Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

Disusun Oleh:

YUYUN DESI SAPUTRI

P1337420214003

3C

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG

PRODI DIII KEPERAWATAN PURWOKERTO

2016
LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Mansjoer, 2007).
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang
tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya
(Doenges, 2000:625).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya
disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture
tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan
ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2001).

2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang yang biasanya di akibatkan secara langsung dan
tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan
atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama
pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan
(Doenges, 2000:627).

Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:


a. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat
yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya
adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor
kekerasan.
c. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan
dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
3. Klasifikasi
Fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi
menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a. Berdasarkan sifat fraktur
1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan
antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga
fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat
hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan kulit.

b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur


1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh
penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti
terlihat pada foto.
2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).
b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu
korteks dengan kompresi tulang spongiosa di
bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan
mekanisme trauma.
1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau
langsung.
2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma
angulasi juga.
3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma
tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Berdasarkan jumlah garis patah.
1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari
satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak pada tulang yang sama.
e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap
ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih
utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum
(pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh).
d) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang
berulang-ulang.
e) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena
proses patologis tulang.
(Suddarth, 2002:2354-2356)

4. Patofisiologi
Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma.
Baik itu karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur
bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh
dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat
tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot
trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan
biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat
tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di
tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi
sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito (2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan
asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat
anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen
(Brunner & suddarth, 2002: 2387).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya
pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah
trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan
tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan
infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari
proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges, 2000:629).

5. Pathway
6. Manifestasi Klinis
a. Deformitas
b. Bengkak/edema
c. Echimosis (Memar)
d. Spasme otot
e. Nyeri
f. Kurang/hilang sensasi
g. Krepitasi
h. Pergerakan abnormal
i. Rontgen abnormal

7. Komplikasi
a. Syok
Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan
ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah
dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union
Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan
mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak
yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat
saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit
gerakan (non union).
c. Non union
Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20
minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed union
Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung
dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata
(KID).
Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur
terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan
oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
f. Emboli lemak
Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak
akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang
kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke
otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom Kompartemen
Masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari
yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan
fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan
iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya
injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips,
balutan atau pemasangan traksi.(Brunner & suddarth, 2002: 2390).

8. Pemeriksaan Penunjang

a. X.Ray
b. Foto Rontgen
c. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans
d. Arteriogram: dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.
e. CCT kalau banyak kerusakan otot.
(Carpenito 2000:50)

9. Penatalaksaan Medis
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi
oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8
jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap
dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan
tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi
fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (Brunner &
Suddart, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang
dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang
mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan
reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema
dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur
menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus
diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika
diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan
anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih
lanjut Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan
dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat
lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga
reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan
tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek
reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan
spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau
reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika
tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x.
Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk
melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi
terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang
direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,
sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai
penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat
diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum
tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang
kuat bagi fragmen tulang.
3) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang
sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi
fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus
diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran
yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan
sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

4) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan
jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan
sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli
bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan
dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk
analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan
untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula
diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi
interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah
yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan
luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang
diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban
berat badan.

B. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses


keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

a. Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa
yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah
rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung
dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi
yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
Region: radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab
dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat
rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa
ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang
lain
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab
fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut
akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung.
Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt
beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya
fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang
cenderung diturunkan secara genetik
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat
serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g) Pola-Pola Fungsi Gordon
i. Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan
terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus
menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya.

ii. Pola Nutrisi dan Metabolisme


Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi
melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium,
zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu
proses penyembuhan tulang.
iii. Pola Eliminasi
iv. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan
gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan
kebutuhan tidur klien.
v. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka
semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain.
vi. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan
dalam masyarakat karena klien harus menjalani
rawat inap.
vii. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul
ketakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan
aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image)
viii. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama
pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang
lain tidak timbul gangguan.
ix. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa
melakukan hubungan seksual karena harus
menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien.
x. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang
keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan
pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping
yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
xi. Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan
kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
b. Pemeriksaan Fisik
Gambaran Umum
1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-
tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak
ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi
perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
Inspeksi: Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
Palpasi: Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
Perkusi: Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara
tambahan lainnya.
Auskultasi: Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
Inspeksi: Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi: Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi: Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
l) Abdomen
Inspeksi: Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi: Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar
tidak teraba.
Perkusi: Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi: Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada
kesulitan BAB.

c. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah
pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk
mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan
tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA
dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi
tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan
pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari
bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan
pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
a) Bayangan jaringan lunak.
b) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau
biomekanik atau juga rotasi.
c) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
d) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik
khususnya seperti:
a) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi
struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada
kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks
dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain
juga mengalaminya.
b) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal
dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang
mengalami kerusakan akibat trauma.
c) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang
rusak karena ruda paksa.
d) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan
secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu
struktur tulang yang rusak.
2) Pemeriksaan Laboratorium
a) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
b) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan
menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk
tulang.
c) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase
yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang,
3) Pemeriksaan lain-lain
a) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
b) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila
terjadi infeksi.
c) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
d) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau
sobek karena trauma yang berlebihan.
e) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang.
MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
2. Rumusan Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas, luka operasi.
b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,
perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru,
kongesti)
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler,
nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi
(pen, kawat, sekrup)
e. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan
kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
f. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap
informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya
informasi yang ada

3. Rencana Tindakan

No Dx TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)

1 Nyeri NOC NIC


akut b/dv Pain Level, Pain Management
spasme v Pain control, 1. Lakukan pengkajian nyeri
otot, v Comfort level secara komprehensif termasuk
gerakan Kriteria Hasil : lokasi, karakteristik, durasi,
fragmen 1. Mampu mengontrol nyeri frekuensi, kualitas dan faktor
tulang, (tahu penyebab nyeri, presipitasi
edema, mampu menggunakan 2. Observasi reaksi nonverbal
cedera tehnik nonfarmakologi dari ketidaknyamanan
jaringan untuk mengurangi nyeri, 3. Gunakan teknik komunikasi
lunak, mencari bantuan) terapeutik untuk mengetahui
pemasan 2. Melaporkan bahwa nyeri pengalaman nyeri pasien
gan berkurang dengan 4. Bantu pasien dan keluarga
traksi, menggunakan manajemen untuk mencari dan
stress/an nyeri menemukan dukungan
sietas, 3. Mampu mengenali nyeri 5. Kurangi faktor presipitasi
luka (skala, intensitas, frekuensi nyeri
operasi. dan tanda nyeri) 6. Ajarkan tentang teknik non
4. Menyatakan rasa nyaman farmakologi
setelah nyeri berkurang 7. Evaluasi keefektifan kontrol
5. Tanda vital dalam rentang nyeri
normal 8. Tingkatkan istirahat
9. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
10. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri
2 Ganggu- NOC : NIC :
an pertu-v Respiratory Status : Gas Airway Management
karan gas exchange 1. Buka jalan nafas, gunakan
b/d peru-v Respiratory Status : ventilation teknik chin lift atau jaw thrust
bahan v Vital Sign Status bila perlu
aliran Kriteria Hasil : 2. Posisikan pasien untuk
darah, 1. Mendemonstrasikan memaksimalkan ventilasi
emboli, peningkatan ventilasi dan 3. Identifikasi pasien perlunya
peruba- oksigenasi yang adekuat pemasangan alat jalan nafas
han 2. Memelihara kebersihan paru buatan
membran paru dan bebas dari tanda 4. Lakukan fisioterapi dada jika
alveolar/ tanda distress pernafasan perlu
kapiler 3. Mendemonstrasikan batuk 5. Keluarkan sekret dengan
(interstisi efektif dan suara nafas yang batuk atau suction
al, bersih, tidak ada sianosis 6. Auskultasi suara nafas, catat
edema dan dyspneu (mampu adanya suara tambahan
paru, mengeluarkan sputum, 7. Berikan bronkodilator bial
kongesti) mampu bernafas dengan perlu
mudah, tidak ada pursed 8. Atur intake untuk cairan
lips) mengoptimalkan
4. Tanda tanda vital dalam keseimbangan.
rentang normal 9. Monitor respirasi dan status
O2
Respiratory Monitoring
1. Monitor rata rata,
kedalaman, irama dan usaha
respirasi
2. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan
otot tambahan, retraksi otot
supraclavicular dan
intercostal
3. Monitor suara nafas, seperti
dengkur
4. Monitor pola nafas :
bradipena, takipenia,
kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
5. Monitor kelelahan otot
diagfragma (gerakan
paradoksis)
6. Auskultasi suara nafas, catat
area penurunan / tidak adanya
ventilasi dan suara tambahan
7. Tentukan kebutuhan suction
dengan mengauskultasi
crakles dan ronkhi pada jalan
napas utama
3 Ganggu- NOC : Latihan Kekuatan
an v Joint Movement : Active 1. Ajarkan dan berikan
mobilitasv Mobility Level dorongan pada klien untuk
fisik b/dv Self care : ADLs melakukan program latihan
kerusa- v Transfer performance secara rutin
kan Kriteria Hasil : Latihan untuk ambulasi
rangka 1. Klien meningkat dalam 1. Ajarkan teknik Ambulasi &
neuro- aktivitas fisik perpindahan yang aman
muskuler 2. Mengerti tujuan dari kepada klien dan keluarga.
nyeri, peningkatan mobilitas 2. Sediakan alat bantu untuk
terapi 3. Memverbalisasikan klien seperti kruk, kursi roda,
restriktif perasaan dalam dan walker
(imobili- meningkatkan kekuatan dan 3. Beri penguatan positif untuk
sasi). kemampuan berpindah berlatih mandiri dalam
4. Memperagakan penggunaan batasan yang aman.
alat Bantu untuk mobilisasi Latihan mobilisasi dengan kursi
(walker) roda
1. Ajarkan pada klien &
keluarga tentang cara
pemakaian kursi roda & cara
berpindah dari kursi roda ke
tempat tidur atau sebaliknya.
2. Dorong klien melakukan
latihan untuk memperkuat
anggota tubuh
3. Ajarkan pada klien/ keluarga
tentang cara penggunaan
kursi roda
Latihan Keseimbangan
1. Ajarkan pada klien &
keluarga untuk dapat
mengatur posisi secara
mandiri dan menjaga
keseimbangan selama latihan
ataupun dalam aktivitas
sehari hari.
Perbaikan Posisi Tubuh yang
Benar
1. Ajarkan pada klien/ keluarga
untuk memperhatikan postur
tubuh yg benar untuk
menghindari kelelahan,
keram & cedera.
2. Kolaborasi ke ahli terapi fisik
untuk program latihan.
4 Ganggu- NOC : NIC : Pressure Management
an v Tissue Integrity : Skin and 1. Anjurkan pasien untuk
integritas Mucous Membranes menggunakan pakaian yang
kulit b/d Kriteria Hasil : longgar
fraktur 1. Integritas kulit yang baik 2. Hindari kerutan padaa tempat
terbuka, bisa dipertahankan tidur
pemasa- 2. Melaporkan adanya 3. Jaga kebersihan kulit agar
ngan gangguan sensasi atau nyeri tetap bersih dan kering
traksi pada daerah kulit yang 4. Mobilisasi pasien (ubah
(pen, mengalami gangguan posisi pasien) setiap dua jam
kawat, 3. Menunjukkan pemahaman sekali
sekrup) dalam proses perbaikan 5. Monitor kulit akan adanya
kulit dan mencegah kemerahan
terjadinya sedera berulang 6. Oleskan lotion atau
4. Mampumelindungi kulit dan minyak/baby oil pada derah
mempertahankan yang tertekan
kelembaban kulit dan 7. Monitor aktivitas dan
perawatan alami mobilisasi pasien
8. Memandikan pasien dengan
sabun dan air hangat
5 Risiko NOC : NIC :
infeksi v Immune Status Infection Control (Kontrol
b/d v Risk control infeksi)
ketidaka Kriteria Hasil : 1. Bersihkan lingkungan setelah
dekuatan 1. Klien bebas dari tanda dan dipakai pasien lain
pertaha- gejala infeksi 2. Pertahankan teknik isolasi
nan 2. Menunjukkan kemampuan 3. Batasi pengunjung bila perlu
primer untuk mencegah timbulnya 4. Instruksikan pada pengunjung
(kerusa- infeksi untuk mencuci tangan saat
kan kulit, 3. Jumlah leukosit dalam batas berkunjung dan setelah
taruma normal berkunjung meninggalkan
jaringan 4. Menunjukkan perilaku pasien
lunak, hidup sehat 5. Gunakan sabun antimikrobia
prosedur untuk cuci tangan
invasif/tr 6. Cuci tangan setiap sebelum
aksi dan sesudah tindakan
tulang) keperawatan
7. Gunakan baju, sarung tangan
sebagai alat pelindung
8. Pertahankan lingkungan
aseptik selama pemasangan
alat
9. Berikan terapi antibiotik bila
perlu
Infection Protection (proteksi
terhadap infeksi)
1. Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
2. Monitor hitung granulosit,
WBC
3. Monitor kerentanan terhadap
infeksi
4. Batasi pengunjung
5. Berikan perawatan kulit pada
area epidema
6. Inspeksi kulit dan membran
mukosa terhadap kemerahan,
panas, drainase
7. Inspeksi kondisi luka / insisi
bedah
8. Dorong masukkan nutrisi
yang cukup
9. Dorong masukan cairan
10. Dorong istirahat
11. Instruksikan pasien untuk
minum antibiotik sesuai resep
12. Ajarkan pasien dan keluarga
tanda dan gejala infeksi
13. Ajarkan cara menghindari
infeksi
6 Kurang NOC : NIC :
pengeta- Knowledge : disease process Teaching : disease Process
huan Knowledge : health Behavior 1. Berikan penilaian tentang
tentang Kriteria Hasil : tingkat pengetahuan pasien
kondisi, 1. Pasien dan keluarga tentang proses penyakit yang
progno- menyatakan pemahaman spesifik
sis dan tentang penyakit, kondisi, 2. Gambarkan tanda dan gejala
kebutu- prognosis dan program yang biasa muncul pada
han pengobatan penyakit, dengan cara yang
pengoba- 2. Pasien dan keluarga mampu tepat
tan b/d melaksanakan prosedur yang 3. Gambarkan proses penyakit,
kurang dijelaskan secara benar dengan cara yang tepat
terpajan 3. Pasien dan keluarga mampu 4. Identifikasi kemungkinan
atau menjelaskan kembali apa penyebab, dengan cara yang
salah yang dijelaskan perawat/tim tepat
interpre- kesehatan lainnya 5. Sediakan informasi pada
tasi pasien tentang kondisi,
terhadap dengan cara yang tepat
informa- 6. Diskusikan perubahan gaya
si, keter- hidup yang mungkin
batasan diperlukan untuk mencegah
kognitif, komplikasi di masa yang akan
kurang datang dan atau proses
akurat/le pengontrolan penyakit
ngkap- 7. Eksplorasi kemungkinan
nya sumber atau dukungan,
infor- dengan cara yang tepat
masi 8. Instruksikan pasien mengenai
yang ada tanda dan gejala untuk
melaporkan pada pemberi
perawatan kesehatan, dengan
cara yang tepat

4. Evaluasi yang Diharapkan

Evaluasia dalah stadium pada proses keperawatan dimana taraf


keberhasilan dalam pencapaian tujuan keperawatan dinilai dan
kebutuhan untuk memodifikasi tujuan atau intervensi keperawatan
ditetapkan (Brooker, 2001).
Evaluasi yang diharapkan pada pasien dengan post operasi fraktur
adalah:
a. Nyeri dapat berkurang atau hilang setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
b. Pasien memiliki cukup energy untuk beraktivitas.
c. Mencapai penyembuhan luka pada waktu yang sesuai
d. Pasien akan menunjukkan tingkat mobilitas optimal.
e. Infeksi tida kterjadi / terkontrol
f. Pasien mengutarakan pemahaman tentang kondisi, efek prosedur
dan proses pengobatan
DAFTAR PUSTAKA

Brunner, Suddarth. (2002). Buku Ajar Keperawtan Medikal Bedah, Edisi 8


Volume 3. Jakarta:EGC

Carpenito, LJ. (2001). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi6 . Jakarta: EGC

Doengoes, M.E. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC

Ircham Machfoedz. (2007). Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja,


atau di Perjalanan. Yogyakarta: Fitramaya

Mansjoer, A. (2007). Kapita Selekt a Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media


Aesculapius

Santosa, Budi. (2007). Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006.


Jakarta: Prima Medika

Smeltzer, S.C.(2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC

Wilkinson, Judith M. (2011).Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9.Jakarta :


EGC

Anda mungkin juga menyukai