Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberculosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


kuman Mycobacterium Tuberculosis.WHO mencanangkan keadaan darurat global
untuk penyakit Tuberculosis karena diperkirakan sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi kuman Tuberculosis.Sampai saat ini Tuberculosis paru masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara yang sedang berkembang. Di
Indonesia, berdasarkan penelitian Departemen Kesehatan, diketahui bahwa
penyakit ini merupakan penyebab kematian yang kedua dan menduduki urutan
kesepuluhdari penyakit yang sering di jumpai di masyarakat. 1Diperkirakan pada
tahun 2009 ada 25 penderita Tuberculosis paru menular di antara setiap 10.000
penduduk negara kita.Pada tahun 2013 diketahui terdapat 107 dari 100.000
penderita Tuberculosis paru di Indonesia.
Selanjutnya diketahui juga bahwa 75 % penderita Tuberculosis Paru berasal
dari golongan umur produktif (15 60 tahun) dan golongan ekonomi lemah.2
Tabel 1.1 Angka Insidensi, Prevalensi, dan Kematian TB di Indonesia

Berdasarkan table 1.1 tahun 2010, angka insidensi semua tipe TB 450.000
kasus atau 189 per 100.000 penduduk, angka prevalensi semua TB 690.000 atau
289 per 100.000 penduduk dan angka kematian TB 64.000 atau 27 per 100.000
penduduk atau 175 orang per hari.
Angka penjaringan suspek TB adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya
dari 100.000 penduduk pada suatu wilayah tertentu pada satu tahun. Angka
penjaringan tersebut secara umum menunjukkan peningkatan yang cukup

1
signifikan dari tahun 2005-2011 di Indonesia. Angka penjaringan suspek per
provinsi tahun 2011 menunjukkan capaian 330 sampai 2.018 per 100.000
penduduk, tertinggi Sulawesi Utara, terendah Kepulauan Riau, sedangkan
Kalimantan Timur menunjukkan capaian 530 per 100.000 penduduk. Dari
penjaringan tersebut, proporsi TB paru positif di antara suspek TB yang diperiksa
dahaknya per propinsi pada tahun 2011 mempunyai range 5,1-21.6 %, proporsi di
Kalimantan Timur mencapai 10,8%. Proporsi pasien TB paru BTA positif diantara
seluruh pasien TB paru yang tercatat memiliki target sebaiknya di atas 65%,
sebab bila angka ini rendah berarti mutu diagnosis rendah dan kurang
memberikan prioritas untuk menemukan pasien TB yang menular. Propinsi
Kalimantan Timur memiliki angka 58.1% pada tahun 2011.
Ketidakpatuhan pasien TB berobat di Puskesmas Sepinggan Baru tahun 2016
sebanyak 0.179 % dari 39 pasien. Kurangnya tingkat pengetahuan penderita
tentang penyakit Tuberculosis paru masih kurang sehingga tingkat kesadaran
untuk berobat masih rendah.
Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui dan
menganalisa kasus TB dan suspek TB di Puskesmas Sepinggan Baru.

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah dalam


penelitian ini dalam bentuk pernyataan sebagai berikut :

Apakah faktor sosiodemografi, faktor lingkungan, faktor akses ke fasilitas


kesehatan , dan faktor perilaku berhubungan dengan angka kepatuhan pasien
TB paru dan suspek TB paru untuk berobat di Puskesmas Sepinggan Baru?

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

2
Meningkatkan angka kepatuhan pasien TB paru dan suspek TB paru dengan
mengevaluasi faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien
TB dan suspek TB.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Menentukan hubungan antara faktor sosiodemografi(usia, jenis


kelamin,pendidikan, pekerjaan, penghasilan) dengan tingkat
kepatuhan pasien TB dan suspek TB untuk berobat di Puskesmas
Sepinggan Baru.
2. Menentukan hubungan antara faktor lingkungan (jarak rumah dengan
tetangga, lingkungan rumah, kepadatan penghuni rumah, dukungan
keluarga, pengawas minum obat)dengan dengan tingkat kepatuhan
pasien TB dan suspek TB untuk berobat di Puskesmas Sepinggan
Baru.
3. Menentukan hubungan antara faktor akses ke fasilitas kedehatan (jarak
ke sarana kesehatan, akses ke fasilitas kesehatan) dengan dengan
tingkat kepatuhan pasien TB dan suspek TB untuk berobat di
Puskesmas Sepinggan Baru.
4. Menentukan hubungan faktor perilaku (durasi batuk, fasilitas
kesehatan yang dituju, dan kesediaan pemeriksaan BTA) dengan
dengan tingkat kepatuhan pasien TB dan suspek TB untuk berobat di
Puskesmas Sepinggan Baru.

1.4 Hipotesis

1. Faktor sosiodemografi (usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,


penghasilan) berhubungan dengan dengan tingkat kepatuhan pasien
TB dan suspek TB untuk berobat di Puskesmas Sepinggan Baru.
2. Faktor lingkungan (jarak rumah dengan tetangga, lingkungan rumah,
kepadatan penghuni rumah, dukungan keluarga, pengawas minum
obat) berhubungan dengan tingkat kepatuhan pasien TB dan suspek
TB untuk berobat di Puskesmas Sepinggan Baru.

3
3. Faktor sarana kesehatan (jarak ke sarana kesehatan dan akses ke
fasilitas kesehatan) berhubungan dengan dengan tingkat kepatuhan
pasien TB dan suspek TB untuk berobat di Puskesmas Sepinggan
Baru.
4. Faktor perilaku (durasi batuk, fasilitas kesehatan yang dituju, dan
kesediaan pemeriksaan BTA) dengan tingkat kepatuhan pasien TB
dan suspek TB untuk berobat di Puskesmas Sepinggan Baru

1.5 Manfaat penelitian

a. Untuk masyarakat
Hasil dari penelitian dapat menjadi gambaran bagi masyarakat sehingga
kesadaran dirinya dan pengetahuannya lebih meningkat untuk berobat,
sehingga jumlah pasien TB dan suspek TB meningkat untuk berobat ke
Puskesmas Sepinggan Baru dan meningkatkan tingkat kesembuhan pasien
yang berobat TB.
b. Untuk profesi
Peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan
penelitian serta menambah wawasan dalam bidang kesehatan masyarakat pada
umumnya terutama yang berkaitan dengan bidang yang diteliti, serta
mengatahui sebaran kasus pasien TB dan suspek TB di Puskesmas Sepinggan
Baru.
c. Untuk institusi
Puskesmas Sepinggan Baru
Peningkatan pengelolaan program-program pemberantasan TB paru, sehingga
jumlah penderita TB dan suspek TB dapat rutin berobat ke Puskesmas dan
tidak mengalami kejadian putus obat sehingga tingkat kesembuhan penderita
lebih meningkat.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah setiap penyakit menular pada manusia dan hewan
lain yang disebabkan oleh spesies Mycobacterium tuberculosis dan ditandai
dengan pembentukan tuberkel dan nekrosis berkiju pada jaringan setiap organ;

5
pada manusia, paru-paru adalah tempat utama infeksi dan biasanya merupakan
pintu gerbang masuknya infeksi ke organ lainnya.(3,4)
Tuberkulosis paru adalah infeksi paru oleh Mycobacterium tuberculosis,
ditandai oleh pneumonia tuberkulosa, pembentukan jaringan granulasi
tuberkulosa, nekrosis berkiju, kalsifikasi, dan pembentukan rongga. Gejalanya
meliputi penurunan berat badan, kelelahan, berkeringat malam hari, sputum
purulen, hemoptisis, dan nyeri dada.(3,5,6)

2.1.2 Epidemiologi
The World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global
TB Control 2005 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai high-
burden countries, dimana Indonesia diperkirakan termasuk peringkat ketiga
setelah India dan China.(7,10,11)
Angka insidens semua tipe TB tahun 2011 sebesar 189 per 100.000
penduduk mengalami penurunan dibanding tahun 1990 (343 per 100.000
penduduk), angka prevalensi berhasil diturunkan hampir setengahnya pada tahun
2011 (423 per 100.000 penduduk) dibandingkan dengan tahun 1990 (289 per
100.000 penduduk). Sama halnya dengan angka Mortalitas yang berhasil
diturunkan lebih dari separuhnya pada tahun 2011 (27 per 100.000 penduduk)
dibandingkan tahun 1990 (51 per 100.000 penduduk). Hal tersebut membuktikan
bahwa program pengendalian TB berhasil menurunkan insidens, prevalensi dan
mortalitas akibat penyakit TB.(7,8,9)
Pada tahun 2004 Badan Litbang Depkes bekerjasama dengan WHO
melakukan survei prevalensi secara nasional berdasarkan pemeriksaan sputum
dengan mikroskopik dan biakan pada responden suspek TBC umur 15 tahun.
Dalam Survei tersebut dilaporkan estimasi prevalensi Tuberkulosis berdasarkan
pemeriksaan sputum BTA positif adalah 104 per 100.000. Penemuan kasus TB
tertinggi di Kalimantan Timur pada tahun 2014 terjadi di kota Balikpapan
sebanyak 773 kasus, kemudian Samarinda sebanyak 674 kasus TB dan terendah
pada kabupaten Mahakam Ulu sebanyak 41 kasus TB.

Gejala Klinis
Anamnesis

6
a) Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang panas
badan mencapai 40-41oC.(3)
b) Batuk atau batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya iritasi pada
bronkus. Sifat batuk dimulai dari batuk kering (non-produktif) kemudian
setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum).
Keadaan lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah
yang pecah.(3)
c) Sesak napas
Sesak akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.(3)
d) Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan. Nyeri dada timbul jika infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.(3)
e) Malaise
Penyakit tuberkulosis bersifat radang menahun. Gejala malaise sering
ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat
badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak
teratur.(3)

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah di apex
(puncak paru). Bila dicurigai adanya infiltrat yang luas maka didapatkan perkusi
yang redup dan auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara
napas tambahan berupa ronki basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini
diliputi oleh penebalan pleura, suara napasnya menjadi vesikuler melemah. Bila
terdapat kavitas yang cukup besar, perkusi memberikan suara hipersonor atau
timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.

7
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi
menciut dan menarik isi mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi
hiperinflasi. Bila jaringan fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah
jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan daerah aliran darah paru dan
selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal)
diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan
tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea,
takikardia, sianosis, right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-
Steel, bunyi P2 yang mengeras, tekanan vena jugularis yang meningkat,
hepatomegali, asites, dan edema.(3,5,6)

2.1.3 Pemeriksaan Penunjang


Radiologis
Pemeriksaan radiologis dada umumnya ditemukan lesi tuberkulosis di
daerah apeks paru (segmen apikal lobus atas atau segmen apikal lobus bawah)
tetapi juga dapat mengenai lobus atas atau segmen apikal lobus bawah (bagian
inferior) atau di daerah hilus menyerupai tumor paru.
Pada awal penyakit lesi tampak seperti sarang-sarang pneumonia,
gambaran radiologis berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas-batas
yang tidak tegas. Jika lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat
berupa bulatan dengan batas yang tegas.
Pada kavitas bayangannya berupa cincin yang mula-mula berdinding
tipis. Lama-lama dinding menjadi sklerotik dan terluhat menebal. Bila terjadi
fibrosis terlihat bayangan yang bergaris-garis. Pada kalsifikasi bayangannya
tampak sebagai bercak-bercak padat dengan densitas tinggi. pada atelektasis
terlihat seperti fibrosis yang luas disertai penciutan yang dapat terjadi pada
sebagian atau satu lobus maupun pada satu bagian paru.(3,12)

Darah
Pemeriksaan ini tidak sensitif dan spesifik. Pada saat tuberkulosis baru
mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang sedikit meninggi dengan
hitung jenis pergeseran ke kiri. Jumlah limfosit masih dibawah normal. Laju

8
endap darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit
kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. laju endap darah mulai
turun ke arah normal lagi.(3,12,13)

Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Pemeriksaan ini mudah
dan murah sehingga dapat dikerjakan di puskesmas. Pemeriksaan sputum juga
dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan.(3,12,13)
Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3
batang kuman BTA pada satu sediaan.
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan :(12)
- Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
- Dahak pagi (keesokan harinya)
- Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi
Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari kali pemeriksaan ialah bila:
o kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif
o 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali kemudian
o Bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif
o Bila 3 kali negatif Mikroskopik negatif

2.1.4 Diagnosis
Dalam prakteknya tidak mudah dalam menegakkan diagnosis TB paru.
Menurut American Thoracic Society dan WHO diagnosis pasti tuberculosis paru
adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosae dalam sputum
atau jaringan paru secara biakan.(12)
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas
laboratorium yang dangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Diagnosis
tuberkulosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan keadaan klinis dan
radiologis saja.(12)

9
Tersangka Penderita TB
(Suspek TB)

Periksa dahak sewaktu, pagi, sewaktu (SPS)

Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA


+++, ++- +-- ---

Beri antibiotika
Periksa rontgen dada
spektrum luas

Hasil Hasil Tidak Ada


mendukun tidak ada perbaika
g TB mendukun perbaika n
g TB n

Ulangi periksa dahak SPS


Penderita TB
BTA (+)
Hasil BTA Hasil BTA
+++, ++- ---

Periksa rontgen dada

Hasil Hasil
mendukun rontgen
g TB negatif

TB BTA (-) Bukan TB,


Rontgen (+) penyakit lain

10
Bagan1. Alur Diagnosis Pasien TB Alternatif12,13
2.1.5 Tatalaksana
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3
bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari
panduan obat utama dan tambahan.(14)
Tujuan dari pengobatan tuberkulosis adalah untuk menyembuhkan
pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai
penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Gejala Klinis
WHO dan IUATLD (International Union(+)
Against Tuberculosis and Lung
Disease) merekomendasikan panduan OATPFstandar, yaitu :(15,16,19)
Kategori 1 - + -
2HRZE/4H3R3
+
Sputum BTA Rontgen Thorax
2HRZE/4HR
2HRZE/6HE
Kategori 2
TB2HRZES/HRZE/5H3R3E3
paru BTA TB paru Meragukan Penyakit
(+)
2HRZES/HRZE/5HRE BTA (-) paru lain
Kategori 3
2HRZ/4H3R3
2HRZ/4HR Foto lama Foto lama Terapi
2HRZ/6HE ada tidak ada Eksjuventies
untuk TB
Panduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia adalah :(13,18,19)
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien baru : Evaluasi
Pasien baru tuberkulosis paru BTA positif rontgen thorax
1-2 bulan
Pasien tuberkulosis paru BTA negatif foto toraks positif
Pasien tuberkulosis ekstra paru

Menetap Perburukan Perburukan Perbaikan


Kategori 2 : 2HRZES/(HRZE)/5(HR)3E3
Panduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya :
Pasien kambuh
Bekas TB gagal
Pasien TB paru (bila Bukan TB TB paru
penyakitsetelah
Pasien dengan pengobatan paru putus berobat (default)
lain telah
tersingkirkan
11
(14,16,17)
Bagan 2. Alur Diagnosis Pasien TB Alternatif
Tabel 1. Paduan pengobatan TB(13,14,15)

Katego Kasus Paduan Obat yang Dianjurkan Keteranga


ri n

I TB paru 2RHZE / 4RH atau 2 RHZE / 6 HE


BTA +, atau 2RHZE / 4R3H3
BTA -,
lesi luas
TB di
luar paru
kasus
berat

II Kambuh 3RHZE / 6 HE Bila


Gagal 2 RHZES lalu sesuai hasil uji
streptomisis
pengobat resistensi atau
n alergi
2RHZES/1RHZE/5R3H3E
an
dapat
3
diganti
kanamisin

II TB paru Sesuai lama pengobatan sebelumnya,


lalai lama berhenti minum obat dan kedaan
berobat klinik, bakteriologik & radiologik saat
ini atau
2RHZES/1RHZE/5R3H3E
3

III TB paru 2RHZ / 4RH atau


6RHE atau
BTA negatif
2RHZ / 4R3H3
lesi
minimal
TB di luar

12
paru kasus
ringan

IV Kronik Sesuai uji resistensi atau H seumur


hidup

V MDR TB Sesuai uji resistensi + kuinolon atau H


seumur hidup

Catatan :
Obat yang digunakan dalam Program TB Nasional

Evaluasi pengobatan
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan
efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat.(17)
Evaluasi klinik:
- Penderita dievaluasi setiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan
selanjutnya setiap 1 bulan
- Evaluasi: respons pengobatan dan ata tidaknya efek samping obat serta
ada tidaknya komplikasi penyakit
- Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisik.
Evaluasi bakteriologik (0-2-6/9)
- Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
- Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopik
1. Sebelum pengobatan dimulai
2. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
3. Pada akhir pengobatan
- Bila ada fasilitas biakan: pemeriksaan biakan (0-2-6/9)
Evaluasi radiologik (0-2-6/9)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
- Sebelum pengobatan
- Setelah 2 bulan pengobatan
- Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
- Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hari, fungsi ginjal
dan darah lengkap
- Fungsi hati: SGOT, SGPT, bilirubin, fungsi ginjal: ureum, kreatinin,
dan gula darah, asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek
samping pengobatan
- Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid

13
- Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan ethambutol
- Penderita yang mendapat streptomisin haru diperiksa uji keseimbangan
dan audiometri
- Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan
awal tersebut. Yang paling penting adalah evaluasii klinik
kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada evaluasi klinik
dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat
sesuai pedoman.

Evaluasi keteraturan berobat


- Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan
adalah keteraturan berobat. Diminum/tidaknya obat tersebut. Dalam
hal ini maka sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai
penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita,
keluarga dan lingkungan.
- Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi
Penderita yang telah sembuh
Penderita TB yang telah sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh.Yang dievaluasi adalah mikroskopi
BTA dahak dan foto toraks.Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24
bulan setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6,12,24 bulan
setelah dinyatakan sembuh.

2.1.6 Directly Observed Treatment Short Course (DOTS)


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa kunci
keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis adalah dengan menerapkan
strategi DOTS, yang juga telah dianut oleh negara lain. Oleh karena itu
pemahaman tentang DOTS merupakan hal yang sangat penting agar TB dapat
ditanggulangi dengan baik.(20,21,22)
DOTS mengandug lima komponen, yaitu:
1. Komitmetmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik

14
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang baik
Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka
pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pengawasan dilakukan oleh:
1. Langsung di depan dokter
2. Petugas kesehatan
3. Orang lain (kader, tokoh masyarakat)
4. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

Penderita dirawat:
1. Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai PMO adalah
2. petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan selanjutnya sesuai
3. dengan berobat jalan.
Tujuan :
Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
Mencegah putus berobat
Mengatasi efek samping obat
Mencegah resistensi
Dalam melaksanakan DOT, sebelum pengobatan pertama kali dimulai
harus diingat:
Tentukan seorang PMO: Berikan penjelasan kepada penderita bahwa harus
ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik untuk
mendapat penjelasan tentang DOT.
Persyaratan PMO: PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita TB
sampai sembuh selama 6 bulan. PMO dapat berasal dari kader dasawisma,
kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani penderita.
Tugas PMO: Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik, memberikan
pengawasan kepada penderita dalam hal minum obat, mengingatkan penderita
untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal, memberitahukan / mengantar
penderita untuk kontrol bila ada efek samping obat, bersedia antar jemput
OAT jika penderita tidak bisa datang ke RS /poliklinik.

15
Petugas PPTI atau Petugas Sosial: Untuk pengaturan/penentuan PMO,
dilakukan oleh PKMRS (Penyuluhan Kesehatan Masyarakat Rumah Sakit),
oleh PERKESMAS (Perawatan Kesehatan Masyarakat) atau PHN (Public
Health Nurse), paramedis atau petugas sosial.
Petugas sosial: Ialah volunteer yang mau dan mampu bekerja sukarela, mau
dilatih DOT. Penunjukan oleh RS atau dibantu PPTI, jika mungkin diberi
penghargaan atau uang transport.
Penyuluhan tentang TB merupakan hal yang sangat penting, penyuluhan dapat
dilakukan secara :
Perorangan/Individu: Penyuluhan terhadap perorangan (penderita maupun
keluarga)
dapat dilakukan di unit rawat jalan, di apotik saat mengambil obat, dll.
Kelompok: Penyuluhan kelompok dapat dilakukan terhadap kelompok
penderita, kelompok keluarga penderita, masyarakat pengunjung rumah sakit,
dll.(20,21,22)

2.2 Penemuan Pasien Tuberkulosis


2.2.1 Definisi
Penemuan Pasien Tuberkulosis bertujuan untuk mendapatkan pasien TB
melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien
TB, pemeriksaan fisik, dan laboratorium, menentukan diagnosis, menentukan
klasifikasi penyakit serta tipe pasien Tb, sehingga dapat dilakukan pengobatan
agar sembuh sehingga tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain.
Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki
gejala utama berupa batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat
diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah,
sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
dari sebulan.
Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain
TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain.
Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap

16
orang yang datang ke fasilitas kesehatan dengan gejala tersebut diatas,
dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

2.2.2 Faktor yang Berperan dalam Pengobatan TB


2.2.A. Faktor Sosiodemografi
Usia
Menurut penelitian Ning dkk menjelaskan bahwa angka putus obat TB di
Indonesia tertinggi pada usia 35-54 tahun (51.6%). Kasus putus obat
pada usia 55 tahun (48.8%) masih lebih banyak dibandingkan usia 15-34
tahun (42.9%). Tetapi dalam penelitian ini didapatkan hasil yang tidak
bermakna.(25)
Jenis kelamin
Penelitian oleh Ning dkk juga menjelaskan bahwa kasus DO TB lebih
banyak terjadi pada wanita (49.2%) dibandingkan dengan pria (47%).
Namun dalam penelitian disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
jenis kelamin dengan kejadian putus obat.(27,28,29,30)
Pendidikan
Tingkat pengetahuan penderita yang dikategorikan rendah akan berisiko
lebih dari dua kali untuk terjadinya kegagalan pengobatan dibandingkan
dengan penderita dengan tingkat pengetahuan tinggi.Pendidikan rendah
berpengaruh kepada pemahaman pasien TB terhadap penyakitnya
sehingga apabila subjek merasa lebih baik, berat badan naik, daya kerja
pulih kembali dan merasa sudah sembuh, pasien dapat menghentikan
sendiri pengobatannya.25,26Menurut penelitian Ning pasien dengan tingkat
pendidikan sampai dengan SMP yang tergolong tingkat pendidikan
rendah didapatkan angka 54.7%. Dapat disimpulkan bahwa dalam
penelitian ini didapatkan kejadian putus obat tertinggi pada pendidikan
rendah.(2)
Pasien TB paru dengan pendidikan menengah tinggi mengetahui
pengetahuan tentang TB paru lebih baik daripada pasien berpendidikan
rendah.(2,25)
Pekerjaan

17
Pasien TB yang bekerja (49.6%) menurut penelitian Ning dkk lebih
banyak mengalami putus obat dibandingkan dengan pasien TB yang tidak
bekerja(45.4%). Pada penelitian tidak terbukti adanya hubungan putus
oabt TB dengan pekerjaan.(2)
Sosial ekonomi
Kemiskinan dapat menyebabkan penderita tidak mampu membiayai
pengangkutan ke Puskesmas. Pada umumnya kebutuhan primer sehari-
hari masih lebih penting dari pemeliharaan kesehatan.(31,32,33,34)
Kasus putus obat TB pada pasien miskin mempunyai angka prevalensi
yang cukup tinggi, sekitar 62.8%. Namun pada penderita TB paru dengan
penghasilan rendah pada peneitian tidak ditemukan hasil yang bermakna
(2,35)

2.2.B. Faktor Lingkungan


Tempat tinggal
Pasien TB yang tinggal di pedesaan(56%) lebih beresiko mengalami
putus obat dibandingkan dengan pasien di perkotaan(40.6%).(2,36,37)
Penelitian Ning menyatakan bahwa pasien putus obat TB terbanyak pada
lingkungan rumah yang jaraknya dekat dengan tetangga.(2)
Padatnya penghuni rumah terbukti mempengaruhi kejadian putus obat TB
paru dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan keluarga.(36)
Dukungan keluarga
Dukungan keluarga danmasyarakat dalam pengawasan dan pemberian
semangat mempunyai andil yang besar dalam peningkatan kepatuhan.
Dukungan keluarga sangat menunjang keberhasilan pengobatan seseorang
dengan selalu mengingatkan penderita yang sedang sakit dan memberi
semangat agar tetap rajin berobat. Namun demikian melalui penelitian ha
ini tidak terbukti.(38,39)
2.2.C Sarana Kesehatan
Akses ke fasilitas kesehatan
Masyarakat dengan akses yang sulit menuju fasilitas kesehatan,
presentase dropout lebih tinggi dibanding dengan masyarakat dengan
akses yang mudah. Semakin sulit akses atau jarak ke fasilitas kesehatan
semakin jauh presentase dropout semakin besar.(2,40)

18
Akses adalah jarak (dalam kilometer) yang ditempuh masyarakat ke
fasilitas kesehatan, dalam hal ini Puskesmas atau klinik. Jauhnya akses ke
sarana kesehatan cukup berperan dalam putusnya pengobatan pasien TB
pada penelitian Ning dinyatakan sekitar 58.6%. Kemudahan pasien dalam
menjangkau fasilitas kesehatan menurut penelitian Ning, tidak
mempengaruhi dalam dropout obat TB.(2)
Pengawas Minum Obat
Salah satu penyebab sulitnya TB paru untuk dibasmi adalah bahwa
nyatanya pemberian obat untuk pasien TB jumlahnya banyak dan juga
memerlukan jangka waktu yang lama, setidaknya 6 bulan. Hal ini
menyebabkan penderitanya enggan untuk menuntaskan pengobatannya.
Sehingga untuk mengatasi masalah ini dibutuhkan Pengawas Menelan
Obat (PMO) untuk menjaga agar tidak terjadi putus obat pada penderita
tuberkulosis. PMO ini termasuk dalam komponenketiga dari DOTS.
Peran PMO sangat mendukung daam keberhasilan pengobatan TB
terbukti menurut penelitian adanya PMO dapat menurunkan angka putus
obat TB.(2)

2.2 Kerangka Teori

19
BAB III

20
KERANGKA KONSEP, VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI
OPERASIONAL

3.1 KERANGKA KONSEP

Usia
Jenis Kelamin

Pendidikan Faktor
sosiodemografi
Pekerjaan

Penghasilan

Jarak Tetangga
Faktor lingkungan /
Lingkungan Rumah Tempat Tinggal Ketidakpatuhan
Kepadatan Penghuni berobat pada TB
Rumah paru dan suspek TB

Dukungan Keluarga

Pengawas Minum
Obat (PMO)

Jarak ke Sarana
Kesehatan Faktor akses fasilitas
kesehatan
Transportasi yang
digunakan ke fasilitas
kesehatan

Waktu sakit sampai


berobat
Faktor Perilaku
Fasilitas kesehatan untuk
berobat

Kebersediaan
Pemeriksaan dahak

3.2 VARIABEL PENELITIAN

21
1. Variabel bebas/ Independent
a. Faktor sosiodemografi
i. Usia
ii. Jenis kelamin
iii. Pendidikan
iv. Pekerjaan
v. Penghasilan
b. Faktor lingkungan / tempat tinggal
i. Jarak dengan tetangga
ii. Lingkungan rumah
iii. Kepadatan penghuni rumah
iv. Dukungan keluarga
v. Pengawas Minum Obat (PMO)
c. Faktor akses ke fasilitas kesehatan
i. Jarak ke sarana kesehatan
ii. Akses ke fasillitas kesehatan

d. Faktor perilaku
i. Waktu sakit sampai berobat
ii. Fasilitis Kesehatan untuk berobat
iii. Kebersediaan pemeriksaan dahak

2. Variabel Terikat / Independent


a) Ketidakpatuhan berobat pasien TB dan suspek TB

22
3.3 DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 1.Definisioperasional

No Variabel Definisi AlatUkur Cara Ukur HasilUkur SkalaUkur Referensi


1. Kejadian putus obat Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 1.Putus obat Ordinal PDPI, 2006
pada TB paru bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, Kuesioner Wawancara 2.Tidak putus
kemudian datang kembali berobat obat

2. Usia Satuan waktu dari mulai lahir sampai 1.Dewasa (20-44 Ordinal WHO, 2000
sekarang KTP Observasional tahun)
2.Usia menengah
(45-59 tahun)
3 Jenis Kelamin Perbedaan antara perempuan dan laki-laki 1.Laki-laki Nominal
sejak lahir KTP Observasional 2.Perempuan
4. Pendidikan Tingkatpendidikan formal terakhir yang 1.Rendah Ordinal UU. No. 20 tahun 200
diselesaikanresponden Kuesioner Wawancara (tidaksekolah, SD, BAB I, Pasal I Ayat 8
SMP)
2.Tinggi (SMA,
akademi, S1)
5. Pekerjaan Kegiatan aktif yang dilakukan sekarang 1.Bekerja Ordinal Depkes RI, 2001
Kuesioner Wawancara 2.Tidak bekerja

6. Penghasilan Jumlahpenghasilankeluargadalamsebulan 1. Rendah (<2 Ordinal PeraturanGubernurNomo


Kuesioner Wawancara juta/bulan) 207 Tahun 2012 UMSP 2
2.Tinggi (
2juta/bulan)

25
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode analitik dengan rancangan case control.

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sepinggan Baru pada bulan Juli 2016
Oktober 2016.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian


4.3.1 Populasi
Populasi seluruh pasien tuberkulosis pada periode Januari Juli 2016
sebanyak 39 orang.
4.3.2 Sampel
Besar sampel minimal dalam penelitian ini sesuai dengan rumus berikut ini:
Besar sampel

Perkiraan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus.

Rumus populasi infinit:


No = Z2 x P x Q
d2
Z = Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96
P = Prevalensi kelompok yang tidak patuh berobat TB di puskemas sepinggan baru
tahun 2016 = 0.179
Q = Prevalensi/proporsi kelompok yang patuh berobat TB di puskesmas Sepinggan
Baru tahun 2016 = 0.821
d = Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p > 10% adalah 0.05

No = (1.96)2 x 0.179x 0.821= 225.82 Pembulatan 226


(0.05)2
*Data pasien TBC tahun Januari Juli 2016
Rumus populasi finit:
n = n0
(1 + n0/N)
n = Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit.
n0 = Besar sampel dari populasi yang infinit
N = Besar sampel populasi finit (Pasien dengan tuberkulosis kelurahan sepinggan)

28
Karena jumlah pasien tuberkulosis di sepinggan periode Januari Juli 2016 berjumlah 39
orang maka:
n = 226
(1 + 226/39)
= 33

antisipasi drop out = 10% x n

antisipasi drop out = 10% x 33 = 3,3

Total sampel = n + antisipasi drop out

Total sampel = 33 +3,3

=36,336 orang

4.4 Inklusi dan Eksklusi


Kriteria Inklusi :
1. Pasien yang hasil pemeriksaan sputum + (TB aktif)
2. Pasien yang menderita TB pada fase intensif (fase I) dan fase laten (fase II)
3. Pasien yang dalam pengobatan
4. Pasien yang memenuhi scoring TB pada anak
5. Pasien yang mengalami batuk > 3 minggu dengan gejala TB lainnya dominan

Kriteria Eksklusi :
1. Pasien yang pernah tuntas menjalani pengobatan TB selama 6 bulan dan telah
sembuh sebelumnya
2. Pasien dengan multidrug resistence

4.5 Instrumen Penelitian

29
4.6 Manajemen Data
4.6.1 Jenis Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang

dikumpulkan langsung dari subjek penelitian dan data sekunder dari

rekam medik lengkap.

4.6.2 Cara kerja


Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2016 Oktober 2016 dengan

mengumpulkan pasien TB dan suspek TB yang berkunjung ke puskemas

sepinggan baru dan kunjungan rumah sebagai sampel penelitian dan yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi secara consecutive non random

sampling. Sampel yang bersedia mengikuti penelitian dibuktikan

dengan kesanggupannya menandatangani informed consent.

Kuesioner dibacakan langsung kepada responden dan diberi

30
penjelasan secara lisan mengenai setiap butir pertanyaan.Observasi

dilakukan dengan langsung melihat kenyataan yang ada dari

lapangan.Peneliti juga mengupulkan data sekunder dari rekam medik

lengkap di Puskesmas Sepinggan Baru. Pencarian data dihentikan

setelah jumlah sampel yang dibutuhkan terpenuhi kemudian dilakukan

input data ke komputer untuk pengolahan dan analisis data.

4.6.3 Data entry


Setelah data diperoleh maka dilakukan pengolahan dengan tahapan

sebagai berikut :
o Editing, yaitu kegiatan pengecekan dan perbaikan isian formulir atau
kuisioner tersebut meliputi kelengkapan isi, jawaban atau tulisan masing-
masing pertanyaan, cukup jelas dan terbaca, relefannya jawaban dengan
pertanyaan dan kekonsistenan jawaban dengan pertanyaan lain.
o Coding, Yaitu mengubah data bentuk kalimat atau huruf menjadi angka
atau bilangan.
o Entry Data atau Processing, Yaitu memasukan jawaban dari masing-
masing responden dalam bentuk kode (angka atau huruf) dimasukan
kedalam program atau software computer.
o Cleaning, Yaitu pengecekan kembali dari semua data setiap sumber data
atau responden setelah selesai dimasukan untuk mengetahui kemungkinan
dilakukan pembetulan atau koreksi.
Data yang terumpul dari hasil wawancara dan kuisioner dan data sekunder
diolah dan dianalisis menggunakan program SPSS version 23.0.

4.6.4 Alur Penelitian

31
4.6.5 Analisis Data
o Analisis Univariat
Analisis ini dilakukan pada masing-masing variabel. Hasil ini berupa

distribusi dan persentase pada variabel-variabel yang diteliti.


o Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara

variabel bebas dengan variabel tergantung. Dalam analisis ini, dilakukan

chi square (Kai-kuadrat) untuk mengetahui apakah ada hubungan antara

variabel bebas dengan variabel tergantung.Chi square (Kai-kuadrat)

dilakukan karena variabel bebas dan variabel tergantung bersifat

nominal.Selain itu digunakan juga uji T-independent karena terdapat

variabel bebas yang bersifat numerik.


4.6.6 Penyajian Data
Data yang diperoleh dari penelitian ini akan disajikan dalam bentuk :
o Tekstular, dimana hasil penelitian disajikan dalam bentuk kalimat.
o Tabular, dimana hasil penelitian disajikan dalam bentuk tabel.
o Grafik, data penelitian akan digunakan diagram batang yang

menggambarkan sifat-sifat yang dimiliki.

32
BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada penderita tuberkulosis paru di sekitar wilayah Sepinggan
Baru periode Juli - Oktober 2016.Penelitian ini mengambil sampel secara concecutive non
random sampling pada penderita tuberkulosis paru di Sepinggan Baru. Sampel yang diteliti pada
penelitian ini sebanyak 115 responden.

5.1 Analisis Univariat

Tabel 5.1.1 Hubungan Faktor Sosiodemografi, Faktor Lingkungan, dan Akses ke Fasilitas
Kesehatan, dan Perilaku dengan Kepatuhan Berobat pasien Tuberkulosis dan Suspek
Tuberkulosis.

No Variabel Bebas n %
Dewasa 99 86,1%
1. Usia
Anak 16 13,9%

2. Jenis Kelamin Laki-Laki 65 56,5%

Perempuan 50 44,5%

33
Rendah 59 51,3%
3. Pendidikan
Tinggi 56 48,7%

Bekerja 55 47,8%
4. Pekerjaan
Tidak Bekerja 60 52,5%

Rendah (<2 juta) 77 67%


5. Penghasilan
Tinggi ( 2 juta) 38 33%

Jarak Rumah Dekat 56 48,7%


6.
dengan tetangga Jauh 59 51,3%

Padat 76 66,1%
7. Lingkungan Rumah
Tidak Padat 39 33,9%

No Variabel Bebas n %
Luas 67 58,3%
8. Luas Rumah
Sempit 48 41,7%

Dukungan Mendukung 96 83,5%


9.
Keluarga Tidak Mendukung 19 16,5%

Pengawas Minum Diawasi 80 69,6%


10.
Obat Tidak Diawasi 35 30,4%

Jarak ke Sarana Dekat 86 74,8%


11.
Kesehatan Jauh 29 25,2%

Akses ke sarana Mudah 72 62,6%


12.
kesehatan Sulit 43 37,4%

13. Waktu sakit sampai Batuk Akut 62 53,9%


berobat
Batuk Kronis 53 46,1%

14. Fasilitas kesehatan Puskesmas Sepinggan 66 57,4%


untuk berobat
Diluar Puskesmas 49 42,6%
Sepinggan

15. Kebersediaan Bersedia 93 80,9%


pemeriksaan Dahak
Tidak Bersedia 22 19,1%

34
No Variabel Terikat n %

16. Kepatuhan Berobat Patuh 85 73,9%

Tidak Patuh 30 100%

Dari 115 yang diteliti, terdapat 99 (86,1%) yang termasuk dalam usia dewasa, 16 (13,9%)
termasuk dalam usia anak. Berdasarkan jenis kelamin, responden dibagi menjadi dua kategori
yaitu laki-laki dan perempuan.Terdapat 56,5% responden laki-laki dan terdapat 44,5%
responden perempuan. Berdasarkan pendidikan, responden dibagi menjadi dua kategori yaitu
rendah dan tinggi.Terdapat 51,3% responden yang pendidikan rendah dan terdapat 48,7%
responden yang pendidikan tinggi. Berdasarkan pekerjaan, responden dibagi menjadi dua
kategori yaitu bekerja dan tidak bekerja. Terdapat 47,8% responden yang bekerja dan terdapat
52,5% responden yang tidak bekerja. Berdasarkan penghasilan, responden dibagi menjadi dua
kategori yaitu rendah (<2 juta) dan tinggi (2 juta). Terdapat 67% responden yang
berpenghasilan rendah dan terdapat 33% responden yang berpenghasilan tinggi. Berdasarkan
jarak rumah dengan tetangga, responden dibagi menjadi dua kategori yaitu jarak rumah dengan
tetangga Dekat dan jarak rumah dengan tetangga jauh. Terdapat 48,7% responden yang jarak
rumah dengan tetangga Dekat dan terdapat 51,3% responden yang jarak rumah dengan tetangga
jauh. Berdasarkan lingkungan rumah, responden dibagi menjadi dua kategori yaitu lingkungan
rumah yang padat dan lingkungan rumah yang tidak padat. Terdapat 66,1% responden yang
padat penduduk dan terdapat 33,9% responden yang tidak padat penduduk. Berdasarkan luas
rumah, responden dibagi menjadi dua kategori yaitu ukuran rumah yang luas dan sempit.
Terdapat 58,3% responden yang rumahnya luas, dan terdapat 41,7% responden dengan luas
rumah yang sempit. Berdasarkan dukungan keluarga, responden dibagi menjadi dua kategori
yaitu keluarga mendukung dan tidak mendukung. Terdapat 83,5% responden yang keluarganya
mendukung dan terdapat 16,5% responden yang keluarganya tidak mendukung. Berdasarkan
pengawas minum obat, responden dibagi menjadi dua kategori yaitu diawasi dan tidak diawasi.
Terdapat 69,6% responden yang diawasi dan terdapat 30,4% responden yang tidak diawasi.
Berdasarkan jarak sarana kesehatan, responden dibagi menjadi dua kategori yaitu Dekat dan
jauh. Terdapat 74,8% responden yang jarak ke sarana kesehatannya Dekat dan terdapat 25,2%

35
responden yang jarak ke sarana kesehatannya jauh. Berdasarkan akses ke sarana kesehatan,
responden dibagi menjadi dua kategori yaitu mudah dan sulit. Terdapat 62,6% responden yang
akses ke sarana kesehatannya mudah dan terdapat 37,4% responden yang akses ke sarana
kesehatan sulit. Berdasarkan waktu sakit sampai berobat, responden dibagi menjadi batuk akut
dan batuk kronis. Responden yang datang berobat saat batuk akut sebanyak 53,9% dan
responden yang datang berobat saat batuk kronis sebanyak 46,1%. Berdasarkan fasilitas
kesehatan untuk berobat, responden dibagi menjadi puskesmas sepinggan dan diluar puskesmas
sepinggan. Responden yang berobat ke puskesmas sepinggan sebanyak 57,4% dan pasien yang
berobat diluar puskesmas se[inggan sebanyak 42,6%. Berdasarkan kebersediaan pemeriksaan
dahak responden dibagi menjadi bersedia diperiksa dahak dan tidak bersedia diperiksa dahak.
Responden yang bersedia diperiksa dahaknya sebanyak 80,9%, dan yang tidak bersedia diperiksa
dahak sebanyak 19,1%. Terdapat 79,9% responden yang patuh berobat, dan 26,1 % responden
yang tidak patuh berobat.

5.2 Analisis Bivariat

5.2.1. Hubungan Usia dengan Kepatuhan berobat pada Responden

Tabel 5.2.1 Hubungan Usia dengan Kepatuhan berobat pada Responden di Puskesmas
Sepinggan Baru

Usia Kepatuhan berobat Total P value


Patuh Tidak Patuh
Dewasa 83 16 99
0,000
Anak 2 14 16
Total 85 30 115
*Dengan menggunakan analisis Fisher

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 83 responden dewasa yang patuh berobat dan 16
responden dewasa yang tidak patuh berobat. Sejumlah 2 responden anak yang patuh berobat dan
14 responden anak yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini bermakna (P<0.05) artinya terdapat
hubungan yang bermakna antara usia dan kepatuhan berobat pada penderita TB dengan rasio
anak dan dewasa sama.

36
5.2.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan kepatuhan berobat

Tabel 5.2.2 Hubungan Jenis Kelamin dengan Kepatuhan berobat pada responden di
puskesmas sepinggan baru

Jenis Kelamin Kepatuhan berobat Total P value


Patuh Tidak Patuh
Laki-laki 48 17 65
0,985
Perempuan 37 13 50
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 48 responden laki-laki yang patuh berobat dan 17
responden laki-laki yang tidak patuh berobat. Sejumlah 37 responden perempuan yang patuh
berobat dan 13 responden perempuan yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini tidak bermakna
(P>0.05) artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dan kejadian putus
obat TB.

5.2.3. Hubungan Pendidikan dengan Kepatuhan berobat pada responden

Tabel 5.2.3 Hubungan Pendidikan dengan Kepatuhan berobat pada Responden di


Puskesmas Sepinggan Baru

Pendidikan Kepatuhan berobat Total P Value


Tidak
Patuh
Patuh
Rendah 41 18 59
0,268
Tinggi 44 12 56
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 41 responden berpendidikan rendah yang patuh


berobat dan 18 responden yang berpendidikan rendah yang tidak patuh berobat. Sejumlah 44
responden yang berpendidikan tinggi yang patuh berobat dan 12 responden dengan pendidikan
tinggi yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini tidak bermakna (p>0,005) artinya tidak terdapat
hubungan bermakna antara tingkat pendidikan dan kepatuhan berobat pada responden.

37
5.2.4. Hubungan Pekerjaan dengan Kepatuhan berobat

Tabel 5.2.4 Hubungan Pekerjaan dengan Kepatuhan berobat pada Responden di


Puskesmas Sepinggan Baru

Pekerjaan Kepatuhan berobat Total P value


Patuh Tidak Patuh
Bekerja 39 16 55
0,482
Tidak Bekerja 46 14 60
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 39 responden yang bekerja yang patuh berobat dan
16 responden yang bekerja dan tidak patuh berobat. Sejumlah 46 responden yang tidak bekerja
yang patuh berobat dan 14 responden yang tidak bekerja yang tidak patuh berobat. Uji statistik
ini tidak bermakna (P>0.05) artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pekerjaan
dan kepatuhan berobat.

5.2.5. Hubungan Penghasilan dengan Kepatuhan berobat pada responden

Tabel 5.2.5 Hubungan Penghasilan dengan Kepatuhan berobat pada Responden di


Puskesmas Sepinggan Baru

Penghasilan Kepatuhan berobat Total P value


Patuh Tidak Patuh
Rendah 54 23 77
0,188
Tinggi 31 7 38
Total 85 30 115

38
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 54 responden yang penghasilan rendah yang patuh
berobat dan 23 responden yang penghasilan rendah yang tidak patuh berobat. Sejumlah 31
responden yang penghasilan tinggi yang patuh berobat dan 7 responden yang penghasilan tinggi
yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini tidak bermakna (P>0.05) artinya tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara penghasilan dan kepatuhan berobat.

5.2.6. Hubungan Jarak Rumah dengan Tetangga dengan Kepatuhan berobat pada
responden

Tabel 5.2.6 Hubungan Jarak Rumah dengan Tetangga dengan Kepatuhan berobat pada
responden di puskesmas Sepinggan Baru

Total P Value
Jarak Rumah
dengan Kepatuhan berobat
Tetangga

Patuh Tidak Patuh


Dekat 37 19 56
0,062
Jauh 48 11 59
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 37 responden yang jarak rumah dengan tetangganya
dekat yang patuh berobat dan 19 responden yang jarak rumah dengan tetangganya dekat yang
tidak patuh berobat. Sejumlah 48 responden yang jarak rumah dengan tetangganya jauh yang
patuh berobat dan 11 responden yang jarak rumah dengan tetangganya jauh yang tidak patuh
berobat. Uji statistik ini tidak bermakna (P>0.05) artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara jarak rumah dengan tetangga dengan kepatuhan berobat.

5.2.7. Hubungan Lingkungan Rumah dengan Kepatuhan berobat pada responden

Tabel 5.2.7 Hubungan Lingkungan Rumah dengan Kepatuhan berobat pada Responden di
Puskesmas Sepinggan Baru

Lingkungan Total
Kepatuhan berobat P value
Rumah

39
Patuh Tidak Patuh
Padat 53 23 76
0,155
Tidak Padat 32 7 39
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 53 responden yang lingkungan rumahnya padat


yang patuh berobat dan 23 responden yang lingkungan rumahnya padat yang tidak patuh berobat.
Sejumlah 32 responden yang lingkungan rumahnya tidak padat yang patuh berobat dan 7
responden yang lingkungan rumahnya tidak padat yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini tidak
bermakna (P>0.05) artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lingkungan rumah
dengan kepatuhan berobat.

5.2.8. Hubungan Luas Rumah dengan Kepatuhan berobat pada responden

Tabel 5.2.8 Hubungan Luas rumah dengan Kepatuhan berobat pada responden di
Puskesmas Sepinggan Baru

Total
Luas Rumah Kepatuhan berobat P value

Patuh Tidak Patuh


Luas 67
50 17
0,837
Sempit 35 13 48
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 50 responden yang memiliki rumah yang luas dan
patuh berobat dan 17 responden yang memiliki rumah yang luas dan tidak patuh berobat.
Sejumlah 35 responden yang memiliki rumah yang sempit dan patuh berobat dan 13 responden
yang memiliki rumah yang sempit dan tidak patuh berobat. Uji statistik ini tidak bermakna
(P<0.05) artinya tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Luas rumah dengan kepatuhan
berobat.

40
5.2.9. Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan berobat pada Responden

Tabel 5.2.9 Hubungan Dukungan Keluarga dengan Kepatuhan berobat pada Responden di
Puskesmas Sepinggan Baru

Total
Dukungan
Kejadian Putus Obat TB P value
Keluarga

Patuh Tidak Patuh

Mendukung 74 22 96
Tidak 19 0,082
Mendukung 11 8

Total 85 30 115

Berdasarkan tabel di atas, didapatkan 74 responden yang keluarganya mendukung


poengobatan TB yang patuh berobat dan 22 responden yang yang keluarganya mendukung
pengobatan TB yang tidak patuh berobat. Sejumlah 11 responden yang keluarganya tidak
mendukung pengobatan TB dan patuh berobat, dan 8 responden yang keluarganya tidak
mendukung pengobatan TB yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini tidak bermakna (P>0.05)
artinya tidak terdapat hubungan bermakna antara dukungan keluarga dengan kepatuhan
pengobatan TB pada responden.

5.2.10. Hubungan Pengawas Minum Obat dengan Kepatuhan Berobat pada Responden

Tabel 5.2.10 Hubungan Pengawas Minum Obat dengan Kepatuhan Berobat pada
Responden di puskesmas Sepinggan Baru

Total
Pengawas
Kepatuhan berobat P value
Minum Obat

Patuh Tidak Patuh

Diawasi 80
58 22 0,602

41
Tidak Diawasi 35
27 8
Total 115
85 30

Berdasarkan table diatas didapatkan 58 responden yang diawasi dalam meminum obat
yang patuh berobat dan 22 responden yang diawasi dan tidak patuh berobat. Sejumlah 27
responden yang tidak diawasi yang patuh berobat, dan 8 responden yang tidak diawasi yang
tidak patuh berobat. Uji statistic ini tidak bermakna ( P>0,05) artinya tidak terdapat hubungan
bermakna antara pengawas minum obat dengan kepatuhan berobat pada responden.

5.2.11. Hubungan Jarak Sarana Kesehatan dengan Kepatuhan berobat pada Responden

Tabel 5.2.11 Hubungan Jarak Sarana Kesehatan dengan Kepatuhan Berobat pada
Responden

Total
Jarak Sarana P
Kepatuhan Berobat
Kesehatan value

Patuh Tidak Patuh


Dekat 66 20 86
0,234
Jauh 19 10 29
Total 85 30 115

Berdasarkan table diatas terdapat 66 responden yang jarak rumah ke sarana kesehatan
dekat yang patuh berobat, dan 20 responden yang jarak rumah ke sarana kesehatan dekat dan
tidak patuh berobat. Sejumlah 19 responden yang jarak rumah ke sarana kesehatan jauh yang
patuh berobat, dan 10 responden yang jarak rumah ke sarana kesehatan jauh yang tidak patuh
berobat. Uji statistik ini tidak bermakna (P>0,05) artinya tidak terdapat hubungan bermakna
antara jarak sarana kesehatan dengan kepatuhan berobat.

5.2.12. Hubungan Akses ke Pelayanan Kesehatan dengan Kepatuhan berobat pada


Responden

42
Tabel 5.2.12 Hubungan Akses ke Pelayanan Kesehatan dengan kepatuhan berobat pada
responden di Puskesmas Sepinggan Baru

Akses ke Total
Pelayanan Kepatuhan berobat P value
Kesehatan
Patuh Tidak Patuh
Mudah 48 24 72
0,022
Sulit 37 6 43
Total 85 30 115
Berdasarkan table diatas didapatkan 48 responden yang akses ke pelayanan kesehatannya
mudah yang patuh berobat, dan 24 responden yang akses ke pelayanan kesehatannya mudah dan
tidak patuh berobat. Sejumlah 37 responden yang akses ke pelayanan kesehatannya sulit dan
patuh berobat, dan 6 responden yang akses ke pelayanan kesehatannya sulit dan tidak patuh
berobat. Uji statistik ini bermakna (P<0,05) artinya terdapat hubungan bermakna antara akses ke
pelayanan kesehatan dengan kepatuhan berobat dengan rasio sama antara responden yang akses
ke pelayanan kesehatannya mudah dan sulit.

5.2.13. Hubungan Waktu Sakit sampai Berobat dengan Kepatuhan Berobat pada
responden di Puskesmas Sepinggan Baru

Tabel 5.2.13 Hubungan Waktu Sakit sampai Berobat dengan Kepatuhan Berobat pada
Responden di Puskesmas Sepinggan Baru

Waktu Sakit Total


Kepatuhan berobat P value
sampai Berobat
Patuh Tidak Patuh
Batuk Akut 41 21 62
0,040
Batuk Kronik 44 9 53
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel diatas didapatkan 41 responden yang berobat ketika masih batuk akut
dan patuh berobat, dan 21 responden yang berobat ketika batuk masih akut yang tidak patuh
berobat. Sejumlah 44 responden yang berobat ketika batuk kronik yang patuh berobat dan 9
responden yang berobat ketika batuk kronik yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini bermakna
(P<0,05) artinya terdapat hubungan bermakna antara waktu berobat dengan kepatuhan berobat
dengan rasio antara waktu berobat akut dan kronik sama.

43
5.2.14. Hubungan Faskes untuk Berobat dengan Kepatuhan Berobat pada Responden

Tabel 5.2.14 Hubungan Faskes untuk Berobat dengan Kepatuhan Berobat pada Responden
di Puskesmas Sepinggan Baru

Faskes untuk Total


Kepatuhan berobat P value
Berobat
Patuh Tidak Patuh
Puskesmas 66
46 20
Sepinggan Baru
0,232
Diluar Puskesmas 49
39 10
Sepinggan Baru
Total 85 30 115

Berdasarkan tabel diatas terdapat 46 responden dengan fasilitas kesehatan sepinggan baru
yang patuh berobat, dan 20 responden dengan fasilitas kesehatan puskesmas sepinggan baru
yang tidak patuh berobat. Sejumlah 39 responden dengan fasilitas kesehatan diluar puskesmas
sepinggan baru yang patuh berobat dan 10 responden dengan fasilitas kesehatan wilayah
sepinggan baru yang tidak patuh berobat. Uji statistik ini tidak bermakna (P>0,05) artinya tidak
ada hubungan bermakna antara fasilitas kesehatan dengan Kepatuhan berobat.

5.2.15. Hubungan Kebersediaan diperiksa Dahak dengan Kepatuhan Berobat pada


Responden

Tabel 5.2.14 Hubungan Kebersediaan diperiksa Dahak dengan Kepatuhan Berobat pada
responden di Puskesmas Sepinggan Baru

Kebersediaan Total
untuk
Kepatuhan berobat P value
Pemeriksaan
Dahak
Patuh Tidak Patuh
Bersedia 76 17 93
0,000
Tidak Bersedia 9 13 22
Total 85 30 115

Berdasarkan table diatas terdapat 76 responden yang bersedia dilakukan pemeriksaan


dahak yang patuh berobat, dan 17 responden yang bersedia diperiksa dahak dan tidak patuh
berobat. Sejumlah 9 responden yang tidak bersedia diperiksa dahak dan patuh berobat, dan 13

44
responden yang tidak bersedia diperiksa dahak yang tidak patuh berobat. Responden yang
bersedia diperiksa dahak 6,458 kali lebih patuh berobat dibanding responden yang tidak bersedia
diperiksa dahak. Uji statistic ini bermakna (P<0.05) artinya terdapat hubungan bermakna antara
kebersediaan diperiksa dahak dengan kepatuhan berobat pada responden.

45

Anda mungkin juga menyukai