Anda di halaman 1dari 29

UJI EFEKTIVITAS DAYA ANTELMINTIK DEKOKTA BIJI

BUAH DELIMA ( Punica granaatum L. ) TERHADAP


Ascaris suum, Goeze SECARA In Vitro
KTI
Diajukan Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Ahli Madya Farmasi Pada
Program Studi DIII Farmasi

Oleh :

Anis Hartini
NIM.13DF277004

PROGRAM STUDI DIII FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH
CIAMIS
2016
INTISARI

UJI EFEKTIVITAS DAYA ANTELMINTIK BIJI BUAH DELIMA (Punica


granatum L.) TERHADAP Ascaris suum, Goeze SECARA INVITRO1
Anis Hartini2 Via Fitria, M.Si3 Nia Kurniasih, M. Sc., Apt4

Berdasarkan data terbaru dari WHO tahun 2015 sekitar 1,5 miliar orang
atau sekitar 24% dari total populasi dunia menderita cacingan. Penggunaan obat
obatan yang berasal dari alam akhir akhir ini semakin diminati oleh
masyarakat. Karena obat yang berasal dari alam dipercaya masyarakat memiliki
efek samping yang lebih sedikit dibanding dengan obat kimia. Salah satunya
adalah buah delima. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui efektivitas daya
anthelmintik dekokta biji buah delima (Punica granatum L.) terhadap Ascaris
suum, Goeze.
Antelmintik merupakan zat atau senyawa yang dapat mengganggu
koordinasi neuromuskuler, produksi energi, dan keutuhan mikrotubuler pada
cacing.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode in vitro yang
bertujuan untuk mengetahui efektivitas biji buah delima terhadap Ascaris suum,
Goeze. Biji buah delima sebagai bahan utama pengujian dibuat dalam sediaan
dekokta konsentrasi 20%, 40% dan 80%.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa dekokta biji buah delima
memiliki efektivitas sebagai antelmintik. Namun dari hasil pengamatan yang
dilakukan, dekokta biji buah delima konsentrasi 80% memiliki efektivitas yang
lebih baik dibandingkan dengan dekokta biji buah delima konsentrasi 20% dan
40%.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dekokta biji buah delima
memiliki efektivitas antelmintik pada Ascaris suum, Goeze. Serta efektivitas
terbaik terdapat pada dekokta biji buah delima konsentrasi 80%.

Kata Kunci : Biji buah delima, Antelmintik


Keterangan: 1 judul, 2 nama mahasiswa, 3 nama pembimbing I , 4 nama
pembimbing II.

vi
ABSTRAK

EFFECTIVENESS TEST POWER ANTHELMINTIC SEEDS FRUIT POMEGRANATE


(Punica granatum L.) ON Ascaris suum, Goeze IN VITRO1
Anis Hartini2 Via Fitria, M.Si3 Kurniasih Nia, M. Sc., Apt4

According to new data from WHO in 2015 about 1.5 billion people, or about 24%
of the total world population suffer from intestinal worms. The use of drugs - drugs
derived from natural end - the end is increasingly in demand by the public. Because
drugs derived from natural trusted people to have fewer side effects than chemical
drugs. One of them is the pomegranate. The purpose of this study to determine the
effectiveness of anthelmintic power dekokta seeds pomegranate (Punica granatum L.)
against Ascaris suum, Goeze.
Anthelmintic is a substance or compound that can interfere with neuromuscular
coordination, energy production, and the integrity mikrotubuler worms.
This research was conducted using in vitro methods that aims to determine the
effectiveness of pomegranate seeds against Ascaris suum, Goeze. Pomegranate seeds as
a key ingredient in the preparation of testing made dekokta concentration of 20%, 40%
and 80%.
Results from this study showed that pomegranate seeds dekokta own
effectiveness as an anthelmintic. However, the results of observations made, dekokta
pomegranate seeds concentration of 80% has a better effectiveness than the
pomegranate seeds dekokta concentration of 20% and 40%.
The conclusion from this study is that dekokta pomegranate seeds have
anthelmintic efficacy on Ascaris suum, Goeze. As well as the best effectiveness
contained in pomegranate seeds dekokta concentration of 80%.

Keywords: Pomegranate Seeds, Anthelmintic


Description: 1 title, 2 names of students, 3 names supervisor I, 4 the name of the
supervising II.

vii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penyakit cacingan merupakan salah satu penyakit yang menjadi
permasalahan utama di negara - negara berkembang seperti di
Indonesia. Penyakit cacingan Juga merupakan salah satu infeksi yang
paling umum tersebar di dunia, berdasarkan data terbaru dari World
Health Organization (WHO) tahun 2015, sekitar 1,5 miliar orang atau
sekitar 24% dari total populasi dunia menderita cacingan, dan pada
umumnya menyerang anak anak usia sekolah. Sementara di
Indonesia kasus cacingan menyebar diseluruh wilayah. Sitohang
(2015) mengemukakan rata rata prevalansi cacing di Indonesia
mencapai lebih dari 28% dengan tingkat yang berbeda beda di setiap
daerahnya.
Rendahnya mutu sanitasi menjadi penyebabnya. Meski sering
dianggap angin lalu, penyakit akibat diserapnya makanan oleh cacing
di dalam tubuh sebaiknya tidak diremehkan. Dampaknya bagi si
penderita ternyata tidak kalah berbahaya ketimbang penyakit lain.
Apalagi, yang jadi korban kebanyakan adalah anak-anak. Prevalensi
infeksi cacing yang tinggi berdampak buruk bagi kesehatan. Studi
Crompton menunjukan, walaupun jarang menyebabkan kematian,
namun infeksi cacing berdampak terhadap gizi, pertumbuhan fisik,
mental dan kemunduran intelektual, khususnya bagi anak-anak.
Cacing gelang merupakan cacing terbesar diantara cacing
cacing lain. Cacing gelang memiliki habitat di usus halus manusia
sehingga di sana cacing gelang menyerap banyak nutrisi dan karena
ukuranya yang besar menghambat penyerapan nutrisi oleh usus.
Cacing ini merupakan parasit yang kosmopolit yaitu tersebar di seluruh
dunia, lebih banyak di temukan di daerah beriklim panas dan lembab.
Di beberapa daerah tropic derajat infeksi dapat mencapai 100% dari
2

penduduk. Menurut Haryanti (1993) , umumnya lebih banyak


ditemukan pada anak-anak berusia 510 tahun sebagai host
(penjamu) yang juga menunjukkan beban cacing yang lebih tinggi.
Penggunaan obat-obatan yang berasal dari alam akhir-akhir ini
semakin diminati oleh masyarakat. Karena obat dari bahan-bahan
alami atau obat tradisional dipercaya oleh masyarakat mempunyai efek
samping yang lebih sedikit dibanding obat-obatan kimia serta relatif
mudah didapat. Salah satunya adalah buah delima (Punica granatum
L.), sebagaimana diterangkan dalam QS Ar-Rahman ayat : 67-68
sebagai berikut :

Artinnya : Didalam kedua surga itu (ada macam-macam buah


buahan) dan kurma serta delima. Maka nikmat Tuhanmu yang
manakah yang kamu dustakan?
Seperti diterangkan pada ayat di atas, Alloh SWT telah
menciptakan berbagai macam buah-buahan yang begitu banyak
manfaatnya. Kita sebagai manusia tinggal mensyukuri dengan cara
memanfaatkan nikmat yang telah Alloh SWT karuniakan kepada kita.
Salah satunya dengan memanfaatkannya sebagai obat-obatan,
tentunya sesuai dengan hasil studi dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Dewasa ini banyak penelitian modern yang dilakukan untuk
membuktikan khasiat tanaman yang diduga berkhasiat obat. Tidak
sedikit juga penelitian modern yang membuktikan khasiat tanaman
delima (Punica granatum L.) , antara lain buah sebagai Antioksidan.
Kulit batang berkhasiat sebagai astringensia. Kulit buah delima
digunakan sebagai astringensia, antelmintik, ganguan jantung, kanker,
reumatik, diabetes. Namun belum ada penelitian yang dilakukan untuk
menguji bagian biji buah delima yang diduga memiliki kandungan
3

senyawa dan khasiat yang sama seperti bagian lainnya, yang salah
satunya berkhasiat sebagai antelmintik. Berangkat dari hal tersebut
serta tingginya frekuensi penyakit cacingan di Indonesia maka perlu
dilakukan penelitian untuk membuktikan kebenaran hal tersebut.
Berdasarkan uraian di atas maka diperlukan penelitian tentang
uji efektivitas daya anthelmintik dekokta biji buah delima ( Punica
granatum L. ) terhadap Ascaris suum, Goeze secara in vitro.

B. Batasan Masalah
1. Penelitian ini menggunakan biji buah delima yang berasal dari
Daerah Ciamis.
2. Penelitian ini menggunakan metode ekstraksi maserasi.
3. Penelitian ini menggunakan cacing Ascaris suum, Goeze sebagai
hewan uji.

C. Rumusan Masalah
1. Apakah dekokta biji buah delima (Punica granatum L.) dapat
menyebabkan paralisis terhadap Ascaris suum, Goeze ?
2. Konstrasi berapa persenkah dekokta biji buah delima (Punica
granatum L. ) dapat menyebabkan paralisis terhadap Ascaris suum,
Goeze ?

D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui efektivitas daya anthelmintik dekokta biji buah delima
(Punica granatum L.) terhadap Ascaris suum, Goeze.
2. Mengetahui dalam konsentrasi berapakah dekokta biji buah delima
(Punica granatum L.) dapat menimbulkan paralisis terhadap Ascaris
suum, Goeze.
4

E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan
pengetahuan bagi masyarakat tentang khasiat biji buah delima
(Punica granatum L.) sebagai antelmintik dan sebagai bahan
penelitian lebih lanjut.

F. Keaslian Penelitian
Tabel I.1 Data Keaslian Penelitian

Nama Tahun Tempat Judul Persamaan Perbedaan

Efektivitas Ekstrak Kulit Simplisia yang Bagian


Universitas Buah Delima (Punica digunakan buah simplisia
Sumatra granatum L.) Terhadap delima (Punica yang
Shinta 2014
Utara Bakteri Porphyromonas granatum L.) digunakan,
gingivalis Media uji
Secara In Vitro

Simplisia yang Bagian


Efek Antelmitik Ekstrak Kulit
Universitas digunakan buah simplisia
Monica Buah Delima (Punica
2014 Kristen delima (Punica yang
Amelia gramatum L.) terhadap
Maranatha granatum L.) digunakan,
Ascaris suum Betina secra
Media uji
In Vitro

Aktivitas Antibakteri
Kombinasi Ekstrak Simplisia yang
digunakan buah Bagian
Universitas Etanol Kulit Buah Delima
Ifah hanik 2012 Muhammadiy (Punica granatum L.) Dan delima (Punica simplisia yang
granatum L.) digunakan,
ah Surakarta Kloramfenikol Terhadap
Media uji
Staphylococcus aureus
Sensitif Dan Multiresisten
Antibiotik
Debra Media Uji
Uji Efek Antelmintik Ekstrak
Tiwow,
Universitas Etanol Biji Pinang (Areca menggunakan
Widdhi
2013 Sam catechu) Terhadap Cacing Simplisia yang
Bodhi, Ascarisum
Ratulangi Ascaris Lumbricoides Dan digunakan
Novel
Ascaridia Galli Secara In lumbricoides
S.Kojong
Vitro

Antihelmintik Infusa Daun


Universitas Pengujian
Andong (Cordyline fruticosa) Simplisia yang
Astri Asih 2014 Atma Jaya
Terhadap Ascaridia galli Antelmintik digunakan
Yogyakarta
Secara In Vitro
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Buah Delima

Gambar II.1 : Buah Delima (Punica gramatum L.)


Delima ( Punica granatum L. ) adalah tanaman buah buahan
yang dapat tumbuh hingga 5-8 m. Tanaman ini diperkirakan berasal
dari Iran, namun telah lama dikembangbiakan di daerah
Mediterania. Bangsa Moor memberi nama salah satu kota kuno di
Spayol, Granada berdasarkan nama buah ini. Tanaman ini juga
banyak ditanam di daerah Cina Selatan dan Asia Tenggara
(Rahmat, 2003).
a. Taxonomi
Berdasarkan taksonominya, delima diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Lythraceae

5
Famil : Punicaeae
Genus : Punica L.
Spesies : Punica granatum L.
b. Sinonim dan Nama Daerah
Di daerah Sumatera, delima biasanya dikenal dengan
nama glima (aceh), dalimo (batak), sedangkan di daerah Jawa
dikenal dengan nama gangsalan dan dhalima (Rahmat, 2003).
c. Morfologi
Delima berasal dari Timur Tengah, tersebar dari daerah
subtropik sampai tropik, dari dataran rendah sampai di bawah
1.000 mdpl. Tumbuhan ini menyukai tanah gembur yang tidak
terendam air, dengan air tanah yang tidak dalam. Delima sering
di tanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, bentuk pohon
perdu atau pohon kecil dengan tinggi 2-5 m. batang berkayu,
ranting bersegi, percabangan banyak, lemah, berduri pada
ketiak daunnya, cokelat ketika masih muda, dan hijau kotor
setelah tua. Daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya
berkelompok. Helaian daun bentuknya lonjong sampai lanset,
pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip,
permukaan mengkilap, panjang 1-9 cm, lebar 0,5-2,5 cm,
warnanya hijau. Bunga tunggal bertangkai pendek, keluar di
ujung ranting atau di ketiak daun yang paling atas. Biasanya,
terdapat satu sampai lima bunga, warnanya merah, putih, atau
ungu. Berbunga sepanjang tahun. Buahnya buah buni,
bentuknya bulat dengan diameter 5-12 cm, warna kulitnya
beragam, seperti hijau keunguan, putih, coklat kemerahan, atau
ungu kehitaman. Kadang terdapat bercak-bercak yang agak
menonjol berwarna lebih tua. Bijinya banyak, kecil-kecil,
bentuknya bulat panjang yang bersegi-segi agak pipih, keras,
tersusun tidak beraturan, warnanya merah, merah jambu, atau
putih (Rahmat, 2003).

6
Pemanfaatan delima secara tradisional telah digunakan
sebagai obat cacingan, diare, prolaps rektum, perdarahan
seperti muntah darah dan perdarahan rahim, radang
tenggorokan, radang telinga, keputihan, batuk, radang gusi,
bronkhitis, sariawan, rematik, perut kembung, keracunan, nyeri
lambung dan hipertensi. Bagian tanaman yang biasa digunakan
sebagai obat adalah kulit kayu, kulit akar, kulit buah, daun, biji
dan bunganya (Shinta, 2014).
d. Kandungan senyawa kimia buah delima
Efek terapeutik delima erat hubungannya dengan
senyawa kimia yang terkandung di dalamnya. Penelitian terkini
mengungkapkan bahwa bahan yang paling memiliki nilai
terapeutik di dalam delima adalah senyawa polifenol atau
phenolic. Selain itu, senyawa kimia lain yang berperan yaitu
asam ellagic, tannin ellagic atau hydrolyzable (termasuk
punicalagin), asam lemak, katekin, quercetin, antosianidin,
antosianin, asam punicic, flavonoid, dan estyrogenic flavonols
dan flavon dan alkaloid pelletierine (Gunawan, 2007).
Phenolic adalah senyawa yang paling penting dalam
aktifitas terhadap bakteri, contohnya adalah asam gallic yang
diidentifikasi sebagai senyawa yang paling aktif untuk uji
penghambatan bakteri. Efek penghambatan senyawa phenolic
dapat dijelaskan oleh adsorpsi ke membran sel, interaksi
dengan enzim substrat dan mengurangi komposisi ion logam
bakteri (Gunawan, 2007).
Flavonoid dilaporkan menunjukkan kemampuan aktifitas
anti-inflamasi, oestrogenic, enzim inhibition, antimikroba,
antialergi, antioksidan, dan aktifitas sitotoksis antitumor. Ekstrak
flavonoid dari tanaman ini telah banyak digunakan dalam
penelitian efek terhadap berbagai bakteri secara in vitro.
Flovanoid memiliki mekanisme antibakteri dengan berbagai

7
aktifitas, diantaranya dengan menghambat sintesis dari asam
nukleat bakteri, menghambat fungsi membran sitoplasmik
bakteri, dan menghambat metabolisme energi bakteri
(Gunawan, 2007).
Senyawa tanin seperti punicalagin merupakan agen
antimikrobial. Aktifitas tanin dalam melawan bakteri dan jamur
dapat dilihat dari hubungan struktur molekul dan toksisitasnya
serta aktifitas astringennya. Efek tanin sebagai antimikroba
nampak dari kemampuan melewati dinding sel bakteri yang
terdiri dari polisakarida dan protein dan berikatan dengan
permukaanya (Gunawan, 2007).
Senyawa senyawa tersebut diatas selain mempunyai
aktivitas yang tinggi terhadap bakteri juga mempunyai aktivitas
antelmintik (Gunawan, 2007).
Senyawa lain seperti asam ellagic, antosianin dan flavon
juga memiliki aktifitas biological yang tinggi. Asam ellagic dan
flavon memiliki kemampuan antikarsinogenik dan antioksidan
yang tinggi. Sedangkan, antosianin merupakan salah satu
antioksidan tumbuhan yang kuat yang mampu mencegah
berbagai kerusakan sel, serta alkaloid pelletierin yang mampu
mengeluarkan cacing dari usus (Gunawan, 2007).
e. Keamanan Ekstrasi Biji Buah Delima
Delima dan unsur yang terkandung di dalamnya telah
aman dikonsumsi selama berabad-abad tanpa efek samping.
Penelitian mengenai efek kandungan buah delima pada hewan
dengan konsentrasi yang umumnya digunakan manusia dan
pada obat tradisional menunjukkan tidak adanya efek toksik.
Toksisitas antioksidan polifenol punicalagin, yang banyak
terdapat pada jus delima telah dievaluasi pada tikus. Tidak ada
efek toksik atau perbedaan signifikan yang diamati dalam
kelompok pengobatan dibandingkan dengan kontrol, yang

8
dikonfirmasi melalui analisis histopatologi organ tikus. Penelitian
lain pada 10 pasien dengan stenosis arteri karotis menunjukkan
konsumsi jus delima (121 mg/L) selama tiga tahun tidak memiliki
efek toksik dalam analisis kimia darah, fungsi ginjal, hati, dan
jantung (Shinta, 2014).
2. Antelmintik
Siklus hidup cacing dalam tubuh sangat bergantung pada
koordinasi neuromuskuler, produksi energi, dan keutuhan
(integritas) mikrotubuler. Sehingga zat atau obat yang dapat
mengganggu salah satu dari ketiga hal di atas akan bermanfaat
sebagai antelmintik (obat cacing). Beberapa obat antelmintik
bekerja dengan mengganggu terhadap salah satu atau dua dari ke
tiga hal di atas (Priyanto, 2010).
Kebanyakan antelmintik tidak terabsorpsi dengan baik di
saluran pencernaan sehingga memungkinkan kontak secara
langsung dengan cacing. Antelmintik memyebabkan paralisis
(gangguan neuromuskuler atau integritas mikrotubuler) sehingga
mengganggu pergerakan cacing. Selain itu antelmintik juga dapat
mengganggu metabolisme (produksi energy). Setelah cacing
mengalami paralisis dan lemah, maka dengan mudah cacing
beserta telurnya akan terbawa dengan feses ketika proses
peristaltic berlangsung. Kadang-kadang laksatif diberikan untuk
meningkatkan peristaltic saluran pencernaan guna mempercepat
pengeluaran cacing beserta telurnya (Priyanto, 2010).
Antelmintik yang telah beredar di pasaran bekerja secara
langsung mempengaruhi kontraksi otot cacing dengan mekanisme
yang berbeda. Piperazin menyebabkan paralisis dengan
menghambat kerja Ach sedangkan pirantel pamoat menginaktivasi
asetilkolin esterase suatu enzim yang berfungsi untuk
mendegradasi Ach. Hambatan degradasi Ach menyebabkan
blockade depolarisasi neuromuskuler dan terjadi paralisis, karena

9
bekerja berlawanan, piperasin menghambat Ach dan pirantel
meningkatkan Ach maka kedua obat tersebut tidak boleh diberikan
secara bersamaan. Cacing yang digunakan dalam penelitian ini
adalah cacing gelang babi Ascaris suum, Goeze (Priyanto, 2010).
3. Ascariasis
Askariasis adalah penyakit yang diakibatkan oleh infestasi
cacing Ascaris Lumbricoides, Linn atau cacing gelang. Ascaris
Lumbricoides, Linn adalah cacing bulat yang besar dan hidup
dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh dan
berkembang pada penduduk di daerah yang beriklim panas dan
lembab serta sanitasi buruk (Sudoyo, dkk., 2007).
a. Etiologi
Askariasis disebabkan oleh infeksi cacing Ascaris
lumbricoides, yaitu cacing gelang yang berukuran besar yang
hidup pada usus halus manusia. Sementara itu, Ascaris suum,
Goeze parasit yang serupa yang terdapat pada babi, jarang
menginfeksi pada manusia, namun bisa berkembang menjadi
dewasa pada usus manusia, hal ini dapat menyebabkan larva
migrans (Depkes,2005 ; David, 2008).
b. Aspek Klinis
Patogenesis infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan
erat dengan respons umum hospes, efek migrasi larva, efek
mekanik cacing dewasa, dan defisiensi gizi. Selama larva
mengalami siklus dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan
pneumonitis. Larva yang menembus jaringan dan masuk ke
dalam alveoli dapat mengakibatkan kerusakan epitel bronkus
(Onggowaluyo, 2002). Apabila terjadi reinfeksi dan migrasi larva
ulang maka jumlah larva yang sedikit pun dapat menimbulkan
reaksi jaringan yang hebat. Hal ini terjadi dalam hati dan paru-
paru disertai oleh infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel-sel epitel.
Keadaan ini disebut pneumonitis askariasis. Selanjutnya,
disertai reaksi alergik yang terdiri dari batuk kering, mengi, dan

10
demam (39 40 C). Adanya gambaran infiltrat pulmoner yang
bersifat sementara, akan hilang dalam beberapa minggu dan
berhubungan dengan eosinofilia perifer. Keadaan ini disebut
sindrom Loeffler. Selain ditemukan kristal Charcot-Leyden dan
eosinofil, spudium juga dapat mengandung larva. Hal ini penting
untuk keperluan diagnosis, yaitu dengan pemeriksaan bilas
lambung. Cacing dewasa yang ditemukan dalam jumlah besar
(hiperinfeksi) dapat mengakibatkan kekurangan gizi. Kasus ini
biasanya terjadi pada anak-anak. Cairan tubuh cacing dewasa
dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala mirip
demam tifoid yang disertai alergi seperti urtikaria, edema di
wajah, konjungtivitis, dan iritasi pada alat pernapasan bagian
atas (Onggowaluyo, 2002).
Cacing dewasa dalam usus, apabila jumlahnya banyak
dapat menimbulkan gangguan gizi. Kadang-kadang cacing
dewasa bermigrasi dan menimbulkan kelainan serius. Migrasi
cacing dewasa bisa disebabkan oleh adanya rangsangan. Efek
migrasi ini dapat menimbulkan obstruksi usus, masuk ke dalam
saluran empedu, saluran pankreas, dan organ-organ lainnya.
Migrasi sering juga terjadi keluar melalui anus, mulut, dan
hidung (Onggowaluyo, 2002).
c. Diagnosis
Pada fase migrasi larva, diagnosis dapat dibuat dengan
menemukan larva dalam spudium atau bilas lambung. Sindrom Loeffler
yang spesifik sering terlihat. Di sisi lain, selama fase intestinal
diagnosis dapat dibuat dengan menemukan telur dan cacing dewasa
dalam tinja. Telur cacing ini dapat ditemukan dengan mudah pada
sediaan basah langsung atau sediaan basah dari sedimen yang
sudah dikonsentrasikan. Cacing dewasa dapat ditemukan
dengan pemberian antelmintik atau keluar dengan sendirinya

11
melalui mulut karena muntah atau melalui anus bersama
dengan tinja (Onggowaluyo, 2002).
d. Gejala Klinik
Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita
terjadi akibat pengaruh migrasi larva dan adanya cacing dewasa
ke organorgan tubuh misalnya ke lambung, oesophagus, mulut,
hidung, dan bronkhus. Pada umumnya, orang yang terkena
infeksi tidak menunjukkan gejala, tetapi dengan jumlah cacing
yang cukup besar (hiperinfeksi) terutama pada anak-anak akan
menimbulkan kekurangan gizi. Cacing Ascaris lumbricoides
mengeluarkan cairan tubuh yang dapat menimbulkan reaksi
toksik sehingga terjadi gejala seperti demam typhoid yang
disertai dengan tanda alergi seperti urtikaria, oedem di wajah,
konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas. Selain itu,
cacing dewasa dapat pula menimbulkan berbagai akibat
mekanik seperti obstruksi usus dan perforasi ulkus di usus
(Rasmaliah, 2001).
e. Komplikasi
Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan
terjadinya reaksi alergi yang berat dan pneumonitis, bahkan
dapat menyebabkan pneumonia (Pohan 2007).
f. Prognosis
Selama tidak terjadi obstruksi oleh cacing dewasa yang
bermigrasi, prognosis askariasis baik (Pohan, 2007)

12
4. Ascaris sum, Goeze
a. Taksonomi
Kingdom : Animalia
Subkingdom : Metazoa
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Subkelas : Scernentea
Ordo : Ascaridia
Superfamilia : Ascarididea
Famili : Ascarididae
Genus : Ascaris
Spesies : Ascaris suum, Goeze
(Loreille, 2003 ; Wikipedia 2016).
b. Morfologi dan siklus hidup
Cacing Ascaris suum, Goeze atau disebut juga Ascaris
suilla, secara morfologi hampir sama dengan Ascaris
lumbricoides, Linn. Perbedaan morfologi terdapat pada deretan
gigi dan bentuk bibirnya. Ascaris suum memiliki siklus hidup dan
cara infeksi yang sama dengan Ascaris lumbricoides (Miyazaki,
1991).
Ascaris suum, parasit yang terdapat pada babi, namun
bisa berkembang menjadi dewasa pada usus manusia terutama
di bagian depan usus halus, dan juga menyebabkan larva
migrans. Seperti halnya pada cacing dewasa Ascaris
lumbricoides, cacing dewasa Ascaris suum terdapat di usus
halus dan gampang dilihat karena panjangnya 12-50 cm
(Williamson, 1993). Morfologi tubuh cacing ini memikili tubuh
simetris bilateral, bulat panjang (gilig), mempunyai saluran
pencernaan, memiliki rongga badan palsu atau sering disebut
Tripoblastik pseudoselomata. Cacing betina dewasa tinggal
pada saluran pencernaan, dan mampu bertelur sebanyak

13
200.000 butir per hari. Di mana telur-telur yang keluar kemudian
berkembang pada media tanah di dalam feses (Subroto, 2001).
Telur Ascaris suum yang dibebaskan bersama feses
sangat tahan terhadap udara dingin, panas, dan kekeringan. Di
tanah yang hangat dan lembab telur mengalami embrionase
hingga terbentuk larva stadium satu, dua, dan tiga. Stadium
terakhir tersebut dapat dicapai dalam waktu kurang lebih 3
minggu untuk menjadi bentuk infektif dan dapat menyebabkan
hospes lain tertular. Bentuk infektif ini, apabila tertelan oleh
hospes definitif, lalu menetas di usus halus dan kemudian
menembus dinding usus halus, dapat mencapai sistem porta
dan mengikuti aliran darah sampai bronkhus, paru-paru,
tenggorok, kemudian ke faring. Setelah mencapai faring, cacing
Ascaris suum ini dapat ikut tertelan bersama dengan makanan,
air minum, atau saliva dan akhirnya akan sampai ke usus halus
lagi untuk tumbuh menjadi dewasa sampai akhirnya bertelur
kembali dalam kurun waktu kurang lebih 5 minggu (Subroto,
2001).

Gambar II.2 Siklus Hidup Ascaris Suum, Goeze


(Sumber : Loreille, 2003)
c. Aspek Klinis

14
Bila jumlah cacing yang menginfeksi mencapai 250 ekor
dapat menghambat usus halus dan saluran empedu yang mana
menyebabkan kehilangan selera makan, muntah, dan kematian.
Dan pada infeksi bentuk larva bisa menyebabkan kerusakan
hepar babi serta pneumonia bila mencapai paru-paru
(Queensland Government, 2004).
Infeksi Ascaris suum pada manusia dapat menyebabkan
efek negatif secara mendadak pada kesehatan seperti anemia,
diare, malnutrisi (Claerebout, 2009).
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup Ascaris
suum, Goeze
1) Suhu
Suhu ideal untuk pertumbuhan telur dan larva cacing
Ascaris suum berkisar antara 23C sampai 30C (Rasmaliah,
2001).
2) pH
Pertumbuhan cacing dapat optimal dengan pH ideal
yaitu 6-7,2. Apabila terlalu asam, maka dapat mengganggu
pertumbuhan dan daya berkembang biak cacing (Rasmaliah,
2001).
3) Lingkungan
Lingkungan sangat berpengaruh terhadap kehidupan
dan perkembangan cacing, di mana lingkungan yang baik
bagi cacing di luar habitat aslinya yaitu keadaan yang
lembab dan basah. Keadaan pada tempat percobaaan saat
sebelum melakukan percobaan maupun sesudah percobaan
juga mempengaruhi kondisi cacing (Rasmaliah, 2001).
4) Kelembaban
Kelembaban sangat mempengaruhi perkembangan
cacing, kelembaban cacing dengan keadaan pada saat
cacing ditempatkan di luar habitat aslinya harus dalam

15
keadaan basah. Kelembaban juga faktor penting untuk
mempertahankan hidup cacing, kelembaban tanah pada
cacing tergantung pada curah hujan (Suriptiastuti, 2006).
5. Antelmintik Pembanding
Antelmintik yang digunakan sebagai pembanding adalah
Piperazine.
Struktur :

Gambar II.3 : Struktur Kimia Piperazine

Nama Kimia : Piperazine Phosphate


Struktur Kimia : C4H10N2
Indikasi : Antelmintik
Pemerian : Gumpalan atau lempeng, putih atau sedikit
keputihan, berbau amoniak.
Kelarutan : Larut dalam air dan dalam etanol (95%) P;
praktis tidak larut dalam eter P.
Piperazine pertamakali digunakan sebagai antelmintik oleh Fayard
(1949). Pengalaman klinis menunjukan bahwa piperazine efektif
sekali terhadap Ascarisum lumbricoides dan E. vermicularis
sebelumnya pernah dipakai untuk penyakit pirai. Piperazine juga
terdapat sebagai heksahidrat yang mengandung 44% basa. Juga
didapat sebagai garam sitrat, kalsium edetat dan tartrat. Garam-
garam ini bersifat stabil non higroskopis, berupa Kristal putih yang
sangat larut dalam air, larutanya bersifat sedikit asam.

16
a. Efek Antelmintik
Piperazine menyebabkan blockade respon otot cacing
terhadap asetilkolin sehingga paralisis dan cacing mudah
dikeluarkan oleh paristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1 3
hari setelah pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk
mengeluarkan cacing itu. Cacing yang terkena obat dapat
normal kembali bila ditaruh dalam larutan garam faal pada suhu
37o C.
b. Farmakokinetik
Penyerapan piperazine melalui saluran cerna, baik.
Sebagian obat yang diserap mengalami metabolism, sisanya
diekresikan malalui urine.
c. Efek Non Terapi dan Kontraindikasi
Piperazine memiliki batas keamanan yang lebar. Pada
dosis terapi umumnya tidak menimbulkan efek samping, kecuali
kadang kadang nausea, vomitus, diare dan alergi. Pemberian IV
menyebabkan penurunan tekanan darah selintas. Dosis letal
menyebabkan konvulsi dan depresi pernafasan. Pada takar
lajak atau pada akumulasi obat karena gangguan faal ginjal
dapat terjadi inkoordinasi otot, atau kelemahan otot, vertigo,
kesulitan bicara, bingung yang akan hilanhg setelah pengobatan
dihentikan. Piperazine dapat memperakut efek kejang pada
penderita epilepsi. Karena itu piperazine tidak boleh diberikan
pada penderita epilepsy dan gangguan hati dan ginjal.
Pemberian obat ini pada penderita malnutrisi dan anemia berat,
perlu mendapat pengawasan ekstra. Karena piperazine
menghasilkan nitrosamine, penggunaannya untuk wanita hamil
hanya kalau benar benar perlu atau kalau tidak tersedia obat
alternative.

17
6. Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan suatu zat
berdasarkan perbedaan kelarutanya terhadap dua cairan tidak
saling larut yang berbeda biasanya pelarut yang digunakan air dan
pelarut organic lainya. (Anonim, 2015)
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan
mengektraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir
semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa
diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi standar baku yang
ditetapkan. Proses ekstraksi bahan atau bahan obat alami dapat
dilakukan berdasarkan teori tentang penyarian. Penyarian
merupakan peristiwa pemindahan massa. Zat aktif yang semula
berada di dalam sel, ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi
larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut (Sarker, 2006).
a. Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian sederhana maserasi
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan
penyarinya. Cairan penyari akan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena
adanya perbedaan konsentrasi antar larutan zat aktif di dalam
sel dengan yang diluar sel, maka larutan yang terpekat didesak
untuk ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi
keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di
dalam sel. Metode maserasi digunakan untuk menyari simplisia
yang mengandung komponen kimia yang mudah larut dalam
cairan penyari tidak mengandung zat yang mudah mengembang
dalam cairan penyari dan tidak mengandung benzoin, tiraks dan
lilin (Depkes, 1985).
Kelebihan dari metode ini adalah alat yang digunakan
sederhana dan dapat digunakan untuk zat yang tahan serta

18
tidak tahan terhadap pemanasan. Kelemahannya adalah
banyaknya pelarut yang terpakai dan waktu yang dibutuhkan
cukup lama (Yesti, 2011).
b. Perkolasi
Perkolasi merupakan cara ekstraksi yang dilakukan
dalam wadah berbentuk silindris atau kerucut yang memiliki
jalan masuk dan keluar sesuai. Bahan pengekstraksi yang
dialirkan secara terus-menerus dari atas akan mengalir turun
secara lambat melintas simplisia yang umumnya berupa serbuk
kasar. Melalui penyegaran bahan pelarut secara terus-menerus,
akan terjasi proses maserasi bertahap banyak. Jika pada
maserasi sederhana, tidak terjadi ekstraksi yang sempurna dari
simplisia karena akan terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan dalam sel dengan cairan disekelilingnya, maka pada
perkolasi melalui suplai bahan pelarut segar, perbedaan
konsentrasi tadi selalu dipertahankan. Dengan demikian
ekstraksi total secara teoritis dimungkinkan (praktis jumlah
bahan yang dapat di ekstraksi mencapai 95%) (Ansel, 1989).
c. Refluks
Refluks merupakan ekstraksi dengan pelarut yang
dilakukan pada titik didih pelarut tersebut selama waktu tertentu
dan sejumlah palarut tertentu dengan adanya pendinginan balik
(kondensor). Umumnya dilakukan tiga kali sampai lima kali
pengulangan proses pada residu pertama agar proses
ekstraksinya sempurna. Keuntungan metode ini adalah
digunakan untuk mengekstraksi sampel-sampel yang
mempunyai tekstur kasar dan tahan pemanasan langsung.
Kerugiannya adalah membutuhkan volume total pelarut yang
besar dan sejumlah manipulasi dari operator.

19
d. Soxhletasi
Soxhletasi merupakan penyempurnaan alat ekstraksi.
Uap cairan penyari naik ke atas melalui pipa samping, kemudian
diembunkan kembali oleh pendingin tegak. Cairan turun ke labu
melalui tabung berisi serbuk simplisia. Adanya sifon
mengakibatkan seluruh cairan akan kembali ke labu. Cara ini
lebih menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk
simplisia tetapi melalui pipa samping (Depkes, 1986).
Keuntungan cara soxhlet yaitu jumlah bahan pelarut yang
digunakan sedikit sedangkan kelemahannya waktu yang
dibutuhkan untuk ekstraksi cukup lama (beberapa jam)
sehingga kebutuhan energinya tinggi dan bahan terakumulasi
dalam labu mengalami beban panas dalam waktu yang cukup
lama. (Voigt, 1994)
e. Destilasi Uap
Destilasi uap adalah metode yang populer untuk
ekstraksi minyak-minyak menguap (esensial) dari sampel
tanaman. Metode destilasi uap air ini di peruntukan untuk
menyari simplisia yang mengandung minyak menguap atau
mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih tinggi
pada tekanan udara normal (Guenther, 1987).
f. Infusa
Infusa adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari
simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit
(Farmakope Indonesia Edisi III, 1979).
g. Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari
simplisia nabati dengan air pada suhu 90oC selama 30 menit
(Farmakope Indonesia Edisi III, 1979).

20
7. Metode Penelitian
a. In Vitro
Metode in vitro adalah terjadi diluar tubuh hewan dengan
organ terisolasi / sel (dijaga agar tetap hidup dan dalam
suasana fisiologis selama pengamatan), perlu kajian sifat organ
atau sel untuk menentukan pemilihan larutan fisiologis dan
untuk menyesuaikan dengan tujuan eksperimen, parameter
pengamatan perubahan organ / sel dan diperlakukan proses
dan alat khusus, alat bedah, ruang steril, organ bath, pencatat
dengan atau tanpa amplisien (Andreanus, 2009).
b. In Vivo
Metode in vivo adalah dengan menggunakan hewan utuh
dan parameter perubahan kelakuan atau gejala atau parameter
biokimia (Andreanus, 2009).
c. In Situ
In situ menggunakan hewan utuh umumnya teranestesi,
sasaran organ tertentu, parameter perubahanpada organ
tersebut dan pemberian obat bisa oral / cara lain / lokal pada
organ tersebut.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan


Pada penelitian jurnal Monica Amelia dengan judul Efek
Antelmintik Ekstrak Kulit Buah Delima (Punica granatum L.) terhadap
Ascaris suum Betina secara In Vitro tahun 2014 memiliki kesamaan,
yaitu sama sama menggunakan sediaan ekstrak terhadap waktu
paralisis cacing Ascaris suum secara In Vitro dan perbedaanya
dengan penelitian Monica Amelia yaitu bagian simplisia yang
digunakan.
Pada penelitian jurnal Shinta dengan judul Efektivitas Ekstrak
Kulit Buah Delima (Punica granatum L.) Terhadap Bakteri
Porphyromonas gingivalis secara In Vitro tahun 2014 memiliki

21
kesamaan menggunakan sediaan ekstrak terhadap efektivitas
kematian Porphyromonas gingivalis secara In Vitro dan perbedaannya
dengan penelitian Shinta yaitu bagian simplisia yang digunakan dan
kegunaan yang diteliti.
Pada penelitian jurnal Debra Tiwow, Widdhi Bodhi dan
Novel.S.Kojong dengan judul Uji Efek Ekstrak Etanol Biji Pinang
(Areca catechu) terhadap cacing Ascarisum lumbricoides dan
Ascaridia galli secara In Vitro tahun 2013 memiliki kesamaan
menggunakan sediaan ekstrak terhadap waktu paralisis caciang
Ascarisum lumbricoides dan Ascaridia galli secar In Vitro dan
perbedaannya dengan jurnal Debra Tiwow, Widdhi Bodhi dan
Novel.S,Kojong yaitu simplisia dan penggunaan hewan uji.

C. Kerangka Berfikir

BUAH DELIMA - Penyiapan Bahan.


(Punica granatum L.) - Pembuatan Ekstrak.
- Uji Antelmintik.

Waktu terjadinya paralisis pada


Ascaris suum, Goeze evaluasi.

Gambar II.4. Bagan Kerangka Penelitian

22
D. Hipotesis
Dekokta biji buah delima (Punica granatun L.) memiliki daya
antelmintik terhadap Ascaris suum, Goeze.

23
DAFTAR PUSTAKA

Andreanus, A.Soemardji, 2009, Metode Farmakologi Toksikologi,


Bagian I, Bandung: Penerbit Institut Teknologi Bandung.

Al-Quran, Q.S Ar-rahman Ayat 67-68

Amelia, Monica. 2014 EFEK ANTELMINTIK EKSTRAK KULIT BUAH


DELIMA (Punica granatum L.) TERHADAP Ascaris suum
BETINA SECARA in Vitro Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Manarata.

Akhsin Zulkoni. 2010. Parasitolofi. Yogyakarta : Muha Medika. P.61-


70.

Anonim. (2006). Tersedia dalam http://www.informasiobat.com


[diakses 11 Januari 2016]

Anonim. (2012). Kegunaan Tanaman. Tersedia dalam


http://www.wikipedia.com [diakses 11 Januari 2016]

Ditjen POM.(1979). Farmakope Indonesia , Edisi 3,


DepartemenKesehatan RI, Jakarta.

Ditjen POM. (2000). Pengertian Dekok. Tersedia dalam


http://www.informasiobat.com [diakses 13 Januari 2016]

DepKes. (1985). Metode Maserasi. Tersedia dalam


http://www.wordpress.com [diakses 13 Januari 2016]

Gunawan D, Mulyani S. 2004. Ilmu Obat Alam (Farmakognosi).


Penebar Swadaya: Jakarta.

Ganiswarna, G.S. (1995). Farmakologi dan Terapi, edisi 4, Jakarta:


Penerbit Universitas Indonesia.

Guenther. (1987). Pengertian Destilasi Uap. Tersedia dalam


http://www.wikipedia.com [diakses 13 Januari 2016]

Hariana HA. 2008 Tumbuhan obat dan khasiatnya. Jakarta :


Penebar swadaya,: 106-107

Hidayat, Syamsul, 2015, Kitab Tanaman Obat, Agriflo, Jakarta 351


352.

42
Harborne, J. B (1987). Metode Fitokimia. Penerjemah Padmawinata K
dan Soediro I, Edisi II. Bandung : Penerbit ITB, Bandung, 1-38
47-57, 69-110, 123-169.

Lasut, Virginia N. 2012 Uji Efektivitas Daya Antelmintik Infus Daun


Ketepeng Cina (Cassia alata L.) Terhadap Cacing Gelang
Ascarisum lumbricoides Secara In Vitro, FMIPA UNSRAT
Manado

Pohan, H.T. 2006. Penyakit Cacing Yang Ditularkan Melalui Tanah In


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI : 1786.

Rahmat, Rukmana, 2007, Delima, Kanistus, Yogyakarta

Rahmalia.A.D (2010) Efek Antelminti Infusa Biji Kedelai Putih (Glycine


max (L) Merril) Terhadap[ Waktu Kematian Cacing Gelang Babi
Ascaris suum, Goeze In Vitro, Universitas Sebelas Maret.

Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran


Universitas Sriwijaya, 2009, Kumpulan Kuliah Farmakologi,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Palembang

Sastroamidjojo, S.(1967).Obat Asli Indonesia, Jakarta : Dian Rakyat.

Sarker.(2006).Pengertian Ekstrak. Tersedia dalam


http://www.wikipedia.com [diakses 13 Januari 2016]

Sarintas PS, Chitkara RW : Askariasis and hookworm. Semin Repir


Infect 1997;12:130.

Sirait M. 20007. Penuntun Fitokimia dalam Farmasi. Bandung : Institut


Teknologi bandung, 129-156, 170, 213-217.

Tjay, T. H., dan Rahardja, k. (2007). Obat-Obat Penting Khasiat,


Penggunaan, dan Efek-Efek Samping. Edisi Ke VI. Jakarta :
PT. Elex Media Komputindo: hal. 193

Voigt, R. (1994). Keuntungan soxhlet. Tersedia dalam


http://www.wordpress.com [diakses 13 Januari 2016]

Winarto. (2003) & Erlan (2005). Ekologi dan Penyebaran. Tersedia


dalam http://www.wikipedia.org [diakses 11 Januari 2016]

Winarto. (2003) & Erlan (2005). Ekologi dan Penyebaran. Tersedia


dalam http://www.wikipedia.com [diakses 15 Januari 2016]

43
Yesti. (2011). Maserasi. Tersedia dalam http://www.wordpress.com
[diakses 15 Januari 2016]

44

Anda mungkin juga menyukai