Anda di halaman 1dari 21

EPILEPSI GENERAL

Nirmalasari, Happy Handaruwati

A. Pendahuluan
Epilepsi adalah suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan (seizure) berulang

sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara intermiten, yang disebabkan

oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron-neuron secara

paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.

Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinik dari bangkitan

serupa (stereotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara dengan atau tanpa

perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di

otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked).

Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi yang

terjadi secara bersama-sama, yang berhubungan dengan etiologi, umur, onset, jenis

bangkitan, faktor pencetus, dan kronisitas.

Epilepsi general merupakan salah satu tipe epilepsi yang melibatkan kedua

hemisfer serebral, dapat berupa primary generalized seizure maupun diawali partial

seizure yang kemudian meluas menjadi secondary generalized seizure.

B. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara berkembang.

Diperkirakan prevalensinya antara 0.5-4%. Rata-rata prevalensi epilepsi 8.2 per 1.000
penduduk. Sedangkan insiden epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70 kasus

per 100.000 penduduk. 1

Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi (usia < 15 tahun),

menurun pada dewasa muda dan usia pertengahan, kemudian meningkat lagi pada

kelompok usia lanjut (usia > 60 tahun). 3

A. Etiologi

Etiologi epilepsi dibedakan menjadi tiga yaitu simtomatik, idiopatik, dan

kriptogenik. Pada etiologi simtomatik, bangkitan epilepsi dapat disebabkan oleh lesi

struktural di otak (fokus epileptogenik) misalnya scar, tumor, dan malformasi

kongenital, dapat juga disebabkan oleh kelainan metabolik seperti hipoglikemia, atau

disebabkan oleh pengaruh racun seperti alkohol. Sebaliknya, untuk etiologi idiopatik,

penyebab epileptic seizures tidak diketahui, tetapi umumnya melibatkan predisposisi

genetik tanpa disertai lesi struktural. Sedangkan pada etiologi kriptogenik, epileptic

seizures dianggap simtomatik, meskipun penyebabnya belum diketahui misalnya

West syndrome dan Lennox Gastaut syndrome. 3

B. Patofisiologi

Otak terdiri dari sekian milyar sel neuron yang satu dengan lainnya saling

berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik dengan
bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter. Dalam keadaan

normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila

mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron menjadi kacau karena adanya

breaking system pada otak terganggu, maka neuron-neuron akan bereaksi secara

abnormal.

Neurotransmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah

Glutamat, yang merupakan brains excitatory neurotransmitter, dan GABA (Gamma

Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brains inhibitory neurotransmitter.

Golongan neurotransmiter lain yang bersifat eksitatorik adalah aspartat dan

asetil kolin, sedangkan yang bersifat inhibitorik lainnya adalah noradrenalin,

dopamine, serotonin (5-HT) dan peptida. Neurotransmiter ini hubungannya dengan

epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.

Bangkitan epilepsi apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi impuls

di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apa yang

disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok

kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh

neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut

terkena vdalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan

manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi.

Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:


1. Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang

optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan,

disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata

memang mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus

oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post

sinaptik.

Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan

impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat normal tapi

sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh

meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan

peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.

Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk

mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling terkait :

1. Perlu adanya pacemaker cells yaitu kemampuan intrinsic dari sel untuk

menimbulkan bangkitan.
2. Hilangnya postsynaptic inhibitory control sel neuron.
3. Perlunya sinkronisasi dari epileptic discharge yang timbul.

Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal,

bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai fokus epileptogenesis

(fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron


akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu

sesaat menimbulkan serangan kejang.

Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma

otak, stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat

terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan

menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hipertermia, hipoksia,

hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain-lain.

Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari

fokus epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer sebelahnya,

subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama-sama dan

serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya

eksitasi selesai dimulailah proses inhibisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia

basalis yang secara intermiten menghambat discharge epileptiknya. Pada gambaran

EEG dapat terlihat sebagai perubahan dari polyspike menjadi spike and wave yang

makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya

serangan sebagai akibat terjadinya kelelahan neuronal. (karena kehabisan glukosa dan

tertimbunnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi bisa terhenti tanpa

terjadinya kelelahan neuronal.


Pada keadaan tertentu (hipoglikemia otak, hipoksia otak, asidosis

metabolik) depolarisasi impuls dapat berlanjut terus sehingga menimbulkan aktivitas

serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus. 4

C. Pembagian/ klasifikasi

Klasifikasi yang ditetapkan oleh International League Againts Epilepsy

(ILAE) terdiri dari dua jenis klasifikasi, yaitu klasifikasi untuk jenis bangkitan

epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.

Klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):

1. Serangan parsial

a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)

1. Dengan gejala motorik.

2. Dengan gejala sensorik.


3. Dengan gejala otonom.

4 .Dengan gejala psikis.

b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)

1. Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.


2. Gangguan kesadaran saat awal serangan.

c. Serangan umum sederhana

1. Parsial sederhana menjadi tonik-klonik.

2. Parsial kompleks menjadi tonik-klonik.

3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik.

2. Serangan umum

a. Absans (Lena).
b. Mioklonik.
c. Klonik.
d. Tonik.
e. Atonik (Astatik).
f. Tonik-klonik.

3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang

lengkap).

Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para

klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu:

1. Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang

terlokalisir di otak.

2. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih

luas pada kedua belahan otak. 5


Klasifikasi berdasarkan sindroma epilepsi adalah :

1.Berdasarkan letak lokasi kelainan

A. Idiopatik (primer)

1. Epilepsi Benigna dengan gelombang di daerah sentrotemporal (childhood

epilepsy with centro temporal spike).

2. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal di daerah oksipital.


3. Epilepsi membaca primer (primary reading epilepsi).

B. Simptomatik (sekunder)

1. Epilepsi partial kontinua yang kronik pada anak-anak (Kojenikows

Syndrome).
2. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan

(kurang tidur, alcohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsi refleks,

stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca).

3. Lobus temporalis.
4. Lobus frontalis.
5. Lobus parietalis.
6. Lobus oksipitalis.
2. Epilepsi Umum dan berbagai sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan

peningkatan usia.

A. Idiopatik (primer)

1. Kejang neonatus familial benigna.


2. Kejang neonatus benigna.
3. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi.
4. Epilepsi Absans pada anak.
5. Epilepsi Absans pada remaja.
6. Epilepsi mioklonik pada remaja.
7. Epilepsi dengan bangkitan tonik-klonik pada saat terjaga.
8. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di atas.
9. Epilepsi tonik-klonik yang di presipitasi dengan aktivitas tertentu.

B. Kriptogenik atau simptomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia.

1. Sindroma West (spasmus infantil).


2. Sindroma Lennox Gastaut.
3. Epilepsi mioklonik astatik.
4. Epilepsi lena mioklonik.

C. Simtomatik

1. Etiologi non spesifik: Ensefalopati mioklonik dini, Ensefalopati pada infantile

dini dengan burst suppression, dan epilepsi simtomatik umum lainnya yang

tidak termasuk di atas.


2. Sindrom spesifik: bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain.
3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum.

A. Bangkitan umum dan fokal.

1. Bangkitan neonatal.
2. Epilepsi mioklonik berat pada bayi.
3. Epilepsi dengan gelombang paku (spike wave) kontinyu selama tidur dalam.
4. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-kleffner).
5. Epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang di atas.

B. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.

4.Sindrom khusus bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu.

a. Kejang demam.
b. Bangkitan kejang / status epileptikus yang timbul hanya sekali (isolated).
c. Bangkitan yang hanya terjadi jika terdapat kejadian metabolik akut, atau

toksis, alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemia non ketotik.


d. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi reflektorik). 1

A. Tanda dan gejala klinis epilepsi general


1. Bangkitan Umum Lena (Absance)

a. Gangguan kesadaran mendadak (absence) berlangsung beberapa detik.


b. Selama bangkitan, kegiatan motoric terhenti dan pasien diam tanpa reaksi.
c. Mata memandang jauh kedepan.
d. Mungkin terdapat automatisme.
e. Pemulihan kesadaran segera terjadi tanpa perasaan bingung.
f. Sesudah itu pasien melanjutkan aktivitas semula.

2. Bangkitan Umum Mioklonik


a. Kontraksi singkat sekelompok/beberapa kelompok otot, kedua sisi tubuh.

Merupakan tanda discharge di kortikal.


b. Dapat berupa kontraksi tunggal atau berulang, yang bersifat ringan atau berat.
c. Pemulihan cepat dan segera sadar
d. Diinduksi oleh gerakan, suara, kejutan, stimulasi fotik, ketukan.
e. Gangguan Belajar: Juvenil Myoclonic epilepsy, Lennox-Gastaut syndrome. 2
f. Bangkitan Umum Klonik
g. Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya berupa gerakan jerking ritmik, tanpa

konfus/kelelahan setelah serangan.

3. Bangkitan Umum Tonik


a. Kontraksi otot tonik (kaku), terjadi secara mendadak, diikuti kesadaran yang

menurun. Terjadi sekitar 20-60 detik, sering saat tidur. (abduksi bahu dan

elevasi lengan).
b. Disertai jeritan dan Apneu.
c. Kerusakan otak menyeluruh dan Gangguan belajar.

4. Bangkitan Umum Tonik Klonik

b. Dapat didahului prodromal seperti jeritan, sentakan, mioklonik.


c. Pasien kehilangan kesadaran (jatuh) dengan epileptic cry*, kaku (fase tonik)

selama 10-30 detik, ekstensi aksial, bola mata ke atas, rahang mengatup kuat,

badan kaku (adduksi dan ekstensi), tangan mengepal, sianosis. Diikuti

gerakan kejang pada kedua lengan dan tungkai serta otot rahang dan wajah

(fase klonik) selama 30-60 detik, dapat disertai mulut berbusa terkadang

berdarah. Gerakan klonik makin menurun dalam frekuensi.


d. Gejala autonom, muka merah, tensi, nadi, hipersalivasi, ngompol
e. Selesai bangkitan pasien menjadi lemas (fase flaksid) dan tampak bingung.
f. Pasien sering tidur setelah bangkitan selesai.
5. Bangkitan Umum Atonik
a. Pasien kehilangan kekuatan/tonus otot secara mendadak. Pasien mengalami

Classic drop attack (Astatic Seizure) yaitu kolaps atau jatuh.

b. Kedua kelopak mata turun, kepala terangguk, badan terkulai, dan jatuh

ketanah sehingga menyebabkan terjadinya injuri.


c. Terjadi selama 15 detik dan segera pulih.
d. Kerusakan otak luas, gangguan belajar, Epilepsi Simptomatik berat.
6. Bangkitan Umum Sekunder

a. Berkembang dari bangkitan partial sederhana atau kompleks yang dalam waktu

singkat menjadi bangkitan umum.


b. Bangkitan partial dapat berupa aura
c. Bangkitan umum yang terjadi biasanya bersifat kejang tonik-klonik.
D. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu mencari adanya tanda-tanda dari

gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga

atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan

alkohol atau obat terlarang, kanker, dan penyakit sistemik lainnya. Pemeriksaan fisik

yang sangat hati-hati pada daerah kulit dapat menemukan tanda-tanda penyakit

neurokutaneous, seperti sklerosis atau neurofibromatosis, atau penyakit liver atau

penyakit ginjal yang kronis. Penemuan organomegali mengindikasikan penyakit

metabolik, dan asimetris tungkai dapat memberikan tanda terhadap cedera otak pada

awal perkembangan. Auskultasi pada jantung dan arteri karotis, dapat

mengidentifikasikan abnormalitas yang memberikan predisposisi terhadap penyakit

kardiovaskular.
Semua pasien memerlukan pemeriksaan neurologi yang lengkap, dengan

pendekatan pada tanda-tanda penyakit hemisfer serebral. Pemeriksaan yang teliti

pada status mental (termasuk memori, fungsi bahasa, dan berfikir abstrak) dapat

menunjukkan lesi pada lobus anterior frontal, parietal, atau temporal. Dengan

menguji lapangan pandang, akan membantu mencari lesi pada jalur optikus dan lobus

oksipital. Tes skrining pada fungsi motor seperti pronator drift, deep tendon reexes,

gait, dan koordinasi dapat menunjukkan lesi pada motor korteks, dan uji sensoris

kortikal dapar mendeteksi lesi pada lobus parietal.

E. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjanhg dilakukan sesuai dengan indikasi dan bila

memungkinkan. Beberapa pemeriksaan penunjang untuk epilepsi general adalah

sebagai berikut.

1. Pemeriksaan Elektro-Ensefalografi (EEG)

Rekaman EEG sebaiknya dilakukan saat bangun tidur dengan stimulasi fotik,

hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai pencetus bangkitan. Kelainan epileptiform

EEG interiktal (di luar bangkitan) pada orang dewasa dapat ditemukan sebesar 29-

38%. Pada pemeriksaan ulang gambaran epileptiform dapat meningkat menjadi 59-

77%.
Bila EEG pertama normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat tinggi,

maka dapt dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam setelah bangkitan atau dilakukan

dengan persyaratan khusus, misalnya kurangi tidur (sleep deprivation), atau dengan

menghentikan obat anti-epilepsi.

Indikasi pemeriksaan EEG:

a. Membantu menegakkan diagnosis epilepsi,


b. Menentukan prognosis pada kasus tertentu,
c. Pertimbangan dalam penghentian OAE,
d. Membantu menentukan letak fokus
e. Bila ada perubahan bentuk bangkitan dari bangkitan sebelumnya.

Pada bangkitan absence tipikal gambaran EEG tampak general, simetris, 3-Hz

spike-and-wave discharges, yang muncul dan berakhir secara tiba-tiba, bertumpukan

dengan latar belakang EEG normal. Periode spike-and-wave discharges berlangsung

lebih dari beberapa detik dan berkorelasi dengan tanda-tanda klinis. Hiperventilasi

cenderung menimbulkan electrographic discharges tersebut dan bangkitan itu sendiri.

Hal ini rutin dilakukan saat merekam EEG.

Bangkitan absence atipikal memberikan gambaran EEG yang tampak general,

pola spike-and-wave yang pelan dengan frekuensi 2.5/ detik.

Gambaran EEG pada bangkitan tonik menunjukkan peningkatan aktivitas

cepat voltase rendah yang general secara progresif, diikuti amplitudo tinggi yang

general, dan polyspike discharges.


Pada bangkitan klonik, aktivitas tinggi amplitude secara tipikal terganggu oleh

gelombang lambat untuk menciptakan pola spike-and-wave. Gambaran EEG post

iktal menunjukkan perlambatan yang meluas yang secara bertahap mengalami

recovery dan pasien menjadi sadar.

Bangkitan tonik klonik pada periode interiktal, gambaran EEG menunjukkan

gambaran sinkronisasi tipikal, generalized spikes and waves pada setiap elektroda.

Bangkitan atonik memiliki gambaran EEG yang jelas, generalized spike-and-

wave discharges, diikuti segera oleh gelombang lambat yang luas yang berkorelasi

dengan hilangnya tonus otot.

Sedangkan pada bangkitan mioklonik, EEG menunjukkan spike-and-wave

discharges yang mengalami sinkronisasi secara bilateral.

Pemeriksaan pencitraan otak (brain imaging)

Indikasi dilakukan pemeriksaan ini adalah:

a. Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan structural.


b. Adanya perubahan bentuk bangkitan.
c. Terdapat deficit neurologic fokal.
d. Epilepsi dengan bangkitan partial.
f. Bangkitan pertama diatas usia 25 tahun.
g. Untuk persiapan tindakan pembedahan epilepsi.

MRI merupakan prosedur pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dibanding CT Scan. MRI dapat mendeteksi
sclerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor, dan hemangioma cavernosa.

Pemeriksaan MRI diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan

terapi pembedahan. 6

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah

dan cairan serebrospinal. Komponen darah yang diperiksa adalah hemoglobin,

leukosit, hematkrit, trombosit, hapusan darah tepi, serum elektrolit (natrium, kalsium,

magnesium), kadar gula, fungsi hepar (SGOT, SGPT, gamma GT, alkali

fosfatase), ureum, kreatinin, dan lainnya atas indikasi. Untuk pemeriksaan cairan

serebrospinal dilakukan jika dicurigai ada infeski pada sistem saraf pusat. Selain itu

dapat dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan lain atas indikasi, misalnya ada kelainan

metabolic bawaan.

F. Diagnosis

Pada dasarnya, diagnosis semua jenis epilepsi ditegakkan melalui:

1. Anamnesis, ditujukan terutama untuk mencari penyebab yang mendasari.

Beberapa hal pada anamnesis yang perlu digali adalah: pola/bentuk bangkitan,

durasi bangkitan, gejala sebelum, selama, dan sesudah bangkitan, frekuensi


bangkitan, faktor pencetus, penyakit saat ini, usia saat bangkitan pertama, riwayat

selama dalam kandungan sampai perkembangan anak, riwayat terapi epilepsi, dan

riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga.


2. Pemeriksaan fisik, sesuai dengan gejala klinis dan penyebabnya, seperti yang

sudah dijelaskan sebelumnya.


3. Pemeriksaan tambahan yaitu EEG, brain imaging, laboratorium, dan EKG.

Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu

a. Langkah pertama, memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksismal

menunjukkan bangkitan epilepsi atau bukan epilepsi.


b. Langkah kedua, apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukan

bangkitan yang ada termasuk jenis bangkitan yang mana.


c. Langkah ketiga, tentukan etiologi, sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh

bangkitan, atau epilepsi apa yang di derita oleh pasien.

Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam

bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimal 2 kali) yang ditunjang oleh gambaran

epileptiform pada EEG.

G. Diagnosa banding
Pseudoseizure
Sinkope

H. Terapi
Tujuan utama terapi pada epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal

untuk pasien sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun

mental yang dimilikinya. diperlukan beberapa upaya untuk mencapai tujuan tersebut,

antara lain dengan menghentikan bangkitan, mengurangi frekuensi bangkitan tanpa

efek samping/dengan efek samping yang minimal, menurunkan angka kesakitan dan

kematian.

Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan obat anti epilespsi (OAE)

pilihan sesuai dengan jenis bangkitan dan jenis sindrom epilepsi. Obat diberikan

mulai dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul

efek samping.

Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol

bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi,

maka OAE pertama diturunkan bertahap (tapering off) perlahan-lahan. Penambahan

OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapt diatasi dengan

menggunakan dosis maksimal kedua OAE pertama. 1

Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat

dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien. Pada anak-anak penghentian OAE

secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas bangkitan, sedangkan

pada dewasa diperlukan waktu yang lebih lama yaitu 5 tahun. 3


Tabel 1. Pemilihan OAE pada pasien berdasarkan bentuk bangkitan.

Tipe bangkitan OAE lini pertama OAE lini kedua OAE lini ketiga
umum (tambahan) (tambahan)

1. Absence Sodium Valproate Ethosuximide Levetiracetam

Lamotrigine Zonisamide

2. Mioklonik Sodium Valproate Topiramate lamotrigine

Levetiracetam CLobazam

Zonisamide Carbamazepine

Phenobarbital

3. Tonik Sodium Valproate Lamotrigine Topiramate


klonik
Carbamazepine Oxcarbazepine Levetiracetam

Phenitoin Zonisamide

Phenobarbital Primidone

4. Atonik Sodium valproate Lamotrigine Felbamate

Topiramate

I. Prognosis

Prognosis epilepsi bergantung pada beberapa hal, di antaranya jenis epilepsi,

faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada umumnya

prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi, serangan

dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50 % pada suatu waktu akan dapat

berhenti minum obat. Serangan epilepsi primer, baik yang bersifat kejang umum
maupun serangan lena atau melamun atau absence mempunyai prognosis terbaik.

Sebaliknya epilepsi yang serangan pertamanya mulai pada usia 3 tahun atau yang

disertai kelainan neurologik dan atau retardasi mental mempunyai prognosis yang

umumnya jelek.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ahmed Z, Spencer S.S. 2004 : An Apporoach to the Evalution of a patient for

Seizures and Epileps. Wisconsi Medical Journal


2. Bowman J, Dudek E (2001) : Epilepsy. Introductory article Encyclopedia of Life

Sciences.
3. Thomas S. 2009. Idiopathic Generalised Epilepsi. Michael Medical Journal.
4. Henry M, Thomas R. 2012. Seizures and Epilepsy : Pathophysiologi and

Principles of Diagnosis. Epilepsi Board Review Manual.


5. Harsono. 2001 : Epilepsi. Edisi 1, Gajah Mada University press, Yogyakarta.
6. Edward H, Reymond. 2005 Epilepsy : The Disorder. Epilepsy Atlas WHO
7. Stefan H. 2003. Differential Diagnosis of Epileptic Seizure and Non Epileptic

attacks, Teaching Course : Epilepsy 7th Conggres of the Neuropean Federation of

Neurological Societies, Helsinki


8. Sisodiya S.M, Duncan J. 2000 : Epilepsi, Clinical Assesment, Investigation and

Natural History, Medicine International.


9. Mumenthaler M. 2006. Fundamentals of Neurology.

Anda mungkin juga menyukai