang mengajar bahwa anak muda tidak boleh diproteksi
berlebihan dan tidak boleh dilepas begitu saja. Anak muda yang semakin diproteksi bukan semakin
baik, justru semakin memberontak. Hal senada juga diungkapkan oleh Pdt. Dr. Stephen Tong di
dalam ilustrasi yang sudah saya kemukakan di atas. Belajarlah seimbang di dalam menerapkan
pendidikan Kristen: mendisiplin tetapi tidak ekstrem/kaku. Ketiga, karena faktor lingkungan. Banyak
anak muda yang imannya tidak kuat biasanya mudah terpengaruh dengan teman-temannya yang
gemar memberontak baik kepada iman/Tuhan maupun kepada siapa pun.

Biarlah generasi muda Kristen benar-benar menyerahkan hidupnya HANYA untuk Tuhan. Biarlah
firman Tuhan mengontrol gaya hidup kita sebagai anak muda Kristen (Mzm. 119:9), sehingga kita
tidak lagi tertipu oleh bujuk rayu iblis di dunia ini.

V. PEMBENTUKAN KOMUNIKASI ANTARA GENERASI TUA DAN MUDA: SEBUAH PERSPEKTIF


ALKITABIAH
A. Gap Antara Generasi Tua dan Muda
Jika kita membandingkan poin III dan IV, kita akan menemukan bahwa generasi tua dan muda
memiliki perbedaan ciri khas. Jika boleh disimpulkan, perbedaannya adalah: banyak generasi tua
lebih setia pada tradisi dan berpikir panjang, sedangkan banyak generasi muda lebih menginginkan
perubahan dan berpikir pendek. Karena adanya perbedaan ini, maka timbullah suatu gap antara
kedua generasi ini yang mungkin mengakibatkan perselisihan paham. Generasi tua dengan keras
kepala enggan memahami dan mengerti generasi muda, sebaliknya generasi muda juga dengan
keras kepala enggan memahami dan mengerti generasi tua. Gap apa yang sebenarnya terjadi pada
kedua generasi ini?
1. Gap Iman
Gap inti yang terjadi adalah masalah iman. Meskipun gap ini hampir jarang ditemukan, namun gap ini
sebenarnya tetap merupakan inti permasalahannya. Jika orangtua beriman beres, sedangkan
anaknya beriman ngaco, maka sudah pasti terjadi gap yang besar. Si anak akan merasa orangtuanya
kuno karena masih percaya Tuhan. Di sini, peran orangtua harus mendisiplin anaknya (sambil
mendoakan anaknya), namun tidak boleh terlalu memaksa, karena pemaksaan dalam hal pendidikan
dan pengajaran iman mengakibatkan kebencian bukan pertobatan. Perhatikanlah apa yang dilakukan
oleh Monika, ibunda Bapa Gereja Augustinus ketika Monika mengetahui bahwa Augustinus muda
hidupnya tidak karuan? Apakah Monika memarahi dan memaki anaknya? TIDAK. Monika mendoakan
anaknya sampai meneteskan air mata. Itulah tanda kasih orangtua yang hatinya benar-benar untuk
Tuhan yang ingin melihat anaknya kembali kepada Tuhan. Tetapi herannya, hari-hari ini, ada juga
orangtua yang meneladani Monika, yaitu ikut-ikut meneteskan air mata tetapi bukan mendoakan
anaknya untuk bertobat dan kembali kepada Tuhan, tetapi sedih dan kecewa karena anaknya tidak
menaati apa yang diinginkan orangtuanya (bukan apa yang Tuhan kehendaki). Kembali, begitu juga
sebaliknya, jika orangtua imannya masih self-centered (apalagi dari latar belakang agama/tradisi
Tionghoa yang sangat kental, meskipun katanya sudah Kristen, bahkan Reformed), sedangkan
anaknya beriman beres, maka si anak pasti menderita lahir dan batin, karena si anak tidak memiliki
hak untuk berbicara apa pun bahkan untuk memberitakan Injil dan mendiskusikan tentang prinsip-
prinsip iman Kristen (karena si orangtua yang dipengaruhi oleh banyak ajaran dari agama/tradisi
Tionghoa menganggap bahwa mereka adalah Tuhan yang harus dipatuhi mutlak tanpa
argumentasi).
2. Gap Tingkat Pendidikan dan Cara Berpikir
Gap kedua adalah gap tingkat pendidikan dan cara berpikir. Kebanyakan generasi tua adalah mereka
yang kurang mendapat pendidikan tinggi. Biasanya pendidikan mereka maksimal SMA. Nah, jika hal
ini dibandingkan dengan anaknya yang berpendidikan S-1 atau lebih tinggi, maka tentu terjadi gap
tingkat pendidikan dan tentunya mengakibatkan munculnya gap cara berpikir. Jika kebanyakan
generasi tua lebih menggunakan cara berpikir yang bersifat satu arah (one-sided) dikarenakan tingkat
pendidikannya yang kurang tinggi, maka biasanya banyak generasia muda yang cerdas lebih
menggunakan cara berpikir yang bersifat dua arah di dalam menyoroti suatu hal. Jika kedua generasi
ini bertemu dan saling berdiskusi, maka biasanya terjadi perselisihan, karena biasanya banyak
generasi tua yang keras kepala yang enggan berpikir dua arah, karena jika berpikir dari sisi lain (di
luar apa yang dipikirkan generasi tua) itu mungkin tidak COCOK dengan tujuannya yang ingin
mengindoktrinasi anaknya atau hal lain.

3. Gap Lingkungan (Pergaulan)


Terakhir, gap lingkungan adalah gap yang sering terjadi antara generasi tua dan muda. Generasi tua
lebih senang bergaul dengan para sesepuh yang menjadi teman mereka, saling curhat tentang
suami/istri, anak, karier, dll, sedangkan generasi muda lebih senang bergaul dengan kawula muda.
Hal-hal yang dibicarakan di dalam lingkungan tersebut pun berbeda. Jika para sesepuh
membicarakan hal-hal yang jadul (kisah-kisah di zaman dahulu atau semasa sekolah dahulu), maka
para kawula muda membicarakan hal-hal yang up-to-dated, misalnya Facebook (FB), chatting, Hand
Phone, Black Berry, teknologi, dll. Dengan kata lain, ada dunianya sendiri yang dibangun antara dua
generasi ini.

B. Mengatasi Gap: Membangun Komunikasi Antara Generasi Tua dan Muda Dengan Prinsip-prinsip
yang Alkitabiah
Jika kita telah melihat tiga permasalahan gap antara generasi tua dan muda, maka apa yang harus
kita lakukan? Sebelum kita masuk ke dalam aplikasinya, maka kita harus mengerti dasar
presuposisinya.
1. Dasar Presuposisi
Orang Kristen yang beres adalah orang Kristen yang dipanggil untuk menjadi garam dan terang bagi
dunia di mana mereka harus menyadari status mereka sebagai anak-anak Allah dan panggilan
mereka adalah memberitakan Kebenaran di tengah dunia yang mereka diami. Berarti, di sini, kita
belajar tiga prinsip:
a) Status Kita: Anak-anak Allah
Prinsip pertama yang perlu kita pahami adalah bahwa status kita adalah anak-anak Allah. Kita yang
adalah umat pilihan-Nya adalah anak-anak adopsi Allah yang telah Allah tebus dari dunia kegelapan
menuju kepada terang-Nya yang ajaib (1Ptr. 2:9). Berarti kita yang dahulu manusia terkutuk karena
dosa, tetapi karena anugerah-Nya yang ajaib telah memilih dan menentukan kita dari semula,
kemudian memanggil, membenarkan, dan memuliakan kita (Rm. 8:29-30). Dari sini kita belajar bahwa
karena status kita adalah anak-anak Allah yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju kepada
terang, maka sudah seharusnya, hidup kita diliputi oleh terang Ilahi dan berfokus pada terang Ilahi
tersebut. Hidup yang diliputi oleh dan berfokus pada terang Ilahi ditandai dengan buah Roh yang
keluar dari hidup Kristiani tersebut seperti yang Paulus ungkapkan di dalam Galatia 5:22-23. Selain
buah Roh, hidup Kristen adalah hidup yang mengaplikasikan kekudusan, kebenaran (righteousness),
dan keadilan (justice) Allah. Dengan kata lain, hidup yang diliputi oleh dan berfokus pada terang Ilahi
adalah hidup yang berpusat hanya kepada Allah dan bagi kemuliaan-Nya. Karena hidupnya berpusat
pada Allah dan memuliakan Allah, maka tentu orang Kristen yang beres hidupnya selalu berpusat
pada apa yang Allah firmankan, yaitu di dalam Alkitab. Bagaimana dengan kita? Apakah hidup kita
mirip Tuhan yang kita sembah atau mirip setan yang selalu menipu dengan tampilan luar yang
menarik? Biarlah kita mengintrospeksi diri masing-masing.

b) Panggilan Kita: Memberitakan Kebenaran


Karena status kita adalah anak-anak Allah yang hidupnya diliputi oleh dan berfokus kepada terang
Ilahi, maka kita memiliki panggilan yaitu memberitakan Kebenaran Allah itu. Berarti, iman dan
pengertian kebenaran yang telah kita pelajari dan miliki TIDAK untuk kita konsumsi sendiri, tetapi
untuk kita bagikan kepada orang lain yang belum mendengar Injil. Tuhan Yesus menyebut panggilan
ini sebagai garam dan terang dunia (Mat. 5:13-16). Ketika kita menjadi garam dan terang bagi dunia,
tujuannya bukan untuk memuliakan diri, namun untuk memuliakan Allah. Menjadi garam dan terang
dunia memang bukanlah panggilan yang mudah, karena panggilan tersebut membutuhkan
kerendahan hati, kerelaan, pengorbanan, kesetiaan, dan ketaatan. Mengapa? Karena panggilan kita
bukanlah panggilan yang sesuai dengan ajaran dan keinginan duniawi, namun justru bertolak
belakang dan bahkan menentang. Justru itulah, di dalam menunaikan panggilan kita, di dalamnya
juga ada salib yang harus kita tanggung. Salib berbicara mengenai pengorbanan dan penderitaan
yang harus kita tanggung tatkala kita menunaikan panggilan kita. Sepanjang Alkitab dari Perjanjian
Lama sampai Perjanjian Baru, kita melihat para nabi dan rasul harus menanggung aniaya tatkala
mereka berkomitmen menunaikan panggilan yang mereka terima dari Allah. Di dalam sejarah gereja,
para bapa gereja dan para reformator yang beres juga mengalami penganiayaan hebat tatkala
mereka memberitakan Kebenaran.

Penderitaan selalu diresponi dengan ketaatan oleh umat pilihan-Nya, sedangkan bagi mereka yang
bukan termasuk umat pilihan-Nya (meskipun mengaku diri Kristen), mereka akan dengan mudahnya
mengkompromikan bahkan menyangkal imannya. Hal ini bisa dilihat dari kasus beberapa orang
Kristen yang rela menyangkal imannya tatkala mereka diperhadapkan dengan penganiayaan pada
zaman pemerintahan Kaisar Nero. Di zaman sekarang pun, beberapa orang Kristen bahkan tidak
sedikit pemimpin gereja yang bersiap-siap mengkompromikan imannya agar Kekristenan bisa
diterima di dalam masyarakat yang pluralis. Dengan ide konyol kontekstualisasi yang lebay, salah
satu dari mereka menyetujui bahwa keselamatan hanya di dalam Yesus, namun Yesus itu
menyatakan diri-Nya dalam berbagai bentuk di dalam masing-masing agama, misalnya Yesus
menyatakan diri sebagai Sidharta Gautama di dalam agama Buddha, Yesus menyatakan diri
sebagai Mohammad di dalam agama Islam, dll. Intinya, orang ini tetap berpendapat bahwa semua
orang tanpa memandang iman apa pun pasti masuk sorga. Yang anehnya, orang yang mengajar
seperti ini bukan orang Kristen awam, namun seorang theolog. Kalau theolog saja sudah ngawur
begini, bagaimana jadinya orang Kristen? Bukankah orang Kristen bisa lebih tidak karuan karena
terlalu memberhalakan perkataan sang theolog ini?

Jika ada orang Kristen ngaco seperti di atas, maka sebagai orang Kristen yang beres (waras), maka
kita harus mengerti panggilan kita dan salib yang harus kita tanggung tatkala kita menunaikan
panggilan kita. Lalu, bagaimana supaya kita bisa taat dan setia tatkala mengalami penderitaan
tersebut? Ingatlah satu hal yaitu janji penyertaan-Nya. Ketika Allah mengutus kita menjalankan
panggilan-Nya, Ia tidak meninggalkan kita, namun Ia terus-menerus menyertai kita dan memberi
kekuatan tatkala kita mengalami penderitaan. Inilah yang Tuhan Yesus peringatkan dan janjikan
kepada Petrus, Yakobus, Yohanes, dan Andreas (dan tentunya juga bagi kita sebagai umat-Nya) di
dalam Markus 13:9-11, Tetapi kamu ini, hati-hatilah! Kamu akan diserahkan kepada majelis agama
dan kamu akan dipukul di rumah ibadat dan kamu akan dihadapkan ke muka penguasa-penguasa
dan raja-raja karena Aku, sebagai kesaksian bagi mereka. Tetapi Injil harus diberitakan dahulu
kepada semua bangsa. Dan jika kamu digiring dan diserahkan, janganlah kamu kuatir akan apa yang
harus kamu katakan, tetapi katakanlah apa yang dikaruniakan kepadamu pada saat itu juga, sebab
bukan kamu yang berkata-kata, melainkan Roh Kudus. Untuk lebih jelasnya, di Lukas 21:10-19,
Tuhan Yesus berfirman, Bangsa akan bangkit melawan bangsa dan kerajaan melawan kerajaan, dan
akan terjadi gempa bumi yang dahsyat dan di berbagai tempat akan ada penyakit sampar dan
kelaparan, dan akan terjadi juga hal-hal yang mengejutkan dan tanda-tanda yang dahsyat dari langit.
Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-
rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-
penguasa oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu
tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab
Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau
dibantah lawan-lawanmu. Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu,
kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan
kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku. Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu
akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu. Perhatikanlah apa yang
Kristus katakan ini. Ia TIDAK mengajar para murid-Nya bahwa mengikut Kristus tidak perlu menderita.
Justru, Ia mengajar dengan jelas bahwa mengikut Kristus pasti menderita, karena kita akan
diperhadapkan pada para penguasa baik agama maupun pemerintah, namun Ia tidak akan sekali-kali
membiarkan kita sendiri. Perhatikan ayat 14-15 dan 18, Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu,
supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan
kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu.
Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang. Bukankah ini merupakan janji penyertaan-
Nya yang luar biasa dahsyat bagi kita yang menderita demi panggilan-Nya yang kita jalankan?
Bagaimana dengan kita? Masihkah kita takut dan kecewa dalam menunaikan panggilan-Nya yaitu
memberitakan Kebenaran? Berfokuslah pada perintah dan janji penyertaan-Nya, maka kita akan
berani menghadapi penderitaan dengan kekuatan iman yang Allah anugerahkan. Biarlah Roh Kudus
memimpin dan menguatkan hati kita di dalam menunaikan panggilan-Nya.

c) Objek Panggilan Kita: Dunia Ini


Setelah menyadari status dan panggilan kita, maka hal terakhir yang harus kita mengerti adalah objek
panggilan kita. Kita dipanggil untuk memberitakan Kebenaran ke dalam dunia. Artinya, dunia itu
objek/sasaran dari panggilan kita. Di sini, kita mulai menghadapi dilema yaitu bagaimana
memberitakan Kebenaran Allah yang Mahakudus, tidak terbatas, dan agung itu kepada dunia yang
berdosa dan terbatas? Banyak orang Kristen yang tidak menyadari dilema dahsyat ini, lalu
mengambil solusi yang ekstrem. Di satu sisi, ada yang terlalu kaku dan kolot memberitakan
Kebenaran, sehingga tidak mau bersentuhan dengan dunia sama sekali. Jangan tanya Facebook
kepada orang antik ini, karena ia tidak bakal mengetahuinya, yang dia ketahui hanya book (buku),
hehehe. Di sisi lain, ada yang terlalu mengkompromikan iman supaya COCOK dengan kondisi
zaman. Hal ini ditandai dengan dua gejala, yaitu: Pertama, theologi kemakmuran. Para penggagas
theologi kemakmuran sebenarnya berpikir bagaimana supaya orang dunia bisa menjadi Kristen
dengan cara lebih cepat? Mereka berpikir jika Kekristenan mengajarkan jalan salib, maka itu tidak
akan laku dijual, karena berita itu tidak enak, apalagi berita itu disampaikan di tengah dunia yang
lagi kacau. Jadi, solusinya adalah menghadirkan Injil yang tidak lagi berfokus pada salib, tetapi pada
kemakmuran duniawi, oleh karena itu muncullah prosperity gospel (injil kemakmuran) yang
memberitakan bahwa mengikut Yesus pasti kaya, sukses, sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk.
Para pencetusnya ramai-ramai membangun gedung gereja yang mewah (mega-church) dan
mendirikan sekolah tinggi theologi di mana banyak pengajarnya tidak pernah mengenyam pendidikan
theologi yang beres atau memakai trik yaitu mengundang hamba Tuhan yang pernah kuliah theologi
(entah itu di seminari theologi yang beres atau tidak) untuk menjadi dosen di seminari mereka dengan
iming-iming gaji yang besar. Tidak cukup dengan gereja dan seminari theologi, salah satu penggagas
ajaran ini bahkan mendirikan hotel dan pusat pelayanan kesehatan berdekatan dengan gereja yang
super mewah di Surabaya. Kedua, theologi kontekstualisasi. Istilah yang kerap kali dipakai namun
telah diselewengkan adalah kontekstualisasi. Kontekstualisasi sebenarnya merupakan istilah di dalam
penginjilan, di mana Injil Kristus masuk ke dalam konteks budaya setempat. Namun, hari-hari ini,
kontekstualisasi diselewengkan artinya menjadi: mencocokkan berita Injil dengan konteks zaman.
Tidak heran, atas nama kontekstualisasi, para penggagas theologi kontekstualisasi mengorbankan
teks Alkitab agar cocok dengan konteks zaman. Kontekstualisasi lebay ini akhirnya melahirkan
theologi Asia, theologi Afrika, dll yang seolah-olah kontekstual, namun sayangnya tidak lagi
kembali kepada teks Alkitab yang akurat.
Di tengah keekstreman yang terjadi di dalam Kekristenan dewasa ini, apa yang harus orang Kristen
lakukan sesuai dengan Alkitab? Kembali, kaitkan poin a) dan b) dengan poin c). Ingatlah bahwa
status kita adalah anak-anak Allah yang hidupnya Theosentris (berpusat kepada Allah) dan hal ini
tentu berlainan dengan orang-orang dunia yang hidupnya antroposentris (berpusat kepada manusia).
Karena hidup kita Theosentris, oleh karena itu, kita juga memiliki panggilan yang Theosentris yaitu
membawa berita Injil dan Kebenaran Allah kepada dunia. Dengan kata lain, status dan panggilan kita
ini adalah prinsip mutlak dan dasar di dalam kita beriman dan bersaksi. Nah, prinsip ini nantinya kita
aplikasikan di dalam kehidupan kita sehari-hari. Di dalam kita mengaplikasikan prinsip ini, kita perlu
memperhatikan objek panggilan kita yaitu dunia. Jadi, tatkala kita mau memberitakan Kebenaran
Allah kepada dunia, kita harus mengerti dunia di mana kita tinggal dan kita harus menebus budaya
dunia ini dan meletakkannya di bawah kaki Kristus. Bagaimana kita bisa mengerti dunia kita? Ya,
dengan membaca sebanyak mungkin informasi baik dari media massa maupun media elektronik.
Bisa juga dengan cara berinteraksi dan bergaul dengan sebanyak mungkin orang secara langsung.
Setelah mengerti dunia, kita jangan lupa akan panggilan kita, yaitu memberitakan Kebenaran dan
menebus budaya dunia dan meletakkannya di bawah kaki Kristus. Berarti, sambil mengerti dunia, kita
sambil menjalankan mandat budaya yang Tuhan perintahkan. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan.
Bagaimana dengan kita? Apakah kita terpanggil untuk memberitakan Kebenaran kepada dunia
dengan prinsip yang tegas dan mutlak namun dengan aplikasi yang tidak kaku? Biarlah Roh Kudus
mencerahkan hati dan pikiran kita di dalam menggarap panggilan Allah di dunia ini.

2. Aplikasi: Berprinsip Namun Tidak Kaku/Kolot dan Pentingnya Komunikasi yang Sehat
Setelah mengerti tiga poin dasar di atas, maka sebagai aplikasi yaitu solusi terhadap gap antara
generasi tua dan muda yaitu mengembangkan suatu sikap seimbang dan paradoks, yaitu: berprinsip
namun tidak kaku/kolot. Artinya, baik generasi tua dan generasi muda Kristen harus sama-sama
mengakui prinsip yang sama sesuai dengan Alkitab (Sola Scriptura), namun di sisi lain, mereka juga
tidak boleh kaku/kolot untuk hal-hal sekunder. Jangan membawa keinginan masing-masing generasi,
robohkanlah keinginan itu dan bangunlah keinginan yang beres dan memuliakan Allah di atas dasar
firman Tuhan. Lalu, bagaimana kita bisa benar-benar mengaplikasikan konsep ini? Konsep ini
diaplikasikan sebenarnya di dalam komunikasi. Agar generasi tua dan muda sama-sama berprinsip
sesuai dengan Alkitab untuk hal-hal primer dan tidak terlalu kaku/kolot untuk hal-hal sekunder, maka
bangunlah komunikasi yang sehat antar dua generasi ini. Di dalam komunikasi yang sehat pasti
terkandung diskusi yang sehat dan objektif di dalam menyoroti segala hal. Nah, apa yang perlu
diperhatikan di dalam membangun komunikasi yang sehat ini?
a) Imannya Beres
Prinsip dasar pertama di dalam membangun komunikasi yang sehat antar dua generasi ini yaitu iman
yang beres. Jika salah satu generasi, imannya tidak beres, jangan berusaha membangun komunikasi,
karena komunikasi yang sehat tidak mungkin akan terjadi. Misalnya, generasi tua beriman beres,
sedangkan generasi muda imannya tidak beres (bahkan atheis), maka jangan harap generasi tua
bisa berkomunikasi secara sehat kepada generasi muda. Begitu juga sebaliknya, jika generasi muda
iman dan hidupnya Theosentris, sedangkan generasi tua iman dan hidupnya antroposentris, maka
tentu tidak akan bisa dibangun komunikasi yang sehat. Mengapa? Karena dasar, motivasi, sumber,
arah, dan tujuan yang dicapai berbeda bahkan bertolak belakang. Kalau sekadar berbeda bisa
didiskusikan, namun kalau sudah bertolak belakang, itu lebih sulit. Oleh karena itu, jika mau
terciptalah sebuah komunikasi yang sehat antar dua generasi ini, milikilah kesamaan iman dan pola
pikir yang beres.

b) Rendah Hati dan Terbuka


Nah, iman dan pola pikir yang sama yang beres antar dua generasi ini
mengakibatkan masing-masing generasi tentu memiliki kerendahan hati dan
keterbukaan untuk saling
lajar dan berbagi. Dua generasi ini akan saling belajar kelemahan masing-masing
dan kekuatan pada generasi lainnya. Di samping itu, mereka juga bisa saling
berbagi pengalaman dan pengertian ketika menyoroti sesuatu hal, sehingga satu
masalah bisa disoroti dari dua segi (tidak one-sided).

Jika dua hal ini sudah kita miliki di dalam membangun komunikasi, lalu
pertanyaan selanjutnya, komunikasi dalam hal apa yang bisa kita bangun?
a) Komunikasi tentang Panggilan Hidup
Theologi Reformed yang berdasarkan Alkitab percaya bahwa setiap anak Tuhan memiliki panggilan
hidup yang Tuhan percayakan secara berbeda-beda (Ef. 2:10). Panggilan hidup ini tentu bukan saja
berarti panggilan untuk menjadi hamba Tuhan full-time (pengerja gereja: penginjil atau pendeta, dll)
atau menjadi orang yang berprofesi sekuler, namun panggilan hidup ini mencakup segala hal.
Misalnya, anak dari kecil sudah memiliki talenta menggambar, maka orangtua yang imannya beres
pasti akan mengarahkan anaknya untuk menekuni pendidikan desain dan mendukung pekerjaan
anaknya untuk menjadi desainer atau sejenisnya. Adalah suatu kegilaan jika anaknya bertalenta
menggambar, kemudian orangtuanya menyuruh anaknya untuk berdagang atau menjadi penyanyi. Itu
namanya tidak sesuai dengan panggilan hidup. Orangtua (apalagi Kristen bahkan Reformed) yang
tidak mengarahkan anaknya untuk memenuhi panggilan hidup dari Tuhan sebenarnya tidak layak
disebut orangtua Kristen (apalagi mengaku diri Reformed lagi) dan bahkan orangtua ini
sebenarnya sudah berdosa di hadapan Tuhan, karena mematikan panggilan hidup dari Tuhan bagi
anak dan menggantikannya dengan ambisi orangtua (ingat kembali definisi dosa menurut Dr.
Cornelius Van Til adalah mengganti standar Allah dengan standar manusia berdosa). Nah, dua
generasi ini sebenarnya bisa sama-sama berkomunikasi untuk menentukan panggilan hidup dari
Allah. Orangtua bisa mengamati anaknya dari kecil, apa talenta yang Tuhan berikan kepada
anaknya? Dari situ, orangtua bisa mengarahkan anaknya untuk memenuhi apa yang Tuhan berikan
kepada anaknya itu.

b) Komunikasi tentang Menyoroti Satu Hal


Kedua, komunikasi tentang menyoroti satu hal. Di dalam menyoroti satu hal, saya sudah
mengatakan, kita tidak boleh menggunakan paradigma one-sided (satu arah) yang berarti kita hanya
memakai satu pendekatan untuk menafsir satu peristiwa/hal. One-sidedness menunjukkan kepicikan
seseorang. Oleh karena itu, diperlukan suatu komunikasi dua arah di dalam menafsir sesuatu. Saya
akan memberikan contoh. Baru-baru ini, beberapa remaja putri menghilang dari rumah karena
bertemu dengan cowok yang dikenalnya dari Facebook (FB). Apa yang harus kita lakukan? Saya
membaca surat kabar dan solusinya adalah orangtua harus memantau anak yang menggunakan FB,
kalau perlu orangtua ikut menjadi anggota FB. Sudah bisa ditebak bahwa solusi itu bukan datang dari
generasi muda, tetapi dari generasi tua. Di satu sisi, solusi ini sedikit ada benarnya, karena anak
remaja perlu dipantau oleh orangtuanya, supaya mereka tidak terjerumus ke dalam dunia yang kacau
ini. Namun, di sisi lain, bagi saya (generasi muda), solusi ini masih kekanak-kanakan dan paranoid!
Mengapa demikian? Coba berpikir logis. Jikalau orangtua memantau anaknya yang menggunakan
FB, bagaimana jika anak itu menggunakan FB pada saat jam istirahat di sekolah? Apakah orangtua
bertindak seperti satpam di sekolah yang menunggui anaknya yang sedang bermain FB? Apakah ini
satu-satunya solusi? Atau adakah solusi lain? Sebenarnya ada. Bagi saya, solusi yang jitu bukan
solusi yang fenomenal, tetapi esensial. Mengapa remaja putri bisa kecantol dengan cowok yang baru
dikenalnya di FB? Lebih tajam lagi, mengapa anak muda zaman sekarang kecanduan FB tanpa mau
bersaksi di FB? Sebenarnya itu karena pendidikan orangtua dari kecil. Jikalau anak dari kecil sudah
dididik dengan iman Kristen yang beres, maka anak itu akan tumbuh menjadi anak yang takut akan
Tuhan. Anak itu nantinya akan dengan sendirinya memilih dan memilah mana yang benar dan salah
sesuai dengan firman Tuhan. Dengan kata lain, firman Tuhan dan kuasa Roh Kudus lah yang menjadi
satpam pribadi bagi si anak, sehingga ia tidak akan terjerumus ke dalam jurang dosa. Namun, solusi
ini hanya bisa dilakukan ketika orangtua dan anak sama-sama seorang yang percaya kepada Kristus.
Di luar Kristus, solusi esensial ini mustahil bisa dilakukan.

c) Komunikasi tentang (Hubungan) Lawan Jenis


Terakhir, komunikasi yang harus dibangun adalah komunikasi tentang (hubungan) lawan jenis.
Biasanya banyak generasi tua lebih mementingkan tradisi dan budaya dunia ketika berbicara
mengenai (hubungan) lawan jenis. Banyak aturan yang mereka terapkan pada generasi muda,
bahkan ada yang sampai menerapkan aturan-aturan ekstrem. Namun, di sisi lain, banyak generasi
muda lebih mementingkan kebebasan dan semau gue di dalam menjalin hubungan lawan jenis. Bagi
mereka, asal dapat gebetan, masalah beres. Lalu, bagaimana solusinya? Orang Kristen jangan
menjadi orang Kristen yang ekstrem! Bagi saya pribadi, kedua pendekatan itu salah. Pendekatan
yang bagi saya bijaksana adalah mempertahankan prinsip-prinsip Alkitab yang ketat, menghargai
budaya dunia sebagai respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah, dan memikirkan
dampak/akibat dari konsep yang kita ambil. Pertama, mempertahankan prinsip-prinsip Alkitab yang
ketat. Di titik pertama, kita harus meletakkan Alkitab sebagai dasar dan sumber kebenaran. Alkitab
dengan jelas mengajar kita bahwa di dalam mencari lawan jenis, kita harus mencari yang: seiman
(berpusat kepada Allah), lawan jenis, dan sepadan. Namun, herannya ada orangtua Kristen hari-hari
ini yang memilihkan pasangan bagi anaknya di luar syarat tersebut, misalnya mencari pasangan yang
pintar bekerja (hal ini tentu ada benarnya, tetapi bukan syarat mutlak) dan bahkan dicocokkan dengan
shio anaknya. Inikah yang namanya Kristen? Kedua, menghargai budaya. Tidak ada salahnya jika
kita menghargai budaya sebagai respons manusia berdosa terhadap wahyu umum Allah. Misalnya,
ada pandangan bahwa bibit, bobot, dan bebet perlu diperhatikan sebagai syarat memilih pasangan
hidup. Ada dua kecenderungan ekstrem yang dilakukan oleh orang Kristen: menerima mentah-
mentah tanpa mengujinya berdasarkan Alkitab dan menolaknya mentah-mentah. Theologi Reformed
menghargai respons manusia terhadap wahyu umum Allah, namun meletakkannya di bawah otoritas
Alkitab. Dengan kata lain, meskipun bibit, bobot, dan bebet mengandung unsur kebenaran, tetapi itu
TIDAK boleh dijadikan standar mutlak yang menggantikan 3 kriteria mutlak dari firman Tuhan. Ketiga,
memikirkan dampak/akibat dari konsep yang diterapkan. Tidak ada salahnya jika generasi tua
menerapkan prinsip bagi calon pasangan hidup anaknya, namun pikirkan juga dampak/akibat dari
terlalu kolotnya penerapan peraturan itu. Misalnya, ada orangtua yang terlalu kolot menerapkan
aturan bagi calon pasangan hidup bagi anaknya sampai hal-hal tersier pun disoroti/dikomentari,
misalnya: banyak jerawat, shionya babi (penidur), dll. Kalau untuk hal-hal tersier disoroti, mengapa
orangtua tidak memikirkan dampak/akibat dari konsep kekolotannya tersebut? Benarkah hal-hal
tersebut dilakukannya demi kebaikan si anak? Akibat dari terlalu kolotnya penerapan konsep tersebut
adalah si anak lama-kelamaan menjadi frustasi dan tidak menutup kemungkinan menjadi seorang
homo/lesbian. Bukankah yang lebih menderita adalah si orangtua yang katanya selalu memikirkan
yang terbaik untuk anaknya?

Saya akan memberikan contoh praktis yang saya ambil dari sebuah film anak muda Indonesia (saya
lupa judul filmnya) di sebuah stasiun televisi. Meskipun hanya sekadar film, biarlah film ini juga
mengoreksi kita. Film ini bercerita tentang dua anak muda (cowok dan cewek, sebut saja misalnya: A
dan B) yang saling mencintai, namun ibu mereka tidak merestui. Ketika ditanya alasannya, ibu-ibu
mereka hanya berkata TIDAK BOLEH. Alhasil, mereka berpisah untuk beberapa lamanya. Namun,
karena cinta, mereka akhirnya bersatu kembali dan menemukan apa sebenarnya alasan di balik
penolakan ibu mereka. Teman-teman mereka membantu mencari tahu alasan mereka. Namun di sisi
lain, si A dan B (dengan sepengetahuan teman-teman mereka) merencanakan untuk kabur dari
rumah masing-masing. Salah satu teman A (teman A ini saya ibaratkan: D) berbincang-bincang
dengan ibu si A, akhirnya ibu si A menceritakan bahwa pada waktu SMA, ibu si A ini, ibu si B, dan
satu cewek lagi berebut mendapatkan seorang cowok tampan di sekolahnya (misal: X). Ibu si A dan
ibu si B ini saling sikut-menyikut dalam menarik perhatian si X. Alhasil, mereka gagal mendapatkan si
x. Dendam antara ibu A dan ibu B terbawa sampai mereka telah memiliki anak. Lalu, teman-teman si
A dan B ini membohongi ibu A dan ibu B bahwa A dan B pergi jauh untuk bunuh diri, karena cinta
mereka dihalang-halangi. Padahal sebenarnya mereka kabur untuk pergi ke pantai, tempat mereka
biasanya bertemu. Akhirnya ibu A dan ibu B sama-sama menangis dan di akhir cerita, ibu A dan ibu B
insyaf bahwa dendam di antara mereka mengakibatkan keburukan pada hubungan cinta anak-anak
mereka.

Meskipun ini hanya kisah fiktif di dalam sebuah film, tetapi saya percaya, seorang sutradara film
membuat film ini bukan tanpa pesan yang hendak disampaikan. Pesan yang hendak disampaikan di
dalam film ini adalah pikirkan akibat dari sebuah konsep yang diterapkan secara kaku dan kolot.
Konsep dan prinsip yang tegas perlu ditekankan dan dimiliki, tetapi hendaklah itu tidak diterapkan
secara kaku dan kolot (apalagi jika konsep dan prinsip itu tidak sesuai dengan Alkitab) tanpa
argumentasi.

Biarlah kita makin lama makin hidup berpusat kepada Kristus dan firman Tuhan, yaitu Alkitab,
sehingga hidup kita makin memuliakan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.
http://en.wikipedia.org/wiki/Facebook
Allah itu baik bagi SEMUA orang dalam BEBERAPA hal dan bagi BEBERAPA orang dalam SEGALA
hal.
(Prof. J. I. Packer, D.Phil., Mengenal Allah, hlm. 205)

Anda mungkin juga menyukai