Anda di halaman 1dari 8

BAB III

PEMBAHASAN

Sirosis hepatis merupakan stadium lanjut dari penyakit hati kronis yang
dihasilkan dari berbagai mekanisme yang mengarah kepada terjadinya
nekroinflamasi dan fibrogenesis di hati. Istilah sirosis mengacu kepada proses
yang berjalan progresif, menyeluruh, pembentukan jaringan fibrosis dan kondisi
nodular yang merubah arsitektur normal dari hati. Setiap kerusakan kronis pada
hati dapat menjadi penyebab proses terjadinya sirosis.Walaupun terdapat berbagai
patofisiologi mengenai kerusakan hati, kebanyakan akhir dari proses tersebut
adalah proses perbaikan jaringan hati yang menghasilkan fibrosis. Transisi dari
penyakit hati kronis menjadi sirosis melibatkan proses inflamasi, aktivasi dari
stellate cell berikut proses fibrogenesis, angiogenesis dan pembentukan lesi
parenkim yang menyebabkan oklusi pembuluh darah, proses tersebut berujung
kepada perubahan mikrovaskular hepar. Secara lengkap, sirosis hepar adalah
kemunduran fungsi liver yang permanen yang ditandai dengan perubahan
histopatologi. Yaitu kerusakan pada sel-sel hepar yang merangsang proses
peradangan dan perbaikan sel-sel hepar yang mati sehingga menyebabkan
terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hepar yang tidak mati beregenerasi untuk
menggantikan sel-sel yang telah mati. Akibatnya, terbentuk sekelompok-
sekelompok sel-sel hepar baru (regenerative nodules) dalam jaringan

Sirosis adalah penyakit kronis pada hepar di mana terjadi destruksi dan
regenerasi difus sel-sel parengkim hepar dan peningkatan pertumbuhan jaringan
ikat difus yang menghasilkan disorganisasi arsitektur lobular dan vascular. Secara
lengkap, sirosis hepar adalah kemunduran fungsi liver yang permanen yang
ditandai dengan perubahan histopatologi. Yaitu kerusakan pada sel-sel hepar yang
merangsang proses peradangan dan perbaikan sel-sel hepar yang mati sehingga
menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hepar yang tidak mati
beregenerasi untuk menggantikan sel-sel yang telah mati. Akibatnya, terbentuk
sekelompok-sekelompok sel-sel hepar baru (regenerative nodules) dalam jaringan
parut (Sylvia, 2012).
Epidemiologi
Penderita sirosis hepar lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika
dibandingkan dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak
antara golongan umur 3059 tahun dengan puncaknya sekitar 40 49 tahun.
Pada kasus yang mengalami sirosis adalah seorang wanita, tapi tidak
semua yang terkena sirosis harus laki-laki, wanita juga bisa, dikarenakan beberapa
faktor etiologinya itu sendiri, misal karena alkohol, virus hepatitis B dan virus
hepatitis C dan beberapa faktor lainnya.
Etiologi

Etiologinya sendiri pada kasus Ny. S 50 th ini karena sebelumnya


penyebab sirosis paling sering karena alkohol, hepatitis B dan hepatitis C, tapi
pada pasien ini kemungkinan ada faktor lain yang mempengaruhi kerusakan
heparnya sebagaimana dalam teori bisa karena primary biliary cirrhosis. Primary
biliary cirrhosis adalah suatu penyakit hepar yang disebabkan oleh suatu kelainan
dari sistim imun yang ditemukan sebagian besar pada wanita-wanita. Kelainan
imunitas pada PBC menyebabkan peradangan dan perusakkan yang kronis dari
pembuluh-pembuluh kecil empedu dalam hepar. Pembuluh-pembuluh empedu
adalah jalan-jalan dalam hepar yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu
adalah suatu cairan yang dihasilkan oleh hepar yang mengandung unsur-unsur
yang diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus, dan juga
campuran-campuran lain yang adalah produk-produk sisa, seperti pigmen
bilirubin. (Bilirubin dihasilkan dengan mengurai/memecah hemoglobin dari sel-
sel darah merah yang tua). Bersama dengan kantong empedu, pembuluh-
pembuluh empedu membuat saluran empedu. Pada PBC, kerusakkan dari
pembuluh-pembuluh kecil empedu menghalangi aliran yang normal dari empedu
kedalam usus. Ketika peradangan terus menerus menghancurkan lebih banyak
pembuluh-pembuluh empedu, ia juga menyebar untuk menghancurkan sel-sel
hepar yang berdekatan. Ketika penghancuran dari hepatocytes menerus, jaringan
parut (fibrosis) terbentuk dan menyebar keseluruh area kerusakkan. Efek-efek
yang digabungkan dari peradangan yang progresif, luka parut, dan efek-efek
keracunan dari akumulasi produk-produk sisa memuncak pada sirosis.
Gejala Klinis
Pada kasus Ny. S 50 th didapatkan beberapa gejala-gejala yang didapatkan
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diantaranya :
Perut tambah lama tambah membesar
Muntah darah dan BAB hitam
Nafsu makan menurun
Anemis
Ascites,
Undulasi (+)
Vena kolateral (+)
Shifting dullness (+)
Eritema palmaris (+),
Edem kedua kaki (+).

Sebagaimana teori pada gambar diatas perjalanan timbulnya suatu gejala


yang terjadi pada kasus Ny. S 50 th ini. Dan diagnosis sirosis hepar juga
ditegakkan berdasarkan laboratorium dan pemeriksaan penunjang. Pada stadium
kompensasi sempurna kadang-kadang sulit menegakkan diagnosis sirosis hepar.
Pada stadium dekompensasi kadang tidak sulit menegakkan diagnosis dengan
adanya asites, edema pretibial, splenomegali, vena kolateral, eritema palmaris.
Pada pemeriksaan laboratorium darah tepi sering didapatkan anemia normositik
normokrom, leukepenia dan trombositopenia
Pada pasien didapatkan GDA 301 menandakan adanya hiperglikemi,
sebagaimana dalam teori dalam suatu faal hepar adalah terkait fungsi metabolic,
diantaranya metabolisme karbohidrat. Dari berbagai proses metabolism
karbohidrat dalam tubuh hepar melakukan fungsi sebagai penyimpan glikogen
dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa,
melakukan gluconeogenesis, kesemua proses tersebut berperan penting dalam
fungsi penyangga glukosa, dimana hepar selalu mempertahankan kondisi
homeostasis kadar gula dalam darah. Sehingga pada kondisi SH dimana terjadi
gangguan faal hepar yang berat, hepar tidak akan bisa mempertahankan
homeostasis gula darah, bisa menjadi sangat tinggi (hiperglikemia) ketika
mendapatkan asupan karbohidrat, atau menjadi sangat rendah (hipoglikemia)
ketika tidak mendapatkan asupan karbohidrat ( Guyton A, 2011).
Pada pemeriksaan lab pada pasien di dapatkan anemia dikarenakan oleh
Peningkatan tekanan vena esophagus mengakibatkan kecenderungan untuk pecah
yang seringakali nampak sebagai perdarahan gastrointestinal. Spleenomegali
seringkali menyebabkan fungsional hipersplenisme yang dapat menurunkan salah
satu daru jumlah eritrosit, leukosit atau trombosit bahkan dapat menurunkan
ketiganya, sehingga seringkali didapatkan anemia, peningkatan resiko infeksi atau
memperburuk kondisi perdarahan.
Menentukan grade pada sirosis hepatis
Pada tahun 1964, dr. Child dan dr. Turcotte memperkenalkan sistem skoring untuk
menilai grade dari SH, skoring tersebut disempurnakan kembali pada tahun 1972
oleh Pugh.
Pada pasien ini tidak semua pemeriksaan dilakukan untuk memenuhi
kriteria skor Child-Pugh, dari pemeriksaan awal didapatkan nilai serum bilirubin
total 0,91 mg/dl, serum albumin 3,1 mg/dl, pasien mengalami ascites yang tidak
membaik dengan pengobatan, sedangkan fungsi hemostasis tidak dilakukan
pemeriksaan. Sehingga tanpa memasukkan point dari INR pasien memenuhi 9
point yang menunjukkan kriteria B dalam skoring Child-Pugh. Dengan melihat
kondisi klinis pasien yang mengalami tanda-tanda gangguan pembekuan darah
maka skoring Child-Pugh susah untuk ditegakkan, karena dari pemeriksaan lab
dan pemeriksaan fisik tidak sesuai. Tapi
Penatalakasaan pada kasus ini inf. PZ LL, inj. Furosemid 3x1 amp, inj.
Pantoprazole 1x40 mg, Inj. Metocloperamide HCL 3x1 iv, Inj. Vit K 3x1 iv, Inj.
Cefotaxime 3x1 iv, Inj. Subcutan acrapid 3x6 iu, Oral : spironolakton 1x1 100 mg.
Sebagai mana teori dalam penatalaksanaan ada sirosis hepatis adalah Pengobatan
sirosis hepar pada prinsipnya berupa simptomatis dan sportif :
1. Simptomatis
2. Supportif, yaitu :
a. Istirahat yang cukup
b. Pengaturan makanan yang cukup dan seimbang: misalnya : cukup kalori,
protein 1gr/kgBB/hari dan vitamin
c. Pengobatan berdasarkan etiologi.
Misalnya pada sirosis hepar akibat infeksi virus C dapat dicoba dengan interferon.
Sekarang telah dikembangkan perubahan strategi terapi bagian pasien dengan
hepatitis C kronik yang belum pernah mendapatkan pengobatan IFN seperti a)
kombinasi IFN dengan ribavirin, b) terapi induksi IFN, c) terapi dosis IFN tiap
hari.
o Terapi kombinasi IFN dan Ribavirin terdiri dari IFN 3 juta unit 3 x
seminggu dan RIB 1000-2000 mg perhari tergantung berat badan
(1000mg untuk berat badan kurang dari 75kg) yang diberikan
untukjangka waktu 24-48 minggu.
o Terapi induksi Interferon yaitu interferon diberikan dengan dosis
yang lebih tinggi dari 3 juta unit setiap hari untuk 2-4 minggu yang
dilanjutkan dengan 3 juta unit 3 x seminggu selama 48 minggu
dengan atau tanpa kombinasi dengan RIB.
o Terapi dosis interferon setiap hari.
Dasar pemberian IFN dengan dosis 3 juta atau 5 juta unit tiap hari sampai HCV-
RNA negatif di serum dan jaringan hepar.
Pengobatan yang spesifik dari sirosis hepar akan diberikan jika telah terjadi
komplikasi seperti
1. Asites
2. Spontaneous bacterial peritonitis
3. Hepatorenal syndrome
4. Ensefalophaty hepatic
Tatalaksana :
1. Asites
Asites dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :
Istirahat
Diet rendah garam
Pada asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam dan
penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus dirawat.
Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam
dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah
4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah
hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encephalopaty hepatic, maka pilihan
utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat
dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal
diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.
1. Spontaneous bacterial peritonitis.
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime),secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
2. Hepatorenal Sindrome.
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan,
pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan
dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Restriksi
cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang
Nefrotoxic. Manitol tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra
seluler. Diuretik dengan dosis yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat
mencetuskan perdarahan dan shock. TIPS hasil jelek pada Childs C, dan dapat
dipertimbangkan pada pasien yang akan dilakukan transplantasi. Pilihan terbaik
adalah transplantasi hepar yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal.
3. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus.
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering
dinomorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu.
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien
stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan: pasien diistirahatkan dan dipuasakan,
pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi, pemasangan
Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannyayaitu : untuk
mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi
darah, pemberian obat-obatan berupa antasida, ARH2, Antifibrinolitik, Vitamin K,
Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin. Disamping itu diperlukan tindakan-
tindakan lain dalam rangka menghentikan perdarahan misalnya pemasangan
ballon tamponade dan tindakan skleroterapi / ligasi aatau oesophageal transection.
4. Ensefalopati Hepatik
Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :
mengenali dan mengobati factor pencetus
intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-
toxin yang berasal dari usus dengan jalan : Diet rendah protein, pemberian
antibiotik (neomisin), pemberian lactulose/ lactikol
Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter. Jika secara
langsung dengan pemberian Bromocriptin dan Flumazemil, jika tak
langsung dengan pemberian AARS.

Anda mungkin juga menyukai