Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batubara

2.1.1 Pengertian Batubara

Batubara adalah bahan bakar fosil yang dapat terbakar dan terbentuk dari

banyak komponen yang mempunyai sifat saling berbeda. Batubara dapat

didefinisikan sebagai satuan sedimen yang terbentuk dari dekomposisi tumpukan

tanaman selama kira-kira 300 juta tahun. Dekomposisi tanaman ini terjadi karena

proses biologi dengan mikroba dimana banyak oksigen dalam selulosa diubah

menjadi karbondioksida (CO2) dan air (H2O). Kemudian perubahan yang terjadi

dalam kandungan bahan tersebut disebabkan oleh adanya tekanan, pemanasan yang

kemudian membentuk lapisan tebal sebagai akibat pengaruh panas bumi dalam

jangka waktu berjuta-juta tahun, sehingga lapisan tersebut akhirnya memadat dan

mengeras. Pola yang terlihat dari proses perubahan bentuk tumbuh tumbuhan

hingga menjadi batubara yaitu dengan terbentuknya karbon. Kenaikan kandungan

karbon dapat menunjukkan tingkatan batubara. Dimana tingkatan batubara yang

paling tinggi adalah antrasit, sedang tingkatan yang lebih rendah dari antrasit akan

lebih banyak mengandung hidrogen dan oksigen (Yunita, 2000 dalam Billah, 2010).

Kandungan lain yang terdapat dalam batubara adalah belerang (S), nitrogen

(N), dan kandungan mineral lainnya seperti silica, aluminium, besi, kalsium serta

4
magnesium dimana pada saat pembakaran batubara akan tertinggal sebagai abu.

Batubara merupakan bahan galian fosil padat yang sangat heterogen, maka batubara

mempunyai sifat yang berbeda beda apabila diperoleh dari lapisan yang berbeda.

Bahkan untuk satu lapisan dapat menunjukkan sifat yang berbeda pada lokasi yang

berbeda pula (Yunita, 2000 dalam Billah, 2010).

2.1.2 Klasifikasi Batubara

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat kompleks dan memerlukan waktu

yang lama ( puluhan hingga jutaan tahun ) dibawah pengaruh fisika, kimia, ataupun

keadaan geologi. Berdasarkan dari mutu atau tingkatannya batubara dikelompokkan

menjadi beberapa klasifikasi yaitu :

A. Lignit

Lignit merupakan batubara peringkat rendah dimana kedudukan lignit dalam

tingkat klasifikasi batubara berada pada daerah transisi dari jenis gambut ke batubara.

Lignit adalah batubara yang berwarna hitam dan memiliki tekstur seperti kayu dengan

kandungan air yang tinggi, banyak mengandung abu, kandungan sulfur yang banyak,

mengandung sedikit karbon serta memiliki nilai kalor yang rendah.

B. Sub-bituminus

Batubara jenis ini merupakan peralihan antara jenis lignit dan bituminus.

Batubara jenis ini memiliki warna hitam yang mempunyai kandungan air yang

rendah, sedikit zat terbang, dan oksigen yang tinggi serta memiliki kandungan karbon

5
yang rendah. Sifat-sifat tersebut menunjukkan bahwa batubara jenis sub-bituminus ini

merupakan batubara tingkat rendah.

C. Bituminus

Batubara jenis ini merupakan batubara yang berwarna hitam mengkilat

dengan tekstur ikatan yang baik. Batubara ini memiliki kandungan air yang rendah

dengan sedikit kandungan abu dan sulfur serta memiliki nilai kalor yang tinggi.

D. Antrasit

Antrasit merupakan batubara paling tinggi tingkatannya yang mempunyai

kandungan karbon lebih dari 93%, kandungan zat terbang kurang dari 10% dan

kandungan sulfur yang sangat rendah serta memiliki nilai kalor yang sangat tinggi.

Antrasit umumnya lebih keras, kuat dan seringkali berwarna hitam mengkilat seperti

kaca (Yunita, 2000 dalam Billah, 2010).

Berikut adalah spesifikasi dari batubara berdasarkan ASTM :

Tabel 2.1 ASTM Specifications For Solid Fuels

Class Group Fixed Volatile Heating

Carbon metter Value


Name Syimbol Dry % Dry % Dry basis

(Kcal/kg)
I. Antracite Meta- Ma >98 >2 7740

anthracite
Anthracite An 92-98 2.0-8.0 8000
Semianthracite Sa 86-92 8.0-15 8300
II. Bituminous Low-volatile Lvb 78-86 14-22 8741

6
Medium Mvb 89-78 22-31 8640

Volatile
high-volatile A HvAb <69 >31 8160
high-volatile B HvBb 57 57 6750-8160
high-volatile C HvCb 54 54 7410-8375
6765-7410
III. Subbitumino subbituminous sub A 55 55 6880-7540

us A
subbituminous sub B 56 56 6540-6860

B
subbituminous sub C 53 53 5990-6360

C
IV. Lignite lignite A lig A 52 52 4830-6360
lignite B lig B 52 52 <5250
Sumber: Othmer, Volume 5, 2007

2.1.3 Komposisi dan Kualitas Batubara

7
Menurut Koester, dkk (1997) dalam Tanti (2008) komponen batubara secara

garis besar terdiri dari :

a. Batubara murni (pure coal), yaitu zat-zat organik yang merupakan jaringan karbon

dan hidogen (hidrokarbon) serta sejumlah kecil nitrogen, sulfur dan oksigen yang

terikat secara organik.


b. Bahan-bahan mineral (Mineral Matter), yang terdiri dari zat-zat anorganik yang

akan menjadi abu bila batubara dibakar, seperti lempung, batu pasir dan zat-zat

lain seperti sulfur oksida serta karbondioksida.


c. Air (Moisture), yang terdiri dari air yang terdapat dalam batubara (inherent

moisture) serta air yang terdapat pada permukaannya.

Selain itu untuk menentukan kualitas batubara juga perlu memperhatikan

beberapa hal berikut (Sukandarrumidi, 2006), seperti :

a. Heating Value

Heating Value, dinyatakan dalam cal/g, merupakan jumlah kalori yang

dihasilkan oleh batubara tiap satuan berat. Dikenal nilai kalor net (net calorific value

atau low heating calorific value), yaitu nilai kalor hasil pembakaran di mana semua

air dihitung dalam keadaan gas. Dan nilai kalor gross (grisses calorific value atau

high heating value), yaitu nilai kalor hasil pembakaran di mana semua air dihitung

dalam keadan cair. Semakin tinggi Heating Value maka aliran batubara setiap jamnya

semakin rendah, sehingga kecepatan coal feeder harus disesuaikan agar panas yang

ditimbulkan tidak melebihi panas yang diperlukan dalam proses industri.

b. Moisture Content

8
Kandungan moisture mempengaruhi jumlah pemakaian udara primer pada

proses pembakaran. Pada batubara dengan moisture tinggi akan membutuhkan udara

primer lebih banyak guna mengeringkan batubara tersebut pada temperatur tertentu.

Selain itu kandungan air ini akan banyak pengaruhnya pada pengangkutan,

penanganan, penggerusan, maupun pembakarannya.

Apabila batubara dipergunakan sebagai bahan bakar, sebagian panas yang dihasilkan

digunakan untuk menguapkan air yang terdapat pada batubara. Akibatnya, panas yang

dihasilkan berkurang.

c. Ash Content

Apabila batubara dipanaskan, material penyusun akan meleleh secara

bersamaan. Semakin tinggi kandungan abu, akan mempengaruhi tingkat pengotoran

udara apabila abu sampai terlepas ke atmosfer, dapat pula menyebabkan keausan dan

korosi pada peralatan yang digunakan, pengotoran (fouling), pembentukan kerak

(slagging), dan gangguan pada blower. Semakin tinggi kadar abu pada jenis batubara

yang sama, semakin rendah nilai kalorinya.

d. Kandungan Sulfur

Sulfur yang ada secara alamiah akan membentuk asam sulfat yang akan

mempercepat terjadinya korosi pada alat angkut yang terbuat dari besi, roda-roda

pada belt conveyor, alat penggiling batubara, dan alat penyortir ukuran batubara.

9
Uap sulfur yang terlepas ke udara sekitar daerah industri yang menggunakan

batubara, akan berakibat tidak baik terhadap manusia, juga pada tingkat korosi

bangunan yang terbuat dari besi.

e. Volatile Matter

Volatile matter didefinisikan sebagai bahan yang mudah menguap.

Kandungan volatile matter sangat erat kaitannya dengan kelas batubara tersebut.

Semakin tinggi nilai volatile matter semakin rendah kelasnya. Pada pembakaran

batubara, maka kandungan volatile matter yang tinggi akan lebih mempercepat

pembakaran karbon padatnya. Kandungan volatile matter juga mempengaruhi

kesempurnaan pembakaran dan intensitas nyala api. Kesempurnaan pembakaran

ditentukan oleh :

Carbon
Fuel ratio= (2.1)
Volatile matter

Semakin tinggi Fuel ratio maka karbon yang tidak terbakar semakin banyak.

f. Fixed Carbon

Fixed carbon didefinisikan sebagai material yang tersisa setelah berkurangnya

moisture, volatile matter, dan ash. Semakin rendah kandungan moisture maka nilai

fixed carbon semakin tinggi. Semakin tinggi nilai fixed carbon, maka semakin tinggi

juga nilai kalornya.

g. Hardgrove Grindability Index (HGI)

Batubara yang diperoleh dari tambang masih berbentuk bongkahan dengan

ukuran bervariasi. Sebelum batubara dimanfaatkan, bongkahan harus dijadikan butir

10
dengan ukuran seragam. Hal ini dilakukan dengan menggiling. Hardgrove

Grindability Index merupakan petunjuk mengenai mudah sukarnya batubara untuk

digiling. Makin kecil nilai HGI, makin keras keadaan batubara, dan makin mudah

untuk digiling. Harga Hardgrove Grindability Index diperoleh dengan menggunakan

rumus :

HGI =13.6+6.93 W (2.2)

W adalah berat dalam gram dari batubara lembut berukuran 200 mesh.

h. Porositas dan Luas Permukaan

Batubara merupakan suatu material yang bersifat porous. Dengan demikian

porositasnya dan luas permukaannya memiliki pengaruh yang dapat dipertimbangkan

terhadap perilaku selama penambangan, preparasi, penanganan, dan penggunaannya.

Porositas batubara berkurang dengan meningkatnya kandungan karbon. Ukuran pori-

pori juga bervariasi dengan meningkatnya kandungan karbon (rank) ; sebagai contoh,

pori-pori makro (macrospore) merupakan pori-pori yang banyak terdapat dalam

batubara dengan kandungan karbon yang paling rendah, sedangkan batubara dengan

kandungan karbon yang paling tinggi utamanya memiliki pori-pori mikro

(microspore).

2.1.4 Kegunaan dan Pemakaian Batubara

Berbagai macam kegunaan dan pemakaian batubara adalah sebagai berikut:

11
1. Batubara sebagai energi alternatif yang dapat menggantikan sebagian besar

peranan yang diambil oleh minyak. Batubara merupakan bahan bakar murah

bahkan kemungkinan besar yang termurah dihitung persatuan energi. Batubara ini

memiliki nilai yang strategis dan potensial untuk memenuhi sebagian besar energi

dalam negeri. Batubara sebagai bahan bakar digunakan pada industri kereta api,

kapal laut, pembangkit tenaga listrik, dan industri semen. (Sukandarrumidi, 1995

dalam Billah, 2010).


2. Penggunaan batubara dalam bentuk briket digunakan untuk keperluan rumah

tangga dan industri kecil. Batubara dalam bentuk briket ini merupakan bahan yang

sangat potensial untuk menggantikan minyak tanah maupun kayu bakar yang

masih banyak digunakan didaerah pedesaan. Dengan beralihnya kebiasaan

membakar kayu bakar ke briket batubara masalah ekologi air tanah akan mendapat

bantuan yang tak terhingga (Fadarina, 1997 dalam Billah, 2010)

2.2 Upgrading Brown Coal (UBC)

UBC merupakan teknologi peningkatan kalori batu bara peringkat rendah

dengan penurunan kadar air. Dibandingkan dengan proses upgrading lainnya, proses

UBC mempunyai keuntungan, karena prosesnya dilakukan pada temperatur dan

tekanan relatif rendah (Sodikin, 2009).

Air yang terkandung dalam batubara terdiri atas air bebas (free moisture) dan

air bawaan (inherent moisture). Kandungan air dalam batubara, baik air bebas

maupun air bawaan, merupakan faktor yang merugikan karena memberikan pengaruh

yang negatif terhadap proses pembakarannya. Penurunan kadar air dalam batubara

12
dapat dilakukan dengan cara mekanik atau perlakuan panas. Pengeringan cara

mekanik efektif untuk untuk mengurangi kadar air bebas dalam batubara basah,

sedangkan penurunan kadar air bawaan harus dilakukan dengan cara pemanasan.

Salah satu proses dengan cara ini adalah UBC (Upgraded brown coal) yang

diperkenalkan oleh Kobe Steel Ltd., Jepang. Bagan air proses UBC (Kobelco, Ltd.,

2000 dalam Umar, 2012).

Prinsip proses UBC (gambar 2.1) adalah dengan mencampurkan batubara,

minyak residu dan minyak tanah. Campuran tersebut kemudian dipanaskan pada

temperature 80-180C dengan tekanan 100-350 kPa. Dengan temperatur dan tekanan

tersebut, air bebas (surface moisture) dan juga air lembab (inherent moisture) yang

terdapat dalam pori-pori batubara akan diuapkan. Penambahan minyak residu

diperlukan untuk menutup pori-pori batubara sehingga kestabilan kadar air bawaan

pasca proses dapat terjaga (Gambar 2.2). Sedangkan minyak tanah diperlukan sebagai

media dalam proses (Umar, 2005 dalam Suprapto, 2009).

13
Sumber: Kobelco, Ltd., 2000 dalam Umar, 2012

Gambar 2.1 Diagram alir proses UBC yang selama ini berkembang

Sumber: Umar, 2005 dalam Suprapto, 2009

Gambar 2.2 Struktur Pori Batubara Sebelum dan Sesudah UBC

2.3 Benzena

Benzena merupakan produk minyak bumi yang memiliki rumus kimia C 6H6,

keenam atom karbon dalam senyawa benzena membentuk rantai dengan iktan

14
rangkap secara bergantian. Senyawa benzena termasuk salah satu golongan senyawa

hidrokarbon aromatik siklik dengan ikatan pi yang tetap dan memiliki bilangan oktan

yang tinggi, sehingga benzena dapat digunakan sebagai zat aditif untuk meningkatkan

angka oktan pada bensin. selain itu benzena memiliki sifat pembakaran yang baik

serta mudah menguap sehingga pada saat pembakaran di mesin tidak meninggalkan

getah padat pada bagian-bagian mesin.

Menurut kekule (1873), struktur benzena dapat digambarkan sebagai berikut :

Sumber: Budimawari, 2008

Gambar 2.3 Struktur Molekul Benzena

2.3.1 Sifat Fisik dan Kimia Benzena

Sifat fisik dan kimia yang dimiliki oleh benzena (Hasibuan, 2011) :

a. Sifat Fisik Bennzena

15
Berat molekul (BM) : 78,1121 g/mol
Titik didih : 80,1 oC
Titik lebur : 5,5 oC
Densitas : 0,905 g/cm3 ( -47 oC )
Kelarutan : 1 -5 mg/ml air
: 100 mg/ml aceton
Flash point : -11 oC ( 12 oF )
Autoignation temperature : 562 oC
Critical temperature : 289,1 oC
Critical pressure : 48,9 atm
Fase : Cair ( 30 oC, 1 atm )

2.3.1 Manfaat Benzena

Benzena banyak dimanfaatkan sebagai pelarut nonpolar, misalnya dalam

pembersih cat dan pembersih karburator. Benzena juga digunakan sebagai bahan

dasar pembuatan senyawa turunan benzena, bahan pembuatan plastik, bahan peledak,

zat pewarna, karet sintetik, nilon, dan detergen (hhtp://jejaringkimia.web.id, 2011).

2.4 Low Sulfur Wax Residue (LSWR)

Low Sulfur Waxy Residue (LSWR) merupakan campuran long residue

(residue crude distilling unit), gas oil (HGO/HVGO), dan short residue (residue high

vacuum unit), yang diperoleh dari bagian bottom kolom fraksinasi hydrocracker.

LSWR mengandung bitumen yang meliputi cakupan produk yang dihasilkan dari

crude oil dan terdiri atas molekul bertipe hidrokarbon dan bersifat lebih termoplastik.

Bitumen dapat didefinisikan liquid yang viskos atau sebuah fase solid yang

kandungan utamanya adalah hidrokarbon dan turunannya, yang dapat larut dalam

16
karbon disulfida. Pada dasarnya unsur bitumen bersifat non volatil dan melembut

secara bertahap saat dipanaskan. Bitumen berwarna hitam atau hitam kecokelatan dan

memiliki sifat tahan air dan lengket seperti lem (adhesive). Bitumen diperoleh dari

penyulingan crude oil dan zat ini juga ditemukan sebagai deposit alami atau sebagai

komponen alami yang terdapat di dalam aspal, dimana bitumen ini terasosiasi dengan

mineral matter.

Bitumen adalah campuran kompleks yang terdiri atas sejumlah besar

campuran bahan kimia yang relatif memiliki berat molekular tinggi. Secara rata-rata,

bitumen mengandung 82-85% karbon gabungan, 1215% hidrogen dan sulfur dengan

oksigen yang jumlahnya sedikit. Panas spesifik bitumen bervariasi dari 1.7 sampai

2.5 kJ/(kg.K) untuk range temperatur 0 sampai 300C dan konduktivitas thermal

adalah 0.16 W/(m.K) pada temperatur kerja normal (0 250C).

Berikut adalah spesifikasi LSWR Pertamina yang dipasarkan:

Tabel 2.3 Spesifikasi LSWR

17
*) By convertion from ASTMD 445

Sumber : Pertamina UP 4

Sifat kedap air yang sangat baik dari bitumen dan sifatnya yang lengket

(adhesive) mengakibatkan bitumen banyak digunakan dalam konstruksi jalan,

bangunan, dan industri. Aplikasi utama ditemukan pada pelapisan jalan dan lapangan

terbang, serta pencegahan korosi pada logam ( Wana, 2011).

2.5 Analisa Batubara

Untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisis kimia pada batubara

yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat

dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), zat terbang (volatile matter),

karbon padat (fixed carbon), dan kadar abu (ash), sedangkan analisis ultimat

dilakukan untuk menentukan kandungan unsur kimia pada batubara seperti : karbon,

hidrogen, oksigen, nitrogen, sulfur dan unsur lainnya (Heriyadi, 2013).

2.5.1 Analisa Proksimat

18
Proksimat adalah rangkaian analisa awal dalam pengujian suatu contoh

batubara. Analisa proksimat adalah pengujian batubara yang terdiri dari kandungan

air (Inherent Moisture),zat terbang (volatile matter), kandungan mineral (ash

content ) dan fixed carbon (Ningrum, 2009).

Berikut merupakan parameter dasar yang tercakup dalam analisis proksimat

(Muchjidin, 2006) :

2.5.1.1 Penentuan Moisture


Yang dimaksud dengan sampel yang dianalisis ialah sampel batubara yang

telah dipreparasi, dikering-udarakan, dibagi-bagi, dan digerus sampai ukurannya 0,2

mm atau 200 m. Cara penentuan moisture dalan sampel yang dianalisis termasuk

dalam analisis proksimat. Perbedaannya dengan penentuan moisture dalam sampel

kering udara (atau residual moisture) terletak dalam ukuran fraksi sampel. Penentuan

moisture dalam sampel kering udara memerlukan sampel batubara 3mm, sedangkan

penentuan moisture dalam sampel yang dianalisis memerlukan sampel batubara 0,2

mm. Dalam standar ASTM, penentuan moisture dalam sampel yang dianalisis

dilakukan dengan memanaskan sampel dalam oven dengan temperatur 1040C 1100C

selama 2 jam.

m2m3
Moisture= x 100 ..(Pers. 2.3)
m2m1

Keterangan :

m1 = massa cawan sebelum pemanasan

m2 = massa cawan + sampel sebelum pemanasan

19
m3 = massa cawan + sampel setelah pemanasan

2.5.1.2 Penentuan Kadar Abu (Ash Content)

Ash Content didefinisikan sebagai zat anorganik yang tertinggal setelah

sampel batubara dibakar dalam kondisi standar sampai diperoleh berat yang tetap.

Selama pembakaran batubara, zat mineral mengalami perubahan, karena itu

banyaknya ash umumnya lebih kecil dibandingkan dengan banyaknya zat mineral

yang semula ada di dalam batubara. Hal ini disebakan antara lain karena menguapnya

air konstitusi (hidratasi) dari lempung, karbon dioksida dari karbonat, teroksidasinya

pirit menjadi besi oksida, serta terjadinya fiksasi belerang oksida. Ash batubara, di

samping ditentukan kandungannya (ash content), ditentukan pula susunan

(komposisi) kimianya dalam analisis ash dan suhu lelehnya dalam penentuan suhu

leleh ash. Penentuan kadar abu ditentukan dengan rumus :

m3m4
Ash= X 100 (Pers. 2.4)
m2m1

Keterangan :
m1 = massa cawan sebelum pemanasan
m2 = massa cawan + sampel sebelum pemanasan
m3 = massa cawan + sampel setelah pemanasan
m4 = massa cawan setelah pemanasan
2.5.1.3 Penentuan Zat Terbang (Vollatile Matter)

Volatile matter ialah banyaknya zat yang hilang bila sampel batubara

dipanaskan pada suhu dan waktu yang telah ditentukan (setelah dikoreksi oleh kadar

moisture). Suhunya adalah range antara 9000C 9500C, dengan waktu pemanasan

tujuh menit tepat. Volatile yang menguap terdiri atas sebagian besar gas-gas yang

20
mudah terbakar, seperti hidrogen, karbon monoksida, dan metan, serta sebagian kecil

uap yang dapat mengembun seperti tar, hasil pemecahan termis seperti karbon

dioksida dari karbonat, sulfur dari pirit, dan air dari lempung. Moisture berpengaruh

pada hasil penentuan volatile matter sehingga sampel yang dikeringkan dengan oven

akan memberikan hasil yang berbeda dengan sampel yang dikering-udarakan. Faktor

faktor lain yang mempengaruhi hasil penentuan volatile matter ini ialah suhu,

waktu, kecepatan pemanasan, penyebaran butir, dan ukuran partikel. Penentuan kadar

volatile matter ditentukan dengan rumus :

( m2m3 )
VM = 100 (Pers. 2.5)
( m2m1 )

Keterangan :
m1 = massa cawan sebelum pemanasan
m2 = massa cawan + sampel sebelum pemanasan
m3 = massa cawan + sampel setelah pemanasan

2.5.1.4 Penentuan Fixed Carbon

Fixed carbon (FC) menyatakan banyaknya karbon yang terdapat dalam

material sisa setelah volatile matter dihilangkan. Fixed carbon ini mewakili sisa

penguraian dari komponen organik batubara ditambah sedikit senyawa nitrogen,

belerang, hidrogen dan mungkin oksigen yang terserap atau bersatu secara kimiawi.

Kandungan fixed carbon digunakan sebagai indeks hasil kokas dari batubara pada

waktu dikarbonisasikan atau sebagai suatu ukuran material padat yang dapat dibakar

21
didalam peralatan pembakaran batubara setelah fraksi zat terbang (VM) dihilangkan.

penentuan fixed carbon ditentukan dengan rumus :

% Fixed Carbon = 100% % M % Ash % VM (Pers. 2.6)

Keterangan :

% M = Kadar Moisture

% Ash = Kadar Ash (abu)

% VM = Kadar Volatil Matter

2.5.2 Calorific Value (Nilai Kalor)

Calorific value merupakan pengujian batubara untuk mengetahui nilai kalor

yang dapat dihasilkan oleh suatu batubara dan dipengaruhi oleh kandungan sulfur

dalam batubara yang dianalisa. Pembakaran dilakukan pada kondisi standar, yaitu

pada volume tetap dan dalam ruangan yang berisi gas oksigen (O 2) dengan tekanan

25 atm. Selama proses pembakaran yang sebenarnya pada ketel, nilai gross calorific

value ini tidak dapat tercapai karena beberapa komponen batubara, terutama air,

menguap dan menghilang bersama-sama dengan panas penguapannya. Maksimum

kalori yang dapat dicapai selama proses ini adalah net calorific value.

Kalorimeter bom terdiri dari 2 unit yang digabungkan menjadi satu alat. Unit

pertama ialah unit pembakaran di mana batubara dimasukkan ke dalam bejana dan

dibakar dengan pasokan udara/oksigen pembakar. Unit kedua ialah unit pendingin

(kondensor).

22
Calorific value dikenal juga dengan istilah specific energy gross dan net

calorific value dikenal juga dengan istilah higher dan lower heating value. Satuan

untuk Calorific value adalah cal/ g, MJ/kg dan Btu/lb.

Masalah yang sering tejadi pada caloric value adalah tidak terbakarnya kawat

dengan sempurna karena tersentuh dinding bomb calorimeter, karena tekanan gasnya

belum stabil.

Rumus Calorific value= CV rata-rata [0.0942 X G (Mj/Kg) ] .....( Pers 2.7)

Keterangan: CV = CaloricValue

23

Anda mungkin juga menyukai