Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
1. TINJAUAN TEORI
1. ODHA
a. Pengertian
ODHA merupakan singkatan dari orang dengan HIV/AIDS, dalam hal ini
orang yang di dalam tubuhnya terdapat HIV (orang terinfeksi) setelah dilakukan
pemeriksaan darahnya baik dengan test Elisa maupun Westrn Blot (Mudjahid
dalam Wahyu, S.,dkk, 2007).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang menyerang
system kekebalan tubuh. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh menyerang sel
Cluster of Differentiation 4 (CD4) sehingga terjadi penurunan sistem pertahanan
tubuh. Replikasi virus yang terus menerus mengakibatkan semakin berat
kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap infeksi
oportunistik (IO) sehingga akan berakhir dengan kematian. Accuired Immune
Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan sekumpulan gejala yang timbul akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh manusia, yang disebabkan oleh HIV. AIDS
merupakan tahap akhir dari infeksi HIV, dimana perjalanan HIV akan berlanjut
menjadi AIDS membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 13 tahun. Individu yang
terinfeksi HIV/AIDS dikenal dengan sebutan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
(Bruner & Suddarth, 2002).
Sedangkan menurut Elisa, C A (2012), ODHA adalah singkatan dari
Orang Dengan HIV/AIDS, sebagai pengganti istilah penderita yang mengarah
pada pengertian bahwa orang tersebut sudah secara positif didiagnosa terinfeksi
HIV. HIV singkatan dari human immunodeficiency virus, adalah suatu virus yang
menyerang kekebalan tubuh, yaitu suatu sistem tubuh yang secara alamiah
berfungsi melawan penyakit dan infeksi. Jika sistem kekebalan tubuh ini
melemah maka orang tersebut sangat mudah terinfeksi virus yang sebenarnya
juga bisa menyerang orang-orang lain, tetapi tidak menyebabkan gangguan
berarti pada orang yang sistem kekebalan tubuhnya normal. Orang dengan HIV
positif sangat rentan terhadap serangan virus sehingga kondisi tubuh dapat
melemah secara cepat dan berkembang menjadi AIDS (acquired immune
deficiency syndrome). Sekalipun demikian, tidak ada batasan waktu yang pasti
kapan orang dengan HIV positif akan mengalami AIDS dan diperkirakan waktu
antara terinfeksi HIV dan terbentuknya AIDS bervariasi antara 1-10 tahun,
dengan perkiraan rata-rata waktu 7-8 tahun.

b. Perjalanan Penyakit
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS,
sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler dan
menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya
diikuti adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta
penyakit keganasan (Depkes RI, 2003). Dalam tubuh ODHA, partikel virus akan
bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga orang yang terinfeksi HIV seumur
hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejala tidak khas
infeksi seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk pada 3-6 minggu setelah infeksi. Perjalanan penyakit lebih
progresif pada pengguna narkoba. Lamanya penggunaan jarum suntik berbanding
lurus dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi oleh kuman lain akan
membuat HIV membelah lebih cepat. Selain itu dapat mengakibatkan reaktivasi
virus di dalam limfosit T sehingga perjalanan penyakit bisa lebih progresif
(Sudoyo, 2006 dalam Elisa, 2012).
Pembagian stadium:
1) Stadium pertama: HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan
serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi
positif. Rentang waktu sejak HIV masuk ke dalam tubuh sampai tes antibodi
terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period
antara satu sampai tiga bulan, bahkan ada yang dapat berlangsung sampai
enam bulan.
2) Stadium kedua: Asimptomatik (tanpa gejala)
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV
tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala-gejala. Keadaan ini dapat berlangsung
rata selama 5-10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat
ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
3) Stadium ketiga: pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata
(Persistent Generalized Lymphadenopathy), tidak hanya muncul pada satu
tempat saja, dan berlangsung lebih satu bulan.
4) Stadium keempat: AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam-macam penyakit, antara lain
penyakit konstitusional, penyakit syaraf, dan penyakit infeksi sekunder.

c. Diagnosis HIV/AIDS
Diagnosis HIV pada orang dewasa mengikuti prinsip-prinsip khusus. Baik
diagnosis klinik maupun laboratorium dikembangkan untuk menentukan
diagnosis negatif atau positif. Tanda dan gejala pada infeksi HIV awal bisa sangat
tidak spesifik dan menyerupai infeksi virus lain yaitu: latergi, malaise, sakit
tenggorokan, mialgia (nyeri otot), demam, dan berkeringat. Pasien mungkin
mengalami beberapa gejala, tetapi tidak mengalami keseluruhan gejala tersebut di
atas. Pada stadium awal, pemeriksaan laboratorium merupakan cara terbaik untuk
mengetahui apakah pasien terinfeksi virus HIV atau tidak (Elisa, 2012).
Dalam hal ini pasien bisa didiagnosis berdasarkan gejala klinis yaitu
berdasarkan tanda dan gejala mayor dan minor. Menurut WHO, dua gejala mayor
di tambah dua gejala minor didefinisikan sebagai infeksi HIV simptomatik yang
dapat berujung menjadi AIDS.
1) Gejala Mayor
Pasien umumnya mengalami penurunan berat badan 10%, Demam
memanjang atau lebih dari 1 bulan, Diare kronis dan Tuberkulosis.
2) Gejala Minor
Terdapat kandidiasis orofaringeal, Batuk menetap lebih dari satu bulan,
Kelemahan tubuh, Berkeringat malam, Hilang nafsu makan, Infeksi kulit
generalisata, Limfadenopati generalisata, Herpes zoster, Infeksi Herpes
simplex kronis, Penumonia ataupun Sarkoma kaposi.

d. Masalah pada ODHA


1) Dinamika Psikologis
Menurut Hutapea (2004) dalam Hermawati (2011), seorang penderita
HIV/AIDS sering mengalami masalah-masalah psikologis, terutama
kecemasan, depresi, rasa bersalah, marah dan dorongan untuk melakukan
bubuh diri. Orang yang tertular HIV/AIDS sering marah kepada kalangan
medis karena ketidak berdayaan meraka menemukan obat atau vaksin
penangkal HIV/AIDS. Mereka juga kerap jengkel terhadap masyarakat luas
yang mendiskriminasi penderita HIV/AIDS
Untuk sebagian ODHA, ketidakpastian nasib pengidap HIV dan
potensi untuk menderita AIDS akan menimbulkan rasa cemas dan depresi.
Seiring dihinggapi perasaan menjelang maut, rasa bersalah dan perilaku yang
membuat infeksi dan rasa diasingkan oleh orang lain. Stres akan ikut
melemahkan sistem imun, yang terlebih dahulu sudah dilumpuhkan oleh
HIV. Banyak orang yang tertular HIV/AIDS ditinggalkan oleh teman atau
kekasih mereka. Stress yang disebabkan kehilaganpun akan diikuti
melemahnya sistem imun mereka (Hermawati, 2011).
Orang HIV/AIDS berbeda kondisinya dengan orang yang menderia
penyakit parah lainnya seperti kanker atau stroke. Infeksi HIV/AIDS selain
berpengaruh terhadap psikososial seperti hubungan status emosi, perubahan
dalam pola adaptasi perilaku dan fungsi kognitifnya, peprilaku hidup sehat,
perubahan tujuan hidup dan perannanya di masyarakat, perubahan dalam
kehidupan spiritualnya sampai persiapan menjelang kematian (Hermawati,
2011).
2) Stigma Masyarakat
Stigma utama masyarakat terhadap Penderita HIV/AIDS adalah
karena infeksi HIV/AIDS berkonotasi dengan segala macam bentuk yang
negatif karena fakta menyebutkan bahwa 80% ditularkan melalui hubungan
seksual, sisanya adalah pecandu narkoba dengan jarum suntik, PSK, istri
yang tertular dari suami, dan seorang istri yang melahirkan anak positif HIV.
Singkatnya, penderita HIV/AIDS adalah orang yang pergaulannya bebas
(hubungan seks bebas), pecandu narkoba, orang melanggar norma-norma
agama dan sosial (Hermawati, 2011).
Stigma yang diberikan kepada ODHA karena pandangan dan
pengetahuan masyarakat yang sempit tentang penderita ODHA, meliputi
anggapan bahwa HIV/AIDS penyakit yang tidak bisa disembuhkan, sangat
menular, penyakit yang paling buruk, penyakit sebagai hukuman dari Tuhan.
Masyarakat memandang penderita HIV/AIDS sebagai orang yang perlu
dihindari. ODHA layak terinfeksi HIV karena perilaku yang
melatarbelakangi penderita HIV/AIDS. Masyarakat takut dan pada ahirnya
mengucilkan penderita HIV/AIDS. Masyarakat berpikir bahwa penyakit
HIV/AIDS adalah penyakit yang sangat ditakuti, menular dan mematikan
(Hermawati, 2011).
Kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS
menambah buruk situasi yang dialami penderita. HIV/AIDS masih dianggap
sebagai momok menyeramkan, karena saat divonis sebagai ODHA, yang
terbayang adalah kematian. Di masyarakat penderita sering menerima
perlakuan yang tidak adil atau bahkan mendapatkan diskriminasi dari
lingkungan keluarga dan masyarakat. Diskriminasi yang dialami ODHA
membuat mereka menarik diri dari lingkungan sekitar, serta stigmatisasi yang
berkembang dalam masyarakat mengenai HIV/AIDS merupakan suatu vonis
mati bagi mereka sehingga membatasi ruang gerak dalam menjalankan
aktivitas mereka sebelumnya (Yuliyanti, 2012).
3) Respon Spesifik Pada Penderita HIV/AIDS
Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
bukan hanya masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut
permasalahan sosial, politik, dan ekonomi. Banyak perubahan yang terjadi
dalam diri individu setelah terinfeksi HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat
gejala-gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh
pada diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial, belajar, karir dan
bahkan kehidupan keluarga. Hal ini disebabkan ketidakmampuan ODHA
menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Beberapa masalah yang
dialami ODHA baik secara fisik maupun psikologis, antara lain: muncul
stress, penurunan berat badan, kecemasan, gangguan kulit, frustasi, bingung,
kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja, perasaan takut, perasaan
bersalah, penolakan, depresi bahkan kecenderungan untuk bunuh diri
(Yuliyanti, 2012).
Menurut Elisa, C A (2012) terdapat respon adaptif psikososio spiritual
pada ODHA, yaitu :
a) Respons Adaptif Psikologis (penerimaan diri)
Pengalaman mengalami suatu penyakit akan membangkitkan
berbagai perasaan dan reaksi stres, frustasi, kecemasan, kemarahan,
penyangkalan, rasa malu, berduka, dan ketidakpastian dengan adaptasi
terhadap penyakit.
b) Respons Psikologis (penerimaan diri) terhadap Penyakit
Terdapat lima tahap reaksi emosi seseorang terhadap penyakit, yaitu
Pengingkaran (denial), Kemarahan (anger), Sikap tawar-menawar
(bergaining), Depresi, serta Penerimaan dan partisipasi.
c) Respons Adaptif Spiritual
Respons Adaptif Spiritual dikembangkan dari konsep Ronaldson
dan Kauman & Nipan, dalam Nursalam, 2007. Respons adaptif spiritual,
meliputi Harapan yang realistis, Tabah dan sabar, serta Pandai mengambil
hikmah.
d) Respons Adaptif Sosial
Aspek psikososial menurut Stewart (1997) dalam Elisa (2012),
dibedakan menjadi tiga hal, yaitu:
Stigma sosial dapat memperparah depresi dan pandangan yang negatif
tentang harga diri ODHA.
Diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi HIV, misalnya penolakan
bekerja dan hidup serumah juga akan berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan. Bagi pasien homoseksual, penggunaan obat-obat narkotika
akan berakibat terhadap kurangnya dukungan sosial, hal ini akan
memperparah stres ODHA.
Terjadinya waktu yang lama terhadap respons psikologis mulai
penolakan, marah-marah, tawar-menawar, dan depresi berakibat
terhadap keterlambatan upaya pencegahan dan pengobatan. Pasien
akhirnya mengonsumsi obat-obat terlarang untuk menghilangkan stres
yang dialami.
Sedangkan respons adaptif sosial dikembangkan berdasarkan
konsep dari Pearlin & Aneshense (dalam Nursalam, 2007) meliputi
tiga hal, yakni Emosi, Cemas dan Interaksi sosial.

2. KONSEP DIRI
Konsep diri (self-concept) merupakan bagian masalah kebutuhan psikososial
yang tidak didapat sejak lahir, akan tetapi dapat dipelajari sebagai hasil dari
pengalaman seseorang terhadap dirinya. Konsep diri ini berkembang secara bertahap
sesuai dengan tahap perkembangan psikososial seseorang (Hidayat, 2012).
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu, baik secara fisik
maupun psikis. Kondisi fisik dan psikis seseorang salah satunya didukung oleh
konsep diri yang baik. Konsep diri merupakan hal-hal yang berkaitan dengan individu
untuk membina hubungan interpersonal dalam kehidupan bermasyarakat. Konsep diri
tidak secara otomatis ada sejak individu dilahirkan, tetapi secara bertahap terbentuk
mengikuti pertumbuhan, perkembangan dan pengalaman individu (Priyanto, 2009).
Individu yang memiliki konsep diri positif akan memandang dirinya dengan
kacamata yang positif, yaitu mampu menerima kelemahan dan kelebihan yang
dimiliki serta mampu menanggapi kegagalan yang dialami sebagai pelajaran yang
berharga. Sedangakan individu yang memiliki konsep diri negatif, individu tidak
mampu melihat kelebihan yang dimiliki dan tidak mampu menerima kelemahan yang
dimiliki, serta tidak mau mencoba hal-hal yang baru karena takut mengalami
kegagalan (Miraningsih, 2013).
a. Pengertian Konsep Diri
Secara umum, konsep diri merupakan semua tanda, keyakinan dan
pendirian yang merupakan suatu pengetahuan individu tentang dirinya yang dapat
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain, termasuk karakter, kemampuan,
nilai, ide, dan tujuan (Hidayat, 2012). Sedangkan menurut para ahli, konsep diri
adalah semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui seseorang
mengenai dirinya sendiri serta dapat mempengaruhi orang dalam berhubungan
dengan orang lain ( Stuart dan Sudeen , 1998 dalam Priyanto, 2009).
Konsep diri menurut Prayitno (2006) dalam Wahyu (2012) ialah sebagai
pendapat seseorang tentang dirinya sendiri baik yang menyangkut fisik (materi
dan bentuk tubuh), maupun psikis (sosial, emosional, moral, pribadi, keluarga dan
kognitif) yang dimiliki seseorang. Selanjutnya dijelaskan juga konsep diri dapat
diidentifikasi melaluibody image, yaitu kesadaran tentang tubuhnya (subjectif
self), yaitu bagaimana orang melihat dirinya sendiri, ideal self, yaitu
bagaimana cita-cita dan nilai tentang dirinya, dan social self, yaitu bagaimana
orang lain melihat dirinya (Mudjiran dalam Wahyu, S.,dkk, 2007).
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa konsep
diri adalah persepsi tentang diri sendiri yang meliputi aspek fisik, sosial,
psikologis, serta penilaian mengenai apa yang pernah dicapai yang didasarkan
pada pengalaman dan interaksi dengan orang lain.

b. Faktor-faktor yang mempengaruhi


Menurut Stuart dan Sudeen (1998) dalam Priyanto (2009), ada beberapa
faktor yang mempengaruhi perkembangan konsep diri yaitu teori perkembangan,
orang yang terpenting atau yang terdekat (signifikan other) dan persepsi diri
sendiri (self perception).
1) Teori Perkembangan
Teori ini menyatakan bahwa konsep diri belum ada ketika orang lahir
kemudian berkembang secara bertahap, seperti mulai mengenal dan
membedakan antara dirinya dan orang lain. Individu dalam berintereksi
memiliki batasan diri yang awalnya terpisah dari lingkungan kemudian
berkembang melalui kegiatan ekslorasi lingkungan sehingga dapat mengenali
tubuhnya, mengetahui nama panggilannya, memiliki pengalaman budaya,
dan pengalaman dalam hubungan interpersonal. Begitu juga dengan
kemampuan diri pada area tertentu yang dinilai diri sendiri dan masyarakat
serta aktualisasi diri dengan mengaplikasikan potensi menjadi realita.
2) Orang Terpenting Atau Terdekat (significan other)
Konsep diri dipelajari melalui interaksi dan pengalaman dengan orang
lain. Belajar mempelajari diri sendiri melalui cermin orang lain, yakni
dengan memandang oranglain sebagai interpretasi diri, dan meminta
pandangan orang lain mengenai diri sendiri.
3) Persepsi Diri Sendiri (self perception)
Merupakan persepsi individu dan penilaiannya terhadap dirinya sendiri
serta persepsi individu terhadap pengalamannya pada situasi tertentu. Telah
disampaikan bahwa konsep diri dapat dibentuk secara bertahap antara lain
melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Konsep diri juga
merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari prilaku individu. Seseorang
yang mempunyai konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif. Hal
ini dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intelektual, dan
kemampuan penguasaan lingkungan seseorang. Sedangkan konsep diri yang
negatif dapat dilihat dari hubungan interpersonal individu dan sosial yang
terhambat.

c. Komponen Konsep diri


Harter dalam Dorner (2006) menyatakan konsep diri memiliki fungsi
pengorganisasian yaitu menata informasi secara sistematis, fungsi motivasi yaitu
menguatkan individu mencapai tujuannya, fungsi proteksi yaitu memberikan
perlindungan rasa aman atau kepuasan dalam pencapaian tujuan atau kebutuhan.
Dengan demikian fungsi konsep diri seseorang memiliki peran yang cukup
penting dalam kehidupannya, karena dapat membantu seseorang dalam mengatasi
persoalan hidupnya dan memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan dirinya
(Wahyu S.,dkk.,2012).
Konsep diri terdiri dari beberapa komponen, yaitu :
1) Gambaran Diri (Body Image)
Gambaran diri (body image) berhubungan denegan kepribadian. Cara
pandang individu terhadap terhadap dirinya mempunyai dampak penting bagi
aspek psikologis individu tersebut. Pandangan yang realistis terhadap dengan
menerima dan mengukur bagian tubuh sendiri dapat menimbulkan rasa aman,
menghilangkan rasa cemas, dan juga dapat meningkatkan harga diri (Keliat,
1992 dalam Priyanto, 2009). Gambaran diri adalah sikap seorang terhadap
tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan
perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi penampilan, dan potensi tubuh saat
ini dan masa lalu secara berkesinambungan serta dimodifikasi dengan
pengalaman baru setiap individu (Stuart dan Sudeen , 1998 dalam Priyanto,
2009).
Beberapa gangguan gambaran diri ditunjukkan dengan tanda dan
gejala seperti berikut ini
a) Syok
Syok yang dimaksud ialah syok psikologis yang merupakan
reaksi emosianal karena adanya perubahan. Input informasi yang
berlebihan dan pengingkaran terhadap kenyataan perubahan tubuh akan
membuat klien menggunakan mekanisme pertahanan pertahanan diri,
seperti menolak, mengingkari, dan melakukan proyeksi diri untuk
mempertahankan keseimbanagn diri.
b) Menarik diri
Apabila klien sadar akan kenyataan dan ingin lari dari kenyataan
tersebyt, tetapi hal itu tidak mungkin dilakukan maka klien akan lari atau
menghindari secara emosional. Hal ini akan menjadikan klien sebagai
orang yang pasif, tergantung, serta tidak ada motivasi dan keinginan
untuk berperan aktif dalam proses perawatan.
c) Penerimaan secara bertahap
Apabila klien sadar akan kenyataan maka respons kehilangan
atau berduka akan muncul, kemudian klien mulai melakukan reintegrasi
dengan gambaran diri yang baru. Ini berarti klien mengalami proses
adaptif, namun jika tampak gejala dan tanda-tanda yang sebaliknya dan
kondisi tersebut menjadi menetap, maka respon klien dianggap
maladaptif. Pada respon maladaptif terseut terjadi gangguan gambaran
dri seperti depersonalisasi, perasaan atau pandangan negatif terhadap
tubuh, mengurangi kontak sosial sehingga terjadi menarik diri, tidak
dapat menerima perubahan struktur dan fungsi tubuh, menolak
penjelasan tentang perubahan tubuh, tidak mampu menyampaikan
keputusan, menyampaikan ketakutan ditolak, menolak untuk melihat dan
menyentuh bagian tubuh yang berubah dan preokupasi dengan bagian
tubuh atau fungsi tubuh yang hilang.
2) Ideal Diri
Orang dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan karena
adanya sejumlah aspirasi, cita-cita, dan nilai-nilai yang ingin di capai. Ideal
diri akan mewujudkan cita-cita serta nilai yang ingin dicapai serta harapan
pribadi seseorang berdasarkan norma sosial (keluarga dan budaya) dan
kepada siapa hal tersebut ingin dilakukan. Ideal diri adalah persepsi individu
tentang bagaimana ia harus berprilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan,
atau penlaian personal tertentu.
Budi Ana Keliat (1992) dalam Priyanto (2009) menyebutkan ada
beberapa faktor yang mempengaruhi ideal diri yaitu sebagai berikut :
a) Kecenderungan individu menetapkan ideal pada batas kemampuannya
b) Faktor budaya akan mempengaruhi individu menetapkan idela diri
c) Ambisi dan keinginan untuk melebihi dan berhasil, kebutuhan yang
realistis, keinginan untuk mengklaim diri dan kegagalan, perasaan
cemas, dan rendah diri

3) Harga Diri (Self-esteem)


Frekuensi terhadap suatu pencapaian tujuan akan menghasilkan harga
diri yang rendah atau harga diri yang tinggi. Jika individu sering mengalami
kegagalan, maka harga dirinya cenderung rendah. Harga diri diperoleh dari
diri sendiri dan oranglain. Aspek utama dalam penilaian harga diri adalah
dicintai dan menerima penghargaan dari oranglain. Harga diri adalah
penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisis seberapa
jauh perilaku dapat memenuhi ideal diri.
Gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif
terhadap diri sendiri termasuk hilangnya percaya diri dan harga diri. Harga
diri rendah dapat terjadi secara situasional atau kronis dan dapat
diekspresikan secara langsung atau tidak langsung.
4) Peran
Peran ialah sikap dan nilai prilaku serta tujuan yang diharapkan dari
seseorang berdasarkan posisinya di masyarakat. Peran yang ditetapkan ialah
peran dimana seseorang tidak mempunyai pilihan lain, sedangkan peran yang
diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih oleh individu. Posisi individu
di masyarakat dapat menjadi stresor terhadap peran seseorang karena struktur
sosial dapat menimbulkan kesukaran dan ttuntutan bagi seseorang, dan juga
menimbulkan ketidakmampuan dalam menjalankan posisi tertentu.
Stres peran terdiri atas konflik peran yang tidak jelas, peran yang tidak
sesuai, dan peran yang terlalu banyak. Suatu jabatan atau posisi dibutuhkan
oleh individu sebagai aktalisasi diri. Selama proses kehidupannya individu
sering menghadapai perubahan-perubahan peran, baik yang sifatnya menetap
atau sifatnya situasional (sementara). Hal ini, biasanya disebut dengan
transisi peran. Transisi peran tersebut dapat dikelompokkan menjadi
beberapa bagian seperti :
a) Transisi perkembangan
Berjalannya perkembangan dapat mengakibatkan ancaman pada
identitas. Setiap perkembangan harus dilalui dengan menjelaskan tugas
perkembangan yang berbeda-beda. Hal ini dapat menjadi stresor bagi
konsep diri.
b) Transisi situasi
Transisi situasi terjadi sepanjang daur kehidupan dengan
bertambahnya atau berkurangnya orang yang berarti melalui kelahiran
atau kematian. Perubahan status menyebabkan perubahan peran yang
dapat menimbulkan ketegangan peran yaitu konflik peran, peran tidak
jelas, atau peran yang terlalu banyak.
c) Transisi sehat sakit
Stresor yang masuk dalam tubuh dapat menyebabkan gangguan
gambaran diri dan berakibat pada perubahan konsep diri. Perubahan tubuh
dapat mempengaruhi semua komponen konsep diri seperti gambaran diri,
identitas diri, peran, dan harga diri. Masalah konsep diri dapat dicetuskan
oleh faktor psikologis, sosiologis atau fisiologis, namun yang penting
adalah perepsi klien terhadap segala sesuatu yang menjadi ancaman bagi
dirinya.
Berbagai gangguan peran, penyebab, atau faktor-faktor gangguan
peran tersebut dapat diakibatkan oleh hal-hal berikut :
Konflik peran intra personal. Hal ini terjadi saat individu dan
lingkungan tidak memiliki harapan dan peran yang selaras.
Peran yang tidak adekuat
Kehilangan hubungan yang penting
Perubahan peran seksual
Keragu-raguan peran
Perubahan kemampuan fisik untuk menampilkan peran sehubungan
dengan proses menua
Kurangnya kejelasan peran atau pengertian tentang peran
Ketergantungan obat
Kurangnya keterampilan sosial
Perbedaan budaya
5) Identitas Diri
Identitas merupakan kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari
observasi dan penilaian individu serta hasil sintetis semua aspek konsep diri
sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh. Seseorang yang mandiri dapat
mengatur dan menerima dirinya. Identitas diri terus berkembang sejak masa
kanak-kanak bersamaan dengan perkembangan konsep diri. Hal yang
terpenting dalam identitas adalah jenis kelamin.
Karakteristik identitas diri yang kuat dapat dimunculkan melalui
perilaku dan perasaan seperti :
1) Individu mengenal dirinya dengan mahluk yang terpisah dan berbeda
dengan oranglain
2) Individu mengakui atau menyadari jenis seksualnya
3) Individu mengakui dan menghargai berbagai aspek tentang dirinya, peran,
nilai dan perilaku secara harmonis
4) Individu mengakui dan menghargai diri sendiri sesuai dengn penghargaan
lingkungan sosialnya
5) Individu sadar akan hubungan masalalu, saat ini dan masa yang akan
datang
6) Individu mempunyai tujuan yang dapat dicapai dan direalisasikan

d. Konsep diri ODHA


Permasalahan yang dihadapi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan
hanya masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan
sosial, politik, dan ekonomi. Selain itu juga isu-isu stigma dan diskriminasi yang
dialami ODHA, baik dari keluarga, tetangga, dunia kerja, sekolah, dan anggota
masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit
daripada dampak penyakit yang dideritanya (Yuliyanti, 2012).
Perubahan yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat
mereka memiliki persepsi yang negatif tentang dirinya dan mempengaruhi
perkembangan konsep dirinya. ODHA cenderung menunjukkan bentuk-bentuk
reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan
ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Kondisi ini
menghambat aktivitas dan perkembangan ODHA sehingga kehidupan efektif
sehari-harinya terganggu (Sunarto, 2010).
Berdasarkan penelitian oleh wahyu, dkk (2012) , Konsep diri ODHA
secara keseluruhan menyangkut aspek fisik, etika dan moral, diri pribadi
(personal self), diri keluarga (family self) dan sosial berada pada kategori kurang
dan kurang sekali. Masalah-masalah yang dialami ODHA bervariasi. Masalah-
masalah yang cukup menonjol adalah mudah lupa, badan terlalu kurus, warna
kulit kurang memuaskan, sukar mengendalikan dorongan seksual, belum
mengetahui bakat diri sendiri untuk jabatan dan pekerjaan apa, terlanjur
melakukan perbuatan yang salah atau melanggar nilai-nilai moral dan adat,
mengalami keadaan ekonomi/keuangan yang semakin sulit, keluarga banyak
mengeluh tentang keadaan keuangan, belum mampu merencanakan masa depan
dan cemas atau khawatir menghadapi sesuatu yang baru.
Konsep diri ODHA berbeda antara satu orang dengan yang lainnya.
ODHA menilai dirinya sendiri secara positif, namun ada yang masih merasakan
penyesalan, kekecewaan dan kemarahan. ODHA ada yang terbuka kepada
keluarga dan lingkungan sosial, namun juga masih ada yang belum berani terbuka
dan jujur tentang statusnya kepada orang tua, saudara dan tetangga sekitar.
Penilaian terhadap citra diri secara umum baik, namun ada ODHA yang menilai
dirinya sebagai orang yang kecewa dan menyesal terhadap apa yang terjadi
kepada dirinya, menyesal karena telah memilih pasangan hidup yang salah
sehingga akhirnya mengalami kehidupan seperti ini (Sunarto, 2010).
Gambaran situasi kehidupan yang dihadapi ODHA pada akhirnya
mempengaruhi penilaian terhadap konsep dirinya. Secara umum, konsep diri
dapat diartikan sebagai pemahaman seseorang tentang dirinya sendiri baik secara
fisik maupun non fisik, yang diperoleh melalui pengalaman diri dan interaksi
dengan orang lain yang dapat disimpulkan sebagai berikut :
1) Penilaian ODHA terhadap dirinya sendiri
Pada dasarnya setelah ODHA memahami keadaan pada dirinya,
mereka akan selalu berusaha untuk mengendalikan keinginan dan dorongan
dalam dirinya. Misalnya pada ODHA yang berjenis kelamin perempuan,
mereka punya keinginan yang sama yaitu ingin menjadi isteri yang baik bagi
suami dan anak-anaknya. Kondisi sebagai ODHA memang menjadikan
mereka memiliki keterbatasan dalam pencapaian keinginan dan dorongan
dirinya. Keterbatasan ini menjadikan mereka fokus kepada kehidupan yang
ada sekarang, terutama terkait dengan menjalani kehidupan bersama
keluarga. Sedangkan pada ODHA laki-laki, pengendalian keinginan dan
dorongan lebih diarahkan kepada pernyataan dirinya terkait dengan
ketidakinginan untuk mencoba lagi atau bahkan terjerumus kedalam
penyalahgunaan NAPZA maupun seks bebas (Aritonang, dkk, 2014).
Selain itu juga, mereka senantiasa mencoba menjalani kehidupannya
dengan baik dilingkungan keluarga dan tempat tinggalnya. Keyakinan ini
didasari jika adanya penerimaan dari pihak keluarga dan lingkungan tempat
tinggal dan senantiasa memberikan dukungan dan tidak mencap negatif dan
diskriminasi. Pengendalian suasana hati mencakup pengungkapan perasaan
bahagia, cemas dan kemarahan, dicurahkan secara sewajarnya sebagaimana
orang lain pada umumnya. Suasana hati bahagia terkait dengan penerimaan
dengan status ODHA yang disandangnya.
Kesedihan dan kecemasan muncul dalam diri ODHA terkait dengan
kondisi dan masa depan dirinya, kondisi dan masa depan keluarga, suami
atau istri dan anaknya. Perasaan kemarahan yang dialami ODHA, adalah
terkait dengan latar belakang dirinya tertular virus HIV. Mereka terkadang
masih tidak bisa menerima dirinya tertular virus HIV, terutama seorang istri
dari suaminya yang tidak terbuka dan berbohong kepada dirinya tentang
kehidupannya sebagai penyalahguna NAPZA. Selain itu juga, ODHA masih
mengungkapkan kemarahan pada dirinya karena telah salah memilih
pasangan hidup sehingga akhirnya berstatus ODHA (Aritonang, dkk, 2014).
2) Pandangan ODHA terhadap penilaian sosial tentang dirinya
ODHA mendapatkan penilaian secara beragam baik dari keluarganya,
saudaranya, lingkungan tetangganya, kelompok sebaya, dan tempat bekerja.
Penilaian positif didapat jika seluruh keluarga dan saudaranya dapat
menerima kenyataan berstatus ODHA dengan tingkatan yang berbeda.
Adapula yang keluarganya sendiri belum tahu status ODHA yang
disandangnya, hal ini dikarenakan masih merasa ketakutan apabila diketahui
maka keluarga dan saudara tidak mengakui sebagai anggota keluarganya.
Adapula ODHA yang meskipun keluarga menerima status ODHA
dirinya, namun perlakuan stigma dan diskriminasi masih dialaminya. Seperti
salah satu keluarga sesekali menegur anggota keluarga yang lain, manakala
mereka mencoba minum dari gelas yang sebelumnya telah diminum oleh
mereka. Awalnya, ODHA merasa tersinggung dan sempat mengungkapkan
kemarahannya secara langsung. Namun, setelah diketahui dan mendapat
penjelasan bahwa ternyata perlakuan tersebut adalah hanya kecemasan dan
ketakutan saja virus itu menular kepada saudara yang lain. Justru,
keluarganya tersebut selalu mengingatkan untuk minum obat, dan bila obat
habis, sealu mengantar ODHA tersebut mengambil obat ARV ke rumah sakit
(Aritonang, dkk, 2014).
Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, diperoleh gambaran
konsep diri ODHA secara keseluruhan berada pada kategori kurang dan
kurang sekali dengan taraf pencapaian 46,14% dari skor ideal. Hasil temuan
ini didukung oleh pendapat yang dikemukakan oleh Suzana Murni, dkk
(2007:42) dalam banyak orang dengan HIV/AIDS sungguhsungguh mencoba
untuk memperbaiki tingkah laku mereka, tetapi sikap yang negatif dari
masyarakat terhadap mereka semata-mata mengkonfirmasikan konsep diri
mereka, dan tingkah laku yang sesuai dengan citra ini yang kemungkinan
besar untuk terjadi. Pendapat ini menyatakan bahwa sikap negatif dari
masyarakat dapat merubah konsep diri ODHA (Wahyu., dkk, 2012).
3) Pandangan tentang citra dirinya
ODHA menilai citra dirinya berdasarkan pandangan tentang siapa
saya, saya ingin menjadi apa, dan bagaimana orang lain memandang saya.
ODHA yang telah mendapatkan konseling biasanya menilai dirinya secara
positif bahwa dia adalah berstatus Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA).
Mereka menerima kondisi ini sebagai suatu kenyataan yang harus diterima
dan dihadapi dalam kehidupan yang akan datang (Aritonang, dkk, 2014).
Mereka menilai orang lain memandang dirinya sendiri secara
sewajarnya. Mereka sadar ada sebagian tetangga dan masyarakat sekitar yang
masih mencibir dan memandang mereka rendah, namun mereka juga yakin
masih banyak tetangga dan masyarakat mau menerima mereka. Kenyataan
bahwa jika ODHA belum mau terbuka kepada tetangga dan masyarakat, hal
ini dikarenakan masih tidak siapnya odha dalam menghadapi kondisi status
ODHAnya diketahui secara umum. Faktor pengalaman sesama ODHA dan
pemahaman masih adanya stigma dan diskriminasi, menjadikan mereka
mengalami ketakutan dan belum berani terbuka kepada lingkungan tetangga
dan masyarakat sekitarnya.
Pandangan lain terkait dengan citra dirinya, mereke kerap beranggapan
bahwa mereka adalah orang yang kecewa dan menyesal atas apa yang telah
terjadi pada dirinya. Kenyataan ini didasari kepada sikap dan perilaku
sebelumnya yang mengalami kasus penyalahgunaan NAPZA, seks bebas
ataupun berstatus ODHA (Aritonang, dkk, 2014).
4) Harapan ODHA
ODHA mengungkapkan harapannya bagi diri sendiri, bagi keluarga,
saudara-saudaranya, lingkungan tetangga, masyarakat, pekerjaan, dan
pelayanan yang tersedia. Mereka berharap dirinya masih dapat hidup lebih
lama dan bahagia bersama pasangan dan anak-anaknya, selalu berada pada
kondisi fisik yang sehat, mampu menjaga dan merawat dirinya sebaik
mungkin, optimis menjalani kehidupan, dan berharap cukup mereka saja dan
yang sudah berstatus ODHA lainnya yang merasakan kehidupan seperti ini,
serta jangan ada lagi ODHA-ODHA baru setelahnya (Aritonang, dkk, 2014).
Mereka juga berharap pihak keluarga dan saudara tetap memberikan
dukungan, penerimaan dan semangat dalam menjalani kehidupan mereka.
ODHA yang belum mampu terbuka, berharap kelak dapat mengungkapkan
kondisi sebenarnya kepada keluarganya. Mereka ingin nantinya, setelah
pihak keluarga mengetahui akan tetap menerima dan memperlakukannya
seperti saat ini yang masih belum tahu status ODHA pada dirinya. Seluruh
ODHA menginginkan kehidupan sebagai ODHA berjalan tanpa adanya
stigma dan diskriminasi dari lingkungan sekitarnya baik dari tetangga,
kelompok sebaya, lingkungan pekerjaan dan sebagainya. ODHA memerlukan
penerimaan dari masyarakat terhadap status mereka, dan dapat menjalani
kehidupannya sebagai ODHA tanpa stigma dan diskriminasi. Harapan odha
terkait dengan proses pengobatan, bahwa meskipun mereka mendapatkan
obat ARV dan pelayanan kesehatan terkait HIV/AIDS diperoleh secara gratis,
namun perlu ada peningkatan dukungan terkait dengan akses dalam
menjangkau dan memanfaatkan sumber pelayanan tersebut. Mereka
berharap pemerintah juga memberikan bantuan akses pelayanan berupa
bantuan biaya transport, gratis biaya pendaftaran, biaya pemeriksaan CD4,
dan periksa laboratorium (Aritonang, dkk, 2014).

3. KONSELING DALAM KEPERAWATAN


Konseling adalah proses membantu seseorang untuk belajar mencari solusi
bagi masalah emosi, interpersonal dan pengambilan keputusan (WHO, 2004). Suatu
dialog antara seseorang yang bermasalah (klien) dengan orang yang menyediakan
pelayanan konseling (konselor/psikolog/perawat) dengan tujuan untuk
memberdayakan klien agar mampu menghadapi permasalahannya dan sanggup
mengambil keputusan yang mandiri atas permasalahan tersebut (Gunung, et al, 2003
dalam Sunarto, 2010).
a. Peran Perawat
Keperawatan adalah sebuah bentuk pelayanan professional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelaksanaannya berdasar
pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk bio-psikososial-medic-spiritual yang
komprehensif, ditunjukkan pada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit
maupun sehat yang mencakup proses kehidupan manusia. Peran perawat yang
dimaksud adalah cara untuk menyatakan aktifitas perawat dalam praktek, dimana
telah menyelesaikan pendidikan formalnya yang diakui dan diberi kewenangan
oleh pemerintah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab keperawatan
secara profesional sesuai dengan kode etik profesional (Hardhiyani R, 2013).
Menurut Depkes RI (2006), peran perawat di sarana pelayanan kesehatan
meliputi :
1) Pemberi pelayan kesehatan
Perawat memberikan pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga,
kelompok/masyarakat berupa asuhan keperawatan kesehatan masyarakat yang
utuh /holistik, komprehensif meliputi pemberian asuhan pada pencegahan
tingkat pertama, tingkat kedua maupun tingkat ketiga. Asuhan keperawatan
yang diberikan baik asuhan langsung (direct care) kepada pasien/klien maupun
tidak langsung (indirect care) diberbagai tatanan pelayanan kesehatan antara
lain klinik puskesmas, ruang rawat inap puskesmas, Puskesmas pembantu,
Puskesmas Keliling, Sekolah, Rutan/Lapas, Panti, Posyandu, Keluarga
(Rumah pasien/klien), dan lain-lain.
2) Penemu kasus
Perawat berperan dalam mendeteksi dan menemukan kasus serta
melakukan penelusuran terjadinya penyakit.
3) Pendidik/penyuluhan Kesehatan
Pembelajaran merupakan dasar dari pendidikan kesehatan yang
berhubungan dengan semua tahap kesehatan dan semua tingkat pencegahan.
Sebagai pendidik kesehatan, perawat mampu mengkaji kebutuhan
pasien/klien, mengajarkan agar melakukan pencegahan tingkat pertama dan
peningkatan kesehatan pasien/klien kepada individu, keluarga,
kelompok/masyarakat, pemulihan kesehatan dari suatu penyakit, menyusun
program penyuluhan/pendidikan kesehatan, baik untuk topik sehat maupun
sakit, seperti nutrisi, latihan/olah raga, manajemen stress, penyakit dan
pengelolaan penyakit, dan lain-lain, memberikan informasi yang tepat untuk
kesehatan dan gaya hidup antara lain informasi yang tepat tentang penyakit,
pengobatan dan lain-lain, serta menolong pasien/klien menyeleksi informasi
kesehatan yang bersumber dari buku-buku, koran, televisi, atau teman.
Pendidikan Kesehatan adalah suatu proses perubahan pada diri
masyarakat yang ada hubungannya dengan tercapainya tujuan kesehatan
perorangan dan masyarakat. Pendidikan kesehatan bukanlah suatu yang dapat
diberikan oleh seseorang kepada orang lain dan bukan pula sesuatu rangkaian
tatalaksana yang akan dilaksanakan ataupun hasil yang dicapai melainkan
suatu proses perkembangan yang selalu berubah secara dinamis dimana dapat
menerima atau menolak keterangan baru dan prilaku baru yang ada
hubungannya dengan tujuan hidup (Susilo, 2011).
4) Koordinator dan kolaborator
Perawat melakukan koordinasi terhadap semua pelayanan kesehatan
yang diterima oleh keluarga dari berbagai program, dan bekerjasama dengan
keluarga dalam perencanaan pelayanan keperawatan serta sebagai penghubung
dengan institusi pelayanan kesehatan dan sektor terkait lainnya (Depkes RI,
2005).
5) Pelaksana konseling Keperawatan
Willis S. Sofyan (2004) menjelaskan bahwa konseling adalah suatu
hubungan antara seorang dengan orang lain dimana seseorang berusaha keras
untuk membantu orang lain agar memahami masalah dan dapat memecahkan
masalahnya dalam rangka menyesuaikan diri (Mundakir, 2006).
Tujuan konseling adalah pemecahan masalah secara efektif. Konseling
yang efektif dapat dilakukan bila didasari adanya hubungan yang positif antara
konselor dengan pasien/klien dan kesediaan konselor untuk membantu
(Depkes RI, 2005). Dalam fungsinya sebagai pelaksana konseling, perawat
membantu pasien/klien untuk mencari pemecahan masalah kesehatan dalam
perubahan prilaku yang terjadi dan dihadapi pasien/klien. Pemberian
konseling, dapat dilakukan diklinik, puskesmas, Puskesmas pembantu, rumah
pasien/klien, Posyandu dan tatanan pelayanan kesehatan lainnya dengan
melibatkan individu, keluarga, kelompok, masyarakat. Kegiatan yang dapat
dilakukan perawat puskesmas antara lain menyediakan informasi, mendengar
secara objektif, memberi dukungan, memberi asuhan dan meyakinkan
pasien/klien, menolong pasien/klien mengidentifikasi masalah dan faktor-
faktor yang terkait, memandu klien menggali permasalahan dan memilih
pemecahan masalah yang dapat dikerjakan.
6) Panutan atau model peran (role model)
Perawat sebagai panutan atau role model, dimaksudkan bahwa
prilakunya sehari-hari dicontoh oleh orang lain. Panutan ini di gunakan pada
semua tingkatan pencegahan terutama prilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
7) Pemodifikasi lingkungan
Perawat puskesmas melakukan kerjasama /konsultasi dengan berbagai
pihak terutama tenaga kesehatan lain untuk menciptakan lingkungan yang
bersih dan sehat baik disarana kesehatan maupun di keluarga/masyarakat.
8) Konsultan
Sebagai konsultan perawat kesehatan masyarakat dapat memberi
panduan untuk pemecahan masalah keperawatan, peningkatan keterampilan
keperawatan dan peningkatan kesehatan.
9) Advokasi
Advokat adalah Perawat memberi pembelaan kepada klien yang tidak
dapat bicara untuk dirinya (Fallen dan Dwi, 2010). Kegiatan yang dapat
dilakukan oleh perawat kesehatan masyarakat antara lain merancangkan
pelayanan kesehatan untuk pasien atau klien yang tidak mampu
melakukannya, berperan serta dalam perencanaan guna untuk peningkatan
sumber daya masyarakat untuk kesehatan (Depkes, 2006).
10) Manajer kasus
Sebagai manajer, perawat kesehatan masyarakat menggunakan
kemampuan spesifik untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan lain untuk
mencapai tujuan asuhan keperawatan. Kegiatan yang dapat di lakukan antara
lain melakukan supervisi terhadap asuhan keperawatan yang diberikan kepada
pasien atau klien maupun terhadap anggota tim lainnya, seperti kader
kesehatan, anggota keluarga dan lain-lain.
11) Peneliti
Perawat kesehatan masyarakat seharusnya mampu mengidentifikasi
masalah-masalah kesehatan yang ditemukan dan mencari solusi yang terbaik
melalui proses penyelidikan yang ilmiah. Penelitian digunakan untuk
menyelidiki topik yang terkait dengan pencegahan tingkat pertama, kedua,
ketiga, baik pada individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat. Kegiatan
yang dilakukan antara lain mengajukan penelitian keperawatan, kesehatan
masyarakat, pelayanan kesehatan yang terkait dengan praktek keperawatan,
menggunakan kriteria yang ditetapkan untuk mengevaluasi hasil-hasil studi,
membaca dan mengkritisi laporan penelitian secara teratur, berpartisipasi
dalam penelitian lain seperti epidemiologi, perencanaan kesehatan dan
perawat lain.
12) Pemimpin dan pembaharu
Perawat kesehatan masyarakat diharapkan mampu mempengaruhi klien
dan pihak lain untuk mencapai tujuan pelayanan yang telah di tetapkan dan
berupaya menciptakan pembaharuan. Perawat Puskesmas menggunakan
kepemimpinannya untuk mencapai tujuan pelayanan dalam semua tingkat
pencegahan. Kegiatan yang dilakukan antara lain memberi masukan proses
pengambilan keputusan untuk pasien/klien dan anggota tim lain, menstimulasi
minat terhadap promosi kesehatan melalui Asuhan keperawatan pada ketiga
tingkat pencegahan, memberikan informasi yang terkait dengan promosi
kesehatan kepada pasien/klien dan tenaga kesehatan lain, mendukung program
promosi kesehatan (Depkes RI, 2006).

b. Perawat Sebagai Pelaksana Konseling Keperawatan


Keperawatan adalah sebuah bentuk pelayanan professional yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Pelaksanaannya berdasar
pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk bio-psikososial-medic-spiritual yang
komprehensif, ditunjukkan pada individu, keluarga dan masyarakat, baik sakit
maupun sehat yang mencakup proses kehidupan manusia (Hardhiyani R, 2013).
Begitupun dalam menangani kasus AIDS ini diperlukan pendekatan
biopsikososiospiritual ; artinya melihat pasien tidak semata-mata dari segi
organobiologik, psikologik/kejiwaan, psiko-sosial tetapi juga aspek
spritual/kerohanian (Hidayanti E, 2012).
Perawat sebagai pelaksana konseling keperawatan dapat dijadikan sebagai
tempat bertanya individu, kelompok dan masyarakat untuk memecahkan berbagai
permasalahan dalam bidang kesehatan dan keperawatan yang dihadapi dan
akhirnya dapat membantu memberikan jalan keluar dalam mengatasi masalah
kesehatan dan keperawatan yang dengan melibatkan sumber-sumber yang lain,
misalnya keluarga (Hidayat, 2008). Perawat sebagai konselor mempunyai peran
membantu klien dalam memilih keputusan yang akan diambil terhadap penyakit
yang dideritanya. Untuk mempermudah didalam mengambil keputusan klien
wajib mempertanyakan langkah-langkah yang akan diambil terhadap dirinya.
Kegiatan yang dilakukan perawat diantaranya mendiskusikan kemampuan dan
aspek positif yang dimiliki pasien, membantu pasien menilai kemampuan yang
masih dapat digunakan, membantu pasien memilih atau menetapkan kemampuan
yang akan dilatih, melatih kemampuan yang sudah dipilih dan menyusun jadwal
pelaksanaan kemampuan yang telah dilatih dalam rencana jadwal pelaksanaan
harian pasien.
Perawat merupakan faktor yang mempunyai peran penting pada
pengelolaan stres khususnya dalam memfasilitasi dan mengarahkan koping pasien
yang konstruktif agar pasien dapat beradaptasi dengan sakitnya dan pemberian
dukungan sosial, berupa dukungan emosional, informasi, dan material (Batuman,
1990; Bear, 1996; Folkman & Lazarus, 1988 dalam Nursalam dan Ninuk Dian,
2007). Pasien yang didiagnosis dengan HIV mengalami stres persepsi (kognisi:
penerimaan diri, sosial, dan spiritual) dan respons biologis selama menjalani
perawatan di rumah sakit ataupun di rumah (home care).
Pada dasarnya peran perawat dalam pelaksanaan konseling keperawatan
dapat diarahkan dalam pendekatan asuhan keperawatan perawatan pada pasien
terinfeksi HIV agar pasien dapat beradaptasi dengan cepat. Menurut Nursalam
dan Ninuk Dian (2007), peran tersebut meliputi: (1) memfasilitasi strategi koping;
dan (2) dukungan sosial (Nursalam dan Ninuk Dian, 2007).
1) Memfasilitasi Strategi Koping
Mekanisme koping terbentuk melalui proses belajar dan mengingat.
Belajar disini adalah kemampuan menyesuaikan diri (adaptasi) pada
pengaruh faktor internal dan eksternal (Nursalam, 2003). Menurut Roy, yang
dikutip oleh Nursalam (2003) mekanisme belajar merupakan suatu proses
didalam sistem adaptasi (cognator) yang meliputi mempersepsikan suatu
informasi, baik dalam bentuk implisit maupun eksplisit. Koping yang efektif
menempati tempat yang central terhadap ketahanan tubuh dan daya
penolakan tubuh terhadap gangguan maupun serangan suatu penyakit baik
bersifat fisik maupun psikis, sosial, spiritual. Perhatian terhadap koping tidak
hanya terbatas pada sakit ringan tetapi justru penekanannya pada kondisi
sakit yang berat.
Coping strategy merupakan koping yang digunakan individu secara
sadar dan terarah dalam mengatasi sakit atau stresor yang dihadapinya.
Terbentuknya mekanisme koping bisa diperoleh melalui proses belajar dalam
pengertian yang luas dan relaksasi. Apabila individu mempunyai mekanisme
koping yang efektif dalam menghadapi stresor, maka stresor tidak akan
menimbulkan stres yang berakibat kesakitan (disease), tetapi stresor justru
menjadi stimulan yang mendatangkan wellness dan prestasi.
Ada 3 teknik koping positif yang ditawarkan dalam mengatasi masalah
psikologis ODHA ialah :
a) Pemberdayaan Sumber Daya Psikologis (Potensi diri)
Sumber daya psikologis merupakan kepribadian dan kemampuan
individu dalam memanfaatkannya menghadapi stres yang disebabkan
situasi dan lingkungan (Pearlin & Schooler, 1978:5). Karakterisik di
bawah ini merupakan sumber daya psikologis yang penting.
Pikiran yang positif tentang dirinya (harga diri)
Jenis ini bermanfaat dalam mengatasi situasi stres,
sebagaimana teori dari Colleys looking-glass self: rasa percaya diri,
dan kemampuan untuk mengatasi masalah yg dihadapi.
Mengontrol diri sendiri
Kemampuan dan keyakinan untuk mengontrol tentang diri
sendiri dan situasi (internal control) dan external control (bahwa
kehidupannya dikendalikan oleh keberuntungan, nasib, dari luar)
sehingga pasien akan mampu mengambil hikmah dari sakitnya
(looking for silver lining).
Kemampuan mengontrol diri akan dapat memperkuat koping
pasien, perawat harus menguatkan kontrol diri pasien dengan
melakukan:
Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh
dia dapat mengontrol diri
Meningkatkan perilaku menyeleseaikan masalah
Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan
mendapatkan hasil yang lebih baik
Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan
terhadap dirinya
Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang
dapat meningkatkan kontrol diri: keyakinan, agama.
b) Rasionalisasi (Teknik Kognitif)
Upaya memahami dan mengiterpretasikan secara spesifik terhadap
stres dalam mencari arti dan makna stres (neutralize its stressfull). Dalam
menghadapi situasi stres, respons individu secara rasional adalah dia akan
menghadapi secara terus terang, mengabaikan, atau memberitahukan
kepada diri sendiri bahwa masalah tersebut bukan sesuatu yang penting
untuk dipikirkan dan semuanya akan berakhir dengan sendirinya.
Sebagaian orang berpikir bahwa setiap suatu kejadian akan menjadi
sesuatu tantangan dalam hidupnya. Sebagian lagi menggantungkan semua
permasalahan dengan melakukan kegiatan spiritual, lebih mendekatkan
diri kepada sang pencipta untuk mencari hikmah dan makna dari semua
yang terjadi.
c) Teknik Perilaku
Teknik perilaku dapat dipergunakan untuk membantu individu
dalam mengatasi situasi stres. Beberapa individu melakukan kegiatan
yang bermanfaat dalam menunjang kesembuhannya. Misalnya, pasien
HIV akan melakukan aktivitas yang dapat membantu peningkatan daya
tubuhnya dengan tidur secara teratur, makan seimbang, minum obat anti
retroviral dan obat untuk infeksi sekunder secara teratur, tidur dan
istirahat yang cukup, dan menghindari konsumsi obat-abat yang
memperparah keadan sakitnya.
2) Dukungan Sosial
Hampir setiap orang tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri,
tetapi mereka memerlukan bantuan orang lain. Berdasarkan hasil penelitian
bahwa dukungan sosial merupakan mediator yang penting dalam
menyelesaikan masalah seseorang. Hal ini karena individu merupakan bagian
dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan agama ataupun bagian dari
kelompok lainnya.
a) Dimensi Dukungan Sosial
Dimensi dukungan sosial yang dapat diberikan perawat meliputi:
Emotional support (dukungan emosional)
Memberikan perasaan nyaman, dihargai, dicintai, dan
diperhatikan.
Cognitive support (dukungan informasi)
Meliputi pemberian informasi, pengetahuan dan nasehat yang
bertujuan agar meningkatnya pengetahuan dan penerimaan pasien
terhadap sakitnya
Materials support (dukungan material)
Meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu barang dalam
mengatasi suatu masalah. Dalam hal ini perawat memberi bantuan
ataupun rujukan untuk kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan
pasien
b) Mekanisme Dukungan Sosial
Dikenal ada 3 mekanisme Social support secara langsung
berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap kesehatan seseorang yaitu :
Mediator perilaku
Mengajak individu untuk mengubah perilaku yang jelek dan
meniru perilaku yang baik (misalnya, berhenti merokok)
Psikologis
Meningkatkan harga diri dan menjembatani suatu interaksi
yang bermakna.
Fisiologis
Membantu relaksasi terhadap sesuatu yang mengancam dalam
upaya meningkatkan sistem imun seseorang
c) Intervensi yang diberikan pada sistem pendukung
Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan
Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lainnya
Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif
Memberikan umpan balik terhadap perilakunya
Memberikan rasa percaya dan keyakinan
Memberi informasi yang diperlukan
Berperan sebagai advokat
Memberi dukungan: moril, materiil (khususnya keluarga); spiritual
Menghargai penilaian individu yang cocok terhadap kejadian
d) Asuhan keperawatan yang Diberikan pada Keluarga
Tujuan dari asuhan keperawatan keluarga dengan AIDS adalah
ditingkatkannya kemampuan keluarga dalam :
Memahami masalah HIV/AIDS pada keluarganya
Memutuskan tindakan yang tepat untuk mengatasi HIV/AIDS
Melakukan tindakan keperawatan pada anggota keluarga yang
menderita HIV/AIDS
Memelihara lingkungan (fisik, psikis dan sosial) sehingga dapat
menunjang peningkatan kesehatan keluarga
Memanfaatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat misalnya:
puskesmas, puskesmas pembantu, kartu sehat untuk memperoleh
pelayanan kesehatan
Menurunkan stigma sosial

c. Konseling HIV/AIDS dalam Voluntary Counseling And Tesing (VCT)


Konseling adalah proses pertolongan dimana seseorang dengan tulus
ikhlas dan tujuan yang jelas memberikan waktu, perhatian dan keahliannya untuk
membantu klien mempelajari dirinya, mengenali dan melakukan pemecahan
masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan. Pelayanan konseling
adalah salah satu upaya dalam membantu penderita HIV/AIDS untuk
membangkitkan semangat hidup agar bisa menerima kondisi dan keadaan diri dan
mampu menyesuaikan diri dengan kondisi yang dialaminya (Hidayanti E, 2012).
Voluntary counseling and tesing (VCT) atau konseling dan tes suka rela
merupakan kegiatan konseling yang bersifat suka rela dan rahasia, yang
dilakukan sebelum dan sesudah tes darah di laboratorium. Tes HIV dilakukan
setelah klien terlebih dahulu memahami dan menandatangani informed consent
yaitu surat persetujuan setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap dan benar
(Nursalam dan Ninu Dian, 2007).
Pelayanan VCT harus dilakukan oleh petugas yang sangat terlatih dan
memiliki keterampilan konseling dan pemahaman akan HIV/AIDS. Konseling
dilakukan oleh konselor terlatih dengan modul VCT. Mereka dapat berprofesi
perawat, pekerja sosial, dokter, psikolog, psikiater atau profesi lain (Nursalam
dan Ninu Dian, 2007). Pelaksanaan konseling mengacu pada modul Pelatihan
Konseling Dan Tes Sukarela HIV (Voluntary Counseling and Test/VCT) untuk
Konselor Profesional, Departemen Kesehatan RI Direktoral Jenderal Pelayanan
Medik Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan, 2004. Buku ini merupakan panduan untuk konselor dalam
melakukan konseling bagi penderita HIV/AIDS mulai ketrampilan, komunikasi,
tehnik sampai dengan evaluasi (Hidayanti, 2012).
Konseling HIV/AIDS merupakan wawancara yang bisa dikatakan sangat
rahasia antara klien dan pemberian layanan (konselor) yang bertujuan membuat
orang tersebut mampu menyesuaikan diri dengan stres dan mampu membuat
keputusan terkait dengan HIV/AIDS. Proses konseling ini termasuk evaluasi
terhadap resiko penularan HIV dan memfasilitasi pencegahan perilaku seseorang
yang beresiko tertular HIV/AIDS serta evaluasi diri ketika klien menghadapi hasil
tes HIV positif. Sedangkan VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog
yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan untuk
mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral, informasi, serta
dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga dan lingkungannya. Jadi VCT
memberikan konseling secara menyeluruh bagi klien agar mampu beradaptasi
dengan penyakitnya bahkan memfasilitasi konseling antara klien dan keluarganya
(Hidayanti, 2012).
Nursalam menyebutkan Tujuan Konseling HIV/AIDS sebagai berikut :
1. Mencegah penularan HIV dengan mengubah perilaku.
2. Untuk perilaku ODHA (orang dengan HIV/AIDS) tidak hanya membutuhkan
informasi belaka, tetapi yang lebih jauh lebih penting adalah pemberian
dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka, misalnya dalam
perilaku seks aman, tidak bergantiganti jarum suntik, dll.
3. Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan
memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara positif.
Sedangkan Nursalam dan Ninuk Dian Kurniawati menyebutkan tujuan
VCT adalah :
1. Upaya mencegah HIV / AIDS
2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan persepsi/pengetahuan
mereka tentang factor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV.
3. Upaya pengembangan perubahan perilaku, sehingga secara dini mengarahkan
mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi
antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam masyarakat

4. HUBUNGAN KONSELING KEPERAWATAN DALAM MENANGANI


KONSEP DIRI ODHA
Upaya pemahaman dan pengembangan konsep diri yang positif dikalangan
ODHA perlu dilakukan. Meskipun dengan kondisi kesehatan yang semakin menurun
ditambah dengan faktor penolakan dari lingkungan sosial, para ODHA harus dapat
tetap berjuang dan berdaya untuk menjalankan kehidupannya secara normal,
sebagaimana yang dia harapkan ketika semasa belum tertular HIV/AIDS (Yuliyanti,
2012). Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah yang terjadi
pada ODHA serta untuk membantu ODHA mengembangkan konsep dirinya secara
positif adalah melalui pelayanan bimbingan konseling yang diberikan oleh konselor
yang profesional seperti perawat (Wahyu S.,dkk.,2012).
Pada dasarnya peran perawat dalam pelaksana konseling keperawatan dapat
didasarkan pada perawatan pasien terinfeksi HIV dalam melaksanakan pendekatan
asuhan keperawatan agar pasien dapat beradaptasi dengan cepat. Menurut Nursalam
dan Ninuk Dian (2007), peran tersebut meliputi: (1) memfasilitasi strategi koping; dan
(2) dukungan sosial (Nursalam dan Ninuk Dian, 2007).
Tujuan konseling khusus kepada ODHA ialah mencegah penularan HIV
dengan mengubah perilaku. Untuk perilaku ODHA tidak hanya membutuhkan
informasi belaka, tetapi yang lebih jauh lebih penting adalah pemberian dukungan
yang dapat menumbuhkan motivasi mereka, misalnya dalam perilaku seks aman,
tidak bergantiganti jarum suntik, dll, serta meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam
segala aspek baik medis, psikologis, sosial dan ekonomi. Dalam hal ini konseling
keperawatan bertujuan memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup
secara positif (Nursalam dan Ninuk Dian, 2007).
Seperti yang dikemukakan oleh Daniel dalam (Wahyu, S.,dkk, 2007) bahwa
konseling adalah suatu rangkaian pertemuan langsung dengan individu yang ditujukan
pada pemberian bantuan kepadanya untuk dapat menyesuaikan diri secara lebih
efektif dengan dirinya sendiri dan Lingkungannya. Konselor dapat memberikan
bantuan kepada individu untuk mengatasi permasalahannya, agar bantuan itu menjadi
efektif, konselor perlu memahami individu yang akan dibantu. Salah satu aspek yang
perlu dipahami adalah konsep diri. Pemahaman mengenai konsep diri ini diperlukan
agar ODHA tersebut mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya dengan
memahami kekuatan dan kelemahannya serta tau tentang konsep dirinya (Yuliyanti,
2012).
Konsep diri positif yang dimiliki ODHA dapat ditunjukkan melalui
kemampuannya menerima kondisi dan keadaan diri pada saat kini, bersikap lebih
realistik, objektif dan tidak menunjukkan ketegangan emosional yang berlebihan.
Dengan demikian, ODHA dapat menjalani kehidupan selanjutnya secara efektif,
efisien dan bertanggung jawab (Wahyu., dkk, 2012).
B. KERANGKA TEORI

Pelayanan konseling adalah salah satu


upaya dalam membantu penderita
HIV/AIDS untuk membangkitkan
semangat hidup agar bisa menerima
kondisi dan keadaan diri dan mampu
menyesuaikan diri dengan kondisi Peran Perawat
yang dialaminya. Sebagai pemberi
pelayanan, peneliti,
Voluntary counseling and tesing
penemu kasus, advokasi,
(VCT) atau konseling dan tes suka koordinator, pendidik,
rela merupakan kegiatan konseling pembaharu/ pemimpin,
yang bersifat suka rela dan rahasia, manamer kasus,
Fakta
yang tentang
dilakukan ODHA
sebelum dan sesudah konsultan, role model,
tes darah di laboratorium. pelaksana konseling
Perubahan fisik dan
Konselor dapatpsikologis
memberikan bantuan keperawatan,
Komponen Konsep Diri dan
masalah
kepada
Stigma Negatif danmengatasi pemodifikasi lingkungan.
individu untuk
diskriminasi dari
permasalahannya, agar bantuan itu Gambaran DiriKonseling
Peran (Body Image)
masyarakat
menjadi efektif, konselor perlu memahami Ideal Diri
Keperawatan
Respon Maladaptif
individu yang akan dibantu. Salah satu Harga Diri (Self-esteem)
pada diri ODHA Memfasilitasi strategi
Peran Diri
aspek yang perlu dipahami adalah konsep
Penurunan penilaian koping
Identitas Diri
diri. Dukungan sosial
terhadap konsep diri
(Nursalam dan Ninuk Dian, 2007, Hidayat, A A. 2012, Hidayanti, 2012. )

Anda mungkin juga menyukai