Anda di halaman 1dari 68

Skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental

berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas dan oleh kemunduran
fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan
menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar,
sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negative seperti
penarikan diri, apati, dan perawatan diri yang buruk.

Skizofrenia terjadi dengan frekuensi yang sangat mirip di seluruh dunia. Skizofrenia
terjadi pada pria dan wanita dengan frekuensi yang sama. Gejala-gejala awal biasanya
terjadi pada masa remaja atau awal dua puluhan. Pria sering mengalami awitan yang
lebih awal daripada wanita.

Faktor resiko penyakit ini termasuk :

1. Riwayat skizofrenia dalam keluarga


2. Perilaku premorbid yang ditandai dengan kecurigaan, eksentrik, penarikan
diri, dan/atau impulsivitas.
3. Stress lingkungan
4. Kelahiran pada musim dingin. Faktor ini hanya memiliki nilai prediktif yang
sangat kecil.
5. Status sosial ekonomi yang rendah sekurang-kurangnya sebagian adalah
karena dideritanya gangguan ini

Penyakit Skizofrenia Tidak ada jalur etiologi tunggal yang telah diketahui menjadi
penyebab skizofrenia. Penyakit ini mungkin mewakili sekelompok heterogen
gangguan yang mempunyai gejala-gejala serupa. Secara genetik, sekurang-kurangnya
beberapa individu penderita skizofrenia mempunyai kerentanan genetic herediter.
Kemungkinan menderita gangguan ini meningkat dengan adanya kedekatan genetic
dengan, dan beratnya penyakit, probandnya. Penelitian Computed Tomography (CT)
otak dan penelitian post mortem mengungkapkan perbedaan-perbedaan otak penderita
skizofrenia dari otak normal walau pun belum ditemukan pola yang konsisten.
Penelitian aliran darah, glukografi, dan Brain Electrical Activity Mapping (BEAM)
mengungkapkan turunnya aktivitas lobus frontal pada beberapa individu penderita
skizofrenia. Status hiperdopaminergik yang khas untuk traktus mesolimbik (area
tegmentalis ventralis di otak tengah ke berbagai struktur limbic) menjadi penjelasan
patofisiologis yang paling luas diterima untuk skizofrenia.
Semua tanda dan gejala skizofrenia telah ditemukan pada orang-orang bukan
penderita skizofrenia akibat lesi system syaraf pusat atau akibat gangguan fisik
lainnya. Gejala dan tanda psikotik tidak satu pun khas pada semua penderita
skizofrenia. Hal ini menyebabkan sulitnya menegakkan diagnosis pasti untuk
gangguan skizofrenia. Keputusan klinis diambil berdasarkan sebagian pada

1. Tanda dan gejala yang ada


2. Rriwayat psikiatri
3. Setelah menyingkirkan semua etiologi organic yang nyata seperti keracunan
dan putus obat akut.

Terapi Penyakit Skizofrenia


Obat neuroleptika selalu diberikan, kecuali obat-obat ini terkontraindikasi, karena
75% penderita skizofrenia memperoleh perbaikan dengan obat-obat neuroleptika.
Kontraindikasi meliputi neuroleptika yang sangat antikolinergik seperti klorpromazin,
molindone, dan thioridazine pada penderita dengan hipertrofi prostate atau glaucoma
sudut tertutup. Antara sepertiga hingga separuh penderita skizofrenia dapat membaik
dengan lithium. Namun, karena lithium belum terbukti lebih baik dari neuroleptika,
penggunaannya disarankan sebatas obat penopang. Meskipun terapi elektrokonvulsif
(ECT) lebih rendah disbanding dengan neuroleptika bila dipakai sendirian,
penambahan terapi ini pada regimen neuroleptika menguntungkan beberapa penderita
skizofrenia.

Hal yang penting dilakukan adalah intervensi psikososial. Hal ini dilakukan dengan
menurunkan stressor lingkungan atau mempertinggi kemampuan penderita untuk
mengatasinya, dan adanya dukungan sosial. Intervensi psikososial diyakini
berdampak baik pada angka relaps dan kualitas hidup penderita. Intervensi berpusat
pada keluarga hendaknya tidak diupayakan untuk mendorong eksplorasi atau ekspresi
perasaan-perasaan, atau mempertinggi kewaspadaan impuls-impuls atau motivasi
bawah sadar.

Tujuannya adalah :

1. Pendidikan pasien dan keluarga tentang sifat-sifat gangguan skizofrenia.


2. Mengurangi rasa bersalah penderita atas timbulnya penyakit ini. Bantu
penderita memandang bahwa skizofrenia adalah gangguan otak.
3. Mempertinggi toleransi keluarga akan perilaku disfungsional yang tidak
berbahaya. Kecaman dari keluarga dapat berkaitan erat dengan relaps.
4. Mengurangi keterlibatan orang tua dalam kehidupan emosional penderita.
Keterlibatan yang berlebihan juga dapat meningkatkan resiko relaps.
5. Mengidentifikasi perilaku problematik pada penderita dan anggota keluarga
lainnya dan memperjelas pedoman bagi penderita dan keluarga.

Psikodinamik atau berorientasi insight belum terbukti memberikan keuntungan bagi


individu skizofrenia. Cara ini malahan memperlambat kemajuan. Terapi individual
menguntungkan bila dipusatkan pada penatalaksanaan stress atau mempertinggi
kemampuan social spesifik, serta bila berlangsung dalam konteks hubungan terapeutik
yang ditandai dengan empati, rasa hormat positif, dan ikhlas. Pemahaman yang
empatis terhadap kebingungan penderita, ketakutan-ketakutannya, dan
demoralisasinya amat penting dilakukan.
Prognosis Penyakit Skizofrenia
Fase residual sering mengikuti remisi gejala psikotik yang tampil penuh, terutama
selama tahun-tahun awal gangguan ini. Gejala dan tanda selama fase ini mirip dengan
gejala dan tanda pada fase prodromal; gejala-gejala psikotik ringan menetap pada
sekitar separuh penderita. Penyembuhan total yang berlangsung sekurang-kurangnya
tiga tahun terjadi pada 10% pasien, sedangkan perbaikan yang bermakna terjadi pada
sekitar dua per tiga kasus. Banyak penderita skizofrenia mengalami eksaserbasi
intermitten, terutama sebagai respon terhadap situasi lingkungan yang penuh stress.
Pria biasanya mengalami perjalanan gangguan yang lebih berat dibanding wanita.
Sepuluh persen penderita skizofrenia meninggal karena bunuh diri.

Prognosis baik berhubungan dengan tidak adanya gangguan perilaku prodromal,


pencetus lingkungan yang jelas, awitan mendadak, awitan pada usia pertengahan,
adanya konfusi, riwayat untuk gangguan afek, dan system dukungan yang tidak kritis
dan tidak terlalu intrusive. Skizofrenia Tipe I tidak selalu mempunyai prognosis yang
lebih baik disbanding Skizofrenia Tipe II. Sekitar 70% penderita skizofrenia yang
berada dalam remisi mengalami relaps dalam satu tahun. Untuk itu, terapi selamanya
diwajibkan pada kebanyakan kasus.

http://www.resep.web.id/kesehatan/mengenal-penyakit-skizofrenia-salah-satu-
gangguan-psikosis-fungsional.htm

Pendahuluan.

Skizofrenia merupakan gangguan mental yang kompleks dan banyak aspek


tentang skizofrenia sampai saat ini belum dapat dipahami sepenuhnya. Sebagai
suatu sindrom, pendekatan skizofrenia harus dilakukan secara holistik dengan
melibatkan aspek psikososiai, psikodinamik, genetik, farmakologi, dan lain-lain.

Mengingat kompleksnya gangguan skizofrenia, untuk mendapatkan hasil terapi


yang optimal, klinikus perlu memperhatikan beberapa fase simptom gangguan
skizofrenia, yaitu : fase prodromal, fase aktif dan fase residual. Hasil akhir yang
ingin dicapai adalah penderita skizofrenia dapat kembali berfungsi dalam bidang
pekerjaan, sosial dan keluarga.

Skizofrenla Skizofrenia adalah suatu sindrom klinis dengan variasi psikopatologi,


biasanya berat, berlangsung lama dan ditandai oleh penyimpangan dari pikiran,
persepsi serta emosi
Epidemioiogi Prevalensi skizofrenia di Amerika Serikat dilaporkan bervariasi
terentang dari 1 sampai 1,5 persen dengan angka insidens 1 per 10.000 orang
per tahun. Berdasarkan jenis kelamin prevalensi skizofrenia adalah sama,
perbedaannya terlihat dalam onset dan perjalanan penyakit. Onset untuk laki laki
15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih
buruk pada laki laki dibandingkan wanita.

Beberapa penelitian menemukan bahwa 80% semua pasien skizofrenia menderita


penyakit fisik dan 50% nya tidak terdiagnosis. Bunuh diri adalah penyebab
umum kematian diantara penderita skizofrenia, 50% penderita skizofrenia pernah
mencoba bunuh diri 1 kali seumur hidupnya dan 10% berhasil melakukannya.
Faktor risiko bunuh diri adalah adanya gejala depresif, usia muda dan tingkat
fungsi premorbid yang tinggi.

Komorbiditas Skizofrenia dengan penyalahgunaan alkohol kira kina 30% sampai


50%, kanabis 15% sampal 25% dan kokain 5%-10%. Sebagian besar penelitian
menghubungkan hal ini sebagai suatu indikator prognosis yang buruk karena
penyalahgunaan zat menurunkan efektivitas dan kepatuhan pengobatan. Hal
yang biasa kita temukan pada penderita skizofrenia adalah adiksi nikotin,
dikatakan 3 kali populasi umum (75%-90% vs 25%-30%). Penderita skizofrenia
yang merokok membutuhkan anti psikotik dosis tinggi karena rokok
meningkatkan kecepatan metabolisme obat tetapi juga menurunkan
parkinsonisme. Beberapa laporan mengatakan skizofrenia lebih banyak dijumpai
pada orang orang yang tidak menikah tetapi penelitian tidak dapat membuktikan
bahwa menikah memberikan proteksi terhadap Skizofrenia.

Etiologi
Model diatesis -stress Menurut teori ini skizofrenia timbul akibat faktor psikososial
dan lingkungan. Model ini berpendapat bahwa seseorang yang memiliki
kerentanan (diatesis) jika dikenai stresor akan lebih mudah menjadi skizofrenia.
Faktor Biologi

Komplikasi kelahiran
Bayi laki laki yang mengalami komplikasi saat dilahirkan sering mengalami
skizofrenia, hipoksia perinatal akan meningkatkan kerentanan seseorang
terhadap skizofrenia.

Infeksi
Perubahan anatomi pada susunan syaraf pusat akibat infeksi virus pernah
dilaporkan pada orang orang dengan skizofrenia. Penelitian mengatakan bahwa
terpapar infeksi virus pada trimester kedua kehamilan akan meningkatkan
seseorang menjadi skizofrenia.

Hipotesis Dopamin
Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala
skizofrenia. Hampir semua obat antipsikotik baik tipikal maupun antipikal
menyekat reseptor dopamin D2, dengan terhalangnya transmisi sinyal di sistem
dopaminergik maka gejala psikotik diredakan.1 Berdasarkan pengamatan diatas
dikemukakan bahwa gejala gejala skizofrenia disebabkan oleh hiperaktivitas
sistem dopaminergik.57

Hipotesis Serotonin
Gaddum, wooley dan show tahun 1954 mengobservasi efek lysergic acid
diethylamide (LSD) yaitu suatu zat yang bersifat campuran agonis/antagonis
reseptor 5-HT. Temyata zatini menyebabkan keadaan psikosis berat pada orang
normal. Kemungkinan serotonin berperan pada skizofrenia kembali mengemuka
karena penetitian obat antipsikotik atipikal clozapine yang temyata mempunyai
afinitas terhadap reseptor serotonin 5-HT~ lebih tinggi dibandingkan
reseptordopamin D2.57

Struktur Otak
Daerah otak yang mendapatkan banyak perhatian adalah sistem limbik dan
ganglia basalis. Otak pada pendenta skizofrenia terlihat sedikit berbeda dengan
orang normal, ventrikel teilihat melebar, penurunan massa abu abu dan beberapa
area terjadi peningkatan maupun penurunan aktifitas metabolik.
Pemenksaaninikroskopis dan jaringan otak ditemukan sedikit perubahan dalam
distnbusi sel otak yang timbul pada masa prenatal karena tidak ditemukannya sel
glia, biasa timbul pada trauma otak setelah lahir.81

Genetika

Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari


populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat
pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan
skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti
paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan
populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita
skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang
skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12%.

Gambaran klinis

Perjalanan penyakit Skizofrenia dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase prodromal,
fase aktif dan fase residual. Pada fase prodromal biasanya timbul gejala gejala
non spesifik yang lamanya bisa minggu, bulan ataupun lebih dari satu tahun
sebelum onset psikotik menjadi jelas. Gejala tersebut meliputi : hendaya fungsi
pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan
diri. Perubahan perubahan ini akan mengganggu individu serta membuat resah
keluarga dan teman, mereka akan mengatakan orang ini tidak seperti yang
dulu. Semakin lama fase prodromal semakin buruk prognosisnya. Pada fase
aktif gejala positif / psikotik menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik,
inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek. Hampir semua individu
datang berobat pada fase ini, bila tidak mendapat pengobatan gejala gejala
tersebut dapat hilang spontan suatu saat mengalami eksaserbasi atau terus
bertahan. Fase aktif akan diikuti oleh fase residual dimana gejala gejalanya
sama dengan fase prodromal tetapi gejala positif / psikotiknya sudah berkurang.
Disamping gejala gejala yang terjadi pada ketiga fase diatas, pendenta
skizofrenia juga mengalami gangguan kognitif berupa gangguan berbicara
spontan, mengurutkan peristiwa, kewaspadaan dan eksekutif (atensi,
konsentrasi, hubungan sosial)

Diagnosis: Pedoman Diagnostik PPDGJ-lll


Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala gejala itu kurang tajam atau kurang
jelas):
a. - thought echo = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda ; atau
- thought insertion or withdrawal = isi yang asing dan luar
masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil
keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
- thought broadcasting= isi pikiranya tersiar keluar sehingga
orang lain atau umum mengetahuinya;
b. - delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan
oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau
- delusion of passivitiy = waham tentang dirinya tidak berdaya
dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; (tentang dirinya =
secara jelas merujuk kepergerakan tubuh / anggota gerak atau ke
pikiran, tindakan, atau penginderaan khusus);
- delusional perception = pengalaman indrawi yang tidak
wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasnya
bersifatmistik atau mukjizat;
c. Halusinasi auditorik:
suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus
terhadap perilaku pasien, atau
mendiskusikan perihal pasien pasein di antara mereka
sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau
jenis suara halusinasi lain yang berasal dan salah satu
bagian tubuh.
d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya
setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil,
misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau
kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan mahluk asing
dan dunia lain)
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas:
a. halusinasi yang menetap dan panca-indera apa saja, apabila
disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang
setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun
disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap,
atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu minggu atau
berbulan-bulan terus menerus;
b. arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan
(interpolation), yang berkibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;
c. perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement),
posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea,
negativisme, mutisme, dan stupor;
d. gejala-gejala negative, seperti sikap sangat apatis, bicara yang
jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,
biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial
dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi oleh depresi atau medikasi
neuroleptika;
Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun
waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
(prodromal)
Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dan beberapa aspek perilaku pribadi
(personal behavior), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu sikap larut dalam diri sendiri (self-
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

Prognosis

Walaupun remisi penuh atau sembuh pada skizofrenia itu ada, kebanyakan orang
mempunyai gejala sisa dengan keparahan yang bervariasi. Secara umum 25%
individu sembuh sempurna, 40% mengalami kekambuhan dan 35% mengalami
perburukan. Sampai saat ini belum ada metode yang dapat memprediksi siapa
yang akan menjadi sembuh siapa yang tidak, tetapi ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhinya seperti : usia tua, faktor pencetus jelas, onset akut,
riwayat sosial / pekerjaan pramorbid baik, gejala depresi, menikah, riwayat
keluarga gangguan mood, sistem pendukung baik dan gejala positif ini akan
memberikan prognosis yang baik sedangkan onset muda, tidak ada faktor
pencetus, onset tidak jelas, riwayat sosial buruk, autistik, tidak
menikah/janda/duda, riwayat keluarga skizofrenia, sistem pendukung buruk,
gejala negatif, riwayat trauma prenatal, tidak remisi dalam 3 tahun, sering relaps
dan riwayat agresif akan memberikan prognosis yang buruk.

Terapi / Tatalaksana I. Psikofarmaka

Pemilihan obat Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek
primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan utama
pada efek sekunder ( efek samping: sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).
Pemilihan jenis antipsikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan dosis
ekivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons
klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat,
dapat diganti dengan obat antipsikosis lain (sebaiknya dan golongan yang
tidak sama) dengan dosis ekivalennya. Apabila dalam riwayat penggunaan
obat antipsikosis sebelumnya sudah terbukti efektif dan efek sampingnya
ditolerir baik, maka dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Bila
gejala negatif lebih menonjol dari gejala positif pilihannya adalah obat
antipsikosis atipikal, Sebaliknya bila gejala positif lebih menonjol
dibandingkan gejala negatif pilihannya adalah tipikal. Begitu juga pasien-
pasien dengan efek samping ekstrapiramidal pilihan kita adalah jenis
atipikal. Obat antipsikotik yang beredar dipasaran dapat dikelompokkan
menjadi dua bagian yaitu antipsikotik generasi pertama (APG I) dan
antipsikotik generasi ke dua (APG ll). APG I bekerja dengan memblok
reseptor D2 di mesolimbik, mesokortikal, nigostriatal dan
tuberoinfundibular sehingga dengan cepat menurunkan gejala positif
tetapi pemakaian lama dapat memberikan efek samping berupa:
gangguan ekstrapiramidal, tardive dyskinesia, peningkatan kadar prolaktin
yang akan menyebabkan disfungsi seksual / peningkatan berat badan dan
memperberat gejala negatif maupun kognitif. Selain itu APG I
menimbulkan efek samping antikolinergik seperti mulut kering pandangan
kabur gangguaniniksi, defekasi dan hipotensi. APG I dapat dibagi lagi
menjadi potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama
dengan 10 mg diantaranya adalah trifluoperazine, fluphenazine,
haloperidol dan pimozide. Obat-obat ini digunakan untuk mengatasi
sindrom psikosis dengan gejala dominan apatis, menarik diri, hipoaktif,
waham dan halusinasi. Potensi rendah bila dosisnya lebih dan 50 mg
diantaranya adalah Chlorpromazine dan thiondazine digunakan pada
penderita dengan gejala dominan gaduh gelisah, hiperaktif dan sulit tidur.
APG II sering disebut sebagai serotonin dopamin antagonis (SDA) atau
antipsikotik atipikal. Bekerja melalui interaksi serotonin dan dopamin pada
ke empat jalur dopamin di otak yang menyebabkan rendahnya efek
samping extrapiramidal dan sangat efektif mengatasi gejala negatif. Obat
yang tersedia untuk golongan ini adalah clozapine, olanzapine, quetiapine
dan rispendon.

Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan:
o Onset efek primer (efek klinis) : 2-4ininggu
Onset efek sekunder (efek samping) : 2-6 jam
o Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x/hr)
o Dosis pagi dan malam dapat berbeda (pagi kecil, malam besar)
sehingga tidak mengganggu kualitas hidup penderita.
o Obat antipsikosis long acting : fluphenazine decanoate 25 mg/cc
atau haloperidol decanoas 50 mg/cc, IM untuk 2-4ininggu. Berguna
untuk pasien yang tidak/sulitininum obat, dan untuk terapi
pemeliharaan.

Cara / Lama pemberian Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis
anjuran dinaikkan setiap 2-3 hr sampai mencapai dosis efektif (sindrom
psikosis reda), dievaluasi setiap 2ininggu bila pertu dinaikkan sampai dosis
optimal kemudian dipertahankan 8-12ininggu. (stabilisasi). Diturunkan
setiap 2ininggu (dosis maintenance) lalu dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun ( diselingi drug holiday 1-2/hari/minggu) setelah itu tapering off
(dosis diturunkan 2-4ininggu) lalu stop.
Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis multiepisode, terapi
pemeliharaan paling sedikit 5 tahun (ini dapat menurunkan derajat
kekambuhan 2,5 sampai 5 kali). Pada umumnya pemberian obat
antipsikosis sebaiknya dipertahankan selama 3 bulan sampai 1 tahun
setelah semua gejala psikosis reda sama sekali. Pada penghentian
mendadak dapat timbul gejala cholinergic rebound gangguan lambung,
mual, muntah, diare, pusing dan gemetar. Keadaan ini dapat diatasi
dengan pemberian anticholmnergic agent seperti injeksi sulfas atropin
0,25 mg IM, tablet trhexyphenidyl 3x2 mg/hari.

II. Terapi Psikososial Ada beberapa macam metode yang dapat dilakukan
antara lain :
Psikoterapi individual
o Terapi suportif
o Sosial skill training
o Terapi okupasi
o Terapi kognitif dan perilaku (CBT)
Psikoterapi kelompok
Psikoterapi keluarga
Manajemen kasus
Assertive Community Treatment (ACT)

Gangguan Psikosis lainnya Gangguan Waham


Pedoman Diagnosis

Waham-waham merupakan satu-satunya ciri khas klinik atau gejala yang


paling mencolok. Waham-waham tersebut (baik tunggal maupun sebagai
suatu sistem waham) harus sudah ada sedikitnya 3 bulan lamanya, dan
harus bersifat khas pribadi (personal) dan bukan budaya setempat
Gejala-gejala depresif atau bahkan suatu episode depresif yang lengkap I
full-blown, mungkin terjadi secara intermiten, dengan syarat bahwa
waham-waham tersebut menetap pada saat-saat tidak terdapat gangguan
afektif itu.

Tidak boleh ada bukti-bukti tentang adanya penyakit otak

Tidak boleh ada halusinasi auditonk atau hanya kadang-kadang saja ada
dan bersifat sementara

Tidak ada riwayat gejala-gejala skizofrenia (waham dikendalikan, siar


pikiran, penumpulan afek, dsb)
Gangguan Psikotlk Akut dan Sementara Pedoman Diagnostik

Menggunakan urutan diagnosis yang mencerminkan urutan prioritas yang


diberikan untuk ciri-ciri utama terpilih dari gangguan ini. Urutan prioritas
yang dipakai ialah:
a. Onset yang akut (dalam masa 2ininggu atau kurang = jangka
waktu gejalagejala psikotik menjadi nyata dan mengganggu
sedikitnya beberapa aspek kehidupan dan pekerjaan sehari-hari,
tidak termasuk periode prodromal yang gejalanya sering tidak
jelas) sebagai ciri khas yang menentukan seluruh kelompok;

b. Adanya sindrom yang khas (berupa polimorfik = beraneka ragam


dan berubah cepat, atau schizophrenia-like = gejala skizofrnik
yang khas);

c. Adanya stress akut yang berkaitan (tidak selalu ada)

d. Tanpa diketahui berapa lama gangguan akan berlangsung

Tidak ada gangguan dalam kelompok ini yang memenuhi


kriteria episode manik atau episode depresif, walaupun
perubahan emosional dan gejalagejala afektif individual
dapat menonjol dan waktu ke waktu

Tidak ada penyebab organic, seperti trauma kapitis,


delirium, atau demensia. Tidak merupakan intoksikasi akibat
penggunaan alcohol atau obat-obatan.

Gangguan Skizoafektif Pedoman Diagnostik :

1. Diagnosis gangguan skizoafektif hanya dibuat apabila gejal-gejala


definitive adanya skizofrenia dan gangguan afektif sama-sama menonjol
pada saat yang bersamaan (simultaneously), atau dalam beberapa hari
yang satu sesudah yang lain, dalam satu episode penyakit yang sama, dan
bilamana, sebagai konsekuensi dari ini, episode penyakit tidak memenuhi
kritena baik skizofrenia maupun episode manik atau depresif
2. Tidak dapat digunakan untuk pasien yang menampilkan gejala skizofrenia
dan gangguan afektif tetapi dalam episode penyakit yang berbeda

3. Bila seorang pasien skizofrenik menunjukkan gejala depresif setelah


mengalami suatu episode psikotik, diberi kode diagnosis F20.4 (Depresi
Pasca-skizofrenia). Beberapa pasien dapat mengalami episode skizoafektif
berulang, baik berjenis manik maupun depresif atau campuran dari
keduanya. Pasien lain mengalami satu atau dua episode skizoafektif
terselip di antara episode manik atau depresif.

DAFTAR PUSTAKA

1. Agus D, Pendekatan holistik terhadap Skizofrenia, dalam majalah psikiatri,


Jakarta, 2005:1.
2. World Health Organization Collaborating Centre for Mental Health and
Substance Abuse, Schizophrenia : General lmformation, Australia, 1997.
3. Buchanan RW, Carpenter WT, Schizophrenia : introduction and overview,
in: Kaplan and Sadock comprehensive textbook of psychiatry, 7th ed,
Philadelphia: lippincott Williams and wilkins :2000: 1096-1109.

4. Maslim R, skizofrenla, gangguan skizotipal dan gangguan waham, dalam


PPDGJ III, Jakarta, 1998 :46-57.

5. Kaplan, Hl, Sadock BJ, Grebb JA, Skizofrenia, dalam : Sinopsis psikiatri, ed
7, vol 1, 1997 : 685-729.

6. American Psychiatric Association, Schizophrenia and other psychotic


disorders, in diagnostic and statistical manual of mental disorders, 4th ed,
Washington, DC, 1994:273-286.

7. Sapiie TWA, Patobiologi skizofrenia dan peranan serotonin dalam gejala


negatif skizofrenia, dalam majalah psikiatri, Jakarta, 2007 : 77-89

8. National Institute of Mental Health, National Institutes of Health,


www.nimh.nih.gov, what is schizophrenia?

9. Norquist GS, Narrow WE, Schizophrenia : Epidemiology, in : Kaplan and


Sadock Comprehensive textbook of psychiatry, 7th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams and wilkins, 2000:1110-1117.

10. Gur RE, Gur RC, Schizophrenia: Brain structure and function in: Kaplan
and Sadock Comprehensive textbook of psychiatry, 7th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams and wilkins, 2000:1117-1129

11. Kendler KS, Schizophrenia : Genetics, in : Kaplan and Sadock


Comprehensive textbook of psychiatry, 7th ed, Philadelphia: Lippincott
Williams and wilkins, 2000: 1147-1169

12. Maramis WF, Skizofrenia, dalam : Catatan ilmu kedokteran jiwa, ed 7,


Surabaya, 1998 :215-235.

13. Agus D, Difungsi kognitif pada skizofrenia, dalam : majalah psikiatri,


Jakarta 2005: 51-67

14. Sinaga BR, Skizofrenia dan Diagnosis banding, Jakarta 2007:12-137.

15. Maslim R, Penggunaan kllnis obat psikotropik, ed 2, Jakarta, 2001 : 14-22.

16. Surilena, lntervensi psikososial dalam manajemen skizofrenia, dalam :


majalah psikiatri, Jakarta 2005 :69-83.

http://www.idijakbar.com/prosiding/skizofrenia.htm
Skizofrenia mungkin tidak akrab di telinga orang awam yang tidak mendalami dunia
psikologi atau pun kedokteran. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, bukan tidak
mungkin kita akan menemuinya. Atau bisa jadi malah salah satu anggota keluarga kita
mengalaminya. Apakah sebenarnya skizofrenia ini dan apa yang harus kita lakukan
bila ada orang terdekat kita yang mengalaminya? Berikut ringkasan perbincangan
dengan Pdt. Paul Gunadi mengenai skizofrenia. Silakan menyimak!

T: Apa itu gangguan skizofrenia?

J: Gangguan skizofrenia adalah gangguan jiwa yang serius karena mengganggu cara
pikir sehingga kita tidak lagi melihat kenyataan dengan tepat sebab pikiran kita
dipenuhi dengan alam khayal yang sedemikian rupa sehingga kita
mencampuradukkan antara alam khayal dan realitas atau kenyataan.

Biasanya para penderita skizofrenia ini tidak bisa lagi bekerja atau berumah tangga
karena dia tidak mungkin melakukan fungsi kehidupan sehari-hari karena gangguan
persepsi akan realitas ini begitu menyeluruh dalam hidupnya. Itu sebabnya mereka
yang menderita gangguan ini harus dirawat di rumah atau di rumah perawatan
sehingga penderita bisa dirawat secara khusus. Dan itu akan menjadi perawatan yang
berjangka panjang.

T: Kalau ini gangguan mental, apa penyebabnya?

J: Ini memang gangguan yang kita tidak bisa katakan berasal dari luar dirinya.
Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang disebabkan oleh hal-hal yang bersifat
organik atau suatu senyawa kimia di otaknya sehingga dia tidak bisa lagi berinteraksi
dengan realitas secara tepat, baik dalam pola pikirnya maupun reaksinya terhadap
peristiwa yang dialaminya. Ini adalah sesuatu yang biasanya dia bawa atau miliki
kecenderungannya sejak lahir.

T: Gangguan mental itu ada bermacam-macam, kapan kita bisa mengatakan bahwa
seseorang itu mengalami gangguan skizofrenia?

J: Kata ini memunyai dua unsur atau dua hal, yaitu dilusi dan halusinasi. Dilusi
adalah pikiran yang tidak rasional atau anggapan-anggapan yang tak berdasar yang
tidak rasional lagi. Misalnya, kita menganggap bahwa kita adalah superman atau kita
menganggap kita adalah hewan. Inilah yang disebut dilusi, pikiran tidak lagi rasional.

Halusinasi adalah kelanjutan dari dilusi, dia bukan saja tidak memiliki pikiran yang
tidak lagi rasional, namun dia melibatkan panca indranya di alam khayalnya itu. Jadi,
halusinasinya kita sebut halusinasi penglihatan karena dia mulai melihat hal-hal
tertentu yang sebetulnya tidak ada. Misalnya, dia melihat seseorang dan seseorang itu
berbicara dengan dia, atau halusinasi pendengaran, yaitu dia mulai mendengar orang
berkata-kata dengan dia sehingga dia juga memberi respons bercakap-cakap dengan
orang tersebut meskipun sebetulnya keduanya ini tidak ada.

T: Di masyarakat sering kali disebut orang gila, apakah istilah itu tepat?

J: Memang istilah skizofrenia itu sebetulnya berasal dari satu kata, yaitu "skismi" atau
"skisme", bahasa Inggrisnya "schism". Kata "skisme" yang menjadi "skizo" itu berarti
terbelah atau pecah. Jadi, skizofrenia adalah gangguan yang memutuskan atau
membelah fungsi rasional kita, sehingga kita tidak lagi bersentuhan dengan realitas
antara kita dan alam nyata.

T: Juga ada orang yang mengatakan ini gara-gara stres, jadi tekanan hidupnya terlalu
banyak, apakah itu betul?

J: Memang ada kasus-kasus yang muncul akibat depresi berat yang berkelanjutan.
Depresi berat yang sangat parah itu biasanya juga bisa menghadirkan pemikiran-
pemikiran yang dilusional, artinya penuh dengan ketidakrasionalan. Sekilas depresi
berat ini tampaknya seperti skizofrenia, namun kalau gejala halusinasi atau dilusi ini
munculnya setelah depresi berat, sebetulnya itu bagian dari depresi yang beratnya.
Dengan pertolongan obat dan konseling, biasanya orang bisa keluar dari depresi yang
berat, sebab jika bisa keluar dari depresi yang berat, maka gejala-gejala itu juga akan
hilang dengan sendirinya.

Kalau orang menderita skizofrenia agak berbeda. Dia tidak harus didahului atau
mengalami depresi berat. Umumnya, gejala skizofrenia ini munculnya pada anak-anak
remaja, dengan kata lain pada masa kecil kita memang tidak bisa mendeteksinya. Kita
melihat anak ini sama dengan anak-anak lain, tapi waktu dia mulai beranjak remaja,
kita baru melihat bahwa ada sesuatu yang lain pada dirinya, yaitu anak-anak yang
menderita skizofrenia adalah anak-anak yang sejak kecil itu cenderung tidak mau
bergaul, mengisolasi diri, dan waktu remaja nampak sekali gejalanya. Jadi, dia
mengucilkan dirinya, tidak punya teman dan sebagainya, tiba-tiba kita mulai melihat
dia bicara, tertawa sendirian. Sekali lagi ini tidak didahului oleh stres dan memang
benar-benar gejalanya muncul dengan sendirinya. Inilah yang kita katakan sebetulnya
skizofrenia tidak ditentukan oleh pengaruh luar, tapi memang sesuatu yang sudah
dibawa dari kecil dan tinggal tunggu waktu, maka gejala itu akan menam pakkan diri.

T: Berarti ada faktor keturunan?

J: Sering kali ya. Kita mesti berhati-hati tatkala mengatakan ini keturunan,
maksudnya gangguan yang berat seperti skizofrenia sering kali melibatkan keturunan.
Kalau orang tua kita memunyai gangguan ini, maka kemungkinan kita mengidapnya
lebih besar dari pada orang lain.

Jadi, tidak berarti bahwa kalau orang tua kita mengidapnya, maka pastilah kita akan
mengidapnya. Itu salah! Yang dimaksud dengan keturunan adalah bahwa
kemungkinan kita mengidapnya lebih besar daripada orang lain yang orang tuanya
tidak mengidap gangguan ini. Gangguan ini memang gangguan yang disebut organik,
artinya gangguan yang muncul dari syaraf-syaraf atau senyawa kimiawi di otak kita
yang membuat kita akhirnya mengidap gangguan ini.

T: Kalau itu faktor organik, apakah kita bisa melakukan pencegahan sedini mungkin,
misalnya dengan menggunakan obat-obatan atau vitamin untuk syaraf atau
bagaimana?

J: Malangnya, sampai saat ini belum ditemukan cara untuk mencegah munculnya
skizofrenia. Maka yang bisa dilakukan hanyalah supaya orang tua itu bisa lebih tajam,
lebih peka melihat gejala ini sedini mungkin, sebab kalau gejala ini diketahui sedini
mungkin dengan pengobatan dan sebagainya, maka dilusi dan halusinasi itu bisa
dikurangi.

Waktu orang terkena skizofrenia, pengobatan yang akan dicoba ialah meredam
munculnya dilusi dan halusinasi itu. Kalau sejak anak kecil atau remaja sudah mulai
menampakkan dilusi dan halusinasi, setidak-tidaknya pada masa kecil itu dia diminta
atau diharuskan memakan obat untuk menghilangkan dilusi atau halusinasi. Mudah-
mudahan karena sudah dibiasakan, maka dia akan lebih terbiasa memakan obat-
obatan ini sehingga dilusi atau halusinasi tidak harus timbul. Kalaupun akhirnya
muncul, tidak akan muncul sesering itu, karena sekali lagi dengan munculnya ilmu
kedokteran, maka lebih tersedia obat-obat yang dapat menghilangkan dilusi atau
halusinasi ini. Tapi sekali lagi, ini adalah gejala, baik dilusi maupun halusinasi,
penyakit itu sendiri tetap ada. Jadi obat tidak menyembuhkan penyakitnya, yang
sudah ada itu akan tetap ada. Maka kita tidak mengatakan skizofrenia suatu yang
dapat disembuhkan atau "curable". Kita hanya mengatakan skizofrenia adalah
penyakit yang " treatable", dapat dilawan, dapat diobati, pengembangan gejala-
gejalanya dapat dibendung sehingga tidak harus memburuk.

T: Sebenarnya gangguan skizofrenia ini menetap atau kadang-kadang muncul di


dalam diri seseorang ?

J: Ini adalah salah satu kesalahpahaman, kadang-kadang kita beranggapan orang yang
terkena skizofrenia akan terus-menerus setiap detik berkhayal dan dalam dunia
khayalnya, sebetulnya tidak! Jadi, ada waktu di mana dia bisa bicara menjawab
pertanyaan kita dengan biasa, namun setelah berbicara dengan kita, dia akan diam
kemudian tertawa sendirian lagi, dia akan bicara lagi.

Memang gejala ini tidak harus menetap setiap detik, tapi kita katakan dia sudah
terganggu sebab sebetulnya di dalam dirinya sudah ada keterpecahan itu, meskipun
masih ada kemampuan untuk berelasi dengan orang di luar dirinya, tapi memang tidak
konstan terus-menerus dia akan kembali ke dunia khayalnya.

T: Bagaimana kalau kita tinggal bersama-sama dengan orang yang mengalami


gangguan skizofrenia?

J: Langkah pertama adalah kita mesti mengakui bahwa orang ini atau anak kita ini
bermasalah. Ini salah satu hal yang tidak mudah diakui oleh orang tua. Orang tua yang
anaknya menderita gangguan seperti ini, sampai waktu yang lama, tetap tidak mau
mengakui bahwa inilah yang diderita oleh si anak.

Langkah kedua adalah kalau untuk gangguan yang seberat ini, kita memang harus
langsung membawanya ke psikiater, yaitu seorang dokter yang spesialisasinya dalam
bidang psikiatri dan nanti dokter akan melihat gejalanya kemudian memberikan obat
yang harus dimakan. Ini menjadi suatu tantangan yang terbesar, sebab penderita
skizofrenia tidak selalu mau makan obat, jadi kita harus memaksa dia untuk
memakannya karena begitu dia tidak mau makan obat, maka tinggal tunggu waktu
gejala delusi dan halusinasinya akan kembali lagi. Kalau sudah seperti itu, maka yang
harus dilakukan adalah membawanya dengan paksa ke rumah sakit jiwa, karena di
sana dia bisa dengan paksa diberi obat sehingga dia bisa dirawat lagi dan bisa tenang
kembali serta dapat dipulangkan. Namun, ini biasanya sebuah siklus, dia akan merasa
baik selama beberapa waktu, kemudian dia tidak mau makan obat lagi dan kembali
lagi pada khayalannya, akhirnya dibawa ke rumah sakit lagi dan ini berlangsung
seumur hidup.

Kalau keluarga memunyai anggota yang seperti itu, maka perlu dipikirkan
pengaturannya atau perawatannya, sebab orang tua tidak bisa selamanya merawat
anak ini. Persoalannya adalah kalau kakak atau adiknya memunyai keluarga, ini
bukanlah sesuatu yang sehat sebab kalau dalam keluarga itu ada anak dan anak itu
melihat pamannya yang menderita gangguan seperti ini, itu bukanlah hal sehat. Maka
hal yang cocok yang lebih disarankan adalah sebaiknya, kalau orang tua sudah mulai
tua dan sebagainya, dia dirawat di dalam rumah perawatan. Asal kita bisa percaya
bahwa rumah perawatan itu akan merawatnya dengan baik, mungkin itu adalah jalan
keluar yang terbaik dan dia bisa tinggal di sana, punya kamar sendiri, mendapatkan
perawatan, obat, dan kalau dia tidak mau minum obat, dia bisa disuntik dan
sebagainya, sehingga dia lebih terkontrol.

T: Biasanya baru kita kenali setelah dia dewasa atau bagaimana?

J: Biasanya setelah remaja atau dewasa awal. Biasanya mulai terlihat setelah umur 15
atau 16 tahun. Dia mulai tidak mau bergaul, diam, murung, tidak mau bertemu orang,
susah percaya, tidak mau ada perasaan-perasaan yang keluar, wajahnya datar-datar
saja, kalau senang tidak pernah terlihat dan sedih pun tidak kelihatan, marah tidak
kelihatan. Jadi benar-benar sebuah wajah yang kosong, yang datar saja. Akhirnya
mulai kelihatan bicara sendiri, tertawa sendirian, dan sebagainya.

T: Sehubungan dengan hal ini, apakah ada ayat firman Tuhan yang ingin
disampaikan?

J: Saya akan bacakan Mazmur 139:13, 16 "Sebab Engkaulah yang membentuk buah
pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. mata-Mu melihat selagi aku bakal
anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum
ada satupun dari padanya."

Kita mesti mengingat penderita skizofrenia mestinya adalah ciptaan Tuhan, dan Tuhan
tidak pernah membuat kesalahan, mengapa Dia mengizinkan semua ini terjadi?
Maksud inilah yang tidak mudah untuk kita ketahui, tapi janganlah kita menyesali
atau malahan marah kepada Tuhan, tapi terimalah! Ada rencana Tuhan dan tetap ini
adalah ciptaan Tuhan yang kita mesti hormati.

http://c3i.sabda.org/gangguan_skizofrenia

SKIZOFRENIA adalah gangguan yang kompleks yang dapat muncul dalam beberapa
bentuk.

GEJALA
Ada 2 kategori gejala:
ditandai munculnya persepsi, 1. gejala positif = gejala tipe I pikiran, dan perilaku
yang tidak biasa secara menonjol, misalnya: halusinasi, delusi, pikiran dan
pembicaraan kacau, dan perilaku katatonik.
ditandai hilangnya atau 2. gejala negatif = gejala tipe II berkurangnya kemampuan
di area tertentu, misalnya tidak munculnya perilaku tertentu, afek datar, dan alogia
(tidak mau bicara).

Selain gejala2 tsb, terdapat beberapa ciri lain skizofrenia, yang sebenarnya bukan
kriteria formal untuk diagnosa namun sering muncul sebagai gejala, yaitu:
1. afek yang tidak tepat (mis. Tertawa saat sedih dan menangis saat bahagia),
2. anhedonia (kehilangan kemampuan untuk merasakan emosi ttt, apapun yang
dialami tidak dapat merasakan sedih atau gembira), dan
3. ketrampilan sosial yang terganggu (mis. kesulitan memulai pembicaraan,
memelihara hubungan sosial, dan mempertahankan pekerjaan).

BEBERAPA GEJALA POSITIF SKIZOFRENIA

GEJALA DEFINISI & CONTOH


DELUSI Kepercayaan yang tidak sesuai realita; mis. Merasa dirinya Nabi
HALUSINASI Pengalaman indrawi yang tidak nyata; mis. Merasa melihat,
mendengar, atau membaui sesuatu yang sebenarnya tidak ada
PIKIRAN DAN BICARA KACAU Pola bicara yang kacau; mis. tidak nyambung,
menyambung kata berdasar bunyinya yang tidak ada artinya
PERILAKU KACAU ATAU KATATONIK Perilaku sangat tidak dapat diramalkan,
aneh, dan sangat tidak bertanggung jawab; mis. Tidak bergerak sama sekali dalam
waktu lama, tiba-tiba melompat-lompat tanpa tujuan.
Delusi sendiri ada beberapa tipe, lihat PPDGJ III.
BEBERAPA GEJALA NEGATIF SKIZOFRENIA

GEJALA DEFINISI & CONTOH


AFEK DATAR secara emosi tidak mampu memberi respon thd lingkungan sekitarnya;
mis. Ketika bicara ekspresi tidak sesuai, tidak ada ekspresi sedih ketika situasi sedih
ALOGIA Tidak mau bicara atau minimal; mis. Membisu bbrp hari
AVOLITION Tidak mampu melakukan tugas berdasar tujuan tertentu (dalam jangka
lama); mis. Tidak mampu mandi sendiri, makan sampai selesai, dll.

DIAGNOSA

Dikenal sebagai gangguan psikologis sejak awal 1800-an


gangguan sebagai akibat kemunduran fungsi otak lebih awal Kraepelin menyebut
dementia praecox (precocious dementia)
schizophrenia, dari bahasa Yunani, Schizein = Eugen Bleuler gangguan berupa
terbelahnya fungsi terbelah dan phren = pikiran psikis dari asosiasi mental, pikiran,
dan emosi.
Sekarang diagnosa berdasar criteria dari DSM-IV, yaitu: adanya gejala yang parah
paling tidak selama 1 bulan dan munculnya beberapa gejala paling tidak selama 6
bulan terakhir.
A. Gejala dasar: 2 atau lebih gejala berikut paling tidak selama 1 bulan.
a. Delusi
b. Halusinasi
c. Bicara kacau
d. Motorik kasar terganggu atau perilaku katatonik
e. Gejala negatif
B. Fungsi sosial/pekerjaan: gangguan nyata dalam pekerjaan, prestasi belajar,
hubungan interpersonal, dan atau perawatan diri sendiri.
C. Durasi: gangguan berlanjut paling tidak selama 6 bulan, minimal 1 bulan dalam
periode ini menunjukkan gejala yang masuk criteria A.

Untuk pedoman diagnosa lebih detail, lihat PPDGJ III.

BEBERAPA TIPE SKIZOFRENIA

TIPE CIRI UTAMA


SKI. PARANOID Deluasi (waham) dan halusinasi dengan tema curiga, diancam, atau
waham kebesaran
DISORGANIZED SCHI. Pikiran, bicara, dan perilaku tidak nyambung, emosi datar
atau tidak tepat
SKI. KATATONIK Hampir tidak ada respon thd lingkungan, aspek motorik dan
verbal sangat terganggu
UNDIFFERENTIATED SCHI. Klien masuk criteria skizofren tapi tidak dapat masuk
kelompok paranoid, disorganized, ataupun katatonik
SKI. RESIDUAL Ada riwayat minimal 1 episode gejala positif yang akut tetapi saat
ini tidak menampakkan gejala positif

PROGNOSIS

Skizofrenia sifatnya adalah gangguan yang lebih kronis dan melemahkan


dibandingkan gangguan mental yang lain.
50-80% pasien skizofrenia yang pernah dirawat di RS akan kambuh
harapan hidup pasien skizofrenia 10 tahun lebih pendek daripada non pasien
skizofrenia
pasien skizofrenia resiko tinggi terhadap gangguan infeksi dan penyakit2 sistem
peredaran darah
10% pasien skizofrenia resiko bunuh diri
Beberapa factor yang turut berperan dalam prognosis skizofrenia: usia, jenis
kelamin, dan sosial budaya

PENDEKATAN TEORITIS TERHADAP SKIZOFRENIA

Beberapa pendekatan teori dalam memandang penyebab skizofrenia dapat dilihat


secara jelas dalam tabel-tabel berikut:

TEORI-TEORI BIOLOGI

TEORI DESKRIPSI
Teori genetik Gangguan gen menyebabkan skizofrenia atau minimal rentan thd
skizofrenia
Abnormalitas struktur otak Pembesaran jantung mungkin mengindikasikan
melemahnya fungsi beberapa area otak, memunculkan berkurangnya fungsi kognitif
dan emosi. Penurunan volume dan kepadatan neuron di frontal & temporal cortex dan
area limbic menyebabkan berkurangnya fungsi emosi dan kognitif.
Komplikasi saat kelahiran Komplikasi saat lahir, terutama kurangnya oksigen saat
lahir menyebabkan kerusakan otak
Terpapar virus saat di kandungan Infeksi virus saat di kandungan merusak otak (mis.
Virus TORCH)
Teori neurotransmiter Ketidakseimbangan tingkat atau reseptor dopamine
memunculkan gejala, serotonin, GABA, dan glutamat juga turut berperan

SUDUT PANDANG PSIKO-SOSIAL

Meskipun skizofrenia sangat terkait dengan factor biologis, namun banyak riset
menunjukkan bahwa factor sosial juga berperan dalam munculnya skizofrenia. Faktor
sosial ini meningkatkan resiko kambuhnya skizofrenia tetapi tidak secara langsung
menentukan kapan munculnya skizofrenia pertama kali.

SUDUT PANDANG DESKRIPSI


Teori psikodinamik Penolakan ibu saat bayi menyebabkan anak kehilangan
kemampuan membedakan antara kenyataan dan non-realita
Pola komunikasi Komunikasi yang tidak lazim antara bayi dan pengasuh di awal
kehidupannya (pada bayi dg resiko skizofrenia) mengganggu perkembangan
kemampuan bayi untuk berkomunikasi dg orang lain dan meningkatkan stress
Ekspresi emosi Keluarga yang terlalu mengatur dan memusuhi anggotanya yang
skizofrenia meningkatkan stress, yang membuatnya kambuh
Penyimpangan sosial dan lingkungan urban Skizofrenia mengganggu fungsi individu
dan membuat dia kehilangan status sosial; orang2 di lingkungan urban yang miskin
meningkatkan resiko terkea penyakit2 prenatal dan kemungkinan terluka yang
menyebabkan skizofrenia
Stress & kambuh Bermacam kejadian yang penuh tekanan meningkatkan
kemungkinan kambuh
Teori perilakuan Orang skizofrenia mendapatkan stimulus yang tidak tepat dari
lingkungan dan tidak tahu respon yang dapat diterima secara sosial oleh orang lain di
lingkungannya
Teori kognitif Gejala skizofrenia muncul dari respon individu terhadap pengalaman
indrawi yang aneh.

TRITMEN UNTUK SKIZOFRENIA

Pasien skizofrenia memerlukan tritmen yang komprehensif, artinya memberikan


tritmen medis untuk menghilangkan gejala, terapi (psikologis) untuk membantu
mereka beradaptasi dengan konsekuensi/akibat dari gangguan tsb, dan layanan sosial
untuk membantu mereka dapat kembali hidup di masyarakat dan menjamin mereka
dapat memperoleh akses untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Berikut
beberapa tritmen yang biasanya diberikan kepada pasien skizofrenia.

TRITMEN UNTUK SKIZOFRENIA


TRITMEN KETERANGAN
Tritmen biologis: terapi obat Pemberian obat2an anti psikotik, minyak ikan
Tritmen sosial dan psikologis - intervensi perilaku, kognitif, dan sosial (melatih
ketrampilan berbicara, ketrampilan mengelola diri sendiri, ketrampilan mengelola
gejala, terapi kelompok, melatih ketrampilan kerja, dll)
- terapi keluarga (melatih keluarga bagaimana menghadapi perilaku anggotanya yang
menderita skizofrenia agar tidak kambuh)
- program tritmen komunitas asertif (menyediakan layanan komprehensif bagi pasien
skizofrenia dg dokter ahli, pekerja sosial, & psikolog yang dapat mereka akses setiap
saat-terutama bagi yang tidak memiliki tapi di Indonesia masih terlalu mewah ya?
keluarga)
Tritmen lintas budaya Penyembuhan tradisional (dengan doa-doa, upacara adat, jamu,
dll) sesuai budaya setempat
Dopamin adalah sebuah neurotransmitter yang terjadi dalam berbagai macam hewan,
termasuk vertebrata dan invertebrata. Di otak, fungsi phenethylamine ini sebagai
neurotransmitter, mengaktifkan lima jenis reseptor dopamin-D 1, D 2, D 3, D 4, dan D 5-
dan varian mereka. Dopamin diproduksi di beberapa daerah otak, termasuk nigra
substantia dan daerah tegmental ventral. Dopamin juga neurohormon yang dilepaskan
oleh hipotalamus. Fungsi utamanya sebagai hormon adalah untuk menghambat
pelepasan prolaktin dari lobus anterior hipofisis.

Neurotransmiter dengan lokalisasi diskrit dalam otak. A) Struktur kimia dari dopamin
neurotransmitter monoamina dan gambar skematik lokalisasi dopamin-mengandung
neuron dalam otak manusia dan tikus dan situs mana yang mengandung dopamin
akson ditemukan. B) Struktur kimia serotonin neurotransmitter monoamina dan peta
yang menunjukkan lokasi otak serupa sel serotonin yang mengandung dan akson
mereka.

Dopamin dapat disediakan sebagai obat yang bekerja pada sistem saraf simpatik,
menghasilkan efek seperti peningkatan denyut jantung dan tekanan darah. Namun,
karena dopamin tidak dapat menyeberangi penghalang darah-otak, dopamin diberikan
sebagai obat tidak secara langsung mempengaruhi sistem saraf pusat. Untuk
meningkatkan jumlah dopamin dalam otak dari pasien dengan penyakit seperti
penyakit Parkinson dan distonia dopa-responsif, L-dopa, yang merupakan prekursor
dopamin, dapat diberikan karena dapat melewati sawar darah-otak.
Fungsi dopamin sebagai neurotransmitter ditemukan pada tahun 1958 oleh Arvid
Carlsson dan Nils-Ake Hillarp di Laboratorium Farmakologi Kimia dari Institut
Jantung Nasional Swedia. Hal itu bernama dopamin karena monoamina, dan
prekursor sintetis yang adalah 3,4 -''d''ihydr''o''xy''p''henyl''a''lanine (L-dopa). Arvid
Carlsson dianugerahi Hadiah Nobel 2000 dalam Fisiologi atau Kedokteran untuk
menunjukkan dopamin yang tidak hanya prekursor norepinefrin (noradrenalin) dan
epinefrin (adrenalin) tetapi neurotransmitter, juga.

Dopamin disintesis pertama kali pada tahun 1910 oleh George Barger dan James
Ewens di Laboratorium Wellcome di London, Inggris.

Name and family

Dopamine has the chemical formula C6H3(OH)2-CH2-CH2-NH2. Its chemical name is


"4-(2-aminoethyl)benzene-1,2-diol" and its abbreviation is "DA."

As a member of the catecholamine family, dopamine is a precursor to norepinephrine


(noradrenaline) and then epinephrine (adrenaline) in the biosynthetic pathways for
these neurotransmitters.

Biosynthesis

Dopamine is biosynthesized in the body (mainly by nervous tissue and the medulla of
the adrenal glands) first by the hydroxylation of the amino acid L-tyrosine to L-DOPA
via the enzyme tyrosine 3-monooxygenase, also known as tyrosine hydroxylase, and
then by the decarboxylation of L-DOPA by aromatic L-amino acid decarboxylase
(which is often referred to as dopa decarboxylase). In some neurons, dopamine is
further processed into norepinephrine by dopamine beta-hydroxylase.

In neurons, dopamine is packaged after synthesis into vesicles, which are then
released into the synapse in response to a presynaptic action potential.

Inactivation and degradation

Dopamine is inactivated by reuptake via the dopamine transporter, then enzymatic


breakdown by catechol-O-methyl transferase (COMT) and monoamine oxidase
(MAO). Dopamine that is not broken down by enzymes is repackaged into vesicles
for reuse.

http://www.news-medical.net/health/Dopamine-Biochemistry.aspx
Dopamine has many functions in the brain, including important roles in behavior and
cognition, voluntary movement, motivation and reward, inhibition of prolactin
production (involved in lactation), sleep, mood, attention, and learning. Dopaminergic
neurons (i.e., neurons whose primary neurotransmitter is dopamine) are present
chiefly in the ventral tegmental area (VTA) of the midbrain, the substantia nigra pars
compacta, and the arcuate nucleus of the hypothalamus.

It has been hypothesized that dopamine transmits reward prediction error, although
this has been questioned. According to this hypothesis, the phasic responses of
dopamine neurons are observed when an unexpected reward is presented. These
responses transfer to the onset of a conditioned stimulus after repeated pairings with
the reward. Further, dopamine neurons are depressed when the expected reward is
omitted. Thus, dopamine neurons seem to encode the prediction error of rewarding
outcomes. In nature, we learn to repeat behaviors that lead to maximize rewards.
Dopamine is therefore believed to provide a teaching signal to parts of the brain
responsible for acquiring new behavior. Temporal difference learning provides a
computational model describing how the prediction error of dopamine neurons is used
as a teaching signal.

The reward system in insects uses octopamine, which is the presumed arthropod
homolog of norepinephrine, rather than dopamine. In insects, dopamine acts instead
as a punishment signal and is necessary to form aversive memories.

Anatomy

Dopaminergic neurons form a neurotransmitter system which originates in substantia


nigra pars compacta, ventral tegmental area (VTA), and hypothalamus. These project
axons to large areas of the brain through four major pathways:

Mesocortical pathway connects the ventral tegmental area to the frontal lobe
of the pre-frontal cortex. Neurones with somas in the ventral tegmental area
project axons into the pre-frontal cortex.
Mesolimbic pathway carries dopamine from the ventral tegmental area to the
nucleus accumbens via the amygdala and hippocampus. The somas of the
projecting neurons are in the ventral tegmental area.
Nigrostriatal pathway runs from the substantia nigra to the neostriatum. Somas
in the substantia nigra projects axons into the caudate nucleus and putamen.
The pathway is involved in the basal ganglia motor loop.
Tuberoinfundibular pathway is from the hypothalamus to the pituitary gland.

This innervation explains many of the effects of activating this dopamine system. For
instance, the mesolimbic pathway connects the VTA and nucleus accumbens; both are
central to the brain reward system.

Movement

Via the dopamine receptors, D1-5, dopamine reduces the influence of the indirect
pathway, and increases the actions of the direct pathway within the basal ganglia.
Insufficient dopamine biosynthesis in the dopaminergic neurons can cause Parkinson's
disease, in which a person loses the ability to execute smooth, controlled movements.
Cognition and frontal cortex

In the frontal lobes, dopamine controls the flow of information from other areas of the
brain. Dopamine disorders in this region of the brain can cause a decline in
neurocognitive functions, especially memory, attention, and problem-solving.
Reduced dopamine concentrations in the prefrontal cortex are thought to contribute to
attention deficit disorder. It has been found that D1 receptors as well as D4 receptors
are responsible for the cognitive-enhancing effects of dopamine. On the converse,
however, anti-psychotic medications act as dopamine antagonists and are used in the
treatment of positive symptoms in schizophrenia, although the older, so-called
"typical" antipsychotics most commonly act on D2 receptors, while the atypical drugs
also act on D1, D3 and D4 receptors.

Regulating prolactin secretion

Dopamine is the primary neuroendocrine inhibitor of the secretion of prolactin from


the anterior pituitary gland. Dopamine produced by neurons in the arcuate nucleus of
the hypothalamus is secreted into the hypothalamo-hypophysial blood vessels of the
median eminence, which supply the pituitary gland. The lactotrope cells that produce
prolactin, in the absence of dopamine, secrete prolactin continuously; dopamine
inhibits this secretion. Thus, in the context of regulating prolactin secretion, dopamine
is occasionally called prolactin-inhibiting factor (PIF), prolactin-inhibiting
hormone (PIH), or prolactostatin.

Motivation and pleasure

Reinforcement

Dopamine is commonly associated with the pleasure system of the brain, providing
feelings of enjoyment and reinforcement to motivate a person proactively to perform
certain activities. Dopamine is released (particularly in areas such as the nucleus
accumbens and prefrontal cortex) by naturally rewarding experiences such as food,
sex, drugs, and neutral stimuli that become associated with them. Recent studies
indicate that aggression may also stimulate the release of dopamine in this way. This
theory is often discussed in terms of drugs such as cocaine, nicotine, and
amphetamines, which directly or indirectly lead to an increase of dopamine in the
mesolimbic reward pathway of the brain, and in relation to neurobiological theories of
chemical addiction (not to be confused with psychological dependence), arguing that
this dopamine pathway is pathologically altered in addicted persons.

Reuptake inhibition, expulsion

Cocaine and amphetamines inhibit the re-uptake of dopamine; however, they


influence separate mechanisms of action. Cocaine is a dopamine transporter blocker
that competitively inhibits dopamine uptake to increase the lifetime of dopamine and
augments an overabundance of dopamine (an increase of up to 150 percent) within the
parameters of the dopamine neurotransmitters.
Like cocaine, amphetamines increase the concentration of dopamine in the synaptic
gap, but by a different mechanism. Amphetamines are similar in structure to
dopamine, and so can enter the terminal button of the presynaptic neuron via its
dopamine transporters as well as by diffusing through the neural membrane directly.
By entering the presynaptic neuron, amphetamines force dopamine molecules out of
their storage vesicles and expel them into the synaptic gap by making the dopamine
transporters work in reverse.

Incentive salience

Dopamine's role in experiencing pleasure has been questioned by several researchers.


It has been argued that dopamine is more associated with anticipatory desire and
motivation (commonly referred to as "wanting") as opposed to actual consummatory
pleasure (commonly referred to as "liking").

Dopamine, learning, and reward-seeking behavior

Dopaminergic neurons of the midbrain are the main source of dopamine in the brain.
Dopamine has been shown to be involved in the control of movements, the signaling
of error in prediction of reward, motivation, and cognition. Cerebral dopamine
depletion is the hallmark of Parkinson's disease. Other pathological states have also
been associated with dopamine dysfunction, such as schizophrenia, autism, and
attention deficit hyperactivity disorder, as well as drug abuse.

Dopamine is closely associated with reward-seeking behaviors, such as approach,


consumption, and addiction. Recent researches suggest that the firing of dopaminergic
neurons is a motivational substance as a consequence of reward-anticipation. This
hypothesis is based on the evidence that, when a reward is greater than expected, the
firing of certain dopaminergic neurons increases, which consequently increases desire
or motivation towards the reward. This research finds the reward neurons predominate
in the ventromedial region in the substantia nigra pars compacta as well as the ventral
tegmental area. Neurons in these areas project mainly to the ventral striatum and thus
might transmit value-related information in regard reward values.

With this large reduction in dopamine, the rats would no longer eat by their own
volition. The researchers then force-fed the rats food and noted whether they had the
proper facial expressions indicating whether they liked or disliked it. The researchers
of this study concluded that the reduction in dopamine did not reduce the rat's
consummatory pleasure, only the desire to actually eat. In another study, mutant
hyperdopaminergic (increased dopamine) mice show higher "wanting" but not
"liking" of sweet rewards.

The effects of drugs that reduce dopamine levels in humans

In humans, drugs that reduce dopamine activity (neuroleptics, e.g. antipsychotics)


have been shown to reduce motivation, cause anhedonia (inability to experience
pleasure), and long-term use has been associated with irreversible tardive dyskinesia
(movement disorder).
Selective D2/D3 agonists pramipexole and ropinirole, used to treat Restless legs
syndrome, have limited anti-anhedonic properties as measured by the Snaith-
Hamilton Pleasure Scale (SHAPS).

Opioid and cannabinoid transmission

Opioid and cannabinoid transmission instead of dopamine may modulate


consummatory pleasure and food palatability (liking).

This could explain why animals' "liking" of food is independent of brain dopamine
concentration. Other consummatory pleasures, however, may be more associated with
dopamine. One study found that both anticipatory and consummatory measures of
sexual behavior (male rats) were disrupted by DA receptor antagonists.

Libido can be increased by drugs that affect dopamine, but not by drugs that affect
opioid peptides or other neurotransmitters.

Sociability

Sociability is also closely tied to dopamine neurotransmission. Low D2 receptor-


binding is found in people with social anxiety. Traits common to negative
schizophrenia (social withdrawal, apathy, anhedonia) are thought to be related to a
hypodopaminergic state in certain areas of the brain. In instances of bipolar disorder,
manic subjects can become hypersocial, as well as hypersexual. This is credited to an
increase in dopamine, because mania can be reduced by dopamine-blocking anti-
psychotics.

Processing of pain

Dopamine has been demonstrated to play a role in pain processing in multiple levels
of the central nervous system including the spinal cord, periaqueductal gray (PAG),
thalamus, basal ganglia, insular cortex, and cingulate cortex. Accordingly, decreased
levels of dopamine have been associated with painful symptoms that frequently occur
in Parkinson's disease. Abnormalities in dopaminergic neurotransmission have also
been demonstrated in painful clinical conditions, including burning mouth syndrome,
fibromyalgia, and restless legs syndrome. In general, the analgesic capacity of
dopamine occurs as a result of dopamine D2 receptor activation; however, exceptions
to this exist in the PAG, in which dopamine D1 receptor activation attenuates pain
presumably ''via'' activation of neurons involved in descending inhibition. In addition,
D1 receptor activation in the insular cortex appears to attenuate subsequent pain-
related behavior.

Salience

Dopamine may also have a role in the salience of potentially important stimuli, such
as sources of reward or of danger. This hypothesis argues that dopamine assists
decision-making by influencing the priority, or level of desire, of such stimuli to the
person concerned.
Behavior disorders

Deficient dopamine neurotransmission is implicated in attention-deficit hyperactivity


disorder, and stimulant medications used to successfully treat the disorder increase
dopamine neurotransmission, leading to decreased symptoms. Consistent with this
hypothesis, dopaminergic pathways have a role in inhibitory action control and the
inhibition of the tendency to make unwanted actions.

The long term use of levodopa in Parkinson's disease has been linked to dopamine
dysregulation syndrome.

Latent inhibition and creative drive

Dopamine in the mesolimbic pathway increases general arousal and goal directed
behaviors and decreases latent inhibition; all three effects increase the creative drive
of idea generation. This has led to a three-factor model of creativity involving the
frontal lobes, the temporal lobes, and mesolimbic dopamine.

Chemoreceptor trigger zone

Dopamine is one of the neurotransmitters implicated in the control of nausea and


vomiting via interactions in the chemoreceptor trigger zone. Metoclopramide is a D2-
receptor antagonist that functions as a prokinetic/antiemetic.

Psychosis

Abnormally high dopaminergic transmission has been linked to psychosis and


schizophrenia. Increased dopaminergic functional activity, specifically in the
mesolimbic pathway, is found in schizophrenic individuals. Both the typical and the
atypical antipsychotics work largely by inhibiting dopamine at the receptor level,
thereby blocking the effects of the neurochemical in a dose-dependant manner. The
finding that drugs such as amphetamines and cocaine, which can increase dopamine
levels by more than tenfold, can temporarily cause psychosis, provides further
evidence for this link.
Levodopa is a dopamine precursor used in various forms to treat Parkinson's disease
and dopa-responsive dystonia. It is typically co-administered with an inhibitor of
peripheral decarboxylation (DDC, dopa decarboxylase), such as carbidopa or
benserazide. Inhibitors of alternative metabolic route for dopamine by catechol-O-
methyl transferase are also used. These include entacapone and tolcapone.

Peripheral effects

Dopamine also has effects when administered through an IV line outside the central
nervous system. The brand name of this preparation is known as Intropin. The effects
in this form are dose dependent.

Dosages from 2 to 5 g/kg/min are considered the "renal dose." At this low
dosage, dopamine binds D1 receptors, dilating blood vessels, increasing blood
flow to renal, mesenteric, and coronary arteries; and increasing overall renal
perfusion. Dopamine therefore has a diuretic effect, potentially increasing
urine output from 5 ml/kg/hr to 10 ml/kg/hr.

Intermediate dosages from 5 to 10 g/kg/min additionally have a positive


inotropic and chronotropic effect through increased 1 receptor activation. It is
used in patients with shock or heart failure to increase cardiac output and
blood pressure.

High doses from 10 to 20 g/kg/min is the "pressor" dose. This dose causes
vasoconstriction, increases systemic vascular resistance, and increases blood
pressure through 1 receptor activation;

http://www.news-medical.net/health/Dopamine-Therapeutic-Use.aspx
PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan skizofrenia sebagai gangguan klinis, banyak


tokoh psikiatri dan neurologi yang berperan. Mula-mula Emil Kreaplin (18-
1926) menyebutkan gangguan dengan istilah dementia prekok yaitu suatu
istilah yang menekankan proses kognitif yang berbeda dan onset pada masa
awal. Istilah skizofrenia itu sendiri diperkenalkan oleh Eugen Bleuler (1857-
1939), untuk menggambarkan munculnya perpecahan antara pikiran, emmosi
dan perilaku pada pasien yang mengalami gangguan ini. Bleuler
mengindentifikasi symptom dasar dari skizofrenia yang dikenal dengan 4A
antara lain : Asosiasi, Afek, Autisme dan Ambivalensi.

Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering, hampir


1% penduduk dunia menderita psikotik selama hidup mereka di Amerika.
Skizofrenia lebih sering terjadi pada Negara industri terdapat lebih banyak
populasi urban dan pada kelompok sosial ekonomi rendah.

Walaupun insidennya hanya 1 per 1000 orang di Amerika Serikat, skizofrenia


seringkali ditemukan di gawat darurat karena beratnya gejala,
ketidakmampuan untuk merawat diri, hilangnya tilikan dan pemburukan sosial
yang bertahap. Kedatangan diruang gawat darurat atau tempat praktek
disebabkan oleh halusinasi yamg menimbulkan ketegangan yang mungkin
dapat mengancam jiwa baik dirinya maupun orang lain, perilaku kacau,
inkoherensi, agitasi dan penelantaran.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani, schizeinyang berarti


terpisahatau pecah, dan phren yang artinya jiwa. Pada skizofrenia
terjadi pecahnya atau ketidakserasian antara afeksi, kognitif dan perilaku.
Secara umum, simptom skizofrenia dapat dibagi menjadi tiga golongan: yaitu
simptom positif, simptom negative, dan gangguan dalam hubungan
interpersonal.

Skizofrenia merupakan suatu deskripsi dengan variasi penyebab


(banyak belum diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis
atau deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.

Pada umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan


karakteristik dari pikiran dan persepsi , serta oleh afek yang tidak wajar
(inappropriate) atau tumpul (blunted). Kesadaran yang jernih (clear
consciousness) dan kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara,
walaupun kemunduran kognitif tertentu dapat berkembang kemudian.

II.2 EPIDEMIOLOGI

Sekitar satu persen penduduk dunia akan mengidap skizofrenia pada


suatu waktu dalam hidupnya. Di Indonesia diperkirakan satu sampai dua
persen penduduk atau sekitar dua sampai empat juta jiwa akan terkena
penyakit ini. Bahkan sekitar sepertiga dari sekitar satu sampai dua juta yang
terjangkit penyakit skizofrenia ini atau sekitar 700 ribu hingga 1,4 juta jiwa
kini sedang mengidap skizofrenia. Perkiraan angka ini disampaikan Dr LS
Chandra, SpKJ dari Sanatorium Dharmawangsa Jakarta Selatan.

Tiga per empat dari jumlah pasien skizofrenia umumnya dimulai pada
usia 16 sampai 25 tahun pada laki-laki. Pada kaum perempuan, skizofrenia
biasanya mulai diidap pada usia 25 hingga 30 tahun. Penyakit yang satu ini
cenderung menyebar di antara anggota keluarga sedarah.

II.3 ETIOLOGI

1. Model Diatesis-stres

Merupakan integrasi faktor biologis, faktor psikososial, faktor


lingkungan. Model ini mendalilkan bahwa seseorang mungkin memiliki
suatu kerentanan spesifik (diatessis) yang jika dikenai oleh suatu pengaruh
lingkungan yang menimbulkan stress, memungkinkan perkembangan
skizofrenia.

Komponen lingkungan mungkin biologikal (seperti infeksi) atau


psikologis (missal kematian orang terdekat). Sedangkan dasar biologikal
dari diatesis selanjutnya dapat terbentuk oleh pengaruh epigenetik seperti
penyalahgunaan obat, stress psikososial , dan trauma.

Kerentanan yang dimaksud disini haruslah jelas, sehingga dapat


menerangkan mengapa orang tersebut dapat menjadi skizofren. Semakin
besar kerentanan seseorang maka stressor kecilpun dapat menyebabkan
menjadi skizofren. Semakin kecil kerentanan maka butuh stressor yang
besar untuk membuatnya menjadi penderita skizofren. Sehingga secara
teoritis seseorang tanpa diathese tidak akan berkembang menjadi
skizofren, walau sebesar apapun stressornya.

2. Faktor Neurobiologi

Penelitian menunjukkan bahwa pada pasien skizofrenia ditemukan


adanya kerusakan pada bagian otak tertentu. Namun sampai kini belum
diketahui bagaimana hubungan antara kerusakan pada bagian otak tertentu
ddengan munculnya simptom skizofrenia.

Terdapat beberapa area tertentu dalam otak yang berperan dalam


membuat seseorang menjadi patologis, yaitu sitem limbik, korteks frontal,
cerebellum dan ganglia basalis. Keempat area tersebut saling berhubungan,
sehingga disfungsi pada satu area mungkin melibatkan proses patologis
primer pada area yang lain. Dua hal yang menjadi sasaran penelitian
adalah waktu dimana kerusakan neuropatologis muncul pada otak, dan
interaksi antara kerusakan tersebut dengan stressor lingkungan dan sosial.

Hipotesa Dopamin

Menurut hipotesa ini, skizofrenia terjadi akibat dari peningkatan


aktivitas neurotransmitter dopaminergik. Peningkatan ini mungkin
merupakan akibat dari meningkatnya pelepasan dopamine, terlalu
banyaknya reseptor dopamine, turunnya nilai ambang, atau hipersentivitas
reseptor dopamine, atau kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Munculnya
hipotesa ini berdasarkan observasi bahwa :

a. Ada korelasi antara efektivitas dan potensi suatu obat antipsikotik


dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamine
D2.

b. Obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik- seperti amphetamine-


dapat menimbulkan gejala psikotik pada siapapun.

3. Faktor Genetika

Penelitian tentang genetik telah membuktikan faktor


genetik/keturunan merupakan salah satu penyumbang bagi jatuhnya
seseorang menjadi skizofren. Resiko seseorang menderita skizofren akan
menjadi lebih tinggi jika terdapat anggota keluarga lainnya yang juga
menderita skizofren, apalagi jika hubungan keluarga dekat. Penelitian
terhadap anak kembar menunjukkan keberadaan pengaruh genetik
melebihi pengaruh lingkungan pada munculnya skizofrenia, dan kembar
satu telur memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami skizofrenia.

Tabel
1. Prevalensi skizofrenia pada populasi tertentu dalam
Saddock&Saddock (2003)

Populasi
Prevalensi

Populasi umum 1%

Saudara kandung pasien skizofren 8%

Anak dengan salah satu orangtua skizofren 12%

Kembar dua telur dari pasien skizofren 12%


Anak dengan kedua orangtua skizofren 40%

Kembar satu telur dari pasien skizofren 47 %

4. Faktor Psikososial

4.1 Teori Tentang Individu Pasien

a. Teori Psikoanalitik

Freud beranggapan bahwa skizofrenia adalah hasil dari


fiksasi perkembangan, yang muncul lebih awal daripada gangguan
neurosis. Jika neurosis merupakan konflik antara id dan ego, maka
psikosis merupakan konflik antara ego dan dunia luar. Menurut
Freud, kerusakan ego (ego defect) memberikan kontribusi terhadap
munculnya simptom skizofrenia. Disintegrasi ego yang terjadi pada
pasien skizofrenia merepresentasikan waktu dimana ego belum
atau masih baru terbentuk.

Konflik intrapsikis yang berasal dari fiksasi pada masa awal


serta kerusakan ego-yang mungkin merupakan hasil dari relasi
obyek yang buruk-turut memperparah symptom skizofrenia. Hal
utama dari teori Freud tentang skizofrenia adalah dekateksis obyek
dan regresi sebagai respon terhadap frustasi dan konflik dengan
orang lain.

Harry Stack Sullivan mengatakan bahwa gangguan


skizofrenia disebabkan oleh kesulitan interpersonal yangyang
etrjadi sebelumnya, terutama yang berhubungan dengan apa yang
disebutnya pengasuhan ibu yang salah, yaitu cemas berlebihan.

Secara umum, dalam pandangan psikoanalitik tentang


skizofrenia, kerusakan ego mempengaruhi interprestasi terhadap
realitas dan kontrol terhadap dorongan dari dalam, seperti seks dan
agresi. Gangguan tersebut terjadi akibat distorsi dalam hubungan
timbal balik ibu dan anak.

Berbagai simptom dalam skizofrenia memiliki makna


simbolis bagi masing-masing pasien. Misalnya fantasi tentang hari
kiamat mungkin mengindikasikan persepsi individu bahwa dunia
dalamnya telah hancur. Halusinasi mungkin merupakan substitusi
dari ketidakmampuan pasien untuk menghadapi realitas yang
obyektif dan mungkin juga merepresentasikan ketakutan atau
harapan terdalam yang dimilikinya.

b. Teori Psikodinamik

Berbeda dengan model yang kompleks dari Freud, pandangan


psikodinamik setelahnya lebih mementingkan hipersensitivitas
terhadap berbagai stimulus. Hambatan dalam membatasi stimulus
menyebabkan kesulitan dalam setiap fase perkembangan selama
masa kanak-kanak dan mengakibatkan stress dalam hubungan
interpersonal.

Menurut pendekatan psikodinamik, simptom positif


diasosiasikan dengan onset akut sebagai respon terhadap faktor
pemicu/pencetus, dan erat kaitannya dengan adanya konflik.
Simptom negatif berkaitan erat dengan faktor biologis, dan
karakteristiknya adalah absennya perilaku/fungsi tertentu.
Sedangkan gangguan dalam hubungan interpersonal mungkin
timbul akibat konflik intrapsikis, namun mungkin juga
berhubungan dengan kerusakan ego yang mendasar.

Tanpa memandang model teoritisnya, semua pendekatan


psikodinamik dibangun berdasarkan pemikiran bahwa symptom-
simptom psikotik memiliki makna dalam skizofrenia. Misalnya
waham kebesaran pada pasien mungkin timbul setelah harga
dirinya terluka. Selain itu, menurut pendekatan ini, hubungan
dengan manusia dianggap merupakan hal yang menakutkan bagi
pengidap skizofrenia.

c. Teori Belajar

Menurut teori ini, orang menjadi skizofrenia karena pada


masa kanak-kanak ia belajar pada model yang buruk. Ia
mempelajari reaksi dan cara pikir yang tidak rasional dengan
meniru dari orangtuanya, yang sebenarnya juga memiliki masalah
emosional.

4.2 Teori Tentang Keluarga

Beberapa pasien skizofrenia-sebagaimana orang yang


mengalami nonpsikiatrik-berasal dari keluarga dengan disfungsi, yaitu
perilaku keluarga yang patologis, yang secara signifikan meningkatkan
stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia. Antara
lain:

Double Bind

Konsep yang dikembangkan oleh Gregory Bateson untuk


menjelaskan keadaan keluarga dimana anak menerima pesan yang
bertolak belakang dari orangtua berkaitn dengan perilaku, sikap
maupun perasaannya. Akibatnya anak menjadi bingung menentukan
mana pesan yang benar, sehingga kemudian ia menarik diri kedalam
keadaan psikotik untuk melarikan diri dari rasa konfliknya itu.

Schims and Skewed Families

Menurut Theodore Lidz, pada pola pertama, dimana terdapat


perpecahan yang jelas antara orangtua, salah satu orang tua akan
menjadi sangat dekat dengan anak yang berbeda jenis kelaminnya.
Sedangkan pada pola keluarga skewed, terjadi hubungan yang tidak
seimbang antara anak dengan salah satu orangtua yang melibatkan
perebutan kekuasaan antara kedua orangtua, dan menghasilkan
dominasi dari salah satu orang tua.

Pseudomutual and Pseudohostile Families

Dijelaskan oleh Lyman Wynne, beberapa keluarga men-suppress


ekspresi emosi dengan menggunakan komunikasi verbal yang
pseudomutual atau pseudohostile secara konsisten. Pada keluarga
tersebut terdapat pola komunikasi yang unik, yang mungkin tidak
sesuai dan menimbulkan masalah jika anak berhubungan dengan orang
lain di luar rumah.

Ekspresi Emosi

Orang tua atau pengasuh mungkin memperlihatkan sikap kritis,


kejam dan sangat ingin ikut campur urusan pasien skizofrenia. Banyak
penelitian menunjukkan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi
(dalam hal apa yang dikatakan maupun maksud perkataan)
meningkatkan tingkat relapse pada pasien skizofrenia.

4.3 Teori Sosial

Beberapa teori menyebutkan bahwa industrialisasi dan urbanisasi


banyak berpengaruh dalam menyebabkan skizofrenia. Meskipun ada data
pendukung, namun penekanan saat ini adalah dalam mengetahui
pengaruhnya terhadap waktu timbulnya onset dan keparahan penyakit.

II.4 GEJALA KLINIS

Gejala-gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua kelompok menurut


Bleuler, yaitu primer dan sekunder.

Gejala-gejala primer :

1. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah, isi pikiran).


Pada skizofrenia inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran.
Yang terganggu terutama ialah asosiasi. Kadang-kadang satu ide belum
selesai diutarakan, sudah timbul ide lain. Atau terdapat pemindahan
maksud, umpamanya maksudnya tani tetapi dikatakan sawah.

Tidak jarang juga digunakan arti simbolik, seperti dikatakan merah


bila dimaksudkan berani. Atau terdapat clang association oleh karena
pikiran sering tidak mempunyai tujuan tertentu, umpamanya piring-miring,
atau dulu waktu hari, jah memang matahari, lalu saya lari. Semua
ini menyebabkan jalan pikiran pada skizofrenia sukar atau tidak dapat
diikuti dan dimengerti. Hal ini dinamakan inkoherensi. Jalan pikiran
mudah dibelokkan dan hal ini menambah inkoherensinya.

Seorang dengan skizofrenia juga kecenderungan untuk menyamakan


hal-hal, umpamanya seorang perawat dimarahi dan dipukuli, kemudian
seorang lain yang ada disampingnya juga dimarahi dan dipukuli.

Kadang-kadang pikiran seakan berhenti, tidak timbul ide lagi. Keadaan


ini dinamakan blocking, biasanya berlangsung beberapa detik saja, tetapi
kadang-kadang sampai beberapa hari.

Ada penderita yang mengatakan bahwa seperti ada sesuatu yang lain
didalamnya yang berpikir, timbul ide-ide yang tidak dikehendaki: tekanan
pikiran atau pressure of thoughts. Bila suatu ide berulang-ulang timbul
dan diutarakan olehnya dinamakan preseverasi atau stereotipi pikiran.

Pikiran melayang (flight of ideas) lebih sering inkoherensi. Pada


inkoherensi sering tidak ada hubungan antara emosi dan pikiran, pada
pikiran melayang selalu ada efori. Pada inkoherensi biasanya jalan pikiran
tidak dapat diikuti sama sekali, pada pikiran melayang ide timbul sangat
cepat, tetapi masih dapat diikuti, masih bertujuan.

2. Gangguan afek dan emosi

Gangguan ini pada skizofrenia mungkin berupa :


Kedangkalan afek dan emosi (emotional blunting), misalnya penderita
menjadi acuh tak acuh terhadap hal-hal penting untuk dirinya sendiri
seperti keadaan keluarganya dan masa depannya. Perasaan halus sudah
hilang.

Parathimi : apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira,


pada penderita timbul rasa sedih atau marah.

Paramimi : penderita merasa senang dan gembira, akan tetapi ia


menangis. Parathimi dan paramimi bersama-sama dalam bahasa
Inggris dinamakan incongruity of affect dalam bahasa Belanda hal
ini dinamakan inadequat.

Kadang-kadang emosi dan afek serta ekspresinya tidak mempunyai


kesatuan, umpamanya sesudah membunuh anaknya penderita
menangis berhari-hari, tetapi mulutnya tertawa. Semua ini merupakan
gangguan afek dan emosi yang khas untuk skizofrenia. Gangguan afek
dan emosi lain adalah :

Emosi yang berlebihan, sehingga kelihatan seperti dibuat-buat,


seperti penderita yang sedang bermain sandiwara.

Yang penting juga pada skizofrenia adalah hilangnya kemampuan


untuk melakukan hubungan emosi yang baik (emotional rapport).
Karena itu sering kita tidak dapat merasakan perasaan penderita.

Karena terpecah belahnya kepribadian, maka dua hal yang


berlawanan mungkin terdapat bersama-sama, umpamanya
mencintai dan membenci satu orang yang sama ; atau menangis
dan tertawa tentang satu hal yang sama. Ini dinamakan ambivalensi
pada afek.

3. Gangguan kemauan

Banyak penderita dengan skizofrenia mempunyai kelemahan kemauan.


Mereka tidak dapat mengambil keputusan., tidak dapat bertindak dalam
suatu keadaan. Mereka selalu memberikan alasan, meskipun alasan itu
tidak jelas atau tepat, umpamanya bila ditanyai mengapa tidak maju
dengan pekerjaan atau mengapa tiduran terus. Atau mereka menganggap
hal itu biasa saja dan tidak perlu diterangkan.

Kadang-kadang penderita melamun berhari-hari lamanya bahkan berbulan-


bulan. Perilaku demikian erat hubungannya dengan otisme dan stupor
katatonik.

Negativisme : sikap atau perbuatan yang negative atau berlawanan


terhadap suatu permintaan.

Ambivalensi kemauan : menghendaki dua hal yang berlawanan pada


waktu yang sama, umpamanya mau makan dan tidak mau makan; atau
tangan diulurkan untuk berjabat tangan, tetapi belum sampai tangannya
sudah ditarik kembali; hendak masuk kedalam ruangan, tetapi sewaktu
melewati pintu ia mundur, maju mundur. Jadi sebelum suatu perbuatan
selesai sudah timbul dorongan yang berlawanan.

Otomatisme : penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain


atau tenaga dari luar, sehingga ia melakukan sesuatu secara otomatis.

4. Gejala psikomotor

Juga dinamakan gejala-gejala katatonik atau gangguan perbuatan.


Kelompok gejala ini oleh Bleuler dimasukkan dalam kelompok gejala
skizofrenia yang sekunder sebab didapati juga pada penyakit lain.

Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan.


Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang
kurang luwes atau yang agak kaku. Penderita dalma keadaan stupor tidak
menunjukkan pergerakan sama sekali. Stupor ini dapat berlangsung
berhari-hari, berbulan-bulan dan kadang-kadang bertahun-tahun lamanya
pada skizofrenia yang menahun. Mungkin penderita mutistik. Mutisme
dapat disebabkan oleh waham, ada sesuatu yang melarang ia bicara.
Mungkin juga oleh karena sikapnya yang negativistik atau karena
hubungan penderita dengan dunia luar sudah hilang sama sekali hingga ia
tidak ingin mengatakan apa-apa lagi.

Sebaliknya tidak jarang penderita dalam keadaan katatonik


menunjukkan hiperkinesa, ia terus bergerak saja, maka keadaan ini
dinamakan logorea. Kadang-kadang penderita menggunakan atau
membuat kata-kata yang baru: neologisme.

Berulang-ulang melakukan suatu gerakan atau sikap disebut stereotipi;


umpamanya menarik-narik rambutnya, atau tiap kali mau menyuap nasi
mengetok piring dulu beberapa kali. Keadaan ini dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa tahun. Stereotipi pembicaraan dinamakan
verbigerasi, kata atau kalimat diulang-ulangi. Mannerisme adalah
stereotipi yang tertentu pada skizofrenia, yang dapat dilihat dalam bentuk
grimas pada mukanya atau keanehan berjalan dan gaya.

Gejala katalepsi ialah bila suatu posisi badan dipertahankan untuk


waktu yang lama. Fleksibilitas cerea: bila anggota badan dibengkokkan
terasa suatu tahanan seperti pada lilin.

Negativisme : menentang atau justru melakukan yang berlawanan


dengan apa yang disuruh. Otomatisme komando (command automatism)
sebetulnya merupakan lawan dari negativisme : semua perintah dituruti
secara otomatis, bagaimana ganjilpun.Termasuk dalam gangguan ini
adalah echolalia (penderita meniru kata-kata yang diucapkan orang lain)
dan ekophraksia (penderita meniru perbuatan atau pergerakan orang lain).

Gejala-gejala sekunder :

1. Waham

Pada skizofrenia, waham sering tidak logis sama sekali dan sangat
bizarre. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya
adalah fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun. Sebaliknya ia tidak
mengubah sikapnya yang bertentangan, umpamanya penderita berwaham
bahwa ia raja, tetapi ia bermain-main dengan air ludahnya dan mau
disuruh melakukan pekerjaan kasar. Mayer gross membagi waham dalam
dua kelompok yaitu waham primer dan waham sekunder, waham
sistematis atau tafsiran yang bersifat waham (delutional interpretations).

Waham primer timbul secara tidak logis sama sekali, tanpa penyebab
apa-apa dari luar. Menurur Mayer-Gross hal ini hampir patognomonis
buat skizofrenia. Umpamanya istrinya sedang berbuat serong sebab ia
melihat seekor cicak berjalan dan berhenti dua kali, atau seorang penderita
berkata dunia akan kiamat sebab ia melihgat seekor anjing mengangkat
kaki terhadap sebatang pohin untuk kencing.

Waham sekunder biasanya logis kedengarannya dapat diikuti dan


merupakan cara bagi penderita untuk menerangkan gejala-gejala
skizofrenia lain. Waham dinamakan menurut isinya :waham kebesaran
atau ekspansif, waham nihilistik, waham kejaran, waham sindiran, waham
dosa, dan sebagainya.

2. Halusinasi

Pada skizofrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini
merupakan gejala yang hampir tidak dijumpai dalam keadaan lain. Paling
sering pada keadaan sskizofrenia ialah halusinasi (oditif atau akustik)
dalam bentuk suara manusia, bunyi barang-barang atau siulan. Kadang-
kadang terdapat halusinasi penciuman (olfaktorik), halusinasi citrarasa
(gustatorik) atau halusinasi singgungan (taktil). Umpamanya penderita
mencium kembang kemanapun ia pergi, atau ada orang yang menyinarinya
dengan alat rahasia atau ia merqasa ada racun dalammakanannya
Halusinasi penglihatan agak jarang pada skizofrenia lebih sering pada
psikosa akut yang berhubungan dengan sindroma otak organik bila
terdapat maka biasanya pada stadium permulaan misalnya penderita
melihat cahaya yang berwarna atau muka orang yang menakutkan.

Diatas telah dibicarakan gejala-gejala. Sekali lagi, kesadaran dan intelegensi


tidak menurun pada skizofrenia. Penderita sering dapat menceritakan dengan
jelas pengalamannya dan perasaannya. Kadang-kadang didapati
depersonalisasi atau double personality, misalnya penderita
mengidentifikasikan dirinya dengan sebuah meja dan menganggap dirinya
sudah tidak adalagi. Atau pada double personality seakan-akan terdapat
kekuatan lain yang bertindak sendiri didalamnya atau yang menguasai dan
menyuruh penderita melakukan sesuatu.

Pada skizofrenia sering dilihat otisme : penderita kehilangan hubungan dengan


dunia luar ia seakan-akan hidup dengan dunianya sendiri tidak menghiraukan
apa yang terjadi di sekitarnya.

Oleh Bleuler depersonalisasi, double personality dan otisme digolongkan


sebagai gejala primer. Tetapi ada yang mengatakan bahwa otisme terjadi
karena sangat terganggunya afek dan kemauan.

Tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menilai simptom dan gejala
klinis skizofrenia adalah:

(1). Tidak ada symptom atau gejala klinis yang patognomonik untu
skizofrenia. Artinya tidak ada simptom yang khas atau hanya terdapat
pada skizofrenia. Tiap simptom skizofrenia mungkin ditemukan pada
gangguan psikiatrik atau gangguan syaraf lainnya. Karena itu diagnosis
skizofrenia tidak dapat ditegakkan dari pemeriksaan status mental saat
ini. Riwayat penyakit pasien merupakan hal yang esensial untuk
menegakkan diagnosis skizofrenia.

(2). Simptom dan gejala klinis pasien skizofrenia dapat berubah dari waktu ke
waktu. Oleh karena itu pasien skizofrenia dapat berubah diagnosis
subtipenya dari perawatan sebelumnya (yang lalu). Bahkan dalam satu
kali perawatanpun diagnosis subtipe mungkin berubah.

(3). Harus diperhatikan taraf pendidikan, kemampuan intelektual dan latar


belakang sosial budaya pasien. Sebab perilaku atau pola pikir masyarakat
dari sosial budaya tertentu mungkin dipandang sebagai suatu hal yang
aneh bagi budaya lain. Contohnya memakai koteka di Papua merupakan
hal yang biasa namun akan dipandang aneh jika dilakukan di Jakarta.
Selain itu hal yang tampaknya merupakan gangguan realitas mungkin
akibat keterbatasan intelektual dan pendidikan pasien.

II.5 DIAGNOSIS

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya
dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas :

(a) - Thought echo : isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau
bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan,
walaupun isinya sama, namun kulitasnya berbeda; atau

- Thought insertion or withdrawal: isi pikiran yang asingdari luar masuk


kedalam pikirannya (insertion)atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar (withdrawal); dan

- Thought broadcasting: isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain


atau umum mengetahuinya;

(b) - delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu


kekuatan tertentu dati luar; atau

- delusion of influence: waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu


kekuatan tertentu dari luar; atau

- delusion of passivity: waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah


terhadap suatu kekuatan dari luar;

(tentang dirinya: secara jelas merujuk ke pergerakan tubuh/anggota


gerak atau ke pikiran, tindakan atau penginderaan khusus);

- delusional perception: pengalaman inderawi yang tak wajar, yang


bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau
mukjizat;

(c) Halusinasi auditorik :


- Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap
perilaku pasien, atau

- Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai


suara yang berbicara), atau

- Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

(d) Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat


dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal
keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan
kemampuan diatas manusia biasa (misalnya mampu
mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing
dari dunia lain).

Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara
jelas :

(e) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai
baik oleh waham yang mengambang mauupun yang setengah
berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ole
hide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila
terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
terus menerus;

(f) Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisispan
(interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang
tidak relevan, atau neologisme;

(g) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisis


tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme,
mutisme, dan stupor;

(h) Gejala-gejala negative seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang,
dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan social dan
menurunnya kinerja social; tetapi harus jelas bahwa semua hal
tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika;

Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun


waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik
prodromal).

Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadai
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self
absorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

II.6 KLASIFIKASI

Gejala klinis skizofrenia secara umum dan menyeluruh telah diuraikan


di muka, dalam PPDGJ III skizofrenia dibagi lagi dalam 9 tipe atau kelompok
yang mempunyai spesifikasi masing-masing, yang kriterianya di dominasi
dengan hal-hal sebagai berikut :

1. Skizofrenia Paranoid

Memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia

Sebagai tambahan :

Halusinasi dan atau waham harus menonjol :

(a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi


perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa
bunyi pluit, mendengung, atau bunyi tawa.

(b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual,


atau lain-lain perasaan tubuh halusinasi visual mungkin ada tetapi
jarang menonjol.
(c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham
dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of
influence), atau Passivity (delusion of passivity), dan keyakinan
dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas.

Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala


katatonik secara relatif tidak nyata / menonjol.

Pasien skizofrenik paranoid biasanya berumur lebih tua daripada


pasien skizofrenik terdisorganisasi atau katatonik jika mereka mengalami
episode pertama penyakitnya. Pasien yang sehat sampai akhir usia 20 atau 30
tahunan biasanya mencapai kehidupan social yang dapat membantu mereka
melewati penyakitnya. Juga, kekuatan ego paranoid cenderung lebih besar dari
pasien katatonik dan terdisorganisasi. Pasien skizofrenik paranoid
menunjukkan regresi yang lambat dari kemampuanmentalnya, respon
emosional, dan perilakunya dibandingkan tipe lain pasien skizofrenik.

Pasien skizofrenik paranoid tipikal adalah tegang, pencuriga, berhati-


hati, dan tak ramah. Mereka juga dapat bersifat bermusuhan atau agresif.
Pasien skizofrenik paranoid kadang-kadang dapat menempatkan diri mereka
secara adekuat didalam situasi social. Kecerdasan mereka tidak terpengaruhi
oleh kecenderungan psikosis mereka dan tetap intak.

2. Skizofrenia Hebefrenik

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).

Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang


menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :

- Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary),
dan perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan;

- Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropriate), sering


disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-
satisfied), senyum sendirir (self-absorbed smiling), atau oleh sikap,
tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces),
mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated
phrases);

- Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu


(rambling) serta inkoheren.

Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir


umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations).
Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang
serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan
ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty
of purpose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-
buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin
mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien.

Menurut DSM-IV skizofrenia disebut sebagai skizofrenia tipe terdisorganisasi.

3. Skizofrenia Katatonik

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.


Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran
klinisnya :

(a) stupor (amat berkurangnya dalam reaktivitas terhadap lingkungan dan


dalam gerakan serta aktivitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara):

(b) Gaduh gelisah (tampak jelas aktivitas motorik yang tak bertujuan, yang
tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal)

(c) Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan


mempertahankan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh);

(d) Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap


semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakkan
kearah yang berlawanan);

(e) Rigiditas (mempertahankan posisi tubuh yang kaku untuk melawan


upaya menggerakkan dirinya);

(f) Fleksibilitas cerea / waxy flexibility (mempertahankan anggota gerak


dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan

(g) Gejala-gejala lain seperti command automatism (kepatuhan secara


otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata-kata serta kalimat-
kalimat.

Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dari


gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai
diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala-gejala lain.

Penting untuk diperhatikan bahwa gejala-gejala katatonik bukan petunjuk


diagnostik untuk skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh
penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta
dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

Selama stupor atau kegembiraan katatonik, pasien skizofrenik memerlukan


pengawasan yang ketat untuk menghindari pasien melukai dirinya sendiri atau
orang lain. Perawatan medis mungkin ddiperlukan karena adanya malnutrisi,
kelelahan, hiperpireksia, atau cedera yang disebabkan oleh dirinya sendiri.

4. Skizofrenia tak terinci (Undifferentiated).

Seringkali. Pasien yang jelas skizofrenik tidak dapat dengan mudah


dimasukkan kedalam salah satu tipe. PPDGJ mengklasifikasikan pasien
tersebut sebagai tipe tidak terinci. Kriteria diagnostic menurut PPDGJ III
yaitu:

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia

Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,


atau katatonik.

Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca


skizofrenia.

5. Depresi Pasca-Skizofrenia

Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau :

(a) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria diagnosis


umum skizzofrenia) selama 12 bulan terakhir ini;

(b) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya); dan

(c) Gejala-gejala depresif menonjol dan menganggu, memenuhi paling


sedikit kriteria untuk episode depresif, dan telah ada dalam kurun
waktu paling sedikit 2 minggu.

Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia diagnosis menjadi


episode depresif. Bila gejala skizofrenia diagnosis masih jelas dan
menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang
sesuai.
6. Skizofrenia Residual

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus


dipenuhi semua :

(a) Gejala negative dari skizofrenia yang menonjol misalnya


perlambatan psikomotorik, aktivitas menurun, afek yang menumpul,
sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi
pembicaraan, komunikasi non-verbal yang buruk seperti dalam
ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk;

(b) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau
yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofenia;

(c) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas
dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah
sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom negative dari
skizofrenia;

(d) Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain,
depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas
negative tersebut.

Menurut DSM IV, tipe residual ditandai oleh bukti-bukti yang terus
menerus adanya gangguan skizofrenik, tanpa adanya kumpulan lengkap gejala
aktif atau gejala yang cukup untuk memenuhi tipe lain skizofrenia.
Penumpulan emosional, penarikan social, perilaku eksentrik, pikiran yang
tidak logis, dan pengenduran asosiasi ringan adalah sering ditemukan pada tipe
residual. Jika waham atau halusinasi ditemukan maka hal tersebut tidak
menonjol dan tidak disertai afek yang kuat.

7. Skizofrenia Simpleks
Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari :

- gejala negative yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului


riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik,
dan

- disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna,


bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.

Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe


skizofrenia lainnya.

Skizofrenia simpleks sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala
utama pada jenis simpleks adalah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya sukar ditemukan. Waham dan
halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini timbulnya perlahan-lahan sekali.
Pada permulaan mungkin penderita mulai kurang memperhatikan keluarganya
atau mulai menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia makin mundur dalam
pekerjaan atau pelajaran dan akhirnya menjadi pengangguran, dan bila tidak
ada orang yang menolongnya ia mungkin akan menjadi pengemis, pelacur,
atau penjahat.

8. Skizofrenia lainnya

9. Skizofrenia YTT

Selain beberapa subtipe di atas, terdapat penggolongan skizofrenia lainnya


(yang tidak berdasarkan DSM IV TR), antara lain :

Bouffe delirante (psikosis delusional akut).

Konsep diagnostik Perancis dibedakan dari skizofrenia terutama atas


dasar lama gejala yang kurang dari tiga bulan. Diagnosis adalah mirip dengan
diagnosis gangguan skizofreniform didalam DSM-IV. Klinisi Perancis
melaporkan bahwa kira-kira empat puluh persen diagnosis delirante
berkembang dalam penyakitnya dan akhirnya diklasifikasikan sebagai media
skizofrenia.

Skizofrenia laten.

Konsep skizofrenia laten dikembangkan selama suatu waktu saat


terdapat konseptualisasi diagnostic skizofrenia yang luas. Sekarang, pasien
harus sangat sakit mental untuk mendapatkan diagnosis skizofrenia; tetapi
pada konseptualisasi diagnostik skizofrenia yang luas, pasien yang sekarang
ini tidak terlihat sakit berat dapat mendapatkan diagnosis skizofrenia. Sebagai
contohnya, skizofrenia laten sering merupakan diagnosis yang digunakan
gangguan kepribadian schizoid dan skizotipal. Pasien tersebut mungkin
kadang-kadang menunjukkan perilaku aneh atau gangguan pikiran tetapi tidak
terus menerus memanifestasikan gejala psikotik. Sindroma juga dinamakan
skizofrenia ambang (borderline schizophrenia) di masa lalu.

Oneiroid.

Keadaan oneiroid adalah suatu keadaan mirip mimpi dimana pasien


mungkin pasien sangat kebingungan dan tidak sepenuhnya terorientasi
terhadap waktu dan tempat. Istilah skizofrenik oneiroid telah digunakan
bagipasien skizofrenik yang khususnya terlibat didalam pengalaman
halusinasinya untuk mengeluarkan keterlibatan didalam dunia nyata. Jika
terdapat keadaan oneiroid, klinisi harus berhati-hati dalam memeriksa pasien
untuk adanya suatu penyebab medis atau neurologist dari gejala tersebut.

Parafrenia.

Istilah ini seringkali digunakan sebagai sinonim untuk skizofrenia


paranoid. Dalam pemakaian lain istilah digunakan untuk perjalanan penyakit
yang memburuk secara progresif atau adanya system waham yang tersusun
baik. Arti ganda dari istilah ini menyebabkannya tidak sangat berguna dalam
mengkomunikasikan informasi.
Pseudoneurotik.

Kadang-kadang, pasien yang awalnya menunjukkan gejala tertentu


seperti kecemasan, fobia, obsesi, dan kompulsi selanjutnya menunjukkan
gejala gangguan pikiran dan psikosis. Pasien tersebut ditandai oleh gejala
panansietas, panfobia, panambivalensi dan kadang-kadang seksualitas yang
kacau. Tidak seperti pasien yang menderita gangguan kecemasan, mereka
mengalami kecemasan yang mengalir bebas (free-floating) dan yang sering
sulit menghilang. Didalam penjelasan klinis pasien, mereka jarang menjadi
psikotik secara jelas dan parah.

Skizofrenia Tipe I.

Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah


simptom positif yaitu asosiasi longgar, halusinasi, perilaku aneh, dan
bertambah banyaknya pembicaraan. Disertai dengan struktur otak yang normal
pada CT dan respon yang relatif baik terhadap pengobatan.

Skizofrenia tipe II.

Skizofrenia dengan sebagian besar simptom yang muncul adalah


simptom negative yaitu pendataran atau penumpulan afek, kemiskinan
pembicaraan atau isi pembicaraan, penghambatan (blocking), dandanan yang
buruk, tidak adanya motivasi, anhedonia, penarikan sosial, defek kognitif, dan
defisit perhatian. Disertai dengan kelainan otak struktural pada pemeriksaan
CT dan respon buruk terhadap pengobatan.

II.7 DIAGNOSIS BANDING

Gangguan Psikotik Sekunder dan Akibat Obat

Gejala psikosis dan katatonia dapat disebabkan oleh berbagai macam


keadaan medis psikiatrik dan dapat diakibatkan oleh berbagai macam zat. Jika
psikosis atau katatonia disebabkan oleh kondisi medis nonpsikiatrik atau
diakibatkan oleh suatu zat, diagnosis yang paling sesuai adalah gangguan
psikotik akibat kondisi medis umum, atau gangguan katatonia akibat zat.
Manifestasi psikiatrik dari banyak kondisi medis nonpsikiatrik dapat terjadi
awal dalam perjalanan penyakit, seringkali sebelum perkembangan gejala lain.
Dengan demikian klinisi harus mempertimbangkan berbagai macam kondisi
medis nonpsikiatrik dii dalam diagnosis banding psikosis, bahkan tanpa
adanya gejala fisik yang jelas. Pada umumnya, pasien dengan gangguan
neurologist mempunyai lebih banyak tilikan pada penyakitnya dan lebih
menderita akibat gejala psikiatriknya daripada pasien skizofrenik, suatu
kenyataan yang dapat membantu klinisi untuk membedakan kedua kelompok
tersebut.

Saat memeriksa seorang pasien psikotik, klinisi harus mengikuti tiga


pedoman umum tentang pemeriksaan keadaan nonpsikiatrik. Pertama, klinisi
harus cukup agresif dalam mengejar kondisi medis nonpsikiatrik jika pasien
menunjukkan adanya gejala yang tidak lazim atau jarang atau adanya variasi
dalam tingkat kesadara. Kedua, klinisi harus berusaha untuk mendapatkan
riwayat keluarga yang lemgkap, termasuk riwayat gangguan medis,
neurologist, dan psikiatrik. Ketiga, klinisi harus mempertimbangkan
kemungkinan suatu kondisi medis nonpsikiatrik, bahkan pada pasien dengan
diagnosis skizofrenia sebelumnya. Seorang pasien skizofrenia mempunyai
kemungkinan yang sama untuk menderita tumor otak yang menyebabkan
gejala psikotik dibandingkan dengan seorang pasien skizofrenik.

Berpura-pura dan Gangguan buatan

Baik berpura-pura atau gangguan buatan mungkin merupakan suatu


diagnosis yang sesuai pada pasien yang meniru gejala skizofrenia tetapi
sebenarnya tidak menderita skizofrenia. Orang telah menipu menderita
skizofrenia dan dirawat dan diobati di rumah sakit psikiatrik. Orang yang
secara lengkap mengendalikan produksi gejalanya mungkin memenuhi
diagnosis berpura-pura (malingering); pasien tersebut biasanya memilki alasan
financial dan hokum yang jelas untuk dianggap gila. Pasien yang kurang
mengendalikan pemalsuan gejala psikotiknya mungkin memenuhi diagnosis
suatu gangguan buatan (factitious disorder). Tetapi, beberapa pasien dengan
skizofrenia seringkali secara palsu mengeluh suatu eksaserbasi gejala psikotik
untuk mendapatkan bantuan lebih banyak atau untuk dapat dirawat di rumah
sakit.

Gangguan Psikotik Lain

Gejala psikotik yang terlihat pada skizofrenik mungkin identik dengan


yang terlihat pada gangguan skizofreniform, gangguan psikotik singkat, dan
gangguan skizoafektif. Gangguan skizofreniform berbeda dari skizofrenia
karena memiliki lama (durasi) gejala yang sekurangnya satu bulan tetapi
kurang daripada enam bulan. Gangguan psikotik berlangsung singkat adalah
diagnosis yang tepat jika gejala berlangsung sekurangnya satu hari tetapi
kurang dari satu bulan dan jika pasien tidak kembali ke tingkat fungsi
pramorbidnya. Gangguan skizoafektif adalah diagnosis yang tepat jika
sindroma manik atau depresif berkembang bersama-sama dengan gejala utama
skizofrenia.

Suatu diagnosis gangguan delusional diperlukan jika waham yang


tidak aneh (nonbizzare) telah ada selama sekurangnya satu bulan tanpa adanya
gejala skizofrenia lainnya atau suatu gangguan mood.

Gangguan Mood

Diagnosis banding skizofrenia dan gangguan mood dapat sulit, tetapi


penting karena tersedianya pengobatan yang spesifik dan efektif untuk mania
dan depresi. Gejala afektif atau mood pada skizofrenia harus relative singkat
terhadap lama gejala primer. Tanpa adanya informasi selain dari pemeriksaan
status mental, klinisi harus menunda diagnosis akhir atau harus menganggap
adanya gangguan mood, bukannya membuat diagnosis skizofrenia secara
prematur.

Gangguan Kepribadian

Berbagai gangguan kepribadian dapat ditemukan dengan suatu cirri


skizofrenia; gangguan kepribadian skizotipal, schizoid, dan ambang adalah
gangguan kepribadian dengan gejala yang paling mirip. Gangguan
kepribadian, tidak seperti skizofrenia, mempunyai gejala yang ringan, suatu
riwayat ditemukannya gangguan selama hidup pasien, dan tidak adanya onset
tanggal yang dapat diidentifikasi.

II.8 PERJALANAN PENYAKIT

Tanda awal dari skizofrenia adalah simtom-simtom pada masa premorbid.


Biasanya simtom ini muncul pada masa remaja dan kemudian diikuti dengan
berkembangnya simtom prodormal dalam kurun waktu beberapa hari sampai
beberapa bulan. Adanya perubahan social / lingkungan dapat memicu
munculnya simtom gangguan. Masa prodormal ini bisa langsung sampai
bertahun-tahun sebelum akhirnya muncul simtom psikotik yang terlihat.

Perjalanan penyakit skizofrenia yang umum adalah memburuk dan remisi.


Setelah sakit yang pertama kali, pasien mungkin dapat berfungsi normal untuk
waktu lama (remisi), keadaan ini diusahakan dapat terus dipertahankan.
Namun yang terjadi biasanya adalah pasien mengalami kekambuhan. Tiap
kekambuhan yang terjadi membuat pasien mengalami deteriorasi sehingga ia
tidak dapat kembali ke fungsi sebelum ia kambuh. Kadang, setelah episode
psikotik lewat, pasien menjadi depresi, dan ini bisa berlangsung seumur hidup.

Seiring dengan berjalannya waktu, simtom positif hilang, berkurang, atau tetap
ada, sedangkan simtom negative relative sulit hilang bahkan bertambah parah.

Faktor-faktor resiko tinggi untuk berkembangnya skizofrenia adalah


Mempunyai anggota keluarga yang menderita skizofrenia, terutama jika salah
satu orang tuanya/saudara kembar monozygotnya menderita skizofrenia,
kesulitan pada waktu persalinan yang mungkin menyebabkan trauma pada
otak, terdapat penyimpangan dalam perkembangan kepribadian, yang terlihat
sebagai anak yang sangat pemalu, menarik diri, tidak mempunyai teman, amat
tidak patuh, atau sangat penurut, proses berpikir idiosinkratik, sensitive
dengan perpisahan, mempunyai orang tua denga sikap paranoid dan gangguan
berpikir normal, memiliki gerakan bola mata yang abnormal,
menyalahgunakan zat tertentu seperti amfetamin, kanabis, kokain, Mempunyai
riwayat epilepsi, memilki ketidakstabilan vasomotor, gangguan pola tidur,
control suhu tubuh yang jelek dan tonus otot yang jelek.
II.9 PROGNOSIS

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa lebih dari periode 5


sampai 10 tahun setelah perawatan psikiatrik pertama kali di rumah sakit
karena skiofrenia, hanya kira-kira 10-20 % pasien dapat digambarkan memliki
hasil yang baik.Lebih dari 50% pasien dapat digambarkan memiliki hasil yang
buruk, dengan perawatan di rumah sakit yang berulang, eksaserbasi gejala,
episode gangguan mood berat, dan usaha bunuh diri. Walaupun angka-angka
yang kurang bagus tersebut, skizofrenia memang tidak selalu memiliki
perjalanan penyakit yang buruk, dan sejumlah faktor telah dihubungkan
dengan prognosis yang baik.

Rentang angka pemulihan yang dilaporkan didialam literatur adalah


dari 10-60% dan perkiraan yang beralasan adalah bahwa 20-30% dari semua
pasien skizofrenia mampu untuk menjalani kehidupan yang agak normal.
Kira-kira 20-30% dari pasien terus mengalami gejala yang sedang,dan 40-60%
dari pasien terus terganggu scara bermakna oleh gangguannya selama seluruh
hidupnya.

Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada:

1. Usia pertama kali timbul ( onset): makin muda makin buruk.

2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut lebih baik.

3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia akut dan katatonik lebih baik.

4. Cepat, tepat serta teraturnya pengobatan yang didapat.

5. Ada atau tidaknya faktor pencetusnya: jika ada lebih baik.

6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada lebih jelek.

7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotim atau introvred lebih jelek.

8. Keadaan sosial ekonomi: bila rendah lebih jelek.


Prognosis Baik Prognosis Buruk
Onset lambat Onset muda

Faktor pencetus yang Tidak ada factor pencetus


jelas
Onset tidak jelas
Onset akut
Riwayat social dan pekerjaan premorbid
Riwayat sosial, seksual yang buruk
dan pekerjaan
premorbid yang baik Prilaku menarik diri atau autistic

Gejala gangguan mood Tidak menikah, bercerai atau janda/ duda


(terutama gangguan
depresif) Sistem pendukung yang buruk

Menikah Gejala negatif

Riwayat keluarga Tanda dan gejala neurologist


gangguan mood
Riwayat trauma perinatal
Sistem pendukung yang
baik Tidak ada remisi dalam 3 tahun
Gejala positif
Banyak relaps

Riwayat penyerangan
II.10 PENATALAKSANAAN

Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian


saat mempertimbangkan pengobatan gangguan, yaitu :

1. Terlepas dari penyebabnya, skizofrenia terjadi pada seseorang yang


mempunyai sifat individual, keluarga, dan sosial psikologis yang unik.

2. Kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada kembar


monozigotik adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti
untuk menyarankan bahwa factor lingkungan dan psikologis yang tidak
diketahui tetapi kemungkinan spesifik telah berperan dalam perkembangan
gangguan.

3. Skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan


terapetik tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan
gangguan yang memiliki berbagai segi.
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan
skizofrenia, penelitian telah menemukan bahwa intervensi psikososial dapat
memperkuat perbaikkan klinis.

Perawatan di Rumah Sakit

Indikasi utama perawatan di rumah sakit adalah :

1. Untuk tujuan diagnostik.

2. Menstabilkan medikasi.

3. Keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh.

4. Perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai.

5. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar.

Tujuan utama perawatan di rumah sakit adalah ikatan efektif antara


pasien dan system pendukung masyarakat.

Sejak diperkenalkan diawal tahun 1950-an medikasi antipsikotik telah


menyebabkan revolusi dalam pengobatan skizofrenia. Tetapi, antipsikotik
mengobati gejala gangguan dan bukan suatu penyembuhan skizofrenia.

Perawatan di rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu


mereka menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit
tergantung pada keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas
pengobatan rawat jalan.

Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke


arah masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan dan
hubungan sosial. Perawatan di rumah sakit harus di arahkan untukk mengikat
pasien dengan fasilitas pasca rawat termasuk keluarganya, keluarga angkat,
board and care homes, dan half way house. Pusat perawatan di siang hari ( day
care center ) dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien
tetap di luar rumah sakit untuk periode waktu yang lama dan dapat
memperbaiki kualitas kahidupan sehari-hari pasien.

Terapi Somatik

Antipsikotik

Antipsikotik termasuk tiga kelas obat yang utama, yaitu:

1. Antagonis reseptor dopamine

2. Risperidone ( ris perdal )

3. Clozapine ( clozaril )

Pemilihan Obat

1. Antagonis Reseptor Dopamin

Adalah obat antipsikotik yang klasik dan efektif dalam pengobatan


skizofrenia. Obat ini memiliki dua kekurangan utama, yaitu:

1.
a. Hanya sejumlah kecil pasien, cukup tertolong untuk mendapatkan
kembali jumlah fungsi mental yang cukup normal.
b. Disertai dengan efek merugikan yang mengganggu dan serius. Efek
mengganggu yang paling utama adalah akatisia dan gejala mirip
parkinsonisme berupa rigiditas dan tremor. Efek serius yang potensial
adalah tardive dyskinesia dan sindroma neuroleptik malignan.

Remoxipride adalah antagonis reseptor dopamin dari kelas yang


berbeda dari pada antagonis reseptor dopamin yang sekarang ini tersedia.
Awalnya obat ini disertai efek samping neurologist yang bermakna, tetapi
akhirnya remoxipride disertai dengan anemia aplastik, jadi membatasi nilai
klinisnya.

2. Risperidone

Adalah suatu obat antispikotik dengan aktivitas antagonis yang


bermakna pada reseptor serotonin tipe 2 ( 5-HT2 ) dan pada reseptor
dopamine tipe 2 ( d2 ). Risperidone menjadi obat lini pertama dalam
pengobatan skizofrenia karena kemungkinan obat ini adalah lebih efektif
dan lebih aman daripada antagonis reseptor dopaminergik yang tipikal.

3. Clozapine

Adalah suatu obat antipsikotik yang efektif. Mekanisme kerjanya


belum diketahui secara pasti. Clozapine adalah suatu antagonis lemah
terhadap reseptor D2 tetapi merupakan antagonis yang kuat terhadap
reseptor D4 dan mempunyai aktivitas antagonistic pada reseptor
serotogenik. Agranulositosis merupakan suatu efek samping yang
mengharuskan monitoring setiap minggu pada indeks-indeks darah. Obat
ini merupakan lini kedua, diindikasikan pada pasien dengan tardive
dyskinesia karena data yang tersedia menyatakan bahwa clozapine tidak
disertai dengan perkembangan atau eksaserbasi gangguan tersebut.

Prinsip-Prinsip Terapetik

1. Klinis harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati

2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien
harus digunakan lagi.

3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu


pada dosis yang adekuat.

4. Penggunaan pada lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu
adalah jarang diindikasikan.

5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang
diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama periode psikotik.

Pemeriksaan Awal

Obat antipsikotik cukup aman jika diberikan selama periode waktu


yang cukup singkat. Dalam situasi gawat, obat ini dapat diberikan kecuali
clozapine, tanpa melakukan pemeriksaan fisik atau laboratorium pada diri
pasien. Pada pemeriksaan biasa harus didapatkan hitung darah lengkap dengan
indekss sel darah putih, tes fungsi hati dan ECG khususnya pada wanita yang
berusia lebih dari 40 tahun dan laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun.

Kontraindikasi Utama Antipsikotik:

1. Riwayat respon alergi yang serius

2. Kemungkinan bahwa pasien telah mengingesti zat yang akan berinteraksi


dengan antipsikotik sehingga menyebabkan depresi sistem saraf pusat.

3. Resiko tinggi untuk kejang dari penyebab organic atau audiopatik.

4. Adanya glukoma sudut sempit jika digunakan suatu antupsikotik dengan


aktivitas antikolinergik yang bermakna.

Kegagalan Pengobatan

1. Ketidakpatuhan dengan antipsikotik merupakan alas an utama untuk


terjadinya relaps dan kegagalan percobaan obat.

2. Waktu percobaan yang tidak mencukupi.

Setelah menghilangkan alasan lain yang mungkin bagi kagagalan terapi


antipsikotik, dapat dicoba antipsikotik kedua dengan struktur kimiawi yang
berbeda dari obat yang pertama. Strategi tambahan adalah suplementasi
antipsikotik dengan lithium (eskalith), suatu antikonvulsan seperti
carbamazepine atau valproate (depakene), atau suatu benzodiazepine.
Pemakaian terapi antipsikotik dosis-mega jarang diindikasikan, karena hamper
tidak ada data yang mendukung praktek tersebut.

Obat Lain

Lithium

Efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada sampai 50 persen
pasien dengan skizofrenia dan merupakan obat yang beralasan untuk
dicoba pada pasien yang tidak mampu menggunakan medikasi
antipsikotik.

Antikonvulsan

Carbamazepine dan valproat dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam


kombinasi dengan lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun tidak terbukti
efektif dalam menurunkan gejala psikotik pada skizofrenia, namun jika
digunakan sendiri-sendiri mungkin efektif dalam menurunkan episode
kekerasan pada beberapa pasien skizofrenia.

Benzodiazepin

Pemakaian bersama-sama alprazolam ( xanax ) dan antipsikotik bagi pasien


yang tidak berespo terhadap pemberian antipsikotik saja, dan pasien
skizofrenia yang berespon terhadap dosis tinggi diazepam ( valium ) saja.
Tetapi keparahan psikosis dapat di eksaserbasi seteloah putus dari
benzodiazepine.

Terapi Somatik Lainnya

Elektrokonvulsif ( ECT ) dapat diindikasikan pada pasien katatonik


dan bagi pasien yang karena suatu alasan tidak dapat menggunakan
antipsikotik ( kurang efektif ). Pasien yang telah sakit selama kurang dari satu
tahun adalah yang paling mungkin berespon.

Dimasa lalu skizofrenia diobati dengan koma yang di timbulkan insulin


(insulin-induced coma) dan koma yang ditimbulkan barbiturat (barbiturate-
induced coma).

Terapi Psikososial

Terapi Perilaku

Tehnik perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan keterampilan social


untuk meningkatkan kemampuan social, kemampuan memenuhi diri
sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal.
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat
ditebus untuk hal-hal yang diharapkan. Dengan demikian frekuensi
perilaku mal adaptif atau menyimpang dapat diturunkan.

Latihan Keterampilan Perilaku ( Behavioral Skills Trainning )

Sering dinamakan terapi keterampilan sosial ( social skills therapy ). Terapi ini
dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan
tambahan alami bagi terapi farmakologis. Latihan keterampilan ini
melibatkan penggunaan kaset videon orang lain dan pasien permainan
simulasi ( role playing ) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang
keterampilan yang telah dilakukan.

Terapi Berorientasi Keluarga

Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan harus termasuk
mengidentifikasik dan menghindari situasi yang kemungkinan
menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang timbul pada pasien di
dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan masalah secara cepat.

Setelah periode pemulangan segera, topik penting yang dibahas dalam terapi
keluarga adalah proses pemulihan khususnya lama dan kecepatannya.

Di dalam session keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli terapi harus


mengendalikan intensitas emosional dari session.

BAB III

KESIMPULAN

1. Skizofrenia adalah suatu deskripsi dengan variasi penyebab (banyak belum


diketahui) dan perjalanan penyakit (tak selalu bersifat kronis atau
deteriorating) yang luas, serta sejumlah akibat yang tergantung pada
perimbangan pengaruh genetik, fisik, dan sosial budaya.

1. Psikopatologi skizofrenia:

- Faktor Ditesis-stress
- Neurobiologi

- Genetika

- Faktor Psikososial

1. Klasifikasi skizofrenia:

- Skizofrenia paranoid

- Skizofrenia hebefrenik

- Skizofrenia katatonik

- Skizofrenia tak terinci (undifferentiated)

- Depresi pasca skizofrenia

- Skizofrenia residual

- Skizofrenia simpleks

- Skizofrenia lainnya

- Skizofrenia YTT

1. Diagnosis Skizofrenia:

- Gejala karakteristik : dua (atau lebih) berikut, masing-masing ditemukan


untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan (atau kurang jika
diobati dengan berhasil) waham, halusinasi, bicara terdisorganisasi, perilaku
terdisorganisasi atau katatonik yang jelas, gejala negative

- Sosial / Pekerjaan : untuk bagian waktu yang bermakna sejak onset gangguan
, satu atau lebih fungsi utama seperti pekerjaan, disfungsi hubungan
interpersonal, atau perawatan diri, adalah jelas dibawah tingkat yang dicapai
sebelum onset.
- Durasi :tanda gangguan terus menerus menetap selama sekurangnya 6 bulan,
termaksud sekurangnya satu bulan gejala.

- Penyingkiran gangguan skizoafektif dan gangguan mood.

- Penyingkiran zat/ kondisi medis umum : gangguan tidak disebabkan oleh


efek fisiologis langsung dari suatu zat (mis: obat yang disalahgunakan).

- Hubungan dengan gangguan perkembangan pervasive jika terdapat riwayat


adanya gangguan autistic atau gangguan perkembangn pervasive lainnya,
diagnosis tambahan skizofrenia dibuat hanya jika waham atau halusinasi
yang menonjol juga ditemukan untuk sekurangnya satu bulan (atau kurang
jika berhasil diobati).

5. Gejala klinik skizofrenia:

Gejala-gejala khas yang meliputi berrbagai hal psikologis yaitu :

Isi pikiran: gangguan utama isi pikiran adalah waham yang majemuk, terpecah
atau aneh, misalny berupa waham kejar dan waham yang menyangkut dirinya
(delusion of reference).

Bentuk pikiran : adanya gangguan pikiran formal, berbentuk sebagai asosiasi


longgar, inkoherensi, kemiskinana pembicaraan, dll.

Persepsi : Gangguan utama adalah berbagai jenis halusinasi, tetapi yang paling
sering adalah halusinasi dengar.

Afek : Sering kali berupa afek datar atau tidak serasi.

Rasa kesadaran diri : Sering bermanifestasi sebagai rasa perpleksitas yang


parah tentang identitas dirinya dan makna eksistensinya.

Dorongan kehendak(volition ) : Gangguan dapat berupa minat atau dorongan


yang tidak adekuat.
Hubungan dengan dunia luar : sering terjadi kecenderungan untuk menarik diri
dari dunia luar, berpreokupasi pad aide dan egosentrik dan apabila keadaanya
parah maka jatuh kedalam autisme.

Tingkah laku psikomotor : Ganggaun tingkah laku psikomotor bisa beraneka


ragam, dapat berupa berkurangnya gerakan dan aktivitas spontan atau dapat
pula berupa gerakan motorik yang berlebihan.

Gambaran penyerta : Hampir semua gejala dapat timbul sebagai gambaran


penyerta, misalnya : individu tampak kehilangan akal (perplexed), berpakaian
atau berdandan eksentrik, aktivitas motorik yang tidak wajar, afek yang tidak
menyenangkan, depersonalisasi, derealisasi dan gagasan yang mirip waham
yang menyangkut dirinya.

1. Diagnosis banding skizofrenia:

- Gangguan mood

- Gangguan kepribadian

- Gangguan psikotik lainnya

- Gangguan psikotik sekunder dan akibat obat

1. Penatalaksanaan skizofrenia:

Perawatan rumah sakit


Terapi somatic
Terapi psikososial
Terapi blitzkrieg

1. Prognosis : tergantung dari berbagai factor, antara lain : onset, factor pencetus,
riwayat keluarga, system pendukung, gejala, riwayat sosial, seksual,dll

http://yumizone.wordpress.com/2009/01/10/skizofrenia/

SKIZOFRENIA
Skizofrenia? Apa sih yang dimaksud dengan skizofrenia? Mungkin sebagian orang
masih awam dengan kata ini. Tapi mungkin bagi keluarga yang salah satu anggota
keluarganya didiagnosa penyakit ini pasti sering mendengar.

Skizofrenia adalah suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan
perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi,
hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart, 2006).

Dari beberapa penelitian ditemukan adanya berbagai faktor yang menyebabkan


seseorang itu menderita skizofrenia. Menurut sebuah buku sumber keperawatan jiwa
dari Iyus Yosep (2007), bahwa yang menyebabkan penyakit skizofrenia itu antara lain:
factor genetika, virus, auto antibody, dan keadaan malnutrisi. Penelitian menyebutkan
bahwa meski ada gen yang abnormal namun penyakit ini tidak akan muncul jika tidak
disertai oleh faktor-faktor yang telah disebutkan di atas atau yang disebut dengan
epigenetik. Menurutnya juga penyakit ini akan lebih beresiko besar, jika seseorang
yang mempunyai factor epigenetik kemudian mengalami stressor psikososial.

Menurut penelitian dari sumber J.C. Coleman (1970), orang yang dapat mengalami
penyakit skizofrenia adalah yang memiliki hubungan kembar dari satu telur
(monozigot) 86,2% menderita skizofrenia, sedangkan kembar dari dua telur
(heterozigot) 14,5%, saudara kandung 14,2%, saudara tiri 7,1% dan masyarakat
umum 0,85%

Faktor predisposisi dari skizofrenia, pertama adalah faktor somatik atau


organobiologis. Yang termasuk diantaranya adalah Neroanatomi, Nerofisiologi,
nerokimia, tingkat kematangan dan perkembangan organic, factor pre dan perinatal.
Faktor yang kedua adalah psikoedukatif yaitu: interaksi ibu dan anak, peranan ayah,
persaingan antara saudara kandung, intelegensia, hubungan dalam keluarga,
pekerjaan, permainan, dan masyarakat, kehilangan yang menyebabkan kecemasan
atau depresi, konsep diri, keterampilan, bakat dan kreatifitas, pola adaptasi dan
pembelaan sebagai reaki terhadap bahaya, tingkat perkembangan emosi. Faktor ketiga
sosiokultural meliputi kestabilan keluarga, pola asuh anak, tingkat ekonomi,
perumahan: perumahan lawan pedesaan. (Yosep, 2007)

Sedangkan stressor pencetus pada skizofrenia dapat berupa faktor biologis yang
berhubungan dengan respon neurobiologist maladaptif seperti gizi buruk,kurang tidur,
irama sirkadian tidak seimbang, keletihan, infeksi, obat system saraf pusat, kurang
olahraga, hambatan dalam mengakses pelayanan kesehatan. Faktor lingkungan juga
dapat menjadi pencetus penyakit ini yaitu lingkungan yang penuh kritik, kesukaran
interpersonal, gangguan hubungan interpersonal, isolasi social, tekanan pekerjaan,
kemiskinan, dll. Faktor sikap dan perilaku dapat menjadi pemicu juga seperti konsep
diri rendah, kurang rasa percaya diri, keterampilan social yang kurang, perilaku
agresif, perilaku kekerasan, dll. (Stuart, 2006)

Skizofrenia ternyata ada beberapa jenis, yang pertama jenis skizofrenia paranoid,
skizofrenia hebrefrenik, katatonik, skizofrenia yang tidak digolongkan
(undiffentiated), depresi pasca-skizofrenia, skizofrenia residual, dan skizofrenia
lainnya (Maslim, 1998 & Issacs, 2004).
Skizofrenia paranoid ciri-ciri utamanya adalah waham yang sistematis atau halusinasi
pendengaran. Individu ini dapat penuh curiga, argumentatif, kasar, dan agresif.
Perilaku kurang regresif, kerusakan social lebih sedikit, dan prognosisnya lebih baik
dibanding jenis-jenis lain.

Skizofrenia hebefrenik ciri-ciri utamanya adalah percakapan dan perilaku yang kacau,
serta afek yang datar atau tidak tepat, gangguan asosiasi juga banyak terjadi. Individu
tersebut juga mempunyai sikap yang aneh, menunjukkan perilaku menarik diri secara
social yang ekstrim, mengabaikan hygiene dan penampilan diri. Awitan biasanya
terjadi sebelum 25 tahun dan dapat bersifat kronis. Perilakunya regresif, dengan
interaksi sosial dan kontak dengan realitas yang buruk.

Skizofrenia katatonik ciri-ciri utamanya adalah ditandai dengan gangguan psikomotor,


yang melibatkan imobilitas atau justru aktivitas yang berlebihan. Stupor katatonik.
Individu dapat menunjukan ketidakaktifan, negativisme, dan kelenturan tubuh yang
berlebihan (postur abnormal). Catatonic excitement melibatkan agitasi yang ekstrim
dan dapat disertai dengan ekolalia dan ekopraksia.

Skizofrenia yang tidak digolongkan ciri-ciri utamanya adalah waham, halusinasi,


percakapan yang tidak koheren dan perilaku yang kacau. Klasifikasi ini digunakan
bila kriteria untuk jenis lain tidak terpenuhi.

Skizofrenia residu ciri-ciri utamanya adalah tidak adanya gejala-gejala akut saat ini,
melainkan terjadi di masa lalu. Dapat terjadi gejala-gejala negative, seperti isolasi
social yang nyata, menarik diri dan gangguan fungsi peran.

Daftar pustaka:

Isaacs, Ann. 2004. Panduan Belajar: Keperawatan Kesehatan Jiwa dan Psikiatrik ed.3.
Jakarta EGC.

Maslim, Rusdi. 1998. Buku Saku Diagnosis Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Bandung: Development Aura Informatika

Stuart, Gail W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 5. Jakarta EGC

http://sehatjiwa-6.blogspot.com/2008/04/skizofrenia_22.html

Anda mungkin juga menyukai