Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 latar Belakang


Secara keseluruhan insidens difteri mulai menurun di Amerika, masih
terdapat angka kematian 10%. Faring tetap merupakan daerah paling tersering
untuk infeksi ini. Penyakit lebih sering pada individu yang tidak diimunisasi atau
imunisasi yang tidak adekuat. Individu yang mendapat imunisasi yang adekuat
mendapat tingkat perlindungan dari antitoksin untuk sepuluh tahun atau lebih.
Keluhan awal yang paling sering adalah nyeri tenggorokan. Di samping itu,
pasien mengeluh nausea, muntah dan disfagia. Keadaan imunisasi tidak
mempunyai efek terhadap keluhan yang terjadi.
Pada pemeriksaan menunjukkan membran yang khas terjadi di atas daerah
tonsila dengan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan
berwarna hijau tua dan bahkan dapat menyumbat peradangan tonsila. Perdarahan
terjadi pada pengangkatan membran yang berbeda dengan penyebab faringitis
membranosa lain. Diagnosa biasanya dibuat lebih awal dan penanganan dimulai
segera ketika diketahui bahwa terjadi epidemi difteri. Seringkali terdapat
keterlambatan dalam dianosis pada kasus-kasus sporadik dan epidemi difteri yang
tidak luas.
Organisme penyebab adalah Corynebacterium diphteriae. Sediaan apus
nasofaring dan tonsila diperoleh dan diletakkan dalam medium transport yang
kemudian dibiakan pada agar Mac Conkey atau media Loeffler. Strain yang
diduga kemudian diuji untuk toksigenitas. Penanganan penyakit terdiri dari dua
fase: (1) penggunaan antitoksin spesifik dan (2) eliminasi organisme dari
orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, pasien sebaiknya diuji untuk sensitivitas
terhadap serum. Pasien sebaiknya menerima 40.000 sampai 80.000 unit antitoksin
yang dilarutkan dalam cairan saline normal diberikan secara perlahan melalui
intravena. Terapi antibiotik dalam bentuk penisilin dan eritromisin dimulai dari
untuk menyingkirkan keadaan karier. Biakan ulang sebaiknya dilakukan untuk
memastikan pasien tidak mengandung organisme dalam faring. Menetapnya
organisme membutuhkan pengobatan yang lama dengan eritromisin.

1
BAB II
EMBRIOLOGI, ANATOMI, dan FISIOLOGI TONSIL

2.1 Embriologi
Pada permulaan pertumbuhan tonsil, terjadi invaginasi kantong brakial ke
dinding faring akibat pertumbuhan faring ke lateral. Selanjutnya terbentuk fosa
tonsil pada bagian dorsal kantong tersebut, yang kemudian ditutupi epitel. Bagian
yang mengalami invaginasi akan membagi lagi dalam beberapa bagian, sehingga
terjadi kripta. Kripta tumbuh pada bulan ke 3 6 kehidupan janin, berasal dari
epitel permukaan. Pada bulan ke 3 tumbuh limfosit di dekat epitel tersebut dan
terjadi nodul pada bulan ke 6, yang akhirnya terbentuk jaringan ikat limfoid.
Kapsul dan jaringan ikat lain tumbuh pada bulan ke 5 dan berasal dari mesenkim,
dengan demikian terbentuklah massa jaringan tonsil.

2.2 Anatomi
Cincin waldeyer merupakan jaringan limfoid yang mengelilingi faring.
Bagian terpentingnya adalah tonsil palatina dan tonsil faringeal (adenoid). Unsur
yang lain adalah tonsil lingual, gugus limfoid lateral faring dan kelenjar-kelenjar
limfoid yang tersebar dalam fosa Rosenmuller, di bawah mukosa dinding
posterior faring dan dekat orifisium tuba eustachius.
a. Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval
dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
-Lateral : M. konstriktor faring superior
-Anterior : M. palatoglosus
-Posterior : M. Palatofaringeus
-Superior : Palatum mole
-Inferior : Tonsil lingual

2
Secara mikroskopik tonsil terdiri atas 3 komponen yaitu jaringan ikat,
folikel germinativum (merupakan sel limfoid) dan jaringan interfolikel (terdiri
dari jaringan limfoid).
Fosa Tonsil
Fosa tonsil atau sinus tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas
anterior adalah otot palatoglosus, batas lateral atau dinding luarnya adalah otot
konstriktor faring superior. Pilar anterior mempunyai bentuk seperti kipas pada
rongga mulut, mulai dari palatum mole dan berakhir di sisi lateral lidah. Pilar
posterior adalah otot vertikal yang ke atas mencapai palatum mole, tuba
eustachius dan dasar tengkorak dan ke arah bawah meluas hingga dinding lateral
esofagus, sehingga pada tonsilektomi harus hati-hati agar pilar posterior tidak
terluka. Pilar anterior dan pilar posterior bersatu di bagian atas pada palatum
mole, ke arah bawah terpisah dan masuk ke jaringan di pangkal lidah dan dinding
lateral faring.
Kapsul Tonsil
Bagian permukaan lateral tonsil ditutupi oleh suatu membran jaringan ikat,
yang disebut kapsul. Walaupun para pakar anatomi menyangkal adanya kapsul ini,
tetapi para klinisi menyatakan bahwa kapsul adalah jaringan ikat putih yang
menutupi 4/5 bagian tonsil.
Plika Triangularis
Diantara pangkal lidah dan bagian anterior kutub bawah tonsil terdapat
plika triangularis yang merupakan suatu struktur normal yang telah ada sejak
masa embrio. Serabut ini dapat menjadi penyebab kesukaran saat pengangkatan
tonsil dengan jerat. Komplikasi yang sering terjadi adalah terdapatnya sisa tonsil
atau terpotongnya pangkal lidah.
Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang A. karotis eksterna, yaitu
1) A.maksilaris eksterna (A. fasialis) dengan cabangnya A. tonsilaris dan A.
palatina asenden;
2) A.maksilaris interna dengan cabangnya A. palatina desenden;
3) A. lingualis dengan cabangnya A.lingualis dorsal;

3
4) A. faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh A.
lingualis dorsal dan bagian posterior oleh A. palatina asenden, diantara kedua
daerah tersebut diperdarahi oleh A. tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh
A. faringeal asenden dan A. palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk
pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus
vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah
bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah M.
Sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui
ganglion sfenopalatina dan bagian bawah dari saraf glosofaringeus.
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit, 0,1-
0,2% dari keseluruhan limfosit tubuh pada orang dewasa. Proporsi limfosit B dan
T pada tonsil adalah 50%:50%, sedangkan di darah 55-75%:15-30%. Pada tonsil
terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag,
sel dendrit dan APCs (antigen presenting cells) yang berperan dalam proses
transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobulin
spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu : 1) menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan
efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T
dengan antigen spesifik.

4
b. Tonsil Faringeal (Adenoid)
Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan
limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut
tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau
kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di
bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak di dinding belakang nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke
fosa Rosenmuller dan orifisium tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada
masing-masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal
antara usia 3-7 tahun kemudian akan mengalami regresi. Thane & Cody membagi
pembesaran tonsil dalam ukuran T1-T4 :
-T1 : Tonsil masih terbatas dalam Fossa Tonsilaris
-T2 : Sudah melewati pillar anterior belum melewati garis paramedian (pillar
post)
-T3 : Sudah melewati garis paramedian, belum melewati garis median
-T4 : Sudah melewati garis median

Gambar 1. Anatomi Tonsil

5
C. Fisiologi Tonsil
Pada tonsil terdapat sistim imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel
membran), makrofag, sel dendrit, dan APCs yang berperan dalam transportasi
antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis imunoglobin spesifik. Juga
terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Tonsil
merupakan organ limfotik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan
proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama
yaitu 1)menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai
organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.

6
BAB III
TONSILITIS DIFTERI

3.1 Definisi
Difteri adalah infeksi akut ynag disebabkan oleh Corynebacterium
diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada
kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala
lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.
Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang
menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk,
bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit
merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.

3.2 Epidemiologi
Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun
secara mencolok setelah penggunaan toksoid difteri secara meluas. Umumnya
masih tetap terjadi pada individu-individu yang berusia kurang dari 15 tahun
(yang tidak mendapatkan imunisasi primer). Bagaimanapun, pada setiap epidemi
insidens menurut usia tergantung pada kekebalan individu. Serangan difteri yang
sering terjadi, mendukung konsep bahwa penyakit ini terjadi di kalangan
penduduk miskin ynag tinggal di tempat berdesakan dan memperoleh fasilitas
pelayanan kesehatan terbatas. Kematian umumnya terjadi pada individu yang
belum mendapatkan imunisasi. Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak
berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun
pada orang dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

3.3 Etiologi
Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil
gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk
batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang
mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan

7
mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae
berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.
Penyebab tonsilitis difteri ialah kuman Corynebacterium diphteriae,
kuman yang termasuk Gram positif dan hidup di saluran nafas bagian atas yaitu
hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan
menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah
seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.

3.4 Patofisiologi
Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui
pembuluh limfe dan darah. Toksin ini merupakan suatu protein dengan berat
molekul 62.000 dalton, tidak tahan panas/cahaya, mempunyai 2 fragmen yaitu
fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan
dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin
yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar
fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting
dalam menimbulkan efek toksik pada sel.

8
Reseptor-reseptor toksin diphtheria pada membran sel terkumpul dalam
suatu coated pit dan toksin mengadakan penetrasi dengan cara endositosis. Proses
ini memungkinkan toksin mencapai bagian dalam sel. Selanjutnya endosom yang
mengalami asidifikasi secara alamiah ini dan mengandung toksin memudahkan
toksin untuk melalui membran endosom ke cytosol. Efek toksik pada jaringan
tubuh manusia adalah hambatan pembentukan protein dalam sel.
Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan
fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi
enzim translokase. Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan
sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel
akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons
terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk
bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak,
daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu
membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah
darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel- sel radang,
eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.
Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya
Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit
ke dalam laring atau cabang- cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan
dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung,
saraf dan ginjal. Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas
atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel.
Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi
dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu.
Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin
pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema,
kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila
penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf

9
tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati
bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan
nekrosis tubuler akut pada ginjal.

3.5 Manifestasi Klinis


Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah
terjadi membran putih/keabu-abuan. Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan
menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan
berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler
yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai
batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk
diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan
yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak. Pada difteri sedang
biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun
antitoksin tidak diberikan.

Gambar 2. Tonsilitis Difteri

10
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu :
gejala umum, seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh
biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi
lambat, serta keluhan nyeri menelan.
gejala lokal, yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum molle, uvula, nasofaring, laring, trakea
dan bronkus dan dapat menyumbat saluran nafas. Membran semu ini melekat
erat pada dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai sapi( bull
neck) atau disebut juga Burgermeesters hals.
gejala akibat eksotoksin, yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini akan
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi
miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai saraf kranial
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot pernafasan dan pada
ginjal menimbulkan albuminuria.

3.6 Diagnosis
Diagnosis tonsilitis difteri ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan
pemeriksaan preparat langsung kuman yang diambil dari permukaan bawah
membran semu dan didapatkan kuman Corynebacterum diphteriae. Cara yang
lebih akurat adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique,
namun untuk ini diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C,
diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). Cara Polymerase
Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan diagnosis difteri dengan
cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas.

3.7 Penatalaksanaan

11
Isolasi dan Karantina :
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa
akut terlampaui. Kontak penderita diisolasi sampai tindakan-tindakan berikut
terlaksana :
a. biakan hidung dan tenggorok
b. seyogyanya dilakukan tes Schick (tes kerentanan terhadap diphtheria)
c. diikuti gejala klinis setiap hari sampai masa tunas terlewati.
Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster dengan
toksoid diphtheria.
-Bila kultur (-)/Schick test (-) : bebas isolasi
-Bila kultur (+)/Schick test (-) : pengobatan carrier
-Bila kultur (+)/Schick test (+)/gejala (-) : anti toksin diphtheria + penisilin
-Bila kultur (-)/Shick test (+) : toksoid (imunisasi aktif).

Pengobatan
Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang
belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C.diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati
infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.

1. Umum
Istirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit
yang adekuat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta
dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak
kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut
merupakan indikasi tindakan trakeostomi.

2. Khusus
-Anti Diphteria Serum(ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria.
Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena

12
pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka
harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.
Tes kulit dilakukan dengan penyuntikan 0,1 ml ADS dalam larutan garam
fisiologis 1 : 1000 secara intrakutan. Tes positif bila dalam 20 menit terjadi
indurasi > 10 mm.
Tes konjungtiva dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1 : 10
dalam garam faali. Pada mata yang lain diteteskan garam faali. Tes positif bila
dalam 20 menit tampak gejala konjungtivitis dan lakrimasi.
Bila tes kulit/konjungtiva positif, ADS diberikan dengan cara desensitisasi
(Besredka). Bila tes hipersensitivitas tersebut di atas negatif, ADS harus diberikan
sekaligus secara tetesan intravena. Dosis serum anti diphtheria ditentukan secara
empiris berdasarkan berat penyakit, tidak tergantung pada berat badan penderita,
dan berkisar antara 20.000-120.000 KI.
Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan
200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek
samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2
jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas
lambat (serum sickness).

-Antimikrobal
Bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan
produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari,
bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari

-Koritikosteroid
Kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran
nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

3. Pengobatan Carrier
Carrier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai Reaksi
Schick negatif tetapi mengandung basil diphtheria dalam nasofaringnya.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah penisilin oral atau suntikan, atau

13
eritromisin selama satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan
tonsilektomi/adenoidektomi.

4. Tonsilektomi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi pengangkatan seluruh tonsil
palatina. Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan tonsil palatina dan jaringan
limfoid di nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau tonsil faringeal.

-Indikasi Tonsilektomi
Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat ini.
Dulu tonsilektomi di indikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang. Saat
ini indikasi utama adalah obstruksi saluran napas dan hipertrofi tonsil.
Berdasarkan The American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery
(AAO-HNS) tahun 1995 indikasi tonsilektomi terbagi menjadi :

1. Indikasi absolut
a) Pembesaran tonsil yang menyebabkan sumbatan jalan napas atas, disfagia
berat, gangguan tidur, atau terdapat komplikasi kardiopulmonal
b) Abses peritonsiler yang tidak respon terhadap pengobatan medik dan drainase,
kecuali jika dilakukan fase akut.
c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d) Tonsil yang akan dilakukan biopsi untuk pemeriksaan patologi

2. Indikasi relatif
a) Terjadi 3 kali atau lebih infeksi tonsil pertahun, meskipun tidak diberikan
pengobatan medik yang adekuat
b) Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak ada respon terhadap pengobatan
medik
c) Tonsilitis kronik atau berulang pada pembawa streptokokus yang tidak
membaik dengan pemberian antibiotik kuman resisten terhadap -laktamase.

14
d) Timbul komplikasi berupa Rhinitis dan Sinusitis yang kronis
e) Otitis Media Efusi/Supuratif

3. Kontraindikasi
Terdapat beberapa keadaan yang disebutkan sebagai kontraindikasi,
namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut adalah:
-Gangguan perdarahan
-Risiko anestesi yang besar atau penyakit berat
-Anemia
-Infeksi akut yang berat
-Asma
-Tonus otot yang lemah
-Sinusitis
-Albuminuria
-Hipertensi
-Rinitis alergika
-Demam yang tidak diketahui penyebabnya

4. Teknik operasi
Teknik operasi yang optimal dengan morbiditas yang rendah sampai
sekarang masih menjadi kontroversi, masing-masing teknik memiliki kelebihan
dan kekurangan. Penyembuhan. Pemilihan jenis teknik operasi difokuskan pada
morbiditas seperti nyeri, perdarahan perioperatif dan pasca operatif serta durasi
operasi. Beberapa teknik tonsilektomi dan peralatan baaru ditemukan disamping
teknik tonsilektomi standar. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak
digunakan saat ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.

a. Guillotine
Tonsilektomi guillotine dipakai untuk mengangkat tonsil secara cepat dan
praktis. Tonsil dijepit kemudian pisau guillotine digunakan untuk melepas tonsil
beserta kapsul tonsil dari fosa tonsil. Sering terdapat sisa dari tonsil karena tidak
seluruhnya terangkat atau timbul perdarahan yang hebat.

15
b. Teknik Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan dengan metode diseksi.
Metode pengangkatan tonsil dengan menggunakan skapel dan dilakukan dalam
anestesi. Tonsil digenggam dengan menggunakan klem tonsil dan ditarik kearah
medial, sehingga menyebabkan tonsil menjadi tegang. Dengan menggunakan
sickle knife dilakukan pemotongan mukosa dari pilar tersebut.
c. Teknik elektrokauter
Teknik ini memakai metode membakar seluruh jaringan tonsil disertai
kauterisasi untuk mengontrol perdarahan. Pada bedah listrik transfer energi berupa
radiasi elektromagnetik untuk menghasilkan efek pada jaringan. Frekuensi radio
yang digunakan dalam spektrum elektromagnetik berkisar pada 0,1 hingga 4 Mhz.
Penggunaan gelombang pada frekuensi ini mencegah terjadinya gangguan
konduksi saraf atau jantung.
d. Radiofrekuensi
Pada teknik ini radiofrekuensi elektrode disisipkan langsung kejaringan.
Densitas baru disekitar ujung elektrode cukup tinggi untuk membuka kerusakan
bagian jaringan melalui pembentukan panas. Selama periode 4-6 minggu, daerah
jaringan yang rusak mengecil dan total volume jaringan berkurang.
e. Skapel harmonik
Skalpel harmonik menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan
mengkoagulasi jaringan dengan kerusakan jaringan minimal.
f. Teknik Coblation
Coblation atau cold ablation merupakan suatu modalitas yang untuk
karena dapat memanfaatkan plasma atau molekul sodium yang terionisasi untuk
mengikis jaringan. Mekanisme kerja dari coblation ini adalah menggunakan
energi dari radiofrekuensi bipolar untuk mengubah sodium sebagai media
perantara yang akan membentuk kelompok plasma dan terkumpul disekitar
elektroda. Kelompok plasma tersebut akan mengandung suatu partikel yang
terionisasi dan kandungan plasma dengan partikel yang terionisasi yang akan
memecah ikatan molekul jaringan tonsil. Selain memecah ikatan molekuler pada
jaringan juga menyebabkan disintegrasi molekul pada suhu rendah yaitu 40-70%,
sehingga dapat meminimalkan kerusakan jaringan sekitar.

16
g. Intracapsular partial tonsillectomy
Intracapsular tonsilektomi merupakan tensilektomi parsial yang dilakukan
dengan menggunakan microdebrider endoskopi. Microdebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan tonsilektomi, namun tidak ada alat lain
yang dapat menyamai ketepatan dan ketelitian alat ini dalam membersihkan
jaringan tonsil tanpa melukai kapsulnya.
h. Laser (CO2-KTP)
Laser tonsil ablation (LTA) menggunakan CO2 atau KTP (Potassium
Titanyl Phosphat) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil. Teknik ini
mengurangi volume tonsil dan menghilangkan recesses pada tonsil yang
menyebabkan infeksi kronik dan rekuren.

5. Komplikasi
Tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi lokal
maupun umum, sehingga komplikasi yang ditimbulkan merupakan gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
Komplikasi Anestesi
Komplikasi anestesi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Komplikasi yang dapat ditemukan berupa :
Laringospasme
Gelisah pasca operasi
Mual muntah
Kematian saat induksi pada pasien dengan hipovolemi
Induksi intravena dengan pentotal bisa menyebabkan hipotensi dan henti jantung
Hipersensitif terhadap obat anestesi.

Komplikasi Bedah
a) Perdarahan
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1 % dari jumlah kasus).
Perdarahan dapat terjadi selama operasi,segera sesudah operasi atau dirumah.
Kematian akibat perdarahan terjadi pada 1 : 35. 000 pasien. sebanyak 1 dari 100

17
pasien kembali karena perdarahan dan dalam jumlah yang sama membutuhkan
transfusi darah.
b) Nyeri
Nyeri pasca operasi muncul karena kerusakan mukosa dan serabut saraf
glosofaringeus atau vagal, inflamasi dan spasme otot faringeus yang
menyebabkan iskemia dan siklus nyeri berlanjut sampai otot diliputi kembali oleh
mukosa, biasanya 14-21 hari setelah operasi.
c) Komplikasi lain
Dehidrasi, demam, kesulitan bernapas, gangguan terhadap suara
(1:10.000), aspirasi, otalgia, pembengkakan uvula, insufisiensi velopharingeal,
stenosis faring, lesi dibibir, lidah, gigi dan pneumonia. Laringitis difteri dapat
berlangsung cepat, membran semu menjalar ke laring dan menyebabkan gejala
sumbatan. Makin muda pasien makin cepat timbul komplikasi ini.
Miokarditis dapat mengakibatkan payah jantung atau dekompensatio
kordis. Kelumpuhan otot palatum molle, otot mata untuk akomodasi, otot faring
serta otot laring sehingga menimbulkan kesulitan menelan, suara parau dan
kelumpuhan otot- otot pernafasan. Albuminuria sebagai akibat dari komplikasi ke
ginjal.

18
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, GL. Penyakit-penyakit Nasfaring dan Orofaring. Dalam : BOIES
Buku Ajar Penyakit THT (Fundamentals of Otolaryngology), edisi enam. EGC
: Jakarta. 1997.

2. Soepardi E., Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke


lima Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004.

3. American academy of otolaryngology head and neck dissection. Lesspain and


quicker recovery with coblation assisted tonsillectomy. avaible from:
http://www. medicalnewstoday.com/medic alnews. php?newsid=13677.

4. Ballenger JJ. Anatomi bedah tonsil. Dalam: Ballenger JJ, ed. Penyakit
telinga,hidung,tenggorok,kepala dan leher Edisi 13. Jakarta,Binarupa aksara
1994: p321.

5. Drake A. Tonsillectomy. avaible from: http://www. emedicine.


com/ent/topic315.htm/emed tonsilektomi.

6. Kornblut A,Kornblut AD. Tonsillectomy and adenoidectomy. In:


Paparella,Gluckman S,Mayerhoff, eds. Otolaryngology head and neck surgery.
Philadelphia, WB Saunders 3rd edition,1991:2149-56.

7. Http:/www. etnet. org/Kids ENT/tonsil procedures. Efm.

8. Mathews J, Lancaster J, Sherman I, Sullivan GO. Historical article guillotine


tonsillectomy: a glimpse into its history and current status in the United
Kingdom. The Journal of Laryngology and Otology 2002;116:988-91.

9. Darrow DH, Siemens C. Indications for tonsillectomy and adenoidectomy.


Laryngoscope 2002;112:6-10

19

Anda mungkin juga menyukai