Anda di halaman 1dari 7

BAB 6

PEMBAHASAN

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik

dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin,

kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes

berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan

beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, jantung, saraf, dan pembuluh darah

(Purnamasari, 2014).

6.1 Deskripsi Data Umum Karakteristik Responden

Sesuai dengan hasil penelitian dari data rekam medis pasien DM tipe 2

RSUD Dr. Saiful Anwar Malang periode 1 januari 2014 31 Desember 2014

didapatkan jenis kelamin perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini

dikaitkan dengan teori bahwa perempuan lebih berisiko mengidap diabetes karena

secara fisik perempuan memiliki peluang untuk terjadi peningkatan indeks massa

tubuh (IMT) yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan (premenstrual syndrome),

pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak tubuh menjadi mudah

terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga perempuan lebih berisiko

untuk menderita diabetes melitus tipe 2 (Irawan, 2010).

Penelitian ini, didapatkan pasien DM tipe 2 terbanyak pada berusia > 60

tahun. Menurut Sudoyo (2014) seiring dengan pertambahan usia, lansia

mengalami kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi.

Selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah khusus yang memerlukan

perhatian antara lain lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun

mikrovaskular dari DM. Umur memang sangat erat kaitanya dengan terjadinya

51
52

kenaikan konsentrasi glukosa darah, sehingga pada golongan umur yang makin

tua prevalensi gangguan toleransi akan meningkat dan berdampak berbagai

komplikasi yang terjadi pada diabetes melitus.

Penelitian yang telah dilakukan oleh Kurniawan (2010) bahwa timbulnya

resistensi insulin pada lansia dapat disebabkan oleh 4 faktor perubahan komposisi

tubuh: massa otot lebih sedikit dan jaringan lemak lebih banyak, menurunnya

aktivitas fisik sehingga terjadi penurunan jumlah reseptor insulin yang siap

berikatan dengan insulin, perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat

akibat berkurangnya jumlah gigi sehingga, perubahan neurohormonal (terutama

insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dan dehidroepiandosteron (DHEAS) plasma)

sehingga terjadi penurunan ambilan glukosa akibat menurunnya sensitivitas

reseptor insulin dan aksi insulin sehingga mengakibatkan resiko meningkatnya

diabetes di usia lansia.

6.2 Deskripsi HbA1c pada Pasien DM Tipe 2

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa pasien terbanyak pada

diabetes melitus tipe 2 yang datang ke poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Saiful

Anwar Kota Malang dengan kadar HbA1c yang buruk. Hal ini mengindikasikan

bahwa pasien DM tipe 2 yang datang ke poli Penyakit Dalam RSUD Dr. Saiful

Anwar Kota Malang tersebut cenderung tidak dapat pola makan dan hidup sehat

sehingga menyebabkan kadar gula mereka menjadi tidak terkontrol sehingga

ketika dilakukan cek HbA1c akan cenderung meningkat. Kadar HbA1c

menunjukkan jumlah hemoglobin yang terglikasi akibat paparan glukosa serum

dalam jangka lama. Kadar HbA1c yang tinggi menandakan kondisi hiperglikemia

yang tidak terkendali selama 3 bulan yang lalu (Niazi et al., 2010).
53

Efek kontrol gula darah ini berhubungan dengan komplikasi DM yang

terjadi. Kontrol HbA1c yang baik (<7%) pada pasien DM dapat menurunkan

progresifitas komplikasi yang terjadi (Maa, 2010). Padahal menurut PERKENI

(2011), kadar gula darah merupakan salah satu faktor yang harus dikendalikan

supaya tidak terjadi komplikasi yang diakibatkan oleh peningkatan gula darah

kronik.

6.3 Deskripsi Umur, HbA1c dan Retinopati Diabetik pada Pasien DM Tipe 2

Hasil penelitian ini menandakan bahwa semakin bertambahnya usia pasien

diabetes maka semakin banyak pasien dengan kadar HbA1c tinggi dan semakin

banyak pula pasien dengan komplikasi retinopati diabetik. Beberapa penelitian

melaporkan prevalensi DR mengalami peningkatan dengan bertambahnya umur

(Sulaiman, 2010). Pertambahan umur dapat menurunkan fungsi tubuh yang

disebabkan oleh karena proses apoptosis sel yang dimulai pada umur lebih dari 45

tahun. Peningkatan kadar HbA1c > 8% mengindikasikan diabetes mellitus yang

tidak terkendali, dan pasien berisiko tinggi mengalami komplikasi jangka panjang,

seperti nefropati, retinopati, neuropati, atau kardiopati ( Zheng, et al., 2012).

Keadaan hiperglikemia yang kronis, reaksi inflamasi dan stress oksidatif

mempercepat terjadinya apoptosis sel di retina sehingga mengakibatkan terjadinya

keadaan retinopati. Kedua hal tersebut menjelaskan mengapa orang tua lebih

rentan terhadap kejadian DR yang akhirnya ditemukan meningkat dengan

bertambahnya usia (Kowluru, et al., 2010).

6.4 Hubungan kadar HbA1c terhadap Retinopati Diabetik pada pasien DM tipe 2
54

Hasil analisis data pada bab sebelumnya diketahui bahwa pasien yang

menderita komplikasi retinopati diabetik dengan kadar HbA1c 7% lebih banyak

daripada kadar HbA1c < 7%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah

dilakukan oleh Stratton (2001), penurunan komplikasi DM akan terlihat bila kadar

HbA1c dibawah 6,5%. Selanjutnya, pada penderita retinopati diabetik yang

kontrol gula darahnya kurang memadai, akan mempengaruhi perkembangan

retinopatinya yang berlangsung lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang

kadar gula darahnya terkontrol dengan baik.

Selain itu HbA1c merupakan suatu faktor penting yang berpengaruh

terhadap derajat berat retinopati diabetika. Hal ini disebabkan karena HbA1c

merupakan suatu petanda untuk mengetahui kontrol kadar glukosa darah

penderita, yaitu mencerminkan rata-rata kadar glukosa darah sehari hari

(Davidson, 2002).

Hemoglobin glikosilat memiliki korelasi dengan status retinopati diabetik

seseorang. Penelitian retrospektif terhadap 607 pasien yang dilakukan di USA

menunjukkan bahwa kadar HbA1c yang tinggi memiliki risiko lebih besar untuk

terjadinya retinopati diabetik (Maa and Sullivan, 2009). Penelitian Khandekar

(2011), menunjukkan bahwa HbA1c > 9% memiliki risiko terjadinya retinopati

diabetik dibandingkan dengan pasien DM dengan HbA1c < 9%.

Patogenesis keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan gambaran

perubahan anatomi pada retinopati diabetika dibagi menjadi tiga, yaitu secara

biokimia, hemodinamik, dan endokrin. Gangguan biokimia adalah faktor yang

paling berhubungan. Diduga ada beberapa teori yang dapat dijelaskan, yaitu

aldose reduktase-sorbitol (jalur polyol), teori glikosilasi (advanced glycation end


55

product), teori reactive oxygen intermediate (ROI), dan teori protein kinase C

(PKC) (Refa dkk., 2005).

Keseluruhan jalur tersebut menimbulkan gangguan sirkulasi, hipoksia, dan

inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang

berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang

memiliki kelemahan pada membran basalisnya, proliferasi sel endotelnya, dan

kekurangan jumlah perisit. Akibatnya, terjadi kebocoran protein plasma dan

perdarahan di dalam retina dan vitreous (Sitompul, 2011).

Hasil analisis data antara HbA1c dan retinopati diabetik tidak menunjukkan

terdapat hubungan yang bermakna terhadap kejadian retinopati diabetik pada

penderita DM di poliklinik DM RSUD. Dr. Saiful Anwar Kota Malang.

Penelitian ini tidak membuktikan hipotesis awal peneliti tentang ada

hubungan antara HbA1c dengan kejadian retinopati diabetik. Hal ini tidak sesuai

dengan penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Lee et al. (2015) yang

melibatkan lebih dari 13.000 pasien diabetes dari kelompok Asia multietnis dari

Cina, Melayu, dan India HbA1c sangat berpengaruh terhadap kajadian retinipati

diabetik. Ketika terjadi peningkatan kadar HbA1c terhadap pasien diabetes maka

akan berpengaruh juga terhadap timbulnya komplikasi mikrovaskular yang

diakibatkan oleh hiperglikemia pada pasien diabetes. Selain itu. Cheng et al.

(2007) juga menyimpulkan penelitiannya bahwa prevalensi retinopati diabetik

mulai meningkat ketika HbA1c melebihi kadar 5,5%.

Hubungan yang tidak bermakna pada penelitian ini dapat disebabkan oleh

beberapa faktor. Menurut penelitian Shiddiq (2011) ada beberapa faktor yang

menyebabkan hasil penelitian tidak berhubungan antara HbA1c dengan kejadian


56

retinopati diabetik. Faktor-faktor tersebut yaitu ras, variasi metabolisme masing-

masing individu, perbedaan sampel peneliti dengan sampel penelitian terdahulu,

sedikitnya sempel dan ketidaklengkapan data rekam medis. Menurut Husain et

al. (2013) setelah dilakukan pengmatan terhadap pasien diabetes melitus tipe yang

memiliki kadar HbA1c tinggi, mereka tidak terdapat komplikasi retinopati

diabetik.

Hipetensi merupakan salah satu faktor lain penyebab terjadinya komplikasi

retinopati diabetik. Hasil analisis yang telah dilakukan oleh Arbab et al. (2008)

pasien diabetes dengan komplikasi retinopati diabetik memilik tekanan darah

sistolik lebih tinggi dari pada pasien diabetes tanpa retinopati diabetik. Menurut

Rani et al. (2009) setiap peningkatan tekanan darah sistolik sebesar 10 mm Hg

menunjukkan bahwa resiko terjadi peningkatan sekitar 1-1,2 kali terhadap

kejadian dan keparahan dari retinopati diabetik. Hal ini disebabkan oleh

hyperperfusi retina yang mengakibatkan kerusakan pada kapiler retina dan

peningkatan aliran darah retina akan memperburuk pasien dengan komplikasi

retinopati diabetik.

Selain itu, dalam penelitian ini hanya melihat faktor resiko retinopati

diabetik yang disebabkan oleh hiperglikemia kronis, tanpa melihat faktor resiko

lain seperti: Tekanan darah, lama menderita diabetes, hiperlipidemia, usia,

obesitas, kehamilan.

Kelemahan penelitian ini adalah pengambilan datanya yang dilakukan

dengan metode cross sectional dimana pengambilan data hanya dilaksanakan

secara waktual dalam satu waktu tertentu, sehingga sulit untuk menentukan mana

yang menjadi penyebab dan mana akibat yang ditimbulkan.


57

Penelitian ini didapatkan koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0.148,

yang berarti hubungan antara kriteria HbA1c dengan status retinopati diabetik

responden termasuk kategori sangat lemah. Dari hal tersebut dapat disimpulkan

bahwa tidak ada hubungan antara kadar HbA1c yaang tinggi dengan kejadian

retinopati diabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2.

Anda mungkin juga menyukai