Anda di halaman 1dari 4

Gandring dan Berawa

Bertahun-tahun yang lalu, jauh sebelum bus dengan riangan telolet-nya


bergemuruh memenuhi seantero kota dan beragam media sosial , atau bahkan
sebelum ada istilah Indonesia konon katanya ada satu willayah di Nusantara ini
yang bernama Tumapel. Dalam buku-buku sejarah Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas, tergambar jelas bahwa Tumapel berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Kediri. Pemimpinnya terkenal dengan sebutan Tunggul Ametung dengan
gelar jabatan akuwu (camat saat ini). Pemerintahan Ametung didampingi
permaisurinya bernama Dedes wanita maha cantik sejagat negeri Tumapel yang
ia cekel secara paksa dari rakyatnya sendiri.

Sayangnya buku akademik yang membahas sejarah yang lengkap dengan tahun
terjadinya satu peristiwa tak urung sering mengaitkan kondisi kerajaan kala itu
dengan beragam hal mistik. Tak terkecuali dengan Tumapel. Tunggul Ametung
akhirnya dikisahkan tewas oleh tusukan keris berbalut kutukan Mpu Gandring,
mati dengan kondisi yang mengenaskan di tangan Ken Arok. Arok pada dasarnya
bukanlah seorang anak bangsawan, apalagi anak pejabat ke-Adipati-an. Ia
hanyalah pemuda biasa yang memiliki hasrat birahi membabi buta kepada
Dedes, begitu pun niat berkuasa yang dibarengi dengan modal kepandaian bela
diri yang tinggi.

Tahun 1222 M, ketika Arok resmi memegang kendali atas Tumapel serta
memperistri Dedes, niatnya untuk melepaskan diri dari Kerjaan Kediri mencuat.
Di tahun yang sama, terjadi perselisihan antara Kertajaya - raja Kediri - dengan
kaum brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta
perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontakan
terhadap Kediri. Setelah mendapat dukungan mereka, Ken Arok pun menyatakan
Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kediri. Sebagai raja pertama
ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Selanjutnya Tumapel berubah
nama menjadi Kerajaan Singasari.

Anusupati lahir dari rahim Dedes sebagai anak tiri Ken Arok, putra tunggal
Tunggul Ametung. Jadilah Anusupati memimpin Kerjaan Singasari setelah
membunuh ayah tirinya. Di lain pihak Ken Arok memiliki selir yang bernama Ken
Umang, putra tertuanya adalah Panji Tohjaya yang juga masuk dalam urutan
kutukan Gandring. Lagi-lagi Anusupati tewas terbunuh. Raja-raja berikutnya pun
tidak terlepas dalam lingkaran yang sama. Ranggawuni bahkan sampai pada
Kertanegara sebelum kerajaan Singasari runtuh. Semua diakibatkan oleh satu
kata KUTUKAN.

Kondisi pada abad ke-12 dalam kisah diatas sepertinya perlu pengkajian dan
perenungan yang mendalam untuk masuk di ranah modern. Pasalnya, rujukan
sejarah yang berdasar pada naskah Pararaton tersebut cenderung bersifat
mitologis, ditambah lagi Pararaton tidak punya kejelasan tentang siapa
penulisnya. Ada pun Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca sama
sekali tidak menyinggung sosok Ken Arok.

Adalah Pramoedya Ananta Toer, tokoh yang meluruhkan beragam mitos yang
mengungkung silsilah kehidupan raja-raja Singasari. Lewat adikaryanya Arok
Dedes yang terbit di akhir abad 20-an, Ananta mengubah sudut pandang
pembaca untuk kritis dan menempatkan sejarah secara objektif dan logis.
Baginya bagaimana pun kesaktian yang dimiliki seseorang jika dilakukan secara
individual untuk menjatuhkan satu kepemimpinan maka mustahil adanya. Arok
tak mungkin berani mengambil alih jabatan kerajaan hanya dengan
bermodalkan keris tanpa ada perlawanan. Di tambah lagi dengan pahaman
Ananta yang tidak sepenuhnya meyakini adanya kutukan.

Ananta mengungkapkan bahwa Arok adalah pemuda cerdas walau berasal dari
kasta rendah. Sementara cerminan watak tokoh Tunggul Ametung sebagai sosok
yang memiliki kebiasaan buruk manusia cenderung tidak adil kepada rakyat,
memimpin dan memerintah rakyat namun kesejahteraan rakyat tertindas. Di
antara berbagai desa yang berkiblat pada Tumapel, tersebutlah desa Gandring
yang jauh dari hingar-bingar kadipaten. Penduduknya kebanyakan penempa
besi. Sejumlah senjata dan alat berladang diproduksi dari desa ini. Karena faktor
kesejahteraan yang jauh dari bayang-bayang rakyat, akibatnya tak jarang terjadi
gesekan-gesekan kecil oleh penduduk desa. Sebagian penduduk mulai resah,
sementara Akuwu tak kunjung mau membenahi kondisi yang ada. Gayung
bersambut kata terjawab, Arok mengambil kesempatan untuk mendapatkan
simpati penduduk desa Gandring.

Dengan kacamata politik yang matang serta kepekaan dalam melihat situasi
pemerintahan. Arok mulai memprovokasi keadaan. Di ajaknya penduduk desa
untuk melihat masa depan jika tanpa kepemimpinan Ametung, kesimpulan
akhirnya harus ada penggulingan kekuasaan. Pada hari yang telah ditentukan,
Arok menggerakkan aksi masa. Penduduk Gandring dengan berbekal senjata
buatan mereka sendiri menyerang Tumapel. Alhasil penyerangan yang dipimpin
langsung oleh Arok itu berhasil dan diangkatlah Arok menjadi raja sesudah
Ametung mati terbunuh. Arok menduduki tahta atas nama rakyat.

Bagai kacang lupa kulitnya, setelah pucuk pimpinan dikuasai, Arok ikut
melupakan penduduk Gandring. Berselang waktu yang cukup lama, Anusupati
tumbuh dewasa. Cara yang pernah dilakukan Arok dipakai oleh Anusupati.
Penduduk Gandring kembali dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Terus
seperti itu. Silih berganti dari satu pemimpin ke pemimpin berikutnya selalu
memilih rakyat sebagai ujung tombak lalu pergi begitu saja ketika sudah
berkuasa. Rakyat Gandring menjadi bukti bagaimana sebuah proses
kepemimpinan memainkan perannya. Yang sungguh menyayat adalah kondisi
penduduk Gandring tak mengalami kemajuan yag signifikan. Kondisinya tak
banyak berubah. Atau mungkin bisa jadi sengaja diciptakan riak-riak masalah
dalam desa Gandring karena kerajaan menganggap wilayah itu tidak potensial.
Perlahan tapi pasti desa Gandring lenyap oleh waktu, sampai-sampai surut
langkah untuk mencari letak lokasinya saat ini.
Paparan yang sangat masuk akal oleh Ananta tersebut seakan menggiring ke
sebuah kisah klasik dalam negeri antah berantah lain. Alkisah ada sebuah
wilayah yang letaknya di pesisir Celebes. Bagi penduduk yang tinggal di kaki
gunung maka sebagian besar bermata pencaharian bertani atau berkebun, lain
halnya dengan yang berada di sekitar pantai, sudah pasti melaut adalah sumber
utama pendapatan untuk mengepulkan tungku dapur. Sebutlah nama wilayah itu
Prabadwipa.

Prabadwipa adalah negeri yang belum lama berdiri, pemimpinnya pun baru
terpilih sewindu yang lalu. Itulah sebabnya bangunan-bangunan megah mulai di
bangun secara perlahan. Tak jarang beberapa jalan dilebarkan, ada juga
sebagian tempat yang dulunya hutan dibongkar agar memudahkan akses
penduduk dari desa ke desa. Dari berbagai desa itu, ada salah satu desa yang
tidak tersentuh pembangunan sama sekali. Nama desa itu adalah Berawa.
Warganya memang tidak terlalu menaruh harapan besar akan perubahan
desanya. Yang terpenting selama tidak ada tekanan dari pemerintah dan
minuman keras masih bisa didapatkan dengan mudah, terserah pemerintah
berbuat sesuka hati. Sesekali ketika punya tangkapan hasil laut yang melimpah
warga desa Berawa lebih banyak menghabiskannya di meja judi. Judi dan
minuman yang merasuki pikiran warga desa itu kian hari kian meningkat. Dan
seperti ulah minuman pada umumnya, perselisihan orang-orang yang sedang
mabuk terbawa-bawa hingga dalam kondisi sadar. Perselisihan sering
bermunculan dengan satu awal yang sama. Mabuk. Kalaupun masalah
diselesaikan oleh pihak pemerintah Prabadwipa yang secara langsung turun
tangan, maka tetap dapat dipastikan sebulan kemudian perkelahian akan
kembali terjadi.

Dari semangat ke-Aku-an kehebatan memainkan senjata tajam dengan modal


mabuk. Bermunculah para jawara di desa Berawa. Hampir bisa dikatakan
penduduk dari desa lain akan merasakan takut luar biasa jika mampir atau
sekadar numpang lewat di wilayah Berawa. Resah berbalut cemas sering
hinggap pada penduduk setempat yang memikirkan masa depan desa. Anehnya
pemerintah Prabadwipa tidak pernah sama sekali memberantas minuman keras
yang menjadi pokok pangkal timbulnya permasalahan.

Peran serta desa Berawa seringkali terlihat hanya pada saat pemilihan pemimpin
di wilayah Prabadwipa. Pemimpin-pemimpin yang mencalonkan diri sibuk
memilih para jawara yang ada di desa Berawa untuk mengumpulkan masa. Saat
itulah jarang terdengar gesekan yang terjadi di desa itu. Penduduk desa Berawa
seakan ikut terbawa arus kepentingan politik yang ujung-ujungnya tidak mereka
nikmati. Desa Berawa memang sudah terkenal melindungi atau menjaga
pemimpin yang mereka kagumi jauh sebelum Prabadwipa menjadi daerah baru.
Hal ini persis sama kondisinya dengan desa Gandring. Hanya digunakan pada
saat dibutuhkan, tapi dibiarkan tak berkembang tanpa ada kejelasan. Penduduk
desa Berawa juga tak pernah belajar, jika selama ini mereka hanya dimanfaatkan
pada saat musim politik atau bahkan sengaja dimanjakan dengan jajanan
minuman yang melenakan.
Kabar terakhir yang dibawa oleh telik sandi, desa Berawa tak akan ditemukan
lagi pada tahun-tahun berikutnya. Wilayah pantai desa masuk jalur hijau yang
dicanangkan pemerintah Prabadwipa. Rumah warga akan diratakan. Warga
dipaksa pindah ke pemukiman lain. Bisa jadi bangunan yang mereka tempati
dibuat bertingkat-tingkat. Situasi terburuknya, mereka akan kehilangan mata
pencahariannya sebagai nelayan, sementara kekisruhan bertambah parah akibat
beban ekonomi yang kian menusuk.

Pipo Angsyarullah

Seseorang yang malas baca buku dan baru belajar menulis.

Anda mungkin juga menyukai