Anda di halaman 1dari 3

Ladu, Alam Kemanusiaan dan Romantisme

Agus Alfinanda

SEBUAH novel berjudul Ladu telah dilaunching di sebuah cafe jalan Rajawali, Pekanbaru,
akhir Mei lalu. Green Radio media informasi yang fokus mengabarkan tentang lingkungan
sebagai penanggungjawab peluncuran novel tersebut. Novel ini juga telah dilaunching
dibeberapa tempat di Jakarta hingga Bogor.

Ladu dikenal dalam bahasa Jawa. Maknanya, endapan tanah merah. Seperti partikel Tuhan, ia
pembentuk zat yang hidup dan tak hidup. Puitisnya, Ladu adalah awal dan akhir sekaligus.

Penulisnya Tosca Santoso. Ini adalah novel keduanya setelah Sarongge yang juga pernah
diluncurkan di Pekanbaru. Keduanya bercerita tentang alam, kehidupan dan romantisme.
Namun, Ladu mengambil background cerita dari perjalanan mendaki gunung.

Yanis dan Sunarti merupakan sepasang manusia yang menjadi tokoh dalam novel kali ini.
Perjumpaan awal mereka pertama kali terjadi di Kaliadem, sebuah perkampungan dekat
lereng gunung merapi.

Suasana kedatangan mereka untuk yang kedua kalinya sudah jauh berbeda. Kerucut merapi
tidak lagi berbentuk sempurna akibat muntahan cairan magma yang baru saja reda dan
menenggelamkan pemukiman. Kini, persis tempat mereka berdiri adalah sebuah
perkampungan yang dulunya menjadi tempat persinggahan.

Dari sini mereka memulai petualangan dari gunung ke gunung. Dari Kaliadem, Liangan,
Pelataran Dieng, Gede Pangrango, Kelud, Rinjani, Tambora hingga Lore Lindu. Mereka
bermalam disetiap gunung yang disinggahi. Kopi asli yang diperoleh dari penduduk setempat
menemani malam mereka.

Dari tiap lereng gunung yang mereka datangi mengalir banyak cerita. Cara masyarakat
bertahan dan bergantung hidup dikaki gunung serta memahami tanda-tanda alam, menjadi
sebuah pelajaran tersendiri bagi kedua insan ini.

Masyarakat tidak hanya semata mengambil hasil alam, tetapi juga menjaganya dan berdoa
selalu agar

diberi keberuntungan dari sertiap peristiwa yang terjadi.

Segala macam ritual dan adat istiadat masih kental dilakukan oleh masyarakat. Ini semua
demi menjalin kehidupan damai dengan alam, dan menghormati leluhur terdahulu. Tak
jarang, Yanis dan Sunarti menerawang kembali sebuah peradaban yang dulunya pernah
berjaya.

Ladu tidak hanya bercerita tentang letusan gunung dan hilangnya sebuah pemukiman dan
kesuburan tanah. Malam-malam Yanis dan Sunarti dilereng gunung diisi dengan persoalan
kemanusiaan, cinta, keyakinan dan keabadian. Dua hal ini menjadi perdebatan tersendiri
antara mereka.

Meski memiliki keyakinan yang berbeda terhadap ciptaan Tuhan, mereka tidak semata
menghujat keyakinan orang kebanyakan. Bagi mereka, keyakinan yang dianut adalah pilihan
setiap insan. Adalah tanggungjawab insan tersebut dengan penciptanya atas keyakinan yang
dipilih.

Mereka juga memprotes orang yang melakukan tindakan kekerasan hanya karena keyakinan
yang dianut.

Beginilah hari-hari perjalanan mereka. Penuh dengan pertanyaan dalam hati. Mereka hanya
bisa berdiskusi dan mencurahkannya satu sama lain. Menghabiskan waktu bersama dilereng
gunung. Memahami tiap perisitwa yang terjadi dan mencari tahu kehidupan sosial
masyarakat. Jarang keduanya pulang ke rumah.

Yanis adalah seorang pemuda dari wilayah timur Indonesia. Sedangkan Sunarti perempuan
Jawa berkerudung yang dulunya taat beribadah.

Disatu kesempatan mengunjungi gunung di Pulau Jawa, Sunarti menyempatkan pulang ke


rumah bersama Yanis. Ibunya yang sudah lama tak berjumpa merasa senang dan seketika
murung saat melihat anaknya. Perubahan telah terjadi pada diri Sunarti. Ia telah keluar dari
keyakinannya.

Kesedihan bahkan semakin mendera hati perempuan tersebut. Sunarti mengabarkan bahwa ia
telah menikah dengan Yanis. Pernikahan ini tanpa sepengetahuan orangtuanya. Bahkan
orangtua Yanis pun tidak mengetahuinya. Mereka menikah di Pager Jurang.

Meski begitu, ibu Sunarti tidak bisa menghalangi keinginan anaknya. Ia hanya berdoa agar
anaknya selalu diberi perlindungan dan keselamatan, yang tentunya dibukakan kembali jalan
hidup yang semula.

Cerita diatas hanya sepenggelan peristiwa dalam novel. Jika dibaca lebih jauh, banyak
pelajaran yang dapat dimaknai. Terutama bagaimana hidup damai dengan alam, menghargai
dan menjaganya. Sisi kemanusiaan yang ditampilkan dalam cerita ini juga dapat menjadi
renungan. Cinta dan romantisme hanyalah sebagai jalan tengah dalam alur cerita.
Tak ketinggalan, sebagai penikmat kopi, berbagai macam jenis bubuk hitam khas nusantara
ini juga diperkenalkan oleh Tosca Santoso.

Judul : Ladu

Penulis : Tosca Santoso

Tebal : v + 322 halaman


Terbit : 2016
Penerbit : Kaliandra

Anda mungkin juga menyukai